24
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT Oktober 2014 ABSES PERITONSILAR DISUSUN OLEH : Arif Sumanto S. Dai C111 08 290 Zarah Alifani Dzulhijjah 110 209 0115 PEMBIMBING : dr. Juliansyih DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 1

Abses Peritonsiler

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat THT

Citation preview

Page 1: Abses Peritonsiler

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT

Oktober 2014

ABSES PERITONSILAR

DISUSUN OLEH :

Arif Sumanto S. Dai

C111 08 290

Zarah Alifani Dzulhijjah

110 209 0115

PEMBIMBING :

dr. Juliansyih

DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

1

Page 2: Abses Peritonsiler

DAFTAR ISI

SAMPUL

DAFTAR ISI 2

I. PENDAHULUAN 3

II. EPIDEMIOLOGI 3

III. ETIOLOGI 3

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI 5

V. PATOFISIOLOGI 8

VI. GEJALA KLINIS 9

VII. DIAGNOSIS 10

VIII. KOMPLIKASI 11

IX. DIAGNOSIS BANDING 12

X. PENATALAKSANAAN 13

XI. PROGNOSIS 14

XII. PENCEGAHAN...................................................................................................15

XIII. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

LAMPIRAN

2

Page 3: Abses Peritonsiler

ABSES PERITONSILAR

I. PENDAHULUAN

Abses peritonsiler merupakan penyakit infeksi yang paling sering ditemukan pada

kepala dan leher yang terjadi pada orang dewasa. Infeksi ini dimulai dengan adanya

infeksi superficial dan berlangsung menjadi selulitis tonsiler. Suatu abses peritonsiler

merupakan bentuk yang paling berat. Diagnosis yang lebih cepat dari abses ini

memberikan kesempatan untuk melakukan penanganan dengan cepat sebelum abses

menyebar ke struktur anatomi sekitarnya.1

Abses peritonsiler merupakan suatu akumulasi pus yang terlokalisasi pada

jaringan peritonsil yang diakibatkan oleh tonsillitis yang supuratif. Penjelasan leinnya

menyatkaan bahwa abses peritonsiler merupakan suatu bentuk abses yang berkumpul

pada glandula saliva pada fossa supratonsiler, yang dikenal dengan kelenjar Weber.2

II. EPIDEMIOLOGI

Abses peritonsiler sering terjadi pada usia 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang

terjadi kecuali terdapat penurunan system imun, tetapi infeksi dapat menyebabkan

obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang

sama antara laki-laki dan perempuan. Banyak eviden yang menunjukkan bahwa tonsillitis

kronik atau percobaan multiple mengunakan antibiotic oral pada tonsillitis akut mungkin

menjadi faktor predisposisi pada pasien untuk akhirnya menjadi abses peritonsiler.1

Insidensi abses peritonsiter di Amerika Srikat sekitar 30kasus per 100.000 orang per

tahun, dan menunjukkan sekitar 45.000 kasus baru setiap tahun.2

III. ETIOLOGI

Banyak mikroorganisme yang dapat menebabkan tonsillitis akut maupun kronik.

Yang paling umum, bakteri gram positif aerobic maupun anearobik sering diidentifikasi

dari hasil pengkulturan. Hasil kultur dari bakteri yang menginfeksi pasien paling sering

berasal dari Streptococcus B-Hemoliticus grup A. Yang paling umum berikutnya adalah

staphylococcus, penumococcus, dan haemophilus. Dan mikroorganisme sisanya yang

3

Page 4: Abses Peritonsiler

bisa ditemukan dalam kultur termasuk lactobacillus, spesies actinomyces, micrococcus,

spesies neisseria, dipteri, spesies bakteroides. 2

Tabel 1 Mikroorganisme Tersering pada Hasil Kultur Tonsil Dan Adenoid4

Aerobic Anaerobic Virus Lain-lain

 Group A beta-

hemolytic

streptococci

(GABHS)

 

Groups B, C, F,

streptococcus

Haemophilus

influenza (type b and

nontypeable)

 

Streptococcus

pneumoniae

Streptococcus

epidermidis

 

Moraxella catarrhalis

Staphylococcus

aureus

Hemophilus

parainfluenza

 Neisseria sp.

Mycobacteria sp.

Fusobacterium

Peptostreptococcus

Prevotella

Bacteroides sp.

 Peptococcus sp.

 Peptostreptococcus

sp.

 Actinomycosis sp.

Microaerophilic

streptococci

Veillonella parvula

 Bifidobacterium

adolescences

 Eubacterium sp

 Lactobacillus sp.

 Fusobacterium sp.

 Bacteroides sp.

Porphyromonas

asaccharolytica

 Prevotella sp.

Epstein-Barr

 Adenovirus

 Influenza A

and B

Herpes

simplex

Respiratory

syncytial

Parainfluenza

Mycobacterium

(atypical

nontuberculous)

Candida

albicans

4

Page 5: Abses Peritonsiler

Lactobacillus sp.

Diphtheroids sp.

 Eikenella corrodens

 Pseudomonas

aeruginosa

 Escherichia coli

Helicobacter pylori

Chlamydia

pneumonia

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Walaupun sering dianggap sebagai komponen dan struktur yang berbeda, tonsil

dan adenoids sama-sama merupakan komponen dari Cincin Waldeyer. Jaringan yang

terdiri dari cincin limfoid memiliki histologi yang sama dan mungkin memiliki fungsi

yang sama secara keseluruhan. Selain adanya tonsilla palatina dan adenoids, juga dapat

ditemukan tonsilla lingual.3

Jaringan limfoid pada cincin Waldeyer mengandung sel limfosit B, sel limfosit T,

dan beberapa plasma sel yang dewasa. Jaringan ini terutama berperan dalam menginduksi

imunitas dan memproduksi immunoglobulin. Sel-sel tersebut tersusun pada folikel

limfoid, dan memiliki kerja pada saluran endotelium yang memfasilitasi pengambilan

antigen masuk ke dalam jaringan. Independensi dari sistem limfatik ini memiliki

keuntungan yang unik. Lokasi dan bentuk dari cincin Waldeyer memungkinkan kontak

langsung antigen pada sel-sel imunologis aktif ketika memasuki saluran pernapasan dan

digestif bagian atas, di mana akaan meningkatakan ingatan imunologi.3

5

Page 6: Abses Peritonsiler

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Dikutip dari kepustakaan 5

Tonsila palatina merupakan komponen yang terbesar pada cincin Waldeyer dan

memiliki struktur yang khusus. Jaringan lomfoid ini sendiri lebih menyatu pada

keadaan normal, dengan kripte yang lebih jelas teridentifikasi. Kripte ini dilapisi

dengan epitel skuamos bertingkat dan meluas ke dalam jaringan tinsiler. Walaupun

kripte ini memaksimalkan papran antigen pada jaringan, hal ini juga menjadi tempat

berkumpulnya bakteri dan menjadi alasan tonsil sangat mudah terjadi infeksi.

Sebagian khusus fasia pharyngobasilar, membentuk sebuah kapsul fibrosa yang

berbeda. Jaringan lomfoid ini sangat bersifat adherent terhadap kapsul, sehingga

membuatnya sulit untuk dipisahkan, tetapi terdapat jaringan konektif yang kosong

antasa kapsul dan oto pada fossa tonsiler. Dengan adanya peradangan akibat infeksi

akut atau kronis, yang dibatasi oleh kapsul ini, jaringan tonsil bengkak biasanya

meluas medial ke dalam jalan napas orofaringeal. Ruang potensial antara amandel

dan otot-otot faring adalah tempat biasa terjadinya abses peritonsillar 3

Fosa Tonsil

Tiga otot faring tipis membentuk fosa tonsil. Otot palatoglossus membentuk pilar

anterior tonsil sedangkan otot palatopharyngeal membentuk pilar tonsil posterior.

Dasar fosa tonsil dibentuk oleh constrictors faring (terutama pembatas unggul). Di

6

Page 7: Abses Peritonsiler

bawah ini otot tipis terletak saraf glossopharingeus, struktur neurovaskular selubung

karotis ditemukan lebih dalam di bawahnya. Dengan diseksi dalam atau dengan

jahitan ditempatkan di luar kapsul tonsil, struktur ini penting dapat rusak secara tidak

sengaja.3

Vaskularisasi

Pasokan darah arteri dan innervasi dari tonsil utamanya berada pada bagian

inferior. Cabang tonsil dari arteri lingual dorsalis, arteri palatina asendens, dan arter

fasialis yang bercabang ke tonsil, msuk ke bagian inferior dari tonsil. Bagian superior

menerima pasokan darah dari arteri faringeal asenden, pada bagian anterior berasal

dari arteri palatina yang lainnya. Aliran vena lebih membaur pada pleksus vena

peritonsiler pada daerah kapsul. Pleksus ini mengalirkan ke dalam vena lingualis dan

vena faringeal, yang akhirnya akan bersatu pada vena julularis interna.3

Gambar 2. Pasokan darah pada tonsilla palatina

Dikutip dari kepustakaan 6

Aliran getah bening

Aliran dari linfatik biasanya mengalir ke nodul limfatikus tonsiller (di belakang

dari sudut mandibula), atau ke jugulodigastric, atau nodul linfatikus cervical lainnya.3

Inervasi

Persarafan pada tonsil utamaya berasal dari nervus glossofaringeal yang

bercabang pada tonsil, tetapi juga memiliki pengaruh kontribusi dari nervus palatina

desendens. Karena nervus glossofaringeal juga memiliki cabang timpani, tonsilitis

berat sering juga menunjukkan nyeri alih ke daerah telinga.3

7

Page 8: Abses Peritonsiler

Gambar 3. Adenoid terletak di dinding posterior nasofaring.

Dikutip dari kepustakaan 7

Peritonsilar Space

Ruangan ini ditemukan di daerah lateral dari kapsul tonsillar dan daerah medial

dari muskulus kostriktur superior. Palatoglossus dan palatopharyngeus yang terdiri dari

dinding anterior dan posterior, masing-masing, dibentuk oleh batas anterior dan

posteriornya. Di bagian inferior dibatasi oleh bagian posterior ketiga dari lidah. Inflamasi

di daerah regio ini mengakibatkan peritonsilitis dan dengan pembentukan pus dapat

berbentuk menjadi sebuah abscess atau quincy. Pus dapat menyebar keluar batas ruangan

ini hingga ke ruang parapharyngeal. 7

V. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi abses peritonsiler masih belum diketahui. Teori yang paling dapat

diterima adalah adanya episode yang progresif yang dimulai pada tonsillitis yang

eksudatif hingga perotonsilitis sehingga membentuk abses, Perluasan dari proses

inflamasi mungkin terjadi pada penderita yang diobat maupun yang tidak, Abses

peritonsiler juga sudah didokumentasikan muncul tanpa diawali dengan adanya tonsillitis

kronis atau rekuren. Suatu abses peritonsiler juga dapat terjadi disebabkan oleh karena

adanya virus Epstein-Barr.2

8

Page 9: Abses Peritonsiler

Teori lain merujuk pada abses peritonsiler akibat gangguan pada glandula Weber.

Glandula saliva minor ini ditemukan pada ruang peritonsiler dan diduga membantu

membersihkan debris pada tonsil. Jika terdapat obstruksi akibat jaringan parut dari

adanya infeksi, nekrosis jaringan, dan abses, mungkin bisa mengarah ke adanya abses

peritonsiler.2

Imunology

Tonsil dan adenoid adalah organ imunologis di bagian atas dari saluran

aerodigestive. Pada mikroanatomi dijelaskan sebelumnya bahwa organ ini mengatur

fungsi kekebalan lokal sebagaimana surveilans untuk pengembangan sistem pertahanan

imunologi tubuh. Tonsil dan adenoid adalah organ yang unik sepanjang keterlibatannya

pada kedua sistem imun baik imunitas lokal dan dalam survailans sistem kekebalan.

Stimulasi antigenik akut dan kronis dari bakteri, virus, makanan, dan iritasi lingkungan di

pada tonsil dan adenoid dapat menyebabkan produksi antibody lokal dan sistemik,

pergeseran kompartemen selular dari perbandingan sel B dan sel T, dan peningkatan

tingkat imunoglobulin serum dan lokal, yang akan menjadi normal setelah tonsilektomi

dan adenoidektomi. Kontras dari kelenjar getah bening, tonsil dan adenoid tidak memiliki

limfatik aferen. Oleh karena itu, epitel khasnya memegang peranan penting dalam

presentasi dan pemprosesan antigen. Ini melibatkan respon sel T dan sel B, termasuk

produksi imunoglobulin, perluasan kumpulan sel memori, dan produksi imunomodulator

lokal. Adenoid juga merupakan target dari rangsang alergi yang menyebabkan

pembesaran.6

VI. GEJALA KLINIS

Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan

yang hebat), biasanya pada posisi yang sama dan juga nyeri telinga (otalgia), muntah

(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau

(rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan

kelenjar submandibular dengan nyeri tekan.7 Pasien juga sering datang dengan demam

dan rasa penuh yang asimetris pada tenggorokan. Bersamaan dengan halitosis (bau nafas

9

Page 10: Abses Peritonsiler

tidak sedap), odynophagia (nyeri menelan), dysphagia (sulit menelan), serta suara seperti

“hot potato-sounding”7

Gambar 4. Pasien dengan abses peritonsilar kanan

Dikutip dari referensi 4

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis Abses Peritonsilar sering dibuat berdasarkan anamnesis riwayat dan

pemeriksaan Fisis. Pasien sering datang dengan celulitis peritonsilar yang berpotensial

menjadi abses. 4

Diagnosis untuk abses peritonsilar adalah dengan didapatkannya pus pada needle

aspiration. Tes radiologi juga dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis. Selain

itu, transcutaneus atau USG intraoral juga dapat membantu dalam mengidentifikasi

sebuah abses serta dapat membedakan abses peritonsilar dari celulitis peritonsilar. CT

scan dan MRI dapat digunakan apabila penyebaran infeksi sudah menjangkau ruang

peritonsilar atau komplikasi yang melibatkan daerah lateral dari ruang leher.4

10

Page 11: Abses Peritonsiler

Gambar 5. Gambaran CT scan Abses Peritonsilar kanan

Dikutip dari referensi 4

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :4,8

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.

2. Perjalanan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

3. Bila terjadi perjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus

kavernosus, meningitis, dan abses otak.

11

Area Abses

Tonsil Kanan

Uvula

Page 12: Abses Peritonsiler

4. Obstruksi jalan Napas

5. Pneumonitis Aspirasi atau abses paru secondary hingga ruptur abses peritonsillar.

6. Poststreptococcal sequelae jika infeksi disebabkan karena Group A Streptococcus

IX. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa diagnosis banding dari abses peritonselar adalah limfoma, selulitis

peritonsilar, dan abses retrofaring atau retromolar. 9

1. Tonsilar Neoplasma (Limfoma)

Hipertropy tonsil asimetrik adalah sebuah temuan klinis yang menyebabkan dokter

harus memasukkan neoplasma dalam diferensial diagnosis. Limfoma dan squamos cell

carcinoma adalah jenis neoplasma tonsil primer yang paling sering.3 Lymphoma adalah

sejenis kanker yang melibatkan sel-sel dari sistem imun yang disebut lymphosit. Sama

seperti kanker yang mewakili banyak jenis penyakit, lymphoma mewakili banyak jenis

kanker yang berasal dari lymphosit sekitar 35 subtipe yang berbeda.10 Tumor ganas

lainnya seperti melanoma carcinoma sel renal carcinoma paru, ca. Mammae, dan ca.

Colon dilaporkan dapat bermetastase ke tonsil. Tumor jinak tonsil yang jarang timbul

seperti lipoma, fibroma, dan squamosa.3

2. Abses Retrofaring

Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini

terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-

masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari

hidung , sinus paranasal, nasofaring, tuba eustachius dan telinga tengah. Gejala utamanya

ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada dinding belakang faring tampak benjolan,

biasanya unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis8.

3. Selulitis Peritonsillar

Kadang-kadang, infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila

meluas sampai palatum mole. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari

tonsilitis, atau akhir dari perjalanan penyakit akut. Hal ini dapat teradi walaupun

12

Page 13: Abses Peritonsiler

diberikan penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua

dan dewasa muda. Gejalanya pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang

nyata, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat, khususnya

trismus. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan, dan jika nyata, bicara menjadi sulit.

Demam sekitar 1000F, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. 11

X. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Pasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan

sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik

daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan

atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 –

1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole),

Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 – 500 mg/hari, amoxilin dengan

asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-4 x 250 – 500 mg/hari. Pengobatan

antibiotika diberikan 7 – 10 hari Analgetik – antipiretik paracetamol 3-4 x 250 -500

mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial.Studi

yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan

antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit

lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda

dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.11

Tabel 2. Gram Staining & Recomendasi Antibiotik12

2. Drainase

Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan dengan

teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. 11

Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot

13

Page 14: Abses Peritonsiler

dengan anestesi topikal. Kemudian 2cc Xilokain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan.

Pisau tonsila no 12 atau no.11 dengan pelester untuk mencegah penetrasi yang dalam

yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dengan kutub atas

foss tonsillaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut

direntangkan. Pengisapan tonsilla sebaiknya segera dilakukan untuk mengumpulkan pus

yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda, dengan trismus yang

berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsilar mungkin dilakukan setelah aplikasi

cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion spenopalatina pada fossa

nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih

muda, membutuhkan anestesi umum.11

3. Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih

dilakukan. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode

ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilar.11

Indikasi absolut untuk tonsilektomi adalah tombulnya kor pulmonal karena

obstruksi jalan nafas yang kronik, hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu

waktu tidur, hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat

badan penyerta, biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma), dan abses

peritonsilaris berulang atua abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.11

Indikasi relatif adalah seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang

paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptococcus B Hemolitikus grup A.

Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme penyebab dari episode

faringitis yang sekarang. Di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang

paling sering diterima pada anak-anak adalah serangan tonsilitis berulang yang tercatat,

hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional dan menetap, riwayat demam reumatik.11

X. PROGNOSIS

Tingkat Rekurensi sangat sedikit ditemukan sekitar 9-22%.13 Kebanyakan pasien

yang dirawat dengan antibiotik dan drainase yang adekuat pada abses mereka dapat

sembuh dalam beberapa hari. Dalam beberapa kasus, pasien yang datang dengan abses,

14

Page 15: Abses Peritonsiler

dibutuhkan tindakan tonsilektomy.2

XI PENCEGAHAN

Segera melakukan pengobatan terhadap tosilitis yang diderita, terutama tonsilitis

bakteria. Pengobatan yang cepat dan menyeluruh dapat mencegah terbentuknya abses. 14

15

Page 16: Abses Peritonsiler

DAFTAR PUSTAKA

1. Steyer, Terrence. Abscess Peritonsillar: Diagnosis and Treatment. Available from:

http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html

2. Gosselin, Benoit. Pertonsillar Abscess. [online]. February 2010. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview#a0102

3. Lalwani, Anil. 2007. Current Diagnosis & Treatment: Otolaryngology Head and Neck

Surgery. New York: Mc Graw Hill.

4. Galioto N.J. Peritonsillar Abscess, Am Fam Phy 2008 Volume 77 ; 199-202

5. Putz, Renate. 2007. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Edisi22. Jakarta: EGC.

6. Snow, James B., Ballenger John J. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and

Neck Surgery. Edisi 16. Spain: BC Decker

7. Bailey, Byron J., Jonas T. 2006. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition.

United States. Lippincott Williams & Wilkins

8. Soepardi, dkk. Abses Peritonsilar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga, Hidung

dan Tenggorokan,Jakarta FKUI,2008.

9. Bull, Tony R. Color Atlas of ENT Diagnosis. Edisi 4. London. Thieme. P 199.

10. Balentine J.R., Lhympoma. [online]. October 2014. Available from:

http://www.emedicinehealth.com/lymphoma/article_em.htm

11. Boies, Adam. 1997. Buku Ajar Penyakit THT .Edisi 6. Jakarta: EGC. P333-345

12. Takenaka Y. Et al. Research Article: Gram Staining for the treatment of Peritonsillar

Abscess. International Jornal of Otolaryngology. Hindawi 2011

13. Preston, M, 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). Accesed:

http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961

14. Schwartz S. Peritonsillar Abscess, nlm 2012. (Available:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000986.htm)

16