27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Sosiodemografi Responden Kondisi sosiodemografi responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi karakteristik usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, uang saku (pendapatan) per bulan, dan kebiasaan olahraga (Tabel 3 dan Tabel 4). Pada penelitian ini dipilih 17 orang responden laki-laki sehat tidak secara acak, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Responden berusia 20-27 tahun merupakan mahasiswa tingkat sarjana atau pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara sosiodemografi, responden tinggal di sekitar kampus IPB Darmaga. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pengontrolan responden selama intervensi. Kriteria pemilihan responden di atas dimaksudkan untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh perbedaan aktivitas sehari-hari dan lingkungan tempat tinggal. Rentang usia antar responden yang berdekatan dipilih agar memiliki kemiripan dalam kebutuhan nutrisi makanan dan metabolismenya. Tabel 3 Kondisi sosiodemografi responden Karakteristik Individu Jumlah (orang) Persentase (%) Total Responden 17 100 Jenis Kelamin Laki-laki 17 100 Usia Dewasa (20-27 tahun) 17 100 Tingkat Pendidikan - lulus SMA 12 70.6 - lulus Perguruan Tinggi (S1) 5 29.4 Pekerjaan Pelajar 17 100 - mahasiswa S1 12 70.6 - mahasiswa S2 5 29.4 Uang saku/bulan Rp. 500.000 - 1.000.000 14 82.3 > Rp. 1.000.000 - 1.500.000 2 11.8 > Rp. 1.500.000 1 5.9 Responden memiliki aktivitas olahraga yang aktif menggunakan kegiatan fisik dan melibatkan kaki. Sebagian besar responden berolahraga futsal (47%) dan bulutangkis (29%). Adapun sisanya beladiri, tenis meja, bersepeda maupun jogging, masing-masing sebesar 5% (Tabel 3). Frekuensi latihan responden rata- rata 1x/minggu, dengan intensitas kurang lebih selama satu jam. Responden tergolong pelaku olahraga kesehatan, yaitu orang yang berolahraga dengan intensitas rendah sampai sedang. Olahraga intensitas rendah dilakukan kontinu dan homogen selama 20-30 menit, 3-5x/minggu, dengan target denyut nadi 65- 80%, seperti: jalan, lari lambat, renang, bersepeda (Santosa dan Dikdik 2012).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · merusak paru-paru juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak. Efek ... 4.1 VO2 max VO2 max merupakan salah satu parameter

  • Upload
    hakhanh

  • View
    228

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sosiodemografi Responden

Kondisi sosiodemografi responden yang diamati dalam penelitian ini

meliputi karakteristik usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, uang saku (pendapatan)

per bulan, dan kebiasaan olahraga (Tabel 3 dan Tabel 4). Pada penelitian ini

dipilih 17 orang responden laki-laki sehat tidak secara acak, berdasarkan kriteria

inklusi dan eksklusi. Responden berusia 20-27 tahun merupakan mahasiswa

tingkat sarjana atau pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara

sosiodemografi, responden tinggal di sekitar kampus IPB Darmaga. Hal ini ditujukan

untuk memudahkan pengontrolan responden selama intervensi. Kriteria pemilihan

responden di atas dimaksudkan untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh

perbedaan aktivitas sehari-hari dan lingkungan tempat tinggal. Rentang usia antar

responden yang berdekatan dipilih agar memiliki kemiripan dalam kebutuhan

nutrisi makanan dan metabolismenya.

Tabel 3 Kondisi sosiodemografi responden

Karakteristik Individu Jumlah (orang) Persentase (%)

Total Responden 17 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 17 100

Usia

Dewasa (20-27 tahun) 17 100

Tingkat Pendidikan

- lulus SMA 12 70.6

- lulus Perguruan Tinggi (S1) 5 29.4

Pekerjaan

Pelajar 17 100

- mahasiswa S1 12 70.6

- mahasiswa S2 5 29.4

Uang saku/bulan

Rp. 500.000 - 1.000.000 14 82.3

> Rp. 1.000.000 - 1.500.000 2 11.8

> Rp. 1.500.000 1 5.9

Responden memiliki aktivitas olahraga yang aktif menggunakan kegiatan

fisik dan melibatkan kaki. Sebagian besar responden berolahraga futsal (47%) dan

bulutangkis (29%). Adapun sisanya beladiri, tenis meja, bersepeda maupun

jogging, masing-masing sebesar 5% (Tabel 3). Frekuensi latihan responden rata-

rata 1x/minggu, dengan intensitas kurang lebih selama satu jam. Responden

tergolong pelaku olahraga kesehatan, yaitu orang yang berolahraga dengan

intensitas rendah sampai sedang. Olahraga intensitas rendah dilakukan kontinu

dan homogen selama 20-30 menit, 3-5x/minggu, dengan target denyut nadi 65-

80%, seperti: jalan, lari lambat, renang, bersepeda (Santosa dan Dikdik 2012).

25

Tabel 4 Jenis olahraga para responden (n=17)

Jenis

Olahraga

Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

Futsal 8 47.0

Bulutangkis 5 29.4

Beladiri 1 5.9

Tenis meja 1 5.9

Bersepeda 1 5.9

Jogging 1 5.9

Kondisi Kesehatan Responden

Kondisi kesehatan menjadi faktor penting dalam seleksi calon responden.

Calon responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang

ditetapkan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan di Klinik dr Katili,

Bogor. Hasil pemeriksaan kesehatan terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Ringkasan hasil pemeriksaan kesehatan responden (n=17)

Kondisi Fisik Hasil (%)

Mata: - normal 88.2

- gangguan (miopi) 11.8

Telinga: normal 100

Gigi:- normal 58.8

- gangguan (karies, calculus, radix dentis) 41.2

Tanda Vital*: normal 100

Indeks Massa Tubuh (IMT): - normal 53

- underweight 17,6

- overweight 29.4

Jantung: normal 100

Paru-paru: - normal 88.2

- gejala bronkitis** 11.8

Darah: normal 100

Kebiasaan merokok: tidak pernah 100

Kebiasaan minum alkohol: tidak pernah 100

Riwayat sakit berat: tidak pernah 94.1

- pernah (hepatitis A***) 5.9

Keterangan : *) tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh

**) namun hasil spirometri normal

***) Oktober 2011

Calon responden yang dapat mengikuti penelitian adalah yang dinyatakan

sehat oleh dokter berdasarkan parameter-parameter pada Tabel 4. Hasil

pemeriksaan kesehatan (Tabel 4) menunjukkan bahwa secara umum kondisi

26

kesehatan responden memenuhi persyaratan. Terdapat 2 orang (11.8% responden)

yang didiagnosa gejala bronkitis dari pemeriksaan rontgen tetap disertakan pada

penelitian ini berdasarkan keputusan dokter Klinik dr Katili, karena hasil

spirometri kedua responden tersebut normal serta tidak menunjukkan gejala

gangguan pernafasan, seperti batuk berdahak ataupun sesak nafas ketika

berolahraga ringan. Gejala bronkitis sering dijumpai akibat udara yang kotor

maupun asap rokok (Mengkidi 2006).

Kebiasaan merokok menjadi salah satu kriteria inklusi calon responden

dan parameter penting dalam pemeriksaan kesehatan karena merokok selain dapat

merusak paru-paru juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak. Efek

merokok diantaranya dapat menyebabkan beban miokard bertambah karena

rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO

atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah,

merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5–10% Hb menjadi

karboksi-Hb. Pada orang-orang yang merokok, ditemukan level kolesterol HDL

rendah (Mamat 2010). Schuitemaker et al (2002) melaporkan terdapat perbedaan

signifikan (p<0.04) pada nilai rata-rata total kolesterol antara perokok dan tidak

perokok yaitu: 2.2% total kolesterol; 5.5 % LDL; -8.1 % HDL; dan 13.7 %

trigliserida. Selain mengganggu metabolisme lemak, merokok juga dapat

meningkatkan kadar gula darah. Selain merokok, kebiasaan meminum alkohol

juga menjadi kriteria inklusi calon responden karena dapat meningkatkan kadar

VLDL, LDL maupun trigliserida (LIPI 2009). Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa

semua responden (100%) tidak memiliki kebiasaan merokok maupun meminum

alkohol, sehingga risiko gangguan paru-paru ataupun metabolisme lemak ataupun

karbohidrat akibat rokok maupun minuman alkohol yang dapat mempengaruhi

hasil penelitian ini dapat diantisipasi.

Uji Performa Saat Berolahraga

4.1 VO2 max

VO2 max merupakan salah satu parameter uji performa saat berolahraga

yang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran VO2 max menggambarkan

ketahanan kardiorespiratori, yaitu kemampuan maksimal seseorang untuk

mengkonsumsi oksigen, biasanya dicapai ketika seseorang melakukan aktivitas

sampai lelah (Mc Ardle et al 2006).

Hasil pengukuran VO2 max pada Gambar 6 dan Tabel 6 menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan jangka pendek

(50, 80, dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan perlakuan tanpa

minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen

tidak mempengaruhi VO2 max saat uji performa dengan treadmill. Pemberian

minuman beroksigen baik jangka pendek (50, 80 atau 130 ppm) maupun jangka

panjang (100 ppm) dapat meningkatkan nilai rata-rata VO2 max dibandingkan

meminum AMDK. Oksigen tambahan yang diserap oleh usus diharapkan dapat

memperpanjang pernafasan aerob. Oksigen berperan sebagai penerima elektron

terakhir pada metabolisme energi. Ketidakcukupan oksigen, mengakibatkan

pernafasan beralih menjadi anaerob. Namun variasi daya aerob dan anaerobik

setiap responden dan perbedaan IMT dapat mempengaruhi VO2 max. VO2 max

27

membutuhkan integrasi dari sistem respirasi, kardiovaskular, dan neuromuskuler,

dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor paling penting antara lain tingkat

latihan, jenis kelamin, komposisi tubuh, dan usia (Mc Ardle et al 2006).

Perlakuan jangka pendek dengan konsentrasi tertinggi (130 ppm) memiliki

nilai rataan terkecil karena banyak responden yang mengalami sendawa setelah

meminumnya. Hal tersebut mengganggu saat uji performa (treadmill). Pada

konsentrasi 130 ppm dimungkinkan membutuhkan waktu jeda antara meminum

sampel dengan uji performa (treadmill) yang lebih lebih lama (>15 menit) dari

sampel-sampel lainnya karena konsentrasi oksigen yang tinggi.

Penelitian Fuller (2010) juga melaporkan bahwa pemberian minuman

beroksigen (15 menit sebelum uji) pada 20 orang atlet sepakbola, tidak

memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan VO2 max. Penelitian

Pitoyo (2005) yang dilakukan kepada 24 orang mahasiswa IPB juga melaporkan

hal yang sama.

0

10

20

30

40

50

60

70

VO

2 m

ax

(m

l/K

g/

me

nit

)

A B C D E F G H I J K L

Responden

air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)

Gambar 6 VO2 max responden pada berbagai perlakuan

Pada penelitian ini nilai VO2 max tidak signifikan (p>0.05) dipengaruhi

oleh perlakuan minuman beroksigen, dimungkinkan karena oksigen yang

dikonsumsi dan mempengaruhi VO2 max dominan berasal dari jalur pernafasan,

bukan dari minuman berosigen yang diberikan. Oksigen dari minuman tersebut

diserap di dalam usus (Gurskaya dan Ivanov 1961). Usus terletak jauh dari masker

yang dihubungkan dengan alat pengukur VO2 max “Fitmate”, dibandingkan organ

hidung dari paru-paru sebagai alat pernafasan. Selain itu, dimungkinkan

disebabkan pula oleh komposisi tubuh yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT

responden dalam penelitian ini bervariatif (normal 53%, overweight 29.4% dan

underweight 17.6%). IMT yang lebih besar dapat mengurangi nilai VO2 max,

sebagai contoh Responden E (IMT overweight) hanya mampu mencapai VO2 max

sebesar 36.2 – 40.6 mL/menit/Kg, lebih rendah dibandingkan dengan Responden

D (IMT normal) dengan nilai VO2 max sebesar 55.7 – 60.2 mL/menit/Kg. Adapun

pengaruh dari variasi fungsi jantung, paru-paru, dan darah, khususnya hemoglobin

sangat kurang (<37 mL/Kg/menit)

kurang (>37 – 41 mL/Kg/menit)

cukup (>41 – 44 mL/Kg/menit) baik (>44 – 48,2 mL/Kg/menit)

super (> 54 mL/Kg/menit)

sangat baik (>48.2 – 54 mL/Kg/menit)

AMDK

28

dimungkinkan minimal karena hasil pemeriksaan kesehatan seluruh responden

dalam kondisi normal.

Tabel 6 Perbandingan VO2 max pada berbagai perlakuan

Parameter statistik AMDKa 50 ppm

a 80 ppma 130 ppm

a 100 ppmb

Rata-rata (n=12) 45.87 48.89 48.03 47.4 48.76

Standar deviasi 9.00 7.80 8.02 7.89 7.86

One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang

Pada Gambar 7 yang menyajikan kriteria VO2 max responden pada

berbagai perlakuan sampel menunjukkan bahwa kriteria VO2 max tertinggi

(super) paling banyak dicapai pada perlakuan jangka panjang (100 ppm), yaitu

sebanyak 4 responden (33.3%). Konsumsi minuman beroksigen baik jangka

pendek pada semua perlakuan konsentrasi (50, 80 dan 130 ppm) serta intervensi

jangka panjang juga dapat menurunkan kriteria VO2 max terendah (sangat kurang)

dibandingkan meminum AMDK. Jumlah responden dengan VO2 max sangat

kurang pada perlakuan meminum AMDK yang mencapai 3 responden (25%),

dapat menurun menjadi 1 responden (8.3%) pada perlakuan 130 ppm dan

intervensi jangka panjang (100 ppm), bahkan tidak ditemukan pada perlakuan 50

dan 80 ppm.

Gambar 7 Kriteria VO2 max responden pada berbagai perlakuan sampel

4.2 Waktu mencapai ambang anaerobik (Anaerobic Threshold /AT)

Waktu mencapai ambang anaerobik mempengaruhi performa saat

berolahraga. Ambang anaerobik adalah titik permulaan dari akumulasi asam laktat

(Mc Ardle et al 2006). Asam laktat adalah senyawa pemicu kelelahan yang

mengakibatkan penurunan performa saat berolahraga. Walaupun asam laktat dapat

dikonversi kembali menjadi glukosa oleh hati, namun asam laktat yang

menumpuk di dalam sel otot saat pengujian akan cepat berdifusi ke dalam darah

sehingga menyebabkan kelelahan. Keadaan ini dapat terjadi karena kecepatan

suplai oksigen lebih rendah dibanding regulasi keperluan energi pada saat latihan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

jum

lah

re

spo

nd

en

(o

ran

g)

AMDK

50 pp

m

80 pp

m

130 p

pm

jk p

jg (

100 p

pm)

Perlakuan sampel

Sangat Kurang (<37 mL/Kg/menit)

Kurang (>37 – 41 mL/Kg/menit)

Cukup (>41 – 44 mL/Kg/menit)

Baik (>44 – 48,2 mL/Kg/menit)

Sangat Bai k (>48.2 – 54 mL/Kg/menit)

Super (> 54 mL/Kg/menit)

29

yang berat. Hal ini berarti pula kecepatan resintesis ATP tidak dapat mengimbangi

kecepatan penggunaannya.

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0W

ak

tu m

en

cap

ai

AT

(m

en

it)

A B C D E F G H I J K L

Responden

air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)

Gambar 8 Waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan sampel

Hasil pengukuran waktu mencapai AT pada Gambar 8 dan Tabel 7

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan

jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan

perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman

beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai ambang anaerobik. Adanya

variasi daya aerobik dan aktivitas responden sebelum pengujian dapat

mempengaruhi waktu mencapai AT. Aktivitas berat sebelum pengujian dapat

mempengaruhi performa olahraga (Mc Ardle et al 2006).

Tabel 7 Perbandingan waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan

Parameter statistik AMDKa 50 ppm

a 80 ppma 130 ppm

a 100 ppmb

Rata-rata (n=12) 4.68 4.52 3.93 4.71 4.60

Standar deviasi 1.92 2.83 1.75 2.41 2.31 One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang

4.3 Waktu mencapai kelelahan

Waktu mencapai kelelahan sangat penting karena mendukung performa

untuk mencapai prestasi puncak ketika pertandingan olahraga. Semakin tinggi

waktu kelelahan yang dicapai seseorang saat berolahraga maka semakin baik daya

tahannya.

Hasil pengukuran waktu mencapai kelelahan pada Gambar 9 dan Tabel 8

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan

jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan

perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman

beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai kelelahan. Pemberian minuman

beroksigen baik jangka pendek pada konsentrasi 50, 80 dan 130 ppm maupun

jangka panjang dengan konsentrasi 100 ppm meningkatkan waktu rata-rata untuk

AMDK

30

mencapai kelelahan dibandingkan meminum AMDK. Asupan oksigen tambahan

dari minuman, diharapkan dapat memperpanjang pernafasan aerob selama

berolahraga. Pernafasan aerob dapat menghasilkan ATP yang jauh lebih besar (38

ATP) dibandingkan pernafasan anaerob (2 ATP), disamping tidak menghasilkan

laktat yang memicu kelelahan (Mc Ardle, 2006). Produksi ATP yang lebih besar

semakin meningkatkan daya tahan saat berolahraga sehingga dapat

memperpanjang waktu mencapai kelelahan. Perlakuan jangka panjang (100 ppm)

menghasilkan rataan paling tinggi, yaitu meningkatkan waktu mencapai kelelahan

sebesar 1,3 menit dibandingkan meminum AMDK. Hal ini dimungkinkan karena

penyerapan oksigen di dalam tubuh yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan

energi berupa ATP yang lebih besar.

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

14,00

16,00

18,00

Waktu

me

nca

pai

ke

lela

han

(m

en

it)

A B C D E F G H I J K L

Responden

air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)

Gambar 9 Waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan

Penelitian Duncan (1997) pada 20 laki-laki dan 5 perempuan

atlet lari marathon juga melaporkan bahwa air minum beroksigen dapat

meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 15 detik pada tes lari sejauh 5

Km. Waktu mencapai kelelahan juga meningkat sebesar 23.34 detik, pada

penelitian Fuller (2010) terhadap 20 orang atlet sepak bola. Pada kedua studi

tersebut, sampel yang diujikan diminum sekitar 15 menit sebelum lari

sebagaimana penelitian ini.

Tabel 8 Perbandingan waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan

AMDKa 50 ppm

a 80 ppma 130 ppm

a 100 ppmb Parameter statistik

(menit)

Rata-rata (n=12) 10.34 11.18 11.27 10.93 11.60

Standar deviasi 2,99 3.47 3.27 3.24 4.04

Peningkatan dibanding AMDK - 0,48 0,28 0,25 1,3

One way ANOVA p>0.05

Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang

AMDK

31

Saturasi Oksigen (SpO2)

Saturasi oksigen (SpO2) adalah persentase hemoglobin yang mengikat

oksigen dalam aliran darah. Parameter tersebut penting untuk mengetahui

perubahan kadar saturasi oksigen responden karena pengaruh perlakuan minuman

beroksigen yang diberikan.

Tabel 9 Perbandingan SpO2 pada berbagai perlakuan

Hasil pengukuran SpO2 pada Gambar 10 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa

nilai rata-rata SpO2 dari berbagai perlakuan masih dalam batas normal

(SpO2>95%). Perbedaan konsentrasi sampel (50, 80 dan 130 ppm) maupun

perlakuan jangka panjang tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar SpO2

responden. Kadar SpO2 pada perlakuan waktu, baik sebelum maupun setelah uji

performa dengan treadmill serta setelah pemberian sampel pasca treadmill pada

menit ke 0, 5, 10, dan 15 menit tidak memberikan memberikan perbedaan

signifikan (p>0.05). Penelitian Fuller (2010) pada 20 atlet sepakbola juga

menghasilkan hasil yang sama. Pemberian sampel 20 menit sebelum dan sesudah

lari cepat 100 meter pada penelitian Ellyana et al (2011) juga tidak mempengaruhi

kadar SpO2 baik pada kelompok plasebo maupun kelompok yang diberi perlakuan

(@ 23 orang). Adapun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Jenkins et al

(2001) yang melakukan penelitian pada 20 orang (10 laki-laki, 10 perempuan) dan

diberikan sampel 15 menit sebelum uji performa. Responden yang meminum air

Parameter statistik

Perlakuan sampel AMDKa (%) 50 ppm

a (%)

Perlakuan waktu

pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15

Rata-rata 97,6 97,3 97,0 96,8 96,7 96,8 97,3 96,9 96,9 96,9 97,1 97,2 Standar deviasi 0,79 0,65 0,85 0,72 0,65 0,83 1,07 0,90 0,79 1,00 0,79 0,72 Perlakuan Sampel 80 ppm

a (%) 130 ppm

a (%)

Perlakuan waktu

pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15

Rata-rata 97,9 97,3 96,8 97,0 96,8 96,9 97,8 97,2 97,2 97,3 97,0 97,3 Standar deviasi 0,67 0,78 0,62 0,74 0,72 0,79 0,62 0,72 0,72 0,78 0,95 0,65

Perlakuan sampel 100 ppmb (%)

Perlakuan waktu

pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15

Rata-rata 97,7 96,3 96,4 96,7 96,3 97,0

Standar deviasi 0,98 1,60 1,09 1,15 0,87 0,60

uji statistik pada perlakuan konsentrasi sampel maupun waktu General Linear

Model ANOVA p>0.05

Keterangan : a) jangka pendek dan b) jangka panjang s1 = sebelum treadmill s2 = sesudah treadmill m0 = sesaat setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m5 = 5 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m10 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m15 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill

32

beroksigen pada penelitian tersebut memiliki 4% saturasi oksigen lebih tinggi

dibandingkan plasebo.

95,5

96,0

96,5

97,0

97,5

98,0

98,5

s1 s2 m0 m5 m10 m15

Waktu pengambilan sampel

Sa

tura

si o

ksi

ge

n (

%)

AMDK 50 ppm 80 ppm 130 ppm jk panjang (100 ppm)

Gambar 10 Perbandingan rataan saturasi oksigen (SpO2) pada berbagai perlakuan

Nilai rataan kadar SpO2 masing-masing perlakuan pada menit ke-15

setelah pemberian minuman beroksigen belum sepenuhnya mampu membantu

pemulihan kadar SpO2. Adapun perlakuan jangka panjang (100 ppm) meskipun

mengalami penurunan kadar SpO2 terbesar setelah melakukan uji performa

dengan treadmill (s2), namun dapat memulihkan kadar SpO2 lebih tinggi

dibandingkan perlakuan jangka pendek pada konsentrasi 80 ppm dan air minum

biasa (Gambar 10).

Tabel 9 dan Gambar 10 menggambarkan bahwa tidak semua perlakuan

minuman beroksigen memiliki kadar SpO2 yang lebih baik dibandingkan dengan

kontrol sebagaimana parameter lainnya. Begitupula dengan beberapa data

pemulihan SpO2 pada menit ke-10 yang justru mengalami penurunan. SpO2 tidak

dipengaruhi oleh perlakuan minuman beroksigen dimungkinkan karena oksigen

yang terukur berasal dari pernafasan. Oksigen dari paru-paru masuk ke dalam sel

darah merah (eritrosit) secara difusi pasif kemudian diikat oleh hemoglobin.

Difusi dapat terjadi pada paru-paru (alveolus), karena perbedaan tekanan parsial

antara udara dan darah dalam alveolus (Guyton dan Hall 2011). Adapun oksigen

dari minuman beroksigen diserap oleh usus secara difusi pasif dan kemudian

masuk ke plasma darah pada pembuluh vena. Tekanan oksigen dalam darah vena

selalu 15-35 mmHg lebih tinggi daripada di dalam lumen usus (Gurskaya dan

Ivanov 1961). Berbeda dengan eritrosit, plasma darah tidak mengandung

hemoglobin.

Profil Lipid

Parameter profil lipid yang dikaji pada penelitian ini mencakup plasma

kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida.

4.1 Kolesterol

Kolesterol adalah senyawa lemak yang dapat berasal dari bahan makanan

maupun disentesis oleh hati. Dalam jumlah melebihi batas normal (>200 mg/dL),

AMDK

33

kolesterol dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan otak. Kolesterol darah atau

biasa disebut total kolesterol merupakan ukuran total kolesterol yang pada seluruh

lipoprotein, yaitu HDL, LDL dan VLDL. Total kolesterol mencangkup kolesterol

yang yang berada dalam seluruh fraksi lipoprotein, yaitu 60-70% dibawa oleh

LDL, 20-30% dibawa oleh HDL dan 10-15% dibawa oleh VLDL.

Pada Tabel 10 dan Gambar 11 menunjukkan penurunan kolesterol plasma

darah responden secara signifikan (p<0.05) sesudah intervensi minuman

beroksigen yang diberikan. Kadar kolesterol responden sebelum intervensi lebih

tinggi dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar

kolesterol pada satu responden (No 17) yang melebihi batas normal (kolesterol

>200 mg/dL), yaitu sebesar 267 mg/dL.

0

50

100

150

200

250

300

Ko

lest

ero

l (m

g/d

L)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

Gambar 11 Kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Penurunan kadar kolesterol total darah dapat disebabkan oleh penurunan

konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et

al 2006) sebagaimana yang dialami oleh responden No 17. Responden No 17

mengalami penurunan kadar kolesterol terbesar (150 mg/dL) karena saat

intervensi mengurangi konsumsi telur. Sebelum intervensi, responden itu dapat

mengkonsumsi 3 butir telur/hari. Kuning telur adalah sumber kolesterol yang

tinggi. Data sesudah intervensi pada Gambar 11 menunjukkan kadar kolesterol

pada semua responden berada dalam kondisi normal (kolesterol <200 mg/dL).

Tabel 10 Perbandingan kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 168.12 114.53

Standar deviasi 34.28 18.60

Minimum 122.00 91.00

Maksimum 267.00 149.00

Uji t berpasangan p<0.05

Jumlah responden yang turun 17 orang (100%)

Rata-rata besarnya penurunan 53.6 mg/dL

batas normal

(<200 mg/dL)

34

Kolesterol dalam tubuh manusia dapat berasal dari makanan yang

dikonsumsi ataupun dari dalam tubuh yang diproduksi oleh hati. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet

tinggi lemak jenuh dan kolesterol, genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas

fisik dan penyakit lain (Mahan & Escott-Stump 2008). Adapun konsumsi lemak

yang mempengaruhi konsentrasi plasma kolesterol menurut Guyton dan Hall

(2011), adalah:

- Peningkatan konsumsi kolesterol setiap hari meningkatkan sedikit konsentrasi

kolesterol plasma. Namun meningkatnya konsentrasi kolesterol akan

menghambat enzim yang paling penting untuk mensintesis kolesterol secara

endogen, yaitu 3-hydroxy-3-methylglutaryl CoA reductase, sehingga

memberikan sistem kontrol umpan balik intrinsik untuk mencegah

peningkatan berlebihan konsentrasi kolesterol pada plasma. Akibatnya,

konsentrasi plasma kolesterol biasanya tidak berubah lebih dari ± 15 persen

dengan mengubah jumlah kolesterol dalam makanan, meskipun respon setiap

individu berbeda.

- Diet lemak jenuh meningkatkan konsentrasi kolesterol darah 15-25 persen,

terutama bila dikaitkan dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Hal ini

akibat dari penumpukan lemak di hati yang meningkat, sehingga

meningkatkan asetil-KoA dalam sel-sel hati untuk memproduksi kolesterol.

Oleh karena itu, untuk menurunkan konsentrasi kolesterol darah, diet rendah

lemak jenuh diperlukan selain diet rendah kolesterol.

- Konsumsi lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh biasanya menekan

konsentrasi kolesterol darah dalam jumlah sedikit hingga sedang.

- Kurangnya hormon insulin atau tiroid meningkatkan konsentrasi kolesterol

darah, sedangkan kelebihan hormon tiroid menurunkan konsentrasi kolesterol

darah. Efek ini mungkin disebabkan oleh perubahan tingkat aktivasi enzim

tertentu yang bertanggung jawab untuk metabolisme zat lemak.

- Kelainan genetik metabolisme kolesterol sangat dapat meningkatkan kadar

kolesterol plasma, misalnya mutasi dari gen reseptor LDL dapat mencegah

hati membersihkan kolesterol kaya LDL dari plasma darah. Hal ini

menyebabkan hati memproduksi kolesterol dalam jumlah yang berlebihan.

Mutasi gen yang mengkode apolipoprotein B (bagian dari LDL yang mengikat

reseptor), juga menyebabkan produksi kolesterol berlebihan oleh hati.

4.2 High Density Lipoprotein (HDL)

HDL adalah salah satu jenis kolesterol yang memegang peranan penting

bagi kesehatan jantung. Lipoprotein ini mencegah kolesterol mengendap di arteri

dan melindungi pembuluh darah dari proses aterosklerosis (terbentuknya plak

pada dinding pembuluh darah). Kolesterol diangkut dari hati oleh LDL untuk

dibawa ke sel-sel tubuh yang memerlukan. Kelebihan kolesterol akan diangkut

kembali oleh HDL untuk dibawa kembali ke hati yang selanjutnya akan diuraikan

lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam (cairan) empedu. Jika kadar

kolesterol HDL rendah maka proses tersebut tidak bisa berjalan baik, sehingga

dapat mengakibatkan aterosklerosis. Apoliprotein utama pada HDL disebut Apo

35

A-I, yang diketahui bersifat anti-inflamasi dan antioksidasi yang membuang

kolesterol dari dinding arteri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar

kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol,

genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas fisik dan penyakit lain (Mahan dan

Escott-Stump 2008).

Gambar 12 Kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang

diberikan tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar HDL plasma darah

responden. Data sesudah intervensi (Gambar 12) menunjukkan kadar HDL semua

responden dalam batas normal (HDL >35 mg/dL), meskipun terdapat 6 orang

(40% responden) yang mengalami penurunan HDL. Namun demikian penurunan

HDL tersebut tidak mengakibatkan rasio plasma kolesterol : HDL melebihi batas

normal pada Tabel 13.

Tabel 11 Perbandingan kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 40.60 38.30

Standar deviasi 6.20 2.44

Minimum 33.00 34.00

Maksimum 60.00 42.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 8 orang (53.3%)

Rata-rata besarnya kenaikan 2.00 mg/dL

Jumlah responden yang tetap 1 orang (6.7%)

Jumlah responden yang turun 8 orang (53.3%)

Rata-rata besarnya penurunan 7.00 mg/dL

Penurunan HDL yang dialami oleh kedelapan responden tersebut di atas

dapat disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat berdasarkan data pada food recall

(Tabel 12). Penelitian Ulmann et al (1991), melaporkan bahwa diet tinggi

0

10

20

30

40

50

60

HD

L (

mg

/d

L)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas normal

(>35 mg/dL)

36

karbohidrat dengan rendah lemak dalam jangka pendek (65% kalori dari

karbohidrat dan 20% kalori dari lemak, selama 10 hari) yang dilakukan terhadap 8

responden yang biasa menerapkan American Diet (45% kalori dari karbohidrat,

40% kalori dari lemak dan 15% kalori dari protein) menyebabkan penurunan

signifikan (p<0.05) kadar plasma HDL sebesar 16%. Kadar kolesterol dan Low

Density Lipoprotein (LDL) juga mengalami penurunan signifikan (p<0.05).

Adapun kadar plasma Very Low Density Lipoprotein (VLDL) maupun trigliserida

tidak mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh karbohidrat pada kadar

plasma HDL tersebut tidak terbatas pada karbohidrat sederhana tetapi juga

ditemukan dengan diet tinggi karbohidrat kompleks (Katan 1998). Mekanisme

penurunan HDL akibat diet tinggi karbohidrat disebabkan oleh penurunan

Apolipoprotein A-I yang merupakan penyusun utama HDL. HDL memiliki peran

penting karena berfungsi membawa kolesterol bebas dari jaringan perifer menuju

hati. Kolesterol ini diubah menjadi kolesterol ester yang sebagian dipindahkan ke

VLDL melalui bantuan enzim CETP (Cholesteryl Ester Transfer Protein) dan

dikembalikan lagi ke hati oleh LDL. Hati akan memanfaatkan kembali kolesterol

ini untuk diubah menjadi garam empedu atau langsung mengsekresikan ke dalam

empedu (Tsalissavrina et al 2006).

Pada responden No 1 mengalami penurunan HDL sebesar 6 mg/dL

dimungkinkan selain disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat sebagaimana uraian

di atas, juga dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas olahraga (Mamat 2010).

Aktivitas olahraga responden No 1 menurun selama intervensi akibat cedera otot

kaki ringan sehingga terbatas gerakannya saat melakukan olahraga beladiri.

Tabel 12 Food recall pada responden yang mengalami penurunan HDL

Kadar HDL (mg/dL) Responden

Sebelum Sesudah Penurunan

Food recall H-18, 19, 20

1 41 35 -6 dominan karbohidrat, terutama camilan

berkadar gula tinggi seperti wafer

3 38 36 -2

dominan karbohidrat, rendah serat.

Camilan dominan karbohidrat murni,

seperti biskuit manis, cokelat oles, siomay

4 60 34 -26

dominan karbohidrat murni, rendah serat

dan menyukai camilan manis, seperti

biskuit, roti, coklat tabur, wafer, nagasari,

brownies

6 40 38 -2 dominan karbohidrat, terutama camilan

malam, seperti bihun goring

8 46 42 -4

dominan karbohidrat, terutama camilan

seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi

goring, burger dan pizza mini

9 39 37 -2 dominan karbohidrat, rendah serat

10 40 39 -1 dominan karbohidrat, terutama camilan

malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw

11 49 36 -13

dominan karbohidrat terutama karbohidrat

murni rendah serat, seperti nasi putih,

bakso, risoles, jus dengan susu kental

manis dan gula pasir yang berlebih

37

4.3 Rasio Kolesterol : HDL

Rasio kolesterol : HDL terkait risiko penyakit jantung. Laporan studi

Framingham Heart Study menunjukkan bahwa untuk laki-laki, rasio kolesterol :

HDL = 5 menandakan risiko rata-rata untuk penyakit jantung. Adapun rasio

kolesterol : HDL = 3.4, menurunkan sekitar setengah risiko dari rata-rata,

sedangkan rasio kolesterol : HDL =9.6, meningkatkan sekitar dua kali lipat dari

risiko rata-rata. Rasio ideal antara kolesterol total : HDL, yaitu 2.5-3.4, sedangkan

nilai rasio 3.5-4.5 masih ditoleransi namun harus diwaspadai (HMS 2005).

Data rasio plasma kolesterol : HDL pada Tabel 13 menunjukkan bahwa

sebelum intervensi minuman beroksigen terdapat 3 orang responden (No 3,6,17)

yang rasio plasma kolesterol : HDL melebihi normal (kolesterol : HDL = 5:1).

Adapun setelah intervensi ketiganya mengalami penurunan rasio plasma

kolesterol : HDL dan berada dalam batas normal. Responden No 4 mengalami

kenaikan rasio plasma kolesterol : HDL dari 2.3 : 1 sebelum intervensi menjadi

optimal sesudah intervensi, dengan rasio 2.8 : 1. Hasil rasio plasa kolesterol :

HDL setelah intervensi menunjukkan rasio ideal pada 15 orang responden.

Adapun 2 orang responden dengan rasio sebesar 3.5 (responden No 12) dan 3.7

(responden No 6) pada Tabel 13 menunjukkan nilai rasio yang masih dapat

ditoleransi.

Tabel 13 Rasio Kolesterol : HDL sebelum dan sesudah intervensi

Rasio kolesterol: HDL Rasio kolesterol: HDL Responden

Sebelum Sesudah

Responden

Sebelum Sesudah

1 4.2 : 1 2.6 : 1 11 3.7 : 1 3.0 : 1

2 4.6 : 1 2.5 : 1 12 4.6 : 1 3.5 : 1

3 5.2 : 1* 2.8 : 1 13 3.2 : 1 2.8 : 1

4 2.3 : 1 2.8 : 1 14 4.0 : 1 3.6 : 1

5 3.9 : 1 3.2 : 1 15 4.9 : 1 3.0 : 1

6 5.0 : 1* 3.7 : 1 16 4.1 : 1 2.9 : 1

7 3.5 : 1 2.9 : 1 17 6.8 : 1* 2.8 : 1

8 3.7 : 1 3.1 : 1

9 3.4 : 1 2.8 : 1

10 4.4 : 1 2.6 : 1 Keterangan: *) melebihi batas normal kolesterol : HDL < 5:1(AHA 2011)

4.4 Low Density Lipoprotein (LDL)

LDL merupakan alat transpor kolesterol utama yang terbentuk dari

konversi Very Low Density Lipoprotein (VLDL). VLDL dibentuk di hati sebagai

transpor trigliserida dan kolesterol endogen. Sisa VLDL yang trigliseridanya telah

dihidrolisis oleh lipase dikonversi menjadi LDL. Selanjutnya LDL akan diambil

oleh hati (Mahan & Escott-Stump 2008). LDL dikenal sebagai kolesterol jahat

karena dalam jumlah berlebih merupakan faktor utama penyebab penyakit jantung

koroner.

38

Tabel 14 menunjukkan bahwa sesudah intervensi minuman beroksigen

yang diberikan terdapat penurunan kadar LDL plasma darah responden secara

signifikan (p>0.05). Kadar LDL responden sebelum intervensi lebih tinggi

dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar LDL

pada 8 responden (No 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, dan 17) yang melebihi batas normal

(LDL≥100mg/dL). Data sesudah intervensi pada Gambar 13 menunjukkan kadar

LDL pada semua responden mengalami penurunan dan berada dalam kondisi

normal (LDL <100 mg/dL).

Gambar 13 Kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 14 Perbandingan kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistic Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 103.94 54.41

Standar deviasi 30.15 13.44

Minimum 55.00 34.00

Maksimum 189.00 80.00

Uji t berpasangan p<0.05

Jumlah responden yang turun 17 orang (100%)

Rata-rata besarnya penurunan 49.53 mg/dL

Beberapa responden mengalami penurunan kadar LDL yang besar, seperti

pada responden No 4 (98 mg/dL) dan No 17 (125 mg/dL). Penurunan kadar LDL

darah dapat disebabkan oleh penurunan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol

yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et al 2006). Responden No 17 mengakui

mengurangi makanan berkolesterol tinggi selama intervensi berlangsung.

Responden No 17 sebelum intervensi dapat mengkonsumsi telur hingga 3 butir/

hari Adapun pada responden No 4 dimungkinkan karena aktivitas olahraganya

yang meningkat. Hasil wawancara manfaat yang dirasakan secara psikologis

terhadap responden No 4, ia merasakan performa olahraganya meningkat karena

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

LD

L (

mg

/d

L)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas normal

(<100 mg/dL)

39

intervensi minuman beroksigen. Menurut Foran et al (2003), olahraga dapat

memperbaiki profil lipid seperti menurunkan LDL.

4.5 Trigliserida

Selain total kolesterol, HDL dan LDL, jenis lipid darah yang penting

adalah trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida melebihi normal (>150 mg/dL)

dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan tekanan darah maupun

diabetes. Trigliserida dapat menjadi sumber tenaga (menghasilkan ATP). Pertama,

trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian asam lemak

dan gliserol ditransport ke dalam jaringan aktif untuk menghasilkan

energi.Gliserol pada jaringan aktif diubah oleh enzim intraselular menjadi gliserol

3-fosfat, yang kemudian masuk dalam jalur glikolisis, untuk dilakukan pemecahan

glukosa untuk memperoleh energi. Sementara asam lemak dibawa ke dalam

mitokondria dengan bantuan karnitin sebagai zat karier, kemudian di dalam

mitokondria asam lemak dipisahkan dari karnitin, lalu mengalami proses oksidasi.

Asam lemak didegradasi menjadi asetil KoA melalui proses oksidasi beta di

dalam mitokondria lalu asetil KoA masuk ke dalam siklus krebs. Pada siklus

krebs tersebut, asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat untuk membentuk

asam sitrat, yang kemudian didegradasi menjadi CO2 dan atom hidrogen.

Hidrogen kemudian dioksidasi secara berturut-turut oleh sistem oksidasi

kemiosmotik mitokondria, kemudian reaksi ini menghasilkan ATP. Degradasi

asam lemak menjadi asetil KoA, memiliki cara yang sama dengan pembentukan

asetil KoA dari asam piruvat pada metabolisme glukosa (Guyton dan Hall 2011)

Gambar 14 Kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Sejumlah 5 orang responden (29.4%) pada Gambar 14 dan Tabel 15

mengalami kenaikan kadar trigliserida meskipun masih dalam batas normal.

Kelima orang responden tersebut adalah responden No 3, 5, 6, 10 dan 14. Dari

kelima orang responden tersebut, terdapat 3 orang responden yang mengalami

kenaikan trigliserida besar, yaitu reponden No 5, 3, dan 14. Responden No 5

mengalami kenaikan trigliserida sebesar 69 mg/dL karena saat intervensi

berlangsung ia kehilangan sepeda sehingga aktivitas olahraganya berkurang

0

50

100

150

200

250

300

350

Tri

gli

seri

da

(m

g/

dL

)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas normal

(<150 mg/dL)

40

dibandingkan sebelum intervensi. Adapun responden No 3 mengalami kenaikan

sebesar 26 mg/dL disebabkan karena pola makan. Responden tersebut mengakui

selama intervensi, sering mengkonsumsi makanan tambahan selain menu makan

malam yang diberikan oleh peneliti. Responden No 14 mengalami kenaikan

trigliserida sebesar 21 mg/dL disebabkan oleh mengkonsumsi menu makan

malam menjelang tidur malam. Saat intervensi berlangsung, ia sering pulang larut

karena menjadi ketua suatu kegiatan kemahasiswaan. Menurut Tsalisavrina et al

2006 peningkatan trigliserida darah atau hipertrigliserida dipengaruhi oleh faktor

gen dan konsumsi makanan seperti karbohidrat, lemak, dan alkohol. Selain itu,

kadar trigliserida darah juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim LPL (Lipoprotein

Lipase) yang berfungsi untuk menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan

gliserol. Rendahnya aktifitas LPL ini akan dapat meningkatkan kadar trigliserida

darah. Aktivitas fisik seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme tubuh

yang akan meningkatkan kinerja enzim di dalam tubuh. Berkurangnya aktivitas

tubuh sebagaimana yang dialami oleh Responden No 5 dan 14 tentu saja akan

meningkatkan kadar trigliserida.

Tabel 15 Perbandingan kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)

Rata-rata (n=17) 139.53 111.12

Standar deviasi 56.33 32.16

Minimum 77.00 59.00

Maksimum 315.00 186.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 5 orang (29.4 %)

Rata-rata besarnya kenaikan 25.00 mg/dL

Jumlah responden yang turun 12 orang (70.6%)

Rata-rata besarnya penurunan 50.67 mg/dL

Perbaikan sebagian profil lipid yang ditunjukkan dengan adanya

penurunan kolesterol dan LDL yang signifikan (p<0.05) serta perbaikan rasio

kolesterol : HDL, mengindikasikan adanya perbaikan metabolisme lipid dalam

pembentukan energi karena intervensi jangka panjang minuman beroksigen.

Asupan oksigen secara teratur selama 21 hari dimungkinkan meningkatkan

ketersediaan oksigen yang dibutuhkan dalam transpor elektron pada pembentukan

ATP dari asetil KoA sebagai hasil metabolisme asam lemak. Kecukupan oksigen

dapat meningkatkan produksi ATP yang berasal dari lipid di dalam tubuh. Hasil

penelitian uji performa saat berolahraga pada parameter waktu mencapai

kelelahan juga memperlihatkan bahwa intervensi jangka panjang dapat

meningkatkan nilai rata-rata parameter tersebut paling besar dibandingkan

perlakuan jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan

pada intervensi jangka panjang lebih besar yang dimungkinkan dapat berasal dari

metabolisme lipid. Adapun tidak adanya pengaruh signifikan pada trigliserida

sebagai salah satu cadangan lemak tubuh, dimungkinkan karena trigliserida juga

dapat dihasilkan oleh karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh responden.

41

Glukosa Darah

Glukosa merupakan sumber energi utama terutama ketika berolahraga.

Glukosa berasal dari hasil pencernaan karbohidrat, maupun glukoneogenesis dan

glikogenolisis. Namun demikian, kadar glukosa darah puasa (GDP) yang diluar

batas normal (70–110 mg/dL) dapat mengganggu kesehatan. Kadar glukosa darah

yang tinggi berisiko terhadap penyakit diabetes. Kadar GDP pada diabetes adalah

>126 mg/dL dan dikategorikan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) pada

kadar 100-126 mg/dL (Schrot et al 2007). Glukosa darah yang berlebih juga dapat

dikonversi menjadi trigliserida. Kadar gula darah puasa responden sebelum dan

sesudah intervensi disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 16.

Gambar 15 Kadar gula darah puasa plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 16 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang

diberikan tidak mempengaruhi kadar Gula Darah Puasa (GDP) secara signifikan

(p>0.05). Kadar GDP responden sebelum intervensi memang tidak semuanya

dalam batas normal. Terdapat 4 orang responden dengan kadar GDP >110 mg/dL

yaitu responden No 3 (122 mg/dl), No 4 (147 mg/dL), No 14 (129 mg/dL) dan No

15 (124 mg/dL). Pada akhir sesudah intervensi kadar GDP keempat responden

tersebut mengalami penurunan sampai dengan taraf GDP normal (Gambar 16).

Pada penelitian Handajani et al (2009), melaporkan bahwa pemberian minuman

beroksigen selama 45 hari (4 x 235 ml/hari) pada responden berpenyakit Diabetes

Mellitus/DM dengan GDP ≥ 126 mg/dL yang diberikan minuman beroksigen

terdapat penurunan plasma glukosa puasa secara signifikan (p<0.05). Adapun

pada responden DM dengan Gula Darah Postprandial/GDPP ≥ 200 mg/dL,

mengalami penurunan secara signifikan (p<0.05) setelah mengkonsumsi selama

90 hari.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Gu

la D

ara

h P

ua

sa (

mg

/d

L)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas atas normal

(110 mg/dL)

batas bawah

normal (70 mg/dL)

42

Gambar 16 Kadar GDP plama darah sebelum dan sesudah intervensi pada

responden dengan GDP awal melebihi normal (> 110 mg/dL)

Tabel 16 Perbandingan nilai GDP plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum

(mg/dL) Sesudah

(mg/dL)

Rata-rata (n=17) 98.41 102.06

Standar deviasi 21.35 5.49

Minimum 68.00 88.00

Maksimum 147.00 112.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik namun masih normal(<110 mg/dL) 12 orang (70.6%)

Rata-rata besarnya kenaikan 15 mg/dL Jumlah responden yang naik dalam batas gejala hiperglikemia (110 - < 126 mg/dL) 1 orang ( 5.9%)

Besarnya kenaikan 11 mg/dL

Jumlah responden yang turun 4 orang (23.5%)

Rata-rata besarnya penurunan 32.30 mg/dL

Pada Tabel 16 menunjukkan data bahwa terdapat 13 orang (76.4%)

responden yang mengalami kenaikan GDP, namun kenaikan tersebut masih dalam

batas normal (GDP ≤ 110 mg/dL) pada 12 orang responden dan 1 orang

responden (responden No 11) sedikit melebihi batas normal yaitu GDP sebesar

112 mg/dL, namun masih di bawah batas Diabetes (GDP ≥ 126 mg/dL). Kenaikan

GDP responden tersebut dapat disebabkan oleh pola makan menjelang hari

pengambilan darah. Diet karbohidrat murni dapat meningkatkan kadar glukosa

darah. Karbohidrat murni lebih mudah dicerna sehingga lebih cepat pula

menaikkan kadar gula darah dibandingkan karbohidrat kompleks yang masih

mengandung serat. Indeks glisemik dari jenis karbohidrat yang dikonsumsi juga

mempengaruhi glukosa darah. Umumnya karbohidrat kompleks memiliki indeks

glisemik yang rendah dibandingkan karbohidrat sederhana (Watkins et al 2007).

Food recall responden-responden yang mengalami kenaikan GDP (Tabel 17)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Gu

la D

ara

h P

ua

sa

(mg

/d

L)

3 4 14 15

Responden

Sebelum

Sesudah

batas atas normal

(110 mg/dL)

batas bawah

normal (70 mg/dL)

43

menunjukkan bahwa sebagian besar responden banyak mengkonsumsi karbohidrat

murni menjelang hari pengambilan darah untuk analisis (H-21).

Tabel 17 Food recall responden yang mengalami kenaikan GDP sesudah intervensi

Kadar GDP (mg/dL) Responden

Sebelum Sesudah Kenaikan

Food recall (H-18, 19, 20)

1 101 103 2 dominan karbohidrat murni, terutama camilan

seperti wafer 2 87 98 11 dominan karbohidrat murni, terutama camilan,

seperti biskuit manis, wafer, macaroni 5 107 108 1 normal, namun keturunan diabetes (ayah)

6 91 100 9 dominant karbohidrat murni, terutama camilan

malam, seperti bihun goreng danmemiliki

keturunan diabetes (kakek) 7 68 104 36 dominant karbohidrat murni rendah serat,

seperti nasi putih, teh manis, biskuit manis bisa

sampai 7 keping/hari & pada H20 minum jus

dengan susu kental manis dan gula pasir yang

berlebih 8 95 103 8 dominant karbohidrat murni, terutama camilan

seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi goreng,

burger dan pizza mini 9 84 107 23 dominan karbohidrat murni dan rendah serat

10 82 99 17 dominant karbohidrat, terutama camilan

malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw 11 101 112 11 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni

rendah serat, seperti nasi putih, bakso, risoles,

jus dengan susu kental manis dan gula pasir

yang berlebih

12 78 102 24 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni

rendah serat, seperti nasi putih, risol, kue bolu,

mie goreng 13 81 106 25 dominan karbohidrat murni dan rendah serat

16 79 99 20 banyak mengkonsumsi camilan-camilan manis

yang mengandung karbohidrat murni seperti

biskuit, wafer, roti dalam jumlah yang banyak

(1 hari bisa lebih > 10) 17 97 101 4 normal, namun keturunan diabetes (saudara

nenek)

Hasil pengujian waktu kelelahan membuktikan bahwa perlakuan jangka

panjang memberikan hasil terbaik. Hasil tersebut menandakan bahwa ATP yang

dihasilkan pada perlakuan jangka panjang lebih besar dibandingkan perlakuan

lainnya. Glukosa merupakan sumber energi utama dalam pembentukan energi.

Adanya asupan oksigen yang dimungkinkan lebih baik dari intervensi minuman

beroksigen selam 21 hari diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan sumber

energi seperti glukosa untuk dimetabolisme menjadi ATP. Namun demikian, pada

penelitian ini, intervensi jangka panjang (21 hari) minuman beroksigen tidak

44

signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar glukosa plasma darah. Beberapa data

responden juga menunjukkan kenaikan kadar GDP sesudah intervensi, meskipun

kenaikan tersebut dalam batas normal. Hal tersebut dimungkinkan karena faktor

pola makan responden yang cenderung karbohidrat sederhana dan rendah serat

berpengaruh lebih besar. Cadangan glikogen di dalam hati maupun otot juga dapat

dimetabolisme menjadi glukosa dengan proses glikogenesis, begitupula dengan

asam laktat, piruvat, maupun gliserol melalui proses glukonegenesis. Dengan

demikian jika cadangan glikogen di dalam tubuh responden mencukupi maka

asupan glukosa dari pemecahan karbohidrat yang dikonsumsi tidak akan

digunakan.

SGOT/SGPT

SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum

Glutamic Piruvic Transaminase) adalah parameter yang menunjukkan kesehatan

hati. Kadar SGOT/SGPT yang melebihi batas normal dapat berisiko adanya

gangguan fungsi hati. Bila sel–sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim ini

meningkat. SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran gugus

amino dari asam amino (Guyton dan Hall 2011). SGPT yang disebut juga ALT

(Alanin Aminotransferase) akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus

keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat

diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat

dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang

dikatalisasinya. SGOT yang sering disebut dengan AST (Aspartat

aminotransferase) juga berperan dalam deaminase asam amino. SGOT

mengkatalisasi pemindahan gugus amino pada aspartat ke gugus keto dari α-

ketogutarat membentuk glutamat dan oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat

diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim malat

dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi ini. Hasil analisis

SGOT terdapat pada Gambar 17 dan Tabel 18, sedangkan SGPT terdapat pada

Gambar 18 dan Tabel 19.

Gambar 17 Kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

0

5

10

15

20

25

30

35

40

SG

OT (

U/L

)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas bawah

normal (5 U/L)

batas atas normal

(40 U/L)

45

Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen

yang diberikan tidak mempengaruhi kadar SGOT maupun SGPT secara signifikan

(p>0.05). Penelitian Gruber et al (2004) juga melaporkan hal yang sama, yaitu

pemberian minuman beroksigen terhadap 24 orang selama 28 hari (3 x 500

mL/hari) tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kesehatan hati yang

ditunjukkan dengan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap parameter

kesehatan hati yang diteliti (SGOT, SGPT, bilirubin, gamma-GT, dan alkalin

fosfatase).

Tabel 18 Perbandingan kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)

Rata-rata (n=17) 22.00 19.18

Standar deviasi 7.10 7.82

Minimum 10.00 8.00

Maksimum 33.00 36.00

Tidak Signifikan pada:

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 3 orang (17,5%)

Rata-rata besarnya kenaikan 9.80 U/L

Jumlah responden yang tetap 1 orang (6%)

Jumlah responden yang turun 13 orang (76,5%)

Rata-rata besarnya penurunan 8.82 U/L

Adapun secara nilai rata-rata, baik SGOT (Tabel 18) maupun SGPT (Tabel

19), keduanya mengalami penurunan. Nilai SGOT/SGPT yang lebih rendah

adalah indikasi kesehatan hati yang lebih baik, karena kedua enzim itu akan

diproduksi ketika hati mengalami gangguan. Penurunan tersebut diprediksi karena

meningkatnya asupan oksigen pada sel tubuh termasuk hati sehingga memperbaiki

fungsi hati. Penelitian Sobariah et al (2007), melaporkan bahwa suplementasi 80

ppm air beroksigen secara in vivo pada tikus selama 7 hari menunjukkan

pertumbuhan bakteri probiotik (L casei Shirota) secara signifikan (p>0.05) dan

menurunkan secara signifikan (p>0.05) bakteri patogen yang diujikan (coliform).

Probiotik adalah bakteri “baik” yang memiliki kemampuan mengikat senyawa

racun hasil metabolisme protein, serta hasil pemecahan enzim tertentu sehingga

meringankan tugas hati (Sobariah et al 2007).

SGPT lebih mencerminkan fungsi hati daripada SGOT. Letak SGOT di

mitokondria organ hati, jantung, dan ginjal, sedangkan SGPT terdapat di sitosol

hati saja dan jumlahnya pun lebih sedikit dibandingkan jumlah SGOT. Selain

SGOT dan SGPT, ada empat enzim lain yang dapat dijadikan indikator

terganggunya fungsi hati, yaitu alkalin fosfatase, gamma-glutamiltransferase, 5’-

nukleotidase, dan laktat dehidrogenase, namun SGOT dan SGPT tetap lebih baik

karena paling cepat keluar dari hati yang terganggu (Kaplan dan Pesce 1989).

SGPT spesifik dalam memonitor kerusakan hati akibat inflamasi maupun nekrosis.

SGOT dapat meningkat akibat kerusakan jaringan seperti mycocardial infraction,

46

nekrosis otot, gangguan ginjal, gangguan cerebral, dan hemolisis intravaskuler.

Pada penyakit tersebut, konsentrasi SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT.

Namun pada penyakit hati, SGPT meningkat melebihi SGOT (Talwar dan

Srivastava, 2004). Standar normal SGPT adalah 5-35 U/L, adapun SGOT adalah

5-40 U/L. Pada kerusakan hati, SGPT dapat meningkat hingga 50 kali lipat,

sedangkan SGOT meningkat 10-20 kali lipat (Huang et al 2006).

Gambar 15 Kadar SGPT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 19 Perbandingan kadar SGPT sebelum dan sesudah intervensi

Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)

Rata-rata (n=17) 18.41 16.41

Standar deviasi 5.10 5.54

Minimum 10.00 9.00

Maksimum 30.00 31.00

Uji t berpasangan p>0.05

Jumlah responden yang naik 5 orang (29,4%)

Rata-rata besarnya kenaikan 8.00 U/L

Jumlah responden yang turun 12 orang (70,6%)

Rata-rata besarnya penurunan 5.50 U/L

Beberapa kadar SGOT/SGPT responden mengalami kenaikan setelah

intervensi, namun kenaikan tersebut masih dalam batas normal. Kenaikan kadar

SGOT/SGPT dapat disebabkan oleh kelelahan akibat aktivitas fisik berat seperti

olahraga (Foran et al 2003, Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 6

dan 12. Kenaikan pada responden No 12 sebesar 21 U/L (SGOT) dan 13 U/L

(SGPT), sedangkan kenaikan pada responden No 6 sebesar 11 U/L (SGPT).

Keduanya melakukan aktivitas olahraga sebelum pengambilan darah setelah

intervensi. Adapun kenaikan SGPT dan SGOT pada responden No 7

dimungkinkan karena pada hari pengambilan darah, responden tersebut sedang

sakit demam. Kenaikan pada responden No 3, sebesar 12 U/L (SGOT) dan 5 U/L

(SGPT). Makanan yang syarat lemak jenuh dan trans juga dapat meningkatkan

0

5

10

15

20

25

30

35

SG

PT (

U/L)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Responden

Sebelum

Sesudah

batas bawah

normal (5 U/L)

batas atas normal

(40 U/L)

47

kadar SGOT/SGPT (Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 16 yang

mengalami kenaikan sebesar 7 U/L (SGOT) dan 8 U/L (SGPT). Responden

tersebut banyak mengkonsumsi biskuit manis dari data 3 hari food recall

menjelang pengambilan darah setelah intervensi.

Organ hati sangat berperan dalam pembentukan ATP, yaitu

memetabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hati juga berperan dalam

menyimpan glikogen dan terlibat dalam glukoneogenesis maupun glikogenesis.

Glukoneogenesis sangat penting dalam metabolisme asam laktat untuk diubah

kembali menjadi glukosa, sebagai sumber energi. Akumulasi asam laktat dapat

memicu kelelahan yang berakibat menurunnya performa saat berolahraga (Mc

Ardle 2006). Pada saat ketersediaan karbohidrat tidak mencukupi, maka dibentuk

dari senyawa non karbohidrat seperti laktat, piruvat, gliserol, maupun asam amino

glukogenik melalui glukoneogenesis. Terdapat tiga tahap reaksi utama pada

glukoneogenesis yang tidak dapat balik antara lain perubahan piruvat menjadi

fosfoenolpiruvat, defosforilasi fruktosa 1,6-bifosfat menjadi fruktosa 6-fosfat dan

defosforilasi glukosa 6-fosfat menjadi glukosa. Glikogenolisis adalah pengubahan

glikogen menjadi glukosa. Glikogenolisis merupakan lintasan metabolisme yang

digunakan oleh tubuh, selain glukoneogenosis untuk menjaga keseimbangan

kadar glukosa di dalam plasma darah. Hal tersebut untuk menghindari simtoma

hipoglisemia. Pada glikogenolisis, glikogen digradasi berturut-turut dengan tiga

enzim, yaitu: glikogen fosforilase, glukosidase, fosfoglukomutase, menjadi

glukosa. Hormon yang berperan pada lintasan ini adalah glukagon dan adrenalin

(Toha 2005, Lehninger 1990). Selain itu organ hati terletak paling dekat dengan

usus tempat penyerapan oksigen yang berasal dari minuman, sehingga sangat

penting dikaji kemungkinan dampak negatif dari minuman beroksigen terhadap

kesehatan hati. Forth dan Adam (2001), mengamati adanya peningkatan tekanan

parsial oksigen dalam vena porta hepatica kelinci setelah diberi minum air

berkadar oksigen 80 ppm, yaitu terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen di

pembuluh darah vena porta hepatica sebesar 10 mmHg dari 58 mmHg menjadi 68

mmHg.

Cara Mengkonsumsi dan Penerimaan Responden terhadap Produk

Cara mengkonsumsi sampel produk pada saat intervensi menentukan

besarnya konsentrasi oksigen saat diminum oleh responden. Rata-rata responden

dapat menghabiskan sampel tidak lebih dari 10 menit. Pada saat pengamatan,

mereka juga telah terbiasa menutup botol sampel diantara jeda menghabiskan

minumnya. Pengamatan tersebut dilakukan secara sampling acak bersamaan

dengan pemberian makan setiap sore hari selama intervensi. Hasil pengujian kadar

oksigen sampel 100 ppm oleh pihak sponsor menggunakan alat Orbisphere

disajikan pada Tabel 20, menunjukkan bahwa kadar oksigen sampel sampai

dengan 30 menit baik pada pengujian sampel yang dibuka tutup maupun sampel

yang dibiarkan terbuka masih memenuhi standar minimal konsentrasi produk

yang diuji, yaitu 100 ppm.

Penerimaan responden terhadap produk mencakup penerimaan sensori

terhadap parameter rasa (Gambar 19), aroma (Gambar 20) dan warna (Gambar

21) serta respon psikologis ada/tidaknya manfaat yang dirasakan setelah intervensi

48

(Gambar 22). Monitoring penerimaan parameter-parameter tersebut dilakukan

dengan mewawancarai responden pada H-7, H-14, dan H-21 selama intervensi

(form Lampiran 2). Penerimaan sensori menggunakan 4 skala, yaitu suka (S),

agak suka (AS), agak tidak suka (ATS), dan tidak suka (TS).

Tabel 20 Hasil pengujian kadar oksigen sampel 100 ppm

No sampel Perlakuan waktu Buka Tutup (ppm) Terbuka (ppm)

1 keadaan awal 136 141

2 sesaat setelah dibuka 139 137

3 0 menit (sebelum diminum) 133 132 4 1 menit 132 139

5 2 menit 129 128

6 3 menit 129 129

7 6 menit 127 130

8 9 menit 127 122

9 12 menit 124 118

10 15 menit 107 dan 115 130

11 18 menit 111 127

12 21 menit 120 dan 100 113

13 24 menit 110 116

14 27 menit 111 114

15 30 menit 115 110

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

pe

ne

rim

aa

n r

asa

(%

)

H7H14

H21

Waktu intervensi (hari)

TS

ATS

AS

S

Gambar 19 Penerimaan responden terhadap parameter rasa

Hasil penerimaan rasa (Gambar 19) menggambarkan adanya peningkatan

penerimaan rasa sampai H-21 intervensi. Penerimaan agak tidak suka (ATS) yang

cukup tinggi yaitu sebesar 52.3% (H-14) menurun menjadi 35.3% pada akhir

intervensi (H-21). Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) masih

tergolong rendah (23.5%). Beberapa responden memberikan alasan tidak

menyukai rasa sampel karena adanya rasa seperti mineral logam, asam, atau pahit.

Namun demikian rendahnya penerimaan terhadap rasa tidak mempengaruhi

responden dalam menghabiskan sampel saat sampling pengontrolan responden

49

ketika meminum sampel. Pengontrolan meminum sampel dilakukan saat uji

performa saat berolahraga dan setiap sore hari bersamaan dengan pembagian

makanan saat intervensi jangka panjang berlangsung.

Gambar 20 Penerimaan responden terhadap parameter aroma

Hasil penerimaan aroma pada Gambar 20 juga menggambarkan adanya

peningkatan penerimaan aroma sampai H-21 intervensi sebagaimana penerimaan

terhadap rasa. Penerimaan pada taraf suka (S) semakin meningkat hingga 35.3%

pada H-21. Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) tersebut masih

tergolong rendah. Sampai akhir intervensi (H-21) masih ada 35.3% responden

yang menyatakan agak tidak suka (ATS) terhadap aroma. Beberapa responden

memberikan alasan tidak menyukai aroma sampel karena adanya aroma seperti

bau obat atau bau besi.

Gambar 21 Penerimaan responden terhadap parameter warna

Hasil penerimaan warna pada Gambar 21 lebih baik daripada penerimaan

terhadap parameter rasa dan warna. Parameter warna sampai H-21 intervensi

disukai (S) oleh 76.5% responden dan agak suka (AS) dipilih oleh 33.5%

responden. Namun demikian pada H-21 terdapat satu orang (5.9%) yang menilai

warna agak tingkat suka (ATS), meskipun pada H-7 maupun H-14 tidak ada.

0,00

5,0010,00

15,00

20,0025,00

30,00

35,00

40,0045,00

pe

ne

rim

aa

n a

rom

a

(%)

H7H14 H21

Waktu intervensi (hari)

TS

ATS

AS

S

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

pe

ne

rim

aa

n w

arn

a

(%)

H7H14 H21

Waktu intervensi (hari)

TS

ATS

AS

S

50

05

10152025303540455055

Re

spo

nd

en

(%

)

Lebih baik Biasa saja

Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif

Gambar 22 Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif

Manfaat intervensi minuman beroksigen terhadap kesehatan tubuh secara

subyektif tidak dirasakan oleh semua responden (Gambar 22). Sebanyak 47.1%

responden menyatakan merasa manfaat lebih baik bagi tubuhnya setelah

intervensi dan sisanya (52.9% responden) tidak merasakan adanya manfaat atau

biasa saja. Responden yang menyatakan adanya manfaat, merasakan: (1) lebih

segar tubuhnya (29.4% responden), (2) lebih cepat recovery setelah berolah raga

(11.8% responden), dan (3) sedikit meningkat performanya saat berolahraga

(5.9% responden).

05

101520253035404550556065

Re

spo

nd

en

(%

)

Mau Ragu-ragu Tidak mau

Kesediaan mengkonsumsi produk kembali

Gambar 23 Kesediaan responden mengkonsumsi kembali minuman beroksigen

Penerimaan sensori, khususnya terhadap rasa dan aroma yang masih

rendah dan belum semua responden merasakan manfaat intervensi terhadap

kesehatan pada uraian di atas mempengaruhi kesediaan responden untuk

mengkonsumsi kembali. Pada Gambar 23 menunjukkan hanya 64.7% responden

yang menyatakan bersedia mengkonsumsi kembali minuman beroksigen setelah

intervensi. Sisanya menyatakan ragu-ragu (17.6%) dan tidak mau (17.6%). Alasan

responden tersebut ragu-ragu dan tidak mau mengkonsumsi kembali karena belum

merasakan manfaat terhadap kesehatan dan tidak menyukai rasa serta aroma

produk. Adapun 64.7% responden yang mau mengkonsumsi kembali dengan

persyaratan harga terjangkau (52.9% responden) atau gratis (11.8% responden).