Upload
isif
View
7
Download
0
Embed Size (px)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus kini benar-benar telah menapaki
era kesejagatan, dan menjadi kesehatan dunia. Insidens
dan pravalensi penyakit ini tidak pernah berhenti
mengalir, terutama di negara sedang berkembang dan
negra yang terlanjur memasuki budaya industrialisasi.
Jumlah diabetasi didunia yang tercatat pada tahun 1990
baru mencapai angka 80 juta (Zimmet, 1991), yang secara
mencengangkan melompat ke angka 110,4 juta empat tahun
kemudian (Zimmet, 1994). Menjelang tahun 2010, angka
ini diperkirakan mennggelembung hingga 239,3 juta, dan
di duga akan terus melambung hingga menyentuh angka 300
juta pada tahun 2025.
Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar
negara dengan jumlah diabetasi terbanyak. Pada tahun
1995, negara yang tergolong tengah berkembang ini baru
menempati peringkat ke-7, dengan jumlah pengidap
diadetes sebanyak 4,5 juta jiwa. Peringkat ini
diprediksi akan naik dua tingkat (menjadi peringkat ke-
5) pada tahun 2025, dengan prakiraan jumlah pengidap
sebanyak 12,4 juta jiwa (International Diabetes
Monitor, April 1999). Pravalensi DM di Jakarta pada
tahun 1982 hanya menunjukkan angka 1,7%,/;selanjutnya,
2
presentase ini terus berloncatan ke angka 5,7% dan
13,6%, berturut-turut pada tahun 1992 dan
2001(Farmacia, Mei 2003).
Penyakit ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
DM tipe 1 dam DM tipe 2 (WHO Study Group on Diabetes
Mellitus,1995), DM tipe 2 menempati lebih dari 90%
kasus di negara maju (Harris dan Zammet, 1992). Di
negara sedang berkembang, hampir seluruh diabetesi
tergolong sebagai penyandang DM tipe 2-40% diantaranya
terbukti berasal dari kelompok masyarakat yang
terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi
modern (Zimmer et al,1990; king et al, 1993). Gaya
hidup modern yang dapat dilihat pada sebagian keluarga
di perkotaan, saat dengan alat bantu elektronik
sehingga meminimalkan gerak fisik. Berkurangnya kerja
otot lurik,yang dibarengi semakin meningkatnya asupan
pangan padat kalori dan kaya akan lemak, menyebabkan
obesitas pada gilirannya akan menjelma menjadi DM tipe
2 (Park et al, 1991).
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakterisktik hiperglikemi
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World
3
Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa
DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam
satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi
dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Diabetes Melitus
2. 1.1 Defenisi
Menurut American Diabetes Associaton (ADA) 2012,
Diabetes Mellitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
Sedangkan menurut WHO (1999) , Diabetes Mellitus (DM)
didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengantingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel
beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(WHO, 1999).
2.1.2. FISIOLOGI METABOLISME GLUKOSA
5
Metabolisme glukosa adalah salah satu fungsi
penting hepar,pankreas dan sebagian jaringan
perifer.Hepar memegang peranan penting pada regulasi
glukosa, mengambil glukosa dan menyimpannya dalam
bentuk glikogen serta melakukan glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Pankreas mensekresi hormon regulator:
insulin dari kumpulan sel beta menurunkan konsentrasi
gula darah, sebaliknya glukagon dari kumpulan sel alfa
meningkatkan konsentrasi gula darah. Kontributor
lainnya adalah hormon katabolik: epinefrin,
glukokortikoid dan growth hormon, semuanya meningkatkan
gula darah.
Regulasi glukosa bertujuan mempertahankan fungsi
glukosa pada jaringan. Sebagai contoh: pada saat puasa
sekrersi insulin menurun dan level hormon katabolik
meningkat. Pada kasus defisiensi insulin absolut(DM
tipe 1) aktifitas katabolik menyebabkan hiperglikemia
dan dapat terjadi diabetes ketoasidosis. Tipe 2
ditandai dengan resistensi insulin di perifer dan
secara keseluruhan jarang dihubungkan dengan
ketoasidosis.
2.1.3. Epidemiologi
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai tahun
delapan puluhan telah dilaksanakan di berbagai kota di
Indonesia, pravalensi diabetes berkisar antara 1,5% s.d
2,3%, kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar 6%.
6
Hasil penelitian epidemiologi berikutnya tahun 1993 di
Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan
pravalensi DM dari 1,7% pada tahun 2001 di Depok,
daerah sub- urban di selatan Jakarta menjadi 12,8%.
Demikian pula pravalensi DM di Ujung Pandang (daerah
urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi
3,5% pada tahun 1998 dan terakhir pada tahun 2005
menjadi 12,5%.
Di daerah rural yang dilakukan oleh Arifindi suatu
kota kecil di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu
daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan pravalensi
DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban
dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi
kejadian diabetes. Di Jawa Timur angka itu tidak
berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% do daerah
rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya pravalensi
Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) yang
sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pancreas
di Jawa Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di
daerah rural.
Melihat tendensi kenaikan pravalensi diabetes
secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan
oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau
lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan dating kekerapan DM tipe 2 di Indonesia akan
7
meningkat dengan drastic, yang disebabkan oleh beberapa
faktor:
1. Fator keturunan(genetik)
2. Faktor kegemukan/obesitas
Perubahan gaya hidup dari tradisional ke
gaya hidup barat
Makan berlebihan
Hidup santai, kurang gerak badan
3. Faktor demografi
Jumlah penduduk meningkat
Urbanisasi
Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat
4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
Dalam Diabetes Atlas 2000 (International
Diabetes Federation) tercantum perkiraan
penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125
juta dan dengan asumsi pravalensi DM sebesar
4,6% diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6
juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk
seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020
nanti aka nada sejumlah 178 juta penduduk
berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi
pravalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2
juta pasien diabetes.
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang
Depkes yang hasilnya baru saja dikeluarkan bulan
8
Desember 2008 menunjukkan bahwa pravalensi nasional
untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari
pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya,
sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat
penelitian).
Dengan hasil penelitian ini maka kita sekarang
untuk pertama kali punya angka pravalensi nasional.
Sekadar untuk perbandingan menurut IDF pada tahun 2006
angka pravalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9%
jadi Indonesia berada diantaranya. Di Malaysia, negara
tetangga/serumpun Indonesia terdekat, pada 3rd National
Health and Mortality & Morbidity Survey in Malaysia
2006 didapatkan pravalensi yang tinggi yaitu 14,90%,
tetapi survey itu dilakukan pada individu diatas 30
tahun, sedangkan di Indonesia populasi survey
melibatkan individu 15 tahun keatas.
2.1.4. Etiologi
Etiologi diabetes mellitus dapat kita bagi dalam
dua golongan besar,yaitu:
A. Faktor Genetik
Bahwa ada faktor keturunan pada diabetes mellitus
sudah lama diketahui tetapi bagaimana terjadi
transmisi-transmisi dari seorang penderita ke anggota
lain belum diketahui. Ada yang menyatakan bahwa
9
diabetes diturunkan secara resesif dan ada pula yang
menerangkan transmisi ini secara overdominant.
1. Kembar identik
WHO Expert Comittee on Diabetes Mellitus (1980)
melaporkan bahwa dari sejumlah kembar identik yang
salah seorang menderita IDDM (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus = tipe 1) 50% dari pasangannya
kemudian juga menderita diabetes mellitus. Dari kembar
identik yang salah menderita NIDDM (Non-Insulin
Dependent Mellitus = tipe 2) lebih banyak lagi yang
kemudian juga menderita diabetes, yaitu 88%. Perbedaan
dalam kejadian IDDM dan NIDDM pada para kembar identik
menunjukkan bahwa faktor lingkungan mungkin mempunyai
pengaruh terhadap diabetes mellitus dan infeksi oleh
virus termasuk salah satu faktor lingkungan.
1. Faktor genetik (hanya untuk IDDM)
a. HLA dan jenis-jenisnya
NIDDM (tipe 2) tidak mempunyai asosiasi
dengan HLA. Telah diketahui bahwa pembentukan
antigen diatur oleh gen-gen yang terletak
pada lengan pendek kromosom ke-6 yang disebut
Major Histocompatibility Complex (MHC). Pada
manusia MHC ini disebut sebagai Human
Leucocyte System A-antigen (HLA). Sintesis
antigen dikendalikan oleh sistem genetik dan
sistem genetik diturunkan sesuai hokum
10
mendel. Antigen-antigen HLA ini diproduksi
oleh 3 kelas gen-gen (three classes of
genes):
Class I antigen: HLA-antigen mendapat
kode A,B dan C. Haplotype yang sama
memberi respon yang baik pada
transplantasi dan grafting (85 sampai
90% sukses dalam jangka panjang).
Class II antigen:
- HLA-antigen mendapat kode DP, PQ dan
DR. HLA-DRw3 dan HLA-DRw4 mempunyai
asosiasi dengan IDDM (tipe 1),
masing-masing mempunyai risiko
relatif 3,3 dan 6,4 (pakai w
dibelakang locus {seperti DRw3 dan
DRw4} berarti bahwa allele ini sudah
diakui WHO).
- Sebaliknya HLA-DR2 mempunyai asosiasi
negatif dengan diabetes mellitus,
boleh dikatakan memberi proteksi
terhadap timbulnya IDDM.
- Allele HLA-DQw 1.2 sangat protektif
terhadap timbulnya IDDM. HLA-DQ
typing diperlukan untuk accurate
assessment of susceptibility terhadap
IDDM (Baisch dkk.1990)
11
- Ada suatu allele yang langka yang
mempunyai asosiasi dengan IDDM, yaitu
HLA-BfF1, risiko relatif sekitar 15%.
Class III antigen (Complement):
terbanyak dari antigen –antigen ini tidak
mempunyai hubungan erat dengan HLA.
b. Triggering factor
Infeksi oleh virus dan mungkin juga faktor-
faktor lingkungan lain dianggap sebagai
trigerring factor untuk mulai merusak sel-sel
B (sel beta)
c. Ada 4 jenis abnormalitas imunologik:
Infiltrasi limfosit-limfosit ke
dalam pulau-pulau langerhans
(reaksi inflamatoir).
Predominasi dari limfosit-limfosit
ke dalam pulau-pulau langerhans
(reaksi inflamatoir)
Predominasi dari limfosit-limfosit
T yang mengandung molekul-molekul
HLA-DR
ICA (Islet Cell Antibodies) dalam
sirkulasi
Defisiensi dari sel-sel suppressor
T Gerich (1989) menganggap bahwa
12
IDDM disebabkan oleh dekstruksi
autoimun dari sel-sel beta.
d. Kemudian timbul diabetes yang nyata.
B. Faktor-Faktor Non-Genetik
1. Infeksi
Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger
factor pada mereka yang sudah mempunyai
predosposisi genetik terhadap diabetes
mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai
pengaruh adalah virus coxsackie, virus
encephalomiocarditis, mumps, cytomegalovirus,
mononucleosis infectiosa, varicella dan virus
hepatitis.
2. Nutrisi
a. Obesitas (nutrisi yang berlebihan): dianggap
bahwa obesitas:
Mengurangi jumlah reseptor insulin di
target cells
Menyebabkan resistensi terhadap insulin
karena perubahan-perubahan pada
postreceptor:
- Transport glukosa berkurang
- Menghalangi metabolisme glukosa
intraseluler
Menimbulkan faktor-faktor yang
bertanggung jawab terhadap
13
defek-defek seluler,berupa:
- Bertambahnya penimbunan lemak
- Bertambah masuknya enersi ke dalam
tubuh
- Komposisi diet (terutama banyak makan
lemak)
- Inaktivasi fisik
b. Malnutrisi protein, dianggap sel-sel B banyak
yang rusak. Dianggap menyebabkan
MRDM(Malnutrition Related Diabetes Mellitus)
c. Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya
pancreatitis (akut, kronik, dan relapsing)
dan obesitas.
3. Stress
Stress berupa pembedahan, infark miokard, luka
bakar dan emosi bias menyebabkan hiperglikemia
untuk sementara.
4. Obat-obat
a. Obat yang bersifat sitotoksik terhadap sel-
sel beta (B) pancreas seperti alloxan,
streptozocin dan vacorrat poison.
b. Obat yang menguragi sekresi insulin seperti
derivate thazide, diphenylhidantion,
phenotiazine.
14
Pada umumnya hiperglikemia pada diabetes
sekunder ini menghilang jika obat-obat
dihentikan.
5. Penyakit-penyakit endokrin (hormonal)
a. Sindrom chusing karena konsentrasi
hidrokortison dalam darah tinggi (juga pada
kortikostreoid eksogen).
b. Akromegali, karena jumlah Growth Hormone
(somatotropin) meninggi.
c. Glukagonom, karena konsentrasi glukgon dalam
darah meninggi.
d. Feokromositoma, karena kadar katekholamin
meniggi.
Pada umumnya diabetes-diabetes sekunder ini
menghilang jika penyakit primer dapat diatasi.
6. Penyakit-penyakit pancreas
a. Hemokromatosis: banyak destruksi dari sel-sel
pancreas. Sekitar 65% menderita diabetes.
b. Pankreatis akuta: sekitar 11% menderita
diabetes temporer, 2% permanen.
c. Karsinoma pancreas, pada 50 sampai 70%
terjadi gangguan toleransi terhadap glukosa
d. Kalsifikasi pancreas, dianggap terjadi oleh
malnutrisi baik karena alkohol maupum
malnutrisi protein. Kerusakan parenkim
15
menyebabkan defisiensi insulin dan bisa
terjadi diabetes mellitus. Kini dianggap
sebagai MRDM jenis fibrocalculous pancreatic
diabetes (FCPD).
2.1.5. Patofisiologi
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang
atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-
10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya
terjadi karena kerusakan sel sel β pulau Langerhans
yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula
yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya
virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain
sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang
dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet
Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface
antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid
decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan
pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe
1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-
diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat
16
untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β
pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh
sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans
kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel
β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-
sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ
memproduksi hormone somatostatin. Namun demikian,
nampaknya serangan otoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang
menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh
penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap
kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan
akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau
akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit.
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau
Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada
sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA,
titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya
waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif
ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase
(GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru
didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.
17
Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-
GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan
perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD
merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada
populasi risiko tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan
di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah
diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak
yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat
dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans
kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi
sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe
1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar
pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak
normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi
glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau
Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap
tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu
manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita
18
DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak
mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan
terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan
badan keton. Salah satu
masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah
rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon
sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat
fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat
terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan
masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang
tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi
insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia
yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya
adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya
asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari
lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam
lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme
glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya
di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan
menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi
insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen
yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin
19
secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen
GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan
adiposa.
B.Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih
umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM
Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini
penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat.
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh
lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan
rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi
utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan
bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung
jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan
faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
20
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe
2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat
dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara
lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang
gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM
Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik
yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan
demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM
Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh
sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin
dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus
atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
21
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi
fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada
awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya
sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan
penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara
progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita
DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya
abnormal, disebut juga
Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa
minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi
(kadar glukosa
22
plasma puasa > 140 mg/dl).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2disajikan dalam tabel 1
Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2Mula muncul Umumnya masa
kanakkanakdan remaja,walaupun ada jugapadamasa dewasa < 40
tahun
Pada usia tua,umumnya> 40 tahun
Keadaanklinis saatdiagnosis
Berat Ringan
Kadar
insulin
darah
Rendah, tak ada Cukup tinggi,
normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normalPengelolaanyangdisarankan
Terapi insulin, diet,olahraga
Diet, olahraga,hipoglikemik oral
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational
Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi
glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5%
23
wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya
terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.
Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya
kelak dapat pulih
sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat
berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat
buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi
kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir
dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping
itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar
risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan.
Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-
risiko tersebut.
2.1.6. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus mengalami
perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu
diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-
kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru
muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun
disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini
sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak
sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39
tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk
mengklasifikasikannya.
24
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes
Association) mengajukan rekomendasi mengenai
standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan
istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau
Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya.
British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah
yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.
WHO pun telah beberapa kali mengajukan
klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO
mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian
diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult
Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO
mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus
memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group
pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes
melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)
disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes
Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi
klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM
Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah
"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam
publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1
dan 2 tetap muncul.
25
Disamping dua tipe utama diabetes melitus
tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO
juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu
Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau
Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau
Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi
klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu
tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait
Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM.
Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan
membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga
memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat
kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih
berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes
Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada
tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan
Etiologinya (ADA, 2012)
1 Diabetes Mellitus Tipe 1:Destruksi sel β umumnya menjurus ke arahdefisiensi insulin absolutA. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)B. Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan resistensiinsulin disertai defisiensi
26
insulin relatif sampai yang predominan gangguansekresi insulin bersamaresistensi insulin
3 Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel β : kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3), kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1) kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1,dahulu disebut MODY 4) kromosom 17, HNF-1β (dahulu disebut MODY 5) kromosom 2, Neuro D1(dahulu disebut MODY 6) DNA mitokondria lainnyaB. Defek genetik kerja insulinC. Penyakit eksokrin pankreas:• Pankreatitis• Trauma/Pankreatektomi• Neoplasma• Cistic Fibrosis• Hemokromatosis• Pankreatopati fibro kalkulusD. Endokrinopati:1. Akromegali2. Sindroma Cushing3. Feokromositoma4. HipertiroidismeE. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid,hormon tiroid, asamnikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin,interferonF. Diabetes karena infeksiG. Diabetes Imunologi (jarang)H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter,Turner, Huntington,Chorea, Prader Willi
4 Diabetes Mellitus Gestasional
27
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,umumnya bersifatsementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DMTipe 2
Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat
digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2:
DM tipe 1 :
Mudah terjadi ketoasidosis
Pengobatan harus dengan insulin
Onset akut
Biasanya pada umur muda
Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4
Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)
Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%
30-50% kembar identik terkena
DM tipe 2 :
Tidak mudah terjadi ketoasidosis
Tidak harus dengan insulin
Onset lambat
Gemuk atau tidak gemuk
Biasanya > 45 tahun
Tak berhubungan dengan HLA
Tak ada Islet Cell Antibody (ICA)
Riwayat keluarga (+) pada 30%
± 100% kembar identik terkena
28
2.1.7. Faktor Resiko Diabetes Melitus (DM)
Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus,
terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada table 3
berikut ini.
Table 3 faktor risiko bagi penyandang pra-DM dan DM
tipe 2
Usia Risiko bertambah sejalan dengan usia.
Insidens DM tipe 2 bertambah usia (jumlah
sel β yang produktif berkurang seiring
pertambahan usia). Upayakan memeriksa gula
drah puasa jika usia telah diatas 45
tahun, atau segera jika ada faktor risiko
lain.Berat Badan BB berlebih: BMI > 25. Kelebihan BB 20%
meningkatkan risiko dua kali. Pravalensi
obesitas dan diabetes berkolerasi positif,
terutama obesitas sentral.Riwayat
keluarga
Orang tua atau saudara kandung mengidap
DM. Sekitar 40% diabetasi terbukti
terlahir dari keluarga yang juga mengidap
DM, dan lebih-kurang 60-90% kembar identik
merupakan penyandang DM.Tekanan
darah
Lebih dari 140/90 mm Hg (atau riwayat
hipertensi).Kolesterol <40 mg/dL (laki-laki) dan <50 mg/dL
29
HDL (wanita).Trigliserid
a
>250 mg/dL.
DM
kehamilan
(gestasiona
l)
Riwayat DM kehamilan atau pernah
melahirkan anak dengan BB>4 kg. Kehamilan,
trauma fisik, dan stress psikologis
menurunkan sekresi serta kepekaan insulin.Riwayat
ketidaknorm
alan
glukosa
Riwayat toleransi glukosa terganggu dan
glukosa darah puasa terganggu.
Gaya hidup Olahraga kurang dari 3 kali seminggu (atau
bahkan sedentary). Olahraga bagi diabetes
merupakan potent protective factor yang
meningkatkan kepekaan jaringan terhadap
insulin hingga 6%.Kelainan
lain
Riwayat penyakit pembuluh darah dan
sindrom ovarium polisiklik.
*Hormon yang dihasilkan selama kehamilan (dan hormone
yang disekresikan akibat stress) berpotensi mengganggu
efektivitas insulin. Berbagai obat yang digunakan untuk
terapi penyakit lain, seperti steroid, ternyata
berpotensi pula memicu diabetes.
Sumber: Henry RR,1991; Pi-Sunyer FX,1996; Wing RR,1994;
Endocr Pract, 2007; dan berbagai sumber.
30
2.1.8. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus (DM)
2.1.8.1. Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan dan rasa lemah
Penurunan berat badan biasanya relatif singkat dan
terjadi rasa lemah yang hebat. Hal ini disebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,
sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk
menghasilkan tenaga. Oleh karena itu, sumber tenaga
diambil dari cadangan lain, yaitu sel lemak dan otot,
akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan
otot sehingga menjadi kurus.
b. Poliuria
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi
akan menyebabkan banyak urin. Urin yang sering dan
dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita,
terutama pada waktu malam hari.
c. Polidipsi
Rasa haus sering dialami penderita karena
banyaknya cairan yang keluar dari urin. Penderita
menyangka rasa haus ini disebabkan karena udara yang
panas atau beban kerja yang berat sehingga penderita
minum banyak.
d. Polifagia
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah
dimetabolisasikan menjadi glukosa di dalam darah
31
tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga
penderita selalu merasa lapar.
2.1.8.2 . Keluhan Lain
a. Gangguan Saraf Tepi (Kesemutan)
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan
terutama pada kaki di waktu malam, sehingga
mengganggu tidur.
b. Gangguan Penglihatan
Gangguan ini sering terjadi pada fase awal
penyakit diabetes.
c. Gatal
Kelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi di
daerah kemaluan atau lipatan kulit, seperti ketika
dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan
timbulnya bisul dan luka yang lama sembuh. Luka ini
dapat timbul akibat hal yang sepele, seperti luka
lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
d. Gangguan Ereksi
Gangguan ini menjadi masalah tersembunyi karena
pasien sering tidak terus terang mengemukakannya. Hal
ini terkait budaya masyarakat yang masih merasa tabu
membicarakan masalah seks.
e. Keputihan
32
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan
yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan
satu-satunya gejala yang dirasakan.
2.1.9. Kriteria Diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa :
1. Kadar glukosa darah sewaktu : > 200mg/dL
2. Kadar glukosa darah puasa: > 126mg/dL
3. Kadar glukosa plasma > 200mg/dL pada 2 jam sesudah
beban glukosa.
2.1.10. Diagnosis Diabetes Melitus (DM)
Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) tahun 2007,
diagnosa diabetes melitus dapat ditegakkan dengan
beberapa kriteria yaitu:
1. Gejala diabetes klasik ( poliuri, polidipsi, dan
penurunan berat badan) ditambah dengan kadar gula
darah random >200mg/dl
2. Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl
3. Kadar glukosa OGTT ≥ 200 mg/dl
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)
3 (tiga) hari sebelum pemeriksa tetap makan
seperti keboasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa.
33
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam
hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa),
atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5
menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel
darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam
sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang
diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
Pemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan
pemeriksaan yang paling terpercaya dan convinient pada
pasien yang asimptomatik.
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai
patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL)
Bukan DM Belum
pasti DM
DM
Kadar
glukosa
darah
Plasma
vena
< 100 100-199 ≥ 200
Darah < 90 90-199 ≥ 200
34
sewaktu
(mg/dL)
kapiler
Kadar
glukosa
darah
puasa
(mg/dL)
Plasma
vena
< 100 100-125 ≥ 126
Drah
kapiler
< 90 90-99 ≥ 100
(Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, 2006)
Tabel 5. Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu
≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir
Atau2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah
puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam.3. Kadar glukosa darah pada 2 jam pada TTGO
≥200 mg/dL (11,1 mml/L) TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 g glukosa
anhidrus yang dilarutkan kedalam air.
35
2.1.11. Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang
secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target
utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam
kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya
komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan penatalaksanaan diabetes (Tabel 6)
Tabel 6. Target Penatalaksanaan Diabetes
ParameterKadar Ideal Yang
DiharapkanKadar Glukosa Darah Puasa
Kadar Glukosa Plasma Puasa
Kadar Glukosa Darah Saat
Tidur
(Bedtime blood glucose)
80–120mg/dl
90–130mg/dl
100–140mg/
36
Kadar Glukosa Plasma Saat
Tidur (Bedtime plasma glucose)
110–150mg/dl
Kadar Insulin <7 %Kadar HbA1c
Kadar Kolesterol HDL
<7mg/dl
>45mg/dl (pria)
Kadar Kolesterol HDL
Kadar Trigliserida
>55mg/dl (wanita)
<200mg/dlTekanan Darah <130/80mmHg
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam
penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa
obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa
pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah
pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,
dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa
terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya.
Bersamaan dengan itu, apa pun langkah
penatalaksanaan yang diambil,satu faktor yang tak boleh
ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada
penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik
37
dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis
lainnya.
A. TERAPI TANPA OBAT
1. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan
gizi baik sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang
pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan
telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus
glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c
sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status
DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan
hidup.
38
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan
juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap
diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.
Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,
yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein
sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama
daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak
mengandung lemak.
Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.
Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,
makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh
juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap
dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang
berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti
sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin
dan mineral.
Penentuan Kebutuhan Kecukupan Energi
1.Teori RBW (teori berat badan relatif)
RBW = BB (Kg) x 100 %
TB (cm) –100
39
BB = Berat Badan
TB = Tinggi Badan
A. Kriteria
•Kurus (underweight): BBR < 90%
•Normal (ideal): BBR 90 –110%
•Gemuk (overweight): BBR > 110%
•Obesitas: BBR > 120%
B. Pedoman jumlahkaloriyang
diperlukanseharibagipenderitaDM
•Kurus: BB x 40-60 kalori
•Normal: BB x 30 kalori
•Gemuk: BB x 20 kalori
•Obesitas: BB x 10 –15 kalori
Kalori untuk ibu hamil ditambah 100 kalori (trisemester I) ditambah 200 kalori (tri semester II),ditambah 300 kalori (tri semester III)
•Bagi yang menyusui ditambah 400 kalori per hari
•Perhitungan dengan RBW biasa digunakan untukmenghitung kebutuhan energi penderita DM
•Kelemahan menggunakan teori RBW adalah jenis kelamindan umur tidak diakomodasikan
40
B.Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan
menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada
dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk
penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga
berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur
akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga
yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi
maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain
jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain \
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan
selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-
10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan
juga meningkatkan penggunaan glukosa.
2. Obat-obatan penurun kadar gula darah
Terapi farmakologis ditambahkan jika sasaran
glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan
41
dan latihan jasmani. Terapi farmakologik tersebutdapat
berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan insulin.
A. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dapat dibagi
menjadi 4 golongan:
1. Golongan pemicu sekresi insulin (insulin
secretagogue), contoh sulfonylurea dan glinid.
Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan:
- Menstimulasi penglepasan insulin yang
tersimpan
- Menurunkan ambang sekresi insulin
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat
rangsangan glukosa.
Obat golongan ini bisasanya diberikan pada pasien
dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada
pasien yang beratnya lebih sedikit.
2. Golongan penambah sensitivitas terhadap insulin,
contoh tiazolidindion dan metformin.
- Tiazolidindion mengurangi keluarnya asam
lemak menuju otot, dan karenanya mengurangi
resistensi insulin.
- Metformin menurunkan produksi glukosa di
hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan
otot dan adiposa terhadap insulin.
(farmakologi UI).
42
3. Golongan penghambat glukosidase alfa contohnya
Acarbose
- Obat golongan ini berkerja dengan
memperlambat absorbsi polisakarida (starch),
dekstrin, dan disakarida di intestin.
4. Insulin
Disamping pemberian insulin secara
konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin
kerja cepat, insulin juga dapat diberikan dalam
dosis terbagi, insulin kerja menengah dua kali
sehari dan kemudian diberikan campuran insulin
kerja cepat dimana perlu sesuai dengan respon
kadar glukosa darahnya.
Indikasi penggunaan insulin :
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir
maksimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi
besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraidikasi dan atau alergi terhadap OHO
43
2.1.12. Komplikasi Diabetes Melitus (DM)
Komplikasi akut diabetes melitus
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan
saraf yang disebaakan penurunan glukosa darah. Gejala
ini dapat ringan berupa gelisah, sampai dengan berat
berupa koma disertai kejang.Penyebab terseing
hipoglikemia pada pasien DM adalah obat golongan
sulfonilurea. Tanda hipoglikemia muncul bila glukosa
darah <50 mg/dl.
2. Ketoasidosis diabetik
KAD merupakan defisisnsi insulin berat dan
akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes mellitus.
Timbulnya KAD merupakan ancaman bagi penderita DM. Pada
DKA tubuh tidak dapat menggunakan sumber glukosa maka
lemak pun dipecah dalam lipolisis untuk menghasilkan
energi dan menghasilkan ketone. Tanda- tanda dari DKA
adalah :
Hyperglikemia > 300 mg/dl
Bicarbonat < 15 mEq/L
Asidosis (pH < 7,3) dengan ketonemia dan
ketonuria.
3. Hyperglycemic hyperosmolar state
Hyperglycemic hyperosmolar state adalah suatu
sindrome yang ditandai denagn hiperglikemik berat,
44
hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoacidosis
disertai penurunan kesadaran.
Komplikasi kronis DM
1. Komplikasi Mikrovaskular
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang
berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan
atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada
kebutaan.Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok,
yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif.
Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal
dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya
hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat
diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik,
sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat
diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan
akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan
kadar gula darah yang terlalu singkat.
Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan
penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab
terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang
45
spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan
ginjal yang progresif.
Nefropati diabetic ditandai dengan adanya
proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat
retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan
kontrol tekanan darah.
Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika,
kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih
50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom.
Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana
terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-
gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya
adalah serabut saraf tungkai atau lengan.
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan
disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya
peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan
myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga
menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi
segmental, atau atrofi axonal.
46
2. Komplikasi Makrovaskular
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab
mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes.
Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes.Stroke lebih sering timbul dan dengan
prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan
arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat
iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
Penyakit Jantung Koroner
Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-
70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner
timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri
dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan
didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan
akan mereda seetlah beristirahat atau mendapat nitrat
sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan
tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-
47
gejala MI dapat tidak timbul pada pendenita diabetes
sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
Pembuluh darah perifer (kaki diabetes)
Terjadinya masalah kaki diawali dengan adanya
hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan
kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah..
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada
kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan tejadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah
merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah
yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes.
Klasifikasi Kaki Diabetes
Klasifikasi berdasarkan pada perjalanan alamiah
kaki diabetes (Edmonds 2004-2005)
Stage 1 : Normal foot
Stage 2 : High Risk Foot
Stage 3 : Ulcerated Foot
Stage 4 : Infected Foot
Stage 5 : Necrotic Foot
Stage 6 : Unsalvable Foot
48
Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer
sangat penting, dan semuanya dapat dikerjakan pada
pelayanan kesehatan primer.
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan
perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih
memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialitik
Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat
inap, dan jelas sekali memerlukan suatu tim dimana
harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah
vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.
2.2. EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan
abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu
adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau
karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung
dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama
pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik
dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin,
glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi
penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,
peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein.
Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi
juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan
49
berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin.
Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.
Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon
katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade
aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi
(fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon
stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian
konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)
2.3. PENILAIAN PRABEDAH
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian
fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf
pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status
metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian
laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa,
elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi
kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal
kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien
diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai
insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan
pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.
Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin
pada peralatan pra bedah.
50
2.4. PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi
dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat
anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi
dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat
mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme
karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum
jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis
glukosa perioperatif. Etomediat menghambat
steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui
aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah
kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon
hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per
liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien
diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan
juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan
dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini
akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang
sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan
respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal
jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi
dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu
melalui infus intravena pada pasien di ICU.
51
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak
hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga
keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara
efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan
sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek
langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi.
Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan
akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien
normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.
Eter dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah
efek insulin untuk transport glukosa menyeberang
membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan
aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis
di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien
cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya
terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan
kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat
menghambat pelepasan insulin dalam merespon
hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya
terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan
enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap
kadar gula darah.
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak
diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan
kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
52
Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat
jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya
sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada
pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi
jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena
yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti
terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang
menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek
simpatomimetiknya.
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan
dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek
pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan
pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada
ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,
teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan
tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih
efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam
mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan
kortisol yang disebabkan tindakan operasi.
2.6. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM
Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan
spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang
lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan
sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa
perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang
53
dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat
stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh
anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif,
suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,
menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan
menghilangkan penekanan sekresi insulin secara
parstal.
Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri,
atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak
keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan
pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor.
Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih
besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.
Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat
gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,
serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan
gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan
teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural
lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan
epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang
timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan
dengan komplikasi anestesia dan blok regional.
Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat
menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera
saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes
mellitus.
54
2.7. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF
Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan
elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk
mencegah metabolisme katabolik dan
ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah
hiperglikemia.
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada
penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :
1. Gula darah puasa > 180 mg/dl
2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
3. Lama pembedahan lebih 2 jam
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif
untuk pasien DM. Yang paling sering :t digunakan adalah
pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis
total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja
sedang:
55
Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk
tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM
Pemberian secara
bolus
Infus kontinyu
Preoperatif D5W (1,5
ml/kg/jam)
NPH insulin (1/2
dosis biasa pagi
hari) (NPH=neutral
protamine Hagedorn)
D5W (1 ml/kg/jam)
Regular insulin
Unit/jam =
Glukosa plasma :
150
Intraoperattf Regular
insulin
(berdasarkan
sliding scale)
Sama dengan
preoperatif
Pascaoperatif Sama dengan
intraoperatif
Sama dengan
preoperatif
2.8. PERAWATAN PASCA BEDAH
Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan
sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah
boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya
setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek.
56
Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin
harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan
padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan
subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin
kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48
jam pertama setelah infus glukosa dan insulin
dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien
dilanjutkan.
Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah
terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau
penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah
pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial
dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM
tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark
miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai
mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status
mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau
disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
infark miokard.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Arisma. Obesitas, Diabetes Mellitus dan
Dislipidemia. Jakarta: EGC, 2008: 44-5,47
2. Soegondo, Suwondo, Soebekti. 2011. Penatalaksanaan
Diabetes Mellitus Terpadu. FKUI press: Jakarta,
151-175
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2006 : 1852-
3, 1857-59
4. American Diabetes Association. Diagnosis dan
Classification of Diabetes Mellitus.
http://www.care.diabetesjournals.org. Accesed Juni
10,2012.
5. Pharmaceutica Ceutical Care staff. Pharmaceutica
Ceutical Care Untuk Diabetes Mellitus.
http://www.Pdf.com .Acessed Juni 10,2012.
6. Permana H. 2011. Komplikasi Kronik dan Penyakit
Penyerta pada Diabetes.(diakses dari :
pustaka.unpad.ac.id)
7.
http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.
full
58
8.
http://www.staff.ncl.ac.uk/philip.home/who_dmc.htm