14
16 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang dapat ditemukan di perairan tawar dan laut. Mekanisme fotosintesis mikroalga mirip dengan tumbuhan darat, dikarenakan kesamaan pada struktur selulosa yang dimilikinya.Bila dibandingkan dengan organisme fotosintetik lainnya, mikroalga paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO 2 untuk keperluan fotosintesis karena organisme ini mengandung klorofil serta pigmen-pigmen lain untuk mengkonversi fotosintesis menjadi biomassa dan akumulasi pati. Mikroalga hidup secara planktonik di perairan, namun juga dapat hidup secara epifit dan bentik di dasar perairan yang memiliki intensitas cahaya yang cukup (Rodjaroen et al. 2007; Gouveia 2011; Barsanti & Gualtieri 2005). Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen, spiral dan bulat. Berbagai macam morfologi mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi mikroalga A: Pterosperma, B: Nephroselmis, C:Tetraselmis D: Chlorella, E: Oocytis, F: Haematococcus, G: Pediastrum, H: Bulbochaete, I: Chaetophora dan J: Ulothrix (Leliaert et al. 2012). Mikroalga dapat dibagi ke dalam empat kelompok utama (NREL 2003): 1) Diatom (Bacillariophyceae). Mikroalga dalam kelompok ini mendominasi mikroalga di laut, namun beberapa jenis diketahui hidup di air tawar. Sebanyak 100.000 jenis mikroalga yang termasuk dalam kelompok ini. Diatom mengandung silika yang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/58559/BAB II... · 11 16 2 TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Mikroalga . Mikroalga merupakan

Embed Size (px)

Citation preview

11 16

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroalga

Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang dapat ditemukan di

perairan tawar dan laut. Mekanisme fotosintesis mikroalga mirip dengan

tumbuhan darat, dikarenakan kesamaan pada struktur selulosa yang

dimilikinya.Bila dibandingkan dengan organisme fotosintetik lainnya, mikroalga

paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2

untuk keperluan fotosintesis karena organisme ini mengandung klorofil serta

pigmen-pigmen lain untuk mengkonversi fotosintesis menjadi biomassa dan

akumulasi pati. Mikroalga hidup secara planktonik di perairan, namun juga dapat

hidup secara epifit dan bentik di dasar perairan yang memiliki intensitas cahaya

yang cukup (Rodjaroen et al. 2007; Gouveia 2011; Barsanti & Gualtieri 2005).

Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen, spiral dan bulat.

Berbagai macam morfologi mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi mikroalga A: Pterosperma, B: Nephroselmis, C:Tetraselmis

D: Chlorella, E: Oocytis, F: Haematococcus, G: Pediastrum, H: Bulbochaete, I: Chaetophora dan J: Ulothrix (Leliaert et al. 2012).

Mikroalga dapat dibagi ke dalam empat kelompok utama (NREL 2003):

1) Diatom (Bacillariophyceae).

Mikroalga dalam kelompok ini mendominasi mikroalga di laut, namun

beberapa jenis diketahui hidup di air tawar. Sebanyak 100.000 jenis mikroalga

yang termasuk dalam kelompok ini. Diatom mengandung silika yang

5

terpolimerisasi dalam dinding sel. Karbon disimpan dalam bentuk minyak nabati

maupun polimer karbohidrat yang disebut chrysolaminarin.

2) Alga hijau (Chlorophyceae).

Mikroalga yang memiliki kelimpahan tinggi terutama di perairan tawar dan

hidup dalam bentuk soliter maupun koloni. Karbon disimpan dalam bentuk pati.

3) Alga hijau biru (Cyanophyceae).

Mikroalga kelompok ini memiliki struktur yang lebih menyerupai bakteri

dan berperan dalam fiksasi nitrogen. Sekitar 2000 jenis mikroalga yang termasuk

dalam kelompok ini tersebar dalam berbagai habitat.

4) Ganggang emas (Chrysophyceae).

Kelompok alga ini menyerupai diatom, namun memiliki pigmen yang lebih

rumit, dan nampak berwarna kuning, jingga atau cokelat.

Mikroalga telah sejak lama dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan,

terutama sebagai sumber vitamin, antioksidan, pewarna atau bahan aditif yang

aman, serta digunakan pula dalam industri farmakologi dalam skala besar. Hal ini

tidak lepas dari komposisi kimia yang terkandung dalam mikroalga, dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia protein, karbohidrat, lipid dan asam nukleat dalam %

dari bobot kering mikroalga.

Mikroalga Protein Karbohidrat Lipid As. Nukleat

Scenedesmus obliquus

Scenedesmus quandricauda

Scenedesmus dimorphus

Chlamydomonas rheinhardii

Chlorella vulgaris

Chlorella pyrenoidosa

Spirogyra sp.

Dunaliella salina

Euglena gracilis

Prymnesium parvum

Tetraselmis maculata

Porphyridium cruentum

Spirulina platensis

Spirulina maxima

Synechoccus sp. Anabaena cylindrica

50-56

47

48-18

48

51-58

57

56-20

57

39-61

28-45

52

28-39

46-63

60-71

63 43-56

10-17

10-

21-52

17

12-17

26

33-64

32

14-18

25-33

15

40-57

48-14

13-16

15 25-30

12-14

11,9

16-40

21

14-22

12

11-21

16

14-20

22-38

23

29-14

24-9

26-7

11 14-7

3-6

3-

3-

3-

4-5

4-

4-

4-

4-

1-2

1-

1-

2-5

3-4,5

5 5-

Sumber: Becker (1994)

6

2.2 Pemanfaatan Mikroalga di Bidang Kesehatan

Mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi dan

kosmetika, karena adanya kandungan berbagai senyawa kimia yang dapat

dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk pengobatan dan pencegahan berbagai

macam penyakit. Yuan dan Walsh (2006) menjelaskan bahwa konsumsi alga laut

berkorelasi dengan rendahnya tingkat penderita kanker payudara di Asia Timur.

Sebagai contoh, prevalensi kasus penderita kanker payudara dalam 1 tahun per

100.000 penduduk di Jepang dan Cina masing-masing adalah 42,2 dan 13,1,

dibandingkan dengan kasus di Amerika Utara dan Eropa yang masing-masing

sebesar 125,9 dan 106,2. Teas et al. (2004) juga menjelaskan bahwa sebagian

besar kelompok masyarakat di Chad mengkonsumsi Spirulina rata-rata sebanyak

1-2 sendok makan (3-13 g) per harinya, hal ini diyakini dapat mencegah infeksi

virus HIV.

Hasil-hasil riset menjelaskan bahwa terdapat komponen aktif mikroalga

yang menunjukkan aktivitas biologis sebagai antivirus. Talyshinsky et al. (2002)

menjelaskan bahwa dekstran sulfat dan polisakarida yang dihasilkan mikroalga

berpotensi menghambat HIV tipe 1 dan 2 dengan cara menghambat induksi

sitopatogenetik dan ekspresi antigen dari virus HIV. Sulfat polisakarida yang

dihasilkan juga dapat menghambat aktivitas reversetranscriptase dan RNAse pada

proses replikasi retrovirus. Hasil riset Shih et al. (2003) menjelaskan bahwa

allophycocyanin yang dihasilkan oleh Spirulina platensis dapat menetralisir efek

sitopatik dari enterovirus pada sel manusia secara in vitro.

2.3 Hepatitis C

Hepatitis merupakan penyakit yang menyebabkan pembekakan pada hati.

Penyakit hepatitis terdiri atas beberapa jenis, yaitu hepatitis A, B, C, D, E, F dan

G. Ketujuh hepatitis ini disebabkan oleh virus yang berbeda (WHO 2002).

Penderita hepatitis C seringkali tidak menunjukkan gejala khusus walaupun telah

bertahun-tahun terinfeksi. Gejala yang ditunjukkan sangat umum seperti lelah,

hilangnya selera makan, mual, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata

berwarna kuning (Solga et al. 2007). Penderita baru menyadari bahwa telah

7

terinfeksi virus hepatitis C (HCV) ketika berada pada tahap yang lebih kritis.

Kerusakan organ hati penderita hepatitis C dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahap perkembangan kerusakan hati pada penderita hepatitis C

(Solga et al. 2007).

Kerusakan hati dapat ditandai dengan adanya konsentrasi enzim alanin

aminotransferase (ALT) yang lebih tinggi dari normal. Pada penyakit hepatitis C,

setelah terjadinya infeksi (tahap infeksi akut), 15-40% penderita akan sembuh

dengan sendirinya dalam waktu 6 bulan dan tidak beresiko menderita penyakit

hati melalui hepatitis C serta tidak menularkan kepada yang lainnya. Pada tahap

ini, hati dapat melawan patogen dan mengembalikan fungsinya yang terganggu

dengan membentuk fibrosis (luka kecil atau parut). Namun, sekitar 60-80%

penderita hepatitis C akut ini tidak dapat sembuh dan berkembang menjadi

hepatitis kronis. Pada tahap ini, penderita akan rentan terhadap sirosis hati,

kegagalan fungsi hati, dan kanker hati (hepatocellular carcinoma), tetapi

untungnya, perkembangan ini terjadi sangat lambat. Hanya 10 hingga 15%

penderita kronis yang mengalami sirosis hati dalam jangka waktu 20 tahun

(Shiffman 2006).

Terapi hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon seminggu

sekali yang dimasukkan ke tubuh melalui injeksi. Pemberian interferon tersebut

dikombinasikan dengan ribavirin. Mekanisme terapi untuk hepatitis C dari kedua

bahan tersebut masih belum banyak diketahui. Selain itu, terapi tersebut kurang

efektif karena menimbulkan efek samping, seperti mual, anemia, depresi, dan

harganya relatif mahal. Manfaat terapi kedua bahan tersebut berbeda hasilnya di

tiap individu, tergantung pada genotip dari virus hepatitis C

(Jawaid & Kuwaja 2008)

8

2.4 Virus Hepatitis C

Virus Hepatitis C (HCV) merupakan anggota dari famili Flaviviridae

dengan genus Hepacivirus. Virus ini merupakan virus RNA positif. Virus

berbentuk bulat dengan diameter partikelnya 55-65 nm, dan memiliki selubung

glikoprotein. Selain itu, terdapat inti (core) dan di dalamnya terdapat viral RNA.

Virus hepatitis C dibagi menjadi enam genotipe yang disandikan dengan angka,

yaitu genotipe satu sampai enam (Worman & Lin 2000). Bentuk dari virus

hepatitis C dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur virus hepatitis C (HCV) (Moradpour et al. 2007).

Genom HCV berukuran 9,6 kilobasa yang mengkodekan sekitar 3011 asam

amino. Poliproteinnya dipotong setelah proses translasi dan dibagi menjadi

protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural terdiri dari sebuah

nukleokapsid inti, protein p7, dan dua glikoprotein selubung virusnya (E1 dan

E2). Dua daerah pada E2 merupakan daerah hipervariabel 1 dan 2. Daerah

tersebut menunjukkan hipermutasi dari selubung sehingga sangat spesifik

terhadap antibodi. Daerah E2 juga terdapat sisi pengikatan terhadap cluster of

differentiation 81 (CD81), reseptor virus pada hepatosit dan sel limfosit B

(Tellinghuisen et al. 2007).

Protein nonstruktural pada HCV terbagi menjadi empat macam, yaitu NS1,

NS2, NS3, NS4 (NS4A dan NS4B), dan NS5 (NS5A dan NS5B). Protein

nonstruktural tersebut berfungsi dalam reaksi enzimatis yang berperan dalam

replikasi virus. NS1 berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA.

NS2A bersifat hidrofobik yang berfungsi dalam perakitan virion (virus baru) dan

9

pelepasan partikel virus. NS2B membentuk kompleks dengan NS3 berperan

sebagai kofaktor bagi serin protease dari NS3. Protein NS3 mengkodekan RNA

helikase yang berperan dalam replikasi virus. NS5A merupakan daerah yang

sensitif terhadap interferon, sedangkan NS5B berperan di dalam RNA-dependent

RNA polimerase (RdRp) (Tellinghuisen et al. 2007). Peta genomik dari HCV

dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta genomik HCV (Anzola dan Burgos 2003).

2.5 Ribonucleid Acid (RNA) Helikase

Helikase berasal dari kata “helix” yang berarti struktur pasangan DNA

“double helix” dan “ase” yang berarti enzim, sehingga helikase berarti enzim yang

memisahkan pasangan rantai DNA (DNA helikase) atau RNA (RNA helikase).

Helikase pertama kali ditemukan dalam proses replikasi DNA bakteri

Eschericia coli. RNA helikase ditemukan pada bakteri, khamir, dan virus. Pada

virus hepatitis C, enzim ini dikodekan oleh protein NS3 RNA helikase

(Kadare & Haenni 1997).

Mekanisme kerja RNA helikase HCV secara umum adalah pertama-tama

helikase akan berikatan pada ujung 3’ RNA utas ganda. Tahap kedua, ATP akan

berikatan pada sisi aktif RNA helikase dan dihidrolisis pada gugus fosfat terluar

menghasilkan ADP dan fosfat anorganik (Pi). Pada proses hidrolisis ATP ini

mengeluarkan energi yang cukup besar dan digunakan untuk memisahkan RNA

utas ganda menjadi utas tunggal. Pemisahan RNA utas ganda dilakukan dengan

pemutusan ikatan hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut

10

(Utama et al. 2005). Mekanisme kerja RNA helikase HCV dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5 Mekanisme kerja RNA helikase HCV (Hairany 2010).

Berdasarkan mekanisme kerja tersebut, selain memiliki aktivitas untuk

memisahkan utas ganda RNA, RNA helikase juga memiliki aktivitas untuk

menghidrolisis ATP (ATPase) dan aktivitas pengikatan RNA (RNA-binding).

Ketiga aktivitas ini saling berpengaruh satu dengan lainnya. Oleh karena itu,

helikase menjadi target yang potensial untuk penemuan obat antivirus. Obat

antivirus ini dapat dikembangkan dengan suatu senyawa yang dapat menghambat

(inhibitor) aktivitas helikase.

2.6 Polisakarida

Polisakarida, atau bisa disebut “glikan”, terdiri dari monosakarida dan

turunannya. Polisakarida terbagi menjadi homopolisakarida dan

heteropolisakarida. Homopolisakarida atau homoglikan merupakan polisakarida

yang penyusunnya hanya terdiri dari satu jenis monosakarida, sedangkan

penyusun heteropolisakarida lebih dari satu jenis monosakarida. Komponen

umum polisakarida adalah glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, arabinosa dan

xylosa. Beberapa turunan monosakarida yang terdapat pada polisakarida adalah

gula amino (glukosamin dan galaktosamin) dan asam gula sederhana (glukuronat

dan asam iduronat). Penyebutan homopolisakarida dapat berdasarkan unit gula

11

penyusunnya, sehingga glukosa homopolisakarida dapat disebut “glukan”, sama

halnya dengan mannosa homopolisakarida yang dapat disebut “mannan”

(d’Ayala et al. 2008).

Polisakarida telah digunakan sebagai pengental, flokulan dan minyak

pelumas. Beberapa polisakarida dari mikroalga berpotensi sebagai antivirus

(Huleihel et al. 2001). Salah satu jenis mikroalga merah, Porphyridium cruentum

merupakan salah satu penghasil polisakarida ekstraseluler dalam jumlah besar.

Sel-sel mikroalga dibungkus oleh polisakarida sulfat dalam bentuk gel. Selama

pertumbuhan dalam media cair, viskositas medium meningkat karena pengeluaran

polisakarida dari permukaan sel ke dalam media (polisakarida larut air). Kapsul

polisakarida paling tipis selama fase pertumbuhan dan tebal selama fase stasioner

(Arad & Richmond 2004). Menurut Laurienzo (2010) bahwa mikroalga diketahui

memanfaatkan polisakarida yang disintesisnya untuk bertahan hidup pada kondisi

lingkungan yang ekstrim. Letak polisakarida pada sel mikroalga dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6 Polisakarida Porphyridium cruentum (Arad & Richmond 2004).

Prosedur isolasi polisakarida dari mikroorganisme tergantung pada letak

polisakarida terikat pada dinding sel atau diekskresikan oleh sel sebagai pelindung

atau pengotor. Isolasi dapat dilakukan dengan ekstraksi dari biomassa sel. Namun,

pada masa ini isolasi polisakarida dilakukan dengan sentrifugasi maupun filtrasi

untuk memisahkan produk dari sel (Giavasis & Bilianderis 2006).

12

2.7 Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu proses migrasi diferensial, komponen-

komponen senyawa yang dibawa oleh fasa gerak, dan ditahan secara selektif oleh

fasa diam. Peristiwa tersebut terjadi di dalam kolom kromatografi. Adanya

peristiwa yang komplek pada metode kromatografi, menjadikan kromatografi

dapat digunakan untuk menganalisis senyawa sampai sedetail mungkin. Prinsip

kromatografi adalah penggunaan dua fase yang berbeda yaitu fasa tetap dan fasa

bergerak. Proses pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa tersebut

(Al Baarri 2003). Penelitian ini menggunakan 4 teknik kromatografi, yaitu

kromatografi gel filtrasi, kromatografi penukar ion (ion-exchange), kromatografi

lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.

2.7.1 Kromatografi gel filtrasi

Kromatografi gel filtrasiatau sering disebut filtrasi gel merupakan salah satu

metode yang digunakan untuk memisahkan senyawa menurut ukuran dan bentuk.

Sampel kemudian dimasukan pada ujung atas kolom dan elusi dilakukan dengan

memberikan larutan bufer melalui kolom. Larutan bufer ini memiliki prinsip tidak

boleh lebih polar dibandingkan dengan fase diam atau yang disebut juga kolom.

Besar molekul akan terbagi menjadi 3 bagian yang ditunjukkan oleh berbagai

warna pada Gambar 7.

Gambar 7 Kromatografi gel filtrasi (Koolman 2005).

Molekul yang berukuran besar tidak mampu menembus matriks dari kolom

sehingga akan melewati kolom lebih dahulu. Bobot molekul menengah dan bobot

13

molekul kecil akan tertahan oleh kolom lebih lama (Koolman 2005). Batas

pemisahan dari sebuah ukuran merupakan indikasi bobot molekul untuk tipe

polimer (Hagel 1998).

Keuntungan dari metode ini adalah dapat memisahkan dengan baik molekul

besar dari molekul kecil serta dapat menggunakan berbagai pelarut tanpa harus

mengganggu proses pemisahan. Penggunaan kromatografi gel filtrasi ini akan

didapatkan pemisahan yang baik, sensitifitas yang baik, dan waktu yang

diperlukan untuk pemisahan cepat. Selain itu tidak ada sampel yang tertinggal

karena pelarut tidak berinteraksi dengan fase diam (Skoog 2006). Namun

Kehilangan molekul dapat terjadi selama proses pemurnian dengan menggunakan

teknik kromatografi gel filtrasi karena autolisis (Scopes 1987).

Prinsip dasar kromatografi gel filtrasi adalah partikel dengan ukuran yang

berbeda akan dielusi melalui fase stasioner pada tingkat yang berbeda. Hal ini

menyebabkan pemisahan partikel berdasarkan ukuran. Setiap kolom memiliki

jangkauan berat molekul yang dapat dipisahkan. Molekul besar tidak dapat

terjebak dalam matriks fase diam sehingga akan terlebih dahulu terlewati kolom.

Bobot molekul menengah dan kecil terjebak dalam matriks sehingga akan lebih

lama untuk terlewati fase diam (Skoog 2006).

2.7.2 Kromatografi ion-exchange

Kromatografi penukaran ion (ion-exchange chromatography) biasa

digunakan untuk pemurnian materi biologis. Purwadaria (1999) menjelaskan

bahwa pada sistem kromatografi ini, molekul senyawa dipisahkan berdasarkan

perbedaan afinitas terhadap penukar ion. Afinitas molekul dengan penukar ion

dapat dilepaskan dengan mengubah kadar garam atau pH larutan eluen. Selain itu

sistem pengaturan perubahan kadar garam atau pH eluen baik dengan gradasi

linier ataupun gradasi bertingkat dapat pula mempengaruhi jumlah molekul yang

terpisah.

Metode ini dapat dilakukan dalam dua tipe, yaitu dalam kolom maupun

ruang datar (planar). Terdapat dua tipe penukaran ion, yaitu penukaran kation

(cation exchange) dan penukaran anion (anion exchange). Pada penukaran kation,

fase stasioner bermuatan negatif sedangkan pada penukaran anion, fase stasioner

bermuatan positif, dapat dilihat pada Gambar 8.

14

Gambar 8 Kromatografi ion-exchange (Harper 2005).

Muatan-muatan molekul akan memiliki sifat ketika muatan molekul yang

sama dengan kolom, maka molekul tersebut akan terelusi, namun muatan pada

molekul tidak sama dengan kolom, maka molekul tersebut akan membentuk

ikatan ionik dengan kolom (Carrier 1997). Prinsip dasar yang digunakan adalah

molekul dengan muatan positif bersih pada pH tertentu akan berikatan dengan

gugus fungsional bermuatan negatif seperti carboxylates atau sulfat (penukar

kation). Demikian pula, molekul bermuatan negatif bersih berikatan dengan

molekul bermuatan positif pada gugus fungsional, biasanya tersier atau kuaterner

amina (penukar anion).

2.7.3 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan

Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain

kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang

mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis

tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan

bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik

(Gandjar & Rohman 2007). Teknik ini biasa digunakan untuk memisahkan

komponen dari suatu campuran senyawa organik alam, sintetis, dan campuran

kompleks anorganik. Fase gerak yang digunakan tergantung dari senyawa yang

ingin dipisahkan (Harjadi 1976).

Pemisahan komponen melalui berbagai tahap. Pertama dilakukan pemisahan

sampel dengan penotolan pada plat silika yang telah didesain. Plat silika pada

bagian bawah diberi sebuah garis untuk menandakan posisi awal penotolan.

15

Selanjutnya dibuat pula sebuah garis akhir menggunakan pensil. Jarak antara garis

awal dengan garis akhir biasanya 5 cm. Plat yang telah ditotol dengan sampel

dimasukkan ke dalam bejana pengembang yang telah terdapat eluen hasil proses

penjenuhan yang dilakukan selama 20 menit. Penjenuhan berfungsi agar eluen

lebih efektif dalam memisahkan komponen tersebut. Eluen akan memisahkan

komponen hingga garis akhir yang telah didesain. Semakin dekat kepolaran antara

sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut

(Wilson & Walker 1994). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kromatografi lapis tipis (Tissue 1996).

Tahapan selanjutnya adalah visualisasi atau deteksi. Deteksi atau visualisasi

sampel yang tidak berwarna dapat menggunakan dua cara, yaitu penyinaran

dengan sinar UV (254 nm dan 356 nm) dan pereaksi kimia (ninhidrin, FeSO4,

Dragendroff, dan anilin). Pada saat disinari dengan sinar UV, komponen yang

terpisahkan akan terlihat seperti spot atau bidang kecil yang berwarna gelap.

Deteksi komponen juga dapat dilakukan dengan menempatkan kromatogram pada

bejana tertutup yang telah dijenuhkan dengan kristal iod. Uap kristal iod bereaksi

dengan komponen yang terpisahkan dan terlihat seperti bercak-bercak kecoklatan.

Aplikasi dari teknik ini dapat digunakan untuk analisis kuantitatif

(membandingkan retardation factor (Rf) senyawa murni dengan komponen, pola

sidik jari, dan menentukan jumlah komponen) dan preparatif (untuk memperoleh

senyawa murni). Nilai Rf yang akan dihasilkan dari suatu senyawa bernilai sama

meskipun jarak plat yang digunakan berbeda (Wilson & Walker 1994).

2.7.4 Kromatografi cair kinerja tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi atau High Performance Liquid

Chromatography (HPLC) merupakan suatu metode yang sensitif dan akurat untuk

penentuan kuantitatif serta baik untuk pemisahan senyawa yang tidak mudah

16

menguap. Pemisahan dengan HPLC mempunyai beberapa keuntungan

dibandingkan dengan metode konvensional seperti waktu analisis yang cepat,

biaya yang rendah dan kemungkinan untuk menganalisis sampel yang tidak stabil

(Nurhamidah 2005). Komponen penyusun HPLC secara skematik dapat dilihat

pada Gambar 9.

Gambar 10 Skematik komponen HPLC (LC Resources Inc. 2001)

Mardiana dan Ramdani (2008) menjelaskan komponen HPLC yang terdiri

dari :

1) Tandon (Reservoir)

Reservoir terbuat dari gelas atau stainless stell. Jumlahnya bisa satu, dua

atau lebih. Reservoir yang baik disertai degassing system yang berfungsi untuk

menghilangkan gas-gas yang terlarut dalam solven. Gas terlarut tersebut antara

lain adalah oksigen. Degassing dilakukan dengan mengalirkan gas inert dengan

kelarutan yang sangat kecil.

2) Pompa

Fungsi pompa adalah untuk memompa fase gerak (solvent) ke dalam kolom

dengan aliran yang konstan dan reproducible.

3) Katup injektor

Bagian ini merupakan tempat dimana sampel diinjeksikan untuk selanjutnya

dibawa oleh fase gerak ke dalam kolom.

4) Kolom

Kolom merupakan jantung kromatografi. Berhasil atau tidaknya suatu

analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai.

17

Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kolom analitik dan kolom

preparatif.

5) Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di

dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadarnya (analisis kuantitatif).

6) Recorder

Hasil pembacaan detektor kemudian diolah oleh suatu processor kemudian

dikirim ke recorder. Recorder akan membuat suatu tampilan kromatogram. Untuk

HPLC dilengkapi seperangkat software yang dapat menghitung luas kromatogram

dan bahkan sekaligus menghitung kadarnya.

2.8 Uji Kolorimetri ATPase

Penentuan aktivitas penghambatan RNA helikase HCV menggunakan uji

kolorimetri ATPase (Utama et al. 2000). Pengujian ini mengukur besar

penghambatan terhadap RNA helikase pada salah satu aktivitas enzimatiknya,

yaitu ATPase (RNA-stimulated ATPase). Penghambatan terhadap aktivitas

ATPase, secara tidak langsung juga menghambat aktivitas RNA helikase secara

keseluruhan, karena helikase membutuhkan energi yang dihasilkan dari hidrolisis

ATP untuk memisahkan untai ganda RNA (Hairany 2010).

Prinsip ujinya adalah pengukuran fosfat bebas/anorganik (Pi) yang

terbentuk dari hidrolisis ATP oleh RNA helikase. Fosfat bebas akan membentuk

kompleks warna dengan amonium molibdat membentuk fosfomolibdat.

Fosfomolibdat akan bereaksi dengan enzim RNA helikase sehingga protein akan

mengendap dan menimbulkan kekeruhan. Polivinil alkohol akan melarutkan

kembali protein yang mengendap sehingga tidak terjadi kekeruhan. Warna yang

terbentuk sebanding dengan konsentrasi fosfat bebas yang dihasilkan dari

hidrolisis ATP. Penghentian reaksi warna dengan penambahan Na-sitrat yang

dapat mencegah pembentukan warna yang berlebih (Chan et al. 1986).