Upload
daniel-evans
View
45
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Adelina Vidya - Fkik
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA SKOR MONOFILAMEN
DENGAN ULKUS DIABETIKA
DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT BEKASI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Disusun oleh :
ADELINA VIDYA ARDIYATI
1110104000004
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SCHOOL OF NURSING
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF
JAKARTA
Undergraduate Thesis, June 2014
Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004
Correlation between Monofilament Score and Diabetic Ulcer in RUMAT
Clinic
xviii + 76 pages + 9 tables + 3 schemes + 2 pictures + 6 attachments
ABSTRACT
Diabetic ulcer is consider as main cause of low extremity amputation in diabetic
patient. The prevalence of diabetic ulcer as complication of diabetes mellitus
about 15%, and 85% non traumatic amputation is caused by diabetic ulcer that
wasn’t heal. Health professionals especially nurse should do the screening test as
an important thing to prevent amputation, repetition of diabetic ulcer, and to
identify risk of diabetic ulcer development.
The purpose of this study was to determine the correlation between monofilament
score and diabetic ulcer (degree of ulcer and frequencies of ulcer) in Clinic of
RUMAT. This research was an analytical quantitative research with cross
sectional design at α=0.05 level. Data collection was concluded on 35 respondents
using monofilament 10g. The result of this study showed that there is correlation
between monofilament score and degree of diabetic ulcer (p=0.002, r=-0.504), and
there is correlation between monofilament score and frequencies of diabetic ulcer
(p=0.019, r=-393).
The result is expected to be a consideration for health agencies to be able to do
screening test to identified cause of diabetic ulcer. Beside that treatment included
health education accurately in order to prevent increasing ulcer degree,
amputation, and repetition of ulcer.
Keywords: monofilament, diabetic ulcer, grade of ulcer, frequencies of ulcer.
Reference: 82 (years 1991-2014)
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Juni 2014
Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004
Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik Perawatan
Luka RUMAT
xviii + 76 halaman + 9 tabel + 3 bagan + 2 gambar + 6 lampiran
ABSTRAK
Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah pada
pasien dengan diabetes mellitus (DM). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami
komplikasi berupa ulkus dan 85% amputasi non traumatik disebabkan oleh ulkus
diabetika yang tidak sembuh Skrining yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
khususnya perawat untuk mengetahui penyebab ulkus diabetika merupakan hal
yang penting untuk mencegah terjadinya amputasi, dan kejadian ulkus berulang,
serta untuk mengidentifikasi resiko pengembangan ulkus diabetika.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara skor
monofilamen dan ulkus diabetika (derajat ullkus dan frekuensi terjadinya ulkus) di
Klinik RUMAT. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan
desain cross sectional dengan α=0.05. Pengambilan data dilakukan pada 35
responden dengan menggunakan alat monofilament 10g. Hasil analisis didapatkan
bahwa ada hubungan kuat antara skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika
(p=0.002, r= 0.504), serta ada hubungan moderat antara skor monofilamen dan
frekuensi terjadinya ulkus diabetika (p=0.019, r= 0.393).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi
kesehatan agar dapat melakukan identifikasi untuk mengetahui penyebab
terjadinya ulkus. Di samping itu, penanganan dan pendidikan kesehatan yang
tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan derajat ulkus, amputasi, dan
kejadian ulkus berulang.
Kata kunci: Monofilamen, Ulkus Diabetika, Derajat Ulkus, Frekuensi Ulkus.
Referensi: 82 (tahun 1991-2014)
ii
RIWAYAT HIDUP
Nama : Adelina Vidya Ardiyati
Tempat Lahir : Candimas, 16 November
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat :Gg. Keramat No.205 RT/RW 019/007 Ds. Candimas Kec.
Natar Kab. Lampung Selatan Prov. Lampung
Telepon : 0721-92403/ 085716138120
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. TK. Kartika Jaya : 1997-1998
2. SD N 1 Candimas, Lampung : 1998-2004
3. SMP N 1 Natar, Lampung : 2004-2007
4. SMA As-syafi’iyah 02 Bekasi : 2007-2010
5. S-1 Ilmu Keperawatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta : 2010-2014
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT”.
Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapid an
sistematik sehingga mudah dipahami oleh pemmbaca. Penulis menyadari bahwa
penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya
pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memcahkan
masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu,
segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis
terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.
Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang
tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp.And., selaku Dekan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep., M.KM, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan dan Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep.,M.Sc, selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu Keperawatan atas kemudahan-kemudahan, petunjuk, serta
motivasi yang diberikan.
3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD,
selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang
telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar
kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita
Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD selaku Dosen Penguji Skripsi, terimakasih
sebesar-besarnya atas saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
5. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima
kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing, menjadi tempat
berkeluh kesah, dan member motivasi selama 4 tahun duduk di bangku kuliah.
6. Segenap Staf Pengajar dan karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
iv
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada
saya selama duduk di bangku perkuliahan.
7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Bpk. Dadang Suharto yang merupakan Kepala Klinik RUMAT serta seluruh
Staff dan karyawan klinik RUMAT (Ka Riska, Ka Lia, Ka Elfira, Ka Silvi, Ka
Netti, Pa Anam) yang telah banyak membantu peneliti dalam melakukan
penelitian.
9. Orang tuaku tercinta, Bpk. Sukardi dan Ibu Elly Repliyati yang telah
mendidik, mencurahkan seluruh kasih dan sayang tiada tara, mendo’akan
keberhasilan anaknya, serta memberikan bantuan baik moril maupun materiil
kepada penulis selama ini. Tak lupa, kakak dan adikku tersayang Mba Aster,
Aa Danang, Adik Nabila, dan seluruh keluargaku yang selalu menghiburku
dan memberikan semangat tanpa pamrih. Untuk sepupu terbaikku Mas agung,
terimakasih banyak bantuan dan semangatnya.
10. Teman-teman PSIK 2010, teman-teman pelangiku kaka fitri, desi, nina, nela,
dan rusti yang selalu menjadi tempat curahan hati, bisa membuatku tertawa
lepas untuk sejenak menghilangkan penat. Untuk sahabat terbaikku mba fidah
dan ifan, terimakasih banyak. Serta semua pihak yang telah mendoakan
selama proses pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi para pembaca umumnya, dan
penulis pada khususnya.
Jakarta, Juni 2014
Adelina Vidya Ardiyati
v
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul…………………………………………………………………….. i
Pernyataan Keaslian Karya ………………………………………………………. ii
Abstract …………………………………………………………………………… iii
Abstrak ……………………………………………………………………………. iv
Pernyataan Persetujuan …………………………………………………………….v
Lembar Pengesahan ……………………………………………………………..…vi
Daftar Riwayat Hidup ……………………………………………………………..viii
Kata Pengantar ………………………………………………………………….…ix
Daftar isi ………………………………………………………………………......xi
Daftar Singkatan ……………………………………………………………….….xvi
Daftar Tabel……………………………………………………………………..…xv
Daftar Gambar …………………………………………………………………....xvi
Daftar Bagan……………………………………………………………………… xvii
Daftar Lampiran………………………………………………………………….. xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah …………………………………………………….. 6
C. Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………7
D. Tujuan Penelitian …………………………………………………...…... 8
E. Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 9
vi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1. Definisi Diabetes Mellitus …………………………………………. 10
2. Tipe Diabetes Mellitus……………………………………………… 10
3. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus ………………………………. 12
4. Komplikasi Diabetes Mellitus ………………………………………13
5. Penanganan Diabetes Mellitus …………………………………….. 14
B. Neuropati Diabetik
1. Definisi Neuropati Diabetik ……………………………………….. 14
2. Patogenesis Neuropati Diabetik……………………………………..16
3. Manifestasi Klinis Neuropati Diabetik ……………………………. 17
4. Diagnosis Neuropati Diabetik ……………………………………... 17
C. Ulkus Diabetika
1. Pengertian Ulkus Diabetika ………………………………………. 24
2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati………………….….25
3. Klasifikasi Ulkus Diabetika ………………………………………. 26
4. Tanda dan Gejala Ulkus Diabetika ……………………………….. 29
5. Proses Penyembuhan Ulkus ……………………………………….. 29
6. Faktor Resiko Ulkus Diabetika ……………………………………. 30
7. Pencegahan dan Pengolahan Ulkus Diabetika ……………………. 32
D. Kerangka Teori ………………………………………………………… 34
E. Penelitian Terkait ………………………………………………………. 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS
A. Kerangka konsep ………………………………………………………. 37
B. Hipotesa penelitian ……………………………………………………. 38
C. Definisi Operasional …………………………………………………… 39
BAB IV METODE PENELITIAN
vii
A. Desain Penelitian ………………………………………………………. 41
B. Populasi dan Sampel …………………………………………………… 41
C. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….. 42
D. Alat Pengumpul Data ………………………………………………….. 42
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. 44
F. Kerangka Kerja ………………………………………………………… 45
G. Pengolahan Data ……………………………………………………….. 46
H. Analisa Data …………………………………………………………… 47
I. Etika Penelitian ………………………………………………………… 48
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Profil RUMAT………………………………………………………….50
B. Hasil Uji Normalitas Data …………………………………………...…52
C. Hasil Analisis Univariat ………………………………………………..53
D. Hasil Analisis Bivariat …………………………………………………56
BAB VI PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat ……………………………………………………. .58
B. Analisis Bivariat ……………………………………………………….68
C. Keterbatasn Penelitian …………………………………………………74
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………….75
B. Saran……………………………………………………………………76
Daftar Pustaka
Lampiran
viii
DAFTAR SINGKATAN
ADA : American Diabetic Association
ADH : Anti Diuretic Hormone
AL : Asidosis Laktat
DepKes : Departemen Kesehatan
CNE : Clinical Neurological Examination
DM : Diabetes Mellitus
DNA : Denuclear Acid
DM : Diabetes Mellitus
EMG : Elektromiografi
HDL : High Density Lipid
HNK : Hiperosmolar Non Ketotik
IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus
KAD : Ketoasidosis Diabetik
MODY : Maturity Onset Diabetes of Young
NDS : Neuropathy Dissability Score
NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
PJK : Penyakit Jantung Koroner
PTM : Penyakit Tidak Menular
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
TBC : Tuberculosis
UT : University of Texas
VPT : Vibration Perception Threshold
WHO : World Health Organization
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Klasifikasi Derajat Luka Menurut University of Texas
3.1 Definisi Operasional
4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus
5.1 Hasil Uji Normalitas Data
5.2 Distribusi Frekuensi variabel Karakteristik Responden
di Klinik RUMAT April 2014
5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika
di Klinik RUMAT April 2014
5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat
Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014
5.5 Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus pada Pasien Ulkus
Diabetika di Klinik RUMAT April 2014
5.6 Korelasi antara Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika
di Klinik RUMAT April 2014
28
38
48
52
53
54
55
56
56
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen 23
2.2 Lokasi Test Monofilamen 23
xi
DAFTAR BAGAN
Halaman
2.1 Kerangka Teori 33
3.1 Kerangka Konsep 36
4.1 Kerangka Kerja 44
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumen Perizinan
Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian dan Lembar Observassi
Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Data
Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Univariat
Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Bivariat
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu Penyakit Tidak Menular
(PTM). Perhatian terhadap Penyakit Tidak Menular (PTM) ini makin hari makin
meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat.
Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) menyatakan PTM
menyebabkan hampir 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Pada
tahun 2020 angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 73% kematian dan
60% kesakitan di seluruh dunia (WHO, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 menunjukkan adanya peningkatan kasus PTM secara cukup
bermakna, hal ini menandakan adanya double burden (Depkes, 2009).
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-
kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti
Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, Diabetes Mellitus
(DM), dan lain-lain (Soegondo, 2004).
DM merupakan salah satu PTM dan jumlah pasien DM di dunia mencapai
246 juta orang (WHO, 2007). Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah
pasien DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat, dengan
prevalensi 8,6% dari total penduduk (WHO, 2005). Secara global, WHO
menyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 1,1 juta penduduk mengalami
kematian akibat DM dengan prevalensi sekitar 1,9% dan pada tahun 2007
1
2
dilaporkan bahwa terdapat 246 juta pasien DM, 6 juta kasus baru DM dan 3,5
juta penduduk mengalami kematian akibat DM. Dari seluruh kematian akibat
DM di dunia, 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang.
Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung
berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat.
Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah pasien DM di Indonesia lebih dari 5 juta
pasien (Depkes RI, 2009). Prevalensi DM di Indonesia diperkirakan pada tahun
2030 mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Proporsi komplikasi
menahun DM di Indonesia tahun 2007 terdiri atas neuropati (60%), penyakit
jantung koroner (20,5%), ulkus diabetika (15%), retinopati (10%), dan nefropati
(7,1%) (Hastuti, 2008).
Pada pasien DM baik itu tipe I maupun tipe II terdapat dua jenis
komplikasi vaskuler yang mungkin timbul, yaitu komplikasi makrovaskuler dan
komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler ini mencakup penyakit
arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer. Sementara
komplikasi mikrovaskuler mencakup retinopati, nefropati, dan neuropati diabetika
(Smeltzer and Bare, 2001). Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka
pasien DM lima kali lebih besar untuk timbul gangren, tujuh belas kali lebih besar
untuk memiliki kelainan ginjal, dan dua puluh lima kali lebih besar untuk
terjadinya kebutaan (Permana, 2008). Berdasarkan penelitian Roza (2008) di
RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 terdapat 159 pasien DM yang
mengalami komplikasi. Proporsi pasien DM yang mengalami komplikasi yaitu
pasien DM yang mengalami Gangren (26,4%), hipertensi (17,6%), TBC (12,0%),
PJK (9,4%), nefropati diabetik (8,8%), retinopati diabetik (8,2%), hipoglikemia
3
(7,5%), koma diabetik (5,0%), neuropati diabetika (3,1%), dan infeksi saluran
kemih (2,0%).
Kira-kira 15% pasien dengan DM mempunyai tanda dan gejala neuropati,
hampir 50% juga mempunyai gejala nyeri neuropatik dan gangguan hantaran
saraf. Neuropati paling sering dijumpai pada pasien DM yang berumur lebih dari
50 tahun, jarang dijumpai pada usia dibawah 30 tahun dan sangat jarang pada
anak-anak (Adams dan Victor, 2005). Neuropati merupakan komplikasi utama
dari DM yang mengakibatkan tingginya angka morbiditas. Prevalensi pasti tidak
diketahui dan dilaporkan bervariasi mulai dari 10% hingga 90% pada pasien DM
bergantung kepada kriteria dan metode yang digunakan. Hubungan yang kuat
antara hipergikemi dan perkembangan dari neuropati dilaporkan pada banyak
studi (Fazan dkk., 2010).
Deteksi dini neuropati diabetik sangat penting pada pasien DM. Ulkus
diabetika merupakan salah satu komplikasi DM yang ditandai dengan adanya
penyulit vaskuler (mikrovaskuler dan makrovaskuler) ditambah dengan neuropati
perifer dan kemudian infeksi sehingga terjadi ulkus diabetika (Soegiarto,
1998).Tiga faktor resiko terjadinya nekrosis jaringan pada ulkus diabetika yaitu
neuropati, iskemi, dan infeksi, diantaranya yang paling sering adalah neuropati
dan iskemi, sedangkan infeksi sebagai akibat lebih lanjut kedua faktor tersebut
(Edmonds dan Amanda, 1997). Neuropati ditandai rasa panas, mati rasa, rasa
kering, kadang sakit pada kaki dimana pulsasi arteri masih teraba. Ini berlawanan
dengan iskemi pada kaki yang teraba dingin dan pulsasi arteri tidak teraba sampai
timbul komplikasi tidak terasa sakit saat terjadi luka pada daerah yang mendapat
tekanan bahkan terjadi nekrosis dan gangren (Jennifer, 1998 dan Jude 1998).
4
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik DM berupa
luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai dengan kematian jaringan
setempat (Robert G, 2002). Prevalensi pasien ulkus diabetika di Amerika Serikat
(2010) sebesar 15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi pasien DM dan
merupakan sebab utama perawatan pasien DM di rumah sakit. Penelitian kasus
kontrol di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 16% perawatan DM dan 23%
total hari perawatan adalah akibat ulkus diabetika dan amputasi kaki karena ulkus
diabetika sebesar 50% dari total amputasi kaki. Sebanyak 15% pasien DM akan
mengalami persoalan kaki suatu saat dalam kehidupannya (Djokomoeljanto,
1997).
Amputasi pada ekstermitas bawah sering diperlukan sebagai akibat
penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa DM), gangren,
trauma, deformitas kongenital, atau tumor ganas. Dari semua penyebab tadi,
penyakit vaskuler merupakan penyebab tertinggi amputasi ekstermitas bawah.
Amputasi dapat dianggap sebagai jenis pembedahan rekonstruksi drastis yang
digunakan untuk menghilangkan gejala, memperbaiki fungsi, dan menyelamatkan
atau memperbaiki kualitas hidup. Kehilangan ekstermitas memerlukan
penyesuaian besar, pasien harus menyesuaikan diri dengan adanya perubahan citra
diri permanen, yang harus diselaraskan sedemikian rupa sehingga tidak akan
menghilangkan rasa diri berharga (Brunner & Suddarth, 2001).
Berdasarkan hasil tesis yang disusun oleh Supriyanto pada tahun 2001di
RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan judul “Hubungan Antara Derajat Kaki
Diabetika Dengan Neuropati Perifer Dan Iskemi Perifer Pada Pasien Diabetika
Mellitus Tipe 2” disimpulkan bahwa semakin berat neuropati perifer semakin
5
berat derajat kaki diabetika, namun dalam penelitian ini menggunakan alat
Elektromiogram ( EMG) sebagai instrumen untuk menentukan derajat keparahan
neuropati. Diagnosis neuropati tidak hanya dapat dilakukan menggunakan alat
EMG, belakangan ini mulai banyak berkembang alat atau metode-metode untuk
melakukan skrining dan diagnosis dini neuropati, diabetika seperti Clinical
Neurological Examination (CNE), tes vibrasi dengan garputala, maupun test
monofilamen (Misnadiarly, 2006; Waspadji, 2006; Djokomoeljanto, 1997).
Dalam penelitian ini akan menggunakan monofilamen 10g sebagai
instrumen untuk deteksi dini neuropati, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Bambang Adi Setyoko pada tahun 2003 tentang “Nilai Diagnostik
Monofilamen 10 g dan skor Clinical Neurological Examination (CNE) Pada
Polineuropati Diabetika” disimpulkan bahwa monofilamen 10 g memiliki
sensitifitas yang baik bila digunakan untuk skrining dan diagnosis dini
polineuropati diabetika.
Kehilangan sensasi proteksi pada periferal neuropati merupakan penyebab
umum pada pasien ulkus diabetika. Penggunaan tes monofilamen adalah cara
terbaik untuk mengkaji neuropati diabetik. Pasien dengan sensasi kaki normal
biasanya dapat merasakan sentuhan monofilamen, tetapi pada pasien yang diduga
memiliki penurunan atau kehilangan sensasi proteksi tidak dapat merasakan
sentuhan monofilamen. Monofilamen merupakan alat yang mudah, tidak mahal,
dan tidak menimbulkan rasa nyeri, dan dapat digunakan pada pasien DM sebagai
screening awal untuk peripheral neuropati (Shrikhande, 2012). Tes ini dapat
memeriksa fungsi reseptor Merkel dan Meissner, dan hubungannya dengan
serabut saraf diameter besar, pasien DM memiliki resiko tinggi terjadinya masalah
6
penurunan atau kehilangan sensasi pada serabut saraf tersebut (Perkins BA, 2001
dan Boulton, 1998).
Menurut peneliti, belakangan ini seiring dengan meningkatnya frekuensi
kejadian penyakit DM yang disertai komplikasi ulkus diabetika maka perhatian
terhadap penanganan ulkus diabetika semakin meningkat, mulai banyak
berkembang praktik-praktik keperawatan mandiri, salah satunya yaitu rumah
perawatan luka diabetika “RUMAT” yang berpusat di Bekasi. Berdasarkan hasil
studi pendahuluan melalui wawancara kepada salah satu perawat di klinik
RUMAT , sekitar tujuh puluh persen pasien datang dalam keadaan luka sudah
stadium lanjut atau derajat luka dua dan lebih. Sangat penting dan utama dalam
hal menentukan faktor resiko terjadinya ulkus, hal ini merupakan strategi
pencegahan ulkus, menghindari ulkus berulang, dan mencegah terjadinya
amputasi pada pasien ulkus diabetika. Perawat memiliki peran penting untuk
melakukan pengkajian. Banyak test yang dapat dilakukan untuk mengetahui
penyebab timbulnya ulkus diabetika, salah satu testnya yaitu menggunakan test
monofilamen untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah penurunan
sensorik atau tidak sebagai penyebab dari timbulnya ulkus diabetika.
B. Rumusan Masalah
Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah
pada pasien dengan DM (Inlow, 2000). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami
komplikasi berupa ulkus diabetika dalam hidupnya dan 85% amputasi non-
traumatik di sebabkan oleh ulkus diabetika yang tidak sembuh (Kumar, 1991
dalam Britis Columbia 2012). Kejadian ulkus diabetika ini adalah hasil dari
7
kontribusi banyak faktor, tapi penyebab tersering adalah periferal neuropati yang
berhubungan dengan hilangnya sensasi proteksi, oleh karena itu tenaga kesehatan
harus mengkaji adanya periferal neuropati pada pasien untuk mengidentifikasi
resiko kekambuhan atau pengembangan ulksu diabetika (Meijer, 2005).
Identifikasi neuropati pada pasien DM sangat penting, bahkan dianjurkan
untuk melakukan evaluasi berkala. Bukti penelitian klinis menunjukkan manfaat
strategi skrining dan deteksi dini dalam menurunkan resiko ulkus diabetika dan
amputasi kaki. berkaitan dengan hal itu, diperlukan alat diagnosis yang sederhana,
murah, dan sensitif untuk mendeteksi dan mendiagnosis neuropati diabetika,
khususnya dalam pemakaian klinis praktis sehari-hari (Perkins, 2001 dan Vinik,
2000). Akhir-akhir ini, penggunaan monofilamen 10g telah banyak dikembangkan
para peneliti dan digunakan untuk tujuan skrining dan diagnosis neuropati
diabetika.
Sejauh ini belum pernah dilakukan skrining untuk mengetahui penyebab
utama terjadinya ulkus diabetika pada pasien yang melakukan perawatan luka di
klinik RUMAT. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti apakah ada hubungan antara skor monofilamen dengan ulkus
diabetika pada pasien di klinik RUMAT.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik RUMAT
(usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus diabetika)?
2. Bagaimana skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik
RUMAT?
8
3. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus
diabetika di klinik RUMAT?
4. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi terjadinya
ulkus di klinik RUMAT?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara skor monofilamen terhadap ulkus diabetika
di klinik perawatan luka RUMAT.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik
RUMAT (usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat
ulkus diabetika).
b. Menganalisis skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik
RUMAT.
c. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus
diabetika di klinik RUMAT.
d. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi
ulkus di klinik RUMAT.
9
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Bagi peneliti, yaitu untuk menambah pengetahuan dan pengalaman meneliti
hubungan antara skor monofilamen terhaadap kejadian ulkus diabetika.
2. Bagi peneliti lain, yaitu sebagai penambah informasi dan bahan dasar untuk
melakukan penelitian tentang pengkajian penyebab ulkus diabetika dalam
ruang lingkup yang lebih besar.
3. Bagi pelayanan keperawatan, yaitu sebagai bahan masukan dan informasi
untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan yang komperhensif dan
paripurna kepada pasien ulkus diabetika.
4. Bagi ilmu keperawatan, yaitu sebagai masukan untuk perkembangan ilmu
keperawatan khususnya di bidang Keperawatan Medikal Bedah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIABETES MELLITUS
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah suatu
hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam
darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (Smeltzer & Bare,
2001).
Diabetes mellitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa
darah yang melebihi normal (hiperglikemia) yang ditandai dengan ketiadaan
absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin
(Corwin, 2009).
2. Tipe DM
Ada beberapa tipe DM yang berbeda, penyakit ini dibedakan berdasarkan
penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama
adalah:
a. Tipe I: Diabetes Mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM)
1
11
Kurang lebih 5% hingga 10% pasien mengalami DM tipe I, yaitu
diabetes yang tergantung insulin. Pada DM jenis ini, sel-sel beta
pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin
dihancurkan oleh suatu proses autoimun. Sebagai akibatnya,
penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa
darah. DM tipe satu ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya
terjadi pada usia 30 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).
b. Tipe II: Diabetes Mellitus tidak bergantung insulin (Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM))
Kurang lebih 90% hingga 95% pasien mengalami DM tipe II, yaitu
diabetes yang tidak tergantung insulin. DM tipe II terjadi akibat
penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). DM tipe II
pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan darah tetap
terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat
hipoglikemik oral. Pada sebagian pasien DM tipe II, obat oral tidak
mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan
penyuntikan insulin. DM tipe II paling sering ditemukan pada individu
yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Smaltzer & Bare, 2001).
c. DM Gestasional yaitu diabetes mellitus yang terjadi selama kehamilan.
d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau gejala lainnya, menurut
ADA (American Diabetic Association) 2007 :
1) Defek genetik fungsi sel beta : Maturity Onset Diabetes of the
Young (MODY) 1,2,3 dan Denuclear Acid (DNA) mitokondria.
2) Defek genetik kerja insulin.
12
3) Penyakit eksokrin pankreas, seperti pankreasitis, pankreatomi,
pankreatopati fibrokalkulus.
4) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, hipertiroidisme.
5) Karena obat/zat kimia: pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, tiazid, dilantin, interferon, alfa dan lain-lain.
6) Infeksi: Rubella Congenital,cyitomegalovirus.
7) Sebab imunologi yang jarang: antibody insulin
8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: Sindrom Down,
Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, dan lain-lain.
3. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis panyakit DM menurut Corwin (2009) adalah sebagai
berikut:
a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin) karena air mengikuti glukosa
yang keluar melalui urin.
b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar
dan keluarnya dan keluarnya urin yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi instrasel mengikuti penurunan gradien konsultasi ke plasma
anti diuretik (ADH-vasopresin) dan menimbulkan rasa haus.
c. Polifagi (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pasca absorbsif yang
kronis, katabolisme protein dan lemak, kelaparan relatif sel, sering
terjadi penurunan berat badan tanpa terapi.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel utnuk menggunakan glukosa
13
sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis juga
menyebabkan kelelahan.
e. DM tipe 1 mungkin disertai rasa mual dan muntah.
4. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan
hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, Keto Asidosis Diabetik
(KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL).
Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg% dan
gejala yang muncul yaitu palpitasi, takikardi, mual, muntah, lemah, lapar
dan dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Hiperglikemi yaitu
apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg% dan gejala yang muncul
yaitu poliuri, polidipsi pernafasan kussmaul, mual, muntah, penurunan
kesadaran sampai koma (Soewondo,2006).
KAD menempati peringkat pertama komplikasi akut disusul oleh
hipoglikemia. Komplikasi akut ini masih merupakan masalah utama,
karena angka kematiannya cukup tinggi. Kematian akibat KAD pada
pasien DM tahun 2003 di negara maju berkisar 9 - 10%. Data komunitas
di Amerika Serikat, Rochester dikutip oleh Soewondo menunjukkan
bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk
semua kelompok umur. Hasil pengamatan di Bagian Penyakit Dalam
RSCM selama 5 bulan (Januari - Mei) tahun 2002, terdapat 39 pasien
KAD yang dirawat dengan angka kematian 15% (Soewondo, 2006).
14
b. Komplikasi Metabolik Kronik
Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh
darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik) (Waspadji, 1999).
Angiopati diabetik untuk memudahkan dibagi menjadi dua yaitu:
makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler),
yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi
sekaligus bersamaan. Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah
sebagai berikut:
1) Mikrovaskuler :
a) Retinopati diabetik.
b) Nefropati.
c) Neuropati diabetik.
2) Makrovaskuler :
a) Penyakit jantung koroner.
b) Penyakit vaskuler perifer.
c) Penyakit serebrovaskuler.
5 Penanganan
Tujuan pengelolaan DM dibagi atas tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan
atau gejala DM sehingga pasien dapat menikmati hidup sehat dan nyaman,
sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi
baik pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat
menekan angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).
a. Edukasi atau penyuluhan
15
b. Diet DM
c. Latihan fisik (Mirza, 2008; Waspadji, 1997)
B. Neuropati Diabetik
1. Definisi
Neuropati Diabetik merupakan kondisi heterogen dengan spektrum
kelainan yang luas, dan perkembangannya disebabkan oleh DM itu sendiri
atau berbagai faktor terkait yang memperberat penyakitnya. Definisi neuropati
perifer diabetik adalah terdapatnya gejala-gejala dan atau tanda-tanda dari
disfungsi saraf tepi pada pasien DM, tanpa ada penyebab lainnya (Vinik,
2000).
Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang sering dijumpai.
Kekerapan neuropati diabetik akan meningkat sesuai dengan lamanya
mengidap DM dan hampir 50% akan mengalami polineuropati diabetik
setelah 25 tahun (Greene et al.,1997). Susunan saraf sangat rentan terhadap
komplikasi DM. Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang khas,
sehingga neuropati diabetik dimasukkan dalam triopati DM, bersama nefropati
dan retinopati. Gambaran neuropati diabetik sangat beragam, mulai dari
onsetnya akut, reversible sampai insidius, tetapi progresif dan kemudian
menjadi irreversible (Waspadji, 1997; Soegiarto et al., 1998).
Beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan adanya neuropati
diabetik (Djokomoeljianto, 2001; Soegondo 1999) :
a. Sorbitol pathway
b. Oklusi vasa vasorum
16
c. Penurunan mioinoitol
d. Menurunnya konduksi saraf
e. Perubahan sintesis dan perbaikan mielin sensorik dan motorik neuropati
f. Kelainan autonomik atau faktor pertumbuhan saraf
2. Patogenesis
Patogenesis neuropati diabetik merupakan suatu interaksi metabolik dan
faktor iskemik. Hiperglikemia mengakibatkan aktivasi polyol pathway, auto-
oksidasi glukosa, dan aktifasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap
perkembangan neuropati diabetik. Perubahan metabolisme ini, menyebabkan
tidak berfungsinya sel endotelial di pembuluh darah,dan berhubungan dengan
abnormalitas sel Schwann dan metabolisme axonal. Hiperglikemia
menyebabkan hipoksia endoneural oleh karena peningkatan resistensi
pembuluh darah endoneural. Hipoksia endoneural merusak transportasi axon
dan mengurangi aktivitas saraf sodium-potassium-ATPase. Gangguan ini
mengakibatkan atrofi pada axon dan gangguan konduksi saraf. (Reajeev,
2012).
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari neuropati menurut Waspadji (2007), yaittu:
a. Neuropati Motorik
Keluhan yang menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat lelah.
Pada pemeriksaan kekuatan otot terjadi penurunan atau kelemahan oleh
karena terputusnya akson baik secara lokal atau difusi dan terjadi
demielinisasi selektif sehingga terjadi hambatan pada kondusi hantaran
17
saraf. Tanda objektif yang timbul berupa, menurun atau hilangnya reflek
tendo achiles dan sendi lutut (patela).
b. Neuropati Sensorik
Keluhan berupa: parestase, berarti adanya rasa kesemutan atau
perasaan tebal-tebal. Selain itu ada rasa terbakar, diestesi yaitu nyeri saat
diraba, hiperalgesia dimana nilai ambang nyeri turun, hiperestesi berarti
bila disentuh reaksinya terasa nyeri.
c. Penumpulan Saraf Sensorik
Penumpulan saraf perifer, penurunan pengecap dan sebagainya, dapat
juga gangguan rasa nyeri dan suhu terutama daerah sarung tangan dan
kaki.
4. Diagnosis Neuropati Diabetik
Sampai saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti cara terbaik untuk
deteksi dan diagnosis neuropati diabetik, khususnya untuk kepentingan
klinis-praktis dalam praktek sehari-hari. Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis neuropati diabetik
menurut Djokomoeljianto (1997), Misnadiarly (2006), dan Waspadji (2006)
adalah:
a. Gejala klinis neuropati
Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan atau
parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan distal dan
atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas
pada kaki dan tangan, dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan
ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala
18
otonom (Ginsberg, 2008). Sedangkan menurut Baradero (2009) meliputi,
riwayat rasa nyeri, kesemutan ekstermitas, tekanan darah ortostatik,
kekuatan otot, refleks, fungsi sensori.
Manifestasi klinis neuropati diabetik bergantung dari jenis serabut
saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena
lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau
difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya
menjadi bervariasi diantaranya : Kesemutan, kebas, tebal, mati rasa,
rasa terbakar, seperti disobek (Sudoyo, 2007).
b. Clinical Neurological Examination (CNE)
Akhir-akhir ini pemeriksaan CNE dipergunakan untuk deteksi
maupun diagnosis polineuropati diabetik dalam praktek klinis sehari-
hari. CNE merupakan salah satu modifikasi dari pemeriksaan
Neuropathy Dissability Score (NDS), oleh karena NDS dianggap lebih
rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE
meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, dan refleks
pergelangan kaki, serta pada masing-masing pemeriksaan diberikan skor
tertentu. Pemeriksaan CNE meliputi tes pin prick, reflex tendo Achilles,
dan sentuhan ringan (kapas) (Valk GD et al.,1998).
c. Tes vibrasi dengan garputala
Tes vibrasi dengan garputala dapat dipakai sebagai alternatif untuk
menilai sensasi getar bila alat Biotesiometer untuk menilai Vibration
Perception Threshold (VPT) tidak tersedia (Boulton, 1998). Tes vibrasi
merupakan salah satu langkah awal dalam pemeriksaan somatosensorik
19
(Harrison, 1999). Pemeriksaan sensasi primer dengan tes vibrasi ini
untuk melihat fungsi mekanoreseptor, terutama korpus pacini, yang
mungkin pada pendeerita DM mengalami masalah pada fungsi saraf ini
(Harrison, 1999).
Rasa vibrasi diperiksa dengan garpu tala, lebih baik garpu tala
yang besar yang memberikan vibrasi 128 Hz dalam satu detik.
Kelemahan vibrasi dengan menggunakan garpu tala ini cukup lambat
untuk penggunaan kuantitatif karena membutuhkan antara 15 dan 20
detik untuk merusak dibawah ambang penerimaan. Vibrasi biasanya
diperiksa pada tulang yang menonjol, terutama maleolus pada
pergelangan kaki, patella, spina iliaca interior, processus spinosus dari
corpus vertebra, sendi metacarpal-falangeal (ruas jari), processus
styloideus dari ulna, dan siku. Tempat kontrol tes vibrasi adalah
sternum dan dahi. Pemeriksa dapat membandingkan ambang pada
tempat yang ditunjuk pada pasien dengan diri sendiri. Perkiraan kasar
hilangnya derajat rasa vibrasi dapat dilakukan dengan menghitung detik
dimana pemeriksa dapat merasakan rasa vibrasi lebih lama dari pada
pasien. pasien harus jelas bahwa perhatian diarahkan pada rasa vibrasi
dan bukan hanya tekanan ujung garpu tala (Delf, 1996).
d. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk
memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam
gelombang potensial yang ditimbulkan baik oleh saraf maupun otot.
20
melalui prosedur-prosedur stimulasi listrik dan teknik perekaman dapat
mempelajari transmisi dan eksitabilitas saraf (Endang, 1999)
. Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan
memberikan stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya, untuk
mengukur kecepatan hantaran saraf motorik yaitu dengan merangsang
saraf motorik pada dua tempat disebelah proksimal dan distal.
Kerusakan pada akson yang berat, mengakibatkan aksi potensial tidak
dapat ditimbulkan (Vinik,2000; Endang,1999). Evaluasi saraf sensorik
dilakukan dengan memberikan stimulus pada saraf sensoris. Aksi
potensial saraf sensoris dapat direkam dengan elektrode permukaan
yang dililitkan pada jari. pengukuran kecepatan hantaran saraf sensoris
dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektrode
perekam dibagi dengan latensi. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan
dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan sampai akson
terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga
timbul potensial aksi (Endang, 1999).
Elektromiograf mendeteksi potensi listrik yang dihasilkan oleh sel
otot ketika otot aktif dan ketika sedang beristirahat. Pada neuropati,
akan didapatkan karakteristik seperti: Amplitudo potensial aksinya dua
kali normal disebabkan peningkatan jumlah serabut saraf per motor
unit, peningkatan durasi potensial aksi, penurunan jumlah motor unit
dari otot (Boulton, 2004).
21
e. Test Monofilamen
Beberapa prinsip umum mengenai pemeriksaan sensorik: Pertama,
sebaiknya diingat bahwa pemeriksaan tergantung pada respon pasien
yang subjektif; karena itu, membedakan respon tergantung pada tingkat
kesadaran, motivasi, dan intelegensi pasien dan juga keterampilan
dimana pemeriksa memberikan tugas yang jelas. Kedua, pemeriksaan
sensorik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang lelah. Ketiga,
pemeriksaan sensorik pada pasien yang tidak mempunyai keluhan
neurologik sebaiknya cukup singkat. Keempat, pasien diperiksa dengan
mata tertutup selama pemeriksaan sensasi primer (Delf, 1996).
Monofilamen 10g telah dipublikasikan secara luas sebagai salah
satu alat deteksi neuropati diabetik. Alat ini dipublikasikan sebagai
sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi
hilangnya sensasi proteksi. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik
yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen, sehingga akan
mendeteksi kelainan sensoris yang mengenai serabut saraf besar
(Armstrong, 2000).
Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran.
Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein
monofilament, dengan variasi ukuran 1 g, 10 g, dan 75 g. Menurut
Levin ME dkk (1991), ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai
adalah 10 g dengan ketebalan 5,07. Tes ini memeriksa fungsi reseptor
Merkel dan Meissner dan hubungannya dengan serabut saraf diameter
besar (Perkins BA, 2001 dan Boulton,1998).
22
Beberapa penelitian memakai cara dan interpretasi yang berbeda-
beda dalam penggunaan monofilamen. Pemeriksaan monofilamen pada
penelitian ini menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh
British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada
tahun 2011, yaitu:
1) Menggunakan monofilamen ukuran 10g (5,07)
2) Meminta pasien membuka kaos kaki dan sepatunya.
3) Menjelaskan prosedur kepada pasien dan tunjukkan kepada pasien
monofilamen-nya.
4) Sebelum melakukan pemeriksaan pada kaki responden,
monofilamen diuji cobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan
pasien dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen.
5) Melakukan pemeriksaan pada salah satu tungkai yang memiliki
ulkus dengan kedua mata responden tertutup.
6) Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa,
penekanan dilakukan selama 2 detik, kemudian segera ditarik.
Gambar 2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen
23
7) Gunakan monofilamen pada 10 titik lokasi di kaki kiri dan kanan
seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.2 Lokasi Test Monofilamen
- Pemilihan titik lokasi yang acak akan mencegah pasien dari
perkiraan area selanjutnya.
- Jika terdapat ulkus, kalus, atau skar di kaki, gunakan
monofilamen pada area yang berdekatan.
- Jika pasien telah mengalami amputai, test dilakukan pada titik
lokasi yang memungkinkan saja.
8) Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan, jika
pasien terindikasi tidak merasakan monofilamen.
9) Penilaian hasil pemeriksaan :
- Positif: dapat merasakan tekanan monofilamen dan dapat
menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen di
angkat, pada 2-3 kali pemeriksaan.
- Negatif: tidak dapat merasakan tekanan atau tidak dapat
menunjukkan lokasi dengan tepat, pada 2 dari 3 kali
pemeriksaan.
24
10) Hasil positif skor =1, hasil negatif skor = 0. Sehingga skor total
pada satu kaki bervariasi antara 0-10.
11) Dalam mendokumentasikan hasil test monofilamen, jika tertulis 6/9
maka dapat diartikan bahwa pasien dapat merasakan sentuhan
monofilamen pada enam titik lokasi dan hanya dilakukan test pada
sembilan titik area dikarenakan ibu jari pasien yang telah
diamputasi.
C. Ulkus Diabetika
1. Pengertian
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes
mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat (Frykberb, 2002). Ulkus diabetika merupakan luka
terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati
sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat
luka pada pasien yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi
infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Frykberb, 2002;
Misnadiarly, 2006; Riyanto, 2007).
2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati
Pada pasien DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan
akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
25
refleks otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa,
apabila pasien DM tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi
ulkus diabetika (Waspadji, 2007). Terjadi kerusakan saraf somatis dan
otonom, tetapi tidak ada gangguan sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering,
hangat, kesemutan, mati rasa, udem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki
teraba baik (Jeffcoate 1995, Gibbons 1995 ).
Neuropati pada DM dapat mengenai pada bagian sensorik, motorik,
maupun otonom. Patogenesis terjadinya neuropati diabetik masih penuh
kontroversi, teori yang banyak dianut adalah adanya defisiensi insulin dan
hiperglikemi yang menyebabkan:
a. Insufisiensi vaskuler pada sistem syaraf tepi.
b. Kelainan metabolisme molekuler dari sistem syaraf perifer dan
medulla spinalis.
Dilaporkan pula bahwa pembuluh darah intraneural mengalami penebalan
dinding dan penyempitan lumen seperti pada angiopati umumnya sehingga
terjadi iskemi syaraf dan terjadilah neuropati. Gangguan metabolisme pada
dendrit dan akson memberikan penjelasan lain, dimana gangguan metabolisme
lipid dan protein yang berfungsi mempertahakan keutuhan syaraf termasuk
produksi neurotransmitter berkurang sehingga terjadi gangguan konduksi.
(Wisramayasa,1997 ; Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).
Proses degenerasi pada akson akan terus berlangsung terutama pada pasien
DM yang tidak terkontrol. Keadaan berkurangnya sensibilitas akibat
degenerasi seluler dari akson menyebabkan kurang pekanya pasien DM
terhadap rangsang nyeri, panas, trauma mekanis dan sebagainya, sehingga
26
kulit telapak kaki akan terluka tanpa rasa, dan bila terjadi infeksi maka akan
terjadi ulkus akibat neuropati (Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).
3. Klasifikasi Derajat Ulkus Diabetika
Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya
menentukan perbedaan luka (tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya
neuropati, infeksi, dan iskemi) (Livingston, 2008). Penggunaan sistem
klasifikasi derajat ulkus diabetika yang memberikan keseragaman gambaran
dan penjelasan luka akan membantu dalam merencanakan tindakan dan
memprediksi jangka waktu penyembuhan atau rencana amputasi (Livingston,
2008). Ada beberapa macam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang
sering digunakan: Sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, Sistem
klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT), sistem klasifikasi
luka SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation) yang
merupakan hasil penelitian dari Department of Diabetes and endocrinology at
the University of Nottingham, Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound
Classification System (Wagner, 1981; Moffat, 2006; Sussman, 2007; Alan,
2009).
Klasifikasi derajat luka menurut Wagner (1981) dikutip dalam
(Clifford, 2012; Livingston, 2008, Gries, 2003; Moffat, 2006; Alan, 2009;
Roy, 2006; Waspadji, 2007), yaitu:
Derajat 0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi
memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki;
Claw, Callus, Hallux, valgus, dll)
Derajat 1 : Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan
27
Derajat 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon, dan tulang,
tanpa osteomielitis atau abses.
Derajat 3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang, dengan osteomielitis atau
abses.
Derajat 4 : Gangren yang terlokalissir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal
dengan atau tanpa selulitis.
Derajat 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT)
menggunakan derajat Wagner 1 sampai 3, tetapi disetiap derajat ditambahkan
tahapan-tahapan luka: A = tidak ada infeksi atau iskemia; B = infeksi, tidak
iskemia; C = iskemia, tidak infeksi; D = infeksi dan iskemia (Alan, 2009).
Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT) mengkaji
kedalaman luka, ada atau tidak adanya nya infeksi, dan ada atau tidak adanya
tanda klinis iskemi pada ekstermitas bawah (Lavery, 1996). Sistem klasifikasi
ini menggunakan sebuah matriks yang menggambarkan derajat luka pada
aksis horizontal dan tahapan luka pada aksis vertikal (Lavery, 1996; Gries;
200; Alan, 2009; Roy, 2012).
Stage Grade
0 1 2 3
A Pre-post lesi ulkus, kulit
utuh
Ulkus superficial
Ulkus dalam, ke tendon/kapsul
Penetrasi luka ke tulang
B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
D Infeksi dan
iskemia Infeksi dan
iskemia Infeksi dan iskemia Infeksi dan
iskemia
Tabel 2.1 University of Texas and San Antonio Wound Classification system, Modified from Armstrong, 1996.
28
Sistem klasifikasi luka SAD merupakan tambahan dari sistem klasifikasi
luka menurut University of Texas, SAD menambahkan area ulkus cross-
sectionl dan ada atau tidak adanya neuropati perifer di setiap derajat luka
(Moffat, 2006).
Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound Classification System:
Klasifikasi ulkus diabetika berdasarkan warna merupakkan sistem klasifikasi
yang popular karena cukup sederhana dan mudah digunakan. Tiga warna
yaitu: merah, kuning, dan hitam, digunakan untuk mengkaji warna permukaan
luka. Sistem Tiga Warna pada mulanya di ciptakan sebagai alat untuk
penatalaksanaan langsung, dengan setiap warna membutuhkan terapi khusus
yang sesuai dengan kondisi luka. Luka yang berwarna merah diartikan bersih,
sedang dalam proses penyembuhan, dan sedang mengalami granulasi. Luka
yang berwarna kuning mengindikasikan terjadinya infeksi, terdapat jaringan
nekrotik, dan membutuhkan pembersihan atau debridemen. Luka yang
berwarna hitam merupakan jaringan nekrotik dan membutuhkan pembersihan
serta debridemen. Luka yang berwarna merah merupakan karakteristik luka
yang diharapkan (Sussman, 2007).
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ulkus diabetika menurut Misnadiarly (2006), yaitu :
a. Sering kesemutan.
b. Nyeri kaki saat istirahat.
c. Sensasi rasa berkurang.
d. Kerusakan jaringan (nekrosis).
e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.
29
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
g. Kulit kering
5. Proses Penyembuhan Ulkus
Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan
semua cedera jaringan lunak, baik luka ulsratif kronik, seperti dekubitus, dan
ulkus tungkai. Proses fisiologis penyembuhan luka menurut Moya J (2003) dibagi
ke dalam 4 fase utama, yaitu:
a. Respons inflamasi akut terhadap cedera: mencakup hemostasis, pelepasan
histamin dan mediator lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah
putih (leukosit polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak
tersebut.
b. Fase destruktif: Pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami
devitalisasi oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag.
c. Fase proliferatif: yaitu pada saat pembuluh darah baru yang diperkuat oleh
jaringan ikat menginfiltrasi luka. Jaringan granulasi merupakan kumpulan
vaskular (nutrisi untuk makrofag dan fibroblast) dan saluran getah bening
(mencegah edema dan sebagai drainase) yang membentuk matriks
granulasi yang turut menjadi lini pertahanan terhadap infeksi. Jaringan
granulasi terus diproduksi sampai kavitas ulkus terisi kembali. Pada fase
ini tampak epitelisasi dimana terbentuk tepi luka yang semakin landai.
d. Fase maturasi: mencakup re-epitelisasi, konstruksi luka dan reorganisasi
jaringan ikat.
Dalam kenyataannya, fase-fase penyembuhan tersebut saling tumpang
tindih dan durasi dari setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang
30
sempurna bergantung pada beberapa faktor termasuk ukuran dan tempat luka,
kondisi fisiologis umum pasien, adanya bantuan ataupun intervensi dari luar
yang ditunjukkan dalam rangka mendukung penyembuhan.
6. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya ulkus diabetika pada pasien DM menurut hasil
penelitian Hastuti pada tahun 2008, terdiri atas:
a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah berdasarkan hasil penelitian
Hastuti pada tahun 2008, yaitu:
1) Umur ≥ 60 tahun.
2) Lama DM ≥ 10 tahun.
b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah (termasuk kebiasaan dan gaya
hidup) menurut Djokomoeldjanto (1997) dan Frykberb (2002), yaitu:
1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer).
2) Obesitas.
3) Hipertensi.
4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.
6) Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang disebabkan :
a) Kolesterol total tidak terkontrol.
b) Kolesterol High Density Lipid (HDL) tidak terkontrol.
c) Trigliserida tidak terkontrol.
7) Kebiasaan merokok.
8) Ketidakpatuhan diet DM.
9) Kurangnya aktivitas fisik.
31
10) Pengobatan tidak teratur.
11) Perawatan kaki tidak teratur.
12) Penggunaan alas kaki tidak tepat.
7. Pencegahan dan Pengelolaan Ulkus diabetik
Menurut Levin (1988) dalam Moya J (2004), penatalaksanaan ulkus kaki
diabetik memerlukan pengobatan yang agresif dalam jangka pendek, hal
tersebut mencakup: debridemen lokal radikal pada jaringan sehat, terapi
antibiotik sistemik untuk mengurangi infeksi diikuti dengan tes sensitivitas
antibiotik, kontrol diabetes untuk meningkatkan efisiensi sistem imun, posisi
tanpa bobot badan untuk ulkus plantaris, perawatan pada kaki yang luka.
Pemilihan balutan luka yang tepat merupakan hal yang penting, tetapi
hanyalah bagian dari terapi tersebut di atas. Dengan mempertimbangkan
keadaan tersebut, maka penggunaan agens topikal yang tidak tepat justru
dapat memperburuk situasi yang memang sudah tidak baik itu. selain itu, kaki
harus dijaga agar tetap kering. Merendam kaki dapat menyebabkan maserasi
antara jari kaki dan meningkatkan resiko terhadap infeksi. Perhatian untuk
melakukan rehidrasi kulit yang kering di sekitar ulkus dan di atas tungkai
bawah juga harus diberikan. Apabila ada ulkus yang sukar disembuhkan
dengan segala pengobatan, maka dokter dapat meminta pemeriksaan X-Ray
agar dapat meniadakan kemungkinan osteomielitis atau tertahannya benda
asing yang tidak dirasakan oleh pasien (Moya J, 2004).
Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut adalah :
a. Memperbaiki kelainan vaskuler.
32
b. Memperbaiki sirkulasi.
c. Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll).
d. Edukasi perawatan kaki.
e. Pemberian obat-obat yang tepat untuk dan obat vaskularisasi, obat untuk
penurunan gula darah maupun menghilangkan keluhan dan penyulit DM.
f. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
g. Menghentikan kebiasaan merokok.
h. Merawat kaki secara teratur setiap hari
i. Penggunaan alas kaki tepat
j. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan
termis, yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan.
k. Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya
adrenalin, nikotin.
l. Memeriksakan diri secara rutin dan memeriksa kaki setiap kontrol
walaupun ulkus diabetik sudah sembuh (Misnadiarly, 2006)
34
D. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori Modifikasi Armstrong, 2000; Hastuti, 2008; Misnadiarly, 2006; Soewondo, 2006;
Waspadji, 2006
Diabetes Mellitus
Komplikasi
Kronis (Waspadji,2006)
Akut : - KAD - HNK - Asidosis Laktat
(Soewondo,2006)
Makrovaskuler
Penyakit serebrovaskuler
Penyakit Vaskuler Perifer
PJK Diagnostik
- Pemeriksaan fisik - CNE - Persepsi vibrasi
dengan garpu tala - EMG - Test Monofilamen
(Misnadiarly 2006; Armstrong, 2000)
Neuropati diabetes
Trauma: - Mekanis - Termis - Kimiawi
Mikrovaskuler
Nefropati
Retinopati diabetik
ulkus diabetika
Faktor Resiko: - Usia - Lama Menderita DM
(Hastuti, 2008)
35
E. Penelitian Terkait
Judul Tahun Peneliti Sampel Desain instrumen Hasil
Hubungan Faktor
Resiko Neuropati
dengan Kejadian
Ulkus Kaki Pada
Pasien Diabetes
Mellitus di RSUD
Moewardi Surakarta
2012 Okti Sri
Purwanti
(Dosen
PSIK Univ.
Muhamma
diyah
Surakarta)
68 orang Analitik
observasion
al dengan
case control
Monofilament
10g
Terdapat Hubungan neuropati
sensorik dengan kejadian ulkus kaki
(p value 0,001), neuropati otonom
dengan kejadian ulkus kaki (p value
0,037), neuropati motorik dengan
kejadian ulkus kaki (p value 0,001).
Nilai Diagnostik
monofilament 10g
dan skor Clinical
Neurological
Examination (CNE)
pada polineuroppati
Diabetik
2003 Bambang
Adi
Setyoko
(Tesis
Dokter
Spesialis I)
76 pasien Cross
sectional
study
Monofilament
10g, lembar
pemeriksaan
CNE,
Elektromiografi
(EMG)
Dengan alat EMG sebagai metode
acuan, sensitifitas dan spesivisitas
monofilament 10g masing-masing
adalah 80,6% dan 57,1%. Sedangkan
sensitifitas dan spesivisitas CNE
masing-masing adalah 87,1% dan
71,4%.
Hubungan antara
derajat kaki diabetic
dengan neuropati
perifer dan iskemik
2001 Supriyanto
(Tesis
Dokter
Spesialis I)
70 orang Cross
sectional
Elektromiografi
, dan Doppler
untuk menilai
Ankle Pressure
Terdapat hubungan bermakna antara
neuropati perifer dengan derajat KD
(C=0,63, p=0,0001).
Terdapat hubungan bermakna antara
36
perifer pada penderita
Diabetes Mellitus
Tipe 2
Index (API) iskemi perifer dengan derajat KD
(C=0,56, p=0,0002).
Iskemi perifer dengan neuropati
perifer tidak ada hubungan bermakna
(C=0,36, p=0,3004).
Faktor-Faktor Resiko
Ulkus Diabetika pada
Penderita Diabetes
Mellitus
2008 Rini Tri
Hastuti
(Tesis
Megister
Epidemiolo
gi)
72 orang Analitik
observasion
al dengan
desain case
control
Timbanggan,
pengukur tinggi
badan,
Kuesioner,
Catatan Medis
penderita.
Faktor risiko ulkus diabetika adalah
lama DM ≥ 10 tahun, kadar
kolesterol ≥ 200 mg/dl, kadar HDL ≤
45 mg/dl, ketidakpatuhan diet DM,
kurangnya latihan fisik, perawatan
kaki tidak teratur dan penggunaan
alas kaki tidak tepat dengan
memberikan sumbangan terhadap
ulkus diabetika sebesar 99,9 %
BAB III
KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
bebrapa fakor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2008).
Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada studi pustaka, maka peneliti
membuat kerangka konsep untuk memudahkan mengidentifikasi konsep-konsep
sesuai penelitian sehingga dimengerti. Kerangka konsep dalam penelitian ini
terdiri dari variabel bebas (independen) yaitu skor monofilamen dan variabel
terikat (dependen) yaitu ulkus diabetika.
Variabel Independent Variabel Dependent
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Skor Monofilamen Terhadap Ulkus
Diabetika di Klinik RUMAT
skor monofilamen
(0-10)
Ulkus Diabetika - Derajat ulkus (0-5) - Frekuensi terjadinya
ulkus
37
38
B. HIPOTESIS
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2009). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Hipotesis alternatif (Ha) :
1. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di
klinik RUMAT.
2. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di klinik
RUMAT.
Sedangkan Ho Sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus
diabetika di klinik RUMAT.
2. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di
klinik RUMAT.
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil Skala Skor Monofilament
skor yang didapatkan untuk mengukur sensorik (neuropati) pada pasien ulkus diabetika dengan menggunakan monofilament.
Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik pada 10 lokasi, kemudian segera ditarik, dilakukan sampai tiga kali pemeriksaan jika hasilnya negatif, pemeriksaan hanya dilakukan pada salah kaki yang memiliki ulkus.
Monofilament 10g
Skor 1 : Hasil positif, yaitu masih dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik. Skor 0 : Hasil negatif, yaitu tidak dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik. Total skor bervariasi antara 0-10 pada.
Rasio
Derajat Luka Tingkat keparahan luka saat dilakukan penelitian
Observasi Klasifikasi derajat ulkus menurut wagner
0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki; claw, callus, hallux, valgus, dll) 1: Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan. 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon dan tulang tanpa adanya abses atau osteomielitis.
Ordinal
39
40
3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang,dengan osteomielitis atau abses. 4 : Gangren yang terlokalisir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis. 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.
Frekuensi ulkus
Jumlah ulkus yang pernah dimiliki pasien.
- Kuesioner Rasio
Usia Umur responden terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir
- Kuesioner Rasio
Jenis Kelamin Merupakan pertanda gender seseorang
- Kuesioner 1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
Riwayat DM Lama pasien diketahui memiliki penyakit DM.
- Kuesioner Rasio
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan
metode penelitian Cross Sectional. Desain penelitian ini dilakukan dalam satu
waktu sehingga disebut cross sectional. Penelitian Cross Sectional meneliti suatu
kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan variabel independen
diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007).
B. POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam
Hidayat,2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien DM dengan
dengan komplikasi ulkus diabetika yang melakukan perawatan luka ulkus di
klinik RUMAT Kabupaten Bekasi selama bulan April 2014, yaitu berjumlah
44 pasien.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2008).
Sedangkan menurut Nursalam (2003) sampling adalah cara atau metode
pengambilan sampel untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang
41
42
akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh atau total
sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil semua anggota
populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan bila populasinya kecil, seperti
bila sampelnya kurang dari tiga puluh maka anggota populasi tersebut diambil
seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian (Hidayat, 2008). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu semua pasien ulkus diabetika yang
melakukan perawatan luka di klinik RUMAT pada saat dilakukan
pengambilan data, yaitu 35 pasien dengan kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Pasien ulkus diabetika yang terdata pada hari pertama pengambilan data di
tiap klinik.
2. Pasien yang memiliki ulkus diabetika di salah satu kaki.
3. Pasien ulkus diabetika yang bersedia menjadi responden.
C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2014 di tiga cabang Klinik
Perawatan Luka Diabetes RUMAT Kabupaten Bekasi, yaitu RUMAT Bekasi,
RUMAT Cikarang, dan RUMAT Tambun. Klinik RUMAT dipilih karena klinik
ini khusus menangani pasien-pasien ulkus diabetika dengan total pasien pada
tahun 2013 di tiga cabang klinik RUMAT berjumlah 278 pasien, selain itu
responden datang langsung ke klinik perawatan luka ini sehingga mempermudah
jalannya penelitian.
D. ALAT PENGUMPUL DATA
1. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah :
a. Menggunakan alat monofilament 10 g.
43
b. kuesioner untuk responden yang menggambarkan karakteristik
responden, berisi Inisial nama, usia, jenis kelamin, lama menderita DM,
riwayat luka sebelumnya, frekuensi perawatan kaki.
c. Lembar Penilaian untuk melihat skor monofilamen dan derajat ulkus
diabetika.
2. Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrumen dalam menjalankan
fungsi ukurnya (Azwar, 2012). Penelitian Booth dan Young menunjukkan
tidak semua monofilamen yang diproduksi pabrik memiliki kualitas yang
sama baiknya. Lebih lanjut penelitian tersebut juga merekomendasikan sebuah
monofilamen 10g sebaiknya digunakan maksimal 10 pasien per hari dan
visko-elastisnya dapat pulih kembali setelah diistirahatkan 24 jam (Booth and
Young, 2000; Armstrong, 2000).
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta
tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam,
2009). Berbagai faktor ekstrinsik dan intrinsik berpengaruh pada reliabilitas
monofilamen. Faktor-faktor ekstrinsik meliputi prosedur peemeriksaan
(frekuensi dan lokasi pemeriksaan, dan belum ada standart baku), dan
subyektifitas (tingkat kepercayaan) respons pasien terhadap pemeriksaan
monofilamen, sedangkan faktor-faktor intrinsik meliputi perbedaan radius dan
panjang filamen, serta elastisitas bahan monofilamen (Booth and Young,
2000).
Peneliti telah melakukan test bagaimana cara melakukan pemeriksaan
monofilamen yang diuji oleh Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan klinik
44
RUMAT sebelum melakukan pengambilan data dan dinyatakan lulus,
sehingga dapat menghasilkan data yang valid.
E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Beberapa hal yang perlu dipersiapkan peneliti sebelum penelitian yaitu
mempersiapkan prosedur-prosedur pengumpulan data. Adapun langkah-
langkahnya sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan
1. Mengajukan surat permohonan studi pendahuluan kepada Ketua Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Mengurus perizinan studi pendahuluan di klinik perawatan luka RUMAT.
3. Melakukan konsultasi dengan pembimbing skripsi tentang hasil studi
pendahuluan dan instrument yang akan digunakan dalam penelitian.
b. Tahap Pelaksanaan
1. Mengajukan surat permohonan penelitian kepada Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Mengurus perizinan pelaksanaan penelitian di klinik perawatan luka
RUMAT.
3. Menentukan sampel penelitian.
4. Meminta responden menandatangani lembar persetujuan (informed
concent), dengan didahului oleh penjelasan tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan prosedur pelaksaan penelitian.
5. Mengisi lembar kuesioner yang berisi karakteristik responden (inisial nama,
usia, jenis kelamin, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan lama memiliki DM)
45
6. Melakukan test monofilament dan mengobservasi derajat ulkus diabetika.
Waktu untuk melakukan test monofilament sekitar 15 menit, sedangkan
proses pengambilan data dilakukan selama dua minggu.
Test monofilamen dilakukan setelah responden dilakukan pencucian luka
dan menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia
Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada tahun 2011.
7. Setelah kuesioner diisi oleh peneliti, test monofilamen dan observasi derajat
luka pasien telah dilakukan, peneliti melakukan pengecekan data apakah
data sudah sesuai.
8. Data yang sudah lengkap kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti
menggunakan program komputer.
c. Tahap akhir
1. Menyusun laporan.
2. Penyajian hasil penelitian dalam sidang.
F. KERANGKA KERJA
Bagan 4.1 Kerangka Kerja
Pemilihan sampel, pasien ulkus diabetika
test monofilament dan observasi derajat ulkus
informed consent
pengisian kuesioner
karakteristik pasien
pengolahan dan analisa
data
Hasil
46
G. PENGOLAHAN DATA
Pada langkah selanjutnya setelah data sudah dikumpulkan semua adalah
melakukan pengolahan data sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki data tersebut,
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer.
1. Edit data
Edit data yaitu memeriksa data yang telah dikumpul melalui kuesioner dan
lembar hasil pemeriksaan. Hal ini diperlukan di lapangan untuk meneliti
kembali apakah isian dalam lembar pertanyaan sudah cukup baik untuk
diproses dan dilaksanakan di lapangan, sehingga bila terdapat kekurangan
segera dilengkapi.
2. Pengkodean
Masing-masing variabel penelitian diberi kode berupa angka yang
selanjutnya dimasukkan dalam lembaran tabel kerja untuk memudahkan entri
di komputer.
3. Tabulasi
Tabulasi merupakan kegiatan meringkas jawaban dari kuesioner menjadi
satu tabel induk yang memuat semua jawaban responden. Jawaban responden
akan dikumpulkan dalam bentuk kode-kode yang disepakati untuk
memudahkan pengolahan data selanjutnya.
4. Aplikasi data / pengujian data
Menggunakan uji statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada
penelitian ini peneliti menggunakan bantuan komputer (Saryono, 2011).
47
H. ANALISA DATA
1. Analisa Univariat
Analisa ini dilakukan untuk memperoleh gambaran karakteristik masing-
masing variabel yang diteliti. Variabel yang dianalisis adalah variabel usia,
jenis kelamin, lama menderita DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan skor
monofilamen. Pada analisis univariat ini, data kategorik dijelaskan dengan
distribusi frekuensi melalui ukuran persentase atau proporsi. Sedangkan data
numerik dijelaskan dengan mean, median, standar deviasi, dan nilai minimal
serta nilai maksimal.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang telah
dirumuskan, yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen (skor
monofilamen) dan variabel independen (ulkus diabetika). Analisa bivariat
menggunakan uji korelasi Spearman dengan derajat kemaknaan 95% atau
nilai alpha 0,05.
Melalui uji korelasi Spearman akan diperoleh nilai P, dengan
menggunakan tingkat kemaknaan 95% atau nilai alpha 0,05, sehingga jika
nilai P < 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau
menunjukkan ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen, dan apabila nilai P > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak
bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Uji korelasi Spearman adalah uji statistik yang ditujukan untuk
mengetahui hubungan anatara dua atau lebih variabel berskala ordinal atau
numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana hubungan antara
48
variabel independen dan variabel dependen berdasarkan koefisien korelasi
adalah sebagai berikut:
Koefisien Kekuatan Hubungan 0.00
0.01-0.09 0.10-0.29 0.30-0.49 0.50-0.69 0.70-0.88
>0.90
Tidak ada hubungan Hubungan kurang berarti
Hubungan Lemah Hubungan moderat
Hubungan kuat Hubungan sangat kuat
Hubungan mendekati sempurna Interpretasi tersebut berlaku sama pada hubungan positif (+) dan negatif (-)
Sumber : de Vaus, Survey in Social Research, 5th Ed, 2002
Tabel 4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus
I. ETIKA PENELITIAN
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat,
2008). Etika dalam penelitian yang harus diperhatikan menurut Notoatmodjo
(2002) adalah :
1. Informed Consent
Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan
sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini
dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian sehingga subjek
mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti
tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.
49
2. Anonimity
Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode
pengganti nama responden.
3. Confidentiality
Confidentiality adalah Informasi yang telah dikumpulkan dari responden
akan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk
pengembangan ilmu.
4. Prinsip keamanan
Prinsip keamanan digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan
dan ketidaktepatan lokasi saat dilakukan pemeriksaan monofilamen,.
Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada kaki yang memiliki ulkus
sehingga beresiko terjadinya ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan, untuk
itu perawat pada klinik tersebut selalu mendampingi peneliti saat peneliti
melakukan pengambilan data untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dan
membantu menetukan titik lokasi dilakukannya pemeriksaan monofilamen.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini akan memaparkan secara lengkap hasil penelitian hubungan skor
monofilamen dan ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT, yang dibahas
dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat.
A. Profil RUMAT
1. Gambaran Umum RUMAT
RUMAT adalah Jaringan Rumah Perawatan Luka yang direncanakan berada
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Didirikan atas dasar kepedulian dan
keprihatinan terhadap banyaknya pasien penyakit diabetes (diabetisi) yang harus
diamputasi anggota tubuhnya ketika terjadi luka yang menahun (kronis), seolah-
olah amputasi adalah satu-satunya cara agar luka tidak menyebar ke bagian tubuh
yang lain. Padahal amputasi bisa dicegah dan dihindari ketika luka tersebut
ditangani secara tepat. Karena sesungguhnya tubuh kita adalah sistem yang sangat
hebat yang mampu mengobati diri sendiri (auto recovery), dan kami pada
dasarnya hanya menfasilitasi dan memastikan agar auto recovery itu bisa
berlangsung dengan baik. Jadi luka pada diabetisi bisa tersembuhkan.
Di Rumat, pasien luka apapun jenisnya, akan ditangani dan dirawat dengan
metode modern wound dressing yang sudah teruji secara internasional sehingga
dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya. Metode perawatan luka
ini menggunakan metode balutan lembab (moist wound dressing) dan bahan
topikal terapi yang tepat untuk masing-masing jenis luka.
50
51
2. Motto
Sesuai dengan slogan kami “Stop Amputasi” dan motto kami 3C: Care
Credible Competent, pasien akan dilayani dan ditangani oleh petugas yang sudah
terlatih dan tersertifikasi sebagai Perawat Spesialis Luka, dengan tujuan untuk
sedapat mungkin menghindari amputasi.
3. Visi
Menghindari amputasi, dengan metode perawatan yang sudah teruji secara
internasional, sehingga dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya.
4. Misi
a. Luka menjadi tidak berbau, sehingga menjadikan pasien lebih percaya diri
ketika berhubungan dengan orang lain
b. Tidak diperlukan penggantian balutan setiap hari, yang artinya menghemat
waktu dan tidak mengganggu aktivitas rutin
c. Mengurangi nyeri saat balutan dibuka yang bisa jadi sangat menyiksa bagi
sebagian orang
d. Mengurangi resiko infeksi sehingga tercegah dari sakit tambahan yang tidak
perlu
e. Melisiskan jaringan mati lebih cepat hingga pertumbuhan jaringan baru bisa
segera terjadi sebab tidak terkubur jaringan mati tersebut
f. Harapan sembuh lebih cepat.
52
5. Lokasi RUMAT
Lokasi Rumat tersebar di beberapa kota, saat ini terdiri dari 13 cabang
RUMAT yang berpusat di Bekasi. Beberapa cabang RUMAT lain seperti di
Jakarta, Tangerang, Indramayu, Solo, Tasik, Kuningan, Majalengka, dan
Lampung.
B. Hasil Uji Normalitas Data
Sebelum dilakukan uji analisis univariat maupun bivariat, kenormalan data
terlebih dahulu harus diuji. Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50 (Dahlan, 2010). Jika nilai Shapiro-Wilk
<0.05 maka data diasumsikan tidak berdistribusi normal, begitu sebaliknya. Berikut
ini adalah hasil uji normalitas data pada masing-masing variabel penelitian:
Tabel 5.1: Hasil Uji Normalitas Data
Variabel Shapiro-Wilk Distribusi Data Jenis Kelamin Usia Riwayat DM Skor Monofilamen Derajat Ulkus Diabetika Frekuensi ulkus
0.000 0.000 0.000 0.120 0.000 0.000
Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal
Normal Tidak Normal Tidak Normal
Dari tabel 5.1 di atas, diasumsikan bahwa hanya data dari variabel skor
monofilamen yang berdistribusi normal , dan data dari variabel lainnya diasumsikan
tidak berdistribusi normal karena nilai Shapiro-Wilk <0.05. Jika hasil uji normalitas
data didapatkan minimal satu variabel berdistribusi tidak normal maka analisis
selanjutnya menggunakan uji statistik non parametrik (Arikunto, 2006). Pada
53
penelitian ini, variabel yang dihubungkan adalah variabel skor monofilamen sebagai
variabel independen, dengan variabel derajat ulkus diabetika dan variabel frekuensi
terjadinya ulkus sebagai variabel dependen. Variabel-variabel tersebut berskala rasio
dan ordinal sehingga uji non parametrik yang digunakan untuk analisis bivariat
adalah Spearman Rank (Dahlan, 2010).
C. Hasil Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden di Klinik Perawatan Luka RUMAT Bekasi
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Karakteristik Responden di Klinik Rumat April 2014 (n=35)
Variabel Frekuensi Persentase Mean
Median SD Nilai
Min-Max Jenis Kelamin
a. Laki-laki b. Perempuan
17 18
48.6% 51.4%
Usia (Tahun) a. 31-50 b. 51-60 c. 61-70
9 18 8
25.7% 51.4% 22.9%
53.91 54.00
9.98
31-70
Riwayat DM (Tahun) a. 0-4 b. 5-9 c. 10-14 d. 15-20
12 10 8 5
34.3% 28.6.% 22.9% 14.3%
7.51 7.00
4.84
0-17
Tabel 5.2 di atas menunjukkan hasil bahwa perbandingan responden
laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan nilai yang berarti,
responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 17 responden (48,6%),
sedangkan responden perempuan sebesar 18 responden (51,4%).
54
Rata-rata usia responden adalah 54 tahun dengan usia termuda 31
tahun dan tertua 70 tahun. Sebagian besar responden berada pada rentang usia
51-60 tahun, yaitu sebesar 18 responden (51,4%).
Rata-rata riwayat DM responden adalah 7 tahun, dengan waktu
memiliki DM terbaru adalah satu bulan atau 0 tahun dan terlama adalah 17
tahun. Lama responden memiliki DM terbanyak adalah 5 tahun dengan
standar deviasi 4.84. Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar responden berada pada rentang lama DM <10 tahun, yaitu
sebanyak 22 responden (62,9%), dan rentang lama DM ≥10 tahun, yaitu
sebanyak 13 responden (37.1%).
2. Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT
Tabel 5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT pada Bulan April 2014 (n=35)
Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai Min-Max
Skor Monofilamen
6.31 6.00 2.49 1-10
Skor monofilamen dalam penelitian ini berada pada rentang 1 sampai 10.
Pada tabel 5.3 di atas menggambarkan bahwa rata-rata skor monofilamen pasien
ulkus diabetika adalah 6 dengan skor monofilamen terendah 1dan skor
monofilamen tertinggi 10. Skor monofilamen terbanyak adalah 5 dengan standar
deviasi 2.49.
55
3. Derajat Ulkus Diabetika Pasien di Klinik RUMAT
Derajat ulkus diabetika dikategorikan menjadi 6, namun dari seluruh
responden dalam penelitian ini hanya memiliki derajat ulkus diabetika 1 sampai 4.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
derajat ulkus diabetika 2, yakni sebanyak 17 responden (48.6%). Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.4 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)
Derajat Ulkus Frekuensi Persentase
Derajat 1 5 14.3% Derajat 2 17 48.6% Derajat 3 8 22.9% Derajaat 4 5 14.3%
Total 35 100.0%
4. Frekuensi Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT
Rata-rata frekuensi terjadinya ulkus berdasarkan hasil analisis data dalam
penelitian ini adalah 2, dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Frekuensi
ulkus terbanyak adalah 1 dengan standar deviasi 0.76. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5 : Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)
Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai
Min-Max Frekuensi
ulkus 1.69 2.00 0.76 1-4
56
D. Hasil Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk menganalisis data dari dua variabel yang
berbeda. Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di Klinik RUMAT, dan
hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi terjadinya ulkus di Klinik
RUMAT. Teknik analisis dilakukan dengan uji korelasi Spearman.
Tabel 5.6 : Korelasi Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April
2014 (n=35)
Derajat Ulkus
Frekuensi ulkus
Spearman’s rho
Skor Monofilamen
Koefisien korelasi (r)
Sig (2-tailed)
−0.504
0.002
−0.393
0.019
1. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik
RUMAT
Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.002.
Hal tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan
variabel derajat ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi diketahui
nilai r = −0.504. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel merupakan
hubungan yang kuat karena berada pada rentang koefisien korelasi antara 0.50-
0.69. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Sementara itu,
koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara
variabel skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika merupakan
57
hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin
rendah derajat ulkus diabetika, begitu pula sebaliknya semakin rendah skor
monofilamen maka derajat ulkus diabetika semakin tinggi.
2. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Frekuensi Ulkus di Klinik
RUMAT
Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.019. Hal
tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan
variabel frekuensi ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi
diketahui nilai r = −0.393. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel
merupakan hubungan yang moderat karena berada pada rentang koefisien korelasi
antara 0.30-0.49. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed).
Sementara itu, koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya
hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus
diabetika merupakan hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor
monofilamen maka semakin rendah frekuensi terjadinya ulkus dan semakin
rendah skor monofilamen maka semakin tinggi frekuensi terjadinya ulkus.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang
karakteristik pasien, skor monofilamen pasien, derajat ulkus diabetika, frekuensi
terjadinya ulkus, hubungan antara skor monofilamen dan derajat ulkus, serta
hubungan skor monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus di klinik RUMAT. Pada
akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan penelitian.
A. Analisa Univariat
1. Gambaran Karakteristik Pasien di Klinik RUMAT
a. Jenis kelamin
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin laki-
laki dan perempuan tidak jauh berbeda yaitu 1:1.06, jenis kelamin laki-laki
lebih sedikit (48.6%) di bandingkan jenis kelamin perempuan (51.4%).
Peneliti lain, Osei dkk di Amerika mendapatkan pasien ulkus diabetika
dengan perbandingan laki-laki : wanita adalah 1:2.2 dimana wanita lebih dari
dua kali lipat.
Hal tersebut dikarenakan perubahan hormonal pada perempuan
menopause akan meningkatkan resiko DM tipe 2 dan diikuti pula berbagai
komplikasi baik akut maupun kronis, salah satunya neuropati dan angiopati
perifer yang dapat mengakibatkan ulkus diabetika (Mayasari, 2012).
Perempuan yang telah mengalami menopause, kadar gula darah menjadi tidak
terkontrol karena terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron.
Hormon-hormon tersebut mempengaruhi bagaimana sel-sel tubuh merespon
58
59
insulin. perempuan lebih beresiko menderita DM karena secara fisik memiliki
peluang peningkatan BMI lebih besar (Irawan, 2010).
Hasil penelitian lain yang tidak sejalan, seperti Suyono (2006)
mendapatkan hasil perbandingan laki-laki : wanita adalah 1.7 : 1 dimana laki-
laki lebih banyak dan di Amerika Serikat diperkirakan bahwa laki-laki secara
signifikan beresiko lebih tinggi memiliki ulkus diabetika dari pada wanita
(Moya J, 2004). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Hastuti bahwa jenis kelamin bukan termasuk ke dalam salah satu faktor
terjadinya ulkus diabetika (Hastuti, 2008).
Perbedaaan hasil tersebut diatas kemungkinan disebabkan oleh proporsi
responden dan lebih banyak wanita yang melakukan perawatan luka secara
rutin di klinik RUMAT, serta menurut pendapat peneliti wanita memiliki
kontrol gula darah yang buruk dan jarang melakukan olahraga sehingga lebih
mudah terjadi neuropati diabetik yang dapat menyebabkan ulkus diabetika.
b. Usia
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa usia responden terbanyak
berada pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebesar 51.4% sedangkan
responden yang berada pada rentang usia 61-70 tahun sebesar 22.9%. Hasil
penelitian ini sejalan oleh hasil penelitian Hastuti (2008) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara usia >60 tahun dengan kejadian ulkus
diabetika.
WHO menjelaskan bahwa setelah usia 30 tahun kadar glukosa darah puasa
akan naik 1-2 mg/dL/tahun dan gula darah 2 jam setelah makan akan naik 5,6
60
– 13 mg/dL/tahun (WHO, 2000). Waspadji (2006) menegaskan bahwa proses
penuaan menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga
terjadi makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah
salah satunya pembuluh darah besar atau sedang di tungkai bawah sehingga
lebih mudah terjadi neuropati dan angiopati diabetik yang beresiko tinggi
terjadinya ulkus diabetika.
Penelitian lain yang tidak sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu
penelitian kasus kontrol di Lowa oleh Robert (2002) yang menunjukkan
bahwa usia pasien ulkus diabetika pada usia tua >60 tahun 3 kali lebih banyak
dari udia muda <55 tahun. Singh, Armstrong & Lipsky (2005) menjelaskan
bahwa usia >60 tahun merupakan faktor resiko ulkus diabetika, karena pada
usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses penuaan
sehingga terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin yang menyebabkan
kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah kurang
optimal dan secara berkelanjutan akan terjadi berbagai komplikasi kronis
termasuk ulkus diabetika.
Hasil analisa logistik regresi yang dilakukan oleh Teguh (2005) dapat
disimpulkan bahwa semakin tua umur pasien maka resiko untuk terjadinya
neuropati diabetika adalah 1.136 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
lebih muda (p=0.002). Menurut peneliti perbedaan hasil dalam penelitian ini
disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan pola makan yang dilakukan oleh
pasien DM belakangan ini, menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan kondisi
61
fisik seseorang dapat terjadi pada usia yang lebih muda sehingga rentan untuk
terjadinya neuropati diabetik yang kaitannya dengan kejadian ulkus diabetika.
c. Riwayat DM
Riwayat DM dalam analisis dikategorikan menjadi lama DM <10
tahun dan lama DM ≥10 tahun untuk mengetahui faktor resiko terjadinya
ulkus diabetika. Proporsi responden yang memiliki lama DM ≥10 tahun
sebesar 37.1% sedangkan proporsi responden yang memiliki lama DM < 10
tahun sebesar 62.9%, hasil analisis ini menunjukkan bahwa jumlah responden
yang memiliki lama DM < 10 tahun lebih besar dari pada jumlah responden
yang memiliki lama DM ≥10 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Boulton (2002) yang menjelaskan bahwa lama menderita DM >5
tahun akan menyebabkan berbagai komplikasi kronis seperti neuropati dan
angiopati yang disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkendali.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rini yang mengatakan bahwa lama memiliki DM ≥10 merupakan faktor
resiko terjadinya ulkus diabetika dan penelitian yang dilakukan di USA oleh
Boyko (1999) pada 749 pasien DM dengan hasil bahwa lama DM ≥10 tahun
merupakan faktor resiko terjadi ulkus diabetika (Hastuti, 2008 dan Boyko,
1999). Waspadji (2006) menegaskan bahwa ulkus diabetika terjadi pada
pasien DM yang telah mencapai 10 tahun atau lebih.
62
Apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, akan muncul komplikasi
yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan
mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang
mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan atau luka
pada kaki pasien DM yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan
neuropati perifer (Waspadji, 2006). Hal ini diperkuat oleh Frykberb (2002)
yang mengatakan bahwa neuropati diabetik cenderung terjadi sekitar 10 tahun
setelah menderita DM, sehingga kelainan kaki diabetik dan ulkus diabetika
dapat terjadi setelah itu.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan banyak penelitian lain dan
teori-teori yang telah diungkapkan diatas, bisa saja dikarenakan perbedaan
proporsi responden dan sebagian besar responden dalam penelitian ini
memiliki kontrol gula darah yang buruk serta tidak melakukan perawatan kaki
dengan baik sehingga lebih cepat terjadi neuropati perifer dan berbagai
komplikasi lainnya. Selain itu, di Negara berkembang seperti Indonesia
penanganan terhadap penyakit kronis belum sebaik di Negara maju, program
pencegahan dan pendidikan kesehatan yang diberikan juga belum optimal.
2. Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT
Monofilamen dengan berbagai ukuran telah banyak diteliti untuk skrining dan
deteksi neuropati diabetik dalam upaya mencegah terjadinya ulkus, dan kejadian
ulkus berulang. Monofilamen 10g pada umumnya dipakai sebagai ukuran
standar, serta dari berbagai penelitian menunjukkan hasil lebih baik
63
dibandingkan monofilamen ukuran 1g dan 75g (Armstrong, 2000; Perkins,
2002).
Pada penelitian ini dipilih 10 titik lokasi pada masing-masing telapak kaki,
yaitu sisi plantar pertama, ketiga, dan kelima; sisi plantar pertama, ketiga, dan
kelima metatarsal;sisi plantar pertengahan bagian medial dan lateral; sisi plantar
tumit; dan sisi dorsal sela ibu jari kaki dan jari telunjuk kaki (Hess, 2005).
Kehilangan sensasi proteksi secara umum ditandai oleh ketidakmampuan pasien
untuk merasakan monofilamen pada empat titik atau lebih (Hess, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Setyoko (2003) dari 76 pasien DM yang
dilakukan pemeriksaan EMG didapatkan 62 pasien neuropati diabetik (81.6%)
dan 14 pasien tidak mendukung neuropati (18.4%) sedangkan hasil pemeriksaan
monofilamen 10g dengan skor 0 didapatkan 44 pasien neuropati dan 18 pasien
tidak menunjukkan neuropati, lima pasien menunjukkan neuropati dengan
pemeriksaan monofilamen namun EMG tidak mendukung neuropati, pada 9
kasus, baik monofilamen maupun EMG tidak mendukung neuropati. Hasil
penelitian monofilamen 10g jika dibandingkan dengan EMG sebagai standar
baku untuk menentukan neuropati memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas
masing-masing 70.9% dan 64.3% dengan skor 0 sebagai titik potong. Bila
dipakai skor ≤6 sebagai batasan didapatkan sensitifitas 80.6% dan spesifisitas
57.1%. Untuk tujuan deteksi dini neuropati nilai sensitifitas yang tinggi lebih
penting dari pada spesifisitas.
Dari 35 pasien ulkus diabetika diketahui skor monofilamen bervariasi antara
1-10, rata-rata skor monofilamen responden 6 dengan standar deviasi 2.5. Skor
64
monofilamen paling banyak yaitu 5 dengan jumlah responden 7 orang, dan 4
orang responden memiliki skor monofilamen 10 yang menunjukkan bahwa tidak
semua pasien ulkus diabetika mengalami penurunan sensasi proteksi.
Hasil penelitian di atas dapat dijelaskan melalui teori yang mengatakan bahwa
tidak semua ulkus diabetika di akibatkan oleh masaalah neuropati tetapi bisa juga
oleh penyebab lain seperti iskemia dan infeksi.
Neuropati diabetik adalah satu dari banyak komplikasi diabetes jangka
panjang yang mengakibatkan sekitar 50% pasien diabetes. Neuropati sangat
berkaitan dengan durasi dan tingkat keparahan hiperglikemia. Prevalensi
neuropati meningkat seiring dengan peningkatan durasi DM dan rendahnya
kontrol glukosa (Rajeev, 2012). Kontrol glukosa yang buruk dan durasi DM
yang lama merupakan faktor resiko utama terjadinya neuropati diabetik. Durasi
diabetes yang lebih lama dihubungkan dengan tiga kali lipat kemungkinan
terjadinya perkembangan neuropati diabetik. Faktor resiko lain seperti usia tua,
obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, konsumsi alkohol (Rajeev, 2012).
penelitian yang dilakaukan oleh Purwanti (2012) menggunakan alat
monofilamen 10 gram dan menggunakan cut of point 0, mengatakan bahwa
pasien ulkus diabetika sebagian besar mengalami neuropati sensoriik (85.3%).
Penelitian yang dilakukan oleh Miranda et al (2005) dengan menggunakan
monofilamen 10 gram sebagai instrumen penelitian mengatakan bahwa 52 dari
93 pasien ulkus diabetika mengalami neuropati diabetik dengan melakukan test
monofilamen pada empat titik dan menggunakan cut of point ≥ 1 untuk
65
menyatakan terjadinya neuropati pada responden, dengan nilai sensitifitas dan
spesifisitas masing-masing 81% dan 63%.
3. Gambaran Derajat Ulkus Diabetika Pasien di Klinik RUMAT
Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya
menentukan perbedaan luka (tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya neuropati,
infeksi, dan iskemi) (Livingston, 2008). Beberapa macam sistem klasifikasi yang
digunakan untuk menentukan derajat luka, yang paling sering digunakan adalah
sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, yang dikembangkan oleh Wagner
dan Meggitt (Hess, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan
sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner yaitu dengan klasifikasi derajat
luka 0 sampai derajat luka 5.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 35 responden, 5 orang memiliki
derajat luka 1, 17 orang memiliki derajat luka 2, 8 orang memiliki derajat luka 3,
dan 5 orang memiliki derajat luka 4. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar responden memiliki ulkus diabetika derajat 2.
Penelitian lain oleh Supriyanto (2001), dari 35 responden dengan ulkus
diabetika yang melakukan rawat jalan di RSUP Kariadi semarang dengan
menggunakan klasifikasi derajat luka menurut Wagner didapatkan hasil pada
analisa univariat yaitu derajat ulkus 1 sebanyak 13 orang (18.6%), ulkus diabetika
derajat 2 sebanyak 10 orang (14.3%),dan ulkus diabetika derajat 3 sebanyak 13
orang (17.1%). Dari hasil analisa univariat tersebut tidak didapatkan perbedaan
yang signifikan antara responden yang memiliki derajat luka 1, derajat luka 2, dan
derajat luka, tetapi derajat luka 1 memiliki nilai persentase tertinggi.
66
Pasien DM yang gula darahnya tidak terkontrol, lebih mudah untuk tumbuh
kembangnya bakteri-bakteri daripada pasien yang terkendali dan orang-orang
yang tidak menderita DM (Misnadiarly, 2006).
Menurut peneliti, kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasien ulkus
diabetika terhadap perawatan luka yang tepat dapat menyebabkan perburukan
perkembangan luka dan dapat meningkatkan derajat luka, serta keterlambatan
pasien ulkus diabetika dalam menyadari masalah pada kaki mereka juga dapat
mengakibatkan perburukan kondisi luka dan tidak jarang sampai harus dilakuakn
amputasi. Untuk meminimalisir kondisi tersebut diatas sebaiknya pihak RS/klinik
melakukan pemeriksaan rutin kesehatan kaki pasien DM dan memberikan
pendidikan kesehatan terkait perawatan kaki yang tepat dan kiat-kiat yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya ulkus diabetika.
4. Gambaran Frekuensi Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik
RUMAT
Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang
baru pertama kali memiliki ulkus diabetika sebanyak 16 orang, 15 orang
responden menyatakan bahwa saat ini adalah kedua kalinya responden memiliki
ulkus diabetika, 3 orang responden menyatakan saat ini merupakan ulkus
diabetika yang ke-tiga kalinya, dan 1 orang responden menyatakan saat ini
adalah ke-empat kalinya responden memiliki ulkus diabetika. Data tersebut dapat
disimpulkan bahwa responden yang memiliki riwayat luka sebelumnya lebih
banyak dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat luka sebelumnya.
67
Ada tiga faktor yang berperan dalam ulkus diabetik, yaitu neuropati, iskemia,
dan infeksi. Biasanya, amputasi harus dilakukan (Baradero, 2009). Pada pasien
DM, infeksi pada kaki sangat mudah terjadi. Hal ini bila sudah terjadi
vaskulopati dan neuroati (sensorik, motorik, dan otonom), pasien tidak akan
merasakan jika ada robekan/luka pada kaki sehingga beresiko tinggi untuk
terjadinya ulkus dan kekambuhan ulkus (Riyanto, 2007).Kejadian ulkus pada
pasien DM sekitar 15%, faktor resiko yang paling utama adalah masalah
neuropati diabetik, dan 3-4% diantaranya akan mengalami infeksi. Pada pasien
DM infeksi pada kaki merupakan problem yang penting dan sulit untuk diatasi.
Infeksi pada kaki diabetes merupakan satu indikasi terbanyak DM yang harus
dirawat dan di amputasi. Pada umumnya infeksi terjadi setelah pasien memiliki
masalah neuropati. Sekitar 85% pasien yang diamputasi sebelumnya memiliki
riwayat ulkus dikaki (Riyanto, 2007).
Menurut peneliti, hilangnya sensori pada kaki bisa mengakibatkan trauma
berulang dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskular dan
makrovaskular dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan infeksi. Neuropati,
iskemia, dan infeksi bisa menyebabkan gangren, amputasi, dan potensial
terjadinya ulkus berulang, maka dari itu sangat penting sekali bagi pasien DM
untuk dapat mengontrol gula darah dengan baik, melakukan olahraga sesuai
kemampuan dan toleransi tubuh, melakukan perawatan kaki secara rutin,
penggunaan alas kaki yang tepat, dan juga menghindari faktor-faktor resiko lain
yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetika.
68
B. Analisa Bivariat
1. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Derajat Ulkus Diabetika di
Klinik RUMAT
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan kuat antara skor
monofilamen dan derajat ulkus diabetika (p = 0.002, r = −0.504). Koefisien
korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, arinya hubungan antara variabel
skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika merupakan hubungan yang
terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah derajat
ulkus diabetika dan semakin rendah skor monofilamen maka semakin tinggi
derajat ulkus diabetika.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Purwanti (2012) menggunakan monofilamen 10g sebagai instrumen dalam
penelitiannya, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
neuropati sensorik dan kejadian ulkus diabetika (p=0.001Penelitian lain yang
dilakukan oleh Supriyanto (2001) dengan menggunakan EMG dan monofilamen
10g sebagai instrumen untuk menilai neuropati responden, penelitian ini
menyimpulkan bahwa semua pasien ulkus diabetika derajat 2 dan 3 memiliki
kelainan neuropati perifer berat, sedangkan hasil normal dan neuropati ringan
hanya dimiliki pada pasien dengan ulkus diabetika derajat 0, serta terdapat
hubungan bermakna antara neuropati perifer dan derajat ulkus diabetika
(p=0.001), yang berarti semakin berat neuropati perifer semakin berat derajat
ulkus diabetika.
69
Ulkus merupakan salah satu keadaan yang terjadi akibat adanya
komplikasi makroangiopati dan neuropati diabetik (Boulton, 2004). Dengan
adanya neuropati perifer pasien akan mengalami gangguan sensorik, yang
menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki sehingga pasien
mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan ulkus pada kaki. Umumnya
ulkus diabetika diakibatkan oleh trauma ringan pada kaki yang tidak sensitif
(Boulton, 2004).
Menurut peneliti, berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian yang telah
dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pada pasien-pasien dengan
neuropati perifer, pengurangan maupun hilangnya sensasi nyeri pada kaki dapat
menyebabkan tidak diperhatikannya trauma akibat pemakaian sepatu, trauma-
trauma kecil, dan kuku jari kaki yang cacat. Berkurangnya sensibilitas kulit pada
penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka
kecil pada kaki. Sehubungan dengan hal tersebut sebaiknya pasien-pasien
neuropati diabetik harus menjaga kesehatan kaki dengan melakukan perawatan
dan pemeriksaan kaki secara rutin. Apabila ada ulkus yang sulit disembuhkan
dengan segala pengobatan, maka tenaga kesehatan dapat meminta pemeriksaan
X-Ray dan melakukan pemeriksaan laboraturium untuk melihat leukosit pasien
agar dapat meniadakan kemungkinan osteomielitis, gangren, atau tertahannya
benda asing yang tidak dirasakan oleh pasien.
2. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Frekuensi Ulkus di Klinik
RUMAT
70
Hasil uji statisik menunjukkan bahwa ada hubungan moderat antara skor
monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus (p = 0.019, r = −0.393 ). Koefisien
korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara variabel
skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus diabetika merupakan hubungan
yang terbalik, dimana semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah
frekuensi terjadinya ulkus dan semakin rendah skor monofilamen maka semakin
tinggi frekuensi terjadinya ulkus diabetika.
Penelitian lain yang dilakukan oleh McGill et al (2005) didapatkan hasil
bahwa 55% ulkus terjadi akibat dari trauma karena penggunaan alas kaki. Faktor
resiko terjadinya ulkus diabetika yaitu pasien yang memiliki riwayat ulkus
sebelumnya atau riwayat amputasi sebelumnya dengan nilai P<0.0001 dan
pasien DM dengan masalah neuropati dengan nilai P = 0.03 (P<0.005). Dapat
disimpulkan bahwa pasien dengan riwayat ulkus sebelumnya dan memiliki
masalah neuropati memiliki resiko terjadinya kekambuhan ulkus atau kejadian
ulkus berulang. Responden dengan neuropati diabetik juga mengalami ulkus
lebih cepat dari pada rresponden yang tidak memiliki masalah neuropati saat
dilakukan observasi selama 12 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Crawford et al (2010) menyatakan bahwa
insiden terjadinya ulkus kaki diabetika di dalam cohort study ini adalah <2%,
hasil penelitian ini lebih rendah dari pada hasil penelitian lain (8-19%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama satu tahun ini didapatkan hasil
bahwa beberapa faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap kejadian
ulkus adalah riwayat amputasi sebelumnya, ketidakmampuan membedakan
71
temperatur, kegagalan mempertahan tekanan darah normal, ketidakmampuan
merasakan sentuhan monofilamen, dengan masing-masing item memiliki nilai
P<0.001, yang berarti bahwa penelitian yang dilakukan oleh Crawfard sejalan
dengan penelitian yang saya lakukan, yaitu terdapat hubungan antara hasil test
monofilamen dan kejadian ulkus berulang.
Lebih dari 50% amputasi non traumatik merupakan akibat dari komplikasi
ulkus diabetika, dan disertai dengan tingginya angka mortalitas, reamputasi dan
amputasi kontralateral. Bahkan setelah hasil perawatan dan penyembuhan luka
bagus, angka kekambuhan ulkus diabetika diperkirakan sekitar 66%, dan resiko
amputasi meningkat sampai 12%, hal tersebut erat kaitannya dengan masalah
neuropati pada pasien DM (Frykberb, 2002; Jones, 2007).
Beberapa faktor resiko untuk penyakit vaskuler dan neuropati perifer pada
pasien diabetes tidak dapat diobati, misalnya usia dan lamanya menderita
diabetes, tetapi banyak pula faktor resiko yang dapat ditangani, misalnya
merokok, hipertensi, hiperlipidemia, hiperglikemia, dan obesitas. Dengan
mendorong seorang pasien diabetes untuk berhenti merokok dan menuruti
nasehat ahli gizi dapat sangat mengurangi komplikasi jangka panjang secara
signifikan. Perawat mempunyai peranan khusus dalam memperkuat nasehat yang
diberikan kepada pasien dalam upaya mencegah perburukan ulkus dan kejadian
ulkus berulang, sama baiknya seperti dalam penatalaksaan luka setempat (Moya
J, 2004).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus diabetika dan
kekambuhan ulkus menurut Canadian Diabetic Association (2013) adalah
72
perawatan kaki harian, pencucian kaki, pengeringan kaki, kelembutan kaki,
penggunaan alas kaki, pemotongan kuku dan pencegahan cedera kaki. Aspek
yang memiliki pengaruh secara signifikan berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Dena (2014) yaitu perawatan kaki harian, pengeringan kaki, kelembutan
kaki, penggunaan alas kaki, dan pencegahan cedera kaki pasien ulkus diabetika
memiliki self care kaki yang buruk terhadap aspek-aspek tersebut. Sedangkan
aspek pencucian kaki dan pemotongan kuku tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kejadian ulkus diabetika dan kejadian ulkus berulanng.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan diperkuat oleh beberapa
penelitian lain, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara skor
monofilamen yang mengindikasikan neuropati dan frekuensi terjadinya ulkus
diabetika, hal ini dikarenakan jika pasien telah mengalami masalah neuropati
maka pasien tidak dapat merasakan sensasi pada kaki atau mengalami penurunan
terhadap sensasi proteksi pada kaki sehingga beresiko tinggi terjadinya trauma
berulang yang tidak dirasakan oleh pasien dan dapat mengakibatkan terjadinya
kekambuhan ulkus.
Menurut peneliti, masalah neuropati didukung oleh beberapa faktor lain yang
berperan terhadap peningkatan frekuensi terjadinya ulkus diabetika yaitu kontrol
gula darah yang buruk dan perawatan kaki yang tidak tepat.
73
C. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini.
Keterbatasan penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Tidak melihat kadar HBA1C dalam menetukan berapa lama riwayat pasien
memiliki DM, hanya penilaian subjektif dari responden.
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil analisis univariat untuk variabel karakteristik responden (jenis kelamin,
usia, lama menderita DM) di Klinik RUMAT pada bulan April 2014, yaitu:
Persentase jenis kelamin terbanyak adalah wanita (51.4%), usia responden terbanyak
berkisar antara 51–60 tahun (51.4%), dan riwayat DM terbanyak yaitu <10 tahun
(62.9%).
Berdasarkan hasil penelitian hubungan skor monofilamen dan ulkus diabetika di
Klinik Perawatan Luka RUMAT, dapat disimpulkan bahwa variabel dependen yaitu
skor monofilamen memiliki hubungan dengan variabel independen yaitu ulkus
diabetika (derajat ulkus dan frekuensi terjadinya ulkus), ditandai dengan hasil analisis
bivariat pada hubungan antara skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika
didapatkan nilai p=0.002, dengan koefisien korelasi bernilai negatif r= −0.504 yang
berarti hubungan antara kedua variabel merupakan hubungan yang kuat dan terbalik,
dimana skor monofilamen yang tinggi disertai dengan derajat ulkus yang rendah, dan
sebaliknya, dan hubungan diantara kedua variabel tersebut merupakan hubungan
yang kuat. Begitu pula dengan hasil analisis bivariat pada hubungan antara skor
monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus, didapatkan nilai p=0.019, dengan
koefisien korelasi bernilai negatif (r −0.393) yang berarti hubungan antara kedua
variabel merupakan hubungan yang terbalik, dimana skor monofilamen yang tinggi
disertai dengan frekuensi terjadinya ulkus yang rendah, begitu pula sebaliknya, dan
75
76
kekuatan hubungan diantara kedua variabel tersebut merupakan hubungan yang
moderat.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan maka dapat
diberikan beberapa saran kepada berbagai pihak yang berkenaan dengan skor
monofilamen dan ulkus diabetika sebagai berikut:
1. Bagi Pasien
Bagi pasien DM atau pasien yang memiliki riwayat ulkus perlu melakukan
perawatan kaki secara rutin dan melakukan kontrol kesehatan kaki secara berkala
serta memiliki kesadaran yang tinggi untuk segera melakukan perawatan luka
yang tepat jika diketahui memiliki luka.
2. Bagi Klinik/RS
Tenaga kesehatan di klinik/RS perlu memberikan pendidikan kesehatan mengenai
kontrol gula darah yang baik dan perawatan kaki yang tepat. Melakukan
screening test pada pasien DM untuk mengetahui seberapa besar resiko terjadinya
ulkus yang dimiliki pasien DM tersebut, mengadakan program cek kesehatan kaki
secara berkala.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan
mendalam mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian ulkus
berulang dan tingginya derajat ulkus, serta sebaiknya menggunakan rancangan
penelitian analitik observasional secara prospektif dengan case control sehingga
hasil penelitian menjadi lebih baik.
77
Bagi peneliti selanjutnya, untuk melihat hubungan neuropati dengan ulkus
diabetika, bisa menggunakan monofilamen 10g sebagai deteksi dini neuropati
perifer dan divalidasi menggunakan EMG sebagai standar baku untuk
mendiagnosis neuropati.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, Dena. 2014. Perbedaan Self Care Kaki Penderita DM Tipe 2 Dengan
Ulkus dan Tanpa Ulkus di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Semarang: FKIK Universitas Jendral Sudirman.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
A.J.M.Boulton, et.al. 2004. Neuropathic Diabetic foot ulceration .Engl.J. Med.351.
Alan, J. Sinclair. 2009. Diabetes in Old Age. USA: DP.
Ariyanti. (2012). Hubungan perawatan kaki dengan resiko kaki diabetes di RS.PKU
Muhammadiyah Yogyakarta (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Armstrong DG. 2000. The 10-g Monofilament. The diagnostic divining rod for the
diabetic foot. Diabetes Care.
Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandeira, Fransisco, et al. 2014. Endocrinology and Diabetes: A Problem-Oriented
Approach. New York: Springer.
Baradero, mary., dkk. 2009. Klien gangguan endokrin : Seri asuhan keperawatan.
Jakarta : EGC.
Booth J, Young MJ. 2000. Differences in the Performance of Commercially Available
10-g Monofilaments. Diabetes Care.
Boyko, A. 1999. A Prospective Study of Risk Factor For Diabetic Foot Ulcer. The
Seattle Diabetic Foot Study. USA: Departement of Medicine of Washington.
Canadian Diabetic Association. 2013. Foot Care: A Step Toward Good Health.
Diabetes.cal-800-banting (9 Juni 2014).
Chawla, Rajeev. 2012. Complication of Diabetes. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publisher.
Chadwick, P. 2002. An exploration of the knowledge, beliefs, behaviours and
decisions of people with type 2 diabetes who develop a foot ulcer. British
Journal of Podiatry 5.
Crawford, F. et al .2010. The Risk of Foot Ulceration in People With Diabetes
Screened in Community Settings: Findings from a Cohort Study. Oxford
University Press.
Dahlan, Muhamad Sopiyudin. 2010. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi
5. Jakarta: Salemba Medika.
Depkes R.I., 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.
Djokomoeljianto. 1997. Tinjauan Umum tentang Kaki Diabetes. Dalam:
Djokomoeljianto dkk, editor, Kaki Diabetik Patogenesis dan
Penatalaksanaannya. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Djokomoeljianto. 2000. Management of Type 2 Diabetik Melitus. A New Dimension
in the Treatment of type 2 diabetik: Repaglinide. Novo Dexa. PIT PAPDI,
Semarang.
E.B.Jude and A.J.M.Boulton. End-stage complications of diabetic neuropathy
Diab.Rev.7.
Endang, K. 1999. Elektrodiagnosis pada Polineuropati. Simposium pengelolaan
paripurna nyeri neuropati dalam menyongsong millennium III. Semarang.
Frykberb, Robert G.Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic Foot
Ulcers, Des Moines University, Iowa, 2002.
G.E.Reiber,L.et,al. 1999. Causal pathways for incident lower extremity ulcers in
patients with diabetic from two settings. Diab Care.157–162
Gibbons GW. 1995. The Diabeetic foot. In : Becker KL. Principles and Practice of
Endocrinology and Metabolism. Second eds. John Wiley & Sons Chichester.
New York.
Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes:Neurologi Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga.
Gries, F Arnold., et al. 2003. Textbook of Diabetic Neuropathy. New York : Thieme.
Gustaviani, Reno. 2006. Diagnosa dan Klasifiksi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III. Hal. 1857-1859. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Hastuti, R., 2008. Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes
Mellitus. Tesis Mahasiswa Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro
Harrison. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Vvolume 1. Jakarta: EGC.
Hermawan, Anreas. 2009. Rahasia Menyembuhkan diabetes Secara Tuntas dan
Alami.http://apitherapy.Terapad.com/resources/24982/uploadedfiles/eBook.R
ahasia Menyembuhkan Diabetes Secara Tuntas dan Alami-pdf- (01 November
2013).
Hess, Cathy Thomas. 2005. Wound Care. United States of Ammerica: Lippincott
Williams & Wilkins.
Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data. Jakarta: Salemba Medika
Inlow, S., et al. 2000. Best practices for the prevention, diagnosis and treatment of
diabetic foot ulcers. Ostomy/Wound Management.
Irawan, D. 2010. Prevalensi dan Faktor Resiko Diabetes Tipe 2 di Daerah Urban
Indonesia (Tesis). Jakarta: FKMUI
Heitzman, J. 2010. Foot Care for Patient with Diabetes, Topics in Geriatric
Rehabilitation.Vol 25. No.3. Wolter Kluwer Health. Lippincott Williams &
Wilkins.
Jeffcoate W, Macfarlane R. 1995. The Diabetic Foot An Illustrated guide to
management Chapman & Hall Medical. London.
Jude EB, Splittlet M, Connort H, Boulton AJM. 1999. The Diabetic Foot. Diabetic
Association Diabetic Medicine.
Khrisna, A, 2001. Masnawi, Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Langit Biru Tak
Berbingkai. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kumar S., et al. 1991. Semmes Weinstein Monofilaments: A simple effective and
inexpensive screening device for identifying diabetic patients at risk of foot
ulceration. Diabetes Research and Clinical Practice.
Lavery LA, Armstrong DG, Harkless LB. 1996. Classification of Diabetic Foot
Wounds. J Foot Ankle Surg.
Livingston, Matthew. 2008. Wagner Classification of Diabetic Foot Ulcers.
http://care.diabetesjournals.org/content/24/1/84.full (diakses pada tanggal 10
mei 2014)
Mayasari, L. 2012. Wanita menopause lebih beresiko diabetes mellitus. Diakses dari
http://www.health.detik.com (5 Juni 2012)
McGill, M., Molyneaux, and Yue, K.D. 2005. Which Diabetic Patients Should
Receive Podiatry Care? An Objective Analysis. Internal Medicine Journal (10
Mei 2014)
Meijer, J.G,. et al. 2005. Back to basics in diagnosing diabetic polyneuropathy with
the tuning fork. Diabetes Care.
Miranda, B. Palma, et al. 2005. A Comparison of the Monofilament with Other
Testing Modalities for Foot Ulcer Susceptibility. USA: Elsevier.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ulcer, Infeksi, Gangren. Jakarta: Penerbit
Populer Obor.
Mohlan H. Delf, Robert T. Manning. 1996. Major diagnosis fisik. Jakarta: EGC
Moffat, Marilyn. 2006. Integumentary Essentials. USA : SLACK Incorporated.
Morison, Moya J., 2003. Manajemen Luka. Editor edisi bahasa Indonesia, Florinda,
Monica Ester, sari kurnianingsih. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salmeba medika.
Perkins, B.A. et al. 2001. Simple screening tests for peripheral neuropathy in the
diabetic clinics. Diabetes Care.
Permana, H., 2008. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes.
www.pustaka.unpad.ac.id (23 oktober 2013).
Purwanti, Okti Sri. 2012. Hubungan Faktro Resiko Neuropati dengan Kejadian Ulkus
Kaki Pada Pasien DM di RSUD Moewardi Surakarta.Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Riyanto, D. 2007. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam: Darmono, dkk, editors. Naskah
Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Roy, H. Serge. Wolf, L. Steven. Scalzitti, A. David. 2012. The Rehabilitation
Specialist. New York.
Roza, V., 2008. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Dengan Komplikasi yang
Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2006. Skripsi Mahasiswa
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Sarwono, Waspadji. 2007. Kaki Diabetik: Kaitannya dengan Neuropati Diabetik.
Kaki Diabetik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang.
Sausa, Valmi, D., Zauszniewski, Jaclene., A. 2005. Toward a Theory of Diabetes
Self-Care Management. Journal of Theory Construction and Testing.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
Setyoko, Bambang Adi. 2003. Nilai Diagnostik Monofilamen 10g dan Skor Clinical
Neurological Examination (CNE) pada polineuropati diabetic. Tesis Program
Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Setyonegoro, K., 2009 ( adapted 1982). Pusat Penelitian dan Pengembangan Kalbe
Farma. Jakarta: Cermin dunia kedokteran.
Shahab, Alwi. 2006. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus. http://dokter
alwi.com/diabetes.html (01 November 2013).
Shrikhande, Gautam V. 2012. Diabetes and Pperipheral Vascular disease: Diagnosis
and Management. New York : Humana Press.
Smaltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Kepeprawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Vol 3. Jakarta: EGC.
Soegondo, S, dkk., 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Soewondo, P., et.al. 2010. The Diab Care Asia 2008 study –Outcomes on control and
Complications of Type 2 Diabetic Patients in Indonesia. Majalah Diabetik
Indonesia.
Soewondo, P., 2006. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Aru W, dkk, editors, Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit FK UI.
Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Supriyanto. 2001. Hubungan Antara Derajat Kaki Diabetik Dengan Neuropati
Perifer dan Iskemi Perifer Pada Penderita DM Tipe 2. Tesis Program
Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Sussman, C. Barbara, M., and Jensen, B. 2007. Wound Care: A collaborative
Practice Manual. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, Slamet. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III. Hal. 1857-1859. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Vinik AI, et.al. 2001. Diabetes Mellitus. A fundamental and Clinical text.2th ed.
Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins.
Vivienne, S.F. et al. 2007. Self-efficacy outcome expectation and self care behavior
in people with type 2 diabetes in Taiwan. Journal Compilation.
W. Sudoyo Aru, dkk. 2007. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, Jilid III.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Wagner FW. 1981. The Dysvascular Foot: A System of Diagnosis and Treatment.
Foot Ankle.
Waspadji, Sarwono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3, Edisi 4. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
WHO. 2000. Pencegahan diabetes Mellitus (Laporan Kelompok Studi WHO), alih
bahasa dr. Arisman. Jakarta : Hipokrates.
WHO. 2004. Global Burden Disease Report. www.who.int (23 oktober 2013)
WHO. 2008. Integrated Chronic Disease Prevention and Control. www.who.int (23
oktober 2013)
WHO. 2010. Global Burden of Chronic Noncommunicable Diseases.
www.who.int/bulletin/volumes/88/12/10-077891/en/ (23 oktober 2013)
Wisramayasa G, Ari Sutjahjo. 1997. Neuropati Diabetik Patogenesis dan
Penatalaksanaan. Majalah Diabetik Indonesia.
Xu Yin, T.D. et al. 2008. Factor Influencing Diabetes Self-Management in Chinese
People with type II Diabetes. Research in Nursing & Health.
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN
Saya, Adelina Vidya Ardiyati dari Program Studi Ilmu Keperawatan UIN
Syarif Hidayatulloh Jakarta akan melakukan penelitian yang berjudul
“HUBUNGAN ANTARA SKOR MONOFILAMEN DENGAN ULKUS
DIABETIKA DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor
monofilamen dengan kejadian ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT
Bekasi.
Saya sebagai peneliti ingin mengajak bapak/ibu untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Penilitian ini membutuhkan waktu sekitar dua minggu, dengan
jangka waktu keikutsertaan masing-masing responden selama kurang lebih 45
menit.
A. Kesukarelaan untuk ikut penelitian
Bapak/Ibu bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa ada
paksaan. Bila Bapak/Ibu sudah memutuskan untuk ikut, bapak/ibu juga bebas
untuk mengundurkan diri/berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau
sanksi apapun.
Bila bapak/ibu tidak bersedia untuk berpartisipasi maka bapak/ibu tetap akan
mendapatkan perawatan luka seperti biasanya.
B. Prosedur Penelitian
Apabila bapak/ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, bapak/ibu
diminta menandatangani lembar persetujuan ini. Prosedur selanjutnya adalah:
1. Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner untuk mengisi: Inisial Nama, Usia, Jenis
Kelamin, Lama memiliki DM, Frekuensi terjadinya ulkus diabetika.
Bapak/Ibu juga diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh
peneliti untuk mengetahui karakteristik demografi Bapak/Ibu.
2. Peneliti akan melakukan test monofilamen dan mengobservasi luka bapak/ibu
untuk menetukan derajat luka bapak/ibu.
C. Kewajiban Responden
Sebagai subyek penelitian, Bapak/ibu berkewajiban mengikuti aturan atau
petunjuk peneltian seperti yang tertulis diatas. Bila ada yang belum jelas,
bapak/ibu bisa bertanya lebih lanjut kepada peneliti.
D. Kerahasiaan
Semua informasi yang berkaitan dengan identitas responden akan
dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian akan
dipublikasikan tanpa identitas responden.
E. Informasi tambahan
Bapak/ibu diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum
jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu bapak/ibu
membutuhkan penjelasan lebih lanjut, bapak/ibu dapat menghubungi saya
Adelina Vidya Ardiyati pada No Hp 085716138120.
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth,
Bapak/Ibu
di
Tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Adelina Vidya Ardiyati
Nim : 1110104000004
Status : Mahasiswa Ilmu Keperawatan UIN Jakarta
Dengan ini memohon kepada Bapak/Ibu untuk bersedia menjadi responden pada
penelitian yang saya lakukan yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA SKOR
MONOFILAMEN DENGAN ULKUS DIABETIKA DI KLINIK PERAWATAN
LUKA RUMAT BEKASI”.
Demikian Saya sampaikan, atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan
terimakasih.
Hormat Saya,
Adelina Vidya Ardiyati
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Judul : Hubungan Antara Skor Monofilamen Dengan Ulkus Diabetika Di Klinik
Perawatan Luka Rumat Bekasi.
Peneliti : Adelina Vidya Ardiyati
Nomer Hp : 085716138120
Pembimbing :
1. Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep.
2. Yenita Agus M.Kep.,Sp.Mat.,PhD
Saya telah memahami tujuan, manfaat, prosedur, gambaran resiko daan
ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, serta penjaminan kerahasiaan identitas
pada penelitian ini. Tanpa adanya unsur paksaan dan secara sukarela saya
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Jakarta, April 2014
Tanda Tangan Responden Tanda Tangan Peneliti
Adelina Vidya Ardiyati
KUESIONER DAN LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN
Hubungan Antara Skor MonofilamenDengan Ulkus Diabetika Di Klinik
Perawatan Luka Rumat Bekasi
I. IDENTITAS RESPONDEN
Tanggal pengisian :
No. Kode :
1. Inisial Responden :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan
4. Lama menderita DM :
5. Frekuensi ulkus :
6. Derajat luka :
7. Skor Monofilamen :
II. HASIL TEST
Lampiran
Hasil Uji Normalitas Data
Hasil Uji Univariat
Hasil Uji Bivariat
Hasil Crosstabulation