acak terusssss

Embed Size (px)

DESCRIPTION

s

Citation preview

BATASAN EKOLOGIS DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIRTERPADU (INTEGRATED COASTAL ZONE GOVERNANCE) DENGANPENDEKATAN NEGOSIASII. PENDAHULUANKawasan Pesisir merupakan wilayah yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan dan pencemaran oleh manusia. Dikatakan daerah yang strategis karena hampir semua kawasan pesisir di Indonesia merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di wilayahnya masing-masing, sementara dikatakan paling rentan terhadap perubahan yang terjadi secara alami, akibat aktivitas manusia, maupun kombinasi dari keduanya. Namun diantara faktor-faktor tersebut, pengaruh aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan merupakan penyebab utamanya. Fakta menunjukkan, kondisi kawasan pesisir di berbagai penjuru tanah air mengalami kerusakan ekosistem yang sangat mencemaskan, misalnya kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, erosi pantai, maupun pencemaran.Pencemaran merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan ekologis kawasan pesisir saat ini, umumnya disebabkan oleh akumulasi limbah dari aktivitas manusia di wilayah pesisir sendiri, maupun limbah dari aktivitas manusia dari daerah hulu dan hilir yang dialirkan melalui aliran sungai pada suatu Daerah Aliran Sungai (selanjutnya ditulis : DAS). DAS merupakan daerah yang menghubungkan daratan di hulu dengan kawasan pesisir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan pesisir (UNEP, 1990; Norrena & Wells, 1990 ; Nam, 1987).Sebagai konsekuensi dari negara kepulauan, kawasan pesisir di Indonesia berkembang menjadi kawasan dengan pertumbuhan yang cukup pesat, mengingatkawasan pesisir dapat menyediakan ruang dengan aksesibilitas tinggi dan relatif murah dibandingkan dengan ruang daratan di atasnya (Bengen, 1999). Oleh karena itu, pesisir menjadi tempat tujuan pergerakan penduduk. Hampir 60% jumlah penduduk di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makasar menyebar ke daerah pesisir (Adibroto, 1999 : 125 ; Dahuri,et al, 2001 ; Burbridge, 1988). Dalam kaitan dengan kemudahan akses dan hubungan antar pulau dan antar wilayah itulah sebagian besar kota-kota di Indonesia berada di kawasan pesisir. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam menunjang pembangunan di Indonesia.Menurut Pratikto (2006), kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999/32 Tahun 2004, khususnya pasal pada pasal 10 ayat 2 dan 3, telah diinterpretasikan secara berbeda, menyangkut batas kewenangan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pengelolaan wilayah pesisir masih dilakukan dalam batasan wilayah administratif. Dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjawab kesimpangsiuran tersebut dengan konsep pengelolaan pesisir secara terpadu. Asas keterpaduan pada pasal 3 huruf c tersebut menurut Pratikto (2006), sesungguhnya mengandung arti keterpaduan secara horisontal dan vertikal. Secara horisontal, harus ada keterpaduan perencanaan antar sektor, misalnya pertanian dan konservasi yang berada di DAS hulu, sektor perikanan (tangkap maupun budidaya), sektor pariwisata, perhubungan laut, serta pengembangan kota. Sedangkan keterpaduan perencanaan secara vertikal meliputi keterpaduan kebijakan perencanaan dan operasional mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional. Lebih jauh, Pratikto (2006) menjelaskan bahwa konsep pengelolaan kawasan pesisir terpadu seyogyanya menggunakan pendekatan batas-batas ekologis (ecoregion approach), salah satunya dengan menempatkan DAS sebagai basis perencanaan, sehingga dampak dari kegiatan pertanian, industri maupun pembangunan perkotaan di DAS perlu diperhatikan.Makalah ini berusaha untuk menjelaskan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebagaimana dengan pendekatan batasan ekologis (ecoregion approach) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Selain itu juga dijelaskan suatu konsep pengelolaan (governance) kawasan pesisir yang negosiatif, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang ingin dicapai adalah pertama mengidentifikasi konsep batasan ekologis (ecoregion) dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dan kedua merumuskan suatu konsep pendekatan negosiasi dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu.II. KONSEP DASAR PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU(PWPT)Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dahulu dikenal istilah Integrated Coastal Zone Management (ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi Pesisir Dunia (World Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di Belanda. Pada forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat menyangkut masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun jangka panjang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat, degradasi kualitas air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, kenaikan muka air laut, serta dampak akibat perubahan iklim dunia (Subandono, et al, 2009). Lebih jauh, Subandono, et al, (2009) juga menyatakan bahwa konsep PWPT menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya. Dahuri, et al, (2001) mendefenisikan PWTP sebagai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal itu maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan sektoral; (c) keterpaduan kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin ilmu; dan (e) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.III. BATASAN EKOLOGIS DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADUMenurut Pratikto, (2006), dasar dari pengelolaan suatu kawasan adalah tata ruang. Tujuan utama dari penataan ruang tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat (kepentingan ekonomis) dan pertumbuhan serta kelestarian ekosistem. Untuk mencapai hal tersebut maka perlu dikembangkan model penataan ruang yang komprehensif dan mendalam (whole planning model), terutama dalam perencanaan kawasan terpadu (integrated areal planning) yang tidak berdasarkan batas administrasi saja. Untuk mencapai perencanaan kawasanyang terpadu diperlukan pendekatan-pendekatan antara lain ekoregion (ecoregion approach), sedimen sel (cediment cell approach) dan pendekatan berbasis catchment area (watershed approach). Konsep batasan ekologis dalam pengelolaan wilayah pesisir harus berisikan upaya mengintegrasikan empat komponen penting yang merupakan satu kesatuan meliputi a) Batasan wilayah perencanaan : natural domain (bukan batasan administratif) ; b) Kawasan pesisir sebagai dasar pengelolaan kawasan di hulunya ; c) Pendekatan Keterpaduan meliputi integrasi ekosistem darat-maritim, integrasi perencanaan sektoral (horisontal), integrasi perencanaan vertikal dan integrasi sains dengan manajemen; dan d) Alokasi ruang proporsional, dimana 30% dari wilayah perencanaan merupakan lahan alami.Dalam tatanan ekologi, DAS merupakan daerah yang menghubungkan antara hulu, hilir dan kawasan pesisir, dimana aktivitas manusia di daerah hulu dan hilir mempengaruhi kondisi di kawasan pesisir, baik akibat pencemaran maupun sedimentasi akibat erosi pada DAS. Karena keterkaitan inilah, maka pengelolaan suatu kawasan pesisir harus diintegrasikan dengan pengelolaan DAS.Dengan demikian konsep pendekatan ecoregion suatu DAS harus berintikan empat komponen penting yang merupakan suatu kesatuan (bukan urutan prioritas), yaitu:a. Batasan Wilayah Perencanaan : natural domain Batasan perencanaan berdasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami (natural domain) dalam makalah ini : DAS dan bukan pada batasan administratif.b. Kawasan pesisir sebagai dasar pengelolaan kawasan di hilir/hulunyaKawasan pesisir selalu menerima dampak baik dari kegiatan di kawasan hilir/hulu maupun di kawasan pesisir sendiri, disamping mempunyai fungsi ekologis tersendiri yang penting dan perlu dijaga kelestarian fungsi-fungsinya. Untuk itu, bagi suatu pendekatan ekoregion Suatu DAS yang terpadu, pertimbangan terhadap keterkaitan fungsional antar kawasan (hulu dan hilir) dan keunikan karakteristik kawasan pesisir dikaitkan dengan fungsi ekologisnya merupakan aspek penting untuk tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, dalam suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS, kawasan pesisir harus menjadi dasar dalam pengelolaan kawasan hilir/hulunya.c. Keterpaduan ; maka dalam konsep pendekatan ecoregion suatu das harus memperhitungkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : Keterpaduan ekosistem darat dengan laut (land-ocean interaction) Keterpaduan pengelolaan secara horisontal (antar sektor-sektor pembangunan) Keterpaduan pengelolaan secara vertikal (lokal, regional, nasional) Keterpaduan stakeholder, pengelolaan menjadi tanggung jawab pemerintah, swasta maupun masyarakat. Keterpaduan sains dan manajemen (perhitungan dan pertimbanganpertimbangan akademis sebagai input kebijakan)d. Alokasi ruang yang proporsional ; dihubungkan dengan fungsi kapasitas asimilasi lingkungan dan Daya Dukung Lingkungan. Pada Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan secara cermat fungsi kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan melalui keserasian pola pemanfaatan ruang antara a) kawasan budidaya, b) kawasan penyangga, dan c) kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah preservasi yang harus dialokasikan dalam suatu wilayah perencanaan minimal mencapai 30 % berupa lahan alami atau hutan (dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau hutan wisata) untuk tercapainya keseimbangan antara wilayah terbangun dengan wilayah alami. Sehingga alokasi ruang dalam kegiatan penataan ruang tidak hanya menata berbagai kegiatan pembangunan secara spasial yang dikaitkan dengan kesesuaian lahan saja, tapi juga memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan agar dampak negatif dapat dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan. IV. PENDEKATAN NEGOSIASI DALAM PENGELOLAAN (GOVERNANCE) WILAYAH PESISIR TERPADUPengelolaan pesisir (Coastal Governance) merupakan pengembangan lebih lanjut dari ICZM. Dahuri, et al, (2001) mengatakan bahwa suatu pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi. Disisi lain, Stead (tanpa tahun), menggambarkan bahwa istilah governance yang berkembang di eropa mengandung arti aturan-aturan (the rules), proses dan sifat (behaviour) yang mempengaruhi meningkatnya kekuatan (powers) di tingkat Eropa. Lima prinsip dari utama dari pengelolaan yang baik (good governance) adalah keterbukaan (openness), partisipasi (participation), akuntabilitas (accountability), efektivitas (effectiveness) dan keterhubungan (coherence). Istilah governance disini digunakan untuk menggantikan istilah management yang dianggap terlalu komersial (commercial), bersifat otoriter (authoritarian) dan birokratis (bureaucratic) dalam implementasinya di lapangan.Lebih jauh, Stead (tanpa tahun) menjabarkan tiga model dalam kontekstualisasi governance adalah bersifat hierarki (hierarchical), pasar (market mode) dan partisipasi (participatory). Dari ketiga model tersebut, pengelolaan secara participatory tampaknya menjadi kunci utama saat ini. Partisipasi memungkinkan semua stakeholders dapat menjadi bagian dalam menentukan kebijakan dalam proses pengelolaan suatu kawasan pesisir.Di satu sisi, terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, aspek negosiasi juga menjadi salah satu faktor penting suksesnya pengelolaan pesisir. Negosiasi antara komunitas hulu/hilir dengan pesisir, sektor, stakeholder (pemerintah, swasta dan masyarakat), maupun akademisi akan lebih menegaskan prinsip-prinsip utama dalam PWPT. Pendekatan negosiasi mengarahkan PWPT pada konsep pengelolaan yang lebih bersifat lokal. Artinya PWPT pada suatu kawasan pesisir akan berbeda dengan kawasan pesisir lainnya, tergantung dari karakteristiknya masing-masing, misalnya kondisi ekosistem, sosial ekonomi masyarakat maupun adat kebiasaan masyarakat lokal, dan lain-lain. Pengelolaan yang bersifat partisipasi tidaklah sama dengan negosiasi. Perbedaan antara partisipasi dengan negosiasi adalah bahwa dalam negosiasi, para stakeholder ikut ambil bagian dalam suatu proses yang aktif untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Sedangkan dalam partisipasi, peran masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, hanya sebatas pada dengar pendapat atau sosialisasi untuk menyukseskan suatu pengelolaan yang dirumuskan oleh pemerintah dan swasta. Ketika masyarakat mengajukan petisi menentang suatu pengelolaan kawasan pesisir yang dinilai tidak ramah lingkungan, sebagai suatu bentukpartisipasi, seringkali tidak mempengaruhi kebijakan dalam pengelolaan kawasan tersebut. Terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir dalam batasan ekologis, dimana DAS sebagai kawasan yang tidak terpisahkan dalam rencana pengelolaan, maka proses negosiasi tentunya dapat menjadi jawaban terhadap permasalahan lingkungan di DAS dan dampaknya terhadap pencemaran di kawasan pesisir. Dengan cara ini, maka proses negosiasi antara stakeholder yang mendapat keuntungan dari pengelolaan kawasan yang baik di pesisir dengan pihak yang menjaga kondisi ekologi dalam pengelolaan di hulu/hilir dapat berinteraksi secara langsung untuk mencapai kesepakatan, mungkin mengenai rehabilitasi dan kompensasi.Pendekatan negosiasi menggabungkan kemampuan negosiasi untuk melibatkan semua stakeholder dalam pengelolaan kawasan pesisir terpadu dengan pendekatan ekologis, dimana kawasan pesisir dan DAS diperlakukan sebagai suatu ekosistem yang utuh. Negosiasi pada dasarnya menguatkan konsep pengelolaan kawasan pesisir terpadu karena memperlakukan pesisir dan DAS sebagai suatu ekosistem yang utuh, dimana semua subsistem dan sektor-sektor buatan manusia yang terletak dalam pengelolaan kawasan pesisir dan DAS yang berbeda-beda, dipandang sebagai sesuatu yang saling berkaitan (coherens) dan saling tergantung, sehingga tidak ada permasalahan atau sektor yang ditangani secara terpisah.V. KESIMPULANPengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memerlukan pendekatan yangkomprehensif dengan melibatkan pengelolaan kawasan DAS, yang merupakansatu kesatuan ekosistem. Degradasi lingkungan perairan pesisir merupakan hasilakibat kegiatan manusia yang tidak hanya bersumber di kawasan pesisir itusendiri, namun juga bersumber di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yangmengalir ke kawasan pesisir. Penanganan permasalahan pencemaran perairanmisalnya, memerlukan penanganan menyeluruh terhadap seluruh aktifitaspenghasil limbah di sepanjang DAS, mulai dari daerah hulu. Tanpa melakukanpengelolaan menyeluruh melibatkan area DAS, akan menjadikan upayapengelolaan kawasan pesisir, khususnya pengelolaan pencemaran akan menjadikurang mengenai sasaran dan sifatnya sementara saja.Pengelolaan kawasan pesisir terpadu hendaknya dilakukan dengan prinsipprinsip good governance yaitu keterbukaan (openness), partisipasi(participation), akuntabilitas (accountability), efektivitas (effectiveness) danketerhubungan (coherence), dan juga dengan saling menghargai (respect),transparan (transparency) dan kepercayaan (trust).Perlakuan kawasan pesisir dan DAS serbagai suatu kesatuan ekosistem,sejalan dengan konsep pengelolaan secara terpadu (integrated) dimana semuastakeholder di kawasan pesisir dan DAS, tidak hanya berpartisipasi dalampengelolaan kawasan pesisir dan DAS, namun juga turut aktif (bernegosiasi)dalam perumusan kebijakan dan konsep pengelolaan kawasan tersebut, sesuaidengan kondisi lokal di masing-masing kawasan.DAFTAR PUSTAKAAdibroto, T.A. 1994. Managing the Indonesia Marine and Coastal Environment: The Role of Monitoring Activities. Proceeding no. 979 8465 07 5Workshop on Technology Application on Marine EnvironmentalMonitoring, Forecasting and Information System. InstitutionalFramework and Project Benefits, 17 November 1994. Jakarta. Indonesia.Burbridge, D.R (Eds). 1998. Coastal Zone Management is the Strait of Malacca.Proceedings of Symposium on Environmental Research and CoastalZone Management is the Strait of Malacca in 1995. Medan. Indonesia.Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu, M.J. (cet. 2), 2001 : PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu ; PT. PradnyaParamita, Jakarta, Indonesia.Hursh, D., van der Werf ten Bosch, M.J., Paranpye, V. 2005. River BasinManagement: A Negotiated Approach. ENDS and Gomukh.Pratikto, W.A. 2006. Menjual Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. DKP RI. Jakarta.Stead, S. tanpa tahun. Coastal Governance : Introduction to principles andpractice. Lecturer Presentation. School of Marine Science &Technology University of Newcastle.Subandono, D., Budiman, Agung, F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklum diWilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer.Bogor.Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan PulauPulau KecilUNEP. 1995. Meeting of Government designated Experts to Review and Revicea Global Program of Action to Protect the Marine Environment fromLand-based Activities. Reykjavik, 6-10 Maret 1995 (UNEP/ICL/IG/1/2).

ASPEK YANG DIKAJI1. Regulasia Perangkat Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasal nya tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia. Pengaturan tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam UNCLOS 1982 Part XII tentang Protection and Preservation of the Marine Environment.b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan IndonesiaUndang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa konsekuensi kepada NKRI untuk memperbarui ketentuan tentang Perairan Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982. Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa: Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional. Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairan Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa: Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah sesuai RPJP Nasional Tahun 2005- 2025, tertuang dalam Bab II huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.8 Dalam Bab II-huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia. Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700, h.20. permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated coastal management .d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau KecilPengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, bahwa : Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, dalam Pasal 3 tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa:Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan: (a) keberlanjutan; (b) konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e) kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i) desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated coastal management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia. Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders. Terdapat 15 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang mengacu pada J.R. Clark (1992): (1)resources system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5) the boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources; (7) degradation of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9) character and dynamic of nature; (10) economic benefits conservation as main purpose; (11) multipleuses management; (12) multiple-uses utilization; (13) traditional management; (14) environment impact analysis.Sesuai dengan prinsip-prinsip integrated coastal management, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya diatur dalam Bab IVPerencanaan, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated coastal management. Pemanfaatan yang optimal terhadap wilayah pesisir berdasarkan Prinsip 12 dan 14 dalam integrated coastal management, diimplementasikan dengan diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Pemerintah seperti diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP PK. Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) bahwa HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. 9 J.R. Clark, Integrated Management of Coastal Zone, FAO Fisheries Technical Paper, No.327, Rome, Italy, 1992, dalam Rochmin Dahuri et.al Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, h. 157-171, Jakarta, 2001 (Rohmin Dahuri II). Menurut Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, HP-3 diberikan oleh Pemerintah kepada orang perorangan Warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Tetapi ada beberapa daerah yang tidak dapat diberikan HP-3 yaitu kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang diberikan oleh Pemerintah adalah bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan dengan ketentuan tentang hak-hak yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Bab II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2). Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi di bawahnya.11 Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir juga merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria pada dasarnya menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi, maka wewenang-wewenang yang bersumber 10 Pasal 16 ayat (1) UUNomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA berisi :Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a) hak milik; b) hak guna usaha; c) hak guna bangunan; d) hak pakai; e) hak sewa; f) hak membuka tanah; g) hak memungut hasil hutan; h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Pasal 16 Ayat (2) menyatakan bahwa hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) ialah a) hak guna air; b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; c) hak guna ruang angkasa. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Edisi Revisi 2005, Jakarta, 2005, h. 19. daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa, sehingga pengambilan kekayaan tersebut memerlukan pengaturan tersendiri. Mengacu pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang tentang PWP-PK, maka HP-3 atas wilayah pesisir, merupakan suatu aturan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum pernah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-undang lainnya. Berbeda dengan hak hak atas tanah seperti diatur dalam Pasal 16 Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah dalam luasan dan waktu tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2). Partisipasi masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Keberadaan masyarakat adat yang telah memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap mereka sesuai Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated coastal management, untuk menghindari perbedaan penafsiran, pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.Pembagian zonasi wilayah pesisir sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP-PK sangat terkait dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu membagi wilayah laut untuk keperluan administrasi dan batas kewenangan di daerah. Selanjutnya, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di darat dan dasar laut, maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan akan menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.12 Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa. Sedangkan penyelesaian di luarpengadilan dilakukan dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.e. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan LautPeraturan Pemerintah ini mewajibkan setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan bertanggung jawab terhadap perusakan/pencemaran laut. Ketentuan dalam Bab V tentang Penanggulangan Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, dalam Pasal 15 menetapkan bahwa: Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di wilayah pesisir tanpamengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan mengakibatkan rusaknya ekosistem diwilayah pesisir.f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, danPemerintahan Daerah Kabupaten/KotaKewenangan Pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam diatur dalamPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang PembagianUrusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, danPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor38 Tahun 2007).1412 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, Pasal 64.13 Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah13Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luarnegeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama,sedangkan yang termasuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan danPerikanan) diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) butir cc, dan merupakan bagian dari urusanpemerintahan yang dapat dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengatur mengenai Urusanpemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah terbagi dalam urusanwajib dan urusan pilihan.15 Pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan bagian darikelautan dan perikanan, yang dalam ketentuan ini merupakan bagian dari urusan pilihanyang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah.16Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalampengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintasKabupaten/Kota dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota sertakewenangan yang tidak/belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah DaerahKabupaten/Kota.175. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir di DaerahBerdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwapemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusanpemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luaskepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatmelalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat belum pernah memberikan otonomi yang nyatadalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir. Status Quo kewenangandaerah ini tidak menjadi perhatian Pemerintah, karena kegiatan ekonomi yangKabupaten/Kota, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 (selanjutnya disebut PPNomor 38 Tahun 2007).15 PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Pasal 6 Ayat (2).16 Ibid, Pasal 7 ayat (4).17 Ibid, Pasal 13.14berlangsung di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yangmenguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu.Pasal 18 ayat (10) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah, disebutkan bahwa:Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalampengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintasKabupaten/Kota dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota sertakewenangan yang tidak/belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah DaerahKabupaten/Kota.18Dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWPPK,Pemerintah Daerah wajib untuk menyusun semua rencana sebagaimana dimaksudpada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemerintah Daerah diberikewenangan untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatursumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur danmenyediakan bantuan kepada Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan undang-undang dankedaulatan nasional.Kewenangan Pemerintah Pusat dalam mengelola sumberdaya di wilayah inimerupakan kewenangan atribusi yang langsung bersumberkan pada Undang-undangDasar 1945 Pasal 33, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona EkonomiEksklusif Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas KontinenIndonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, danUndang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982.Perluasan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir diberikan kepadaKabupaten/Kota dan Provinsi untuk mengelola sumberdaya laut dan daratan dalamwilayah hukumnya. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 200418 Op.cit, Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentangPembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan PemerintahanDaerah Kabupaten/Kota.15tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 6,yaitu:19Pendapatan asli daerah bersumber dari: a) Pajak daerah; b) Retribusi daerah; c) hasilpengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari dana perimbangan, sepertidijelaskan dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil. Ayat (1) dari Pasal 11 menyebutkanbahwa dana bagi hasil bersumberkan dari pajak dan sumber daya alam. (Garis bawaholeh penulis)Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut sebagaimanadimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secarayuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikanoleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untukmelaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya disertaidengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungannya.6. Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah PesisirSebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan kelautan terutamapengelolaan wilayah pesisir dan laut di daerah adalah penyediaan produk hukum wilayahpesisir dan laut dalam bentuk Peraturan Daerah dengan menggagas sebuah model yangberbasis masyarakat. Beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang telah difasilitasioleh Satuan Kerja Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and CoastalResources Management Project /MCRMP), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir danPulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapaPeraturan Daerah mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut.7. Konflik Norma Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah PesisirUndang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK membawa implikasiterhadap pengaturan pengelolaan wilayah pesisir lain yang terkait. Pengelolaan19 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126.16sumberdaya di wilayah pesisir melibatkan banyak sektor, sehingga sangat rawan terjadikonflik norma dan tumpang tindih kewenangan.Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya konflik norma dalam pengelolaansumberdaya di wilayah pesisir dapat dilakukan dengan melalui harmonisasi hukumpengelolaan wilayah pesisir dan laut melalui penemuan hukum (sepertipenafsiran/interpretasi dan konstruksi hukum), penalaran hukum, dan pemberianargumentasi yang rasional20 terhadap isi peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang pengelolaan wilayah pesisir.21 Upaya sinkronisasi yang bersifat pencegahandilakukan dalam rangka mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensialyang dapat menyebabkan terjadinya konflik norma.L.M. Lapian Gandhi, yang mengutip buku Tussen Eenheid en Verscheidenheid:Opstellen over harmonisatie in staats-en bestuursrecht (1988), dalam pidato pengukuhangurubesarnya, sebagaimana dikutip oleh Moh. Hasan Wargakusumah, mengatakanbahwa:...harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundangundangan,keputusan pemerintah, keputusan peningkatan kesatuan hukum, kepastianhukum, keadilan (justice, gerechtigheid), dan kesebandingan (equity, billijkheid),kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralismehukum kalau memang dibutuhkan22Harmonisasi peraturan perundang-undangan dilakukan karena terdapat indikasiadanya konflik norma, seperti tumpang tindihnya kewenangan dan benturan kepentingandiantara stakeholders, sehingga akan memunculkan penafsiran yang berbeda-beda.Sebagai tindakan represif terhadap konflik yang timbul dalam pengelolaan diwilayah pesisir menyangkut sengketa kewewenangan lembaga negara karena20 Tommy H.Purwaka, Fakta Perlunya Harmonisasi, dalam Buku Narasi, Menuju HarmonisasiSistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kerjasama Kementerian PerencanaanPembangunan Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources ManagementProject, Jakarta, 2005,h. 558, Lihat juga dalam Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab TentangPenemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, kerjasama Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan danKebudayaan dan The Asia Foundation, Jogjakarta, 1993, h. 4.21 Menurut Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Penemuan hukum dapat dilakukan denganmenggunakan metode penafsiran/interpretasi dan metode argmentasi. Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo,Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, kerjasama Konsorsium Ilmu Hukum,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, Jogjakarta, 1993,h. 54-67.22 Dikutip dari Disertasi, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang BaikDalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Yuliandri, Program Studi Ilmu Hukum ProgramDoktor Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, h. 206.17ketidaksesuaian atau perbedaan penafsiran undang-undang tertentu (konflik horisontal),dapat diselesaikan melalui negosiasi antar lembaga departemen. Tetapi jika upayatersebut tidak berhasil, dapat ditempuh upaya hukum seperti yang diatur dalamUndang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Bab III tentangKekuasaan Mahkamah Konstitusi, Bagian Pertama, Pasal 10 ayat (1). Konflik vertikaljuga muncul karena adanya sengketa/konflik kewenangan antara Undang-undang denganperaturan yang ada di bawahnya. Jika upaya negosiasi tidak berhasil menyelesaiakansengketa, maka upaya hukum dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan atau mengujiperundang-undangan ke Mahkamah Agung, seperti diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.a. Konflik Norma antara Undang-undangKonflik norma antar undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir danlaut dapat terjadi karena terdapat ketidaksesuaian antar Undang-undang, baik mengenaidasar hukum, konsistensi penggunaan dan rumusan pengertian/istilah, kelembagaan dankewenangan, peruntukan kawasan, perizinan ataupun sanksi dan ketentuan penutup.Sebagai contoh konflik norma dalam penerapan Undang-undang mengenaipengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah:a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentangPertambangan dalam masalah Penambangan di Kawasan Lindung;b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanandalam masalah konservasi;c. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-undangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam masalah Pelimpahanwewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah;d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah danUndang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam masalahpenataan wilayah laut terkait dengan pengelolaan sumber dayae. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UndangundangNomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dalam masalah zonasi wilayahpesisir .Dalam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan pesisir dan lautterdapat ketentuan perundangan yang satu dengan yang lainnya tidak terkait jika ditinjau18dari dasar hukumnya. Misalnya Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tidakmendasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuanPokok Agraria dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 Jo Undang-undang Nomor 19Tahun 2004 tentang Kehutanan.Konflik norma pada dasar hukum dapat berpengaruh terhadap implementasiUndang-undang tersebut seperti, wilayah perikanan Indonesia, tidak hanya di laut, tetapijuga di sungai, danau, waduk, rawa, dan lahan pembudidayaan ikan. Sementara ituperizinan penangkapan ikan di wilayah tersebut harus sepengetahuan DepartemenKehutanan. Sebaliknya dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undangNomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, juga tidak mendasarkan pada Undang-undangNomor 9 Tahun 1985 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.Alasan pencantuman dasar hukum dalam undang-undang, baik yang setingkatmaupun di atasnya akan berakibat pada kewenangan pembuatnya. Namun, kaidah inilahyang menjadi penyebab terjadinya konflik norma, karena suatu peraturan tidak lazimmemerintahkan pembuatan peraturan yang setingkat dengannya, apalagi bila peraturanperundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang.Konflik norma pada undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan laut ditingkat pusat, bukan hanya tidak mencantumkan Undang-undang yang wilayahkeberlakuannya saling berdekatan, tetapi juga tidak mencantumkan Undang-undang yangterkait. Misalnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup danUndang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tindakan tidaksaling menjadikan sebagai dasar hukum antar Undang-undang mengenai SumberdayaAlam berlanjut pada peraturan pelaksanaannya.Konflik norma juga berlaku pada kewenangan dan kelembagaan karenaketidakjelasan dan ambiguitas yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut.Misalnya, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UndangundangNomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan penataanruang dilaksanakan oleh seorang menteri. Namun sampai saat ini, menteri yang dimaksud19tidak pernah ditunjuk. Pemerintah hanya membentuk Badan Tata Ruang Nasional yangsecara de facto kedudukannya berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum.23Sebagai upaya melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenaipengelolaan wilayah pesisir dan laut, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan kesempatan dandimungkinkan untuk melakukan pembentukan undang-undang melalui harmonisasihukum, seperti dijelaskan dalam Pasal 17 Ayat (2). Selanjutnya, dipertegas dalam Pasal18 Ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsirancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yangtugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, harmonisasi harus dapatmencerminkan adanya keterpaduan ekosistem darat dan laut, keterpaduan ilmupengetahuan dan manajemen, serta keterpaduan antar tingkatan pemerintahan.b. Konflik Norma antara Undang-undang dengan Peraturan DaerahPeraturan Perundang-undangan di daerah lazimnya dibuat berdasarkan perintahdari pusat atau untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam Undangundang.Karakter undang-undang harus tercermin dalam peraturan daerah, sepertimisalnya pada soal obyek, perizinan, pajak, retribusi, kelembagaan, sanksi danpenegakan hukum. Untuk meminimalisir konflik norma pada undang-undang danperaturan daerah mengenai pengelolaan wilayah pesisir, penyelarasan dan penyerasiantujuan, strategi, dan pedoman dapat mengacu pada hukum dasar yaitu Undang-UndangDasar 1945 dan Amandemennya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Halini sebagai konsekuensi logis, bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah adaharus diselaraskan dan diserasikan dengan perubahan hukum dasar dan Undang-undangyang telah ada.Harmonisasi pengaturan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut sesuaidengan integrated coastal management, memerlukan dukungan dari seluruh sektor23 Penataan Ruang, www.dpu.go.id, dikunjungi pada 12 Desember 2006.20terkait. Dukungan dari berbagai sektor ini dapat menciptakan sinergi, sehingga perludisusun visi bersama yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah sebagai acuanspasial dalam pelaksanaan pembangunan. Wewenang dalam Pengelolaan Sumber daya Pesisirkonsep wewenang selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, oleh karena itu untuk mengetahui lebih jauh mengenai wewenang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, perlu ditelusuri dasar hukumnya khususnya yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (3) menyebutkan : bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan kata dikuasai sebagai legitimasi kewenangan negara atas sumberdaya alam dan lingkungan. Kendatipun banyak menuai protes dari berbagai elemen masyarakat khususnya dari kalangan NGO mengenai terminologi dikuasai tersebut, namun wakil rakyat di DPR/MPR tetap mempertahankan istilah dikuasai pada Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, sehingga secara legalistik-formal, istilah dikuasai oleh negara mengandung arti bahwa negara memiliki kewenangan secara atributif dalam pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bagir Manan, merumuskan cakupan pengertian dikuasai negara antara lain penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui pemerintah (pusat) satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya termasuk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam pengertian Pasal 33 UUD 1945, yang dimaksudkan dengan air, di samping air yang berada di daratan lebih lagi yang berada di pesisir dan lautan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 2004) pada Bab X Pembangunan Sumberdaya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup, antara lain menyatakan :Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) Penyusunan Undang-undang Pengelolaan Sumber daya Alam berikut perangkat peraturannya.... Kendatipun sudah ada mandat untuk melakukan penyusunan undang-undang Sumber daya Alam, bahkan telah berulangkali dilakukan ekspose gagasan di beberapa daerah mengenai urgensinya undang-undang tersebut, namun sampai saat ini undang-undang tersebut belum diundangkan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, mengatur tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Dalam undangundang ini, ditegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, Article 192 menyebutkan,:state have the obligation to protect and preserve the marine environment. Disamping itu, negara juga mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Article 193, menyebutkan, :States have the sovereign right to exploit teir natural pursuant to their environmental policies and in accordance with their duty to protect and preserve the marine environment. Dalam undang-undang nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS maupun Undang-Undang 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kendatipun memberikan kedaulatan dan wewenang kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam hayati lingkungan laut tetapi senantiasa diiringi dengan kewajiban melakukan konservasi. Secara normatif, sepintas lalu perumusan norma dan atau kaidah dalam kedua undang-undang tersebut menunjukkan pertentangan, karena disatu sisi, undang-undang memberikan wewenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan alam, namun di sisi lain, mendorong perlunya melakukan konservasi. Dalam praktek, sulit untuk menggabungkan atau menyatukan antara eksploitasi dan konservasi dalam strategi pembangunan peisir lautan. Upaya mengedepankan salah satu dapat berakibat mengesampingkan yang lain, demikian sebaliknya. Dalam kaitannya dengan upaya melakukan perlindungan (konservasi) lingkungan perairan Indonesia, telah diundangkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang pada dasarnya memberikan wewenang kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia. Untuk mengoptimalkan wewenang yang telah diberikan dalam undang-undang tersebut, undang-undang memberikan mandat untuk membentuk badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996). Di bidang penataan ruang, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 (mencabut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992) tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang ini tidak dijumpai secara eksplisit berkenaan dengan wewenang pengelolaan sumberdaya pesisir maupun lautan. Kendatipun dalam konsiderans disebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beranekaragam di daratan, di lautan dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan, namun materi yang diatur dalam batang tubuh undang-undang penataan ruang, masih terbatas atau masih didominasi pengaturan tata ruang daratan. Hal ini bisa dipahami karena dalam sejarah perjalanannya, yang menjadi leading sector-nya adalah Departemen Pekerjaan Umum, dan undang undang penataan ruang ini berdasarkan sejarahnya memang dihajatkan sebagai pengganti dari stadvormingsordonantie atau ordonansi pembentukan kota, Staatsblad Tahun 1948 Nomor 168. Sejalan dengan undang-undang penataan ruang, dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pun tidak secara eksplisit menyebutkan tentang wewenang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Oleh karena itu, untuk menemukan dasar hukum wewenang dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, diperlukan metode penafsiran hukum. Berdasarkan ketentuan Bab IV tentang Wewenang Pengelolaan Hidup, Pasal 8 (ayat 1) menyebutkan bahwa sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. Sumberdaya alam sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 8 ayat (1) dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 9 ayat (3) yang meliputi sumberdaya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Berdasarkan penafsiran ekstensif, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya itu juga harus meliputi sumberdaya alam hayati yang berada di daratan maupun di pesisir dan lautan. Pengaturan sumberdaya alam oleh Pemerintah (pusat), sebagaimana tersebut pada Pasal 8 ayat (1), mengandung arti bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan bersifat sentralistik. Meskipun demikian, ada peluang untuk melimpahkan wewenang tertentu baik secara mandat kepada perangkat wilayah yang ada di daerah maupun pemberian secara delegasi kepada Pemerintah Daerah. Pasal 12 ayat (1), menyebutkan, bahwa :untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat : a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat wilayah (mandat), b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan di daerah (mandat). Sedangkan Pasal 13 ayat (1) menegaskan, :dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya (delegasi). Wewenang pengelolaan sumberdaya lautan juga bisa ditelusuri dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam Undang undang maupun Peraturan Pemerintah tersebut memang tidak disebut kata lautan tetapi disebut dengan perairan. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan pengertian kawasan suaka alam sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai tugas pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Selanjutnya Pasal 1 angka 13 tentang kawasan pelestarian alam, disebutkan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 secara tegas menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 ayat (1) menyebutkan, bahwa :pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Penjelasan Pasal ini menyebutkan, bahwa, :pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban Pemerintah sebagai konsekuensi penguasaanoleh negara atas sumberdaya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945". Walaupun demikian, dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada daerah (delegasi), dan dapat juga menugaskan kepada daerah untuk melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan (mandat). Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (sebagai pengganti Undang- Undang nomor 9 Tahun 1985), mengatur secara tegas dan rinci mengenai wewenang pengelolaan sumberdaya perikanan. Namun demikian, jika diperhatikan dari aspek materi muatannya, menunjukkan perbedaan antara Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1990. Undang Undang nomor 5 Tahun 1990 mengedepankan aspek conservation, sedangkan undang-undang perikanan tampaknya lebih mengedepankan sustainable use, setidak-tidaknya pengertian itulah yang dijumpai dalam rumusan norma atau kaidah undang-undang tersebut. Dengan kata lain, Undang-Undang nomor 5 Tahun 1990, konservasi konservasi hayati dan ekosistemnya menjadi tujuan akhir dari pengelolaan, sedangkan undang undang perikanan, konservasi dihajatkan hanya sebagai rambu-rambu yang harus ditaati dalam rangka mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu optimalisasi dan produktivitas pengelolaan sumberdaya ikan, artinya undang-undang perikanan ini sarat dengan muatan ekonomi. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang nomor 31 Tahun 2004, menyebutkan, bahwa :pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundangundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh Pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Berkaitan dengan wewenang daerah dalam pengelolaan sumberdaya lautan, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004, Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437). Ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan : Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Perumusan norma ini mengandung arti, bahwa sebelum diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat, daerah tidak memilki wewenang untuk mengelola laut. Pemberian wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada daerah berkaitan dengan urusan kelautan seperti tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada dasarnya merupakan implementasi lebih lanjut dari ketentuan Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, yang menyebutkan :bumi. Air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, oleh karena itu ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan landasan yuridisadanya desentralisasi di bidang kelautan, yang diperoleh secara delegasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Berbeda dengan rumusan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,menyebutkan :Daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perumusan norma sedemikian mengandung arti adanya pembagian wewenang secara vertikal. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan mendasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat 2 (dua) pola pembagian kekuasaan negara, yaitu pembagian kekuasaan secara horisontal dan secara vertikal. Pembagian kekuasaan negara secara horisontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ utama negara yang dalam ketatanegaraan disebut Lembaga Negara, sedangkan pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara antar Pemerintah Pusat dan Pembagian kekuasaan kekuasaan negara secara vertikal berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah negara kesatuan, apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, maka sesungguhnya ide negara kesatuan tidaklah sentralistik. Oleh karena Undang Undang Dasar 1945 tidak merinci secara tegas tentang pelaksanaan asas desentralisasi dan sistem otonomi, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia terdapat variasi pelaksanaan asas desentralisasi dan sistem otonomi daerah. Dengan demikian, dilihat dari hukum tatanegara mapun hukum administrasi negara, perumusan norma Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menunjukkan adanya desentralisasi di bidang lautan, dan daerah memperoleh kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut secara atributif. 2. Institusia. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan LautanBerdasarkan hasil inventarisasi, institusi yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, antara lain : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Perhubungan, Kementerian Negara Pariwisata Seni dan Budaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, TNI AL, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Kementerian negara Koperasi dan PPK, Bdan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Tenaga Kerja dan Administrasi, Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisian (Polairud), Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional (LEMHANAS), masing-masing memiliki kewenangan dan tanggung jawab serta cakupan teritorial laut yang berbeda satu sama lain.Keberadaan lembaga tersebut di atas menunjukkan bahwa tanggungjawab atau kewenangan pembangunan kelautan melibatkan berbagai institusi, oleh karena itu tidak mungkin pembangunan kelautan dalam pengertian yang luas dapat dilakukan oleh sebuah institusi negara yang memiliki kewenangan terbatas seperti Departemen Kalautan dan Perikanan. Apabila bidang kelautan dihajatkan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional agar dapat mensejahterakan masyarakat, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Untuk mengarah pada hal itu, menurut Tridoyo, diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi payung dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua domein dalam suatu sistem pemerintahan, yakni legislatif dan eksekutif. Pada level legislatif, dengan fungsi yang dimilikinya berdasarkan undang-undang seperti fungsi legislasi, fungsi budgeting dan fungsi controlling, diharapkan lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan berupa (peraturan perundang-undangan) pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan kelautan. Sedangkan pada level eksekutif, diharapkan institusi kelembagaan yang terkait dengan lautan dapat melaksanakan kerjasama membangun sinergi dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan sektor kelautan. Dalam membangun sinergi hubungan antar institusi kelembagaan yang terkait dengan lautan, acapkali terjadi permasalahan di tingkat sektor yang disebabkan karena perbedaan penafsiran didalam memahami peraturan perundang-undangan khususnya yang menyangkut tugas pokok dan fungsi atau wewenang berdasarkan peraturan perundangan yang menjadi dasar dari masing-masing sektor. Dalam perspektif jangka panjang, perbbedaan kepentingan antar sektoral dapat berakibat kontra produktif dalam pembangunan pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan kesamaan pandangan untuk melihat tujuan yang lebih besar yakni pembangunan nasional di bidang lautan sebagaimana tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Berkenaan dengan hal tersebut, persoalan keterpaduan menjadi sangat penting sebagai solusi untuk meminimalisir agar tidak terjadi arogansi sektoral yang dapat merugikan kepentingan nasional di bidang lautan. b. Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan LautanDi bidang kelautan, persoalan keterpaduan dan atau koordinasi menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Ada beberapa aspek pengelolaan lautan yang menjadi isu besar yang mencakup aspek ekonomi, ekologi, oceanografi, jasa, pariwisata, sosial budaya, yang kesemuanya membutuhkan keterpaduan sebagai solusi untuk mengeleminir terjadinya ego-sektoral di kalangan beberapa instansi yang menangani urusan lautan. Di sisi lain, kondisi faktual menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan kelautan masih berjalan sendiri-sendiri. Beberapa institusi negara yang berkepentingan dengan pesisir dan laut, membuat kebijakan yang lebih bersifat sektoral. Harus diakui, bahwa saat ini belum ada mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan pembangunan pesisir dan lautan. Dampaknya penanganan kasus dalam pembangunan pesisir dan lautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan. Penyelesaian kasus pasir laut di Riau merupakan salah satu contoh konflik antar institusi negara, yakni Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Tridoyo dari berbagai sumber, diperoleh keterangan mengenai isu pokok dan masalah di bidang kelautan serta keterkaitan kelembagaan, seperti dalam tabel di bawah. Untuk melakukan keterpaduan atau koordinasi agar menghasilkan pengelolaan pesisir yang efektif, Morten Edvardsen mengemukakan ada 4 dimensi, yaitu :a. Horizontal integration of policies, management arrangements and development plans (amongst different sectors, services, and agencies);b. Vertical integration of policies, management arrangements and development plans (from national through to local levels of government);c. Territorial integration taking into account the interrelationships and interdependencies between terrestrial, estuarine, littoral, and offshore components of the zone;d. The consistent integration of policies, plan and management strategies through time.Secara lebih spesifik, Tommy Poerwaka, berpendapat bahwa untuk mewujudkan pengelolaan terpadu, maka lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan dan bagaimana cara memadukannya. Secara sederhana Tommy, berpendapat bahwa dua kegiatan atau lebih dapat dipadukan apabila memenuhi asas kompatibilitas yang terdiri dari tiga macam, yaitu complete compatibility, partial compatibility dan incompatibility. Complete compatibility terjadi apabila dua atau kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama; partial compatibility, terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda, dan incompatibility terjadi apabila dua kegiatan tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam ruang yang sama.Dalam praktek, kegiatan yang mudah dipadukan adalah kegiatan yang bersifat jasa (services) seperti pembuatan rencana dan program bersama, kegiatan yang agak sulit dipadukan adalah kegiatan untuk membuat atau merumuskan aturan main bersama (norm creation), dan kegiatan yang sulit dipadukan adalah kegiatan yang berkaitan dengan implementasi dari aturan main yang telah disepakati bersama berikut pengawasannya (implementation and rules observance). Apabila diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dapat dikatakan bahwa aspek perencanaan (planning) sumberdaya lautan termasuk kategori mudah, organizing atau merumuskannya agak sulit dan pelaksanaan dan pengawasan (actuating and controlling) sumberdaya lautan itu termasuk kategori sulit. Kendatipun demikian, ukuran mudah maupun sulit, pada dasarnya juga relatif dan bersifat kasuistis. Relatif, artinya sesuatu yang tampaknya mudah tetapi kenyataannya bisa saja justeru menjadi sulit, demikian pula sebaliknya, Kasuistis, artinya kesemuanya tergantung dari kasus posisinya masing-masing. Pada setiap tahapan dalam proses manajemen, senantiasa dijumpai kasus yang perlu diselesaikan. Pada tahap perencanaan misalnya, meningkatnya kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan di kawasan pesisir, baik tempat untuk memperoleh sumberdaya alam mineral maupun sebagai lokasi kegiatan ekonomi lainnya, telah meningkatkan terjadinya kasus konflik pemanfaatan ruang pesisir serta pengaruh buruk dari satu kegiatan terhadap kegiatan lainnya, oleh karena itu diperlukan perencanaan tata ruang pesisir yang baik, artinya merupakan kegiatan penentuan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang bagi pemanfaatan ruang dan sumber daya yang terdapat di dalamnya secara optimal.Dari penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa melalui pendekatan kelembagaan (institutional approach), dengan cara melakukan penataan wewenang dan kelembagaan, dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Penataan wewenang dan kelembagaan juga perlu diiringi dengan penyempurnaan prosedur atau mekanisme. Hal ini penting, mengingat di kawasan pesisir acapkali terjadi akumulasi berbagai kegiatan masyarakat baik secara pribadi maupun dalam bentuk badan hukum memanfaatkan kawasan pesisir, tak jarang juga dalam memanfaatkan kawasan pesisir membutuhkan izin dari Pejabat yang berwenang melalui instusi yang bertanggungjawab. Dalam hal yang sedemikian, hukum dalam arti wewenang dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir, harus dibuat sedemikian rupa agar dapat mendayagunakan potensi ekonomi yang ada di kawasan pesisir. Demikian pula, prosedur atau mekanisme dibuat sesedehana mungkin untuk memudahkan segenap lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dalam memanfaatkan potensi kawasan pesisir. Kesemuanya dilakukan dengan tetap menjaga agar konservasi dan perlindungan pesisir juga dapat dilakukan seoptimal mungkin.

Pengelolaan Wilayah Pesisir di Indonesia (Studi Kasus: Kepulauan Riau)OPINI| 31 October 2011 | 17:10Dibaca:884Komentar:00Riau sebagai salah satu Provinsi yang memiliki daerah perairan terluas di Indonesia. Wilayah Kepulauan Riau memiliki ciri khas tersendiri yaitu terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan dan pertemuan antara laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Karimata. Fisiografi kepulauan mempengaruhi ekosistem-ekosistem yang terbentuk di kawasan Kepulauan Riau yang didominasi oleh ekosistem laut dangkal. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir Kepulauan Riau berturut-turut dari darat adalah perairan laut dangkal, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, mangrove dan pantai. Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem subur yang terdapat di Kepulauan Riau.Dalam pengelolaannya, justru terdapat isu-isu permasalahan di wilayah pesisir Riau Kepulauan antara lain : Kerusakan terumbu karang Abrasi/erosi terjadi dipantai yang terbuka terhadap rambatan gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Abrasi yang intensif terjadi di pantai timur pulau Natuna saat bertiup angin muson utara timur laut. Abrasi yang intensif juga terjadi di pantai timur pulau-pulau kabupaten karimun, akibat adanya penambangan pasir laut di dasar perairan tersebut. Abrasi terjadi akibat penggalian yang intensifnya hantaman gelombang karena berkurangnya peredaman energi dan gelombang. Penurunan kualitas air di sekitar perairan Karimun kerena peningkatan kekeruhan akibat penambangan pasir. Peningkatan aktivitas kepelabuhan dan industri seperti pelayaran, konstruksi galangan kapal yang merupakan potensi pencemaran terutama di sekitar pantai baguan barat dan utara pulau Batam dari segulung, sekupang dan batu ampar. Overfishing Kerusakan habitat Penggunaan alat tangkap yang dilarang oleh pemerintah seperti : penggunaan bahan peledak, racun (Potassium sianida), Trawl,/ pukat harimau yang secara ekologi merusak kelestarian sumberdaya alam terutam terumbu karang. Dampak penambangan yang bersifat negatif misalnya pencemaran kualitas lingkungan, erosi, abrasi dan hilangnya pulau-pulau.Terumbu Karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama. Terumbu karang adalah struktur hidup yang terbesar dan tertua di dunia. Untuk sampai ke kondisi yang sekarang, terumbu karang membutuhkan waktu berjuta tahun. Terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Jenis-jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung:1. Pemanfaatan secara langsung oleh manusia adalah pemanfaatan sumber daya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung di dalamnya2. Pemanfaatan secara tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.Sejak dahulu penduduk yang tinggal di dekat pantai berhubungan dengan terumbu karang dalam kondisi yang harmonis. Namun dalam beberapa waktu terakhir ini, melalui adanya teknologi baru dan naiknya permintaan terhadap produksi laut menyebabkan terumbu karang menjadi obyek dari perusakan yang serius. Banyak ilmuwan melihat bahwa penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah manusia (anthropogenic impact), misalnya melalui kegiatan tangkap lebih (over-exploitation) terhadap hasil laut, penggunaan teknologi yang merusak (seperti potassium cyanide, bom ikan, muro ami dan lain-lain), erosi, polusi industri dan mismanajemen dari kegiatan pertambangan telah merusak terumbu karang baik secara langsung maupun tidak langsung. Akar permasalahan dari timbulnya ulah manusia untuk merusak terumbu karang adalah :1. Kependudukan dan Kemiskinan2. Tingkat Konsumsi Berlebihan dan Kesenjangan Sumber daya Alam.3. Kelembagaan dan Penegakan Hukum. Rendahnya Pemahaman tentang Ekosistem.4. Kegagalan sistem Ekonomi dan Kebijakan dalam Penilaian EkosistemKerusakan Terumbu Karang Akibat Pembangunan di Wilayah PesisirWilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keselamatan terumbu karang akibat sedimentasi dan pencemaran perairan laut. Pengerukan, reklamasi, penambangan pasir, pembuangan limbah padat dan cair, dan konstruksi bangunan, semuanya dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan menyebabkan pemutihan karang dalam kasus-kasus yang berat. Ancaman terhadap terumbu karang akibat pembangunan wilayah pesisir dianalisis berdasarkan jarak ke pusat pemukiman penduduk, luas area pusat pemukiman, tingkat pertumbuhan penduduk, dan jarak ke pangkalan udara, pertambangan, fasilitas pariwisata, dan pusat fasilitas selam.Kerusakan Terumbu Karang Akibat Pencemaran Pencemaran LautAktivitas di laut yang mengancam terumbu karang antara lain pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan bangkai kapal, pembuangan sampah dari atas kapal, dan akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal.Sedimentasi dan Pencemaran DaratPenebangan hutan, perubahan tata guna lahan, dan praktek pertanian yang buruk, semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun.EksploitasiPenangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak perubahan padaukuran, tingkat kelimpahan, dan komposisi jenis ikan. Hal itu disebabkan ikan turut berperan di dalam mencapai keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang. Penangkapanbesar-besaran akan menyebabkan terumbukarang menjadi rapuh terhadap gangguan dari alam maupun gangguan dari kegiatan manusia.Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang. Penangkapan ikan dengan racun akan melepaskan racun sianida ke daerah terumbu karang, yang kemudian akan membunuh atau membius ikan-ikan. Karang yang terpapar sianida berulang kali akan mengalami pemutihan dan kematian. Pengeboman ikan dengan dinamit atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan membunuh banyak sekali ikan yang ada di sekelilingnya.Perubahan Iklim GlobalIsu mengenai global warming yang banyak dibicarakan, berdampak besar pada terumbu karang. Peningkatan suhu permukaan laut telah menyebabkan pemutihan karang (bleaching) yang lebih parah dan lebih sering. Peristiwa-peristiwa alam seperti El Nino dan Tsunami juga menyebabkan kerusakan yang serius terhadap kelangsungan hidup terumbu karang.Dampak Dari Kerusakan Terumbu KarangAncaman terhadap kelangsungan hidup terumbu karang, mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar. Terumbu karang yang merupakan sentral dari ekosistem laut sangat mempengaruhi kehidupan di laut. Komposisi oksigen di laut menjadi berkurang. Banyak biota laut, baik hewan maupun tumbuhan akan ikut musnah jika terumbu karang menjadi rusak. Selain itu, di daerah-daerah pesisir pantai akan mudah terjadi abrasi, mengakibatkan perubahan lingkungan yang drastis dan membuat tidak adanya perlindungan terhadap daerah pantai. Berbagai pencemaran yang terjadi bukan hanya merusak laut tapi juga mengancam kesehatan manusia.Ikan yang ditangkap dengan menggunakan racun kemudian di konsumsi sangat membahayakan manusia.UPAYA-UPAYA UNTUK MENYELAMATKAN TERUMBU KARANG1. 1.Perlunya Kesadaran ManusiaDalam upaya menyelamatkan terumbu karang, yang paling utama adalah perlunya kesadaran dari manusia untuk menjaga dan melestarikan terumbu karang. Untuk itu, diperlukan pemberian informasi, pengetahuan, dan wawasan mengenai terumbu karang. Fungsi dari terumbu karang, manfaatnya, kondisi dari terumbu karang saat ini, dan apa yang akan terjadi jika kerusakan terumbu karang ini terus berlanjut. Dengan adanya pendidikan mengenai terumbu karang, maka akan ada rasa memiliki sehingga manusia bisa peduli dan melindungi terumbu karang.Beberapa hal berikut yang dapat dilakukan secara individu untuk mengurangi kerusakan terumbu karang : Terapkan prinsip 3R (reduce-reuse-recycle) dan hemat energi. Terumbu karang adalah ekosistem yang sangat peka terhadap perubahan iklim. Kenaikan suhu sedikit saja dapat memicu pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang yang besar dapat diikuti oleh kematian massal terumbu karang. Jadi apapun yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak global warming, akan sangat membantu terumbu karang. Buang sampah pada tempatnya, tidak membuang sampah ke sungai yang kemudian akan bermuara ke laut. Hewan laut besar sering terkait pada sampah-sampah sehingga mengganggu gerakannya. Misalnya sampah plastik yang transparan diperkirakan kadang dimakan oleh penyu karena tampak seperti ubur-ubur. Sampah plastik ini akan mengganggu pencernaanya. Bergabung dengan organisasi pecinta lingkungan. Saling berbagi ilmu, pendapat, dan berdiskusi. Membangun trend hidup ramah lingkungan. Bergabung dengan gerakan-gerakan sukarelawan, atau terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan. Bagi penyelam pemula atau yang sedang belajar sebaiknya melakukan penyelaman di perairan yang tidak ber-terumbu karang.1. 2.Peranan pemerintahKeikutsertaan pemerintah dalam melestarikan terumbu karang sangat penting. Pemerintah sebagai pengatur dan pengawas masyarakat. Pemerintah dapat menetapkan kebijakan dan peraturan peraturan untuk menyelamatkan terumbu karang. Membuat rencana-rencana perbaikan lingkungan yang sudah rusak dan mencegah kerusakan terumbu karang.Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga atau organisasiorganisasi lingkungan untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Misalnya melakukan kampanye-kampanye lingkungan hidup bekerjasama dengan media-media atau organisasi seperti National Geographic Indonesia, WWF Indonesia, Yayasan Reef Check Indonesia, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Yayasan TERANGI (Terumbu Karang Indonesia) dan lainnya untuk mengawasi kelangsungan hidup terumbu karang. Baik mengawasi eksploitasi karena ulah manusia, pertumbuhan terumbu karang yang sedang direstorasi, dan pengawasan daerah terumbu karang yang terancam di Indonesia.Upaya restorasi adalah tindakan untuk membawa ekosistem yang telah terdegradasi kembali menjadi semirip mungkin dengan kondisi aslinya sedangkan tujuan utama restorasi terumbu karang adalah untuk peningkatan kualitas terumbu yang terdegradasi dalam hal struktur dan fungsi ekosistem. Mencakup restorasi fisik dan restorasi biologi. Restorasi fisik lebih mengutamakan perbaikan terumbu dengan fokus pendekatan teknik, dan restorasi biologis yang terfokus untuk mengembalikan biota berikut proses ekologis ke keadaan semula.Pemerintah harus benar-benar merealisasikan upaya-upaya untuk menyelamatkan terumbu karang. Pemerintah perlu bersikap tegas mengenai kerusakan lingkungan yang terjadi dan berusaha dengan sebaik-baiknya melindungi terumbu karang yang juga merupakan aset negara.1. 3.Upaya Perlindungan Lingkungan Secara GlobalPerubahan perubahan lingkungan yang terjadi akan berdampak pada perubahan lingkungan secara global. Antara satu negara dengan negara lain memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kerusakan lingkungan. Banyak deklarasi-deklarasi yang disepakati oleh banyak negara dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Begitu pula dengan menyelamatkan terumbu karang. Telah banyak kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui oleh banyak negara untuk bekerja sama dalam menjaga lingkungan.Yang paling terakhir dilakukannya World Ocean Conference (WOC) atau disebut juga Manado Ocean Declare pada tanggal 11-15 Mei 2009 di Manado. Deklarasi ini disepakati oleh 61 negara, termasuk negara-negara Coral Triangle Initiative Summit yang merupakan kawasan yang kaya akan terumbu karang. Dalam deklarasi ini disepakati komitmen bersama mengenai penyelamatan lingkungan laut dari ancaman global warming dan komitmen program penyelamatan lingkungan laut secara berkelanjutan di tiap negara. Kampanye lingkungan hidup seperti ini sangat baik bagi upaya penyelamatan lingkungan. Apalagi dilakukan secara global yang menjaring banyak pihak sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan lebih baik lagihttp://edukasi.kompasiana.com/2011/11/01/pengelolaan-wilayah-pesisir-di-indonesia-studi-kasus-kepulauan-riau-408551.html