of 58 /58
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus kini benar-benar telah menapaki era kesejagatan, dan menjadi kesehatan dunia. Insidens dan pravalensi penyakit ini tidak pernah berhenti mengalir, terutama di negara sedang berkembang dan negra yang terlanjur memasuki budaya industrialisasi. Jumlah diabetasi didunia yang tercatat pada tahun 1990 baru mencapai angka 80 juta (Zimmet, 1991), yang secara mencengangkan melompat ke angka 110,4 juta empat tahun kemudian (Zimmet, 1994). Menjelang tahun 2010, angka ini diperkirakan mennggelembung hingga 239,3 juta, dan di duga akan terus melambung hingga menyentuh angka 300 juta pada tahun 2025. Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar negara dengan jumlah diabetasi terbanyak. Pada tahun 1995, negara yang tergolong tengah berkembang ini baru menempati peringkat ke-7, dengan jumlah pengidap diadetes sebanyak 4,5 juta jiwa. Peringkat ini diprediksi akan naik dua tingkat (menjadi peringkat ke- 5) pada tahun 2025, dengan prakiraan jumlah pengidap sebanyak 12,4 juta jiwa (International Diabetes Monitor, April 1999). Pravalensi DM di Jakarta pada tahun 1982 hanya menunjukkan angka 1,7%,/;selanjutnya,

BAB 1-2 DM

  • Upload
    isif

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of BAB 1-2 DM

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes mellitus kini benar-benar telah menapaki

era kesejagatan, dan menjadi kesehatan dunia. Insidens

dan pravalensi penyakit ini tidak pernah berhenti

mengalir, terutama di negara sedang berkembang dan

negra yang terlanjur memasuki budaya industrialisasi.

Jumlah diabetasi didunia yang tercatat pada tahun 1990

baru mencapai angka 80 juta (Zimmet, 1991), yang secara

mencengangkan melompat ke angka 110,4 juta empat tahun

kemudian (Zimmet, 1994). Menjelang tahun 2010, angka

ini diperkirakan mennggelembung hingga 239,3 juta, dan

di duga akan terus melambung hingga menyentuh angka 300

juta pada tahun 2025.

Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar

negara dengan jumlah diabetasi terbanyak. Pada tahun

1995, negara yang tergolong tengah berkembang ini baru

menempati peringkat ke-7, dengan jumlah pengidap

diadetes sebanyak 4,5 juta jiwa. Peringkat ini

diprediksi akan naik dua tingkat (menjadi peringkat ke-

5) pada tahun 2025, dengan prakiraan jumlah pengidap

sebanyak 12,4 juta jiwa (International Diabetes

Monitor, April 1999). Pravalensi DM di Jakarta pada

tahun 1982 hanya menunjukkan angka 1,7%,/;selanjutnya,

2

presentase ini terus berloncatan ke angka 5,7% dan

13,6%, berturut-turut pada tahun 1992 dan

2001(Farmacia, Mei 2003).

Penyakit ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

DM tipe 1 dam DM tipe 2 (WHO Study Group on Diabetes

Mellitus,1995), DM tipe 2 menempati lebih dari 90%

kasus di negara maju (Harris dan Zammet, 1992). Di

negara sedang berkembang, hampir seluruh diabetesi

tergolong sebagai penyandang DM tipe 2-40% diantaranya

terbukti berasal dari kelompok masyarakat yang

terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi

modern (Zimmer et al,1990; king et al, 1993). Gaya

hidup modern yang dapat dilihat pada sebagian keluarga

di perkotaan, saat dengan alat bantu elektronik

sehingga meminimalkan gerak fisik. Berkurangnya kerja

otot lurik,yang dibarengi semakin meningkatnya asupan

pangan padat kalori dan kaya akan lemak, menyebabkan

obesitas pada gilirannya akan menjelma menjadi DM tipe

2 (Park et al, 1991).

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakterisktik hiperglikemi

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada

diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama

mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World

3

Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa

DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam

satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum

dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomi

dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat

defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan

fungsi insulin.

BAB II

4

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Diabetes Melitus

2. 1.1 Defenisi

Menurut American Diabetes Associaton (ADA) 2012,

Diabetes Mellitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada

diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,

disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama

mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.

Sedangkan menurut WHO (1999) , Diabetes Mellitus (DM)

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai

dengantingginya kadar gula darah disertai dengan

gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.

Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh

gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel

beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh

kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin

(WHO, 1999).

2.1.2. FISIOLOGI METABOLISME GLUKOSA

5

Metabolisme glukosa adalah salah satu fungsi

penting hepar,pankreas dan sebagian jaringan

perifer.Hepar memegang peranan penting pada regulasi

glukosa, mengambil glukosa dan menyimpannya dalam

bentuk glikogen serta melakukan glukoneogenesis dan

glikogenolisis. Pankreas mensekresi hormon regulator:

insulin dari kumpulan sel beta menurunkan konsentrasi

gula darah, sebaliknya glukagon dari kumpulan sel alfa

meningkatkan konsentrasi gula darah. Kontributor

lainnya adalah hormon katabolik: epinefrin,

glukokortikoid dan growth hormon, semuanya meningkatkan

gula darah.

Regulasi glukosa bertujuan mempertahankan fungsi

glukosa pada jaringan. Sebagai contoh: pada saat puasa

sekrersi insulin menurun dan level hormon katabolik

meningkat. Pada kasus defisiensi insulin absolut(DM

tipe 1) aktifitas katabolik menyebabkan hiperglikemia

dan dapat terjadi diabetes ketoasidosis. Tipe 2

ditandai dengan resistensi insulin di perifer dan

secara keseluruhan jarang dihubungkan dengan

ketoasidosis.

2.1.3. Epidemiologi

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai tahun

delapan puluhan telah dilaksanakan di berbagai kota di

Indonesia, pravalensi diabetes berkisar antara 1,5% s.d

2,3%, kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar 6%.

6

Hasil penelitian epidemiologi berikutnya tahun 1993 di

Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan

pravalensi DM dari 1,7% pada tahun 2001 di Depok,

daerah sub- urban di selatan Jakarta menjadi 12,8%.

Demikian pula pravalensi DM di Ujung Pandang (daerah

urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi

3,5% pada tahun 1998 dan terakhir pada tahun 2005

menjadi 12,5%.

Di daerah rural yang dilakukan oleh Arifindi suatu

kota kecil di Jawa Barat angka itu hanya 1,1%. Di suatu

daerah terpencil di Tanah Toraja didapatkan pravalensi

DM hanya 0,8%. Di sini jelas ada perbedaan antara urban

dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi

kejadian diabetes. Di Jawa Timur angka itu tidak

berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% do daerah

rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya pravalensi

Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) yang

sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pancreas

di Jawa Timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di

daerah rural.

Melihat tendensi kenaikan pravalensi diabetes

secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan

oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka

dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau

lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang

akan dating kekerapan DM tipe 2 di Indonesia akan

7

meningkat dengan drastic, yang disebabkan oleh beberapa

faktor:

1. Fator keturunan(genetik)

2. Faktor kegemukan/obesitas

Perubahan gaya hidup dari tradisional ke

gaya hidup barat

Makan berlebihan

Hidup santai, kurang gerak badan

3. Faktor demografi

Jumlah penduduk meningkat

Urbanisasi

Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat

4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

Dalam Diabetes Atlas 2000 (International

Diabetes Federation) tercantum perkiraan

penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125

juta dan dengan asumsi pravalensi DM sebesar

4,6% diperkirakan pada tahun 2000 berjumlah 5,6

juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk

seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020

nanti aka nada sejumlah 178 juta penduduk

berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi

pravalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2

juta pasien diabetes.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang

Depkes yang hasilnya baru saja dikeluarkan bulan

8

Desember 2008 menunjukkan bahwa pravalensi nasional

untuk TGT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5% terdiri dari

pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya,

sedangkan sisanya 4,2% baru ketahuan diabetes saat

penelitian).

Dengan hasil penelitian ini maka kita sekarang

untuk pertama kali punya angka pravalensi nasional.

Sekadar untuk perbandingan menurut IDF pada tahun 2006

angka pravalensi Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9%

jadi Indonesia berada diantaranya. Di Malaysia, negara

tetangga/serumpun Indonesia terdekat, pada 3rd National

Health and Mortality & Morbidity Survey in Malaysia

2006 didapatkan pravalensi yang tinggi yaitu 14,90%,

tetapi survey itu dilakukan pada individu diatas 30

tahun, sedangkan di Indonesia populasi survey

melibatkan individu 15 tahun keatas.

2.1.4. Etiologi

Etiologi diabetes mellitus dapat kita bagi dalam

dua golongan besar,yaitu:

A. Faktor Genetik

Bahwa ada faktor keturunan pada diabetes mellitus

sudah lama diketahui tetapi bagaimana terjadi

transmisi-transmisi dari seorang penderita ke anggota

lain belum diketahui. Ada yang menyatakan bahwa

9

diabetes diturunkan secara resesif dan ada pula yang

menerangkan transmisi ini secara overdominant.

1. Kembar identik

WHO Expert Comittee on Diabetes Mellitus (1980)

melaporkan bahwa dari sejumlah kembar identik yang

salah seorang menderita IDDM (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus = tipe 1) 50% dari pasangannya

kemudian juga menderita diabetes mellitus. Dari kembar

identik yang salah menderita NIDDM (Non-Insulin

Dependent Mellitus = tipe 2) lebih banyak lagi yang

kemudian juga menderita diabetes, yaitu 88%. Perbedaan

dalam kejadian IDDM dan NIDDM pada para kembar identik

menunjukkan bahwa faktor lingkungan mungkin mempunyai

pengaruh terhadap diabetes mellitus dan infeksi oleh

virus termasuk salah satu faktor lingkungan.

1. Faktor genetik (hanya untuk IDDM)

a. HLA dan jenis-jenisnya

NIDDM (tipe 2) tidak mempunyai asosiasi

dengan HLA. Telah diketahui bahwa pembentukan

antigen diatur oleh gen-gen yang terletak

pada lengan pendek kromosom ke-6 yang disebut

Major Histocompatibility Complex (MHC). Pada

manusia MHC ini disebut sebagai Human

Leucocyte System A-antigen (HLA). Sintesis

antigen dikendalikan oleh sistem genetik dan

sistem genetik diturunkan sesuai hokum

10

mendel. Antigen-antigen HLA ini diproduksi

oleh 3 kelas gen-gen (three classes of

genes):

Class I antigen: HLA-antigen mendapat

kode A,B dan C. Haplotype yang sama

memberi respon yang baik pada

transplantasi dan grafting (85 sampai

90% sukses dalam jangka panjang).

Class II antigen:

- HLA-antigen mendapat kode DP, PQ dan

DR. HLA-DRw3 dan HLA-DRw4 mempunyai

asosiasi dengan IDDM (tipe 1),

masing-masing mempunyai risiko

relatif 3,3 dan 6,4 (pakai w

dibelakang locus {seperti DRw3 dan

DRw4} berarti bahwa allele ini sudah

diakui WHO).

- Sebaliknya HLA-DR2 mempunyai asosiasi

negatif dengan diabetes mellitus,

boleh dikatakan memberi proteksi

terhadap timbulnya IDDM.

- Allele HLA-DQw 1.2 sangat protektif

terhadap timbulnya IDDM. HLA-DQ

typing diperlukan untuk accurate

assessment of susceptibility terhadap

IDDM (Baisch dkk.1990)

11

- Ada suatu allele yang langka yang

mempunyai asosiasi dengan IDDM, yaitu

HLA-BfF1, risiko relatif sekitar 15%.

Class III antigen (Complement):

terbanyak dari antigen –antigen ini tidak

mempunyai hubungan erat dengan HLA.

b. Triggering factor

Infeksi oleh virus dan mungkin juga faktor-

faktor lingkungan lain dianggap sebagai

trigerring factor untuk mulai merusak sel-sel

B (sel beta)

c. Ada 4 jenis abnormalitas imunologik:

Infiltrasi limfosit-limfosit ke

dalam pulau-pulau langerhans

(reaksi inflamatoir).

Predominasi dari limfosit-limfosit

ke dalam pulau-pulau langerhans

(reaksi inflamatoir)

Predominasi dari limfosit-limfosit

T yang mengandung molekul-molekul

HLA-DR

ICA (Islet Cell Antibodies) dalam

sirkulasi

Defisiensi dari sel-sel suppressor

T Gerich (1989) menganggap bahwa

12

IDDM disebabkan oleh dekstruksi

autoimun dari sel-sel beta.

d. Kemudian timbul diabetes yang nyata.

B. Faktor-Faktor Non-Genetik

1. Infeksi

Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger

factor pada mereka yang sudah mempunyai

predosposisi genetik terhadap diabetes

mellitus. Virus-virus yang dianggap mempunyai

pengaruh adalah virus coxsackie, virus

encephalomiocarditis, mumps, cytomegalovirus,

mononucleosis infectiosa, varicella dan virus

hepatitis.

2. Nutrisi

a. Obesitas (nutrisi yang berlebihan): dianggap

bahwa obesitas:

Mengurangi jumlah reseptor insulin di

target cells

Menyebabkan resistensi terhadap insulin

karena perubahan-perubahan pada

postreceptor:

- Transport glukosa berkurang

- Menghalangi metabolisme glukosa

intraseluler

Menimbulkan faktor-faktor yang

bertanggung jawab terhadap

13

defek-defek seluler,berupa:

- Bertambahnya penimbunan lemak

- Bertambah masuknya enersi ke dalam

tubuh

- Komposisi diet (terutama banyak makan

lemak)

- Inaktivasi fisik

b. Malnutrisi protein, dianggap sel-sel B banyak

yang rusak. Dianggap menyebabkan

MRDM(Malnutrition Related Diabetes Mellitus)

c. Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya

pancreatitis (akut, kronik, dan relapsing)

dan obesitas.

3. Stress

Stress berupa pembedahan, infark miokard, luka

bakar dan emosi bias menyebabkan hiperglikemia

untuk sementara.

4. Obat-obat

a. Obat yang bersifat sitotoksik terhadap sel-

sel beta (B) pancreas seperti alloxan,

streptozocin dan vacorrat poison.

b. Obat yang menguragi sekresi insulin seperti

derivate thazide, diphenylhidantion,

phenotiazine.

14

Pada umumnya hiperglikemia pada diabetes

sekunder ini menghilang jika obat-obat

dihentikan.

5. Penyakit-penyakit endokrin (hormonal)

a. Sindrom chusing karena konsentrasi

hidrokortison dalam darah tinggi (juga pada

kortikostreoid eksogen).

b. Akromegali, karena jumlah Growth Hormone

(somatotropin) meninggi.

c. Glukagonom, karena konsentrasi glukgon dalam

darah meninggi.

d. Feokromositoma, karena kadar katekholamin

meniggi.

Pada umumnya diabetes-diabetes sekunder ini

menghilang jika penyakit primer dapat diatasi.

6. Penyakit-penyakit pancreas

a. Hemokromatosis: banyak destruksi dari sel-sel

pancreas. Sekitar 65% menderita diabetes.

b. Pankreatis akuta: sekitar 11% menderita

diabetes temporer, 2% permanen.

c. Karsinoma pancreas, pada 50 sampai 70%

terjadi gangguan toleransi terhadap glukosa

d. Kalsifikasi pancreas, dianggap terjadi oleh

malnutrisi baik karena alkohol maupum

malnutrisi protein. Kerusakan parenkim

15

menyebabkan defisiensi insulin dan bisa

terjadi diabetes mellitus. Kini dianggap

sebagai MRDM jenis fibrocalculous pancreatic

diabetes (FCPD).

2.1.5. Patofisiologi

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang

atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-

10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya

terjadi karena kerusakan sel sel β pulau Langerhans

yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula

yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya

virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain

sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang

dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet

Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface

antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid

decarboxylase).

ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan

pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe

1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-

diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,

keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat

16

untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β

pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh

sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans.

Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans

kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel

β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-

sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ

memproduksi hormone somatostatin. Namun demikian,

nampaknya serangan otoimun secara selektif

menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang

menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh

penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap

kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan

akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β

pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau

akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun

sejalan dengan perjalanan penyakit.

Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau

Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada

sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA,

titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya

waktu. Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif

ICSA.

Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase

(GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru

didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.

17

Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-

GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan

perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD

merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada

populasi risiko tinggi.

Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan

di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah

diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin

Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak

yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat

dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi

insulin.

Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans

kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi

sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang

menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe

1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar

pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak

normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi

glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau

Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan

menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM

Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap

tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini

memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu

manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita

18

DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak

mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi

somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan

terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan

badan keton. Salah satu

masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah

rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon

sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat

menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat

fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat

terapi insulin.

Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan

masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang

tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan

kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi

insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia

yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya

adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya

asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari

lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam

lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme

glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya

di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan

menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi

insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen

yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin

19

secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen

GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor

glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan

adiposa.

B.Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih

umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM

Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari

keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya

berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini

penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak

populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang

belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh

lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM

tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan

rendah serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu

faktor pradisposisi

utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan

bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung

jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang merupakan

faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.

20

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe

2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat

dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,

disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal

patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh

kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel

sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin

secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai

“Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi

di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara

lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang

gerak (sedentary), dan penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM

Tipe 2 dapat juga timbul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik

yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi

pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun

sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan

demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM

Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh

sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan

terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin

dalam dua fase. Fase

pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus

atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan

21

meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi

fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada

awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan

gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya

sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin

Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan

penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami

kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara

progresif, yang seringkali akan mengakibatkan

defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita

memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir

menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya

ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi

insulin dan defisiensi insulin.

Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita

DM Tipe 2 dapat dibagi

menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya

abnormal, disebut juga

Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa

minimal (kadar glukosa

plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi

(kadar glukosa

22

plasma puasa > 140 mg/dl).

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1dengan DM Tipe 2disajikan dalam tabel 1

Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2Mula muncul Umumnya masa

kanakkanakdan remaja,walaupun ada jugapadamasa dewasa < 40

tahun

Pada usia tua,umumnya> 40 tahun

Keadaanklinis saatdiagnosis

Berat Ringan

Kadar

insulin

darah

Rendah, tak ada Cukup tinggi,

normal

Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normalPengelolaanyangdisarankan

Terapi insulin, diet,olahraga

Diet, olahraga,hipoglikemik oral

C. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational

Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi

glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya

berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5%

23

wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya

terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.

Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya

kelak dapat pulih

sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat

berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat

buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi

kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir

dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping

itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar

risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan.

Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-

risiko tersebut.

2.1.6. Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus mengalami

perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu

diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya

(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-

kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru

muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun

disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini

sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak

sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39

tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk

mengklasifikasikannya.

24

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes

Association) mengajukan rekomendasi mengenai

standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan

istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau

Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya.

British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah

yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes,

Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.

WHO pun telah beberapa kali mengajukan

klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO

mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian

diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult

Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO

mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus

memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group

pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes

melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)

disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-

Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes

Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi

klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM

Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah

"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-

Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam

publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1

dan 2 tetap muncul.

25

Disamping dua tipe utama diabetes melitus

tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO

juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu

Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau

Impaired Glucose

Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau

Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi

klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu

tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait

Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM.

Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan

membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-

Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga

memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat

kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih

berdasarkan etiologi penyakitnya. Klasifikasi Diabetes

Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada

tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan

Etiologinya (ADA, 2012)

1 Diabetes Mellitus Tipe 1:Destruksi sel β umumnya menjurus ke arahdefisiensi insulin absolutA. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)B. Idiopatik

2 Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan resistensiinsulin disertai defisiensi

26

insulin relatif sampai yang predominan gangguansekresi insulin bersamaresistensi insulin

3 Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel β : kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3), kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1) kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1,dahulu disebut MODY 4) kromosom 17, HNF-1β (dahulu disebut MODY 5) kromosom 2, Neuro D1(dahulu disebut MODY 6) DNA mitokondria lainnyaB. Defek genetik kerja insulinC. Penyakit eksokrin pankreas:• Pankreatitis• Trauma/Pankreatektomi• Neoplasma• Cistic Fibrosis• Hemokromatosis• Pankreatopati fibro kalkulusD. Endokrinopati:1. Akromegali2. Sindroma Cushing3. Feokromositoma4. HipertiroidismeE. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid,hormon tiroid, asamnikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin,interferonF. Diabetes karena infeksiG. Diabetes Imunologi (jarang)H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter,Turner, Huntington,Chorea, Prader Willi

4 Diabetes Mellitus Gestasional

27

Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,umumnya bersifatsementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DMTipe 2

Dibawah ini ada beberapa karakteristik yang dapat

digunakan untuk membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2:

DM tipe 1 :

Mudah terjadi ketoasidosis

Pengobatan harus dengan insulin

Onset akut

Biasanya pada umur muda

Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4

Didapatkan Islet Cell Antibody (ICA)

Riwayat keluarga diabetes (+) pada 10%

30-50% kembar identik terkena

DM tipe 2 :

Tidak mudah terjadi ketoasidosis

Tidak harus dengan insulin

Onset lambat

Gemuk atau tidak gemuk

Biasanya > 45 tahun

Tak berhubungan dengan HLA

Tak ada Islet Cell Antibody (ICA)

Riwayat keluarga (+) pada 30%

± 100% kembar identik terkena

28

2.1.7. Faktor Resiko Diabetes Melitus (DM)

Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus,

terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada table 3

berikut ini.

Table 3 faktor risiko bagi penyandang pra-DM dan DM

tipe 2

Usia Risiko bertambah sejalan dengan usia.

Insidens DM tipe 2 bertambah usia (jumlah

sel β yang produktif berkurang seiring

pertambahan usia). Upayakan memeriksa gula

drah puasa jika usia telah diatas 45

tahun, atau segera jika ada faktor risiko

lain.Berat Badan BB berlebih: BMI > 25. Kelebihan BB 20%

meningkatkan risiko dua kali. Pravalensi

obesitas dan diabetes berkolerasi positif,

terutama obesitas sentral.Riwayat

keluarga

Orang tua atau saudara kandung mengidap

DM. Sekitar 40% diabetasi terbukti

terlahir dari keluarga yang juga mengidap

DM, dan lebih-kurang 60-90% kembar identik

merupakan penyandang DM.Tekanan

darah

Lebih dari 140/90 mm Hg (atau riwayat

hipertensi).Kolesterol <40 mg/dL (laki-laki) dan <50 mg/dL

29

HDL (wanita).Trigliserid

a

>250 mg/dL.

DM

kehamilan

(gestasiona

l)

Riwayat DM kehamilan atau pernah

melahirkan anak dengan BB>4 kg. Kehamilan,

trauma fisik, dan stress psikologis

menurunkan sekresi serta kepekaan insulin.Riwayat

ketidaknorm

alan

glukosa

Riwayat toleransi glukosa terganggu dan

glukosa darah puasa terganggu.

Gaya hidup Olahraga kurang dari 3 kali seminggu (atau

bahkan sedentary). Olahraga bagi diabetes

merupakan potent protective factor yang

meningkatkan kepekaan jaringan terhadap

insulin hingga 6%.Kelainan

lain

Riwayat penyakit pembuluh darah dan

sindrom ovarium polisiklik.

*Hormon yang dihasilkan selama kehamilan (dan hormone

yang disekresikan akibat stress) berpotensi mengganggu

efektivitas insulin. Berbagai obat yang digunakan untuk

terapi penyakit lain, seperti steroid, ternyata

berpotensi pula memicu diabetes.

Sumber: Henry RR,1991; Pi-Sunyer FX,1996; Wing RR,1994;

Endocr Pract, 2007; dan berbagai sumber.

30

2.1.8. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus (DM)

2.1.8.1. Keluhan Klasik

a. Penurunan berat badan dan rasa lemah

Penurunan berat badan biasanya relatif singkat dan

terjadi rasa lemah yang hebat. Hal ini disebabkan

glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,

sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan tenaga. Oleh karena itu, sumber tenaga

diambil dari cadangan lain, yaitu sel lemak dan otot,

akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan

otot sehingga menjadi kurus.

b. Poliuria

Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi

akan menyebabkan banyak urin. Urin yang sering dan

dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita,

terutama pada waktu malam hari.

c. Polidipsi

Rasa haus sering dialami penderita karena

banyaknya cairan yang keluar dari urin. Penderita

menyangka rasa haus ini disebabkan karena udara yang

panas atau beban kerja yang berat sehingga penderita

minum banyak.

d. Polifagia

Kalori dari makanan yang dimakan, setelah

dimetabolisasikan menjadi glukosa di dalam darah

31

tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga

penderita selalu merasa lapar.

2.1.8.2 . Keluhan Lain

a. Gangguan Saraf Tepi (Kesemutan)

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan

terutama pada kaki di waktu malam, sehingga

mengganggu tidur.

b. Gangguan Penglihatan

Gangguan ini sering terjadi pada fase awal

penyakit diabetes.

c. Gatal

Kelainan kulit berupa gatal biasanya terjadi di

daerah kemaluan atau lipatan kulit, seperti ketika

dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan

timbulnya bisul dan luka yang lama sembuh. Luka ini

dapat timbul akibat hal yang sepele, seperti luka

lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.

d. Gangguan Ereksi

Gangguan ini menjadi masalah tersembunyi karena

pasien sering tidak terus terang mengemukakannya. Hal

ini terkait budaya masyarakat yang masih merasa tabu

membicarakan masalah seks.

e. Keputihan

32

Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan

yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan

satu-satunya gejala yang dirasakan.

2.1.9. Kriteria Diagnostik DM dan gangguan toleransi

glukosa :

1. Kadar glukosa darah sewaktu : > 200mg/dL

2. Kadar glukosa darah puasa: > 126mg/dL

3. Kadar glukosa plasma > 200mg/dL pada 2 jam sesudah

beban glukosa.

2.1.10. Diagnosis Diabetes Melitus (DM)

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) tahun 2007,

diagnosa diabetes melitus dapat ditegakkan dengan

beberapa kriteria yaitu:

1. Gejala diabetes klasik ( poliuri, polidipsi, dan

penurunan berat badan) ditambah dengan kadar gula

darah random >200mg/dl

2. Kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl

3. Kadar glukosa OGTT ≥ 200 mg/dl

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1985)

3 (tiga) hari sebelum pemeriksa tetap makan

seperti keboasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan

kegiatan jasmani seperti biasa.

33

Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam

hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa),

atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan

dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5

menit

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel

darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum

larutan glukosa selesai

Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam

sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subyek yang

diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Pemeriksaan kadar gula darah puasa merupakan

pemeriksaan yang paling terpercaya dan convinient pada

pasien yang asimptomatik.

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai

patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL)

Bukan DM Belum

pasti DM

DM

Kadar

glukosa

darah

Plasma

vena

< 100 100-199 ≥ 200

Darah < 90 90-199 ≥ 200

34

sewaktu

(mg/dL)

kapiler

Kadar

glukosa

darah

puasa

(mg/dL)

Plasma

vena

< 100 100-125 ≥ 126

Drah

kapiler

< 90 90-99 ≥ 100

(Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di

Indonesia, PERKENI, 2006)

Tabel 5. Kriteria diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu

≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan

terakhir

Atau2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori

tambahan sedikitnya 8 jam.3. Kadar glukosa darah pada 2 jam pada TTGO

≥200 mg/dL (11,1 mml/L) TTGO dilakukan

dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan 75 g glukosa

anhidrus yang dilarutkan kedalam air.

35

2.1.11. Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir

untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang

secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target

utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam

kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya

komplikasi diabetes.

The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan

beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai

keberhasilan penatalaksanaan diabetes (Tabel 6)

Tabel 6. Target Penatalaksanaan Diabetes

ParameterKadar Ideal Yang

DiharapkanKadar Glukosa Darah Puasa

Kadar Glukosa Plasma Puasa

Kadar Glukosa Darah Saat

Tidur

(Bedtime blood glucose)

80–120mg/dl

90–130mg/dl

100–140mg/

36

Kadar Glukosa Plasma Saat

Tidur (Bedtime plasma glucose)

110–150mg/dl

Kadar Insulin <7 %Kadar HbA1c

Kadar Kolesterol HDL

<7mg/dl

>45mg/dl (pria)

Kadar Kolesterol HDL

Kadar Trigliserida

>55mg/dl (wanita)

<200mg/dlTekanan Darah <130/80mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam

penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa

obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.

Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus

dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa

pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah

pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai,

dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa

terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau

kombinasi keduanya.

Bersamaan dengan itu, apa pun langkah

penatalaksanaan yang diambil,satu faktor yang tak boleh

ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling pada

penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik

37

dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis

lainnya.

A. TERAPI TANPA OBAT

1. Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan

penatalaksanaan diabetes. Diet yang dianjurkan adalah

makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal

karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan

gizi baik sebagai berikut:

• Karbohidrat : 60-70%

• Protein : 10-15%

• Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,

status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik, yang

pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan

telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin

dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus

glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa

penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c

sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status

DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan

dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan

hidup.

38

Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan

juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap

diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.

Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati,

yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh

dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein

sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama

daging dada), tahu dan tempe, karena tidak banyak

mengandung lemak.

Masukan serat sangat penting bagi penderita

diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.

Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak,

makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh

juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap

dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang

berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti

sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin

dan mineral.

Penentuan Kebutuhan Kecukupan Energi

1.Teori RBW (teori berat badan relatif)

RBW = BB (Kg) x 100 %

TB (cm) –100

39

BB = Berat Badan

TB = Tinggi Badan

A. Kriteria

•Kurus (underweight): BBR < 90%

•Normal (ideal): BBR 90 –110%

•Gemuk (overweight): BBR > 110%

•Obesitas: BBR > 120%

B. Pedoman jumlahkaloriyang

diperlukanseharibagipenderitaDM

•Kurus: BB x 40-60 kalori

•Normal: BB x 30 kalori

•Gemuk: BB x 20 kalori

•Obesitas: BB x 10 –15 kalori

Kalori untuk ibu hamil ditambah 100 kalori (trisemester I) ditambah 200 kalori (tri semester II),ditambah 300 kalori (tri semester III)

•Bagi yang menyusui ditambah 400 kalori per hari

•Perhitungan dengan RBW biasa digunakan untukmenghitung kebutuhan energi penderita DM

•Kelemahan menggunakan teori RBW adalah jenis kelamindan umur tidak diakomodasikan

40

B.Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan

menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada

dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk

mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk

penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga

berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur

akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga

yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,

Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat

mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi

maksimal (220-umur),

disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.

Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain

jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain \

sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan

selama total 30-40 menit per hari didahului dengan

pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-

10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan

meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan

juga meningkatkan penggunaan glukosa.

2. Obat-obatan penurun kadar gula darah

Terapi farmakologis ditambahkan jika sasaran

glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan

41

dan latihan jasmani. Terapi farmakologik tersebutdapat

berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan insulin.

A. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dapat dibagi

menjadi 4 golongan:

1. Golongan pemicu sekresi insulin (insulin

secretagogue), contoh sulfonylurea dan glinid.

Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan:

- Menstimulasi penglepasan insulin yang

tersimpan

- Menurunkan ambang sekresi insulin

- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat

rangsangan glukosa.

Obat golongan ini bisasanya diberikan pada pasien

dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada

pasien yang beratnya lebih sedikit.

2. Golongan penambah sensitivitas terhadap insulin,

contoh tiazolidindion dan metformin.

- Tiazolidindion mengurangi keluarnya asam

lemak menuju otot, dan karenanya mengurangi

resistensi insulin.

- Metformin menurunkan produksi glukosa di

hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan

otot dan adiposa terhadap insulin.

(farmakologi UI).

42

3. Golongan penghambat glukosidase alfa contohnya

Acarbose

- Obat golongan ini berkerja dengan

memperlambat absorbsi polisakarida (starch),

dekstrin, dan disakarida di intestin.

4. Insulin

Disamping pemberian insulin secara

konvensional 3 kali sehari dengan memakai insulin

kerja cepat, insulin juga dapat diberikan dalam

dosis terbagi, insulin kerja menengah dua kali

sehari dan kemudian diberikan campuran insulin

kerja cepat dimana perlu sesuai dengan respon

kadar glukosa darahnya.

Indikasi penggunaan insulin :

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

- Ketoasidosis diabetik

- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir

maksimal

- Stres berat (infeksi sistemik, operasi

besar, IMA, stroke)

- Kehamilan dengan DM

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraidikasi dan atau alergi terhadap OHO

43

2.1.12. Komplikasi Diabetes Melitus (DM)

Komplikasi akut diabetes melitus

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan

saraf yang disebaakan penurunan glukosa darah. Gejala

ini dapat ringan berupa gelisah, sampai dengan berat

berupa koma disertai kejang.Penyebab terseing

hipoglikemia pada pasien DM adalah obat golongan

sulfonilurea. Tanda hipoglikemia muncul bila glukosa

darah <50 mg/dl.

2. Ketoasidosis diabetik

KAD merupakan defisisnsi insulin berat dan

akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes mellitus.

Timbulnya KAD merupakan ancaman bagi penderita DM. Pada

DKA tubuh tidak dapat menggunakan sumber glukosa maka

lemak pun dipecah dalam lipolisis untuk menghasilkan

energi dan menghasilkan ketone. Tanda- tanda dari DKA

adalah :

Hyperglikemia > 300 mg/dl

Bicarbonat < 15 mEq/L

Asidosis (pH < 7,3) dengan ketonemia dan

ketonuria.

3. Hyperglycemic hyperosmolar state

Hyperglycemic hyperosmolar state adalah suatu

sindrome yang ditandai denagn hiperglikemik berat,

44

hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoacidosis

disertai penurunan kesadaran.

Komplikasi kronis DM

1. Komplikasi Mikrovaskular

Retinopati diabetika

Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang

berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan

atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada

kebutaan.Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok,

yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif.

Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal

dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan

retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan

pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya

hipoksia retina.

Pada stadium awal retinopati dapat

diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik,

sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat

diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan

akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan

kadar gula darah yang terlalu singkat.

Nefropati diabetika

Diabetes mellitus tipe 2, merupakan

penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab

terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang

45

spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi

penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti

protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria).

Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan

ginjal yang progresif.

Nefropati diabetic ditandai dengan adanya

proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat

retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya

preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan

kontrol tekanan darah.

Neuropati

Umumnya berupa polineuropati diabetika,

kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih

50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis

dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom.

Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana

terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-

gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya

adalah serabut saraf tungkai atau lengan.

Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan

disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya

peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan

myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga

menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi

segmental, atau atrofi axonal.

46

2. Komplikasi Makrovaskular

Stroke

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab

mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes.

Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita

diabetes.Stroke lebih sering timbul dan dengan

prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.

Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan

arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat

iskemia, berupa:

- Pusing, sinkop

- Hemiplegia: parsial atau total

- Afasia sensorik dan motorik

- Keadaan pseudo-dementia

Penyakit Jantung Koroner

Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-

70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner

timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri

dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan

didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan

tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan

akan mereda seetlah beristirahat atau mendapat nitrat

sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark

miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan

tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-

47

gejala MI dapat tidak timbul pada pendenita diabetes

sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.

Pembuluh darah perifer (kaki diabetes)

Terjadinya masalah kaki diawali dengan adanya

hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan

kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah..

Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan

autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada

kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan tejadinya

perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan

selanjutnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya

kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah

merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah

yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya

pengelolaan kaki diabetes.

Klasifikasi Kaki Diabetes

Klasifikasi berdasarkan pada perjalanan alamiah

kaki diabetes (Edmonds 2004-2005)

Stage 1 : Normal foot

Stage 2 : High Risk Foot

Stage 3 : Ulcerated Foot

Stage 4 : Infected Foot

Stage 5 : Necrotic Foot

Stage 6 : Unsalvable Foot

48

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer

sangat penting, dan semuanya dapat dikerjakan pada

pelayanan kesehatan primer.

Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan

perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih

memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialitik

Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat

inap, dan jelas sekali memerlukan suatu tim dimana

harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah

vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.

2.2. EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA METABOLISME 

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan

abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu

adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau

karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung

dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama

pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik

dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin,

glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi

penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan

hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah,

peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein.

Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi

juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan

49

berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin.

Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi.

Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon

katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade

aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi

(fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon

stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek

menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian

konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)

2.3. PENILAIAN PRABEDAH 

Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian

fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf

pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status

metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian

laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa,

elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi

kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal

kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena

berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien

diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai

insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan

pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%.

Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin

pada peralatan pra bedah.

50

2.4. PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM 

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi

dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat

anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi

dan pengawasan status diabetesnya.4 

Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat

mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme

karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum

jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis

glukosa perioperatif. Etomediat menghambat

steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui

aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah

kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon

hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per

liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien

diabetes belum terbukti.4.7 

Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan

juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan

dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini

akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang

sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan

respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal

jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi

dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu

melalui infus intravena pada pasien di ICU.

51

Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak

hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga

keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara

efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan

sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek

langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi.

Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan

akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien

normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.

Eter dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah

efek insulin untuk transport glukosa menyeberang

membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan

aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis

di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien

cukup memuaskan  karena   kurang   pengaruhnya  

terhadap   peningkatan   hormon ;

pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan

kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat

menghambat pelepasan  insulin  dalam  merespon 

hiperglikemia,   tetapi  tidak sama |pengaruhnya

terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan

enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap

kadar gula darah. 

Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak

diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan

kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.

52

Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat

jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya

sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada

pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi

jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena

yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti

terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang

menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek

simpatomimetiknya. 

Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan

dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek

pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan

pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada

ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita,

teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan

tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih

efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam

mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan

kortisol yang disebabkan tindakan operasi.

2.6. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM 

Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan

spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang

lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan

sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa

perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang

53

dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat

stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh

anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif,

suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik,

menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan

menghilangkan penekanan sekresi insulin secara

parstal. 

Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri,

atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak

keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan

pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor.

Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih

besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik.

Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat

gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria,

serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan

gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan

teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural

lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan

epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang

timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan

dengan komplikasi anestesia dan blok regional.

Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat

menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera

saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes

mellitus.

54

2.7. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF

Tujuan pokok adalah :

1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan

elektrolit sebelum pembedahan.

2. Memberikan    kecukupan   karbohidrat   untuk   

mencegah   metabolisme    katabolik   dan

ketoasidosis.

3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah

hiperglikemia.

Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada

penderita DM tipe II dengan kondisi seperti di bawah :

1. Gula darah puasa > 180 mg/dl

2. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%

3. Lama pembedahan lebih 2 jam

Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif

untuk pasien DM. Yang paling sering :t digunakan adalah

pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis

total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja

sedang:

55

Tabel:   Dua teknik yang umum digunakan untuk

tatalaksana insulin perioperatif pada pasien DM

Pemberian secara

bolus

Infus kontinyu

Preoperatif D5W (1,5

ml/kg/jam)

NPH insulin (1/2

dosis biasa pagi

hari) (NPH=neutral

protamine Hagedorn)

D5W (1 ml/kg/jam)

Regular insulin

Unit/jam =

Glukosa plasma :

150

Intraoperattf Regular  

insulin  

(berdasarkan  

sliding scale)

Sama dengan

preoperatif

Pascaoperatif Sama dengan

intraoperatif

Sama dengan

preoperatif

2.8. PERAWATAN PASCA BEDAH 

Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan

sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah

boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya

setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek.

56

Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin

harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan

padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan

subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin

kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48

jam pertama setelah infus glukosa dan insulin

dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien

dilanjutkan. 

Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya

hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah

terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau

penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah

pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial

dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM

tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark

miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai

mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status

mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskar., atau

disrimia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya

infark miokard.

57

DAFTAR PUSTAKA

1. Arisma. Obesitas, Diabetes Mellitus dan

Dislipidemia. Jakarta: EGC, 2008: 44-5,47

2. Soegondo, Suwondo, Soebekti. 2011. Penatalaksanaan

Diabetes Mellitus Terpadu. FKUI press: Jakarta,

151-175

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,

Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2006 : 1852-

3, 1857-59

4. American Diabetes Association. Diagnosis dan

Classification of Diabetes Mellitus.

http://www.care.diabetesjournals.org. Accesed Juni

10,2012.

5. Pharmaceutica Ceutical Care staff. Pharmaceutica

Ceutical Care Untuk Diabetes Mellitus.

http://www.Pdf.com .Acessed Juni 10,2012.

6. Permana H. 2011. Komplikasi Kronik dan Penyakit

Penyerta pada Diabetes.(diakses dari :

pustaka.unpad.ac.id)

7.

http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.

full

58

8.

http://www.staff.ncl.ac.uk/philip.home/who_dmc.htm