51
Jama’ah Islamiyah sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Transnasional Tugas ini diajukan untuk memenuhi penugasan mata kuliah Kejahatan Transnasional Nama NPM : Alpinaliah Rahmijati : 170210090044 Program Studi Hubungan Internasional 1

Aktifitas Jama'ah Islamiyah DItinjau dari Kejahatan Transnasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah ini membahas mengenai aktfifitas Jama'ah Islamiyah dari Perspektif Kejahatan Transnasional, terutama terorisme sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional

Citation preview

Jamaah Islamiyah sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan TransnasionalTugas ini diajukan untuk memenuhi penugasan mata kuliah Kejahatan Transnasional

NamaNPM: Alpinaliah Rahmijati: 170210090044

Program Studi Hubungan InternasionalFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Padjadjaran2014

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangGlobalisasi secara tidak langsung menjadi katalisator terjadinya kejahatan transnasional. Perkembangan teknologi dan informasi mendorong semakin intensifnya keterhubungan antara individu di era globalisasi. Keterhubungan yang semakin intensif ini di satu sisi menguntungkan karena mempermudah interaksi, mendorong terjadinya kerjasama baik antara negara, organisasi maupun individu. Namun disisi lain, keterhubungan yang semakin intensif ini menjadi sarana bagi para pelaku kriminal untuk meningkatkan aktifitasnya baik di tingkat domestik maupun global. Terjadinya hubungan lintas batas dimana teritori negara seolah mengabur mengakibatkan terkikisnya kedaulatan negara. Hal ini menyebabkan negara kini tidak lagi mampu sendiri untuk menjamin keamanan individu dan masyarakatnya. Ralf Emmers menyatakan bahwa other forms of transnational crimes effects state and their societies, bahwa kejahatan transnasional kini tengah mengancam tidak hanya negara tapi juga masyarakat hingga individu.Untuk menjelaskan mengenai konsep ancaman yang ditimbulkan oleh Emmers, kita bisa mengambil dari penjelasan keamanan global. Dari penjelasan keamanan global kita dapat memahami mengapa suatu isu menjadi isu global, terutama terkait dengan perluasan konsep ancaman. Pasca Perang Dingin, terjadi pergeseran pandangan tentang ancaman terhadap keamanan. Ancaman utama terhadap keamanan bukan lagi datang dari kekuatan militer dari negara-negara lain, tetapi juga berupa ancaman yang sifatnya non-militer maupun militer yang berasal dari aktor non-negara. Seperti yang dinyatakan Barry Buzan bahwa keamanan merupakan hal yang menyangkut masalah kelangsungan hidup. Jika ada unit-unit atau prinsip-prinsip yang terancam oleh sesuatu, hal tersebut merupakan ancaman eksistensial sehingga harus sesegera mungkin ditangani.Secara etimologis, konsep keamanan (security) berasal dari bahasa latin securus yang bermakna terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan. Kata ini bisa juga bermakna liberation from uneasiness, or a peaculf situation without any risk or threaths.[footnoteRef:1] Keamanan pasca Perang Dingin tidak lagi diartikan sempit sebagai hubungan konflik atau kerjasama antar negara (interstate relations), tetapi juga berpusat pada kemaanan untuk masyarakat.[footnoteRef:2] Berbeda dengan konsep keamanan tradisional yang mana menjadi monopoli suatu negara, konsep keamanan baru lebih universal dan bersifat global. Adanya redefinisi konsep keamanan tradisional (nasional) ke keamanan non tradisional (global) dapat dilihat lima dimensi keamanan yaitu: [1: Liota P.H. Boomerang Effect: the convergence of national and human security dalam security dialogue. Vol 33 No. 4. Hal 473-488. 2000] [2: Simon Dalby, Security, Modernity, Ecology: The Dilemmas of post cold war Security Discourse, Alternatives, vol 1, 1992 hlm 102-103. ]

The origin of threats Pada keamanan tradisional ancaman selalu bersifat eksternal (negara musuh), sedangkan ancaman dalam keamanan non tradisional dapat berasal dari eksternal maupun internal The nature of the threatsDalam keamanan tradisional ancaman biasanya adalah ancaman militer, sedangkan dalam dalam keamanan non tradisional isunya lebih kompleks dengan masuknya isu-isu lain seperti ekonomi, sosial budaya, Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan hidup. Changing responseDulu respon yang muncul berupa kekerasan atau militer sekarang yang dipakai adalah pendekatan-pendekatan non militer seperti budaya,ekonomi, politik hukum atau sosial Changing responsibility of securityBagi keamanan tradisional negara adalah organisasi politik yang berperan penuh dalam menyediakan keamanan bagi selurh wagnaya, sedangkan dalam keamanan non tradisional agenda pokoknya adalah human security sehingga semua indibvidu bertanggung jawab untuk bekerja sama menangani isu-isu keamanan. Core values of SecurityBerbeda dengan kaum tradisional yang menekankan pada nilai national independence kemanan non tradisional menekankan pada nilai-nilai kemanusian yang perlu dilindungi.Kejahatan transnasional dalam hal ini adalah sebuah bentuk ancaman baru bagi keamanan global. Bila kita tinjau dari poin nature of threats, kejahatan transnasional adalah sebuah isu yang kompleks. Ancamannya bersifat multidimensional, tidak hanya mengancam secara politik terhadap kedaulatan negara, juga mengancam nilai-nilai kemanusiaan, terutama apabila tindakan kejahatannya berupa tindakan kekerasan. Namun tindakan tanpa kekerasan pun berakibat pada sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Aktifitas kejahatannya yang memiliki jaringan yang melewati batas negara ini melemahkan baik kredibilitas maupun kedaulatan negara. Seringkali bahkan dampak dari kejahatan ini tidak hanya dirasakan oleh satu negara, namun terjadi efek lintas batas yang mengancam keamanan kawasan hingga global.Berdasarkan pemaparan diatas, bisa disimpulkan bahwa kejahatan transnasional merupakan salah satu bentuk ancaman bagi keamanan global. Ada perubahan fokus keamanan bahwa ancaman tidak hanya muncul dari kekuatan militer negara lain tetapi juga dari aktor-aktor negara baik individu maupun kelompok. Bentuk ancaman tersebut bisa berupa kejahatan yang bersifat kekerasan seperti terorisme, pembajakan pesawat terbang atau kapal laut atau kejahatan yang non-kekerasan seperti kejahatan komputer, bisnis ilegal, korupsi dan penyogokan dan sebagainya.Salah bentuk kejahatan transnasional yang menjadi isu penting di tingkat global selama hampir satu dekade ini adalah terorisme. Kejahatan terorisme ini bersifat radikal dan menggunakan tindakan teror dalam pencapaian tujuannya. Seringkali kejahatan terorisme yang dilakukan menimbulkan konsekuensi bagi keamanan manusia karena korban manusia yang jatuh jumlahnya seringkali tidak sedikit. Aktifitas terorisme seringkali bersifat transnasional, melewati batas negara sehingga dalam penangannya mustahil dilakukan secara uniter. Negara-negara harus bekerjasama satu sama lain baik dalam penyelidikan, pembagian informasi hingga penangkapan pelaku terorisme. Hal ini menyebabkan isu terorisme menjadi salah satu isu penting dalam hubungan internasional saat ini.Salah satu peristiwa terorisme yang berpengaruh dalam beberapa dekade ini adalah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Pada hari itu terjadi pembajakkan dua pesawat terbang yang dilakukan oleh teroris. Dua pesawat yang kemudian dikendalikan para teroris tersebut kemudian ditabrakkan secara sengaja ke Menara Kembar World Trade Center dan gedung Pentagon. Diantara kedua bangunan yang ditabrak tersebut, gedung WTC adalah yang mengalami dampak terparah. Bangunan tersebut mengalami kehancuran yang mengakibatkan jatuhnya korban dalam jumlah yang banyak. Selain di Amerika Serikat, di kawasan Asia Tenggara salah satunya Indonesia peristiwa terorisme pun terjadi. Peristiwa pengeboman di Bali beberapa tahun yang lalu tersebut memiliki motif yang sama, yaitu teror yang memiliki latar belakang agama. Peristiwa 9/11 akhirnya mendorong Amerika Serikat untuk mendorong dunia internasional agar meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap tindakan terorisme. Amerika Serikat sendiri mengeluarkan War on Terrorism sebagai salah satu bentuk upaya dalam memberantas terorisme. Amerika Serikat juga mendorong negara lain agar meningkatkan kepedulian dalam memberantas tindakan terorisme, misalnya mendorong agar negara-negara memiliki undang-undang anti-terorisme atau mengadakan pelatihan bersama. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang menjalin hubungan kerjasama dengan negara-negara lain misalnya Australia dalam meningkatkan kapabilitas terkait pemberantasan terorisme.Aktifitas terorisme di Indonesia terkait erat dengan perkembangan gerakan islam radikal. Salah satu gerakan islam radikal yang dikenal di Indonesia adalah Jamaah Islamiyah. Jamaah Islamiyah adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk membentuk negara Islam dengan lingkup negara meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina. Dalam aktifitas mencapai tujuannnya, organisasi ini melakukan tindakan teror seperti pengeboman. Ciri khas teror yang dilakukan oleh organisasi ini adalah sasaran yang dituju biasanya adalah tempat-tempat di kawasan Asia Tenggara yang menjadi representasi kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya.Disamping gerakan islam radikal, motif ekonomi juga diduga menjadi pendorong dilakukannya tindakan teror oleh kelompok ini. Kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia adalah kawasan yang memiliki jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Umat Islam yang ada tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik itu radikal maupun moderat. Namun faktor yang bisa memicu hingga dilakukannya tindakan kekerasan ekstrim seperti teror adalah faktor ekonomi. Kemiskinan, ketimpangan global antara negara yang kaya dan negara yang miskin menyebabkan tindakan teror menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan dan menuntut keadilan global. Cara ini ditempuh dikarenakan mereka tidak memiliki cara lain agar kepentingan mereka dapat didengar.Salah satu organisasi Islam radikal adalah Jamaah Islamiyah (JI). Pada tahun 2002 kita mengenal organisasi ini sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap pengeboman di beberapa tempat di Indonesia seperti Bali dan Jakarta. Dalam melakukan pengebomannya, JI menjadikan tempat-tempat yang berkaitan dengan pihak Barat sebagai sasaran. Hal ini menjadi semacam motif politik untuk mencapai tujuan organisasi mendirikan negara Islam. JI melihat pihak Barat seperti Amerika dan sekutunya sebagai musuh besar Islam dan tindakan pengeboman yang dilakukan adalah sebuah bentuk jihad. Dalam melakukannya aktifitasnya JI ternyata memiliki cakupan operasi yang luas dengan unit-unit organisasi yang tersebar di beberapa negara di Asia Tenggara. Jaringan organisasi ini pun tidak berhenti di Asia Tenggara, namun juga Asia Selatan hingga ke Afghanistan. Jaringan yang luas ini mengindikasikan bahwa JI adalah sebuah ancaman bagi kawasan Asia Tenggara, terutama dengan melihat banyak tindakan kekerasan seperti teror bom yang dilakukannya. Makalah ini akan berjudul:Pada tulisan ini, penulis akan membahas mengenai aktifitas Jamaah Islamiyah ditinjau dari sudut pandang kejahatan transnasional. Tulisan akan dimulai dengan pemaparan mengenai teori dan konsep terkait kejahatan transnasional dan terorisme. Metode kajian yang digunakan adalah analisis deskriptif. Kemudian pembahasan akan dilanjutkan pada objek kajian yaitu Jamaah Islamiyah baik itu sejarahnya maupun aktifitasnya. Pada bagian pembahasan penulis akan memaparkan mengenai kategori terorisme yang dilakukan oleh JI serta mengapa aktifitas terorisme yang dilakukannya bisa dikategorikan sebagai kejahatan transnasional. 1.2 Rumusan Permasalahan Bagaimana aktifitas Jamaah Islamiyah dikategorikan sebagai tindakan terorisme? Teori apakah yang terdapat dalam kasus terorisme dalam1.3 Tujuan Penelitian Memberikan gambaran serta memaparkan mengenai Jamaah Islamiyah beserta ancamannya Mengidentifikasi dan menganalisis mengenai teori-teori yang terdapat dalam kasus terorisme oleh Jamaah Islamiyah1.4 Manfaat Penelitian Memberikan pengetahuan mengenai Jamaah Islamiyah beserta aktifitasnya Memberikan pengetahuan mengenai teori-teori apa yang terdapat dalam kasus terorisme yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transnasionalisasi dan TransnasionalismeUntuk memahami kejahatan transnasional sebelumnya kita harus memahami transnasionalisasi dan transnasionalisme. Ludger Pries menyatakan mengenai tujuh bentuk internasionalisasi dimana transnasionalisasi adalah salah satu bentuk akhirnya. Bentuk lain dari internasionalisasi lainnya menurut Pries yaitu: Inter-nasionalisasi: hubungan dan interaksi antara bangsa dimana interaksi yang terjadi adalah interaksi berdasarkan negara bangsa. Supra-nasionalisasi: merupakan peningkatan dari negara bangsa menuju bentuk supra-nasional namun belum sepenuhnya menjadi unit yang global Re-nasionalisasi: memperkuat batas-batas teritori yang telah ada atau membagi ruang sosial-geografis yang ada sebelumnya menjadi entitas sosial atau ruang yang lebih beragam Globalisasi: persepsi mengenai perluasan dan perpanjangan dari transaksi internasional, komunikasi, praktek sosial, simbol-simbol, kejadian-kejadian, resiko dan hak-hak. Diaspora-internasionalisasi: berbagi ruang sosial yang sama dikarenakan adannya kesamaan tanah air walaupun berada ruang geografis, batas-batas peradaban atau integrasi bangsa yang berbeda-beda. Transnasionalisasi: pluri-lokal dan hubungan sosial transnasional, jaringan-jaringan dan praktiknya yang menyebar melewati ruang-ruang sekat tradisional dari masyarakat berbasis nasional.Transnasionalisasi adalah sebuah hubungan dimana ruang sosial-geografis tidak lagi menjadi sekat yang membatasi. Transnasionalisasi membentuk suatu ruang sosial transnasional dimana didalamnya terdapat praktik-praktik keseharian seperti kerjasama, transaksi, aliran pekerja, migrasi bahkan tindakan kriminal yang dilakukan antar individu, kelompok atau individu dan kelompok. Prosesnya berlangsung secara terus menerus dan semakin intensif, terutama dikarenakan perkembangan teknologi dan transportasi.Transnasionalisasi yang berlangsung secara terus menerus menimbulkan suatu pola tertentu yang memiliki karakteristik khusus. Pries menyatakan dalam proses transnasionalisasi, akan selalu terdapat tiga karakteristik sebagai berikut: Pola aksi dan perilaku yang berulang dan dapat dipastikan Memunculkan aturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai transnasional yang baru Terdapat kerangka kerja yang kompleks dari regulasi dan institusiKetiga karekteristik inilah yang memunculkan suatu konsep yang disebut dengan transnasionalisme. Namun, dalam pendefinisiannya kosep transnasionalisme mengalami sedikit perdebatan dikarenakan antara satu ahli dan ahli lainnya memiliki perbedaan pendapat. Beberapa ahli menolak untuk mendefinisikannya secara tunggal karena menurut mereka transnasionalisme memiliki pemahaman yang berbeda apabila diterapkan di bidang yang berbeda. Gustavo Cano adalah salah satu ahli yang mendukung hal ini. Dia berpendapat bahwa perdebatan mengenai istilah ini masih terbatas di kalangan ilmuwan sosial dan hanya digunakan oleh kalangan ilmuwan sosial saja sehingga upaya pendefinisian secara tunggal hanya akan membatasi maknanya. Sementara Michael Peter Smith menyatakan definisi konsep transnasionalisme sebagai berikut:...a marker of the criss-crossing transnational circuits of communication and crosscutting local, translocal and transnational social practices that come together in particular places at particular times and enter into that contested politics of place-making, the social construction of power differentials, and the making of individual, group, national and transnational identities ant their corresponding fields of differences...Smith mendefinisikan konsep transnasionalisme sebagai suatu penanda dari proses transnasionalisasi. Berbeda dengan Cano, Smith justru berpendapat karena transnasionalisasi adalah suatu proses yang terjadi di hampir semua bidang maka transnasionalisme adalah suatu konsep yang memiliki definisi tersendiri. Proses dan rangkaian proses dari transnasionalisasi tersebut yang justru membangun istilah transnasionalisme itu sendiri. 2.2 Kejahatan TransnasionalKejahatan transnasional atau yang dalam lingkup multilateral disebut sebagai kejahatan transnasional terorganisasi adalah kejahatan lintas negara yang bersifat kompleks dan aktor pelakunya adalah kelompok-kelompok terorganisasi yang aktifitasnya berpengaruh keluar negara tempat kelompok tersebut berasal. Kompleksitas kejahatan yang dilakukan ini didorong dengan perkembangan teknologi dan transportasi yang menyebabkan tingkat keterhubungan antar individu, kelompok hingga negara semakin intensif. Keterhubungan ini menyebabkan aktifitas pergerakan dan komunikasi manusia semakin mudah, namun di sisi lain juga mempermudah kelompok-kelompok kriminal untuk mengorganisasi kegiatannya melewati batas-batas ruang dan waktu.Istilah kejahatan transnasional telah dikemukakan sejak tahun 1970-an oleh sejumlah organisasi internasional. Pada masa itu kejahatan transnasional adalah istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan bentuk kejahatan kontemporer dimana aktifitas kriminalnya dilakukan secara terorganisir oleh kelompok tertentu dengan karakteristik yang khas. Karakteristik tersebut ditandai dengan aktifitas kriminal yang diperlakukan sebagaimana bentuk bisnis. Organisasi Internasional pertama yang mengangkat istilah kejahatan transnasional adalah PBB dalam Kongres PBB pada tahun 1975 tentang Pencegahann Kejahatan dan Penanggulangan Pelaku Kejahatan (United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders).Definisi lain mengenai kejahatan transnasional adalah Gerhard O. W. Mueller dalam bukunya yang berjudul Transnational crime: Definitions and Concepts. Mueller menyatakan bahwa kejahatan transnasional adalah ...certain criminal phenomena transcending international borders, trans-gressing the laws of several states or having an impact on another country[footnoteRef:3] Kejahatan transnasional adalah fenomena kriminal tertentu yang melewati batas-batas internasional, hukum negara atau memiliki dampak terhadap negara lainnya. Mueller menekankan aspek internasional seperti batas internasional dan antar negara sebagai karakteristik dari kejahatan transnasional. [3: Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime: Definitions and Concepts, Transnational Organized Crime 4, no. 1998 (n.d.).]

Definisi lain mengenai kejahatan transnasional adalah dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Dalam pendefinisiannya UNODC membagi definisi kejahatan transnasional kedalam dua bagian terlebih dahulu yaitu kejahatan yang terorganisasi dan transnasional. Kejahatan yang terorganisasi didefinisikan oleh UNODC sebagai berikut:...shall mean a structured group of three or more persons, existing for a period of time and acting in concert with the aim of committing one or more serious crimes or offences established in accordance with this Convention, in order to obtain, directly or indirectly, a financial or other material benefit. (UNODC, 2004:5).Sedangkan definisi mengenai transnasional berdasarkan konvensi UNODC (UNODC, 2004:6) terbagi menjadi beberapa poin sebagai berikut:a) It is committed in more than one State;b) It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;c) It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; ord) It is committed in one State but has substantial effects in another StateSelain UNODC, terdapat konvensi PBB yang khusus membahas mengenai kejahatan transnasional yaitu The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Melalui konvensi ini, PBB pada tahun 2000 berupaya menemukan instrumen multilateral untuk mengajukan suatu kategori yang global dan homogen dalam mengidentifikasi dan melawan kejahatan lintas-batas. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memperoleh pengakuan internasional terkait konsep ancaman yang diajukan, dimana konvensi berupaya mengelaborasikan hukum-hukum nasional dan praktik-praktik penegakan hukum di setiap negara peserta konvensi. Teks dari konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum di tahun 2000 dan berlaku sejak tahun 2003 dan menjadi referensi utama dalam perjuangan kontemporer melawan aktifitas ilegal yang melintasi batas. Tujuan utama dari diciptakannya konvensi PBB ini diantaranya adalah: Berupaya untuk mengharmonisasikan perlawanan terhadap tindak kriminal. Hal ini akan membantu agar hukum-hukum yang berbeda di setiap negara menjadi sejalan dan jelas. Konvensi ini memberikan sejumlah definisi universal mengenai konsep hukum kriminal yang terkait dengan kejahatan yang terorganisasi, seperti keikutsertaan dalam kelompik kejahatan terorganisasi, pencucian uang dan korupsi. Membantu memfasilitasi kerjasama antara negara dalam masalah penegakan hukum dengan membuat suatu prosedur untuk pendampingan dan ekstradisi dalam kerangka kerja global dan dalam investigasi pelaku.John R. Wagley menyatakan kejahatan transnasional terorganisasi terbagi menjadi dua bentuk yaitu yang memiliki jaringan tradisional dan kejahatan transnasional terorganisasi yang memiliki jaringan modern. Kelompok tradisional memiliki struktur yang hierarkis yang beroperasi secara terus menerus atau dalam suatu periode yang lama. Biasanya kelompok tradisional ini memiliki ikatan dengan negara tempat mereka berada, secara tidak langsung mereka terikat dengan kontrak dan pelayanan terhadap negara dimana mereka berada[footnoteRef:4]. Sedangkan jaringan kelompok modern cenderung lebih terdesentralisasi, seringkali cara kerjanya seperti struktur sel. Jaringan kelompok modern juga biasanya tidak tergantung kepada negara tempat mereka berada. Dana aktifitas seringkali diperoleh dari pencucian uang dan aktifitasnya semakin efektif manakala negara tempat mereka berada memiliki kepemerintahan yang lemah. [4: Louise Shelley, The Unholly Trinity: Transnational Crime, Corruption and Terrorism Brown Journal of World Affairs, Winter/Spring 2005.]

Pada tahun 1995, PBB telah mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional, yaitu pencucian uang, terorisme, pencurian benda seni dan budaya, pencurian kekayaan intelektual, perdagangan senjata gelap, pembajakan pesawat, pembajakan laut, penipuan asuransi, kejahatan komputer, kejahatan lingkungan, perdagangan orang, perdagangan bagian tubuh manusia, perdagangan narkoba, penipuan kepailitan, infiltrasi bisnis, korupsi, dan penyuapan pejabat publik atau pihak tertentu.[footnoteRef:5] [5: Garda T. Paripurna, Sekilas Tentang Kejahatan Transnasional, Riset Hukum Kejahatan Transnasional, 2008, http://risethukum.blogspot.com/, diakses 12 Maret 2014.]

Terorisme termasuk kedalam salah satu bentuk dari kejahatan transnasional dikarekanan memenuhi parameter yang disampaikan oleh UNODC yang dipaparkan diatas diantarannya adalah aktifitasnya terdapat di lebih dari satu negara, dilakukan di satu negara namun bagian substansial dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrolnya bertempat di negara lain, melibatkan kelompok kejahatan terorganisasi di lebih dari satu negara dan memiliki efek yang substansial terhadap negara lain.2.3 TerorismeDefinisi antara teroris dan kejahatan terorganisasi seringkali disamakan namun keduanya memiliki perbedaan. Kesamaan antara terorisme dan kejahatan terorganisasi terletak pada bentuk operasi kejahatan yang menyerupai struktur sel yang tidak terpusat, menjadikan penduduk sipil sebagai target. Namun dalam hal motif keduanya memiliki perbedaan. Many experts distinguish the groups by motive: criminal are driven by financial gain and terrorists by political, sometimes reiligious goals[footnoteRef:6]. Teroris melakukan aktifitasnya untuk mencapai tujuan politik. Tindakan kekerasan seperti pengeboman atau penculikan yang dilakukan oleh teroris semata-mata adalah tindakan untuk mengekspresikan strategi politik menentang pihak yang lebih berkuasa dan mencapai kepentingan kelompok. [6: John R. Wagley, Transnational Organized Crime: Principal Threats and U.S. Responses Foreign Affairs, Defense and Trade Division, Congressional Reserach Service. 3]

Uni Eropa menjelaskan bahwa tindakan terorisme adalah tindakan yang bertujuan untuk: Secara serius mengintimidasi sebuah populasi Berupaya melumpuhkan pemerintah atau organisasi internasional dalam bertindak Secara serius mendestabilisasi atau menghancurkan secara fundamental struktur politik, konstitusional, ekonomi atau sosial dari suatu pemerintahan atau organisasi internasionalDavid Rapoport membagi empat gelombang besar dari terorisme internasional yaitu: gelombang pertama adalah terorisme modern pertama yang bermula di Rusia pada tahun 1880an hingga 1920an, gelombang pertama ini disebut Rapoport sebagai anarkis. Gelombang kedua dari tahun 1920an hingga 1960an (antikolonial), gelombang ketiga (kiri baru) dari tahun 1960an hingga 1980an dan gelombang keempat (agama) yang berlangsung dari tahun 1979 hingga sekarang. Selama beberapa dekade empat gelombang terorisme tersebut tindakan teroris telah menyebabkan kehancuran dan banyak korban. Menurut Rapoport setiap gelombang tersebut memiliki identitas politik tersendiri dan mengilustrasikan tren ideologi dalam terorisme selama seabad terakhir ini. Rapoport juga menyatakan bahwa penamaan setiap gelombang lebih merefleksikan ideologi yang dominan pada masanya, namun bukan satu-satunya ideologi pada masa itu. Perbedaan motif di setiap gelombang menunjukkan bahwa dalam memberantas terorisme tidak cukup hanya mencegah tindakan kekerasan namun juga memahami motif tindakan hingga akar permasalahan yang sesungguhnya.Dalam kajian tulisan ini, teori yang akan digunakan adalah teori gelombang keempat terorisme dari Rapoport. Pada gelombang keempat, ideologi politik yang dominan adalah agama. Faktor agama inilah yang digunakan sebagai faktor penyatu dari organisasi-organisasi teroris. Dalam melakukan aktifitas yang bersifat transnasional organisasi membutuhkan sebuah doktrin kuat yang bisa menjustifikasi perbuatan sekaligus menjadi motif yang dapat memotivasi keterikatan anggota terhadap kegiatan. Agama diaplikasikan sebagai tujuan politik dengan imbalan surga untuk mendorong anggotanya agar mampu berkomitmen melakukan serangan-serangan brutal. ...terrorism motivated either in whole or in part by a religious imperative, where violence is regarded by its practitioners as a divine duty or sacramental act, embraces markedly different means of legitimization and justification than that committed by secular terrorists, and these distinguishing features lead, in turn, to yet greater bloodshed and destruction (Hoffman, 2006: 83).

Gelombang keempat ini menurut Rapoport berakar dari dua kejadian penting yaitu Revolusi Iran dan juga invasi Afghanistan yang dilakukan oleh Rusia pada tahun 1979. Walaupun serangan terorisme atas nama agama pun dilakukan oleh agama lain seperti Kristen, Hindu dan juga Judaisme, gelombang keempat ini karakternya didominasi oleh terorisme Islam fundamentalis (Rapoport, 2004:52). Hoffman mencatat pada 2005 bahwa 31 dari 35 kelompok teroris yang telah melakukan serangan bom bunuh diri semenjak peristiwa 9/11 memiliki ideologi Jihad (Atran, 2006:127). Motif agama yang digunakan ini menyulitkan pihak-pihak yang berupaya mencegah terjadinya serangan teror. Seringkali dilakukan generalisasi mengenai karakteristik pemerintahan, tingkat demokrasi atau ketiadaan kekuatan militer sebagai penyebab dilakukannya tindakan terorisme. Namun hal ini justru berbahaya karena bisa melemahkan kewaspadaan. Ketika motif agama yang menjadi justifikasi maka rasio umum tidak bisa digunakan dalam melakukan pencegahan. Diperlukan pemahaman agama tersebut untuk bisa memahami akar permasalahan dan radikalisasi untuk mencegah agar paham radikal tersebut tidak menyebar.Those who believe suicide terrorism can be explained by a single political root cause, such as the presence of foreign military forces or the absence of democracy, ignore psychological motivations, including religious inspirations, which can trump rational self-interest to produce horrific or heroic behavior in ordinary people (Atran, 2006: 144). Rapoport kemudian membagi lagi terorisme agama kedalam dua jenis. The first we call Political religious terrorism, the second milleniaristic terrorism[footnoteRef:7]. Terorisme agama jenis pertama digunakan untuk menjustifikasi tindakan dan menarik pengikut dalam mencapai tujuannya. Tujuan politik yang dimaksud disini misalnya adalah pada upaya perlawanan di Irak dan Afghanistan. Terorisme yang dilakukan ditujukan untuk melawan musuh Islam. Sedangkan terorisme agama jenis kedua tidak memiliki tujuan keduniawian dan berupaya meraih tujuan abstrak suci yang lebih tinggi lagi yang mustahil untuk diraih seperti surga. [7: Concept of Terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk Transnational Terrorism, Security and The Rule of Law. December 2008.]

BAB IIIOBJEK PENELITIAN

3.1 Jamaah Islamiyah3.1.1 Profil UmumPada awal kemunculannya, Jamaah Islamiyah terkait erat dengan gerakan Darul Islam (DI). DI adalah organisasi radikal yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia ketika Indonesia lepas dari penjajahan Belanda. Walaupun pergerakannya berhasil dihentikan oleh tentara nasional, namun akhirnya pemerintah Indonesia pada saat itu berupaya untuk mengambil jalan tenga dengan mendorong DI agar dapat bermitra dengan Partai Komunis Indonesia. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah dua orang anggota Darul Islam yang karena aktifitasnya sempat dipenjarakan sebelum akhirnya melarikan diri ke Malaysia selama masa kepemerintahan Soeharto.Selama masa pelariannya di Malaysia, Baasyir dan Sungkar memperluas jaringan mereka hingga ke Afghanistan. Pada saat itu di Afghanistan tengah terjadi konflik dan kesempatan ini digunakan keduanya untuk bekerjasama dengan organisasi radikal yang ada disana. Those who traveled the training camp of Pakistan and the battlefields of Afghanistan gained important military skills, including instruction on explosives, mines, maps and infantry tactics[footnoteRef:8]. Ketika di Afghanistan inilah mereka bertemu dan menjalin jejaring dengan Osama bin Laden. Osama bin Ladenlah yang kedepannya mendorong Baasyir dan Sungkar melalui Jamaah Islamiyah untuk melakukan serangan terorisme secara independen dengan pihak Barat sebagai target utamanya. [8: Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but still dangerous, International Crisis Group, August 26, 2003, 5, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asiaIndonesia/063%20Jemaah%20Islamiyah%20in%20South%20East%20Asia%20Damaged%20but%20Still%20Dangerous.ashx]

Jamaah Islamiyah adalah organisasi radikal Islam yang memiliki struktur hierarkis dengan unit operasional dan administratif yang tersebar di kawasan Asia Tenggara. Unit-unit yang tersebar ini disebut dengan nama Mantiqi. David Gordon, seorang peneliti dalam Proyek Ancaman Transnasional di CSIS menyatakan terdapat empat unit operasi Mantiqi Jamaah Islamiyah di kawasan Asia Tenggara: Mantiqi I: Malaysia dan Singapura Mantiqi II: Indonesia Mantiqi III: Mindanao, Sabah dan Sulawesi Mantiqi IV: Papua dan AustraliaSelain jaringan dengan Osama Bin Laden, Jamaah Islamiyah juga menjalin jejaring dengan militan-militan di kawasan Asia Tenggara. Kader-kader Jamaah Islamiyah Indonesia banyak dilatih di kamp-kamp pelatihan yang berlokasi di Thailand, Malaysia dan juga Filipina. Para kader Jamaah Islamiyah di kawasan Asia Tenggara banyak juga yang berasal dari organisasi radikal dari negara lain. Sebagai contoh, Baasyir dan Sungkar pernah mengirim anggota Moro Islamic Liberation Front (MILF) dari Filipina untuk berlatih dengan salah satu jaringan Jamaah Islamiyah di Afghanistan yaitu Abdul rasul Sayyaf, seorang pemimpin fundamentalis di Afghanistan. JI membangun banyak fasilitas berlatih dan infrastruktur organisasinya tersebar di kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Selatan. Pada pertengahan 1990-an, Sungkar membangun kamp berlatih di Mindanao, Filipina, yang memberikan akses yang lebih mudah dan biaya yang lebih murah. Fasilitas berlatih di Mindanao tersebut menjadi salah satu fasilitas berlatih yang aman dikarenakan kedekatan JI dengan MILF. MILF menyediakan tempat berlatih dan tempat doktrinisasi bagi para kader JI yang berlatih disana. Jamaah Islamiyah juga meluaskan jaringannya hingga ke kawasan Asia Selatan. Beberapa lokasi di negara di kawasan Asia Selatan dijadikan fasilitas berlatih kader-kader Jamaah Islamiyah. Ketika Afghanistan masih dikuasai oleh Uni Soviet, JI menempatkan fasilitas berlatihnya di Pakistan. Setelah Uni Soviet meninggalkan Afghanistan, barulah JI memindahkan kembali fasilitas berlatihnya ke sebuah kamp dekat Khost, di Afghanistan[footnoteRef:9]. [9: Jemaah Islamiyah in South East Asia, International Crisis Group, 6.]

3.2 Perpecahan Jamaah Islamiyah

Dalam perjalanannya, organisasi ini mengalami perpecahan dikarenakan terjadi perbedaan visi dari petinggi internalnya. Sebagian menginginkan untuk menggunakan jalan lain dalam mendirikan negara Islam di kawasan Asia Tenggara. Para petinggi ini berupaya untuk menghilangkan pengaruh gerakan radikal dari Afghanistan dalam menggunakan cara-cara kekerasan pengeboman kepada pihak Barat dalam mencapai tujuannya. Mereka berpendapat bahwa konfrontasi bersenjata tidak lagi didukung oleh situasi yang kondusif oleh karena itu mereka berfokus pada pendidikan dan dakwah. Para anggota yang tidak menyetujui perubahan ini melepaskan diri dari struktur organisasi JI dan menjadi agen bebas. Agen bebas ini seringkali disebut sebagai JI non-struktural dan menggunakan cara yang independen dalam mencapai tujuannya. Tujuan para agen bebas ini sebenarnya masih sama dengan JI struktural, namun dalam pengeksekusiannya, mereka menggunakan cara lama yang tengah dihentikan oleh JI yaitu cara teror kekerasan. Sementara itu JI struktural yang masih kuat pengaruh Baasyir dan Sungkarnya menggunakan jalan lain dalam mencapai tujuannya, baik melalui pendidikan seperti mendirikan sekolah nasional hingga mendirikan bisnis bersama yang menggunakan jaringan JI yang telah ada. Walaupun demikian, JI struktural mengakui agen bebas JI tersebut sebagai bagian dari JI secara keseluruhan. Namun pada perjalanannya hal ini berbalik merugikan citra JI strukutral. Hal ini dikarenakan para agen bebas tersebut ternyata seringkali mengambil tindakan ekstrem yang justru merugikan JI struktural yang tengah melakukan perubahan agar dapat diterima oleh masyarakat. Namun, para agen bebas tersebut tetaplah hasil dari kaderisasi pendidikan dan pelatihan JI jangka panjang sehingga tindakannya tetaplah dikaitkan dengan JI struktural. Masyarakat secara tidak langsung akan tetap mengaitkan tindakan JI non-struktural tersebut sebagai kepanjangan tangan dari JI struktural.

3.3 Tindakan Terorisme Jamaah Islamiyah

JI dalam melakukan tindakan terorisme untuk mencapai tujuannya, kita dapat membaginya kedalam dua fase. Fase pertama adalah sebelum JI mengalami perpecahan. Pada fase ini semua tindakan teror yang dilakukan terhadap representasi pihak Barat dilakukan secara terorganisir dan terencana oleh JI secara struktural. Pada fase kedua, tindakan teror yang dilakukan adalah setelah JI mengalami perpecahan. Pada fase kedua ini pelakunya adalah para agen-bebas atau disebut sebagai JI non-struktural. Namun karena nilai-nilai dan tujuan yang digunakan oleh para agen bebas ini adalah masih milik JI, maka secara tidak langsung JI masih terlibat dalam tindakan teror yang mereka lakukan.3.3.1 Fase PertamaPada fase pertama, tindak kekerasan untuk mencapai tujuan dilakukan melalui cara yang berbeda-beda. Pada konflik Poso misalnya, anggota JI terlibat dalam konflik ini, berkoalisi dengan bekas pecahan Darul Islam dan membentuk Laskar Mujahidin. Laskar Mujahidin ini anggotanya merupakan anggota gabungan dari Mantiqi I, II dan III. Keterlibatan Laskar Mujahidin dalam Konflik Poso ini ditujukan JI sebagai pelatihan dan pembangunan jaringan antara anggota JI di setiap Mantiqi.Pada fase ini teror melalui pengeboman pun telah mulai dilakukan. Yang menjadi sasarannya adalah tempat peribadatan umat kristiani yaitu gereja. Sasaran dari target pengeboman masih merupakan target lokal dan bukan representasi kepentingan Barat di Indonesia. On christmas Eve 2000, JI executed coordinated bombings against 38 churches and priests in Jakarta, Sumatera and Java[footnoteRef:10] Ledakan yang ditimbulkan pengeboman ini memakan korban tewas yang tidak sedikit juga mengakibatkan seratus orang lebih terluka. [10: Indonesia Backgrounder: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates, International Crisis Group, 5]

Pada tahun 2001 beberapa anggota JI, terinspirasi oleh tindakan terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda merencanakan penyerangan di Singapura. After a plot to strike British, US, Israeli, Australian and Singaporean targets in Singapore was disrupted in December 2001, JI targeted Westerners in Indonesia[footnoteRef:11]. [11: Treasury Designates Four Leaders of Terrorist Group__Jemaah Islamiyah, U.S Department of the Treasury, April 13, 2006, http://www.treasury.gov/press-center/press-releases/Pages/js4179.aspx]

Pada tahun 2002, setahun setelah persitiwa 9/11 terjadi di Amerika Serikat JI mulai melakukan teror pengeboman yang menjadikan representasi Barat di Indonesia sebagai sasarannya. Kuat diduga tindakan pengeboman ini terpengaruh kuat oleh aksi Al-Qaeda terhadap WTC dan Pentagon yang menyasar korban dalam jumlah massal dan tempat-tempat yang menjadi simbol kapitalisme. Pada 12 Oktober 2001, anggota JI melakukan bom bunuh diri di dua lokasi di Bali. Kedua lokasi tersebut adalah dua buah bar di tempat wisata di Bali yang sering didatangi oleh wisatawan asing dari Barat. Sari Club dan Paddys Bar menjadi sasaran penngeboman dan menyebabkan 202 orang terbunuh yang sebagian besar adalah wisatawan dari Barat.

3.3.2 Fase KeduaPada fase kedua ini JI telah mengalami perpecahan dikarenakan timbulnya kesadaran dari para pemimpin JI. Dampak bom Bali yang menelan banyak korban ternyata menimbulkan dampak buruk bagi nama JI. Timbul kesadaran untuk menjauhi pengaruh Al-Qaeda dalam menyerang target representasi Barat dan korban massal. Non-struktural JI atau agen bebas JI ternyata masih melakukan tindakan independen yang mengatasnamakan tujuan JI. Agen bebas ini bertindak diluar kuasa struktural JI walaupun mereka sendiri masih mengakui keanggotaan agen bebas ini sebagai bagian mereka. Beberapa nama agen bebas yang melakukan tindakan teror yang signifikan diantaranya adalah Noordin M. Top, Umar Patek dan Dulmatin.Noordin M. Top adalah anggota JI asal Malaysia yang terkait dengan pengeboman di Bali pada tahun 2000[footnoteRef:12]. Dalam melakukan aksinya Top tidak sendiri melainkan dibantu oleh para pengikutnya. The group was linked to the 2003 bombing of the Marriott Hotel in Jakarta, the 2004 attack on the Australian Embassy in Jakarta, another Bali attack in 2005 that proved crucial to turning public sentiment against the group, and a pair of suicide bombings against Western hotels in Jakarta in July 2009[footnoteRef:13]. Yang kedua adalah Umar Patek anggota JI yang sempat mengikuti pelatihan di Afghanistan bersama Al-Qaeda. Wanted in Indonesia for their role in the 2002 Bali attacks, they fled to the southern Philippines in mid-2003[footnoteRef:14]. Umar Patek melarikan diri ke selatan Filipina dan membangun jaringan teroris disana. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Umar Patek ternyata sempat melakukan kontak ke anggota JI di Jawa Tengah untuk merekrut orang dan juga mencari dana dalam upayanya di selatan Filipina. Yang terakhir dari JI non-struktural adalah Dulmatin yang mendirikan Lintas Tazim, sebuah organisasi gabungan anggota lintas organisasi lain. Dulmatins so-called Lintas Tazim, or cross-organization project, included men associated with JI, the Islamist group KOMPAK, and the Banten Ring as well as a group on new recruits from Aceh and a network centered around a man namen Aman Abdurrahman[footnoteRef:15]. Lintas Tazim menjadi sarana penyaluran kekecewaan Dulmatin terhadap JI struktural yang dianggapnya terlalu pasif dalam memperjuangkan terbentuknya negara Islam. Oleh karena itu, Lintas Tazim bergerak lebih agresif dalam mencapai tujuannya dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan militer agar dapat mengatasi segala macam rintangan dalam membentuk negara Islam. Namun pada awal 2010, kamp tempat pelatihan Lintas Tanzim berhasil diketahui oleh polisi karena laporan warga setempat yang melihat aktifitas yang mencurigakan. Serangan polisi terhadap kamp tersebut menewaskan banyak militan, termasuk Dulmatin sendiri dan mengakibatkan aktifitas Lintas Tanzim terhenti. [12: Associated Press, Terrorism Mastermind Noordin Top Killed, CBS News, March 9, 2010, http:/www.cbsnews.com/stories/2009/09/17/world/main5317306.shtml] [13: Ibid.] [14: Ibid.] [15: Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, International Crisis Group, April 20, 2010, 5 http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east/indonesia/189%20Indonesia%20-%20Jihadi%20Surprise%20in%20Aceh.ashx.]

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 Gelombang Keempat Terorisme: Kelompok Terorisme Agama Jamaah Al-IslamiyahUntuk memahami mengenai motif dominan Jamaah Al-Islamiyah atau biasa disebut Jamaah Islamiyah (JI) dalam melakukan tindakan terorismenya bisa kita temukan dalam sebuah buku pedoman yang disebut dengan Pedoman Umum Perjuangan Al-Jamaah Al-Islamiyah atau biasa disingkat PUPJI[footnoteRef:16]. PUPJI adalah sebuah manual yang berisikan instruksi-instruksi spesifik yang berisikan pengarahan agama, strategis dan taktik dari organisasi JI. Namun manual ini tidak dimiliki oleh semua anggota dari semua tingkatan melainkan hanya dimiliki oleh kader senior. Kader-kader senior ini adalah pemimpin-pemimpin tingkat atas yang bertanggung jawab dalam melakukan kaderisasi bagi keberlanjutan organisasi. [16: Rohan Gunaratna, Elena Pavlova, and Muhammad Hassan Haniff, A Preliminary Analysis of the General Guide For the Struggle of Jemaah Islamiyah, ICPVTR, IDSS, February 2004 ]

Isi dari PUPJI ini merupakan gabungan dari pemikiran dan strategi dari organisasi-organisasi islam radikal lainnnya yang memiliki jaringan dengan JI sebelumnya. Kedekatann JI dengan Al-Qaeda dan Osama bin Laden diawal pembentukannya, latihan-latihan bersama yang dilakukan oleh kader senior JI dengan organisasi islam radikal di Afghanistan menginspirasi komposisi dari PUPJI. Oleh karena itu, dari segi konten PUPJI memuat banyak hal yang tidak dimiliki oleh organisasi islam radikal lainnya di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ideologi dan juga pelaksanaan lapangan, JI sangat terpengaruh oleh Al-Qaeda.PUPJI adalah semacam buku operasional dan program strategi agama untuk mengarahkan aktifitas kelompok, memberikan esensi spiritual dan praktik sehari-hari bagi seluruh anggota JI. Kerangka kerja organisasi dan prosedur operasional ini didasarka pada prinsip agama Salafi-Jihadist[footnoteRef:17]. Perspektif Salafi-Jihadist ini dapat dilihat dari tiga hal penting: [17: Elena Pavlova, From Counter-Society to Counter State: Jemaah Islamiyah According to PUPJI Institute of Defence and Strategic Studies Singapore. 14 November 2006. 17]

Penekanan pada Daulah Islamiyah (negara Islam) sebagai batu loncatan menuju kebangkita Kalifah Islam Global;[footnoteRef:18] [18: [ICPVTR Translation] PUPJI, Chapter II, Article 4, Clause 2 Konstitusi JI, 13. ]

Proses persiapan Daulah Islamiyah melalui pembentukan secara sabar dan terus menerus baik individu, keluarga dan juga kelompok-kelompok Islam;[footnoteRef:19] [19: PUPJI, halaman 3 dan .37-42. ]

Pelatihan militer dan jihad musallah (upaya bersenjata) sebagai keluaran akhir dan ujian kesuksesan tertinggi bagi persiapan panjang yang dilakukan oleh JI.[footnoteRef:20] [20: PUPJI, halaman 3, 42-4 dan 52. ]

Berdasarkan pemaparan dari PUPJI diatas kita bisa menganalisis bahwa JI adalah salah satu kelompok terorisme yang termasuk kategori gelombang keempat dari empat gelombang terorisme yang dipaparkan oleh Rapoport. Dalam tiga poin Jihad Salafi yang ada di dalam PUPJI, unsur agama Islam sebagai esensi spritual dan aktiftias organisasi ini adalah hal yang harus digarisbawahi. Faktor ajaran agama dijadikan oleh JI sebagai justifikasi tujuan mencapai negara Islam dan menarik pengikut baru. Penguasaan PUPJI yang dilakukan oleh kader senior semata-semata dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan organisasi agar loyalitas anggota terus terpelihara, bahkan siap untuk berkorban lebih ekstrem lagi bagi tujuan JI.Disamping unsur agama yang dijadikan justifikasi untuk menarik pengikut, ajaran Islam juga dijadikan motif politik dalam mencapai tujuan organisasi yaitu membangun Daulah Islamiyah. JI terinspirasi dari kejayaan umat muslim ketika masih berada di bawah kekhalifahan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pada masa itu Islam berada dalam posisi yang sangat berjaya karena selain membangun suatu struktur kenegaraan dengan ajaran Islam sebagai fondasinya, dibawah kekhalifahan pun umat islam saat itu mampu memenangkan berbagai peperangan melawan musuh-musuh Islam. Ketika kita tarik pada konteks masa kini, kita bisa memahami perspektif JI yang berupaya mendirikan negara Islam sebagai suatu tugas suci. Sistem kapitalisme dan hegemoni ilmu pengetahuan dari Barat menguasasi hampir semua sendi kehidupan masyarakat di berbagai negara termasuk di Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Sistem yang ada tersebut memarginalisasi baik dari segi ekonomi maupun ideologi pihak-pihak minoritas termasuk umat Islam sendiri. JI memiliki pandangan bahwa pihak Barat adalah musuh yang berupaya menghancurkan umat Islam secara perlahan melalui sistem, oleh karena itu JI berjuang untuk menerapkan kembali sistem kekhalifahan. Bila kita tinjau dari tujuan didirikannya negara Islam dengan sistem kekhalifahan dan masyarakat dengan nilai-nilai Islam, maka JI termasuk kedalam terorisme agama golongan pertama. Terorisme agama golongan pertama menurut Rapoport adalah kelompok teroris yang melakukan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik. Berbeda dengan golongan kedua yang berupaya mencapai tujuan abstrak kesurgawian, tujuan politik JI dapat terukur secara duniawi. Tujuan politik ini sama halnya perjuangan yang dilakukan di Iran dan Afghanistan ketika mendapat invasi militer dari pihak Barat. Perbedaan besar antara kelompok teroris agama di Afghanistan dan Iran dengan JI adalah pada objeknya. Apabila kelompok teroris di Afghanistan dan Iran menjadikan upaya militer sebagai bentuk perlawanan maka JI menjadikan upaya kekerasan justru pada mulanya untuk mencari simpati masyarakat. Objek JI adalah masyarakat dimana diharapkan akan timbul perlawanan dari masyarakat Islam sendiri terhadap sistem kapitalisme yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan umat Islam. JI ingin melakukan counter-society yang dalam jangka panjang diharapkan akan langsung mendorong bangkitnya kekhalifahan Islam lagi.Pembahasan selanjutnya adalah berdasarkan pernyataan Atran bahwa kelompok terorisme agama dalam melakukan aksinya seringkali mendorong dilakukannya tindakan heroik ekstrim oleh orang-orang biasa. Berdasarkan peristiwa Bom Bali serta Pengeboman JW Marriot kita mengetahui bahwa para pelaku pada umumnya adalah warga negara biasa. Sebelum tindakan pengeboman itu dilakukan masyarakat mengenal para pelaku sebagai seorang penduduk, pekerja, pegawai, guru ngaji atau seorang suami biasa. Merupakan suatu pertanyaan yang sulit dijelaskan oleh rasio bagaimana orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang biasa dan kehidupan yang biasa ini mampu melakukan tindakan ekstrem diluar rasio. Bagi para peneliti Barat maupun masyarakat Barat, tindakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok teroris agama merupakan suatu ancaman yang sulit untuk diterima penjelasannya. Banyak ahli yang mengukur tingginya aktifitas organisasi teroris agama di suatu negara dengan tingkat demokratisasi negara tersebut. Namun, JI yanng beraktifitas di Indonesia terutama setelah masa reformasi menjadi pertanyaan besar. Teori yang mengaitkan antara demokratisasi dan kegiatan terorisme agama pun menjadi tidak berlaku lagi apabila dikaitkan dengan JI. Oleh karena itu untuk memahaminya, kita harus menelusuri lebih dalam lagi kedalam prosedur internal mereka dalam mempertahankan suatu sistem keorganisasian. The effort to develop strength is a long process that includes building potential until [the organization] reaches the stage where this potential has become real, effective, and ready to be used in a show of strength and combat operations.[footnoteRef:21] [21: PUPJI, halaman 9. ]

Dalam membangun baik organisasi maupun modus operandinya, JI menerapkan proses jangka panjang. Hal inilah yang menyebabkan doktrin JI terhadap anggotanya begitu kuat. Sebelum tindakan pengeboman di Bali dan Jakarta terjadi, aktifitas organisasi ini belum terungkap oleh kepolisian. Menurut pendapat penulis hal ini berarti tingkat solidaritas antar anggotanya sangat tinggi karena mereka mampu untuk saling menutup rahasia satu sama lain, bahkan kepada orang-orang terdekat mereka sendiri seperti keluarga.Prosen penerapan doktrin organisasi dalam jangka panjang ini terdapat dalam PUPJI pula. Disebutkan dalam PUPJI proses pengasuhan dan pembangunan kekuatan bagi anggota secara jangka panjang ini melalui dua cara diantaranya: Al-Manhaj al-Harakiy Li Iqomatid Dien (Metodologi pendirian agama); Al-Manhaj Al-Amaliy Li Iqomatid Dien [Metodologi kerja atau operasional]; Prinsip nama jamaah sebagai sebutan bagi anggota mendukung proses pendidikan ini. Jamaah berkonotasi kepada anggota-anggota tetap yang memang berdedikasi terhadap JI. Anggota tetap inilah yang akan dididik oleh JI baik dari sisi agama maupun dari sisi operasi di lapangan. Para anggota tetap inilah yang akan direkrut, didoktrin dan dilatih hingga bisa patuh terhadap JI sepenuhnnya. Kedua metodologi yang diterapkan itu pun digunakan dalam hal ekspansi unit operasi dan merekrut anggota baru walaupun berasal dari negara yang berbeda. Kesamaan metodologi yang diterapkan JI di Mantiqi manupun memungkinkan JI memiliki banyak anggota dengan unit operasi yang luas namun tetap solid dalam mencapai tujuan besar JI.Keterkaitan antara dua metodologi diatas, disamping untuk keperluan kaderisasi anggota juga diharapkan dapat mendorong terciptanya suatu masyarakat dengan identitas politik yang seragam. Dalam jangka panjang ketika jumlah anggota semakin banyak, diharapkan nilai-nilai yang diterapkannya akan tersebar ke masyarakat biasa dimulai dari lingkungan terdekat. Identitas politik yang sama yang dimaksud disini adalah adanya kesamaan dalam hal keagamaan yang kuat baik dari berpolitik maupun bermasyarakat. Ketika kesamaan identitas politik ini tercapai maka upaya jihad, hingga jihad dengan mengangkat senjata dalam membangkitkan kekhalifahan Islam Global dan negara Islam akan dapat terwujud. Kedua metodologi itulah yang dijadikan pengkodisian emosi dan persiapan materi bagi kesamaan identitas politik tersebut.Dalam melakukan aktifitas terorismenya, JI menggunakan justifikasi agama sebagai pembenar. Dalam menganalisis tindakan kekerasan yang dilakukan oleh JI termasuk ke dalam tindakan terorisme atau tidak maka kita harus menelusuri tindakan pengeboman yang dilakukan oleh JI. Pada objek penelitian penulis membagi aktiftas lapangan JI kedalam dua fase. Walaupun dilakukan oleh oknum yang berbeda secara struktural namun penulis tetap mengkategorikannya sebagai JI dikarenakan nilai-nilai yang dibawa tetap nilai-nilai JI.Salah satu tujuan dilakukannya tindakan terorisme adalah berupaya secara serius untuk mengintimidasi sebuah populasi. JI dalam aktifitasnya pernah melakukan tindakan kekerasan yang berupaya untuk mengintimidasi populasi masyarakat yang beragama non-Islam. Tindakan ini dilakukan oleh JI pada fase pertama dimana JI belum terpecah menjadi struktural dan non-struktural. Kita mengetahui bahwa umat Kristiani di Indonesia jumlah populasinya berada di bawah umat Islam. Tindakan intimidasi dilakukan oleh JI melalui pengeboman kepada 38 gereja di malam natal. Tindakan pengeboman yang menimbulkan korban jiwa ini berhasil menciptakan teror ketakutan dan keresahan terutama bagi umat Kristiani yang ada di Indonesia. Selain pengeboman tersebut, keterlibatan JI dalam konflik Poso yang sarat unsur SARA juga mengindikasikan upaya JI untuk mengintimidasi populasi tertentu.Yang lainnya adalah secara serius mendestabilisasi atau menghancurkan secara fundamental struktur politik, konstitusional, ekonomi atau sosial dari suatu pemerintahan atau organisasi internasional. Kita mengetahui bahwa dalam operasinya, JI terinspirasi oleh tindakan terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaeda terhadap WTC dan Pentagon. Kedua gedung tersebut merupakan representasi dari sistem kapitalisme dan militer Amerika. Al-Qaeda menyerang dengan tujuan untuk mensdestabilisasi kondisi politik Amerika Serikat melalui penciptaan teror. Teror tersebut menimbulkan korban jiwa namun dampaknya secara sistemik jauh lebih dalam lagi. Teror tersebut menjatuhkan kredibilitas pemerintah Amerika Serikat di mata masyarakatnya sendiri dan juga dunia serta menimbulkan rasa tidak aman di masyarakat. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa jauh kemampuan pemerintah Amerika Serikat dalam memberikan perlindungan bagi warganya karena tidak mampu mencegah teroris membajak pesawat hingga menabrak gedung WTC dan melumpuhkan perekonomian Amerika Serikat.Untuk kasus pengeboman yang dilakukan oleh JI di Indonesia, pola yang dilakukan hampir sama dengan Al-Qaeda namun tujuannya sedikit berbeda. JI pada kasus pengeboman Bali maupun JW Marriot memilih lokasi tersebut secara sengaja. Kedua tempat tersebut menjadi lokasi dimana wisatawan asing dan ekspatriat sering berada. Hal tersebut dianggap sebagai representasi dari pihak Barat sebagai musuh penghalang JI dalam mendirikan sistem khilafah yang diinginkan JI. Tindakan teror yang dilakukan oleh JI bertujuan untuk meraih simpati masyarakat, semacam whistleblower bagi kebobrokan sistem kapitalis yang merusak umat Islam. Namun sayangnya dalam hal eksekusi, kedua tempat tersebut kurang menjadi representasi simbolik dari sistem kapitalisme Barat. Korban massal yang jatuh dalam kedua peristiwa tersebut cukup banyak dan tidak hanya dari kalangan wisatawan Barat namun juga penduduk lokal yang bekerja di lokasi kejadian. Tapi di sisi lain JI berhasil mencapai tujuannya karena menyebabkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Dampak sistemiknya tidak hanya secara politik namun juga ekonomi. Banyak negara yang melarang penerbangan ke Bali sehingga melumpuhkan perekonomian Bali dan juga mengurangi pemasukan negara. Secara sosial umat Islam di Indonesia pun mendapat stretotipe teroris dari masyarakat internasional. Tindakan terorisme yang dilakukan oleh JI baik struktural maupun non-struktural berhasil melumpuhkan pemerintah Indonesia. Setelah Bom Bali I, kemudian Bom Bali II dan pengeboman di JW Mariott, pemerintah Indonesia tidak mampu mencegah terjadinya ketiga serangan walaupun penyelidikan telah dilakukan. 4.2 Tindakan Terorisme JI Sebagai Kejahatan TransnasionalPembahasan sebelumnya telah didapat bahwa aktifitas yang dilakukan oleh organisasi Islam radikal JI termasuk dalam tindakan terorisme. Terorisme adalah salah satu bagian dari kejahatan transnasional dikarenakan karakteristik tindakannya memenuhi parameter seperti yang dipaparkan pada tinjauan pustaka. Bila kita meninjau, maka kita mendapati bahwa baik dari sisi jaringan, struktur organisasi maupun aktifitas, JI telah memenuhi parameter sebagai suatu organisasi yang melakukan kejahatan transnasional secara teorganisasi. Analisis pembahasan kegiatan JI sebagai kejahatan transnasional ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Analisis ini akan menggunakan parameter kejahatan transnasional yang dipaparkan oleh UNODC. Yang pertama adalah ditinjau dari aktifitas JI yang melintasi batas negara. Ambisi JI untuk mendirikan negara Islam yang melingkupi negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Unit operasi, infrastruktur dan administrasi JI tersebar di empat Mantiqi di kawasan Asia Tenggara. Bila kita lihat dari definisi transnasionalisasi dimana terdapat pola berulang yang membentuk ruang sosial baru yang melewati batas-batas negara maka aktifitas JI telah memenuhi unsur ini. Dari sisi transnasional disamping aktifitas, jejaring yang dibangun hingga lokasi unit operasi merupakan suatu bukti aktifitas transnasional yang dilakukan.Dari sisi aktifitas kita bisa melihat dari tindakan Umar Patek yang melarikan diri dari Indonesia dan membangun basis kekuatan JI non struktural di Filipina Selatan sembari menjalin kontak ke Jawa Tengah dan Noordin M. Top yang merupakan anggota JI dari Malaysia namun melakukan pengeboman di Indonesia. Dari sisi jaringan, semenjak awal didirikannya JI oleh Abdullah Sungkar dan Baasyir telah menjadikan Al-Qaeda dan Osama bin Laden sebagai Terror Patron yang mendukung secara moral dan menginspirasi ideologi dan modus operandi dari JI. Kemudian yang terakhir adalah unit operasi, infrastruktur hingga kamp pelatihan yang tersebar di berbagai kawasan di Asia Tenggara (Mantiqi) dan di Kawasan Asia Selatan (Pakistan).Kemudian selain aktifitas, menurut UNODC kejahatan transnasional walaupun dilakukan di satu negara namun dari sisi persiapan, pengarahan maupun kontrol dilakukan di negara lain. Dalam kaderisasi dan pelatihan anggota-anggota, JI melakukannya tidak hanya di Indonesia maupun negara lain di kawasan Asia Tenggara namun juga hingga ke Afghanistan. Disebutkan dalam bagian objek penelitian bahwa para kader senior JI pernah berlatih, mendapat bantuan sumber daya hingga bimbingan di Afghanistan di bawah bimbingan Abdul Rasul Sayyaf dan Osama bin Laden. Yang terakhir adalah adanya keterlibatan dengan organisasi kriminal yang berada di negara lain dan aktifitas organisasi tersebut tidak hanya di satu negara. Salah satunya adalah kedekatan JI dengan MILF di Filipina. MILF pernah memfasilitasi latihan JI di Filipina Selatan, sebaliknya JI pernah bersama-sama dengan anggota MILF melakukan latihan bersama di Afghanistan bersama Sayyaff. Selain MILF, Yang terakhir adalah jenis kejahatan transnasional terorganisasi menurut Wagley terbagi menjadi dua yaitu tradisional dan modern. Disebutkan bahwa jaringan kelompok modern bersifat terdesentralisasi dan tidak ketergantungan terhadap negara tempat organisasi tersebut berasal. Menurut analisis penulis, JI termasuk kedalam kategori kelompok modern. Keberadaan mantiqi yang tersebar di Asia Tenggara tersebut tidak memiliki hierarki dimanna mantiqi yang satu lebih tinggi dibandingkan dengan mantiqi lainnya. Selain itu aktifitasnya tidak terpusat lagi dikarenakan setelah terjadinya perpecahan, non-struktural JI tetap melakukan aktifitasnya secara independen menyebar secara mandiri seperti pada kasus Dulmatin, Umar Patek dan Noordin M. Top.

Daftar Pustaka

Associated Press, Terrorism Mastermind Noordin Top Killed, CBS News, March 9, 2010, http:/www.cbsnews.com/stories/2009/09/17/world/main5317306.shtml

Gunaratna, Rohan, Elena Pavlova, and Muhammad Hassan Haniff, A Preliminary Analysis of the General Guide For the Struggle of Jemaah Islamiyah, ICPVTR, IDSS, February 2004

Indonesia Backgrounder: How the Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates, International Crisis Group, 5

Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, International Crisis Group, April 20, 2010, 5 http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east/indonesia/189%20Indonesia%20-%20Jihadi%20Surprise%20in%20Aceh.ashx.

Jemaah Islamiyah in Southeast Asia: Damaged but still dangerous, International Crisis Group, August 26, 2003, 5, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asiaIndonesia/063%20Jemaah%20Islamiyah%20in%20South%20East%20Asia%20Damaged%20but%20Still%20Dangerous.ashx

Mueller, Gerhard O. W. Transnational Crime: Definitions and Concepts, Transnational Organized Crime 4, no. 1998 (n.d.).

P.H, Liota. Boomerang Effect: the convergence of national and human security dalam security dialogue. Vol 33 No. 4. Hal 473-488. 2000

Paripurna, Garda T., Sekilas Tentang Kejahatan Transnasional, Riset Hukum Kejahatan Transnasional, 2008, http://risethukum.blogspot.com/, diakses 12 Maret 2014.

Pavlova, Elena. From Counter-Society to Counter State: Jemaah Islamiyah According to PUPJI Institute of Defence and Strategic Studies Singapore. 14 November 2006. 17 [ICPVTR Translation] PUPJI, Chapter II, Article 4, Clause 2 Konstitusi JI, 13

Shelley, Louise. The Unholly Trinity: Transnational Crime, Corruption and Terrorism Brown Journal of World Affairs, Winter/Spring 2005.

Treasury Designates Four Leaders of Terrorist Group__Jemaah Islamiyah, U.S Department of the Treasury, April 13, 2006, http://www.treasury.gov/press-center/press-releases/Pages/js4179.aspx

Wagley, John R. Transnational Organized Crime: Principal Threats and U.S. Responses Foreign Affairs, Defense and Trade Division, Congressional Reserach Service. 3Concept of Terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk Transnational Terrorism, Security and The Rule of Law. December 2008.

1