22
66 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun 2004-2008. Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan. Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Variabel FEM REM Koefisien P-Value Koefisien P-Value (1) (2) (3) (4) (5) C 4,195010 0,0000 4,284716 0,0000 LNPDRBK 0,006177 0,0000 0,007869 0,0280 LNPOV -0,008545 0,0883 -0,025559 0,0000 LNSRNPEN 0,014065 0,0248 0,016927 0,0000 LNGR 0,014856 0,0000 0,091829 0,7192 LNSRNKES 0,005097 0,0130 -0,013509 0,0768 LNPKES 0,003635 0,0000 0,006641 0,0877 LNSRNINF 0,013470 0,0130 0,005178 0,3393 Hausman Test 34,660205 0,0000 F-Statistic 339,7745 0,0000 14,84418 0,0000 Adjusted R-Squared 0,988331 0,438684 Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman (34.6602) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen dengan p-value 0,0000, artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah penjelas dengan komponen error.

Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Indeks ... · dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk ... keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan

Embed Size (px)

Citation preview

66

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

5.1 Analisis Model Regresi Data Panel

Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam

persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut

Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun 2004-2008. Tabel 5.1 menyajikan

hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien

estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed

Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua

metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat

kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan.

Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks

Pembangunan Manusia di Jawa Barat.

Variabel FEM REMKoefisien P-Value Koefisien P-Value

(1) (2) (3) (4) (5)C 4,195010 0,0000 4,284716 0,0000LNPDRBK 0,006177 0,0000 0,007869 0,0280LNPOV -0,008545 0,0883 -0,025559 0,0000LNSRNPEN 0,014065 0,0248 0,016927 0,0000LNGR 0,014856 0,0000 0,091829 0,7192LNSRNKES 0,005097 0,0130 -0,013509 0,0768LNPKES 0,003635 0,0000 0,006641 0,0877LNSRNINF 0,013470 0,0130 0,005178 0,3393Hausman Test 34,660205 0,0000F-Statistic 339,7745 0,0000 14,84418 0,0000Adjusted R-Squared 0,988331 0,438684

Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik

dibandingkan dengan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman

(34.6602) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen dengan p-value 0,0000,

artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah

penjelas dengan komponen error.

67

Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang

ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (339,7745) dan p-value0,00. Nilai adjusted

R2bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia

dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan

pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar

98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

diluar model.

Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini

dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.Berdasarkan

hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks

pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan

untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian

koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari

variabel-variabel yang dimasukkan dalam model.

5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia

5.2.1 PDRB per kapita

Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang

nyata terhadap IPM Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif

terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah

0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan

IPM sebesar 0,006177, dengan asumsi cateris paribus.

PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat

dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga

menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota.

Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam

memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan

dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan

Manusia.

PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu 2005-2009

mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam

68

daya beli masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Meski nilai ini masih bersifat

kasar karena PDRB per kapita tidak dapat mencerminkan pemerataan

pendapatan. Menurut Adiyas (2008), PDRB per kapita di suatu daerah

yang besarnya diatas Rp. 2 juta sudah dapat dikatakan tinggi dan

sebaliknya apabila besarnya dibawah Rp. 2 juta dikatakan

rendah.Berdasarkan hal itu, PDRB per kapita di Jawa Barat pada tahun

2009 yang berada pada posisi Rp. 6,96 juta dianggap tinggi (Gambar 5.1).

Dengan nilai yang tergolong tinggi tersebut, maka penduduk Provinsi

Jawa Barat memiliki daya beli yang tinggi. Dengan daya beli yang tinggi

penduduk Jawa Barat memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan

dan kesehatan sehingga IPM di Jawa Barat dapat meningkat.

Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per kapita di Jawa BaratTahun 2005-2009. Sumber: BPS 2010

5.2.2 Kemiskinan

Hasil regresi Tabel 5.1 menununjukkan tingkat kemiskinan

mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat

kemiskinan berpengaruh negatif terhadap peningkatan IPM. Nilai

koefisien tingkat kemiskinan adalah -0,008545 yang berarti kenaikan 1

persen tingkat kemiskinan akan menurunkan IPM sebesar 0,008545,

dengan asumsi cateris paribus.

5,53

6,246,55

6,776,96

4,00

4,50

5,00

5,50

6,00

6,50

7,00

7,50

2005 2006 2007 2008 2009

PDRB

per

kap

ita (R

p Ju

ta)

69

Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik

secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja,

tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak

sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi,

investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek

sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan,

kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja,

kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam

(Yudhoyono dan Harniati, 2004). Upaya penanggulangan kemiskinan

tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi

peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan

peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas).

Dengan demikian kemiskinan merupakan hambatan dalam

meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses

terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM

terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS

mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan

yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu

memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Dengan

demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap

pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks

pembangunan manusia menjadi rendah.

Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain

ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah

penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah

penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka

11,74 persen (Gambar 5.2). Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar

makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk

miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita

perbulan dibawah Garis Kemiskinan.

70

Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010

Meski persentase angka kemiskinan di Jawa Barat terus menurun,

namun angka tersebut masih dianggap tinggi. Kemiskinan di Provinsi

Jawa Barat terdiri dari kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Pada tahun

2009, kemiskinan di perkotaan mencapai 2,53 juta orang dan di pedesaan

mencapai 2,45 juta orang. angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan

menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan

menurun 1 dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan

Jawa Tengah dan Jawa Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat.

Tabel. 5.2 Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota di Indonesia

13,06

14,49

13,55

12,74

11,58

9,00

10,00

11,00

12,00

13,00

14,00

15,00

2005 2006 2007 2008 2009

Pers

enta

se K

emisk

inan

Tahun

71

5.2.3 Pendidikan

Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM

Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap

peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang

berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan IPM sebesar

0,014065, dengan asumsi cateris paribus.

Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio

dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan

SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang

dicanangkan pemerintah.Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan

peningkatan IPM. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Todaro(2003)

dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk

kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern

dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta

pembangunan yang berkelanjutan.

Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan,

tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas

pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan

juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap

jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan

manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai

koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1

persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan IPM sebesar 0,014856,

dengan asumsi cateris paribus.

Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah

harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadap

pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan

tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya

partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak

hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat

umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan

meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan

72

merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial

dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan

melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas,

penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban

sosial politik bagi pemerintah.

Di Provinsi Jawa Barat, sektor pendidikan merupakan variabel yang

memiliki pengaruh yang yang paling besar terhadap indeks pembangunan

manusia diantara variabel-variabel lain yang diuji dalam penelitian ini.

Angka melek huruf di Jawa Barat memang sudah cukup tinggi, yaitu pada

tahun 2009 sebesar 95,98 persen. Begitu juga dengan angka lama sekolah

yang menunjukkan angka sedikitnya drop out di Provinsi Jawa Barat yang

sudah cukup baikyaitu 7,72 tahun. Keadaan ini merupakan dampak dari

dilakukannya perbaikan sarana prasarana pendidikan di Jawa Barat. Pada

Gambar 5.3 terlihat bahwa jumlah sekolah SD dan SMP pada tahun 2009

meningkat dari tahun 2008. Pada tahun 2009 banyaknya jumlah sekolah

SD dan SMP sebesar 23.110 sekolah.

Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010

Jumlah guru juga menjadi penentu peningkatan IPM. Jumlah guru

yang memadai akan dapat menjamin adanya kegiatan belajar yang

berkualitas, sehingga murid mendapatkan transfer ilmu yang optimal.

22,7622,87 22,88

22,90

23,11

22,50

22,60

22,70

22,80

22,90

23,00

23,10

23,20

2005 2006 2007 2008 2009

Jum

lah

seko

lah

SD d

an S

MP

(rib

u)

73

Dengan demikian hal ini akan memberi dampak lulusan-lulusan sekolah

yang berkualitas yang dapat bersaing di dunia kerja dan akan memberikan

kemudahan dalam penguasaan teknologi yang selanjutnya dapat

meningkatkan produktivitas suatu daerah.Provinsi Jawa Barat pada tiap

tahun menambah jumlah. Pada tahun 2009, jumlah guru di Provinsi Jawa

Barat sebesar 286.200 ribu orang yang meningkat sebesar 3.100 orang dari

tahun 2008.

Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009.Sumber: BPS: 2010

5.2.4 Kesehatan

Dalam Penelitian ini digunakan dua variabel dalam mengukur

kesehatan. Variabel tersebut adalah sarana kesehatan dan pelayan

kesehatan. Kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap

peningkatan IPM di Jawa Barat.

Berdasarkan tabel 5.1, sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang

nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana kesehatan berpengaruh positif

terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana kesehatan adalah

0,005097yang berarti kenaikan 1 persen sarana kesehatan akan menaikan

IPM sebesar 0,005097, dengan asumsi cateris paribus.

Pelayan kesehatan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap

IPM Jawa Barat. Pelayan kesehatan berpengaruh positif terhadap

215,8 207,2

157,5

283,1 286,2

0,0

50,0

100,0

150,0

200,0

250,0

300,0

350,0

2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010

Jum

lah

Guru

SD

dan

SMP

(rib

u or

ang)

74

peningkatan IPM. Nilai koefisien pelayan kesehatan adalah 0,003635yang

berarti kenaikan 1 persen pelayan kesehatan akan menaikan IPM sebesar

0,003635, dengan asumsi cateris paribus.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bappenas yang

menyatakan bahwa penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik

merupakan masukan (input) penting dalam menurunkan kemiskinan,

pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.

Dengan kata lain, kesehatan merupakan faktor penting pembentukan

modal manusia dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi

berkelanjutan.

Sejarah juga menulis tentang keberhasilan negara-negara dunia dalam

keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan. Hal ini

antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika

Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan

Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Mereka

melakukan teroboson di bidang kesehatan dengan pemberantasan penyakit

dan peningkatan gizi masyarakatnya.

Perkembangan sarana prasarana kesehatan di Jawa Barat tergolong

mengalami peningkatan. Jumlah dokter, perawat, dan bidan selalu

bertambah tiap tahun. Pada tahun 2009, pelayan kesehatan di Jawa Barat

mencapai 11.423 orang dan Puskesmas mencapai 3.337 puskesmas.

Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa BaratTahun 2005-2009.Sumber: BPS, 2010

8509 8909 87459563

11423

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

2005 2006 2007 2008 2009Jum

lah

Pela

yan

Kesa

hata

n (o

rang

)

Tahun

75

Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS, 2010

5.2.5 Sarana Infrastruktur

Sarana infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM

Jawa Barat. Sarana infrastruktur berpengaruh positif terhadap peningkatan

IPM. Nilai koefisien sarana infrastruktur adalah 0,013470yang berarti

kenaikan 1 persen sarana infrastruktur akan menaikan IPM sebesar

0,013470, dengan asumsi cateris paribus.

Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Bappenas (2003)

dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara,

sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih,

sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital,

memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan

wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa

daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik,

mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang

mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci

dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda

penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan

29853031

3094

3230

3337

2800

2900

3000

3100

3200

3300

3400

2005 2006 2007 2008 2009

Jum

lah

Pusk

esm

as

76

orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh

penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi

maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi,

listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi

dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian.

Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan

produktivitas bagi faktor-faktor produksi.

Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat

memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan

pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan.

Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang

dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan

masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat

dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan.

Pada pembangunan bidang fisik, telah cukup banyak

dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa

Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan

lingkungan hidup.Mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi

infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi,

serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami

beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.Pada

aspek infrastruktur jalan, dengan berbagai upaya yang telahdilakukan

selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai 22.760 km. Panjang

jalan ini telah meningkat dari tahun 2008.

77

Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat Tahun

2005-2009. Sumber: BPS, 2010

5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM di Tiap

Kabupaten/Kota

Dengan menggunakan FEM dapat dilihat pengaruh faktor-faktor yang

mempengaruhi IPM untuk tiap kabupaten/kota. Perbedaan pengaruh

tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 5.3. Efek Faktor-Faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiapKabupaten/Kota

No. Kabupaten/ Kota Efek No. Kabupaten/ Kota Efek1 Kab. Bogor -0,005033 14 Kab, Purwakarta -0,0264282 Kab. Sukabumi -0,026213 15 Kab, Karawang -0,0444783 Kab. Cianjur -0,055834 16 Kab, Bekasi 0,0107004 Kab. Bandung 0,026304 17 Kota Bogor 0,0370815 Kab. Garut -0,006282 18 Kota Sukabumi 0,0270456 Kab. Tasikmalaya 0,001231 19 Kota Bandung 0,0462487 Kab. Ciamis -0,020846 20 Kota Cirebon 0,0171198 Kab. Kuningan -0,015696 21 Kota Bekasi 0,0667929 Kab. Cirebon -0,035562 22 Kota Depok 0,10249010 Kab. Majalengka -0,037271 23 Kota Cimahi 0,05863311 Kab. Sumedang -0,010724 24 Kota Tasikmalaya 0,01227112 Kab. Indramayu -0,070364 25 Kota Banjar -0,03006113 Kab. Subang -0,021119

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi IPM

memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap Kabupaten/ Kota di

21,72

21,29

21,74 21,75

22,76

20,50

21,00

21,50

22,00

22,50

23,00

2005 2006 2007 2008 2009

Panj

ang

Jala

n (r

ibu

km)

78

Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan

karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupaten/kota di Jawa

Barat dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam

menginterprestasikan model untuk tiap kabupaten/kota.

Adanya perbedaan karakteristik juga dapat dibagi melalui

pengelompokan besaran IPM tiap Kabupaten/ Kota di Jawa Barat.

Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupaten/kota

yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan dengan

karakteristik yang berbeda di tiap kabupaten/kota sehingga kebijakan yang

diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa

Barat besaran IPM tiap kabupaten/kota berada dalam selang 67,39-78,61.

Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang IPM tersebut dapat

dibuat sebagai berikut:

IPM rendah = Nilai IPM yang kurang dari 70

IPM sedang = Nilai IPM yang lebih besar dari 70 namun kurang

dari 75

IPM tinggi = Nilai IPM yang lebih besar dari 75

Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupaten/kota di Jawa Barat

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

79

Tabel 5.4. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai IPMIPM

Rendah Sedang TinggiKab. SukabumiKab. KuninganKab. CirebonKab. SumedangKab. Purwakarta

Kab. BogorKab. CianjurKab BandungKab. GarutKab. TasikmalayaKab. CiamisKab. MajalengkaKab. IndramayuKab. SubangKab. KarawangKab. BekasiKota BogorKota BandungKota CimahiKota TasikmalayaKota Banjar

Kota SukabumiKota CirebonKota BekasiKota Depok

X1 Min: 3,22Rata-rata: 4,66Max: 8,28

Min: 2,74Rata-rata: 7,14Max: 24,24

Min: 4,11Rata-rata: 9,13Max: 19,97

X2 Min: 10,48Rata-rata: 14,02Max: 18,22

Min: 4,50Rata-rata: 12,15Max: 23,55

Min: 13,06Rata-rata: 7,73Max: 2,93

X3 Min: 2,63Rata-rata: 3,51Max: 4,34

Min: 2,03Rata-rata: 3,31Max: 4,81

Min: 2,45Rata-rata: 3,23Max: 4,64

X4 Min: 4,44Rata-rata: 5,12Max: 5,87

Min: 2,65Rata-rata: 4,69Max: 6,68

Min: 3,96Rata-rata: 5,33Max: 6,04

X5 Min: 8,05Rata-rata: 10,67Max: 12,10

Min: 2,07Rata-rata: 8,23Max: 13,74

Min: 2,57Rata-rata: 11,78Max: 20,62

X6 Min: 2,29Rata-rata: 3,47Max: 4,38

Min: 1,42Rata-rata: 2,89Max: 4,68

Min: 1,34Rata-rata: 3,27Max: 7,10

X7 Min: 3,54Rata-rata: 6,71Max: 8,80

Min: 0,41Rata-rata: 6,00Max: 12,37

Min: 2,58Rata-rata: 3,81Max: 4,87

Dimana X1 = PDRB per kapita (Rp juta)

X2 = Tingkat kemiskinan (persen)

X3 = Rasio sarana pendidikan (1/100.000) sekolah per orang)

X4 = Rasio jumlah guru (1/100) guru per murid)

X5 = Rasio sarana kesehatan (1/100.000 puskesmas per orang)

X6 = Rasio jumlah tenaga medis (1/10.000 tenaga medis per orang)

X7 = Rasio sarana infrastruktur

80

Dari klasifikasi tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari

kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki IPM sedang yakni IPM diantara 70

sampai dengan 75. Sementara kabupaten/kota dengan IPM rendah dimiliki

oleh Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,

Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara daerah yang

memiliki IPM tinggi, dimiliki oleh Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota

Bekasi, dan Kota Depok. Klasifikasi berdasarkan nilai IPM ini dapat

dipetakan dalam Gambar 5.8.

Gambar 5.8 Pembagian daerah berdasarkan nilai IPM

Dengan perbedaan IPM, maka PDRB per kapita untuk tiap

kabupaten/kota juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat dari

Gambar 5.9. Pendapatan per kapita untuk daerah ekstrim rendah memiliki

PDRB per kapita rendah.Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa Kabupaten

Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi meski IPM di Kabupaten

tersebut tergolong sedang. Kota Cirebon juga memiliki PDRB per kapita

yang tinggi dan Kota Cirebon termasuk dalam daerah dengan IPM tinggi.

Sementara Daerah dengan IPM rendah memiliki karakteristik yang sama

dimana Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,

81

dan Kabupaten Sumedang memiliki PDRB per kapita yang cenderung

rendah.Hanya Kabupaten Purwakarta saja yang meski tergolong IPM

rendah namun memiliki PDRB per kapita sedang. Hal ini dikarenakan

daerah dengan IPM rendah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak

dapat mengakses sektor pendidikan dan kesehatan.

Gambar 5.9 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010

Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di

kabupaten/kota dengan IPM rendah memiliki persentasi kemiskinan yang

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

Kab. Sukabumi

Kab. Kuningan

Kab. Cirebon

Kab. Sumedang

Kab. Purwakarta

Kab. Bogor

Kab. Cianjur

Kab. Bandung

Kab. Garut

Kab. Tasikmalaya

Kab. Ciamis

Kab. Majalengka

Kab. Indramayu

Kab. Subang

Kab. Karawang

Kab. Bekasi

Kota Bogor

Kota Bandung

Kota Cimahi

Kota Tasikmalaya

Kota Banjar

Kota Sukabumi

Kota Cirebon

Kota Bekasi

Kota Depok

2009

2008

2007

2006

2005

Daerahdengan

IPMTinggi

Daerahdengan

IPMSedang

Daerahdengan

IPMRendah

82

tinggi. Sementara Kota Tasikmalaya memiliki kemiskinan yang tinggi

padahal Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan IPM sedang.

Keadaan ini dipicu oleh terjadinya bencana alam berupa gempa bumi yang

terjadi pada tahun 2008. Bencana ini menyebabkan kemiskinan di Kota

Tasikmalaya meningkat tajam di tahun 2008.

Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010

Sementara untuk sarana dan prasarana pendidikan, setiap

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat telah memiliki sarana prasarana

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

Kab. Sukabumi

Kab. Kuningan

Kab. Cirebon

Kab. Sumedang

Kab. Purwakarta

Kab. B o g o r

Kab. Cianjur

Kab. Bandung

Kab. G a r u t

Kab. Tasikmalaya

Kab. C i a m i s

Kab. Majalengka

Kab. Indramayu

Kab. Subang

Kab. Karawang

Kab. B e k a s i

Kota Bogor

Kota Bandung

Kota Cimahi

Kota Tasikmalaya

Kota Banjar

Kota Sukabumi

Kota Cirebon

Kota Bekasi

Kota Depok

2009

2008

2007

2006

2005

Daerahdengan

IPMTinggi

Daerahdengan

IPMSedang

Daerahdengan

IPMRendah

83

pendidikan yang memadai. Pada Gambar 5.11 terlihat rasio antara jumlah

sekolah dengan jumlah penduduk usia sekolah memiliki nilai yang cukup

tinggi.Hal ini bermakna bahwa ketersediaan bangunan sekolah SD dan

SMP sudah dapat menampung penduduk usia sekolah SD dan SMP

untuk tiap kabupaten/kota. Dari Gambar 5.11, diketahui Kota Cirebon

memiliki rasio jumlah sekolah terhadap penduduk usia sekolah yang

paling tinggi yaitu sebesar 4,64.

Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadap PendudukSD dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun2005-2009, Sumber: BPS, 2010

0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000

Kab. Sukabumi

Kab. Kuningan

Kab. Cirebon

Kab. Sumedang

Kab. Purwakarta

Kab. Bogor

Kab. Cianjur

Kab. Bandung

Kab. Garut

Kab. Tasikmalaya

Kab. Ciamis

Kab. Majalengka

Kab. Indramayu

Kab. Subang

Kab. Karawang

Kab. Bekasi

Kota Bogor

Kota Bandung

Kota Cimahi

Kota Tasikmalaya

Kota Banjar

Kota Sukabumi

Kota Cirebon

Kota Bekasi

Kota Depok

2009

2008

2007

2006

2005

Daerahdengan

IPMTinggi

Daerahdengan

IPMSedang

Daerahdengan

IPMRendah

84

Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap PendudukKabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009,Sumber: BPS, 2010

Jumlah sarana prasarana kesehatan di setiap kabupaten/kota di Jawa

Barat juga sudah tergolong bagus dan sudah memadai. Namun di daerah-

daerah seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung, jumlah

puskesmas masih tergolong rendah.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

Kab. Sukabumi

Kab. Kuningan

Kab. Cirebon

Kab. Sumedang

Kab. Purwakarta

Kab. Bogor

Kab. Cianjur

Kab. Bandung

Kab. Garut

Kab. Tasikmalaya

Kab. Ciamis

Kab. Majalengka

Kab. Indramayu

Kab. Subang

Kab. Karawang

Kab. Bekasi

Kota Bogor

Kota Bandung

Kota Cimahi

Kota Tasikmalaya

Kota Banjar

Kota Sukabumi

Kota Cirebon

Kota Bekasi

Kota Depok

2009

2008

2007

2006

2005

Daerahdengan

IPMTinggi

Daerahdengan

IPMSedang

Daerahdengan

IPMRendah

85

5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota Dengan Nilai IPM Terendah Dalam

Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia

Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Barat sudah terlihat

dalam bahasan sebelumnya. Daerah dengan IPM yang rendah perlu menjadi

perhatian. Hal ini penting untuk mencapai target Provinsi Jawa Barat untuk

menjadi provinsi termaju pada tahun 2025. Dari paparan diatas, dapat dipetakan

karakteristik daerah-daerah dengan IPM terendah. Karakteristik tersebut dapat

dilihat pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM terendah di Provinsi Jawa Barat

Variabel Kab.Sukabumi

Kab.Kuningan

Kab.Cirebon

Kab.Sumedang

Kab.Purwakarta

PDRB PerKapita

R R R R S

Kemiskinan T T T S SSaranaPendidikan

S S S T T

Jumlah Guru R R R R RSaranaKesehatan

S S S S S

PelayanKesehatan

R S S S S

SaranaInfrastruktur

S R S S S

Ket: R = Rendah S = Sedang T= Tinggi

Tabel 5.5 diatas memperlihatkan bahwa semua daerah yang memiliki IPM

terendah di Jawa Barat juga memiliki PDRB per kapita yang rendah. Kemiskinan

di daerah ini juga cenderung tinggi, terlihat di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten

Kuningan, dan Kabupaten Cirebon. Selain itu, permasalahan yang terjadi di

daerah dengan IPM rendah di Provinsi Jawa Barat adalah karena rasio jumlah

guru yang rendah. Jumlah guru SD dan SMP di kabupaten Sukabumi, Kabupaten,

Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta

belum memadai dalam melakukan pengajaran terhadap jumlah penduduk usia

sekolah di daerah tersebut.

Kebijakan-kebijakan yang perlu diterapkan dalam mengangkat IPM ke lima

kabupaten ini dapat difokuskan pada PDRB per kapita dan kemiskinan. Kedua

variabel tersebut memang berkaitan. Ketika PDRB per kapita ditingkatnya maka

kemiskinan pun akan menurun. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang bisa

86

direkomendasikan untuk Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan

Kabupaten Cirebon adalah:

1. Program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro

kecil dan menengah. Program ini dapat mendorong pemerataan

pendapatan.Program ini juga akan berdampak pada peningkatan lapangan

pekerjaan dan selanjutnya meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan

demikian program ini akan efektif untuk meningkatkan pendapatan per

kapita sekaligus mengurangi persentase kemiskinan.

2. Penanganan pengangguran, yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan

yang lebih bersifat padat karya bukan padat modal.Penanganan terhadap

pengangguran mutlak dilakukan, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan

yang bersifat padat karya. Pemberian pendidikan terhadap angkatan kerja

juga sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan ketersediaan angkatan

kerja yang siap bekerja ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan

sendiri sehingga akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja dan

memperoleh pekerjaan. Pada akhirnya tujuan meningkatkan daya beli

masyarakat.

3. Program pembangunan infrastruktur sangat penting dilakukan, terutama di

Kabupaten Kuningan yang memiliki sarana infrastruktur rendah. Investasi

merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten dengan IPM

rendah harus membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi.

Kemudahan pengurusan ijin investasi perlu diperhatikan. Perbaikan

infrastruktur sebagai dukungan terhadap investasi juga mutlak dilakukan.

Program perbaikan infrastruktur yang dapat dilakukan adalah dengan

pembangunan serta perbaikan jalan dan jembatan. Dengan program ini akan

memberikan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta meningkatkan

produktivitas barang dan jasa.

4. Pengadaan guru agar ketersediaan guru memadai untuk menciptkan

pelayanan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya

manusia.

87

5. Untuk Kabupaten Sukabumi, diperlukan lebih banyak tenaga medis untuk

memberikan akses kesehatan yang lebih memadai kepada penduduk di

kabupaten tersebut. Perekruitan Dokter dan Bidan sangat berpengaruh

terhadap penurunan angka kematian bayi dan dapat meningkatkan harapan

hidup di Kabupaten Sukabumi.