10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam Pemberantasan Kejahatan Narkotika

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    1/14

    315

    KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA SEBAGAI

    PENCEGAHAN DAN LAW ENFORCEMENT DALAM

    PEMBERANTASAN KEJAHATAN NARKOTIKA

    Rahmat Efendy Alamin Siregar

    Dosen Pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

    Salah satu tujuan perubahan undang-undang adalah agar pencegahan dan lawenforcement yang dirumuskan sebagai kebijakan formulasi dalam undang-undangyang baru lebih efektif dibanding perundang-undangan sebelumnya. Dalammenanggulangi tindak kejahatan khususnya kejahatan narkotika, perubahanperundang-undangan yang telah dilakukan merupakan bagian dari kebijakan

    formulasi, yang dititikberatkan pada efektivitas sanksi pidana dalam memberantaskejahatan narkotika. Sebagai langkah dalam mewujudkan tujuan tersebut, makapendekatan studi hukum kritis dapat dijadikan sarana untuk mengawalpemberantasan tindak kejahatan narkotika dengan mengkaji kebijakan-kebijakanformulasi yang terkait dengan pemberantasan kejahatan narkotika

    Kata Kunci: Kebijakan formulasi, sanksi pidana, narkotika

    PENDAHULUAN

    Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaatdalam bidang medis, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

    pengetahuan. Bagi penderita kanker stadium IV yang tidak lagi mempunyai

    harapan sembuh, penggunaan morfin berdasarkan syarat dan ketentuan medis

    merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk dapat mengurangi rasa sakit

    yang diderita pasien tersebut. Namun di sisi yang lain dapat pula menimbulkan

    ketergantungan yang sangat merugikan apabila terjadi penyalahgunaan atau

    digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

    Pengaturan dalam hal penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan

    pengobatan dan ilmu pengetahuan ditentukan dalam undang-undang. Pada

    tahun 2013 terdapat 32.400 kasus narkoba (merupakan derivasi dari berbagai

    jenis narkotika, psikotropika dan obat-obat terlarang) yang ditangani dan sudah

    diperiksa oleh polisi. Padahal banyak anggapan kasus yang terungkap ini

    laksana puncak gunung es. 1 Penyalahgunaan narkoba yang sesungguhnya

    berkali lipat dari laporan yang didapat dari kepolisian.

    *Rahmat Efendy Alamin Siregar S.Ag.,MH. adalah dosen pada Jurusan SPM Fakultas Syariah

    dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dalam mata kuliah Hukum Pidana1Koran Sindo. Senin 4 November 2013

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    2/14

    316Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    Realitas dengan semakin banyaknya penyalahgunaan narkoba

    dikalangan masyarakat menjadi sebab urgensinya upaya peningkatan dalam

    pengendalian dan pengawasan peredaran narkoba dengan tujuan untuk

    mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba

    tersebut, dan menjadi catatan bahwa dalam hal beredarnya narkoba ditengah-

    tengah masyarakat umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri

    sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dalam beberapa

    kasus dilakukan oleh sindikasi yang tersusun rapi dan rahasia.Disamping itu,

    kejahatan narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan berbagai

    modus operandi. Dari laporan media, beberapa kasus yang sudah diperiksa

    pihak kepolisian, dapat diketahui bahwa kurir yang membawa masuk narkoba

    ke wilayah teritorial Indonesia dengan berbagai cara salah satunya dengan

    menelan narkoba yang sudah dimasukkan ke dalam kapsul-kapsul khusus,menyembunyikannya dalam sol sepatu dan berbagai upaya lainnya.

    Pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau

    biasa disingkat narkoba, seiring waktu meningkat dengan pesat di masyarakat

    Indonesia. Tidak lagi didominasi kota besar, kota kecil dan terpencil sekalipun

    saat ini sudah dijamah oleh beredarnya narkoba. Perkembangan kwalitas

    kejahatan narkoba sekarang ini menjadi wabah dan ancaman yang serius bagi

    kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, masalah

    meningkatnya kejahatan narkoba semakin banyak menarik perhatian dan

    banyak diperbincangkan lewat media, baik dalam surat kabar, televisi danlainnya. Terjadinya penyalahgunaan narkoba dalam segala aspeknya telah

    berkembang menjadi semakin pelik dan kompleks, menyangkut berbagai aspek

    kehidupan berbangsa dan bernegara meliputi aspek ekonomi, budaya, politik

    sosial dan keamanan. Selain merusak badan, akal dan jiwa sipemakai,

    penyalahgunaan narkoba juga memberi pengaruh yang luas kepada masyarakat

    dan masa depan bangsa. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bukti yang

    didapat menyebutkan bahwa sebagian besar pelaku penyalahgunaan narkoba

    adalah remaja dan anak-anak, mulai dari dari tingkat sekolah dasar sampai

    mahasiswa.

    Menghadapi persoalan di atas, perlu segera dilakukan langkah dan

    upaya pengawasan dan pengamanan terhadap ruang gerak pengadaan dan

    pendistribusian narkoba mulai dari peruntukannya untuk kesehatan/medis dan

    ilmu pengetahuan, terlebih dalam pencegahan masuknya narkoba lewat jalur

    perdagangan gelap. Karena Indonesia adalah negara hukum, maka menjadi

    jelas bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah sarana penal/aturan

    hukum yang digunakan sebagai landasan pokok bagi pengawasan dan

    penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Untuk memenuhi kebutuhan akan

    adanya payung hukum sebagaimana dimaksud, pemerintah telah mengeluarkan

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    3/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    317

    Undang-undang No.7 Tahun 1997 Tentang pengesahan United Nation

    Convension Against Illicit Traffic in Narcotica Drugs and Psychotropic

    Substances, 1988 ( Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

    Narkotika dan Psikotropika, 1998). Setelah mencabut UU No.9 Tahun 1976

    Tentang Narkotika, Konvensi internasional di atas diratifikasi menjadi

    Undang-undang yakni UU No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-

    undang No.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Dalam perkembangannya

    pemerintah Indonesia pada tahun 2009 kembali merevisi Undang-undang

    tentang narkotika. Saat ini landasan hukum yang digunakan adalah UU No. 35

    Tahun 2009 Tentang Narkotika.

    Dalam memberantas kejahatan narkotika yang telah menjelma menjadi

    satu bentuk kejahatan yang terorganisasi dan lintas batas diperlukan langkah

    preventif yang efektiv dan mampu menjerakan pelaku kejahatan ini, maupunmasyarakat yang rentan penyalahgunaan narkoba ini secara umum.

    Sehubungan dengan itu sarana penal dianggap merupakan pilihan yang

    mumpuni untuk digunakan sebagai upaya pencegahan penanggulangan

    kejahatan narkoba, meski harus diakui tekhnik penanggulangan kejahatan

    dengan menggunakan pendekatan hukum pidana merupakan cara yang paling

    tua, setua peradaban itu sendiri, namun dianggap sebagai suatu kebijakan yang

    dapat menanggulangi, mencegah dan mengendalikan kejahatan.2Paulus Hadi

    Suprapto menyatakan bahwa dalam menghadapi gejala-gejala penyalahgunaan

    zat psikoaktif ini, hukum pidana tentunya sangat diharapkan fungsi danperannya sebagai senjata pamungkas. Dengan diterapkannya pendekatan penal

    diharapkan gejala penyalahgunaan zat psikoaktif dapat diatasi.3

    Dalam penanggulangan kejahatan, dihadapkan kepada masalah

    penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif, hal ini merupakan

    suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, oleh

    karena itu masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan

    menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi

    juga merupakan masalah kebijakan.4

    Berkaitan dengan usaha penanggulangan kejahatan narkoba, maka

    pemerintah menilai bahwa masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan

    narkoba merupakan salah satu masalah nasional yang harus cepat

    ditanggulangi. Sejauh ini sanksi pidana yang telah terumuskan dalam peraturan

    perundang-undangan belum mampu menghambat laju peningkatan

    penyalahgunaan narkoba. Berdasar hal di atas perlu dilakukan pengkajian

    2Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,1998,

    hlm. 1493 Paulus Hadi Suprapto, Penyalahgunaan Zat psikoaktif dan Hukum Pidana. Makalah dalam

    seminar tentang Mabuk, Dampak Sosial dan Penanggulangannya (Semarang: Unika Sugiyopranoto)4Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori, hlm. 149

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    4/14

    318Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    seputar masalah efektivitas sanksi pidana dalam penanggulangan kejahatan

    narkoba. Pokok pemikiran ini didasari pada pertimbangan bahwa:

    1. Perwujudan sanksi pidana itu dapat dilihat sebagai suatu proses dengan

    melalui tiga tahap:

    a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (tahap

    formulasi)

    b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan (tahap

    aplikasi)

    c. Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana.

    Pengkajian terhadap ketiga tahapan ini mutlak diperlukan sehubungan

    dengan persoalan yang dihadapi berupa maraknya kejahatan narkoba dan

    penyalahgunaannya di Indonesia. Pengkajian terhadap kebijakan sanksi pidanasehubungan dengan penyalahgunaan narkoba menjadi semakin diperlukan,

    karena terdapat indikator peningkatan suplai masuk dan peredaran narkotika

    yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Tahapan-tahapan di atas merupakan

    satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena berkaitan erat dengan tujuan untuk

    menutup ruang gerak, memberantas dan menanggulangi kejahatan narkoba di

    Indonesia.

    Kebijakan Hukum (Sanksi) Pidana dalam Ketentuan yang Berkaitan

    dengan Penanggulangan Kejahatan Narkoba.

    Kebijakan penetapan hukum (sanksi) pidana dan kebijakan formulasi

    merupakan salah satu dari 3 (tiga) tahap kebijakan penegakan hukum pidana.

    masalah pokok dalam kebijakan formulasi terdiri dari tiga materi, yaitu (1)

    masalah tindak pidana; (2) masalah kesalahan dan pertanggungjawaban pidana;

    dan (3) masalah pidana dan pemidanaan.

    Untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas dari permasalahan

    pertama, maka langkah awal adalah dengan menjelaskan mengenai ketentuan

    hukum positif yang mengatur masalah narkoba, yaitu:

    a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur dalam pasal 204

    dan 205. Hal pokok disini adalah memberikan arti yang jelas apa yangdimaksud dengan membahayakan nyawa dan kesehatan orang. Sudah

    barang tentu dengan bantuan ahli lain misalnya ahli di bidang

    kesehatan/medik akan sangat membantu usaha penanggulangan peredaran

    extasy dan obat terlarang lainnya.5

    b.

    Pasal 102 UU No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan menyatakan,

    bahwa yang intinya mengimpor dan mengekspor atau mencoba menyimpan

    5Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: BP Undip, 2001,hlm.121

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    5/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    319

    tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ancaman pidananya berupa

    pidana paling lama 8 (delapan) tahun penjara dan denda paling banyak lima

    ratus juta rupiah.6

    c.

    Undang-undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. Pasal 80,81,82

    dapat dijadikan dasar penanggulangan pembuatan, peredaran extasy dan

    obat-obatan narkoba lainnya. Sedangkan bagi pengguna atau pemakainya

    tidak dapat dikenakan Undang-undang No 23 Tahun 1992 Tentang

    Kesehatan ini.

    d. Konvensi tentang Zat Psikotropika Tahun 1971 (Convention on

    Psychotropic Substances). Beberapa pasal dari Konvensi Psikotropika yang

    perlu mendapat perhatian pemerintah Indonesia, yaitu pasal 20, 21, dan 22.

    Dalam pasal 20 mengatur tentang penyalahgunaan obat-obat psikotropika;

    pasal 21 mengatur tentang tindakan-tindakan terhadap lalulintasperdagangan ilegal psiotropika; dan pada pasal 22 diatur tentang ketentuan-

    ketentuan pidana (Penal Provision). Pasal ini merupakan pasal penentu

    keberhasilan pemberantasan penyalahgunaan psikotropika dan lalulintas

    perdagangan ilegal psikotropika.

    e. Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang pengesahan United Nations

    Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psyvotropic

    Substances. 1998 (Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap

    Narkotika dan Psikotropika, 1998). Dalam konvensi PBB ini merupakan

    ketentuan internasional pertama yang secara tegas dan langsungmenetapkan perbuatan yang dapat dipidana. Bagian-bagian penting dari

    Konvensi ini yang berkaitan dengan usaha legislasi adalah : 1. Ketentuan-

    ketentuan tentang kejahatan dan sanksi (pasal 3); 2. Ketentuan tentang

    yurisdiksi (pasal 4); 3. Ketentuan tentang perampasan (pasal 5); 4.

    Ketentuan tentang ekstradisi (pasal 6); 5. Ketentuan tentang bantuan hukum

    secara timbal balik (pasal 7); 6. Ketentuan tentang pengiriman yang

    terkontrol (pasal 11); 7. Ketentuan tentang perdagangan melalui laut (pasal

    17);

    f. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Peraturan itu antara lain berupa:

    1)

    Penetapan Menteri Kesehatan RI No. 983/A/SK 1971 tentang obat

    keras yang dilarang; (2) Permenkes RI No. 213/Menkes/Per/V/1985

    dan Permenkes 484/Menkes/Per/II/1993 MDMA dinyatakan dilarang.

    (3) Permenkes RI No. 782/Menkes/Per/VII/1996 yang intinya bahwa

    pengguna bisa dikenai hukuman pidana; (4) Permenkes RI No.

    124/Menkes/Per/II/1993 yang berisi larangan mengimpor,

    memproduksi, menyimpan dan menggunakan obat keras tertentu.

    Kecuali mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan untuk kegiatan

    6Ibid, 116

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    6/14

    320Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    tertentu. (5) Permenkes RI No. 688/Menkes/Per/1997 tentang peredaran

    psikotropika, yang intinya bahwa peredaran psikotropika harus dengan

    ijin dari Menkes melalui Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan dan

    obat tersebut dapat diedarkan terbatas untuk kepentingan kesehatan

    karena itu peredarannya sangat dibatasi. (6) Keputusan Menkes RI No.

    323/Menkes/SK/V/1997 tentang pemberian ijin penyimpanan

    psikotropika berupa obat bagi dokter di daerah terpencil; (7) Intruksi

    bersama Menkes RI dan Kapolri No. Pol 75/Menkes/Inst/B/III/1984,

    No. Pol Inst/03/III/1984 tentang peningkatan hubungan kerjasama

    dalam rangka pengawasan dan penyidikan tindak pidana di bidang

    obat-obatan tradisional, makanan, minuman, kosmetika, alat kesehatan,

    narkotika dan bahan berbahaya bagi kesehatan.

    Kebijakan Hukum (Sanksi) Pidana dalam Undang-undang Narkotika

    Sebelum disahkannya Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang

    Narkotika, masalah narkotika dan psikotropika ditemukan dalam undang-

    undang yang berbeda, yakni, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 Tentang

    Psikotropika dan Undang-undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

    Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sudah tercakup

    penyalahgunaan psikotropika, yang terdiri dari 18 bab dan 155 pasal. Mengatur

    narkotika, prekursor narkotika, produksi, impor, peredaran gelap, ekspor,

    pedagang farmasi besar, industri farmasi, transito narkoba, pecandu,

    rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan lainnya. Mengenai ketentuan pidana

    diatur dalam pasal 111 sampai dengan pasal 147. Dengan rumusan tindakan-

    tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana antara lain sebagai

    berikut :

    a.

    Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakan

    Narkotika golongan I

    b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika

    golongan I

    c. Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan I

    d.

    Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakanNarkotika golongan II

    e. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika

    golongan II

    f.

    Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan II

    g.

    Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai dan menyediakan

    Narkotika golongan III

    h.

    Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika

    golongan III

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    7/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    321

    i. Menawarkan/mengedarkan Narkotika golongan III

    j. Tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang

    bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor

    k.

    Orang tua/wali pecandu narkoba yang belum cukup umur yang sengaja

    tidak melapor

    l. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajibannya

    m. Petugas laboran yang memalsukan hasil pengujian

    n. Saksi yang tidak memberikan keterangan yang benar dalam pemeriksaan

    tindak pidana Narkotika

    o. Warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika

    Mengutip apa yang dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief, 7 bahwa

    masalah kebijakan rumusan tindak pidana dalam undang-undang Narkotikanampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, yaitu :

    a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

    b. Memberantas adanya peredaran gelap.

    Oleh karena itu, semua perumusan delik yang terdapat dalam Undang-

    Undang Narkotika di atas terfokus pada penyalahgunaan dan peredarannya.

    Mulai dari penanaman,produksi, penyaluran, lalu lintas peredaran sampai

    kepada pemakaiannya.

    Kebijakan rumusan Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi dalam

    Undang-undang Narkotika

    Dalam Undang-undang No. 22 Tahun1997 tidak ditemukan aturan

    umum pertanggungjawaban pidana korporasi, hal ini merupakan satu

    kemunduran apabila dilihat dari segi kebijakan formulasi dari undang-undang

    Narkotika sebelumnya, yakni Undang-undang No. 9 Tahun 1976 yang telah

    mencantumkan dalam pasal 49 bahwa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana

    ialah :

    a.

    Badan Hukum, perseroan dan perserikatan atau yayasan;

    b.

    Mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagaipemimpin/yang bertanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian

    Rumusan yang sama juga ditemukan dalam Undang-undang No. 35

    Tahun 2009, tidak ditemukan formulasi yang jelas menyangkut kejahatan

    penyalahgunaan Narkotika yang dilakukan oleh korporasi. Akan tetapi meski

    7Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

    (Bandung:PT. Citra Aditya, 2001), hlm. 198

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    8/14

    322Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    tidak terdapat aturan yang bersifat umum, dalam Undang-undang No. 35 Tahun

    2009 ada beberapa aturan khusus, yaitu :

    a. Pasal 135 mengatur pertanggungjawaban Pengurus industri farmasi yang

    melanggar Pasal 45. Dalam hal ini muncul pertanyaan siapa yang dimaksud

    dengan Pengurus industri farmasi? di dalam Pasal 1 sub 11, Industri

    farmasi adalah perusahan yang berbentuk badan hukum yang memiliki

    izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan

    obat, termasuk Narkotika. Kapan pengurus dikatakan telah melakukan delik

    omissi dalam Pasal 135 (yaitu tidak melaksanakan kewajiban dalam pasal

    45 dan kapan dipertanggungjawabkan? Apakah berlaku strict liability,

    vicarious liability, atau berdasarkan asas culpabilitas?

    b. Aturan khusus di dalam Pasal 147 mengancam pidana secara kumulatif,

    kepada:1. Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

    sarana penyimpanan persediaan farmasi milik pemerintah, dan apotik

    yang mengedarkan Narkotika Gol. II dan III bukan untuk kepentingan

    pelayanan kesehatan.

    2. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,

    menyimpan atau menguasai tanaman Narkotika untuk kepentingan

    pengembangan ilmu pengetahuan.

    3. Pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Gol. I

    bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau4. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Gol. I

    yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau

    mengedarkan Narkotika Gol II dan III bukan untuk kepentingan

    pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan

    ilmu pengetahuan.

    Beberapa permasalahan yang muncul dari rumusan di atas, antara lain :

    siapakah pimpinan lembaga/badan dimaksud? (misalnya dalam lembaga

    ilmu pengetahuan, pimpinan dapat terdiri dari Rektor/wakil rektor,

    Dekan/wakil dekan, kepala bagian, ketua jurusan, ketua lemlit, ketua

    laboratorium; kapan/dalam hal apa pimpinan itu dikatakan telah melakukan

    tindak pidana (misal kapan dikatakan telah mengedarkan, membeli, menanam,

    menyimpan dan memproduksi); dan kapan pimpinan itu dapat

    dipertanggungjawabkan? Apakah berlaku asas culpabilitas, strict liability.

    Permasalahan yang dikemukakan di atas menjadi objek studi dan perdebatan

    yang belum mendapatkan penjelasan atau rumusan yang jelas.

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    9/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    323

    Kebijakan Rumusan Ancaman Pidana dalam Undang-undang Narkotika

    Menurut konsep KUHP yang baru, syarat pemidanaan bertolak dari

    pokok pemikiran keseimbangan monodualistikantara kepentingan masyarakat

    dan kepentingan individu; antara faktor objektif dan faktor subjektif. Oleh

    karena itu syarat pemidanaan juga bertolak dari dua pilar yang sangat

    fundamental di dalam hukum pidana asas legalitas yang merupakan asas

    kemasyarakatan dan asas culpabilitas/asas kesalahan yang merupakan asas

    individu. Dengan perkataan lain bahwa pokok pemikiran mengenai

    pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak

    pidana dan pertanggungjawaban pidana.8

    Dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

    perumusan sistem ancaman pidananya yaitu sistem pidana minimum khusus

    hanya dicantumkan dalam Pasal-pasal tertentu, misalnya : Pasal 111 ayat (1)dan (2), 112 ayat (1) dan (2), 113 ayat (1) dan (2), 114 ayat (1) dan (2), 115

    ayat (1) dan (2), 135, 141, 147. Kebijakan perumusan ancaman pidana minimal

    khusus merupakan salah satu bentuk penyimpangan Undang-undang Narkotika

    dari sistem maksimal yang diatur dalam KUHP, sehingga untuk sistem pidana

    minimum khusus ini belum ada pedoman pelaksanaannya. Pada prinsipnya

    penyimpangan Undang-undang dari KUHP dapat dilakukan. Akan tetapi

    Undang-undang di luar KUHP itu sendiri seharusnya juga dilengkapi dengan

    pedoman pelaksanaan sistem pidana minimum yang bersifat khusus. Apabila

    pihak legislatif tidak melengkapinya dengan pedoman penerapannya, makaakan menimbulkan masalah bagi yudikatif dalam penegakan hukum. Terutama

    bila tindak pidana yang dilakukan diikuti dengan masalah penyertaan,

    percobaan, concursus, recidive dan lain-lain alasan peringanan ataupun

    pemberatan pidana maka kemungkinan besar akan menjadi suatu permasalahan

    baru yaitu dijatuhkannya pidana di bawah ancaman minimum oleh hakim.

    Mengenai permufakatan jahat terlihat adanya perbedaan antara

    perbuatan yang didahului dengan permufakatan jahat yang diperberat ancaman

    pidananya dan dendanya dengan menambah 1/3 dengan perbuatan yang berdiri

    sendiri, masalah permufakatan jahat diatur dalam Pasal 132. Sistem ini berbeda

    dengan rumusan yang terdapat dalam KUHP, perbedaan ini akan mempersulit

    dalam praktek penegakan hukum serta dapat menimbulkan diskriminasi rasa

    keadilan. Kejanggalan yang menonjol dari ketentuan di atas adalah,

    diperberatnya pidana untuk pemufakatan jahat bila dilihat secara logika-

    doktriner maupun dari kenyataan/realita objektif, perbuatan berupa

    pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana jelas berbeda

    kualitasnya/bobotnya dengan perbuatan melakukan perbuatan pidana itu

    8Barda Nawawi Arief,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

    Penjara, (Semarang : BP Undip, 1996), hlm.21

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    10/14

    324Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    sendiri. Kalau permufakatan jahat disamakan/diasumsikan dengan melakukan

    tindak pidana masih dapat diterima, tetapi kalau diperberat (dipandang lebih

    berat) maka asumsi demikian bertentangan dengan logika dan fakta objektif.

    Dalam Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

    Psikotropika Tahun 1988 yang sudah diratifikasi dalam perundang-undangan

    nasional, Undang-undang N0.7 Tahun1997 tidak ditemukan adanya ketentuan

    yang menegaskan bahwa permufakatan jahat/conspiracy harus diperberat

    pidananya. Dalam Konvensi ini, permufakatan jahat dipidana sama dengan

    tindak pidana yang bersangkutan, bukannya diperberat. Bahkan ketentuan

    dalam Pasal 132 yang terdapat dalam Undang-undang ini tidak sesuai dengan

    sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, baik di dalam maupun di luar

    KUHP.

    Dalam hal ancaman sanksi pidana mati masih dipertahankan dalamrancangan KUHP yang baru. Pidana mati/capital punishmenttetap

    dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri sebagai pidana yang

    bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati

    dijatuhkan sebagai ultimum remedium- upaya terakhir untuk mengayomi

    masyarakat.

    Ditinjau dari perkembangan internasional mengenai hak asasi manusia

    yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam international

    Covenant On Civil and Political Right (ICCR). Yang mengatur hak untuk

    hidup (right to life) Pasal 6 ayat 1 berbunyi setiap manusia berhak atas hakuntuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat

    mencabut hak itu. Pada ayat 2 dinyatakan bagi negara yang belum menghapus

    pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk

    kategori yang serius sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak bertentangan

    dengan ICCR. Dalam Undang-undang N0. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

    memuat ketentuan pidana yang mencantumkan ancaman pidana mati. Hal ini

    sebagai bukti pemerintah sebagai perumus undang-undang menganggap

    penyalahgunaan narkotika sebagai kejahatan serius

    Kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009Tentang Narkotika dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika serta

    Upaya untuk mengatasinya

    Perkembangan kejahatan narkoba di Indonesia menunjukkan angka

    peningkatan yang sangat tajam. Grafik meningkat terlihat dari tahun ketahun.

    Pada tahun 1999 terdata 1.883 kasus, tahun 2009 tercatat ada 22.000 kasus, dan

    pada tahun 2013 ditemukan 32.400 kasus penyalahgunaan Narkotika9

    9http://www.solusihukum.com/artikel45.php

    http://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikelhttp://www.solusihukum.com/artikel
  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    11/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    325

    Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mempunyai

    kelebihan maupun kelemahan dalam pelaksanaannya dalam menanggulangi

    kejahatan yang terjadi. Adapun kelebihan dari Undang-undang ini adalah:

    a.

    Secara rinci mengurai tentang Narkotika gol I, II dan III;

    b. Semua pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dijerat;

    c. Hukumannya cukup berat, memiliki efek jera, sehingga diharapkan mampu

    mengurangi kejahatan Narkotika

    d. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika

    dibentuk Badan Narkotika Nasional

    Adapun kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang ini adalah:

    a. Sanksi pidana minimum khusus 4 Tahun penjara selain bertentangan

    dengan asas hukum pidana (minimum satu hari) juga tidak mewujudkanrasa keadilan bagi masyarakat, jika pelakunya hanya terbukti memiliki

    sebutir pil ectasy yang termasuk Narkotika gol I;

    b.

    Mengenai sanksi pidana denda bagi korporasi yang melakukan kejahatan

    penyalahgunaan Narkotika sangat dimungkinkan tidak efektif ditinjau dari

    sudut tujuan pemidanaan, serta pidana denda banyak mengadung

    kelemahan;

    c.

    Dari segi penjeraan terhadap terpidana, pidana denda menjadi kurang

    efektif apabila dibandingkan dengan pidana penjara. Hal ini disebabkan

    pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan dalam hal

    pidana penjara tidak dimungkinkan bagi orang lain untuk mewakilkannya.

    Di samping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dari sumber

    kejahatannya untuk melunasi/membayar denda tersebut;

    d.

    Menurut sistem yang diatur dalam KUHP, alternatif yang dimungkinkan

    dalam hal terpidana tidak membayar denda tersebut hanyalah dengan

    mengenakan kurungan pengganti. Betapapun tinggi pidana denda yang

    dijatuhkan oleh hakim apabila terpidana membayar denda, konsekwensinya

    hanyalah akan dikenakan pidana kurungan yang maksimalnya hanya 6

    (enam) bulan atau 8 (delapan) bulan.

    Untuk mengatasi kelemahan yang terdapat dalam Undang-undang No.

    35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kebijakan formulasi dalam penanggulangan

    kejahatan narkoba baiknya dilakukan perbaikan. Langkah yang dapat

    ditempuh.

    a.

    Formulasi umum : Perlu adanya kosistensi kebijakan umum pidana yang

    diformulasikan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang

    Narkotika

    b. Formulasi kebijakan kriminalisasi :

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    12/14

    326Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    Untuk menjembatani berlakunya aturan umum KUHP yang tidak

    diatur secara khusus dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang

    Narkotika perlu diadakan penegasan kualifikasi yuridis (sebagai

    kejahatan atau pelanggaran) terhadap tindak pidana yang dirumuskan

    dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika seperti

    yang dirumuskan dalam Undang-undang lama (No. 9 Tahun 1976)

    Perlu penegasan dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang

    Narkotika, bahwa pembantuan (medeplichtige) dipidana sama denga

    pelaku tindak pidana, seperti pernah diatur dalam Undaang-undang No.

    5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

    Mengungkap identitas pelapor sebaiknya juga dijadikan tindak pidana

    dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

    sebagaimana pernah dilakukan dalam Pasal 66 Undang-undangPsikotropika.

    c. Formulasi sistem pidana dan pemidanaan/pertanggungjawaban pidana :

    Ancaman pidana sebaiknya dirumuskan secara lebih fleksibel (sistem

    alternatif atau kumulatif alternatif)

    Untuk mengefektifkan pidana denda, perlu diadakan ketentuan khusus

    yang menyimpang dari Pasal 30 KUHP (mengenai pelaksanaan pidana

    denda yang tidak dibayar atau mengenai pidana pengganti denda)

    Perlu adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda

    yang tidak dibayar oleh korporasi Untuk mengefektifkan pelaksanaan pidana minimal khusus, harus ada

    aturan/pedoman pemidanaan yang khusus.

    Perlu dibuat aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana

    korporasi dengan melakukan modifikasi perumusan Pasal 49 Undang-

    undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

    Perlu penegasan secara eksplisit dalam Undang-undang No. 35 Tahun

    2009 tentang Narkotika, bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana

    tambahan berupa pencabutan ijin usaha atau jenis sanksi lainnya yang

    lebih bersifat spesifik untuk korporasi.

    KESIMPULAN

    1. Kebijakan kriminalisasi pada Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang

    Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dan peredaran narkobanya (mulai

    dari penanaman, produksi, penyaluran dan lalu lintas peredaran sampai

    kepada pemakainya, tidak ada kekayaan/aset sah yang diperoleh dari tindak

    pidana narkoba.

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    13/14

    Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    327

    2. Dalam masalah kualifikasi tindak pidana. Undang-undang No. 35 Tahun

    2009 tentang Narkotika tidak menyebutkan kualifikasi tindak pidana.

    3. Dalam masalah perumusan sanksi pidana. Dalam Undang-undang No. 35

    Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan secara kumulatif. Perumusan

    kumulatif yang paling banyak adalah pidana penjara dan denda yang cukup

    besar

    4. Dalam masalah ancaman pidana. Undang-undang No. 35 Tahun 2009

    tentang Narkotika ini ada delik yang diberi ancaman pidana minimal

    khusus. Akan tetapi tidak ditemukan rumusan formulasi dalam hal

    penerapan atau pelaksanaannya. Dalam hal perbuatan selesai memang tidak

    ada masalah, tetapi dalam hal terjadinya kejahatan penyertaan, percobaan,

    concursus, recidive dan lain-lain alasan peringanan ataupun pemberatan

    pidana maka kemungkinan besar akan menjadi suatu permasalahan baruyaitu dijatuhkannya pidana di bawah ancaman minimum oleh hakim.

    Kebijakan formulasi ini merupakan penyimpangan dari sistem yang

    terdapat dalam KUHP

  • 7/23/2019 10 Rahmat Efendy Alamin Siregar Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement

    14/14

    328Rahmat Efendy Alamin SiregarKebijakan Formulasi Sanksi Pidana Sebagai Pencegahan Dan Law Enforcement Dalam . . .

    DAFTAR PUSTAKA

    Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

    Penanggulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya, 2001

    Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatandengan Pidana Penjara, Semarang : BP Undip, 1996

    Koran Sindo. Senin 4 November 2013

    Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,

    Alumni,1998

    Nyoman Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, BP

    Undip, 2001

    Paulus Hadi Suprapto, Penyalahgunaan Zat psikoaktif dan Hukum Pidana.

    Makalah dalam seminar tentang Mabuk, Dampak Sosial dan

    Penanggulangannya. Semarang : Unika Sugiyopranoto. 2008

    KUHP dan Penjelasannya

    Undang-undang No. 9 tahun 1976 Tentang Narkotika

    Undang-undang No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika

    Undang-undang No. 22 tahun 1997 Tentang Narkotika

    Undang-undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika

    .