9
  Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 24 GAMBARAN COPING STRESS SUAMI TERHADAP ISTRI YANG MENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS Desi Astuti Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebon Jeruk, Jakarta 11510 [email protected] Abstrak Suami yang istrinya menderita lupus akan mengalami stres, dikarenakan kesulitan-kesulitan yang ditemui baik dari faktor psikologis, fisik, ekonomi, dan sosial. Respon Suami terhadap istri yang menderita lupus tidak sama kalahnya dengan penderita lupus yakni ketakutan, marah, kecewa dan gelisah. Agar kehidupan dapat berjalan dengan baik individu akan melakukan usaha untuk mengatasi stres ini. Usaha untuk mengatasi stres dikatakan juga sebagai coping. Pemilihan strategi coping yang akan digunakan oleh suami yang istrinya menderita lupus bergantung pada penilaian situasi yang dihayati atau dirasakannya. Kata Kunci: coping stress, systemic lupus erythematosus Pendahuluan Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesua- tu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease atau pe- nyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan (id.wikipedia.com, 2009). Lupus merupakan penyakit kronik, sebagian  besar penderitanya adalah wanita yang berusia pro- duktif antara 14-45 tahun (Satriani, 2007, p.1). Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) Tiara Savitri mengatakan, hingga Januari 2009 terdapat 8.693 penderita lupus di Indonesia. Padahal, pen- derita lupus di Indonesia tahun 2004, baru mencapai 4.100 orang (www.ictwoman.com, 2009). Hal ini membuktikan semakin lama penderita lupus sema- kin meningkat namun sampai saat ini belum ditemu- kan cara penyembuhannya. Penyakit SLE ini belum bisa disembuhkan atau dicegah yang bisa dilakukan hanyalah sebatas menekan dan mengurangi gejala lupus, yang mana salah satu caranya dengan mengkonsumsi obat-oba- tan seumur hidup. (www.dkkbpp.com, 2008). Oleh karena itu seorang penderita lupus seumur hidupnya sangatlah bergantung pada obat-obatan. Beberapa jenis obat-obatan yang dikonsum- si akan menyebabkan perubahan baik secara fisik maupun psikis. Secara psikologis penderita meng- alami perubahan suasana hati ( mood ), berupa de-  presi ataupun emosi yang tidak stabil. Secara fisik dapat menyebabkan penambahan berat badan, kebo- takan, pembengkakkan kaki atau wajah yang men-  jadi bulat seperti bulan (Savitri, 2005). Suami yang istrinya menderita lupus akan memberikan pengaruh yang besar dalam membe- rikan dukungan terhadap istri yang menderita lupus, karena salah satu peran utama dari pasangan hidup yakni menolong pasangannya dari keadaan yang le- mah, dan dapat mendukung dalam keadaan sulit yang sedang menimpa pasangannya itu (archaengela.tblog.com, 2009). Dalam menjalankan peran sebagai suami  penderita lupus tidaklah mudah, karena s ebagai pa- sangan penderita lupus terkadang memiliki emosi yang sama kuatnya dengan penderita lupus akan timbul ketakutan, marah, kecewa dan gelisah bahwa orang terdekatnya berubah secara fisik maupun psi- kis (Savitri, 2005). Pernyataan beberapa suami pen- derita lupus yang mengatakan (Savitri, 2005) seperti takut akan tertular penyakit, suami tidak bisa me- nerima keadaan istri apa adanya dan adapun yang takut akan kehilangan istrinya. Perasaan-perasaan dan kesulitan-kesulitan yang ditemui pada Pernyataan merupakan respon dari stres. Taylor 1991 (Wangsadjaja, 2008) stres dapat menghasilkan berbagai respon salah satunya yakni respon yang berasal dari emosi seperti takut, cemas, marah, dan sebagainya. Peristiwa dimana suami yang istrinya menderita lupus merupakan salah satu peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Dalam The College Life Stress Inventory (Renner &

78-258-1-PB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

xcswtyuiiiooooo

Citation preview

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 24

    GAMBARAN COPING STRESS SUAMI TERHADAP ISTRI YANG MENDERITA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

    Desi Astuti

    Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebon Jeruk, Jakarta 11510

    [email protected]

    Abstrak Suami yang istrinya menderita lupus akan mengalami stres, dikarenakan kesulitan-kesulitan yang ditemui baik dari faktor psikologis, fisik, ekonomi, dan sosial. Respon Suami terhadap istri yang menderita lupus tidak sama kalahnya dengan penderita lupus yakni ketakutan, marah, kecewa dan gelisah. Agar kehidupan dapat berjalan dengan baik individu akan melakukan usaha untuk mengatasi stres ini. Usaha untuk mengatasi stres dikatakan juga sebagai coping. Pemilihan strategi coping yang akan digunakan oleh suami yang istrinya menderita lupus bergantung pada penilaian situasi yang dihayati atau dirasakannya.

    Kata Kunci: coping stress, systemic lupus erythematosus

    Pendahuluan

    Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya penyakit Lupus. Penyakit ini merupakan sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai Lupus Erythematosus. Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesua-tu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut sebagai autoimmune disease atau pe-nyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan (id.wikipedia.com, 2009).

    Lupus merupakan penyakit kronik, sebagian besar penderitanya adalah wanita yang berusia pro-duktif antara 14-45 tahun (Satriani, 2007, p.1). Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) Tiara Savitri mengatakan, hingga Januari 2009 terdapat 8.693 penderita lupus di Indonesia. Padahal, pen-derita lupus di Indonesia tahun 2004, baru mencapai 4.100 orang (www.ictwoman.com, 2009). Hal ini membuktikan semakin lama penderita lupus sema-kin meningkat namun sampai saat ini belum ditemu-kan cara penyembuhannya.

    Penyakit SLE ini belum bisa disembuhkan atau dicegah yang bisa dilakukan hanyalah sebatas menekan dan mengurangi gejala lupus, yang mana salah satu caranya dengan mengkonsumsi obat-oba-tan seumur hidup. (www.dkkbpp.com, 2008). Oleh karena itu seorang penderita lupus seumur hidupnya sangatlah bergantung pada obat-obatan.

    Beberapa jenis obat-obatan yang dikonsum-si akan menyebabkan perubahan baik secara fisik maupun psikis. Secara psikologis penderita meng-alami perubahan suasana hati (mood), berupa de-presi ataupun emosi yang tidak stabil. Secara fisik dapat menyebabkan penambahan berat badan, kebo-takan, pembengkakkan kaki atau wajah yang men-jadi bulat seperti bulan (Savitri, 2005).

    Suami yang istrinya menderita lupus akan memberikan pengaruh yang besar dalam membe-rikan dukungan terhadap istri yang menderita lupus, karena salah satu peran utama dari pasangan hidup yakni menolong pasangannya dari keadaan yang le-mah, dan dapat mendukung dalam keadaan sulit yang sedang menimpa pasangannya itu (archaengela.tblog.com, 2009).

    Dalam menjalankan peran sebagai suami penderita lupus tidaklah mudah, karena sebagai pa-sangan penderita lupus terkadang memiliki emosi yang sama kuatnya dengan penderita lupus akan timbul ketakutan, marah, kecewa dan gelisah bahwa orang terdekatnya berubah secara fisik maupun psi-kis (Savitri, 2005). Pernyataan beberapa suami pen-derita lupus yang mengatakan (Savitri, 2005) seperti takut akan tertular penyakit, suami tidak bisa me-nerima keadaan istri apa adanya dan adapun yang takut akan kehilangan istrinya.

    Perasaan-perasaan dan kesulitan-kesulitan yang ditemui pada Pernyataan merupakan respon dari stres. Taylor 1991 (Wangsadjaja, 2008) stres dapat menghasilkan berbagai respon salah satunya yakni respon yang berasal dari emosi seperti takut, cemas, marah, dan sebagainya. Peristiwa dimana suami yang istrinya menderita lupus merupakan salah satu peristiwa yang dapat menimbulkan stres. Dalam The College Life Stress Inventory (Renner &

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 25

    Mackin 1998 dalam Nevid, Rathus & Greene, 2005) dimana anggota keluarga menderita sakit serius, merupakan salah satu peristiwa yang dapat menim-bulkan stres. Peristiwa ini berada pada urutan ke 14 dari 51 peristiwa-peristiwa yang dapat menimbul-kan stres, dengan skala nilai stresnya 85 (skala 20-100). Berarti suami yang istrinya menderita sakit lupus mengalami stres.

    Usaha untuk mengatasi stres disebut juga dengan coping. Miller (dalam Lazarus & Folkman, 1984) menyatakan coping adalah sebagian dari pe-rilaku-perilaku yang dipelajari dan yang membantu kelangsungan hidup dalam menghadapi bahaya yang mengancam individu. (Wangmuba, 2009). Coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Wangsadjaja, 2008). Dalam me-lakukan coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar (Wangsadjaja, 2008). Proses belajar tiap individu tentunya berbeda-beda. Dengan demikian tiap individu dalam melakukan coping akan berbeda-beda tergantung dari proses belajar in-dividu tersebut dalam menghayati dan merasakan situasi yang terjadi.

    Metode Penelitian

    Dalam penelitian ini digunakan metode pe-nelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).

    Subjek Penelitian

    Subjek dalam penelitian ini jumlahnya kecil yaitu tiga orang, yang memiliki istri telah mengidap sakit lupus selama 5-10 tahun. Dengan pertimbang-an pola coping yang sudah terbentuk sebab yang diutamakan adalah perolehan informasi yang rinci dan mendalam, serta pemahaman akan sudut pan-dang dan konteks subjek penelitian terhadap ma-salah penelitian.

    Teknik Pengambilan Sampel

    Fokus penelitian kualitatif adalah terletak pada kedalaman dan proses, sehingga peneliti cen-derung melakkan penelitian dengan jumlah yang kecil atau kasus yang sedikit. Dalam penelitian ini pemilihan kasus dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling.

    Teknik Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai cara yakni dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), doku-mentasi ataupun gabungan keempatnya.

    Alat Pengumpul Data Lembar Pemberitahuan Awal

    Lembar pemberitahuan akan diberikan sebagai prosedur yang dilakukan dalam penelitian kualitatif. Didalamnya mencakup beberapa infor-masi umum sekitar prosedur dan tujuan dari pene-litian ini, sesuai kode etik dalam psikologi (Himpsi, 2003).

    Pedoman Wawancara

    Pedoman wawancara dipersiapkan bersifat terbuka (open-ended question) dan tidak harus selalu diajukan berurutan.

    Alat Perekam

    Alat ini digunakan demi memudahkan proses pencatatan dari hasil wawancara dengan subyek.

    Alat Tulis dan Kertas

    Digunakan untuk mencatat beberapa infor-masi penting yang mungkin terjadi selama proses wawancara Hasil dan Pembahasan Subjek 1

    Subyek berinisial YS ini lahir di Jakarta 6 Februari 1963 yang bertempat tinggal di Jakarta Utara. Subjek merupakan anak ke dua dari dua ber-saudara dengan bersuku bangsa Tionghoa dan ber-agama Kristen. Pendidikan terakhir subjek yakni Sarjana Theologi pada salah satu universitas swasta di Jakarta. Pekerjaan YS yakni sebagai wiraswasta di bidang percetakan, selain itu subyek juga ber-profesi sebagai guru musik di suatu sanggar musik di Jakarta.

    Istri subjek yang menderita lupus berumur 34 tahun dan memiliki seorang putri berumur 12 ta-hun yang merupakan hasil dari pernikahan mereka. Pendidikan terakhir istri subyek yakni SMEA. Kini Istri subjek juga bekerja sebagai wiraswasta di-bidang percetakan yang mereka dirikan bersama-sama.

    Subjek merupakan individu yang membe-rikan perhatian dan bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya. Usia pernikahan subjek dengan istrinya sudah 13 tahun dan memiliki seorang putri berusia 12 tahun yang masih duduk di bangku se-kolah menegah pertama. Subjek bersama dengan istri dan anaknya kini tinggal di Jakarta Utara dan tempat usahanya itu juga berbarengan dengan tem-pat tinggal mereka. Subjek (YS), memiliki tinggi badan sekitar 160 cm dan berat 58 kg. Saat bertemu subjek mengenakan kemeja yang bercorak garis-ga-ris vertical berwarna biru dengan celana panjang

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 26

    berwarna hitam. Subjek bermata sipit dan berkulit putih. Rumah subjek cukup besar dan bertingkat. Ruang tamu subjek dijadikan tempat usaha perceta-kannya.

    Sebagai suami yang istrinya divonis mende-rita lupus sejak 5 tahun yang lalu, subjek selalu mendampingi istrinya dan memberikan dukungan baik moril maupun materil. Baginya keadaan dima-na istrinya menderita lupus merupakan kehendak dari Tuhan. Subjek juga percaya bahwa segala se-suatunya adalah untuk kebaikan, karena dengan ke-adaan ini subjek menjadi lebih dekat ke Tuhan. Di-samping itu subjek merasa bahwa istrinya terkena lupus dikarenakan kerja yang berlebihan, pola ma-kan yang tidak teratur, dan istirahat yang tidak cu-kup. Hal ini bagi subjek akan mendapatkan efek yang tidak bagus terhadap semua orang termasuk dirinya, bukan hanya pada penderita lupus saja. Se-hingga subjek mendapatkan pembelajaran untuk da-pat mengatur waktu dengan baik, seperti teratur un-tuk makan, jam kerja tidak berlebihan, dan istirahat yang cukup.

    Selama wawancara subjek menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan santai dan nada suara yang jelas dan tegas. Subjek terlihat gugup diawal-awal pertanyaan, hal ini terlihat dari kaki subjek yang bergoyang-goyang. Sikap terhadap pe-neliti ramah dan sopan. Subjek sedikit tertutup da-lam menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan namun subjek berusaha untuk menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Dibeberapa pertanyaan sub-jek agak lama untuk menjawab pertanyaan. Setelah sejenak berpikir subjek baru menjawab pertanyaan.

    Subjek 2

    Subjek berinisial RC ini berusia 45 tahun bersuku bangsa Tionghoa dan Beragama Kristen Protestan. Merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Subjek adalah pegawai swasta di salah satu peru-sahaan perkapalan di Jakarta dengan pendidikan te-rakhir di salah satu universitas swasta di Jakarta. Setelah menikah selama 15 tahun Subjek dianu-gerahi seorang putri (15 th) dan seorang putra (12 tahun) hasil dari pernikahan dengan istrinya yang menderita lupus. Istri subjek telah menderita lupus selama 7 tahun, sebagai suami subjek memberikan perhatian dan dukungan terhadap istrinya yang menderita lupus. Selama istrinya menderita lupus, subjek tidak sanggup merawat istri beserta kedua anaknya sendiri. Baginya keadaan dimana istri men-derita lupus merupakan cobaan hidup yang harus di-jalani dengan sabar hati.

    Subjek memiliki tinggi sekitar 168 cm dan berat 57 kg. Saat bertemu subjek menggunakan kaos berwarna putih dengan celana panjang hitam. Subjek bermata sipit dan berkulit putih. Rumah

    subjek cukup besar dengan halaman rumah yang cu-kup besar pula dan memilki berbagai macam ta-naman yang ditanam didalam pot. Subjek termasuk orang yang terbuka dan mau menceritakan semua permasalahan yang dihadapinya. Sikap pada peneliti ramah dan bersahabat. Disela-sela pertanyaan subjek sempat menawarkan asuransi ke peneliti. Da-lam menjawab pertanyaan subjek cukup santai dan jelas.

    Subjek 3

    Subjek berinisial subjek ini berumur 34 tahun, ia anak ke 3 dari 3 bersaudara. subjek bersu-ku Jawa dan beragama Kristen Protestan. subjek be-kerja di 2 tempat, pada pagi hari ia bekerja sebagai pegawai honorer di pemerintahan daerah, lalu dima-lam hari ia bekerja sebagai penjaga keamanan dise-buah tempat hiburan malam. Pendidikan terakhir subjek yakni S1 di salah satu universitas swasta di Jakarta. Subjek memiliki seorang putra berumur 9 tahun. Tujuh tahun yang lalu istri Subjek divonis menderita lupus. Sebagai suami yang istrinya men-derita lupus, Subjek senantiasa memberikan duku-ngan baik moril maupun materil. Ketika istrinya di-vonis lupus, dokter menyatakan bahwa hidup istri-nya tinggal 3 bulan lagi. Sampai kini Subjek sangat bersyukur kepada Tuhan karena masih menjadi ke-luarga yang utuh. Subjek memiliki tinggi kurang le-bih 170 cm dan berat 63 kg. Saat wawancara subjek mengenakan kaos bergambar dan celana pendek ha-wai. Subjek tinggal dengan mertuanya. Rumah mer-tua cukup sederhana, kecil dan ada beberapa retakan ditembok. Sikap subjek kepada peneliti ramah dan bersahabat. Subjek termasuk orang sangat terbuka, semua pertanyaan selalu dijawab dengan antusias dan tanpa ditutup-tutupi. Disela pertanyaan anak subjek menghampiri subjek sambil bercanda-canda dengan gelak tawa. Dari hasil observasi ini dapat diketahui bahwa subjek mengalami kesulitan eko-nomi.

    Gambaran Stressor, Stres, dan Coping Stress Subjek 1

    Setelah istri subjek divonis menderita lupus lima tahun yang lalu, beban terberat (stressor) yang dirasakan subjek adalah istri divonis akan mening-gal sehingga subjek merasa takut akan kehilangan istrinya, selain karena dokter ahli juga telah me-ngatakannya demikian, obat yang dikonsumsi untuk istrinya saja merupakan pinjaman dari penyakit lain. Baginya jika istri masih bisa hidup merupakan ke-murahan Tuhan karena tidak ada cara lain selain pasrah. (positive reappraisal). Ya.. sedih ya, saya tidak tahu apa jadinya kalo ga ada dia, waktu itu saya merasa kayaknya dah ngga

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 27

    ada pengharapan, karena dokter ahli aja dah vonis dia sudah tidak ada harapan tuk hidup, jadi jika dia masih bisa hidup, ya.. karena kemurahan Tuhan, karena apa yang bisa kita perbuat lagi... obatnya aja itu pinjaman dari penyakit lain.

    Disamping itu, beban lain yang dirasakan subjek yakni takut akan kambuhnya lupus istri, subjek merasa khawatir kalau istri kerja berlebihan. Subjek juga merasa khawatir bila istri istri marah-marah. Oleh karena itu subjek sering mengingatkan istri untuk tidak bekerja berlebihan dan meng-ingatkan istri tuk menjaga diri (active coping).

    Saya takut ya kalau dia kumat, khawatir kalau istri saya kerja berlebihan...sering tuh saya tegor dia.. .Atau kalau dia lagi sendiri, lagi telpon terus tiba-tiba ribut gitu, kalau ada saya yah biar saya aja gitu. Jadi saya hanya untuk mewakili emosinya aja gitu. Maka dari itu saya khawatir kalau dia sudah marah-marah takut lupusnya aktif lagi ...Tapi ya tetep saya ingetin dia tuk jaga diri. Soalnyakan yang lebih tau dia, yang ngerasain dia. Jadi tergantung dianya gimana buat jaga diri.

    Ketika istri subjek terkena lupus selain pe-rasaan kaget, subjek juga tidak bisa menerima istri terkena lupus, secara mental subjek juga tidak siap. Baginya jika seseorang sakit ada gejala-gejala yang terjadi terlebih dahulu dan tidak langsung divonis menderita lupus. Tapi sebagai suami, subjek ber-usaha tegar untuk menerima kondisi istri (self control) dan percaya Tuhan sebagai pelindung bagi umatnya (positive reappraisal). Dan menerima kon-disi apapun yang akan terjadi dengan istri (accep-ting responsible)

    "...Nah terus.. tapikan sebagai suami mesti tegar gitu ya. Jadi waktu dia shock mendengar itu juga, saya mesti tegar gitu. Tapi kalau jujur ya, memang kita belum bisa untuk menerima keadaan itu. Karena kalau sakitkan ada tanda-tandanya, ngga tiba-tiba begitu, hanya saja pada waktu itu langsung divonis dokter menderita lupus, kita secara mental sebenarnya tidak siap, namun sebagai orang beriman kitakan punya Tuhan ya, kita percaya Tuhan pasti ngerti sebagai pelindung besar kita.

    Ya..Jadi, kita sih harus siap apa yang terjadi, ya... apakah dia kambuh, mungkin ee... apa ya istilahnya.. dinyatakan dokter sembuh gitu, atau udah ga perlu minum obat lagi. Jadi apapun itu harus siaplah baik -buruknya.

    Dari segi ekonomi subjek merasa harga obat untuk istri cukup mahal, dan harus dikonsumsi setiap hari oleh istri. Namun subjek bersyukur ke Tuhan karena telah memberkati ekonomi keluarga subjek (positive appraisal).

    e.. kalau biaya bisa dibilang banyak ya pengeluarannya, soalnya harga obatnya aja lumayan mahal dan harus dikonsumsi setiap hari, cuman karena Tuhan sudah memberkati ekonomi kami. Jadi kita tidak merasa keberatan. Subjek 2

    Stressor terberat yang dirasakan subjek yakni ketika istrinya terkena lupus, perasaan takut akan kehilangan istri, merasa khawatir terhadap anak-anaknya bila tidak ada ibunya. Subjek merasa sedih melihat keadaan istri pada awal-awal terkena lupus, rambut yang rontok, mulut yang penuh dengan sariawan, muka dan tubuh istri yang ber-warna merah hingga membuat istrinya tidak ada semangat lagi untuk hidup. Subjek hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesehatan istri ke Tuhan (positif appraisal).

    ehm.. inikan termasuk penyakit yang berbahaya, penyakit yang mematikan, tentunya saya tidak mau kehilangan istri saya, saya khawatir sama anak-anak bila tidak ada ibunya.

    hmm.. sedih juga ya kalau inget waktu dia lagi sakit-sakitnya, dia waktu itu udah pasrah bangat kayak dah ga semangat lagi buat hidup, gimana saya juga ga sedih ya, palanya udah hampir botak, dimulutnya banyak tumbuh sariawan dan berjamur, terus mukanya, badannya merah banget udah kayak udang rebus..

    ... jadi ya.. saya juga pasrah aja abis udah ditanganin dokter aja masih kesakitan, jadi ya.. saya berdoa aja buat kesehatan istri saya

    Disamping itu stressor terberat yang dirasa-kan subjek yakni, mertua subjek suka menyalahkan subjek bila lupus istri kambuh, karena menurut mer-tua subjek, subjek sibuk dengan pekerjaan subjek jadi tidak memperhatikan istrinya. Namun subjek hanya bisa mengerti keadaan mertua subjek yang sedang khawatir kepada istri subjek (accepting responsible)

    kadang saya kesel juga kalo lupus istri saya kumat, mertua selalu nyalahin saya, katanya gara-gara saya ga perhatian ke istri sibuk ama kerjaan aja, padahalkan saya kerja buat istri anak juga masa dibilang ga perhatian Tapi ya udahlah namanya orang tua wajar aja kalo dia khawatir sama anaknya

    Subjek kebingungan dan kerepotan untuk mengurus kerjaan, mengurus anaknya yang masih kecil, mengurus kerjaan rumah tangga, sedangkan istri tidak bisa bekerja berlebihan karena akan memicu lupusnya kambuh. Akhirnya subjek me-minta bantuan ibunya untuk mengurus anak-anak-nya. (seeking social support). Sampai kini ibu subjek tinggal bersamanya.

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 28

    ya repot juga ya, ngurus kerjaan, ngurus anak, ngurus kerjaan rumah tangga juga, soalnya istri ga boleh kecapekan belum lagi kalo istri lagi kambuh.Pusing deh kalo mikir gituan. Maka dari itu waktu itu saya minta ibu saya buat tinggal sama saya, biar bisa bantu ngurus anak saya. Yang paling repotkan ngurus anak, mana pada masih kecilkan waktu itu.

    Dalam membiayai pengobatan istri, subjek merasa harga obat untuk istri mahal, karena istri harus konsumsi obat setiap hari, dalam satu hari istri mengkonsumsi 8 macam jenis obat dan bisa menghabiskan biaya hingga Rp 75.000 maka dalam sebulan bisa menghabiskan biaya seharga dengan sebuah motor. Untuk membiayai pengobatan istri, subjek meminjam uang kekantornya (seeking social support), mendapatkan bantuan dari mertua (seeking social suport).

    Besar juga tuh biayanya, soalnyakan dia harus minum obat tiap hari, harganya juga ga murah, 1 biji aja 22 ribu, sehari makan dua,. Itu baru satu macem, nah ini harus konsumsi 8 macem ada yang satuannya 8 ribuan juga. Jadi kalo satu hari bisa habis 50-75 ribu. Nah itu diitung aja kalo sebulankan hehe.. bisa beli motor. Tapi kalo sekarang sih dah ga sebesar itu biayanya, kalo sekarang dia paling minum obat seminggu 3 kali.

    ya.. kalo dulu sih saya pinjem ke kantor, jadinya potong gaji deh, trus kadang mertua juga suka bantu

    Subjek merasa malu dan merepotkan mertuanya karena terkadang mertuanya membantu dalam biaya pengobatan istri. Ia juga merasa tidak mungkin selamanya mendapatkan bantuan biaya dari mertua. Oleh karena itu ia mengambil tindakan menjadi agen asuransi, dan agen multi level marketing untuk dapat membiayai pengobatan istri (planful problem solving).

    ...ga enak juga sih kalo mertua juga ikut bantu biaya berobatnya soalnya adik istri saya juga masih pada sekolah, cuman mau gimana lagi.. man kan ga mungkin ya selamanya mertua saya bantuin biaya berobatnya.. ya udah belakangan saya ikutan jadi agen asuransi, sama tianshi...

    Subjek merasa cemas bila istri tidak diajak bila ada acara dari kantor, karena ia tidak bisa membawa istrinya di siang hari karena bisa membuat lupusnya kumat. Tapi teman-teman kantor memaklumi hal itu karena sudah banyak yang mengetahui kalau istri terkena lupus dan tidak bisa untuk diajak kepertemuan kantor (seeking social support).

    ...semenjak istri saya sakit kalo ada acara dikantor saya ngerasa ga enak aja sih kan biasanya ngajak keluarga tuh, cuman saya ga bisa ajak istri soalnya diakan ga bisa kena matahari jadi saya

    ajak anak-anak aja... tapi temen-teman kantor sih dah tau kalau istri saya kena lupus, jadi ga bisa di bawa... Subjek 3

    Beban terberat yang dirasakan subjek se-telah istrinya terkena lupus yakni biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan istri, biaya periksa darah pada tiap bulannya, dan biaya keperluan sehari-hari. Untuk membiayai keperluan semuanya itu, subjek mengontrakkan rumahnya karena mereka sekeluarga sudah tinggal di rumah mertua (active coping). Disamping itu subjek juga bekerja di dua tempat, pada pagi hari subjek bekerja di pe-merintahan daerah sebagai karyawan honorer, dan malam harinya subjek bekerja di sebuah hiburan malam sebagai penjaga keamanan (active coping).

    ya... masalah biaya ya, soalnya dia harus minum obat terus, belum periksa darah... paling ga sebulan sekali periksa darah, belum buat biaya sehari-hari

    ya.. karna kita sekeluarga tinggal sama mertua jadinya rumah saya kontrakin, terus sekarang saya jadi double job, kalo pagi sih masih tetep di pemda, trus malemnya saya kerja jadi security di nightclub gitu, ya lumayanlah buat biaya obat istri..

    Beban lain yang dirasakan subjek yakni kebingungan mengurus istri yang sakit dan anak seorang diri karena subjek harus bekerja untuk membeli obat yang dikonsumsi untuk istrinya setiap hari dan keperluan sehari-hari. Untuk mengatasinya subjek membawa istri dan anaknya tinggal dengan mertua untuk dapat membantu mengurus keluarga-nya selagi subjek bekerja. (seeking social support).

    Cuman sayakan juga bingung ya waktu itu kan ga mungkin saya ngurus dia sendirian dah gitu belum ngurus anak, belum ngurusin kerjaan. Ya udah akhirnya kita bawa dia kerumah mertua. Jadi kalo disanakan ada yang bantuin ngurusin istri ma anak saya. Subjek kelelahan dan merasa capek karena harus bekerja di dua tempat. Bagi subjek hal ini memang sudah menjadi tanggung jawab dirinya sebagai kepala keluarga untuk membiayai istrinya berobat dan keperluan sehari-hari (accepting res-ponsible). Untuk itu subjek harus menjaga keseha-tannya agar tidak sakit sehingga subjek mengatur waktu untuk istirahat (planful problem solving)

    ... cuman ya.. capek juga ya kerja double-double gitu, tapi inikan udah jadi tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga untuk biayain pengobatan dan keperluan sehari-hari...Tapikan saya juga harus jaga kondisi badan juga biar ga sakit, jadi biasanya tuh kalo abis pulang kantor pemda saya tidur dulu sebelum kerja lagi

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 29

    malemnya, biar sebentar tapikan lumayan juga. Ya.. bisa-bisanya kitalah ngatur waktu buat istirahat.

    Ketika istrinya divonis akan meninggal, di-mana dokter menyatakan kalau hidup istri tinggal 3 bulan lagi. Subjek kaget, sedih mendengar hal itu, namun subjek tidak mau ambil pusing dengan per-kataan dokter. Subjek hanya bisa menyerahkan keadaan istrinya ke Tuhan, karena baginya hidup mati seseorang ada di tangan Tuhan (positif reap-praisal).

    ya sedih ya pastinya.. gimana ga sedih waktu itu dokter bilang hidupnya ga lama lagi, dokter bilang tinggal 3 bulan lagi... lah saya kaget ya, saya juga ga mau kehilangan dia tapi saya sih ga mau ambil pusing.. saya sih serahin aja ke yang Atas soalnya mati hidup orangkan Tuhan yang nentuin. Bisa-bisa malah saya lagi yang duluan dipanggil Tuhan daripada istri saya.. siapa yang taukan...

    Selain itu reaksi lain ketika istri divonis akan meninggal. Subjek merasa sedih melihat istri sedih karena mengetahui hidupnya tinggal 3 bulan lagi. Subjek berusaha menenangkan istri dengan menyerahkan segala sesuatunya ke Tuhan dan memotivasi istri untuk tetap bertahan menghadapi lupusnya demi anaknya (active coping).

    ...Tapi gara-gara itukan istri saya jadi sedih tau hidupnya ga lama lagi, ya kalo saya ikutan sedih juga malah tambah kasian dianya donk ga da yang hibur dia...

    ...Kalo pada saat itu saya hanya bisa bilang ke dia, udah kita serahin aja ke Tuhan Jesus yang melindungi kita. Kamu pasti bisa melalui ini. Ingat anak kita ma, dia butuh kamu.

    Subjek takut dan merasa khawatir bila lupus istri kambuh, untuk menjaga istri tidak kambuh subjek membuat suasana dirumah ceria dengan cara membuat lelucon untuk istri seperti keadaan diaman istri yang hidupnya pernah dibilang dokter tinggal 3 bulan lagi, dijadikan sebuah lelucon untuk istrinya (active coping). Disamping itu subjek juga mem-biarkan istri bebas untuk melakukan apa yang di-sukai istri (distancing) dan berdoa untuk kesehatan istri (positive reappraisal)

    ...Jadi sering tuh saya bilang ke dia kalo dia mo makan atau belom minum obatnya nanti mati lho hehehe nah diakan jadi malah ketawa ga dibawa sedih kalo dibikin candaan..

    ...Lagian kalo orang lupus tuh jangan biarin deh dia sediih, atau terlalu dibawa kehati gitu..sampe ngebatin atau merasa terbebani, dipikiriiin terus ntar mati. Justru itu malah bikin parah lupusnya. Jadi kalo saya sih, sekarang saya biarin aja dia mau ngapain kek.. selagi dia seneng, kerjain aja. Kalo dia ga seneng ya udah ga usah

    dikerjain.. Kita masih punya Tuhan jadi hadapi dengan suka cita aja...

    Subjek merasa malu masih tinggal dengan mertua dan merasa merepotkan mertua karena telah membantu mengurus istri dan anaknya. Subjek hanya bisa pasrah dan bersyukur dengan tinggal bersama mertua, lupus istri jarang kumat (positive reappraisal)

    ...Malu juga sih, masa dah berkeluarga masih numpang sama mertua, dah gitu ngerepotin lagi.. man kan mau gimana lagi udah keadaannya begini....

    ...Justru kalo tinggal di tempat mertua jadi ga sering-sering kumat, soalnya mungkin kalo dirumah sepi ya, dah gitu ga da orang yang bisa diajak ngobrol... Ya Puji Tuhan sampe sekarang Lupusnya jarang kumat....

    Ketika istri sedang kritis akibat lupusnya subjek sudah tidak sanggup untuk membiayai perawatan di rumah sakit. Setelah satu minggu dirawat, subjek memutuskan untuk membawa pulang istrinya karena sudah kehabisan biaya dan melakukan berobat jalan (active coping). Setelah dibawa pulang keadaan istri semakin parah. Subjek akhirnya memanggil dokter untuk memeriksa keadaan istri (active coping).

    ...tambah parah sih, dia sampe ga bisa bangun, trus batuk-batuk darah, saya khawatir banget waktu itu. Ya udah saya panggil aja dokter, terus dikasih obat buat penekan antibodi, obat nyeri, ya banyak deh waktu itu obatnya. Ya udah lama-lama mendingan deh tuh...

    Hubungan Subjek dengan lingkungan sekitar baik-baik saja, tidak ada perubahan. Namun sejak subjek bekerja di dua tempat, subjek tidak bisa berkumpul dengan teman-temannya, tidak bisa non-ton bola bareng lagi. Ada keinginan subjek untuk bisa berkumpul dengan teman-temannya lagi. Na-mun demi keluarga, subjek memendam perasaan itu dan tetap bekerja dengan giat (self control)

    ...hubungannya ya... biasa aja sih ga da perubahan tuh.. ya cuman kalo dulukan masih suka ngobrol-ngobrol ya, atau nonton bola kalo malem.. pengen sih kayak dulu lagi. Tapi kalo sekarang sih mana bisa lagi. Tapi ya udahlah kalo diikutin kemauan mah ga ada abisnya. Sekarang sih saya nyari duit ajalah buat keluarga... Analisis ketiga Subjek

    Disini tampak bahwa persepsi individu akan suatu peristiwa yang menimbulkan frustasi, an-caman, konflik, tekanan, tantangan dan diikuti de-ngan adanya respon fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku maka individu tersebut mengalami stres. Kondisi stress yang dialami sangat terkait

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 30

    dengan hasil penilaian individu terhadap transaksi-nya dengan psikologis, ekonomi, fisik, sosial. Tahap selanjutnya yang dilakukan subjek penelitian setelah menghayati adanya perasaan ketakutan dan kekha-watiran akan kehilangan istri, yaitu seberapa besar usaha yang dilakukan individu untuk mengurangi rasa ketakutan dan kekhawatiran akan kehilangan istri. Usaha yang dilakukan untuk mengurangi ma-salah tersebut disebut dengan coping.

    Menurut Lazarus dan Folkman (1984), coping terdiri dari dua fungsi Pertama, Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi masalah yang menyebabkan stres (problem-focused coping) dan kedua, usaha untuk mengatur emosi yang ditimbul-kan oleh masalah tersebut (emotion-focused co-ping). Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi bebe-rapa masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung me-makai emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk di-kontrol.

    Dari data yang ada, dapat diketahui bahwa tidak semua subjek mengalami stressor psikologis, ekonomi, fisik, dan sosial dalam menjalankan pe-rannya sebagai suami yang istrinya menderita lupus. Masing-masing subjek menghadapi stressor yang berbeda-beda dan dirasakan telah mempengaruhi aktifitasnya sebagai suami. Subjek 1 merasakan stressor psikologis (istri terkena lupus, istri divonis akan meninggal, takut lupus istri kambuh) sebagai stressor yang paling berat subjek alami.

    Pada subjek 2 merasakan stressor psiko-logis (istri terkena lupus, peran ganda), ekonomi (biaya pengobatan), sosial (mertua menyalahkan subjek bila istri kambuh, merepotkan mertua dalam biaya pengobatan, cemas bila teman menanyakan soal istri), sebagai stressor yang paling berat ia hadapi.

    Pada subjek 3 merasakan stressor ekonomi (biaya pengobatan), psikologis (istri divonis akan meninggal, peran ganda, takut lupus istri kambuh), dan sosial (malu dan merepotkan tinggal bersama mertua, tidak bisa berkumpul dengan teman) se-bagai stressor yang paling berat subjek hadapi.

    Dalam mengatasi stresor yang terjadi, sub-jek 1 lebih berorientasi pada emotion-focused co-ping. Namun dalam mengatasi rasa takut akan lupus istri kambuh, subjek menggunakan coping yang berorientasi pada problem-focused coping yakni active coping dimana subjek menegur istri bila be-kerja berlebihan dan mengingatkan istri untuk jaga diri.

    Dalam mengatasi stressor yang terjadi, sub-jek 2 lebih berorientasi pada problem-focused co-ping. Namun dalam mengatasi rasa malu karena

    merepotkan mertua untuk biaya pengobatan istri, subjek menggunakan coping yang berorientasi pada problem-focused coping yakni planful problem solving dimana subjek merasa tidak mungkin untuk mendapatkan bantuan biaya pengobatan dari mertua selamanya sehingga subjek mencari pekerjaan lain.

    Dalam mengatasi stressor yang terjadi, subjek 3 lebih berorientasi pada emotion-focused coping. Namun dalam mengatasi biaya pengobatan, subjek menggunakan coping yang berorientasi pada problem-focused coping yakni active coping dimana subjek mengambil tindakan langsung dengan cara menyewakan rumahnya, bekerja didua tempat.

    Stressor psikologis karena istri divonis akan meninggal yang terjadi pada subjek 1 dan 3 sehing-ga subjek merasa ketakutan akan kehilangan istri, Untuk mengatasi hal ini subjek berserah diri kepada Tuhan (positive reapraisal). Strategi ini berorientasi pada emotional-focused coping

    Stressor psikologis karena istri terkena lu-pus yang terjadi pada subjek 1 dan 2 memiliki reaksi stres yang berbeda-beda. Untuk mengatasi-nya subjek pasrah dan berdoa untuk istri (positive reappraisal), berusaha tegar (self control), dan menerima kondisi apapun yang terjadi pada istri (accepting responsible). Strategi ini berorientasi pada emotional-focused coping.

    Stressor psikologis karena takut lupus istri kambuh yang terjadi pada subjek 1 dan 3 memiliki reaksi stres yang berbeda-beda. Untuk mengatasi-nya subjek menegur istri untuk tidak bekerja ber-lebihan (active coping), mengingatkan istri untuk menjaga diri (active coping), membebaskan istri un-tuk melakukan apa yang istri suka (distancing), dan berdoa untuk kesehatan istri (positive reappraisal). Strategi ini berorientasi pada problem-focused coping dan emotion-focused coping.

    Stressor psikologis yang terjadi pada subjek 2 dan 3 karena peran ganda sehingga bingung untuk mengurus anak. Untuk mengatasinya subjek men-cari bantuan ke orangtua mereka untuk dapat meng-urus anaknya (seeking social support). Strategi ini berorientasi problem-focused coping

    Stressor ekonomi yang terjadi pada Subjek 2 dan 3 dimana subjek mengalami kesulitan biaya dalam biaya pengobatan istri. Untuk mengatasinya subjek mengontrakkan rumah (active coping), pin-jam ke kantor atau dapat bantuan biaya dari orang tua (seeking social support), kerja di dua tempat (active coping ). Strategi coping ini berorientasi pada problem-focused coping

    Stressor Fisik yang terjadi pada subjek 3 dimana subjek kelelahan karena harus bekerja di dua tempat. Untuk mengatasinya subjek merasa hal ini merupakan tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk membiayai berobat istri dan

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 31

    keperluan sehari-hari (accepting responsible). Di-samping itu subjek juga mengatur waktu untuk isti-rahat agar tidak sakit (planful problem solving). Strategi ini berorientasi pada emotional-focused co-ping dan problem-focus coping

    Dalam hubungan dengan keluarga subjek 2 dan 3 mengalami masalah dengan mertua dimana mertua menyalahkan subjek bila istri kambuh dari lupusnya, untuk mengatasinya yakni dengan me-ngerti keadaan mertua yang juga khawatir akan ke-adaan istri (accepting responsible). Disamping itu subjek juga merasa malu dan merepotkan mertua karena telah menumpang tinggal dengan mertua, untuk mengatasinya dengan bersyukur kepada Tuhan YME dengan tinggal bersama mertua lupus istri jarang kambuh (positive rappraisal). Selain itu subjek juga merasa merepotkan mertua karena telah membantu akan biaya pengobatan istri untuk meng-atasinya subjek merasa tidak akan mendapatkan bantuan biaya selamanya sehingga subjek meng-ambil kerja tambahan sebagai agen asuransi (planful problem solving). Strategi coping ini berorientasi pada emotion-focused coping dan problem-focused coping.

    Dalam hubungan dengan lingkungan seki-tar, subjek 2 dan 3 mengalami masalah karena me-rasa cemas bila teman subjek menanyakan akan soal istri, untuk mengatasinya subjek mendapatkan pe-ngertian mengenai keadaan istri dari teman-teman-nya (seeking social support). Selain itu subjek juga merasa rindu untuk bisa berkumpul lagi dengan teman-temannya, untuk mengatasinya subjek tidak mengikuti kemauan hati (self control). Strategi coping ini berorientasi pada problem-focused co-ping dan emotion-focused coping.

    Pada ketiga subjek, ada kesamaan reaksi stres yakni subjek ketakutan akan kehilangan istri yang berasal dari stressor psikologis. Disamping itu coping yang digunakan dalam menghadapi stressor tersebut juga sama yakni positive reappraisal dengan cara pasrah dan berserah diri kepada Tuhan, strategi ini berorientasi pada emotion-focused co-ping. Individu akan cenderung menggunakan emo-tion focused coping ketika dihadapkan pada ma-salah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol se-perti masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat (Artoja. F). Lupus merupakan penyakit yang tergolong berat oleh karena itu selu-ruh subjek menggunakan emotion-focused coping yakni berserah diri kepada Tuhan (positive re-appraisal) dalam menghadapi stressor psikologis dimana istri divonis akan meninggal karena terkena penyakit lupus.

    Kesimpulan Merujuk pada permasalahan yang ingin

    dijawab dalam penelitian ini, yaitu bagaimana gam-baran coping stres suami terhadap istri yang terkena lupus, dapat diketahui tidak semua subjek meng-alami stressor psikologis, ekonomi, fisik, dan sosial dalam menjalankan perannya sebagai suami yang istrinya menderita lupus. Namun semuanya meng-alami stressor yang sama yakni dari faktor psiko-logis. Pada subjek 1 hanya mengalami stressor psi-kologis. Pada subjek 2 mengalami sressor psi-kologis, fisik, ekonomi, dan subjek 3 mengalami stressor psikologis, fisik, ekonomi dan sosial seba-gai stressor terberat yang dihadapi dan dirasakan.

    Dari data yang ada rata-rata seluruh subjek menggunakan emotion-focused coping dalam me-ngatasi stres yang dihadapi yang berasal dari stres-sor psikologis dimana istri terkena lupus merupakan situasi yang tak dapat dikontrol atau dihindari. Ada-pun gambaran coping stres yang dilakukan ketiga subjek yaitu: Stressor Psikologis dan Coping Stresnya. Stressor psikologis yang dialami oleh ketiga subjek yang berasal dari istri divonis akan mening-gal, takut lupus istri kambuh, dan peran ganda. Da-lam usaha untuk mengatasai ketakutan, kekha-watiran karena istri terkena lupus subjek lebih mem-fokuskan pada mendekatkan diri pada Tuhan (posi-tive reappraisal). Strategi coping ini berorientasi pada emotional-focused coping. Stressor ekonomi dan Coping stresnya. Stressor ekonomi yang terjadi pada Subjek 2 dan 3 dimana subjek mengalami kesulitan biaya dalam biaya pengobatan istri. Untuk mengatasinya subjek mengontrakkan rumah (active coping), pinjam ke kantor atau dapat bantuan biaya dari orang tua (seeking social support), bekerja di dua tempat (active coping). Strategi coping ini berorientasi pada problem-focused coping. Stressor Fisik dan Coping stresnya. Stressor Fisik yang terjadi pada subjek 3 dimana subjek kelelahan karena harus bekerja di dua tempat. Untuk mengatasinya subjek merasa hal ini merupakan tanggung jawab sebagai kepala ke-luarga untuk membiayai berobat istri dan keperluan sehari-hari (accepting responsible). Disamping itu subjek juga mengatur waktu untuk istirahat agar tidak sakit (planful problem solving). Strategi ini berorientasi pada emotional-focused coping dan problem-focus coping. Stressor Sosial dan Coping stresnya. Stressor sosial dalam hubungan dengan keluarga pada subjek 2 dan 3 berbeda beda. Untuk mengatasi hubungan dengan keluarga subjek memilih untuk menggunakan strategi coping yang berorientasi pada emotion-focused coping. Hubu-ngan dengan lingkungan sekitar pada subjek 2 dan 3 mengalami masalah

  • Gambaran Coping Stress Suami Terhadap Istri Yang Menderita Systemic Lupus Erythematosus

    Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 1, Juni 2010 32

    yang berbeda-beda. Untuk mengatasi hubungan dengan lingkungan sekitar ini subjek memilih untuk menggunakan strategi coping yang berorientasi pada emotion-focused coping dan problem-focused coping Daftar Pustaka Anggraeni, D, Lupus, penyamar Lihai yang Terus

    Mengintai http://www.dewiluxor.com. diunduh tgl 21 april 2009

    Artoja, F Strategi Coping

    http://blogdetik.com/2009/01/06/strategi.coping/ diunduh tgl 13 februari 2010

    Faktor Pemicu Munculnya Stress

    http://www.pikird.org./psikologi/psi09stpt.php diunduh tgl 13 februari 2010

    Fausiah.F & Widury.J, Psikologi Abnormal klinis

    Dewasa. UI Press, Jakarta, 2005 Frahm, A.E & Frahm,D.J. Melawan Kanker.

    Delapratasa, 2002 Laatahzan Seri Keluarga : Tugas Suami

    http://laatahzan.wordpress.com/2007/08/30/seri-keluarga-tugas-suami/ diunduh tgl 9 mei 2009

    Lupus Belum ada Obatnya

    http://www.dkkbpp.com/index.php?option=com_content&task=view&id=207&Itemid=47 diunduh tgl 2 April 2009

    Munandar, U. Psikologi Perkembangan Pribadi

    Dari Bayi Sampai Lanjut Usia. UI Press, Jakarta, 2001

    Nevid, Rathus & Greene Psikologi Abnormal.

    Erlangga (jilid 2), Jakarta, 2005 Perbedaan Hasil Mental Imagery Suami-Istri

    Mengenai Dampak Perceraian http://one.indoskripsi.com/node/2290 diunduh tgl 1 juli 2009

    Poerwandari., Pendekatan kualitatif dalam

    Penelitian Psikologi. LPSP3. Universitas Indonesia, Jakarta, 1998

    Poerwandari. Pendekatan Kualitatif untuk

    Penelitian Perilaku Manusia.Fakultas Psikologi Indonesia, Depok, 2001

    Priharini Gambaran Proses Grieving dan Cara

    Coping pada Orang Dewasa Muda yang Mengalami Putus Cinta.Fakultas Psikologi Universitas, Jakarta, 2004

    Satriani, A, Usia Produktif Pengidap Lupus,

    Waspadailah Perempuan. http://www.republika.co.id/koran_detai.asp?2607&ka. diunduh tgl 22 april 2009

    Savitri,T, Aku dan Lupus. Puspa Swara, Jakarta,

    2005 Soulmate (Siapa dan Bagaimana),

    http://archaengela.tblog.com/post/1970052715 diunduh tgl 11 April 2009

    Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif

    dan R & D. cetakan 3. Alfabeta: Bandung. 2007

    Wangmuba, Strategi dan Bentuk Pengatasan

    Masalah (coping strategies) http://wangmuba.com/2009/03/30/strategi-dan-bentuk-pengatasan-masalah-coping-strategies/ diunduh tgl 31 maret 2009

    Wangsadjaja, R, http://rumah-belajar-

    psikologi.com/index.php/stres.html diunduh tgl 31 maret 2009

    http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sis

    temik. diunduh tgl 21 april 2009 http://www.ictwomen.com/news/6/tahun/2009/bula

    n/02/tanggal/17/id/764/. diunduh tgl 2 april 2009