Upload
hakhanh
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sosiodemografi Responden
Kondisi sosiodemografi responden yang diamati dalam penelitian ini
meliputi karakteristik usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, uang saku (pendapatan)
per bulan, dan kebiasaan olahraga (Tabel 3 dan Tabel 4). Pada penelitian ini
dipilih 17 orang responden laki-laki sehat tidak secara acak, berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi. Responden berusia 20-27 tahun merupakan mahasiswa
tingkat sarjana atau pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB). Secara
sosiodemografi, responden tinggal di sekitar kampus IPB Darmaga. Hal ini ditujukan
untuk memudahkan pengontrolan responden selama intervensi. Kriteria pemilihan
responden di atas dimaksudkan untuk meminimalkan keragaman karena pengaruh
perbedaan aktivitas sehari-hari dan lingkungan tempat tinggal. Rentang usia antar
responden yang berdekatan dipilih agar memiliki kemiripan dalam kebutuhan
nutrisi makanan dan metabolismenya.
Tabel 3 Kondisi sosiodemografi responden
Karakteristik Individu Jumlah (orang) Persentase (%)
Total Responden 17 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 17 100
Usia
Dewasa (20-27 tahun) 17 100
Tingkat Pendidikan
- lulus SMA 12 70.6
- lulus Perguruan Tinggi (S1) 5 29.4
Pekerjaan
Pelajar 17 100
- mahasiswa S1 12 70.6
- mahasiswa S2 5 29.4
Uang saku/bulan
Rp. 500.000 - 1.000.000 14 82.3
> Rp. 1.000.000 - 1.500.000 2 11.8
> Rp. 1.500.000 1 5.9
Responden memiliki aktivitas olahraga yang aktif menggunakan kegiatan
fisik dan melibatkan kaki. Sebagian besar responden berolahraga futsal (47%) dan
bulutangkis (29%). Adapun sisanya beladiri, tenis meja, bersepeda maupun
jogging, masing-masing sebesar 5% (Tabel 3). Frekuensi latihan responden rata-
rata 1x/minggu, dengan intensitas kurang lebih selama satu jam. Responden
tergolong pelaku olahraga kesehatan, yaitu orang yang berolahraga dengan
intensitas rendah sampai sedang. Olahraga intensitas rendah dilakukan kontinu
dan homogen selama 20-30 menit, 3-5x/minggu, dengan target denyut nadi 65-
80%, seperti: jalan, lari lambat, renang, bersepeda (Santosa dan Dikdik 2012).
25
Tabel 4 Jenis olahraga para responden (n=17)
Jenis
Olahraga
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Futsal 8 47.0
Bulutangkis 5 29.4
Beladiri 1 5.9
Tenis meja 1 5.9
Bersepeda 1 5.9
Jogging 1 5.9
Kondisi Kesehatan Responden
Kondisi kesehatan menjadi faktor penting dalam seleksi calon responden.
Calon responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang
ditetapkan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kesehatan di Klinik dr Katili,
Bogor. Hasil pemeriksaan kesehatan terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 Ringkasan hasil pemeriksaan kesehatan responden (n=17)
Kondisi Fisik Hasil (%)
Mata: - normal 88.2
- gangguan (miopi) 11.8
Telinga: normal 100
Gigi:- normal 58.8
- gangguan (karies, calculus, radix dentis) 41.2
Tanda Vital*: normal 100
Indeks Massa Tubuh (IMT): - normal 53
- underweight 17,6
- overweight 29.4
Jantung: normal 100
Paru-paru: - normal 88.2
- gejala bronkitis** 11.8
Darah: normal 100
Kebiasaan merokok: tidak pernah 100
Kebiasaan minum alkohol: tidak pernah 100
Riwayat sakit berat: tidak pernah 94.1
- pernah (hepatitis A***) 5.9
Keterangan : *) tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh
**) namun hasil spirometri normal
***) Oktober 2011
Calon responden yang dapat mengikuti penelitian adalah yang dinyatakan
sehat oleh dokter berdasarkan parameter-parameter pada Tabel 4. Hasil
pemeriksaan kesehatan (Tabel 4) menunjukkan bahwa secara umum kondisi
26
kesehatan responden memenuhi persyaratan. Terdapat 2 orang (11.8% responden)
yang didiagnosa gejala bronkitis dari pemeriksaan rontgen tetap disertakan pada
penelitian ini berdasarkan keputusan dokter Klinik dr Katili, karena hasil
spirometri kedua responden tersebut normal serta tidak menunjukkan gejala
gangguan pernafasan, seperti batuk berdahak ataupun sesak nafas ketika
berolahraga ringan. Gejala bronkitis sering dijumpai akibat udara yang kotor
maupun asap rokok (Mengkidi 2006).
Kebiasaan merokok menjadi salah satu kriteria inklusi calon responden
dan parameter penting dalam pemeriksaan kesehatan karena merokok selain dapat
merusak paru-paru juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lemak. Efek
merokok diantaranya dapat menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi O2 akibat inhalasi CO
atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah,
merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5–10% Hb menjadi
karboksi-Hb. Pada orang-orang yang merokok, ditemukan level kolesterol HDL
rendah (Mamat 2010). Schuitemaker et al (2002) melaporkan terdapat perbedaan
signifikan (p<0.04) pada nilai rata-rata total kolesterol antara perokok dan tidak
perokok yaitu: 2.2% total kolesterol; 5.5 % LDL; -8.1 % HDL; dan 13.7 %
trigliserida. Selain mengganggu metabolisme lemak, merokok juga dapat
meningkatkan kadar gula darah. Selain merokok, kebiasaan meminum alkohol
juga menjadi kriteria inklusi calon responden karena dapat meningkatkan kadar
VLDL, LDL maupun trigliserida (LIPI 2009). Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa
semua responden (100%) tidak memiliki kebiasaan merokok maupun meminum
alkohol, sehingga risiko gangguan paru-paru ataupun metabolisme lemak ataupun
karbohidrat akibat rokok maupun minuman alkohol yang dapat mempengaruhi
hasil penelitian ini dapat diantisipasi.
Uji Performa Saat Berolahraga
4.1 VO2 max
VO2 max merupakan salah satu parameter uji performa saat berolahraga
yang digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran VO2 max menggambarkan
ketahanan kardiorespiratori, yaitu kemampuan maksimal seseorang untuk
mengkonsumsi oksigen, biasanya dicapai ketika seseorang melakukan aktivitas
sampai lelah (Mc Ardle et al 2006).
Hasil pengukuran VO2 max pada Gambar 6 dan Tabel 6 menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan jangka pendek
(50, 80, dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan perlakuan tanpa
minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman beroksigen
tidak mempengaruhi VO2 max saat uji performa dengan treadmill. Pemberian
minuman beroksigen baik jangka pendek (50, 80 atau 130 ppm) maupun jangka
panjang (100 ppm) dapat meningkatkan nilai rata-rata VO2 max dibandingkan
meminum AMDK. Oksigen tambahan yang diserap oleh usus diharapkan dapat
memperpanjang pernafasan aerob. Oksigen berperan sebagai penerima elektron
terakhir pada metabolisme energi. Ketidakcukupan oksigen, mengakibatkan
pernafasan beralih menjadi anaerob. Namun variasi daya aerob dan anaerobik
setiap responden dan perbedaan IMT dapat mempengaruhi VO2 max. VO2 max
27
membutuhkan integrasi dari sistem respirasi, kardiovaskular, dan neuromuskuler,
dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor paling penting antara lain tingkat
latihan, jenis kelamin, komposisi tubuh, dan usia (Mc Ardle et al 2006).
Perlakuan jangka pendek dengan konsentrasi tertinggi (130 ppm) memiliki
nilai rataan terkecil karena banyak responden yang mengalami sendawa setelah
meminumnya. Hal tersebut mengganggu saat uji performa (treadmill). Pada
konsentrasi 130 ppm dimungkinkan membutuhkan waktu jeda antara meminum
sampel dengan uji performa (treadmill) yang lebih lebih lama (>15 menit) dari
sampel-sampel lainnya karena konsentrasi oksigen yang tinggi.
Penelitian Fuller (2010) juga melaporkan bahwa pemberian minuman
beroksigen (15 menit sebelum uji) pada 20 orang atlet sepakbola, tidak
memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan VO2 max. Penelitian
Pitoyo (2005) yang dilakukan kepada 24 orang mahasiswa IPB juga melaporkan
hal yang sama.
0
10
20
30
40
50
60
70
VO
2 m
ax
(m
l/K
g/
me
nit
)
A B C D E F G H I J K L
Responden
air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)
Gambar 6 VO2 max responden pada berbagai perlakuan
Pada penelitian ini nilai VO2 max tidak signifikan (p>0.05) dipengaruhi
oleh perlakuan minuman beroksigen, dimungkinkan karena oksigen yang
dikonsumsi dan mempengaruhi VO2 max dominan berasal dari jalur pernafasan,
bukan dari minuman berosigen yang diberikan. Oksigen dari minuman tersebut
diserap di dalam usus (Gurskaya dan Ivanov 1961). Usus terletak jauh dari masker
yang dihubungkan dengan alat pengukur VO2 max “Fitmate”, dibandingkan organ
hidung dari paru-paru sebagai alat pernafasan. Selain itu, dimungkinkan
disebabkan pula oleh komposisi tubuh yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT
responden dalam penelitian ini bervariatif (normal 53%, overweight 29.4% dan
underweight 17.6%). IMT yang lebih besar dapat mengurangi nilai VO2 max,
sebagai contoh Responden E (IMT overweight) hanya mampu mencapai VO2 max
sebesar 36.2 – 40.6 mL/menit/Kg, lebih rendah dibandingkan dengan Responden
D (IMT normal) dengan nilai VO2 max sebesar 55.7 – 60.2 mL/menit/Kg. Adapun
pengaruh dari variasi fungsi jantung, paru-paru, dan darah, khususnya hemoglobin
sangat kurang (<37 mL/Kg/menit)
kurang (>37 – 41 mL/Kg/menit)
cukup (>41 – 44 mL/Kg/menit) baik (>44 – 48,2 mL/Kg/menit)
super (> 54 mL/Kg/menit)
sangat baik (>48.2 – 54 mL/Kg/menit)
AMDK
28
dimungkinkan minimal karena hasil pemeriksaan kesehatan seluruh responden
dalam kondisi normal.
Tabel 6 Perbandingan VO2 max pada berbagai perlakuan
Parameter statistik AMDKa 50 ppm
a 80 ppma 130 ppm
a 100 ppmb
Rata-rata (n=12) 45.87 48.89 48.03 47.4 48.76
Standar deviasi 9.00 7.80 8.02 7.89 7.86
One way ANOVA p>0.05
Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang
Pada Gambar 7 yang menyajikan kriteria VO2 max responden pada
berbagai perlakuan sampel menunjukkan bahwa kriteria VO2 max tertinggi
(super) paling banyak dicapai pada perlakuan jangka panjang (100 ppm), yaitu
sebanyak 4 responden (33.3%). Konsumsi minuman beroksigen baik jangka
pendek pada semua perlakuan konsentrasi (50, 80 dan 130 ppm) serta intervensi
jangka panjang juga dapat menurunkan kriteria VO2 max terendah (sangat kurang)
dibandingkan meminum AMDK. Jumlah responden dengan VO2 max sangat
kurang pada perlakuan meminum AMDK yang mencapai 3 responden (25%),
dapat menurun menjadi 1 responden (8.3%) pada perlakuan 130 ppm dan
intervensi jangka panjang (100 ppm), bahkan tidak ditemukan pada perlakuan 50
dan 80 ppm.
Gambar 7 Kriteria VO2 max responden pada berbagai perlakuan sampel
4.2 Waktu mencapai ambang anaerobik (Anaerobic Threshold /AT)
Waktu mencapai ambang anaerobik mempengaruhi performa saat
berolahraga. Ambang anaerobik adalah titik permulaan dari akumulasi asam laktat
(Mc Ardle et al 2006). Asam laktat adalah senyawa pemicu kelelahan yang
mengakibatkan penurunan performa saat berolahraga. Walaupun asam laktat dapat
dikonversi kembali menjadi glukosa oleh hati, namun asam laktat yang
menumpuk di dalam sel otot saat pengujian akan cepat berdifusi ke dalam darah
sehingga menyebabkan kelelahan. Keadaan ini dapat terjadi karena kecepatan
suplai oksigen lebih rendah dibanding regulasi keperluan energi pada saat latihan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
jum
lah
re
spo
nd
en
(o
ran
g)
AMDK
50 pp
m
80 pp
m
130 p
pm
jk p
jg (
100 p
pm)
Perlakuan sampel
Sangat Kurang (<37 mL/Kg/menit)
Kurang (>37 – 41 mL/Kg/menit)
Cukup (>41 – 44 mL/Kg/menit)
Baik (>44 – 48,2 mL/Kg/menit)
Sangat Bai k (>48.2 – 54 mL/Kg/menit)
Super (> 54 mL/Kg/menit)
29
yang berat. Hal ini berarti pula kecepatan resintesis ATP tidak dapat mengimbangi
kecepatan penggunaannya.
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0W
ak
tu m
en
cap
ai
AT
(m
en
it)
A B C D E F G H I J K L
Responden
air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)
Gambar 8 Waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan sampel
Hasil pengukuran waktu mencapai AT pada Gambar 8 dan Tabel 7
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan
jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan
perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman
beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai ambang anaerobik. Adanya
variasi daya aerobik dan aktivitas responden sebelum pengujian dapat
mempengaruhi waktu mencapai AT. Aktivitas berat sebelum pengujian dapat
mempengaruhi performa olahraga (Mc Ardle et al 2006).
Tabel 7 Perbandingan waktu mencapai ambang anaerobik pada berbagai perlakuan
Parameter statistik AMDKa 50 ppm
a 80 ppma 130 ppm
a 100 ppmb
Rata-rata (n=12) 4.68 4.52 3.93 4.71 4.60
Standar deviasi 1.92 2.83 1.75 2.41 2.31 One way ANOVA p>0.05
Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang
4.3 Waktu mencapai kelelahan
Waktu mencapai kelelahan sangat penting karena mendukung performa
untuk mencapai prestasi puncak ketika pertandingan olahraga. Semakin tinggi
waktu kelelahan yang dicapai seseorang saat berolahraga maka semakin baik daya
tahannya.
Hasil pengukuran waktu mencapai kelelahan pada Gambar 9 dan Tabel 8
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perlakuan
jangka pendek (50, 80 dan 130 ppm) serta jangka panjang (100 ppm) dengan
perlakuan tanpa minum air beroksigen, atau dengan kata lain pemberian minuman
beroksigen tidak mempengaruhi waktu mencapai kelelahan. Pemberian minuman
beroksigen baik jangka pendek pada konsentrasi 50, 80 dan 130 ppm maupun
jangka panjang dengan konsentrasi 100 ppm meningkatkan waktu rata-rata untuk
AMDK
30
mencapai kelelahan dibandingkan meminum AMDK. Asupan oksigen tambahan
dari minuman, diharapkan dapat memperpanjang pernafasan aerob selama
berolahraga. Pernafasan aerob dapat menghasilkan ATP yang jauh lebih besar (38
ATP) dibandingkan pernafasan anaerob (2 ATP), disamping tidak menghasilkan
laktat yang memicu kelelahan (Mc Ardle, 2006). Produksi ATP yang lebih besar
semakin meningkatkan daya tahan saat berolahraga sehingga dapat
memperpanjang waktu mencapai kelelahan. Perlakuan jangka panjang (100 ppm)
menghasilkan rataan paling tinggi, yaitu meningkatkan waktu mencapai kelelahan
sebesar 1,3 menit dibandingkan meminum AMDK. Hal ini dimungkinkan karena
penyerapan oksigen di dalam tubuh yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan
energi berupa ATP yang lebih besar.
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
Waktu
me
nca
pai
ke
lela
han
(m
en
it)
A B C D E F G H I J K L
Responden
air biasa 50 ppm 80 ppm 130 ppm Jk Panjang (100 ppm)
Gambar 9 Waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan
Penelitian Duncan (1997) pada 20 laki-laki dan 5 perempuan
atlet lari marathon juga melaporkan bahwa air minum beroksigen dapat
meningkatkan waktu mencapai kelelahan sebesar 15 detik pada tes lari sejauh 5
Km. Waktu mencapai kelelahan juga meningkat sebesar 23.34 detik, pada
penelitian Fuller (2010) terhadap 20 orang atlet sepak bola. Pada kedua studi
tersebut, sampel yang diujikan diminum sekitar 15 menit sebelum lari
sebagaimana penelitian ini.
Tabel 8 Perbandingan waktu mencapai kelelahan pada berbagai perlakuan
AMDKa 50 ppm
a 80 ppma 130 ppm
a 100 ppmb Parameter statistik
(menit)
Rata-rata (n=12) 10.34 11.18 11.27 10.93 11.60
Standar deviasi 2,99 3.47 3.27 3.24 4.04
Peningkatan dibanding AMDK - 0,48 0,28 0,25 1,3
One way ANOVA p>0.05
Keterangan: a) jangka pendek dan b) jangka panjang
AMDK
31
Saturasi Oksigen (SpO2)
Saturasi oksigen (SpO2) adalah persentase hemoglobin yang mengikat
oksigen dalam aliran darah. Parameter tersebut penting untuk mengetahui
perubahan kadar saturasi oksigen responden karena pengaruh perlakuan minuman
beroksigen yang diberikan.
Tabel 9 Perbandingan SpO2 pada berbagai perlakuan
Hasil pengukuran SpO2 pada Gambar 10 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa
nilai rata-rata SpO2 dari berbagai perlakuan masih dalam batas normal
(SpO2>95%). Perbedaan konsentrasi sampel (50, 80 dan 130 ppm) maupun
perlakuan jangka panjang tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar SpO2
responden. Kadar SpO2 pada perlakuan waktu, baik sebelum maupun setelah uji
performa dengan treadmill serta setelah pemberian sampel pasca treadmill pada
menit ke 0, 5, 10, dan 15 menit tidak memberikan memberikan perbedaan
signifikan (p>0.05). Penelitian Fuller (2010) pada 20 atlet sepakbola juga
menghasilkan hasil yang sama. Pemberian sampel 20 menit sebelum dan sesudah
lari cepat 100 meter pada penelitian Ellyana et al (2011) juga tidak mempengaruhi
kadar SpO2 baik pada kelompok plasebo maupun kelompok yang diberi perlakuan
(@ 23 orang). Adapun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Jenkins et al
(2001) yang melakukan penelitian pada 20 orang (10 laki-laki, 10 perempuan) dan
diberikan sampel 15 menit sebelum uji performa. Responden yang meminum air
Parameter statistik
Perlakuan sampel AMDKa (%) 50 ppm
a (%)
Perlakuan waktu
pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15
Rata-rata 97,6 97,3 97,0 96,8 96,7 96,8 97,3 96,9 96,9 96,9 97,1 97,2 Standar deviasi 0,79 0,65 0,85 0,72 0,65 0,83 1,07 0,90 0,79 1,00 0,79 0,72 Perlakuan Sampel 80 ppm
a (%) 130 ppm
a (%)
Perlakuan waktu
pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15 s1 s2 m0 m5 m10 m15
Rata-rata 97,9 97,3 96,8 97,0 96,8 96,9 97,8 97,2 97,2 97,3 97,0 97,3 Standar deviasi 0,67 0,78 0,62 0,74 0,72 0,79 0,62 0,72 0,72 0,78 0,95 0,65
Perlakuan sampel 100 ppmb (%)
Perlakuan waktu
pengambilan sampel s1 s2 m0 m5 m10 m15
Rata-rata 97,7 96,3 96,4 96,7 96,3 97,0
Standar deviasi 0,98 1,60 1,09 1,15 0,87 0,60
uji statistik pada perlakuan konsentrasi sampel maupun waktu General Linear
Model ANOVA p>0.05
Keterangan : a) jangka pendek dan b) jangka panjang s1 = sebelum treadmill s2 = sesudah treadmill m0 = sesaat setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m5 = 5 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m10 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill m15 = 10 menit setelah meminum habis satu botol sampel setelah treadmill
32
beroksigen pada penelitian tersebut memiliki 4% saturasi oksigen lebih tinggi
dibandingkan plasebo.
95,5
96,0
96,5
97,0
97,5
98,0
98,5
s1 s2 m0 m5 m10 m15
Waktu pengambilan sampel
Sa
tura
si o
ksi
ge
n (
%)
AMDK 50 ppm 80 ppm 130 ppm jk panjang (100 ppm)
Gambar 10 Perbandingan rataan saturasi oksigen (SpO2) pada berbagai perlakuan
Nilai rataan kadar SpO2 masing-masing perlakuan pada menit ke-15
setelah pemberian minuman beroksigen belum sepenuhnya mampu membantu
pemulihan kadar SpO2. Adapun perlakuan jangka panjang (100 ppm) meskipun
mengalami penurunan kadar SpO2 terbesar setelah melakukan uji performa
dengan treadmill (s2), namun dapat memulihkan kadar SpO2 lebih tinggi
dibandingkan perlakuan jangka pendek pada konsentrasi 80 ppm dan air minum
biasa (Gambar 10).
Tabel 9 dan Gambar 10 menggambarkan bahwa tidak semua perlakuan
minuman beroksigen memiliki kadar SpO2 yang lebih baik dibandingkan dengan
kontrol sebagaimana parameter lainnya. Begitupula dengan beberapa data
pemulihan SpO2 pada menit ke-10 yang justru mengalami penurunan. SpO2 tidak
dipengaruhi oleh perlakuan minuman beroksigen dimungkinkan karena oksigen
yang terukur berasal dari pernafasan. Oksigen dari paru-paru masuk ke dalam sel
darah merah (eritrosit) secara difusi pasif kemudian diikat oleh hemoglobin.
Difusi dapat terjadi pada paru-paru (alveolus), karena perbedaan tekanan parsial
antara udara dan darah dalam alveolus (Guyton dan Hall 2011). Adapun oksigen
dari minuman beroksigen diserap oleh usus secara difusi pasif dan kemudian
masuk ke plasma darah pada pembuluh vena. Tekanan oksigen dalam darah vena
selalu 15-35 mmHg lebih tinggi daripada di dalam lumen usus (Gurskaya dan
Ivanov 1961). Berbeda dengan eritrosit, plasma darah tidak mengandung
hemoglobin.
Profil Lipid
Parameter profil lipid yang dikaji pada penelitian ini mencakup plasma
kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida.
4.1 Kolesterol
Kolesterol adalah senyawa lemak yang dapat berasal dari bahan makanan
maupun disentesis oleh hati. Dalam jumlah melebihi batas normal (>200 mg/dL),
AMDK
33
kolesterol dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan otak. Kolesterol darah atau
biasa disebut total kolesterol merupakan ukuran total kolesterol yang pada seluruh
lipoprotein, yaitu HDL, LDL dan VLDL. Total kolesterol mencangkup kolesterol
yang yang berada dalam seluruh fraksi lipoprotein, yaitu 60-70% dibawa oleh
LDL, 20-30% dibawa oleh HDL dan 10-15% dibawa oleh VLDL.
Pada Tabel 10 dan Gambar 11 menunjukkan penurunan kolesterol plasma
darah responden secara signifikan (p<0.05) sesudah intervensi minuman
beroksigen yang diberikan. Kadar kolesterol responden sebelum intervensi lebih
tinggi dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar
kolesterol pada satu responden (No 17) yang melebihi batas normal (kolesterol
>200 mg/dL), yaitu sebesar 267 mg/dL.
0
50
100
150
200
250
300
Ko
lest
ero
l (m
g/d
L)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
Gambar 11 Kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Penurunan kadar kolesterol total darah dapat disebabkan oleh penurunan
konsumsi lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et
al 2006) sebagaimana yang dialami oleh responden No 17. Responden No 17
mengalami penurunan kadar kolesterol terbesar (150 mg/dL) karena saat
intervensi mengurangi konsumsi telur. Sebelum intervensi, responden itu dapat
mengkonsumsi 3 butir telur/hari. Kuning telur adalah sumber kolesterol yang
tinggi. Data sesudah intervensi pada Gambar 11 menunjukkan kadar kolesterol
pada semua responden berada dalam kondisi normal (kolesterol <200 mg/dL).
Tabel 10 Perbandingan kadar kolesterol plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)
Rata-rata (n=17) 168.12 114.53
Standar deviasi 34.28 18.60
Minimum 122.00 91.00
Maksimum 267.00 149.00
Uji t berpasangan p<0.05
Jumlah responden yang turun 17 orang (100%)
Rata-rata besarnya penurunan 53.6 mg/dL
batas normal
(<200 mg/dL)
34
Kolesterol dalam tubuh manusia dapat berasal dari makanan yang
dikonsumsi ataupun dari dalam tubuh yang diproduksi oleh hati. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet
tinggi lemak jenuh dan kolesterol, genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas
fisik dan penyakit lain (Mahan & Escott-Stump 2008). Adapun konsumsi lemak
yang mempengaruhi konsentrasi plasma kolesterol menurut Guyton dan Hall
(2011), adalah:
- Peningkatan konsumsi kolesterol setiap hari meningkatkan sedikit konsentrasi
kolesterol plasma. Namun meningkatnya konsentrasi kolesterol akan
menghambat enzim yang paling penting untuk mensintesis kolesterol secara
endogen, yaitu 3-hydroxy-3-methylglutaryl CoA reductase, sehingga
memberikan sistem kontrol umpan balik intrinsik untuk mencegah
peningkatan berlebihan konsentrasi kolesterol pada plasma. Akibatnya,
konsentrasi plasma kolesterol biasanya tidak berubah lebih dari ± 15 persen
dengan mengubah jumlah kolesterol dalam makanan, meskipun respon setiap
individu berbeda.
- Diet lemak jenuh meningkatkan konsentrasi kolesterol darah 15-25 persen,
terutama bila dikaitkan dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Hal ini
akibat dari penumpukan lemak di hati yang meningkat, sehingga
meningkatkan asetil-KoA dalam sel-sel hati untuk memproduksi kolesterol.
Oleh karena itu, untuk menurunkan konsentrasi kolesterol darah, diet rendah
lemak jenuh diperlukan selain diet rendah kolesterol.
- Konsumsi lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh biasanya menekan
konsentrasi kolesterol darah dalam jumlah sedikit hingga sedang.
- Kurangnya hormon insulin atau tiroid meningkatkan konsentrasi kolesterol
darah, sedangkan kelebihan hormon tiroid menurunkan konsentrasi kolesterol
darah. Efek ini mungkin disebabkan oleh perubahan tingkat aktivasi enzim
tertentu yang bertanggung jawab untuk metabolisme zat lemak.
- Kelainan genetik metabolisme kolesterol sangat dapat meningkatkan kadar
kolesterol plasma, misalnya mutasi dari gen reseptor LDL dapat mencegah
hati membersihkan kolesterol kaya LDL dari plasma darah. Hal ini
menyebabkan hati memproduksi kolesterol dalam jumlah yang berlebihan.
Mutasi gen yang mengkode apolipoprotein B (bagian dari LDL yang mengikat
reseptor), juga menyebabkan produksi kolesterol berlebihan oleh hati.
4.2 High Density Lipoprotein (HDL)
HDL adalah salah satu jenis kolesterol yang memegang peranan penting
bagi kesehatan jantung. Lipoprotein ini mencegah kolesterol mengendap di arteri
dan melindungi pembuluh darah dari proses aterosklerosis (terbentuknya plak
pada dinding pembuluh darah). Kolesterol diangkut dari hati oleh LDL untuk
dibawa ke sel-sel tubuh yang memerlukan. Kelebihan kolesterol akan diangkut
kembali oleh HDL untuk dibawa kembali ke hati yang selanjutnya akan diuraikan
lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam (cairan) empedu. Jika kadar
kolesterol HDL rendah maka proses tersebut tidak bisa berjalan baik, sehingga
dapat mengakibatkan aterosklerosis. Apoliprotein utama pada HDL disebut Apo
35
A-I, yang diketahui bersifat anti-inflamasi dan antioksidasi yang membuang
kolesterol dari dinding arteri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar
kolesterol dalam darah antara lain: usia, diet tinggi lemak jenuh dan kolesterol,
genetik, hormon, berat badan, tingkat aktivitas fisik dan penyakit lain (Mahan dan
Escott-Stump 2008).
Gambar 12 Kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang
diberikan tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar HDL plasma darah
responden. Data sesudah intervensi (Gambar 12) menunjukkan kadar HDL semua
responden dalam batas normal (HDL >35 mg/dL), meskipun terdapat 6 orang
(40% responden) yang mengalami penurunan HDL. Namun demikian penurunan
HDL tersebut tidak mengakibatkan rasio plasma kolesterol : HDL melebihi batas
normal pada Tabel 13.
Tabel 11 Perbandingan kadar HDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)
Rata-rata (n=17) 40.60 38.30
Standar deviasi 6.20 2.44
Minimum 33.00 34.00
Maksimum 60.00 42.00
Uji t berpasangan p>0.05
Jumlah responden yang naik 8 orang (53.3%)
Rata-rata besarnya kenaikan 2.00 mg/dL
Jumlah responden yang tetap 1 orang (6.7%)
Jumlah responden yang turun 8 orang (53.3%)
Rata-rata besarnya penurunan 7.00 mg/dL
Penurunan HDL yang dialami oleh kedelapan responden tersebut di atas
dapat disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat berdasarkan data pada food recall
(Tabel 12). Penelitian Ulmann et al (1991), melaporkan bahwa diet tinggi
0
10
20
30
40
50
60
HD
L (
mg
/d
L)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas normal
(>35 mg/dL)
36
karbohidrat dengan rendah lemak dalam jangka pendek (65% kalori dari
karbohidrat dan 20% kalori dari lemak, selama 10 hari) yang dilakukan terhadap 8
responden yang biasa menerapkan American Diet (45% kalori dari karbohidrat,
40% kalori dari lemak dan 15% kalori dari protein) menyebabkan penurunan
signifikan (p<0.05) kadar plasma HDL sebesar 16%. Kadar kolesterol dan Low
Density Lipoprotein (LDL) juga mengalami penurunan signifikan (p<0.05).
Adapun kadar plasma Very Low Density Lipoprotein (VLDL) maupun trigliserida
tidak mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh karbohidrat pada kadar
plasma HDL tersebut tidak terbatas pada karbohidrat sederhana tetapi juga
ditemukan dengan diet tinggi karbohidrat kompleks (Katan 1998). Mekanisme
penurunan HDL akibat diet tinggi karbohidrat disebabkan oleh penurunan
Apolipoprotein A-I yang merupakan penyusun utama HDL. HDL memiliki peran
penting karena berfungsi membawa kolesterol bebas dari jaringan perifer menuju
hati. Kolesterol ini diubah menjadi kolesterol ester yang sebagian dipindahkan ke
VLDL melalui bantuan enzim CETP (Cholesteryl Ester Transfer Protein) dan
dikembalikan lagi ke hati oleh LDL. Hati akan memanfaatkan kembali kolesterol
ini untuk diubah menjadi garam empedu atau langsung mengsekresikan ke dalam
empedu (Tsalissavrina et al 2006).
Pada responden No 1 mengalami penurunan HDL sebesar 6 mg/dL
dimungkinkan selain disebabkan oleh diet tinggi karbohidrat sebagaimana uraian
di atas, juga dapat disebabkan oleh berkurangnya aktivitas olahraga (Mamat 2010).
Aktivitas olahraga responden No 1 menurun selama intervensi akibat cedera otot
kaki ringan sehingga terbatas gerakannya saat melakukan olahraga beladiri.
Tabel 12 Food recall pada responden yang mengalami penurunan HDL
Kadar HDL (mg/dL) Responden
Sebelum Sesudah Penurunan
Food recall H-18, 19, 20
1 41 35 -6 dominan karbohidrat, terutama camilan
berkadar gula tinggi seperti wafer
3 38 36 -2
dominan karbohidrat, rendah serat.
Camilan dominan karbohidrat murni,
seperti biskuit manis, cokelat oles, siomay
4 60 34 -26
dominan karbohidrat murni, rendah serat
dan menyukai camilan manis, seperti
biskuit, roti, coklat tabur, wafer, nagasari,
brownies
6 40 38 -2 dominan karbohidrat, terutama camilan
malam, seperti bihun goring
8 46 42 -4
dominan karbohidrat, terutama camilan
seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi
goring, burger dan pizza mini
9 39 37 -2 dominan karbohidrat, rendah serat
10 40 39 -1 dominan karbohidrat, terutama camilan
malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw
11 49 36 -13
dominan karbohidrat terutama karbohidrat
murni rendah serat, seperti nasi putih,
bakso, risoles, jus dengan susu kental
manis dan gula pasir yang berlebih
37
4.3 Rasio Kolesterol : HDL
Rasio kolesterol : HDL terkait risiko penyakit jantung. Laporan studi
Framingham Heart Study menunjukkan bahwa untuk laki-laki, rasio kolesterol :
HDL = 5 menandakan risiko rata-rata untuk penyakit jantung. Adapun rasio
kolesterol : HDL = 3.4, menurunkan sekitar setengah risiko dari rata-rata,
sedangkan rasio kolesterol : HDL =9.6, meningkatkan sekitar dua kali lipat dari
risiko rata-rata. Rasio ideal antara kolesterol total : HDL, yaitu 2.5-3.4, sedangkan
nilai rasio 3.5-4.5 masih ditoleransi namun harus diwaspadai (HMS 2005).
Data rasio plasma kolesterol : HDL pada Tabel 13 menunjukkan bahwa
sebelum intervensi minuman beroksigen terdapat 3 orang responden (No 3,6,17)
yang rasio plasma kolesterol : HDL melebihi normal (kolesterol : HDL = 5:1).
Adapun setelah intervensi ketiganya mengalami penurunan rasio plasma
kolesterol : HDL dan berada dalam batas normal. Responden No 4 mengalami
kenaikan rasio plasma kolesterol : HDL dari 2.3 : 1 sebelum intervensi menjadi
optimal sesudah intervensi, dengan rasio 2.8 : 1. Hasil rasio plasa kolesterol :
HDL setelah intervensi menunjukkan rasio ideal pada 15 orang responden.
Adapun 2 orang responden dengan rasio sebesar 3.5 (responden No 12) dan 3.7
(responden No 6) pada Tabel 13 menunjukkan nilai rasio yang masih dapat
ditoleransi.
Tabel 13 Rasio Kolesterol : HDL sebelum dan sesudah intervensi
Rasio kolesterol: HDL Rasio kolesterol: HDL Responden
Sebelum Sesudah
Responden
Sebelum Sesudah
1 4.2 : 1 2.6 : 1 11 3.7 : 1 3.0 : 1
2 4.6 : 1 2.5 : 1 12 4.6 : 1 3.5 : 1
3 5.2 : 1* 2.8 : 1 13 3.2 : 1 2.8 : 1
4 2.3 : 1 2.8 : 1 14 4.0 : 1 3.6 : 1
5 3.9 : 1 3.2 : 1 15 4.9 : 1 3.0 : 1
6 5.0 : 1* 3.7 : 1 16 4.1 : 1 2.9 : 1
7 3.5 : 1 2.9 : 1 17 6.8 : 1* 2.8 : 1
8 3.7 : 1 3.1 : 1
9 3.4 : 1 2.8 : 1
10 4.4 : 1 2.6 : 1 Keterangan: *) melebihi batas normal kolesterol : HDL < 5:1(AHA 2011)
4.4 Low Density Lipoprotein (LDL)
LDL merupakan alat transpor kolesterol utama yang terbentuk dari
konversi Very Low Density Lipoprotein (VLDL). VLDL dibentuk di hati sebagai
transpor trigliserida dan kolesterol endogen. Sisa VLDL yang trigliseridanya telah
dihidrolisis oleh lipase dikonversi menjadi LDL. Selanjutnya LDL akan diambil
oleh hati (Mahan & Escott-Stump 2008). LDL dikenal sebagai kolesterol jahat
karena dalam jumlah berlebih merupakan faktor utama penyebab penyakit jantung
koroner.
38
Tabel 14 menunjukkan bahwa sesudah intervensi minuman beroksigen
yang diberikan terdapat penurunan kadar LDL plasma darah responden secara
signifikan (p>0.05). Kadar LDL responden sebelum intervensi lebih tinggi
dibandingkan setelah intervensi. Bahkan sebelum intervensi terdapat kadar LDL
pada 8 responden (No 1, 2, 3, 4, 6, 10, 11, dan 17) yang melebihi batas normal
(LDL≥100mg/dL). Data sesudah intervensi pada Gambar 13 menunjukkan kadar
LDL pada semua responden mengalami penurunan dan berada dalam kondisi
normal (LDL <100 mg/dL).
Gambar 13 Kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Tabel 14 Perbandingan kadar LDL plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistic Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)
Rata-rata (n=17) 103.94 54.41
Standar deviasi 30.15 13.44
Minimum 55.00 34.00
Maksimum 189.00 80.00
Uji t berpasangan p<0.05
Jumlah responden yang turun 17 orang (100%)
Rata-rata besarnya penurunan 49.53 mg/dL
Beberapa responden mengalami penurunan kadar LDL yang besar, seperti
pada responden No 4 (98 mg/dL) dan No 17 (125 mg/dL). Penurunan kadar LDL
darah dapat disebabkan oleh penurunan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol
yang tinggi dalam makanan (Tsalisavrina et al 2006). Responden No 17 mengakui
mengurangi makanan berkolesterol tinggi selama intervensi berlangsung.
Responden No 17 sebelum intervensi dapat mengkonsumsi telur hingga 3 butir/
hari Adapun pada responden No 4 dimungkinkan karena aktivitas olahraganya
yang meningkat. Hasil wawancara manfaat yang dirasakan secara psikologis
terhadap responden No 4, ia merasakan performa olahraganya meningkat karena
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
LD
L (
mg
/d
L)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas normal
(<100 mg/dL)
39
intervensi minuman beroksigen. Menurut Foran et al (2003), olahraga dapat
memperbaiki profil lipid seperti menurunkan LDL.
4.5 Trigliserida
Selain total kolesterol, HDL dan LDL, jenis lipid darah yang penting
adalah trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida melebihi normal (>150 mg/dL)
dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan tekanan darah maupun
diabetes. Trigliserida dapat menjadi sumber tenaga (menghasilkan ATP). Pertama,
trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian asam lemak
dan gliserol ditransport ke dalam jaringan aktif untuk menghasilkan
energi.Gliserol pada jaringan aktif diubah oleh enzim intraselular menjadi gliserol
3-fosfat, yang kemudian masuk dalam jalur glikolisis, untuk dilakukan pemecahan
glukosa untuk memperoleh energi. Sementara asam lemak dibawa ke dalam
mitokondria dengan bantuan karnitin sebagai zat karier, kemudian di dalam
mitokondria asam lemak dipisahkan dari karnitin, lalu mengalami proses oksidasi.
Asam lemak didegradasi menjadi asetil KoA melalui proses oksidasi beta di
dalam mitokondria lalu asetil KoA masuk ke dalam siklus krebs. Pada siklus
krebs tersebut, asetil KoA bergabung dengan asam oksaloasetat untuk membentuk
asam sitrat, yang kemudian didegradasi menjadi CO2 dan atom hidrogen.
Hidrogen kemudian dioksidasi secara berturut-turut oleh sistem oksidasi
kemiosmotik mitokondria, kemudian reaksi ini menghasilkan ATP. Degradasi
asam lemak menjadi asetil KoA, memiliki cara yang sama dengan pembentukan
asetil KoA dari asam piruvat pada metabolisme glukosa (Guyton dan Hall 2011)
Gambar 14 Kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Sejumlah 5 orang responden (29.4%) pada Gambar 14 dan Tabel 15
mengalami kenaikan kadar trigliserida meskipun masih dalam batas normal.
Kelima orang responden tersebut adalah responden No 3, 5, 6, 10 dan 14. Dari
kelima orang responden tersebut, terdapat 3 orang responden yang mengalami
kenaikan trigliserida besar, yaitu reponden No 5, 3, dan 14. Responden No 5
mengalami kenaikan trigliserida sebesar 69 mg/dL karena saat intervensi
berlangsung ia kehilangan sepeda sehingga aktivitas olahraganya berkurang
0
50
100
150
200
250
300
350
Tri
gli
seri
da
(m
g/
dL
)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas normal
(<150 mg/dL)
40
dibandingkan sebelum intervensi. Adapun responden No 3 mengalami kenaikan
sebesar 26 mg/dL disebabkan karena pola makan. Responden tersebut mengakui
selama intervensi, sering mengkonsumsi makanan tambahan selain menu makan
malam yang diberikan oleh peneliti. Responden No 14 mengalami kenaikan
trigliserida sebesar 21 mg/dL disebabkan oleh mengkonsumsi menu makan
malam menjelang tidur malam. Saat intervensi berlangsung, ia sering pulang larut
karena menjadi ketua suatu kegiatan kemahasiswaan. Menurut Tsalisavrina et al
2006 peningkatan trigliserida darah atau hipertrigliserida dipengaruhi oleh faktor
gen dan konsumsi makanan seperti karbohidrat, lemak, dan alkohol. Selain itu,
kadar trigliserida darah juga dipengaruhi oleh aktivitas enzim LPL (Lipoprotein
Lipase) yang berfungsi untuk menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan
gliserol. Rendahnya aktifitas LPL ini akan dapat meningkatkan kadar trigliserida
darah. Aktivitas fisik seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme tubuh
yang akan meningkatkan kinerja enzim di dalam tubuh. Berkurangnya aktivitas
tubuh sebagaimana yang dialami oleh Responden No 5 dan 14 tentu saja akan
meningkatkan kadar trigliserida.
Tabel 15 Perbandingan kadar trigliserida plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum (mg/dL) Sesudah (mg/dL)
Rata-rata (n=17) 139.53 111.12
Standar deviasi 56.33 32.16
Minimum 77.00 59.00
Maksimum 315.00 186.00
Uji t berpasangan p>0.05
Jumlah responden yang naik 5 orang (29.4 %)
Rata-rata besarnya kenaikan 25.00 mg/dL
Jumlah responden yang turun 12 orang (70.6%)
Rata-rata besarnya penurunan 50.67 mg/dL
Perbaikan sebagian profil lipid yang ditunjukkan dengan adanya
penurunan kolesterol dan LDL yang signifikan (p<0.05) serta perbaikan rasio
kolesterol : HDL, mengindikasikan adanya perbaikan metabolisme lipid dalam
pembentukan energi karena intervensi jangka panjang minuman beroksigen.
Asupan oksigen secara teratur selama 21 hari dimungkinkan meningkatkan
ketersediaan oksigen yang dibutuhkan dalam transpor elektron pada pembentukan
ATP dari asetil KoA sebagai hasil metabolisme asam lemak. Kecukupan oksigen
dapat meningkatkan produksi ATP yang berasal dari lipid di dalam tubuh. Hasil
penelitian uji performa saat berolahraga pada parameter waktu mencapai
kelelahan juga memperlihatkan bahwa intervensi jangka panjang dapat
meningkatkan nilai rata-rata parameter tersebut paling besar dibandingkan
perlakuan jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa energi yang dihasilkan
pada intervensi jangka panjang lebih besar yang dimungkinkan dapat berasal dari
metabolisme lipid. Adapun tidak adanya pengaruh signifikan pada trigliserida
sebagai salah satu cadangan lemak tubuh, dimungkinkan karena trigliserida juga
dapat dihasilkan oleh karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh responden.
41
Glukosa Darah
Glukosa merupakan sumber energi utama terutama ketika berolahraga.
Glukosa berasal dari hasil pencernaan karbohidrat, maupun glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Namun demikian, kadar glukosa darah puasa (GDP) yang diluar
batas normal (70–110 mg/dL) dapat mengganggu kesehatan. Kadar glukosa darah
yang tinggi berisiko terhadap penyakit diabetes. Kadar GDP pada diabetes adalah
>126 mg/dL dan dikategorikan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) pada
kadar 100-126 mg/dL (Schrot et al 2007). Glukosa darah yang berlebih juga dapat
dikonversi menjadi trigliserida. Kadar gula darah puasa responden sebelum dan
sesudah intervensi disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 16.
Gambar 15 Kadar gula darah puasa plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Tabel 16 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen yang
diberikan tidak mempengaruhi kadar Gula Darah Puasa (GDP) secara signifikan
(p>0.05). Kadar GDP responden sebelum intervensi memang tidak semuanya
dalam batas normal. Terdapat 4 orang responden dengan kadar GDP >110 mg/dL
yaitu responden No 3 (122 mg/dl), No 4 (147 mg/dL), No 14 (129 mg/dL) dan No
15 (124 mg/dL). Pada akhir sesudah intervensi kadar GDP keempat responden
tersebut mengalami penurunan sampai dengan taraf GDP normal (Gambar 16).
Pada penelitian Handajani et al (2009), melaporkan bahwa pemberian minuman
beroksigen selama 45 hari (4 x 235 ml/hari) pada responden berpenyakit Diabetes
Mellitus/DM dengan GDP ≥ 126 mg/dL yang diberikan minuman beroksigen
terdapat penurunan plasma glukosa puasa secara signifikan (p<0.05). Adapun
pada responden DM dengan Gula Darah Postprandial/GDPP ≥ 200 mg/dL,
mengalami penurunan secara signifikan (p<0.05) setelah mengkonsumsi selama
90 hari.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Gu
la D
ara
h P
ua
sa (
mg
/d
L)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas atas normal
(110 mg/dL)
batas bawah
normal (70 mg/dL)
42
Gambar 16 Kadar GDP plama darah sebelum dan sesudah intervensi pada
responden dengan GDP awal melebihi normal (> 110 mg/dL)
Tabel 16 Perbandingan nilai GDP plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum
(mg/dL) Sesudah
(mg/dL)
Rata-rata (n=17) 98.41 102.06
Standar deviasi 21.35 5.49
Minimum 68.00 88.00
Maksimum 147.00 112.00
Uji t berpasangan p>0.05
Jumlah responden yang naik namun masih normal(<110 mg/dL) 12 orang (70.6%)
Rata-rata besarnya kenaikan 15 mg/dL Jumlah responden yang naik dalam batas gejala hiperglikemia (110 - < 126 mg/dL) 1 orang ( 5.9%)
Besarnya kenaikan 11 mg/dL
Jumlah responden yang turun 4 orang (23.5%)
Rata-rata besarnya penurunan 32.30 mg/dL
Pada Tabel 16 menunjukkan data bahwa terdapat 13 orang (76.4%)
responden yang mengalami kenaikan GDP, namun kenaikan tersebut masih dalam
batas normal (GDP ≤ 110 mg/dL) pada 12 orang responden dan 1 orang
responden (responden No 11) sedikit melebihi batas normal yaitu GDP sebesar
112 mg/dL, namun masih di bawah batas Diabetes (GDP ≥ 126 mg/dL). Kenaikan
GDP responden tersebut dapat disebabkan oleh pola makan menjelang hari
pengambilan darah. Diet karbohidrat murni dapat meningkatkan kadar glukosa
darah. Karbohidrat murni lebih mudah dicerna sehingga lebih cepat pula
menaikkan kadar gula darah dibandingkan karbohidrat kompleks yang masih
mengandung serat. Indeks glisemik dari jenis karbohidrat yang dikonsumsi juga
mempengaruhi glukosa darah. Umumnya karbohidrat kompleks memiliki indeks
glisemik yang rendah dibandingkan karbohidrat sederhana (Watkins et al 2007).
Food recall responden-responden yang mengalami kenaikan GDP (Tabel 17)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
Gu
la D
ara
h P
ua
sa
(mg
/d
L)
3 4 14 15
Responden
Sebelum
Sesudah
batas atas normal
(110 mg/dL)
batas bawah
normal (70 mg/dL)
43
menunjukkan bahwa sebagian besar responden banyak mengkonsumsi karbohidrat
murni menjelang hari pengambilan darah untuk analisis (H-21).
Tabel 17 Food recall responden yang mengalami kenaikan GDP sesudah intervensi
Kadar GDP (mg/dL) Responden
Sebelum Sesudah Kenaikan
Food recall (H-18, 19, 20)
1 101 103 2 dominan karbohidrat murni, terutama camilan
seperti wafer 2 87 98 11 dominan karbohidrat murni, terutama camilan,
seperti biskuit manis, wafer, macaroni 5 107 108 1 normal, namun keturunan diabetes (ayah)
6 91 100 9 dominant karbohidrat murni, terutama camilan
malam, seperti bihun goreng danmemiliki
keturunan diabetes (kakek) 7 68 104 36 dominant karbohidrat murni rendah serat,
seperti nasi putih, teh manis, biskuit manis bisa
sampai 7 keping/hari & pada H20 minum jus
dengan susu kental manis dan gula pasir yang
berlebih 8 95 103 8 dominant karbohidrat murni, terutama camilan
seperti bakwan, cireng, mie ayam, nasi goreng,
burger dan pizza mini 9 84 107 23 dominan karbohidrat murni dan rendah serat
10 82 99 17 dominant karbohidrat, terutama camilan
malam seperti mie bakso pangsit, kwetiaw 11 101 112 11 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni
rendah serat, seperti nasi putih, bakso, risoles,
jus dengan susu kental manis dan gula pasir
yang berlebih
12 78 102 24 terutama pada H20 tinggi karbohidrat murni
rendah serat, seperti nasi putih, risol, kue bolu,
mie goreng 13 81 106 25 dominan karbohidrat murni dan rendah serat
16 79 99 20 banyak mengkonsumsi camilan-camilan manis
yang mengandung karbohidrat murni seperti
biskuit, wafer, roti dalam jumlah yang banyak
(1 hari bisa lebih > 10) 17 97 101 4 normal, namun keturunan diabetes (saudara
nenek)
Hasil pengujian waktu kelelahan membuktikan bahwa perlakuan jangka
panjang memberikan hasil terbaik. Hasil tersebut menandakan bahwa ATP yang
dihasilkan pada perlakuan jangka panjang lebih besar dibandingkan perlakuan
lainnya. Glukosa merupakan sumber energi utama dalam pembentukan energi.
Adanya asupan oksigen yang dimungkinkan lebih baik dari intervensi minuman
beroksigen selam 21 hari diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan sumber
energi seperti glukosa untuk dimetabolisme menjadi ATP. Namun demikian, pada
penelitian ini, intervensi jangka panjang (21 hari) minuman beroksigen tidak
44
signifikan (p>0.05) mempengaruhi kadar glukosa plasma darah. Beberapa data
responden juga menunjukkan kenaikan kadar GDP sesudah intervensi, meskipun
kenaikan tersebut dalam batas normal. Hal tersebut dimungkinkan karena faktor
pola makan responden yang cenderung karbohidrat sederhana dan rendah serat
berpengaruh lebih besar. Cadangan glikogen di dalam hati maupun otot juga dapat
dimetabolisme menjadi glukosa dengan proses glikogenesis, begitupula dengan
asam laktat, piruvat, maupun gliserol melalui proses glukonegenesis. Dengan
demikian jika cadangan glikogen di dalam tubuh responden mencukupi maka
asupan glukosa dari pemecahan karbohidrat yang dikonsumsi tidak akan
digunakan.
SGOT/SGPT
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum
Glutamic Piruvic Transaminase) adalah parameter yang menunjukkan kesehatan
hati. Kadar SGOT/SGPT yang melebihi batas normal dapat berisiko adanya
gangguan fungsi hati. Bila sel–sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim ini
meningkat. SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran gugus
amino dari asam amino (Guyton dan Hall 2011). SGPT yang disebut juga ALT
(Alanin Aminotransferase) akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus
keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat
diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat
dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang
dikatalisasinya. SGOT yang sering disebut dengan AST (Aspartat
aminotransferase) juga berperan dalam deaminase asam amino. SGOT
mengkatalisasi pemindahan gugus amino pada aspartat ke gugus keto dari α-
ketogutarat membentuk glutamat dan oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat
diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim malat
dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi ini. Hasil analisis
SGOT terdapat pada Gambar 17 dan Tabel 18, sedangkan SGPT terdapat pada
Gambar 18 dan Tabel 19.
Gambar 17 Kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
0
5
10
15
20
25
30
35
40
SG
OT (
U/L
)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas bawah
normal (5 U/L)
batas atas normal
(40 U/L)
45
Tabel 18 dan 19 menunjukkan bahwa intervensi minuman beroksigen
yang diberikan tidak mempengaruhi kadar SGOT maupun SGPT secara signifikan
(p>0.05). Penelitian Gruber et al (2004) juga melaporkan hal yang sama, yaitu
pemberian minuman beroksigen terhadap 24 orang selama 28 hari (3 x 500
mL/hari) tidak signifikan (p>0.05) mempengaruhi kesehatan hati yang
ditunjukkan dengan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap parameter
kesehatan hati yang diteliti (SGOT, SGPT, bilirubin, gamma-GT, dan alkalin
fosfatase).
Tabel 18 Perbandingan kadar SGOT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)
Rata-rata (n=17) 22.00 19.18
Standar deviasi 7.10 7.82
Minimum 10.00 8.00
Maksimum 33.00 36.00
Tidak Signifikan pada:
Uji t berpasangan p>0.05
Jumlah responden yang naik 3 orang (17,5%)
Rata-rata besarnya kenaikan 9.80 U/L
Jumlah responden yang tetap 1 orang (6%)
Jumlah responden yang turun 13 orang (76,5%)
Rata-rata besarnya penurunan 8.82 U/L
Adapun secara nilai rata-rata, baik SGOT (Tabel 18) maupun SGPT (Tabel
19), keduanya mengalami penurunan. Nilai SGOT/SGPT yang lebih rendah
adalah indikasi kesehatan hati yang lebih baik, karena kedua enzim itu akan
diproduksi ketika hati mengalami gangguan. Penurunan tersebut diprediksi karena
meningkatnya asupan oksigen pada sel tubuh termasuk hati sehingga memperbaiki
fungsi hati. Penelitian Sobariah et al (2007), melaporkan bahwa suplementasi 80
ppm air beroksigen secara in vivo pada tikus selama 7 hari menunjukkan
pertumbuhan bakteri probiotik (L casei Shirota) secara signifikan (p>0.05) dan
menurunkan secara signifikan (p>0.05) bakteri patogen yang diujikan (coliform).
Probiotik adalah bakteri “baik” yang memiliki kemampuan mengikat senyawa
racun hasil metabolisme protein, serta hasil pemecahan enzim tertentu sehingga
meringankan tugas hati (Sobariah et al 2007).
SGPT lebih mencerminkan fungsi hati daripada SGOT. Letak SGOT di
mitokondria organ hati, jantung, dan ginjal, sedangkan SGPT terdapat di sitosol
hati saja dan jumlahnya pun lebih sedikit dibandingkan jumlah SGOT. Selain
SGOT dan SGPT, ada empat enzim lain yang dapat dijadikan indikator
terganggunya fungsi hati, yaitu alkalin fosfatase, gamma-glutamiltransferase, 5’-
nukleotidase, dan laktat dehidrogenase, namun SGOT dan SGPT tetap lebih baik
karena paling cepat keluar dari hati yang terganggu (Kaplan dan Pesce 1989).
SGPT spesifik dalam memonitor kerusakan hati akibat inflamasi maupun nekrosis.
SGOT dapat meningkat akibat kerusakan jaringan seperti mycocardial infraction,
46
nekrosis otot, gangguan ginjal, gangguan cerebral, dan hemolisis intravaskuler.
Pada penyakit tersebut, konsentrasi SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT.
Namun pada penyakit hati, SGPT meningkat melebihi SGOT (Talwar dan
Srivastava, 2004). Standar normal SGPT adalah 5-35 U/L, adapun SGOT adalah
5-40 U/L. Pada kerusakan hati, SGPT dapat meningkat hingga 50 kali lipat,
sedangkan SGOT meningkat 10-20 kali lipat (Huang et al 2006).
Gambar 15 Kadar SGPT plasma darah sebelum dan sesudah intervensi
Tabel 19 Perbandingan kadar SGPT sebelum dan sesudah intervensi
Parameter statistik Sebelum (U/L) Sesudah (U/L)
Rata-rata (n=17) 18.41 16.41
Standar deviasi 5.10 5.54
Minimum 10.00 9.00
Maksimum 30.00 31.00
Uji t berpasangan p>0.05
Jumlah responden yang naik 5 orang (29,4%)
Rata-rata besarnya kenaikan 8.00 U/L
Jumlah responden yang turun 12 orang (70,6%)
Rata-rata besarnya penurunan 5.50 U/L
Beberapa kadar SGOT/SGPT responden mengalami kenaikan setelah
intervensi, namun kenaikan tersebut masih dalam batas normal. Kenaikan kadar
SGOT/SGPT dapat disebabkan oleh kelelahan akibat aktivitas fisik berat seperti
olahraga (Foran et al 2003, Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 6
dan 12. Kenaikan pada responden No 12 sebesar 21 U/L (SGOT) dan 13 U/L
(SGPT), sedangkan kenaikan pada responden No 6 sebesar 11 U/L (SGPT).
Keduanya melakukan aktivitas olahraga sebelum pengambilan darah setelah
intervensi. Adapun kenaikan SGPT dan SGOT pada responden No 7
dimungkinkan karena pada hari pengambilan darah, responden tersebut sedang
sakit demam. Kenaikan pada responden No 3, sebesar 12 U/L (SGOT) dan 5 U/L
(SGPT). Makanan yang syarat lemak jenuh dan trans juga dapat meningkatkan
0
5
10
15
20
25
30
35
SG
PT (
U/L)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Responden
Sebelum
Sesudah
batas bawah
normal (5 U/L)
batas atas normal
(40 U/L)
47
kadar SGOT/SGPT (Dancygier 2009), sebagaimana pada responden No 16 yang
mengalami kenaikan sebesar 7 U/L (SGOT) dan 8 U/L (SGPT). Responden
tersebut banyak mengkonsumsi biskuit manis dari data 3 hari food recall
menjelang pengambilan darah setelah intervensi.
Organ hati sangat berperan dalam pembentukan ATP, yaitu
memetabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hati juga berperan dalam
menyimpan glikogen dan terlibat dalam glukoneogenesis maupun glikogenesis.
Glukoneogenesis sangat penting dalam metabolisme asam laktat untuk diubah
kembali menjadi glukosa, sebagai sumber energi. Akumulasi asam laktat dapat
memicu kelelahan yang berakibat menurunnya performa saat berolahraga (Mc
Ardle 2006). Pada saat ketersediaan karbohidrat tidak mencukupi, maka dibentuk
dari senyawa non karbohidrat seperti laktat, piruvat, gliserol, maupun asam amino
glukogenik melalui glukoneogenesis. Terdapat tiga tahap reaksi utama pada
glukoneogenesis yang tidak dapat balik antara lain perubahan piruvat menjadi
fosfoenolpiruvat, defosforilasi fruktosa 1,6-bifosfat menjadi fruktosa 6-fosfat dan
defosforilasi glukosa 6-fosfat menjadi glukosa. Glikogenolisis adalah pengubahan
glikogen menjadi glukosa. Glikogenolisis merupakan lintasan metabolisme yang
digunakan oleh tubuh, selain glukoneogenosis untuk menjaga keseimbangan
kadar glukosa di dalam plasma darah. Hal tersebut untuk menghindari simtoma
hipoglisemia. Pada glikogenolisis, glikogen digradasi berturut-turut dengan tiga
enzim, yaitu: glikogen fosforilase, glukosidase, fosfoglukomutase, menjadi
glukosa. Hormon yang berperan pada lintasan ini adalah glukagon dan adrenalin
(Toha 2005, Lehninger 1990). Selain itu organ hati terletak paling dekat dengan
usus tempat penyerapan oksigen yang berasal dari minuman, sehingga sangat
penting dikaji kemungkinan dampak negatif dari minuman beroksigen terhadap
kesehatan hati. Forth dan Adam (2001), mengamati adanya peningkatan tekanan
parsial oksigen dalam vena porta hepatica kelinci setelah diberi minum air
berkadar oksigen 80 ppm, yaitu terjadi peningkatan tekanan parsial oksigen di
pembuluh darah vena porta hepatica sebesar 10 mmHg dari 58 mmHg menjadi 68
mmHg.
Cara Mengkonsumsi dan Penerimaan Responden terhadap Produk
Cara mengkonsumsi sampel produk pada saat intervensi menentukan
besarnya konsentrasi oksigen saat diminum oleh responden. Rata-rata responden
dapat menghabiskan sampel tidak lebih dari 10 menit. Pada saat pengamatan,
mereka juga telah terbiasa menutup botol sampel diantara jeda menghabiskan
minumnya. Pengamatan tersebut dilakukan secara sampling acak bersamaan
dengan pemberian makan setiap sore hari selama intervensi. Hasil pengujian kadar
oksigen sampel 100 ppm oleh pihak sponsor menggunakan alat Orbisphere
disajikan pada Tabel 20, menunjukkan bahwa kadar oksigen sampel sampai
dengan 30 menit baik pada pengujian sampel yang dibuka tutup maupun sampel
yang dibiarkan terbuka masih memenuhi standar minimal konsentrasi produk
yang diuji, yaitu 100 ppm.
Penerimaan responden terhadap produk mencakup penerimaan sensori
terhadap parameter rasa (Gambar 19), aroma (Gambar 20) dan warna (Gambar
21) serta respon psikologis ada/tidaknya manfaat yang dirasakan setelah intervensi
48
(Gambar 22). Monitoring penerimaan parameter-parameter tersebut dilakukan
dengan mewawancarai responden pada H-7, H-14, dan H-21 selama intervensi
(form Lampiran 2). Penerimaan sensori menggunakan 4 skala, yaitu suka (S),
agak suka (AS), agak tidak suka (ATS), dan tidak suka (TS).
Tabel 20 Hasil pengujian kadar oksigen sampel 100 ppm
No sampel Perlakuan waktu Buka Tutup (ppm) Terbuka (ppm)
1 keadaan awal 136 141
2 sesaat setelah dibuka 139 137
3 0 menit (sebelum diminum) 133 132 4 1 menit 132 139
5 2 menit 129 128
6 3 menit 129 129
7 6 menit 127 130
8 9 menit 127 122
9 12 menit 124 118
10 15 menit 107 dan 115 130
11 18 menit 111 127
12 21 menit 120 dan 100 113
13 24 menit 110 116
14 27 menit 111 114
15 30 menit 115 110
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
pe
ne
rim
aa
n r
asa
(%
)
H7H14
H21
Waktu intervensi (hari)
TS
ATS
AS
S
Gambar 19 Penerimaan responden terhadap parameter rasa
Hasil penerimaan rasa (Gambar 19) menggambarkan adanya peningkatan
penerimaan rasa sampai H-21 intervensi. Penerimaan agak tidak suka (ATS) yang
cukup tinggi yaitu sebesar 52.3% (H-14) menurun menjadi 35.3% pada akhir
intervensi (H-21). Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) masih
tergolong rendah (23.5%). Beberapa responden memberikan alasan tidak
menyukai rasa sampel karena adanya rasa seperti mineral logam, asam, atau pahit.
Namun demikian rendahnya penerimaan terhadap rasa tidak mempengaruhi
responden dalam menghabiskan sampel saat sampling pengontrolan responden
49
ketika meminum sampel. Pengontrolan meminum sampel dilakukan saat uji
performa saat berolahraga dan setiap sore hari bersamaan dengan pembagian
makanan saat intervensi jangka panjang berlangsung.
Gambar 20 Penerimaan responden terhadap parameter aroma
Hasil penerimaan aroma pada Gambar 20 juga menggambarkan adanya
peningkatan penerimaan aroma sampai H-21 intervensi sebagaimana penerimaan
terhadap rasa. Penerimaan pada taraf suka (S) semakin meningkat hingga 35.3%
pada H-21. Namun demikian penerimaan dengan tingkat suka (S) tersebut masih
tergolong rendah. Sampai akhir intervensi (H-21) masih ada 35.3% responden
yang menyatakan agak tidak suka (ATS) terhadap aroma. Beberapa responden
memberikan alasan tidak menyukai aroma sampel karena adanya aroma seperti
bau obat atau bau besi.
Gambar 21 Penerimaan responden terhadap parameter warna
Hasil penerimaan warna pada Gambar 21 lebih baik daripada penerimaan
terhadap parameter rasa dan warna. Parameter warna sampai H-21 intervensi
disukai (S) oleh 76.5% responden dan agak suka (AS) dipilih oleh 33.5%
responden. Namun demikian pada H-21 terdapat satu orang (5.9%) yang menilai
warna agak tingkat suka (ATS), meskipun pada H-7 maupun H-14 tidak ada.
0,00
5,0010,00
15,00
20,0025,00
30,00
35,00
40,0045,00
pe
ne
rim
aa
n a
rom
a
(%)
H7H14 H21
Waktu intervensi (hari)
TS
ATS
AS
S
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
pe
ne
rim
aa
n w
arn
a
(%)
H7H14 H21
Waktu intervensi (hari)
TS
ATS
AS
S
50
05
10152025303540455055
Re
spo
nd
en
(%
)
Lebih baik Biasa saja
Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif
Gambar 22 Manfaat kesehatan yang dirasakan secara subyektif
Manfaat intervensi minuman beroksigen terhadap kesehatan tubuh secara
subyektif tidak dirasakan oleh semua responden (Gambar 22). Sebanyak 47.1%
responden menyatakan merasa manfaat lebih baik bagi tubuhnya setelah
intervensi dan sisanya (52.9% responden) tidak merasakan adanya manfaat atau
biasa saja. Responden yang menyatakan adanya manfaat, merasakan: (1) lebih
segar tubuhnya (29.4% responden), (2) lebih cepat recovery setelah berolah raga
(11.8% responden), dan (3) sedikit meningkat performanya saat berolahraga
(5.9% responden).
05
101520253035404550556065
Re
spo
nd
en
(%
)
Mau Ragu-ragu Tidak mau
Kesediaan mengkonsumsi produk kembali
Gambar 23 Kesediaan responden mengkonsumsi kembali minuman beroksigen
Penerimaan sensori, khususnya terhadap rasa dan aroma yang masih
rendah dan belum semua responden merasakan manfaat intervensi terhadap
kesehatan pada uraian di atas mempengaruhi kesediaan responden untuk
mengkonsumsi kembali. Pada Gambar 23 menunjukkan hanya 64.7% responden
yang menyatakan bersedia mengkonsumsi kembali minuman beroksigen setelah
intervensi. Sisanya menyatakan ragu-ragu (17.6%) dan tidak mau (17.6%). Alasan
responden tersebut ragu-ragu dan tidak mau mengkonsumsi kembali karena belum
merasakan manfaat terhadap kesehatan dan tidak menyukai rasa serta aroma
produk. Adapun 64.7% responden yang mau mengkonsumsi kembali dengan
persyaratan harga terjangkau (52.9% responden) atau gratis (11.8% responden).