Analisis Golput

Embed Size (px)

Citation preview

  • FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU

    (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

    Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    Oleh Acu Nurhidayat

    NIM: 104033201077

    PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 1430 H./2009 M.

  • UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

  • FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU

    (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

    Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    Oleh Acu Nurhidayat

    NIM: 104033201077

    PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 1430 H./2009 M.

  • UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

  • FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU

    (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

    Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

    Oleh Acu Nurhidayat

    NIM: 104033201077

    Pembimbing

    Drs. Idris Thaha, M.Si

    PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 1430 H./2009 M.

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA

    ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam

    sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

    memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik

    Islam.

    Jakarta, 2 Maret 2009

    Sidang Munaqasyah

    Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

    Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP: 150262447 NIP: 150270808

    Penguji I, Penguji II,

    A. Bakir Ihsan, M.Si. M. Zaki Mubarak, M.Si. NIP: 150326915 NIP: 150371093

    Pembimbing,

    Idris Thaha, M.Si. NIP: 150318684

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

    cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

    merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Ciputat, 11 Februari 2009

    Acu Nurhidayat

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

    memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia

    dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

    Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad

    SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap

    jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya.

    Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan

    hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih

    sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas

    golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu

    penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun data-

    data yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun,

    berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun.

    Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah

    membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis

    sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

    1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih

    sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi

    setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang

    sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke

    perguruan tinggi, juga nasehat, doa serta motivasi yang selalu diberikan.

  • 2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan

    motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh

    Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A Rosid dan

    Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan keponakan-

    keponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu

    memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

    3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.,

    Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin

    dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu

    terkait dengan masalah administrasi di jurusan.

    5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih

    atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing.

    6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas

    nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi

    mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A.,

    Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan

    Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan

    mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu

    persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang

    telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di

    sisi Allah SWT.

  • 7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas

    Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan

    fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.

    8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI,

    Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas

    Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih.

    9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT

    (YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima

    kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang

    telah diberikan menjadi amal baik. Amin.

    10. Teman-teman BEMJ PPI periode 2006-2007 serta teman-teman

    seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin

    Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny

    Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya

    yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan

    kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi.

    11. Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya.

    Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI

    Cabang Ciputat: K. Rafii, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden

    Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas

    diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas

    bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga

    Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI Cabang Ciputat: Yunda

  • Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang

    demi menggapai hari esok yang lebih cerah.

    12. Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT):

    Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifai, Mba

    Filda Angelia, dan semuanya.

    13. Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir

    Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan

    semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga.

    14. Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina

    Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan

    semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin.

    15. Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini.

    Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya.

    Tak ada gading yang tak retak, kira-kira ungkapan inilah yang cocok

    untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa,

    penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

    sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.

    Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini

    dapat bermanfaat adanya. Amin.

    Jakarta, 11 Februari 2009

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR.................................................................................... i

    DAFTAR ISI .................................................................................................. v

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

    B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................................... 11

    C. Tujuan Penelitian............................................................................ 11

    D. Metode Penelitian .......................................................................... 12

    E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT

    A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ................................................... 15

    B. Penyebab Seseorang Golput............................................................ 19

    C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia..................................... 27

    BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004

    A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif.............................................. 37

    1. Kontestan Partai-partai Politik .................................................. 41

    2. Perolehan Suara Partai-partai Politik......................................... 43

    3. Koalisi Partai-partai Politik....................................................... 45

  • B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ............................................ 49

    1. .............................................................................................Pe

    milu Presiden Putaran Pertama............................................ 51

    2. .............................................................................................Has

    il Pemilu Presiden Putara Pertama....................................... 53

    3. .............................................................................................Pe

    milu Presiden Putaran Kedua .............................................. 54

    4. .............................................................................................Has

    il Pemilu Presiden Putaran Kedua ....................................... 55

    BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004

    A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat....................................... 57

    B. Golput karena Masalah Teknis ......................................................... 68

    C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004................................................ 74

    1. .............................................................................................Gol

    put Politis ........................................................................... 75

    2. .............................................................................................Gol

    put Teknis Administratif .................................................... 79

    3. .............................................................................................Gol

    put Teknis Non-Administratif ............................................ 81

    D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak

    Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ............................................... 83

    BAB V PENUTUP

  • A. Kesimpulan .................................................................................... 92

    B. Saran-saran..................................................................................... 97

    DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 99

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi

    rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari

    Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,

    khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci

    menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah

    masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.

    Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia

    telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan

    tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh

    banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam

    kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu

    kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya

    diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah

    melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan

    partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik.

    Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu

    1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian

    intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak

    jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot

    1Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 67.

  • pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba.

    Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput).

    Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak

    memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief

    Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai

    kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis

    dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai,

    pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni

    kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman

    perlu untuk dikutip:

    Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orang-orang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan teman-teman berbicara, ini sama juga bohong, katanya kita boleh memilihatas dasar itu kita memboikot pemilu.3

    Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan

    internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam

    pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah

    dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran

    sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu

    menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief

    Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi

    2Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 105.

    3Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat Menghadang Politisi Busuk, dalam Talk Show Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41.

  • kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih

    disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4

    Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu,

    partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang

    sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit

    pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka

    sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di

    tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta,

    Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari

    masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili

    aspirasi masyarakat di bawah.5

    Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-

    kawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral

    yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan

    terhadap partai-partai politik.

    Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya

    setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul

    bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang

    diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes

    yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat

    yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu

    ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif

    4Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa.html

    5 Ibid.

  • dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsip-

    prinsip demokrasi universal.6

    Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses

    demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan

    (legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu,

    akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7

    Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis

    politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi

    terhadap partai politik (1973), munculnya kerusuhan Malari (1974),

    terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di departemen-

    departemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih

    banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit.

    Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure

    groups seperti kelompok Petisi 50.8

    Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%.

    Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya

    ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada

    masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu

    proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan

    ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu

    politik yang paling penting.

    6Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.32.

    7 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta:

    LEKHAT, 1994), h.8. 8Ibid., h. 8-10. 9Ibid., h. 11-12.

  • Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan

    ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde

    Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan

    dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput

    tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota

    dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti

    penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besar-

    besaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara

    lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10

    Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan

    bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai

    sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka

    menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang

    demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini

    memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya

    demokrasi di Indonesia.12

    Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang

    dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi

    sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan

    umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004.

    10Ibid., h. 11-12. 11Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana,

    Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics? artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

    12Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20 sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm

  • Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13 Angka ini cukup

    tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara

    penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

    pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena

    pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai

    macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN

    Soeharto dan kroni-kroninya.14

    Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde

    Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol

    UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan

    bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%,

    pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992

    mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21%

    dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15

    Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam

    sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia

    mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen

    pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat

    dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang. Dengan kata lain saatnya rakyat

    berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16Sepanjang sejarahnya, baru

    13Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics? diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

    14 Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia, dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7.

    15AA GN Ari Dwipayana, Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

    16Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 (T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005), h. 3.

  • tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian

    demokrasi terbesar.17

    Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu

    2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu

    sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua

    kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan

    untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang

    demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi

    politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem

    pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar.

    Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah

    agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat

    diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan

    yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi

    masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi

    masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

    Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan

    bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab

    fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan

    terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun

    yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh

    tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan

    17Ibid., h. 1. 18Faisal Baasir, Fenomena Golput dalam Pemilu 2004, artikel diakses pada 18 Oktober

    2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm

  • begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi

    tinggi dikhawatirkan kurang stabil.

    Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih

    bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan

    mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif. Dengan

    meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik

    yang mengejutkan.20

    Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan

    golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata

    merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain,

    misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang

    berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi

    politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena

    tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?

    Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang

    ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak

    dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di

    pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan

    aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap

    elit-elit politik yang berkuasa.

    19Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai politik pasca Orde Baru.

    20 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan

    05.

  • Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka

    mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba.

    Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka

    mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat

    alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus

    Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak

    sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan

    1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa,

    justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga,

    adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami

    dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik

    mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat,

    karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak

    adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21

    Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal.

    Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif

    aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan

    kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat

    punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan

    golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan

    memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya

    kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul setengah hati

    dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri

    21Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 244-247.

  • bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami

    malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak

    mampu mengagregasikan kepentingan rakyat.22

    Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan

    oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang

    mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis

    pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat

    misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU

    menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya

    pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di

    tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena

    pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah

    mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih

    terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23

    Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa

    tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era

    Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba

    untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang

    merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun

    presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah

    tulisan berbentuk skripsi dengan judul: Fenomena Golput di Indonesia Pasca

    Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).

    22Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05

    23Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengapa-golput

  • B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini

    lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena

    golput di Indonesia pada pemilu 2004.

    Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis

    perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang

    menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004?

    Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut:

    1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit

    politik pada pemilu 2004?

    2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh

    adanya faktor kendala teknis?

    3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari

    liberalisasi politik pasca Orde Baru?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan

    menganalisa lebih jauh tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat

    indikator-indikator sebagai berikut:

    1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik.

    2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif

    3. Adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.

  • D. Metode Penelitian

    Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan

    data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library

    Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang

    berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik

    elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam

    bentuk karya ilmiah.

    Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua

    metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan

    kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis.

    Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman

    Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh

    CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    E. Sistematika Penulisan

    Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I

    Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta

    permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini

    mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan

    masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.

    Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini

    pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para

    pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan

    beberapa pengamat ada yang mengklasifikasikan golput kepada beberapa jenis. Di

  • antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena

    kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis,

    anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan

    masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di

    Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga

    pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999.

    Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu

    presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari

    skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di

    antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler

    dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara partai-

    partai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang

    sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi partai-

    partai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada

    saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan

    koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir

    membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu

    pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil

    dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan

    hasil pilpres putaran kedua.

    Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan

    menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai

    pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang

    sudah banyak memberikan komentar seperti yang akan banyak diuraikan pada bab

  • kedua. Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat terkait dengan

    menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai

    berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik,

    adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya

    dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.

    Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang

    berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena

    bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data

    juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran

    terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai

    golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap

    golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap

    pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde

    Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam

    bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak

    umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk

    partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin yang lebih baik.

  • BABA II

    TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT

    A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput

    Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu

    ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa

    di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan

    atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah

    angka-angka tersebut masuk pada kategori golput?

    Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa

    dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin

    menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan

    para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput

    itu sendiri.

    Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada

    orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula

    didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai

    peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada

    sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk

    menentukan pemimpinnya.24

    Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku

    nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada

    fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di

    24Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 69.

  • beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan

    dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam

    bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara

    atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti

    ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,

    partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga

    banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti

    Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25

    Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang

    memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara

    atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah

    kesadaran politik.26

    Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari

    Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga

    kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan

    terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni

    semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu

    dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak

    punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang

    bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir

    orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput pragmatis,

    yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput

    25Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242. 26Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/

    mengapa-golput/

  • memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput

    model ini mirip dengan fardu ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni

    bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang

    tidak ikut memilih tidak ada dosa politik kolektif. Orang-orang yang mencari

    nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai

    macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah

    memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput

    yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya

    golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan

    bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang

    dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden

    yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya

    kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya

    berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27

    Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas

    Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput

    yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes

    terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang

    demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua,

    golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan

    politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,

    27Indra J. Piliang, Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia, artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm

    28Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut. Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat Golongan putih dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197.

  • dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya

    memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena kecelakaan.

    Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara

    pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di

    luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29

    Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi

    Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum

    luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada

    golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain),

    berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat

    suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak

    terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga

    statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput

    menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus

    dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak

    percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan

    kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme

    demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan

    fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30

    29Arief Budiman, Golput, Gejala dan Masa Depannya, artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719. KL93851id.html

    30Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep Sefuloh Fatah, Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta, artikel diakses pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta

  • Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya

    dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas

    suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak

    disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan

    suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31

    Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap

    pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk

    mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar

    tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi

    dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika

    penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara

    tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang

    sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:

    golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif.

    Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.

    B. Penyebab Seseorang Golput

    Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap

    negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa

    semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian

    suara.32

    Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi

    masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan

    31Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296. 32Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput h. 89.

  • menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan

    yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan,

    tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan yang

    lainnya.33

    Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang

    menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut

    dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama,

    pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan

    seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti

    kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori

    ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan

    rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa

    perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan

    sebagainya.34

    Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan

    partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan

    kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian

    warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri

    sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di

    pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya status sosial dan ekonomi, afiliasi

    politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35

    33Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224.

    34Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta, dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari

    2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_ 35Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin

    Rais. h. 224-225.

  • Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika

    Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan

    Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak

    memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih

    banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria

    lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum

    kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan

    tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih

    banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36

    Berbeda dengan Lipset, Muhammad Asfar dalam bukunya

    mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para

    pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari

    orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa

    dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua

    penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses

    informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup

    tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu

    baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya.

    Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan

    menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi

    tersebut seseorang mengetahui seperangkat alat baik berupa teori, konsep untuk

    36Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 9.

  • menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi

    yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37

    Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang

    menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk

    dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor.

    Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian

    otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik,

    baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga

    mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah),

    sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan

    yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu

    yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa

    dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikapjika hal ini

    menjadi ekstrem dan meluasakan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan

    dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini

    berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada

    pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai

    dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari

    kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk

    menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa

    kekerasan atau melakukan hijrah.38

    Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa

    terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik.

    37Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262. 38Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87-

    88.

  • Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing),

    anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang

    dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39

    Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai

    kecurigaan yang buruk dari sifat manusia. Sinisme merupakan perasaan yang

    menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa

    pesimisme lebih realistis daripada optimisme; bahwa individu harus

    memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya ego-

    sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme

    menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa

    politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari

    kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan

    oleh orang-orang tanpa muka.40

    Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa

    dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau

    karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di

    Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika

    yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda

    dengan negara lain.41

    Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya

    ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih

    39Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 146.

    40Ibid., h. 146-147. 41Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara

    seminar bertema Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia di gedung rektorat Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/ 0302/05/nas10.html/

  • golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak

    bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan

    ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak

    memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42

    Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam

    opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan

    perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson

    (1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43 Hal senada juga

    terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula

    dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif.

    Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan

    atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah

    kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan

    umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif

    konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak

    konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain

    sebagainya.44

    Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono,

    bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik,

    kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan

    komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya

    42Robi Mumahamad, Golput dan Memilih dengan Rasional, artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memi-lih.denagn rasional

    43 Robi Cahyadi Kurniawan, Mencermati Fenomena Golput, artikel diakses pada 27

    November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940 44Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,

    1999), h. 143.

  • sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam

    demokrasi modern.45

    Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual,

    menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan

    dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga

    negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme

    (kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi

    oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh

    kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila

    seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap

    pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif.

    Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah

    rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46

    Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan,

    bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi

    yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di

    luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan

    pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat

    demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak

    mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah

    sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang

    bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat

    45Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 181-182.

    46Robi Cahyadi Kurniawan, Mencermati Fenomena Golput, artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940

  • partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik

    yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47

    Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang

    dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak

    masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu

    kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang

    berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk

    memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik,

    masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan

    hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah

    partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa

    calon pemimpin yang akan dipilihnya.

    Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya

    partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi

    dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan

    masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor

    sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal,

    lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat

    pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan

    dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu

    yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis.

    Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga

    alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari

    47Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12.

  • aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya

    individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai

    aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa

    partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia

    beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan

    suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang

    memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil.

    Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48

    Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh

    banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada

    elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik

    khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis.

    Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada

    akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan

    tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor

    pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang

    akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004.

    C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia

    Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955

    untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah

    pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di

    Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam

    48Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, h. 144-146.

  • mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena

    golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kira-

    kira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan

    suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat

    pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan

    Konstituante.49

    Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala

    kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu

    tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan 66 diantaranya

    Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga

    Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan

    dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50

    Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya

    Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta

    pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan

    mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,

    terutama di Jawa.51

    Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap

    rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan 66 dalam merealisasikan

    dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu

    bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru

    49Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 1956-1959, h. 30

    50Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2. 51

    Golongan putih, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta Pamungkas: 2004), h. 197.

  • lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh

    di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun

    1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai

    negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai

    sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif

    sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk

    mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik

    (Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem

    pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan

    kabinet. Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi

    secara terencana dan terkontrol.52

    Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita

    Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu

    pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde

    Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik.

    Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak

    pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima

    perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan

    52 Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966

    tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.19-20.

  • golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara

    konkret.53

    Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971

    golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap

    situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes

    terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput

    tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54

    Dalam deklarasinya juga disebutkan bahwa keanggotaan golput

    diperuntukkan bagi mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena

    aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga

    oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan

    aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis. Siapa saja yang

    tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput.

    Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik

    yang demokratis.55

    Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti

    halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat

    agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di

    Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan

    kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut

    memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56

    53Ibid., h.26-27. 54

    Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3. 55Ibid., h.3. 56Ibid., h. 3-4.

  • Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam

    Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran

    terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil

    organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar

    Hasanudin Noor.57

    Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga

    melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya

    yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak,

    penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain

    dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan

    dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang

    dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi

    telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu.

    Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan program-

    programnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak

    memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya

    inkonstitusional.58

    Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992

    pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini

    berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan:

    Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak

    57Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28. 58

    Golongan putih, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6, h. 197.

  • mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan. Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh berbagai kesenjangan.59

    Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun

    beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di

    tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya

    kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina

    (1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai

    politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai

    politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan

    tersebut sebagai sikap anti Islam.60

    Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral,

    intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para

    tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya

    dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh

    Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti

    ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61

    Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak

    puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya

    kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang

    merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal

    59Ibid, h.30-31. 60Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9. 61Ibid., h.10.

  • dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde

    Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan

    dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan

    normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari

    diskusi-diskusi politik.62

    Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai

    proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat

    akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di

    mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan

    sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa

    akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan,

    pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat

    perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang

    ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut

    menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu

    1992.63

    Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes

    kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi

    ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah

    Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes

    dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja

    dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa

    62Ibid., h. 10-11. 63Ibid., h. 12-14.

  • dirugikan langsung dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur

    tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64

    Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh

    proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara terang-

    terangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak

    percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil

    rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat

    tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65 Situasi seperti ini yang dirasa

    golput mendapatkan dukungan dari masyarakat.

    Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam

    ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat

    TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau

    golput, yakni (64%) akan memilih yang lain dari tiga OPP yang ada. Yang

    dimaksud dengan yang lain, sebagian responden menyatakan tidak ada OPP

    yang dipilih. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah

    golput, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan

    datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan masih bingung,

    belum tahu, atau belum menentukan pilihan.66 Dari sikap responden tersebut

    jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa

    perubahan.

    Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.

    Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek

    64Ibid., h. 14. 65Ibid. 66

    Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam, dalam Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11.

  • yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa

    kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda

    matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru

    dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda

    mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai

    penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa

    pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status quo-

    nya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan

    bangsa ini menjadi kelam.67 Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali

    Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan

    Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara

    bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68

    Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak

    awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi

    kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat

    terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh

    pesatnya media massa,69diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang

    termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa

    dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas

    menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka.

    Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini

    67 Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral, artikel diakses pada 11

    Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto% 20harus%20dipertahankan%20.htm

    68Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15. 69

    Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia, dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.8.

  • jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup

    tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru.

    Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput

    yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era

    Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat

    rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi

    ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga

    dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak

    sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas

    KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun

    kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan

    DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partai-

    partai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk

    mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70

    70Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 244-245.

  • BAB III

    SEKILAS GAMBARAN PEMILU

    LEGISLATIF DAN PRESIDEN 2004

    A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif

    Penjelasan pada bab dua yang menguraikan mengenai golput memberikan

    pemahaman akan sebuah pengertian golput yang terjadi pada pemilu 2004.

    Pandangan golput yang telah dibahas pada bab dua pun sangat urgen dalam

    memberikan pengklasifikasian dan pengidentifikasian seputar golput yang terjadi

    pada pemilu 2004 lalu.

    Penulis sudah menyinggung sedikit seputar golput dan sedikit membahas

    tentang pemilu 2004 pada bab I, akan tetapi belum memberikan penjelasan

    gambaran khusus seputar pemilu 2004. Oleh karena itu, pada Bab III ini penulis

    mencoba membahas sekilas gambaran pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun

    pemilu presiden secara langsung.

    Pemilu tahun 2004 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam

    Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memilih anggota

    DPR/DPRD. Di samping untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemilu 2004 juga

    sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni adanya pemilihan

    presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu,

    kekhususan pada pemilu kali ini ditandai dengan munculnya lembaga baru yaitu

  • Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana setiap provinsi diwakili oleh empat

    orang anggota DPD.

    Pemilu kali ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya, pemerintah

    mengadopsi ketentuan mengenai kuota 30% untuk meningkatkan keterwakilan

    politik perempuan dalam undang-undang pemilu. Di tengah kondisi minimnya

    tingkat representasi formal perempuan di lembaga-lembaga politik, terutama di

    lembaga legislatif, masuknya ketentuan tersebut membawa angin segar bagi

    upaya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Walaupun harus pula diakui,

    bahwa ketentuan tersebut belum mengikat partai politik (karena masih bersifat

    sukarela) dan belum disertai sanksi apapun bagi parpol yang tidak

    menjalankannya.71

    Pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana dengan ketentuan yang

    digariskan dalam undang-undang adalah saran untuk memilih anggota DPR,

    DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem

    proporsional dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih anggota

    DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem proporsional

    daftar terbuka ini memberikan kesempatan bagi calon anggota legislatif, baik yang

    berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk berkompetisi secara

    terbuka. Artinya, calon-calon yang dikenal oleh masyarakat sekalipun di daftar

    calon nanti berada pada nomor urut terakhir, apabila ia mendapatkan dukungan

    dari konstituennya, maka ia akan duduk menjadi anggota legislatif.72

    71Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. ix.

    72Prayudi, Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan Pemerintah, dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. 6.

  • Pemilih dengan calon legislatifnya pada sistem seperti ini akan

    mempunyai ikatan hubungan batin yang kuat, terutama untuk lingkungan

    masyarakat di daerah calon itu ikut berkompetisi. Pada pemilu 2004 ini, rakyat

    tidak hanya memilih gambar parpol semata, akan tetapi harus pula memilih nama

    orang yang berasal dari parpol yang berangkutan. Sedangkan untuk calon

    perseorangan yang berasal dari calon anggota DPD, pemilih tinggal memilih

    (mencoblos) nama orang yang bersangkutan.73

    Sebelum pemilu 2004, beberapa pemilu di Indonesia menggunakan sistem

    proporsional tertutup, sehingga calon-calon yang diajukan hanya ditetapkan oleh

    pemimpin parpol. Calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat tidak

    jarang kurang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya sendiri. Oleh karena itu

    muncul kesan rakyat berada di posisi pinggiran dalam mengartikulasikan

    kedaulatannya. Mereka (rakyat) harus menerima wakil-wakil dan pemimpinnya

    yang sesuai dengan kehendak parpol.74 Masyarakat belum bisa menentukan secara

    langsung anggota DPR yang nantinya akan menjadi wakil rakyat tersebut.

    Kembali kepada pembahasan pemilu legislatif 2004, dalam hal

    penyelenggaraan pemilu tersebut, ada tahapan-tahapan dalam rangka

    penyelenggarannya. Sesuai dengan UU No. 12/2003 menetapkan bahwa tahapan-

    tahapan penyelenggara pemilu terdiri atas sembilan tahapan. Tahapan-tahapan

    penyelenggaraan pemilu itu kemudian dijabarkan dalam keputusan KPU No.

    100/2003 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2004

    yang dikeluarkan pada 24 April 2003.75

    73Ibid. 74Ibid., h. 7. 75Topo Santoso dan Didik Suprianto, Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi (Jakarta: PT Raja

    Grafindo Persada, 2004),h. 34.

  • Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 dimulai dari Pendaftaran

    Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P-4B); pendaftaran, penelitian

    dan penetapan peserta pemilu yang terdiri dari (a) peserta pemilu dari partai

    politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (b)

    peserta pemilu dari perseorangan untuk pemilu anggota DPD; penetapan daerah

    pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR dan

    DPRD; pencalonan angggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

    kampanye pemilu.76 Tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara terdiri dari (a)

    pemungutan dan penghitungan suara di TPS (b) rekapitulasi suara di PPS, PPK,

    PPLN, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi; penetapan hasil pemilu anggota

    DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; penetapan perolehan

    kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

    kabupaten/kota;pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi

    serta DPR dan DPD.77 Selanjutnya untuk jadwal pemilu legislatif, KPU

    menetapkan pada 5 April 2004.78

    Dari tahapan-tahapan pemilu di atas, ternyata tahapan pendataan pemilih

    dan pendaftaran penduduk berkelanjutan atau yang biasa disingkat pendataan P4B

    di atas masih menyisakan pengalaman buruk dalam pemilu 2004 lalu. Pengalaman

    tersebut terungkap setelah hari H pencoblosan, dalam hal ini terungkap masih

    banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tet