34
Lepra (Morbus Hansen) Ivanalia Soli Deo 102012359 / E1 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden: [email protected] Pendahuluan Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah penyakit tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari bahasa India, kustha”. Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di Pulau Jawa. 1 Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun yang datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu bulan, namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. Semoga makalah kali ini dapat membantu mahasiswa FK Universitas Kristen Krida 1

15.Lepra (Morbus Hansen)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedokteran

Citation preview

Page 1: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Lepra (Morbus Hansen)Ivanalia Soli Deo 102012359 / E1

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Koresponden: [email protected]

Pendahuluan

Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah

penyakit tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari

bahasa India, “kustha”. Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan

penyebabnya adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf

perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian

atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan

hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang

dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak

dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di

Pulau Jawa.1

Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun

yang datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak

satu bulan, namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali

ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. Semoga makalah kali

ini dapat membantu mahasiswa FK Universitas Kristen Krida Wacana lebih

memahami lagi materi yang terkait dengan kasus diatas.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada

kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering diantaranya adalah

ruam, gatal, bengkak, ulkus, perubahan warna kulit dan pengamatan tak sengaja saat

pasien datang dengan keluhan utama kondisi medis lain. Anamnesis dapat dilakukan

kepada pasien secara langsung apabila kondisinya memungkinkan, namun dapat

ditanyakan pula pada orang terdekat atau orang yang mengantar pasien ke dokter.

Sesuai dengan kasus, pertanyaan yang diajukan dapat meliputi identitas diri, keluhan

utama, sejak kapan keluhan utama muncul, keluhan lain yang mungkin dirasakan,

1

Page 2: 15.Lepra (Morbus Hansen)

riwayat penyakit yang diderita saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit

keluarga, pengobatan yang sudah dilakukan dan kondisi sosial ekonomi pasien.

Pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat menanyakan keluhan lain

yang berhubungan dengan kasus ini adalah: “Apakah ada sisik?”. Sementara

pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat menanyakan riwayat penyakit

dahulu adalah: “Pernahkah Anda mengalami keluhan serupa?”, “Apakah ada riwayat

alergi” dan “Apakah Anda menderita Diabetes Melitus?”. Pada riwayat keluarga

dapat ditanyakan: “Apakah ada keluarga atau orang yang tinggal serumah, yang

mengalami keluhan yang sama?”. Perlu juga ditanyakan “Bagaimana kondisi tempat

tinggal Anda?”, “Bagaimana kebiasaan mandi Anda?” dan “Seberapa sering Anda

berganti baju atau pakaian dalam” untuk melengkapi info mengenai riwayat sosial dan

kebiasaan pasien.

Didapatkan hasil anamnesis sebagai berikut:

Usia : 40thn

Keluhan Utama : Bercak putih pada lengan kiri sejak satu

bulan yang lalu

Keluhan Lain : Tidak ada rasa gatal, terasa baal

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital,

inspeksi, pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan saraf tepi, dan pemeriksaan fungsi

saraf otonom. Untuk melakukan inspeksi, alat bantu yang dapat dipergunakan adalah

kaca pembesar. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan dalam ruangan yang terang. Pada

inspeksi diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas, dan

efloresensi yang khusus.1 Pada penderita lepra akan didapatkan gambaran makula

hipopigmentasi yang juga mengalami achromia (tidak ada pigmen), anestesia (tanpa

rasa gatal), atrofi (kulit agak mencekung), alopesia (tanpa rambut), dan anhidrosis

(tidak berkeringat).

Selain itu, pasien juga diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul

dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah, dikarena penyakit kusta dapat

menyebabkan kerusakan saraf.2 Pemeriksaan berikutnya adalah melakukan

pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan kapas atau bulu untuk mengetes rasa

2

Page 3: 15.Lepra (Morbus Hansen)

raba, jarum pentul jarum pentul yang tajam dan tumpul untuk mengetes rasa nyeri,

serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi unuk mengetes rasa suhu.2

Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada n.facialis, n.auricularis magnus, n.ulnaris,

n.radialis, n.medianus, n.peroneus dan n.tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang

perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekan.

Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba. Terakhir,

perlu dilakukan pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya

kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan

menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).2

Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

Tanda-tanda vital : Normal

Inspeksi : Makula hipopigmentasi (becak putih)

Pemeriksaan Sensibilitas : Baal

Pemeriksaan Penunjang1

1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung

yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan

Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti

orang tersebut tidak mengandung M. leprae.

Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling

padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan

diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang

paling merah di kulit dan infiltratif.

Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

Seperti tertera di bawah ini:

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP

3

Page 4: 15.Lepra (Morbus Hansen)

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

2. Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe

lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati pula adanya sel Vinrchow

dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan

antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta

yang dapat dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination).

4. Pemeriksaan Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi

tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap

M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian

disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi

fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi

Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita

bereaksi terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara

itu, Reaksi Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:

0 : Papul berdiameter 3mm atau kurang

+1 : Papul berdiameter 4-6mm

+2 : Papul berdiameter 7-10mm

4

Page 5: 15.Lepra (Morbus Hansen)

+3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm

5

Page 6: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Differential Diagnosis

1. Hipopigmentasi Post Inflamasi3

Hipopigmentasi post inflamasi adalah hilangnya sebagian atau keseluruhan dari

pigmentasi kulit yang terjadi setelah peradangan kulit. Distribusi dan keparahan

hilangnya pigmen berkaitan dengan tingkat dan derajar peradangan yang jeradi

sebelumnya. Banyak kondisi peradangan kulit yang dapat menyebabkan

hipopigmentasi post inflamasi. Misalnya saja seperi pityriasis licchenoides chronica

(PLC) dan Lichen striatus (LS). Selain dari itu, trauma akibat luka bakar juga dapat

menyebabkan hipopigmentasi post inflamasi.

Ukuran dan bentuk lesi hipopigmentasi post inflamasi berkorelasi dengan distibusi

dan konfigurasi inflamasi awal. Perubahan pigmen kadang-kadang berdampingan

dengan lesi inflamasi yang asli, hal ini membuat diagnosis lebih mudah. Gambaran

yang dapat ditemukan berupa bercak berwarna putih atau berwarna lebih terang dari

warna aslinya, yang terlihat pada daerah bekas inflamasi atau trauma.

Gambar 1. Lesi Hipopigmentasi Post Inflamasi3

2. Leucoderma (Vitiligo)4

Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai Vitiligo adalah

kelainan kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi kulit. Hal ini menyebabkan

perubahan warna pada bagian kulit yang disebabkan penurunan bertahap melanin dari

lapiran dermal atau dikarenakan kerusakan fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya

penderita mungkin tidak menyadari atau mengabaikan perubahan warna karena hanya

6

Page 7: 15.Lepra (Morbus Hansen)

bercak putih sedikit saja, tapi seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna

mulai membesar dan bahkan bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi

di dekat mulut, mata, hidung, jari, kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael

Jackson adalah salah satu penderita Leucorma (Vitiligo).

Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah timbulnya bercak putih pada kulit

yang makin lama makin membesar, rambut beruban lebih awal, kehilangan rambut,

rambut di bagian yang terdapat becak berubah menjadi putih, peka terhadap dingin,

dan pasien mungkin sering menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab

umum leucoderma bisa disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan

kalsium, kondisi kulit inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi

hati, mengenakan pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan

tato pada kulit.

Gambar 2. Gambaran Lesi pada Penderita Leucoderma

3. Pitiriasis Versikolor1

Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah

penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan

subyektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam,

terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha,

lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Orang awam biasa

menyebutnya dengan panu.

Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di

badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak

teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi

7

Page 8: 15.Lepra (Morbus Hansen)

bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun

jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak

mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.

Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan

berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan

pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.

Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua

tidak luput dari infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi

infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat

pengobatan steroid dan malnutrisi.

Gambar 3. Pitiriasis Versikolor

4. Pitiriasis Alba1

Pitirasis Alba adalah bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui

penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang

akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Pitiriasis alba sering

dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.

Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau

sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang

dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita

datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.

Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada anak-

anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi,

serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada

bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya

menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.

8

Page 9: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Gambar 4. Gambaran Leni pada Pitiriasis Alba

5. Tinea Corporis1

Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut. Kelainan yang dilihat

dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,

skuama, kadang-kadang dengan visikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya

lebih tenang, kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi biasanya

merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat juga terlihat sebagai

lesi-lesi dengan pinggran yang polisiklik.

Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terihat pada anak-anak

dari pada orang dewasa karena umumnya mereka baru mendapatkan infeksi pertama

kali. Pada tine corporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat

lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh.

Gambar 5. Tinea Corporis

9

Page 10: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Working Diagnosis

Working Diagnosis yang diambil adalah lepra atau kusta atau morbus Hansen.

Diagnosis ini dapat diambil atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang serta adanya gejala klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi makula

hipopigmentasi yang tidak gatal, namun pada bagiaan lesi terasa baal.

5.1 Epidemiologi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama

di negara berkembang. Kusta merupakan penyakit yang bersifat endemik diseluruh

dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah

ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit

kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik,

seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta.

Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu

20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada

220.000 kasus pada tahun 2006. Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil

dimana penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak

baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih

sering terkena kusta.

Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39%

tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita

dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta

konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun.

Data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat

penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat maka

akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan

reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa.

Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.

5.2 Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.

Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di

biakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x

0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.1

10

Page 11: 15.Lepra (Morbus Hansen)

5.3 Patofisologi1

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala

yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi

dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat

sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai

penyakit imunologik.

Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui

tergantung pada derajat system imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien.

Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan

bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa.

Gambar 6. Hubungan Sistem Imun dengan Patogenesis Lepra

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah

akral dengan vasularisasi yang sedikit. Sumber penularan adalah melalui kontak

langsung yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dapat juga menular

melalui mukosa hidung, tempat tidur, pakaian, dan ada kemungkinan dikarenakan

gigitan serangga.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa kondisi imun seseorang dapat

menentukan bentuk gejala yang nantinya akan diderita. Ridley dan Jopling

memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas

11

Page 12: 15.Lepra (Morbus Hansen)

berbaai tipe atau bentuk, yaitu: TT (tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), Ti

(Tuberkuoid indefnite), BT (borderline tuberculoid), BB (mid borderline), BL

(broderline lepromatous), Li (lepromatosa idefinite), dan LL (lepromatosa polar,

bentuk yang stabil). Selain bentuk-bentuk determinate, terdapat juga bentuk

indeterminate (I). Tiap-tiap bentuk tersebut diklasifikasikan berdasarkan pada

perbedaan manifestasi klinis yang dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.

Gambar 7. Patogenesis Lepra1

5.4 Gejala Klinis

Seperti yang telah disinggung diatas, terdapat bentuk-bentuk penyakit lepra yang

didasarkan pada gejela klinisnya. Satu persatu bentuk-bentuk tersebut akan dibahas di

bawah ini.

5.4.1 Lepra tipe Indeterminate (I)

Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian

menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20

sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan

hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau

negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar

25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate.5

12

Page 13: 15.Lepra (Morbus Hansen)

5.4.2 Lepra tipe Determinate

5.4.2.1 Lepra tipe Tuberkuloid (TT)

Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit

tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering,

serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan

saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n.

auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif,

sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan

adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.5

Gambar 8. Macula Hipopigmentasi pada Lepra tipe Tuberkuloid

5.4.2.2 Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)

Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya

lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai

lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan

kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif

pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.1

Gambar 9. Gambaran Leni pada Lepra Tipe BT

13

Page 14: 15.Lepra (Morbus Hansen)

5.4.2.3 Lepra tipe Mid Boderline (BB)

Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini

dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan

hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang

curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif,

dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB

sangat tidak stabil.1

5.4.2.4 Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)

Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau bercak-

bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang

berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat Kelainan

saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat,

dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.5

Gambar 10. Multipel Erithematous Plak pada BL6

5.4.2.5 Lepra tipe Lepromatosa (LL)

Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah

banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus

serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru

terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung

menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh

hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi,

14

Page 15: 15.Lepra (Morbus Hansen)

menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa,

plakat, dan nodul.

Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan

bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari Langan dan kaki membengkak. Dapat

terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami

kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka

akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala

mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam

positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.3

(a) (b)

Gambar 11. (a) Gambaran Muka Singa pada Penderita Lepra tipe Lepromatosa, (b)

Nodul pada Wajah Penderita Lepra tipe Lepromatosa

Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam

deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh

granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan

merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-

tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas

primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur

sendi, mutilasi tangan dan kaki.

15

Page 16: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Gambar 12. Deformitas pada Penderita Lepra

Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala yang ditunjukan dari

kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis, clawing kelingking dan jadi manis, atrofi hipotenar dan otot interosesus serta

kedua otot lumbrikalis medial. Gejala pada kerusakan N.medianus, meliputi anastesia

pada ujung jari pada bagian anterior ibu jari; telunjuk dan jari tengah, tidak mampu

aduksi ibu jari, clawing ibu jari;telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur, serta

atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum manus dan ujung

proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tak mampu ekstensi jari-jari

atau pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.popitea lateralis antaralain anastesia

tungkai bawah; bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan

kelemahan otot peroneus. Gejala kerusakan pada N.tibialis posterior meliputi

anastesia telapak kaki, claws toes, paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.

Jika terjadi kerusakan pada N.fasialis, gejala yang akan tampak antara lain

lagoftalmus, kehilangan ekpresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Terakhir,

jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien akan mengalami anastesia kulit

wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu juga akan terjadi atrofi otot tenar dan

kedua otot lumbrikalis lateral. Dibawah ini tersedia tabel yang ditujukan untuk

memudahkan pembaca mengetahui letak perbedaan dari tiap-tiap bentuk lepra.

16

Page 17: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Tabel 1. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)1

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline

Lepromatosa (BL)

Mid Borderline

(BB)

Lesi:

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

Makula

Infiltrat difus

Papul

Nodus

Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Tidak ada sampai

tidak jelas

Makula

Plakat

Papul

Sukar dihitung, masih

ada kulit sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

Plakat

Dome-shaped

(kubah)

Punched-out

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas

ada

Asimetris

Agak kasar,

agak berkilat

Agak jelas

Lebih jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret

hidung

Banyak (ada globus)

Bannyak (ada

globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

17

Page 18: 15.Lepra (Morbus Hansen)

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)1

Sifat Tuberkuloid

(TT)

Bordeline

Tuberculoid

(BT)

Indeterminate

(I)

Lesi

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

Makula saja,

makula dibatasi

infiltrat

Satu, dapat

beberapa

Asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Makula dibatasi

infiltrat: infiltrat

saja

Beberapa atau

satu dengan

satelit

Masih asimetris

Kering bersisik

Jelas

Jelas

Hanya makula

Satu atau

beberapa

Variasi

Halus, agak

berkilat

Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

Tak ada sampai

tidak jelas

BTA

Lesi kulit Hampir selalu

negatif

Negatif atau

hanya 1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif

lemah atau

negative

18

Page 19: 15.Lepra (Morbus Hansen)

5.5 Penatalaksanaan

5.5.1 Medikamentosa1

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS

(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai

sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak

1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO

menambahkan 3 obat alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.

5.5.1.1 DDS (Dapson)

DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat berupa

tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat bakteriostatik

yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100

mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa

anemia hemolitik.

Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap

obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah obat

harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau makan, mual,

muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala vertigo, penglihatan

kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.

5.5.1.2 Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS

dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin

tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan

terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh

diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan

sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp.

Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson

dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,

gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.

5.5.1.3 Klofazimin (leprene)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan

Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang

19

Page 20: 15.Lepra (Morbus Hansen)

sehari, atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan

dosis lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.

Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.

Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan

pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan

masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin

adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit.

Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat

dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri

abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan

berat badan.

5.5.1.4 Obat Alternatif: Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif terhadap

Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal

yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup

sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna

lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,

dizziness, nervousness dan halusinasi.

5.5.1.5 Obat Alternatif: Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada

klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standart harian 100mg.

Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran

cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan unsteadiness. Oleh sebab itu

tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

5.5.1.6 Obat Alternatif Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta

lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek

sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila

obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

20

Page 21: 15.Lepra (Morbus Hansen)

5.5.2 Non Medikamentosa3

Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya

memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan

bila bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi

matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai

dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki

direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. Cara lain ialah secara

kekaryaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga

dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan

terapi psikologik (kejiwaan).

5.6 Prognosis

Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa

pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang

menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.

Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL, bisa

berubah menjadi tipe LL apabila mengaami rekasi downgading (imunitas menurun)

atau justru menjadi tipe TT apabila mengalami upgrading (imunitas meningkat),

kedua reaksi tersebut disebut sebagai rekasi lepra tipe 1.1

Sementara itu dapat juga muncul reaksi lepra tipe 2 yaitu ENL (eritema nodosum

leprosum) yang timbul pada tipe TT dan LL. Pada reaksi ini, imunitas humoral

menurun sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang banyak dilepas dan kemudian

mengaktifkan komplemen. Pasien dapat mengalami ini pada saat menerima terapi

Dapson. Gejalanya dapat berupa maligna, demam, sampai menggigil. Selain itu,

infiltrat pada lesi juga dapat bertambah.

Kesimpulan

Lepra atau kusta atau juga dikenal dalam dunia kedokteran sebagai morbus

Hanses, merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Awalnya

bakteri tersebut menyerang sistim saraf perifer, lalu berlanjut ke kulit dan mukosa

traktur respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali sistem

saraf pusat. Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien didasarkan pada seberapa kuat

kondisi kekebalan tubuh pasien tersebut. Berdasarkan dari perbedaan-perbedaan

21

Page 22: 15.Lepra (Morbus Hansen)

manifestasi klinis tersebut, lepra dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu: I, TT, BT,

BB, BL, dan L. Hingga saat ini, Dapson, Rimfamisin, dan Klofasimin masih menjadi

obat yang paling sering digunakan untuk proses penyembuhan penderita kusta.

Daftar Pustaka1. Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.2. Prof. Dr. R.S. Siregar, SpKK (K). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed. II.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.3. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. British

Association of Dermtologis – Cinical and Experimental Dermatology [serial online]. Available from URL: http:/www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2230.2011.04088.x/pdf

4. Sharma S.K. Miracles of urin therapy. New Delhi: Diamond Pocket Books; 2005.h.104.

5. Amirudin D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68

6. Thakkar S, Patel SV. Clinical profile of leprosy patients: a prospective study. Indian Journal of Dermatologi [serial online]. 2014. Vol 59 (2). Avaliable from URL: http://www.e-ijd.org.

22