Analisis Penggunaan Alat 1425035862

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan kepada konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri Perdagangan Tahun 2011). Hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional oleh Kementerian Perdagangan terdapat 21.814 UTTP. Ditemukan UTTP yang tidak bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau rata-rata 149 UTTP di setiap pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih ada 9.843 UTTP yang di gunakan walaupun tidak bertanda tera sah yang berlaku. Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol secara periodik untuk mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat UTTP yang tidak ditera mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil pengukuran. Kesalahan hasil pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan merugikan konsumen melainkan juga akan merugikan pelaku usaha. Data mengenai alat UTTP yang dipergunakan di pasar tradisional tersebut perlu dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut diharapkan bisa dianalisis penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional. Analisis mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong terciptanya perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional. Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i) mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional; (ii) menganalisis gap pelayanan tera/tera ulang UTTP dengan perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional;

Citation preview

  • PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

    KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013

    ANALISIS PENGGUNAAN ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA (UTTP) DALAM

    PERDAGANGAN BARANG

  • i

    RINGKASAN EKSEKUTIF

    Latar belakang

    1. Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan

    melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan

    kepada konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya

    melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri

    Perdagangan Tahun 2011).

    2. Hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional oleh

    Kementerian Perdagangan terdapat 21.814 UTTP. Ditemukan UTTP yang tidak

    bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau rata-rata 149 UTTP di setiap

    pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih ada 9.843 UTTP yang di

    gunakan walaupun tidak bertanda tera sah yang berlaku.

    3. Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol secara periodik untuk

    mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat UTTP yang tidak ditera

    mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil pengukuran. Kesalahan

    hasil pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan merugikan konsumen

    melainkan juga akan merugikan pelaku usaha.

    4. Data mengenai alat UTTP yang dipergunakan di pasar tradisional tersebut perlu

    dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut diharapkan bisa dianalisis

    penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional. Analisis

    mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar tradisional

    berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong terciptanya

    perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional.

    5. Dengan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan analisis ini adalah untuk (i)

    mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional;

    (ii) menganalisis gap pelayanan tera/tera ulang UTTP dengan perkembangan

    penggunaan alat UTTP di pasar tradisional; (iii) merumuskan usulan kebijakan

    tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.

    Metode Penelitian

    6. Sebagian besar data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, seperti

    menggunakan perhitungan proporsi, distribusi frekuensi, grafik, dan penyajian

    dalam bentuk matriks sebaran atau tabulasi silang (crosstab). Pada beberapa

    bagian, data diolah dan dianalisis secara inferensial, terutama untuk melihat

  • ii

    pengaruh perbedaan wilayah, jenis pasar, tingkat kapasitas UPT metrologi

    daerah. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis Chi-square, dan uji

    beda dua rata-rata melalui ANOVA.

    Pembahasan dan Kesimpulan

    7. Secara umum pelayanan tera/tera ulang UTTP sebagai bagian dari Metrologi

    Legal di Indonesia mengalami penurunan kapasitas sejak masa otonomi daerah,

    akibat: (i) kurangnya kepedulian pemerintah propinsi/ kabupaten/ kota dalam

    mengembangkan unit metrologi, yang ditunjukkan dengan besaran APBD yang

    kurang memadai, (ii) adanya persepsi bahwa unit metrologi legal semata-mata

    sebagai sumber retribusi PAD, (iii) penurunan jumlah SDM akibat pensiun atau

    rotasi kerja lintas instansi, dan keterbatasan pengembangan kompetensi SDM

    metrologi daerah, (iv) peralatan dan standar kerja yang kurang memadai jika

    dibandingkan dengan perkembangan jumlah UTTP yang pesat di masyarakat,

    serta (v) kerjasama antar unit metrologi daerah dinilai pada tingkat yang sangat

    rendah, padahal dunia kemetrologian menuntut intensitas kerjasama dan saling

    pengakuan yang tinggi antar unit metrologi.

    8. Terdapat beberapa gap antara penggunaan UTTP, khususnya timbangan,

    dengan kapasitas UPT Metrologi Legal di daerah, terutama pada bagian-bagian:

    Pemahaman dan dukungan dari pembuat kebijakan

    Keterbatasan Anggaran untuk operasional dan pengadaan standar

    Kondisi sarana memerlukan banyak perbaikan seperti peralatan uji lab kurang,

    sehingga tidak seluruh jenis UTTP dapat ditera/tera ulang

    Pertumbuhan pedagang tradisional dan modern membuat sebaran pedagang

    menjadi lebih luas

    Tidak ada pengawasan terhadap timbangan. Hal ini karena UPT Metrologi Legal

    hanya memiliki tugas untuk melakukan pelayanan tera dan tera ulang.

    Tidak ada sanksi jika ada pelanggaran yang ditemukan. Hal ini karena UPT tidak

    memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan tindakan. Pelanggaran

    besar dilaporkan kepada pihak kepolisian.

    Pemerintah daerah dan UPT tidak memiliki data Wajib Tera dan UTTP di wilayah

    kerjanya. Perhitungan potensi dan perencanaan didasarkan pada data pelayanan

    tahun sebelumnya.

    Koordinasi dalam pendataan, pengawasan dan penindakan belum dilaksanakan.

  • iii

    9. Kegiatan pelayanan tera/tera ulang UTTP masih mengandalkan Pemerintah

    Pusat yang saat ini masih menghadapi permasalahan seperti keterbatasan jumlah

    dan kompetensi SDM, anggaran, serta sarana dan prasarana tera/tera ulang.

    Sedangkan pemerintah daerah belum memprioritaskan kegiatan tersebut, karena

    semata-mata hanya sebagai sumber PAD bukan tugas yang sifatnya mandatory

    dalam rangka perlindungan konsumen.

    10. Pengamatan terhadap pelaksanaan tera dan tera ulang di daerah kajian

    menunjukkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP masih lebih kecil

    dibandingkan potensi jumlah pelayanan tera/tera ulang yang seharusnya

    dilaksanakan setiap tahun Secara umum, kapasitas pelayanan tera/tera ulang

    hanya dapat menjangkau sekitar 24,7% dari estimasi populasi timbangan yang

    ada.

    Rekomendasi kebijakan

    11. Perlu mendorong pemerintah Provinsi dan Kabupaten /kota bahwa pelayanan

    tera/tera ulang UTTP bersifat mandatory dalam upaya perlindungan konsumen.

    12. Perlu mendorong dan memfasilitasi koordinasi antara pemerintah Provinsi dengan

    pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya meningkatkan pelayanan tera/tera

    ulang UTTP khususnya timbangan antara lain : membentuk UPT dan UPTD-

    UPTD yang dilengkapi jumlah dan kompetensi SDM (penera dan pegawai yang

    berhak) yang memadai; ketersediaan sarana dan prasarana (gedung, peralatan

    standar, alat transportasi, dll), kegiatan pengawasan dan penyuluhan tera/tera

    ulang. Sedangkan koordinasi Pemerintah Kabupaten dengan pengelola pasar

    adalah dalam upaya untuk meningkatkan akses pelayanan tera/tera ulang

    termasuk update data UTTP yang valid di pasar tradisional.

    13. Diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan tera/tera ulang UTTP

    agar dapat menjangkau seluruh populasi timbangan yang ada di pasar tradisional

    melalui:

    1) Membentuk standar operasi dan prosedur (SOP) pelayanan tera ulang yang

    lebih baik dan teratur sehingga jangkauan pelayanan dapat lebih banyak dan

    dilakukan secara periodik serta tidak ada komplain timbangan rusak sesudah

    di tera ulang. Berdasarkan SOP ini akan diketahui kebutuhan jumlah hari

    pelayanan tera ulang di setiap pasar.

    2) Memetakan kebutuhan tenaga penera/PPNS Metrologi Legal di masing-masing

    provinsi dan kabupaten/kota ;

  • iv

    3) Menambah dan memperbaiki kondisi sarana/prasara pelayanan relatif sudah

    tua.

    14. Perlu ada penegakan aturan dalam penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang

    merugikan konsumen.

    15. Upaya sosialisasi masih terus ditingkatkan baik dalam bentuk langsung kepada

    pedagang dan konsumen maupun dalam bentuk tayangan iklan, pos ukur ulang,

    bantuan timbangan pengganti seperti di pasar tertib ukur dan konsumen cerdas

    termasuk pro-aktif dalam layanan pengaduan.

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga

    laporan Analisis Penggunaan Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya

    (UTTP) Dalam Perdagangan Barang dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi

    akan pemahaman mengenai pentingnya penguatan pasar dalam negeri. Sejalan

    dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan melaksanakan berbagai upaya yang

    bertujuan meningkatkan perlindungan kepada konsumen dan menjaga kualitas barang

    beredar dan jasa, salah satunya melalui peningkatan pengawasan terhadap UTTP.

    Namun dari hasil pengawasan UTTP pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar

    tradisional oleh Kementerian Perdagangan menemukan bahwa sekitar 45,1% UTTP

    yang digunakan di pasar tradisional tidak bertanda tera sah, yang menunjukkan tidak

    adanya jaminan terhadap akurasi dan reliabilitas UTTP yang digunakan dalam

    perdagangan barang di pasar tradisional. Padahal akurasi dan reliabilitas alat-alat

    UTTP ini diperlukan agar masing-masing pihak memperoleh perlindungan yang setara

    Pedagang dilindungi dari kerugian karena memberikan barang yang melebihi

    massa atau volume yang disepakati, sedangkan konsumen dilindungi dari kerugian

    karena menerima jumlah barang yang lebih rendah dari massa atau volume yang

    diminta/dibayarkannya. Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan

    Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Yudha Hadian Nur

    sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Heny Sukesi, Bagus Wicaksena, Erizal

    Mahatama dan Azis Muslimin. Penelitian ini dibantu oleh tenaga ahli Lomi Hija.

    Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau

    dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh

    karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam

    kesempatan ini tim peneliti menyampaikan terima kasih terhadap semua pihak yang

    membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini

    dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang

    standardisasi dan perlindungan konsumen.

    Jakarta, September 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

  • vi

    DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................................................i KATA PENGANTAR .................................................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................................................. v DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Analisis ..................................................................................................................... 3 1.3. Keluaran Analisis ................................................................................................................. 4 1.4. Dampak Analisis .................................................................................................................. 4 1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................................................... 4 1.6. Sistematika Penulisan .......................................................................................................... 5 1.7. Organisasi ............................................................................................................................ 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 7 2.1. Kalibrasi Dan Peneraan ....................................................................................................... 8 2.2. Otoritas Metrologi ............................................................................................................... 10 2.3. SDM Metrologi ................................................................................................................... 11 2.4. Penelitian Terdahulu .......................................................................................................... 13 BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................................................. 17 3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................................... 17 3.2. Data dan Sumber Data....................................................................................................... 20 3.3. Responden dan Sampling .................................................................................................. 20 3.4. Sampling ............................................................................................................................ 21 3.5. Metode Pengumpulan Data ................................................................................................ 22 3.6. Metode Pengolahan Data Dan Analisis Data ...................................................................... 23

    a. Tabulasi dan Metode Pengolahan Data ........................................................... 23

    b. Analisis Data ..................................................................................................... 23

    3.7. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ....................................................................................... 25

  • vii

    BAB IV. GAMBARAN PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP DI DAERAH ANALISIS ........ 27 4.1. Gambaran Responden Survey ........................................................................................... 27 4.2. Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang di Daerah ............................................................. 36

    a. Denpasar-Bali ................................................................................................... 36

    b. Bandung-Jawa Barat ........................................................................................ 46

    c. Ternate-Maluku Utara ....................................................................................... 51

    BAB V. EVALUASI PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP .................................................. 56 BAB VI. GAP PELAYANAN TERA/TERA ULANG DENGAN PERKEMBANGAN

    PENGGUNAAN ALAT UTTP DI PASAR TRADISIONAL .................................................. 61 6.1. Gambaran Komponen Gap Pelaksanaan Tera/Tera ulang UTTP di Pasar Tradisional ...... 62 6.2. Pengelompokan Masalah Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP ............................................ 76 6.3. Analisis Gap ....................................................................................................................... 79 BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................................ 84 7.1. Kesimpulan ........................................................................................................................ 84 7.2. Rekomendasi ..................................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA

  • viii

    DAFTAR TABEL Tabel Halaman 3. 1. Key Person/Responden, Instrumen, dan Metode Pengumpulan Data ................................. 20 3. 2. Daftar Pasar Sampel ........................................................................................................... 22 3. 4. Metode Analisis dan Sumber Data ...................................................................................... 24 4. 1. Proporsi Sudah dan Belum Tera Ulang, Menurut Wilayah Survey ...................................... 31 4. 2. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Meja Beranger32 4. 3. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Pegas........... 32 4. 4. Tabulasi Silang Hasil Ukur Ulang vs Apakah Sudah Tera Ulang, Pada Timbangan Meja

    Beranger dan Pegas Dengan Persentasi Menurut Kolom dan Baris. .................................. 33 4. 5. Rata-Rata Waktu Pemilikan Timbangan (Tahun) ............................................................... 36 4. 6. Jumlah Jenis UTTP Bali, Tahun 2012 ................................................................................ 38 4. 7. Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Provinsi Bali ................................................................. 38 4. 8. Gambaran Sarana UPT Metrologi Legal Bali, Tahun 2013 ................................................. 40 4. 9. Komposisi Pegawai di Balai Kemetrologian Bandung ......................................................... 47 4. 10. Pelayanan Balai Kemetrologian Bandung Terhadap Jenis UTTP ....................................... 48 4. 11. Data Pelayanan Tera/Tera Ulang Maluku Utara tahun 2012 .............................................. 51 4. 12. Jenis UTTP Yang Mendapatkan Pelayanan Tera/Tera Ulang tahun 2012 .......................... 52 4. 13. Tabel Estimasi Jumlah UTTP di Prov. Maluku Utara ......................................................... 53 4. 14. Komposisi SDM Menurut Jabatan UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara, Tahun

    2011-2013 .......................................................................................................................... 53 4. 15. Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara Menurut Pendidikan,

    Tahun 2011-2013 ............................................................................................................... 54 4. 16. Tabel Komposisi SDM UPTD Balai Metrologi di Provinsi Maluku Utara Menurut Umur ...... 54 6. 1. Lembaga Pelaksana Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP di Daerah Survey ........................ 63 6. 2. Jumlah SDM UPT Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, Ternate Tahun 2013 ...... 68 6. 3. Gap SDM Metrologi Legal Wilayah Denpasar, Bandung, dan Ternate ............................... 69 6. 4. Catatan Mengenai Sarana UPT Bali, Bandung, dan Ternate. ............................................. 72 6. 5. Catatan Mengenai Anggaran UPT Bali, Bandung, dan Ternate. ......................................... 74 6. 6. Jangkauan Pelayanan Tera Ulang Timbangan ................................................................... 75 6. 7. Analisis Gap Pelaksanaan Tera/Tera Ulang UTTP Dengan Perkembangan Penggunaan

    Alat UTTP Di Pasar Tradisional .......................................................................................... 80

  • ix

    DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2. 1. Rantai Ketertelusuran ........................................................................................................... 9 2. 2. Tanda Peneraan ................................................................................................................. 11 3. 1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................................ 18 4. 1. Jenis Kelamin, Usia Pedagang dan Lama Berdagang ......................................................... 27 4. 2. Tempat Berdagang, Status Tempat Berdagang, dan Lokasi Berdagang ............................ 28 4. 3. Penggunaan Timbangan di Denpasar, Bandung, dan Ternate ........................................... 30 4. 4. Alasan Penggunaan Timbangan ........................................................................................ 32 5. 1. Pelayanan dan Pengawasan Tera Ulang UTTP ................................................................. 56 5. 2. Faktor Penyumbang Gap Pelayanan UTTP Timbangan Meja dan Pegas........................... 58 5. 3. Posisi Reparatur Timbangan Dalam Prosedur Tera Ulang ................................................. 60 6. 1. Faktor Pendorong Supply dan Demand Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Pada

    Timbangan ......................................................................................................................... 62 6. 2. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali............................ 64 6. 3. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat ................ 65 6. 4. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Utara ............ 66 6. 5. Pohon Masalah Pelayanan UTTP ...................................................................................... 78

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Sektor perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian

    nasional baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, pentingnya

    peran sektor perdagangan terlihat dari peningkatan kontribusi PDB Sektor

    Perdagangan, Hotel dan Restoran. Untuk meningkatkan peranannya dalam

    perekonomian nasional, Kementerian Perdagangan menetapkan beberapa sasaran

    strategis, salah satu yang menjadi fokus adalah stabilisasi penguatan pasar dalam

    negeri.Dalam rangka penguatan pasar dalam negeri, Kementerian Perdagangan

    melaksanakan berbagai upaya yang bertujuan meningkatkan perlindungan kepada

    konsumen dan menjaga kualitas barang beredar dan jasa, salah satunya melalui

    peningkatan pengawasan terhadap UTTP (Laporan Kinerja Menteri Perdagangan

    Tahun 2011).

    Dalam kegiatan perekonomian, keberadaan pasar merupakan salah satu

    faktor yang paling penting karena merupakan tempat untuk melakukan kegiatan jual

    beli barang bagi kebutuhan masyarakat.Keberadaan pasar juga menjadi salah satu

    indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.Dalam

    perkembangannya pasar yang ada di masyarakat dapat dibagi menjadi pasar

    modern dan pasar tradisional. Pasar tradisional saat ini kalah bersaing dibanding

    dengan pasar modern dalam memberikan pelayanan ke masyarakat sebagai

    konsumen. Konsumen terutama di perkotaan merasa lebih nyaman berbelanja di

    pasar modern dibanding dengan pasar tradisional.

    Untuk meningkatkan pelayanan pasar tradisional pemerintah mencanangkan

    program perbaikan pengelolaan dan pemberdayaan pasar tradisional. Salah satu

    tujuannya adalah terciptanya pasar tradisional yang tertib, teratur, aman, bersih dan

    sehat seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20

    tahun 2012 tentang Pengelolaan Dan Pemberdayaan Pasar Tradisionaldan

    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86/M-DAG/PER/12/2012 tentang Petunjuk

    Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Sarana Perdagangan Tahun

    Anggaran 2013.

  • 2

    Salah satu indikator pasar yang tertib tersebut adalah penggunaan alat UTTP

    yang benar dan perilaku pedagang dalam pengukuran dan penimbangan dengan

    tepat dalam rangka melayani konsumen dengan baik. Sedangkan tujuan

    pembentukan Pasar Tertib Ukur tersebut adalah: (1) Meningkatkan citra pasar

    tradisional melalui kebenaran hasil pengukuran; (2) Meningkatkan pemahaman dan

    kesadaran pedagang/pengguna dan pemilik UTTP serta pengelola pasar dalam

    membangun kepercayaan masyarakat; dan (3) Mendorong pemerintah daerah untuk

    meningkatkan pelayanan kemetrologian dalam rangka perlindungan konsumen.

    Untuk saat ini tujuan pembentukan pasar tertib ukur belum tercapai. Hal ini

    dapat dibuktikan dengan sedikitnya alat UTTP yang digunakan sejumlah pelaku

    usaha terutama pedagang pasar tradisional sudah ditera. Hasil pengawasan UTTP

    pada 2010 yang dilakukan di 66 pasar tradisional terdapat 21.814 UTTP.Ditemukan

    UTTP yang tidak bertanda tera sah sebanyak 9.843 (45,1%) atau rata-rata 149

    UTTP di setiap pasar. Dengan demikian di 66 pasar tersebut masih ada 9.843 UTTP

    yang di gunakan walaupuntidak bertanda tera sah yang berlaku

    (http://citraindonesia.com/43313/). Padahal, kesalahan hasil pengukuran atau

    penimbangan akibat belum diteranya UTTP ini dapat merugikan konsumen. Alat

    UTTP yang digunakan setiap saat akan mengalami perubahan pada bagian tertentu,

    yang dapat mengakibatkan kesalahan pada hasil pengukuran atau penimbangan.

    Tahun 2012 telah terbentuk 4 Daerah Tertib Ukur (Kota Singkawang, Kota

    Surakarta, Kota Balikpapan dan Kota Batam) serta 91 Pasar Tertib Ukur yang

    tersebar di 57 kabupaten/kota. Untuk tahun 2013, direncanakan akan dibentuk tiga

    DaerahTertib Ukur dan 30 Pasar Tertib Ukur1.

    Untuk tercapainya pasar tertib ukur pemerintah sudah mengeluarkan

    kebijakan-kebijakan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib

    dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-

    Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya,dan Peraturan Menteri

    Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang,

    1http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-

    detail/berita/92)

  • 3

    dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, dan Surat

    Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor

    01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP mengamanatkan agar UTTP yang secara

    langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai

    untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan wajib

    ditera atau ditera ulang. Kedua kebijakan tersebut sebagai regulasi turunan dari

    Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

    Alat UTTP harus ditera ulang sebagai alat kontrol secara periodik untuk

    mengetahui apakah alat tersebut masih layak pakai. Alat UTTP yang tidak ditera

    mengakibatkan tidak adanya jaminan kebenaran hasil pengukuran. Kesalahan hasil

    pengukuran atau penimbangan tidak hanya akan merugikan konsumen melainkan

    juga akan merugikan pelaku usaha.

    Jenis alat UTTP yang paling banyak digunakan di pasar tradisional adalah

    timbangan pegas dan timbangan meja beranger serta anak timbangan. Jenis alat

    UTTP yang banyak digunakan di 66 pasar tradisional yang menggunakan timbangan

    pegas sebanyak 9,5%, timbangan meja 15,15% dan anak timbangan sebesar 69,9

    % (Sucofindo, 2011).

    Data mengenai alat UTTP khususnya timbangan yang banyak dipergunakan di

    pasar tradisional tersebut perlu dikoleksi dan diolah. Dari pengolahan data tersebut

    diharapkan bisa dianalisis penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di pasar

    tradisional.Analisis mengenai penggunaan alat-alat UTTP dalam perdagangan di

    pasar tradisional berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka mendorong

    terciptanya perdagangan yang adil, khususnya di pasar tradisional. Analisis tersebut

    dilakukan untuk menjawab pertanyaan penyebab belum optimalnya penggunaan

    alat-alat UTTP apakah erat kaitannya dengan kapasitas pelayanan kemetrologian,

    rendahnya kesadaran pedagang dan rendahnya kepedulian konsumen.

    1.2. Tujuan Analisis Sejalan dengan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu analisis

    dengan tujuan sebagai berikut :

    a. Mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional

  • 4

    b. Menganalisis gap pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang alat UTTP dengan

    perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional.

    c. Merumuskan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan

    konsumen.

    1.3. Keluaran Analisis Analisis yang dilakukan diharapkan dapat menghasilkan keluaran sebagai

    beruikut :

    a. Evaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTPdi pasar tradisional;

    b. Analisis gap pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang alat UTTP dengan

    perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional;

    c. Rumusan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.

    1.4. Dampak Analisis Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengambil

    kebijakan dan lembaga terkait dalam membantu tercapainya perdagangan yang adil

    bagi pedagang dan perlindungan konsumen melalui penerapan tera dan tera ulang

    alat-alat UTTP.

    1.5. Ruang Lingkup a. Jenis UTTP yang dianalisis adalah timbangan pegas dan timbangan meja

    beranger serta anak timbangan. Alasan pemilihan alat tersebut adalah alat

    timbangan yang paling banyak digunakan dalam perdagangan di pasar

    tradisional.

    b. Aspek yang dianalisis :

    1) Kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengenai metrologi

    legal, tera dan tera ulang UTTP;

    2) Kapasitas instansi yang membawahi Metrologi Legal di daerah dalam

    melakukan pelayanan tera/tera ulang timbangan, penyuluhan, dan

    pengawasannya;

    3) Implementasi wajib tera dan tera ulang UTTP di pasar tradisional;

    4) Kesadaran dan pemahaman pedagang pasar tradisional dalam tertib ukur.

  • 5

    c. Daerah Analisis

    Analisis ini dilakukan di tiga kota, yaitu di Bandung, Denpasar, dan Ternate.

    Dipilihnya daerah penelitian tersebut dengan pertimbangan, antara lain

    perkembangankegiatan usaha perdagangan di pasar tradisional dan jumlah UTTP

    yang beredar relatif besar yaitu Bandung dan menengah yaitu Denpasar.

    Sedangkan Ternate dipilih sebagai representasi daerah dengan jumlah penggunaan

    alat UTTP relatif rendah.

    1.6. Sistematika Penulisan Laporan analisis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

    BAB I Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang dilakukan.

    BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang digunakan sebagai referensi dalam analisis ini.

    BAB III Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran, kebutuhan informasi,

    responden dan sampling, metode pengumpulan data, metode analisis

    data, sumber data, dan tahapan pelaksanaan analisis.

    BAB IV Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang. Bab ini menguraikan hasil temuan-temuan lapangan/survey di daerah analisis

    BAB V Evaluasi Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP. Pada bab ini memuat hasil temuan lapangan, analisis deskriptif dan kuantitatif dari

    pelayanan tera/tera ulang UTTP di daerah analisis.

    BAB VI Gap Pelaksanaan Tera/Tera Ulang UTTP Dengan Perkembangan Penggunaan Alat UTTP di Pasar Tradisional. Menjelaskan mengenai perbedaan yang terjadi antara pelaksanaan pelayanan

    kemetrologian dan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional dan

    menganalisisnya dengan menggunakan alat analisis gap BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan dan saran

    untuk usulan kebijakan terkait upaya peningkatan pelayanan tera/tera

    ulang UTTP di pasar tradisional.

  • 6

    1.7. Organisasi Analisis ini dilaksanakan oleh peneliti dan staf Pusat Kebijakan Perdagangan

    Dalam Negeri yang terdiri dari peneliti pertama, peneliti non fungsional, dan

    pembantu peneliti.

  • 7

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    Secara umum masyarakat masih belum memahami arti metrologi walaupun

    manfaatnya telah dirasakan secara luas. Menurut studi UNCTAD (2004) masih

    banyak masyarakat yang tidak dapat membedakan pengertian metrologi (ilmu

    pengetahuan tentang ukur-mengukur) dengan meteorologi (ilmu mengenai cuaca

    dan prakiraan cuaca).Walau begitu dalam transaksi perdagangan misalnya

    masyarakat menggunakan pengukuran sebagai dasar penentuan kuantitas

    transaksi.

    Dalam studinya UNCTAD (2004) menyatakan bahwa Metrologi adalah ilmu

    tentang pengukuran, termasuk didalamnya satuan ukuran beserta standarnya,

    instrumen pengukuran dan penerapannya, serta teori dan permasalahan dalam

    aplikasi yang berkaitan dengan pengukuran. Pengukuran sangat penting dan

    menjadi bagian dari berbagai aktivitas manusia, mulai dari pengawasan produksi,

    pengukuran kualitas lingkungan, persyaratan kesehatan dan keselamatan,

    persyaratan kesesuaian produk dalam melindungi konsumen dan jaminan

    terselenggaranya perdagangan yang terbuka.

    Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

    1981 tentang Metrologi Legal, definisi dari metrologi adalah ilmu pengetahuan

    tentang ukur mengukur secara luas. Metrologi meliputi semua aspek pengukuran

    praktis dan teoritis, termasuk juga ketidakpastian pengukuran di bidang aplikasinya.

    Manfaat Metrologi dalam kehidupan manusia seperti yang diungkapkan oleh

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, BPPP,

    Departemen Perdagangan dan Arah Cipta Guna (2007) dapat dijumpai dalam

    berbagai bidang antara lain perdagangan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan2.

    Dalam bidang perdagangan, kegiatan metrologi sangat erat terkait didalamnya.

    Dalam transaksi jual beli. Dalam bidang kesehatan misalnya penggunaan monitor

    klinis, termometer, alat tekanan darah, electrocardiographs, alat untuk mengukur

    irama denyut nadi. Alat-alat ukur kesehatan tersebut harus benar karena

    2 Dikutip dari: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, BPPP,

    Departemen Perdagangan dan Arah Cipta Guna. 2007. Kajian Sistem Metrologi Legal.

  • 8

    akanberdampak pada hasil diagnosis yang dilakukan yang pada akhirnya akan

    berdampak pada jiwa manusia. Peran Metrologi Legal dalam keselamatan publik

    antar lain dalam bidang lalu lintas, yaitu ketepatan ukuran tekanan ban, sistem

    kemudi, sistem pengereman, sistem elektrik, isyarat keadaan darurat, dan lain-

    lain.Metrologi dapat berperan dengan menyediakan alat ukur yang dapat mengukur

    tingkat polusi yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut di atas sehingga pengendalian

    polusi dapat lebih efektif dilakukan.

    2.1. Kalibrasi Dan Peneraan

    Gambar 2.1.Rantai Ketertelusuran

    Sumber: Puslitbang Dagri (2007)

    Gambar 2.1. memperlihatkan bahwa alat ukur yang digunakan sebagai alat

    bantu (misalnya alat bantu transaksi perdagangan) harus mengacu pada standar

    tertentu yang lebih akurat. Puncak piramida adalah standard Internasional dimana

    Standar Internasional

    Standard Primer Nasional

    Standard Sekunder

    Standard Kerja

    Alat Ukur

    Standard Primer Negara Lain

    Ketidakpastian Pengukuran semakin besar

  • 9

    seluruh alat ukur yang ada di dunia ini seharusnya mengacu pada standar tertinggi

    ini. Dari standar ini standar yang ada di setiap negara diturunkan. Standar Nasional

    digunakan sebagai acuan alat ukur yang ada di suatu negara.

    Untuk menjamin ketertelusuran suatu hasil pengukuran, maka alat ukur dan

    bahan ukur yang digunakan harus dikalibrasi. Kalibrasi adalah proses

    membandingkan hasil pengukuran suatu alat ukur dengan hasil pengukuran alat

    ukur standard/acuan. Proses kalibrasi dapat menentukan nilai-nilai yang berkaitan

    dengan kinerja suatu alat ukur atau bahan acuan. Hal ini dicapai dengan

    perbandingan langsung terhadap suatu standar ukur atau bahan acuan bersertifikat.

    Keluaran dari kalibrasi adalah sertifikat kalibrasi. Selain sertifikat, biasanya juga ada

    label atau stiker yang disematkan pada alat yang sudah dikalibrasi.

    Ada tiga alasan penting mengapa sebuah alat ukur perlu dikalibrasi:

    a. Memastikan bahwa penunjukkan alat tersebut sesuai dengan hasil pengukuran

    lain.

    b. Menentukan akurasi penunjukkan alat.

    c. Mengetahui keandalan alat, yaitu bahwa alat tersebut dapat dipercayai.

    Gambar 2.2.Tanda Peneraan

    Sumber: http://ditjenspk.kemendag.go.id/index.php/public/home/info-linkmetrologi/

    Menera adalah hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal,

    atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tanda

    tera batal, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya berdasarkan

    pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.

    Tera Ulang adalah hal menandai berkala dengan tanda tera sah atau tanda tera

  • 10

    batal, atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau

    tanda tera batal, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya

    berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur,takar, timbang dan

    perlengkapannya yang telah ditera. Jika alat ukur tersebut memenuhi syarat tertentu

    maka pegawai yang berhak akan menandai alat ukur tersebut dengan tanda tera

    sah. Sebaliknya, jika alat ukur tersebut tidak memenuhi syarat tertentu maka

    pegawai yang berhak akan menandai alat ukur tersebut dengan tanda tera batal.

    Bentuk tanda tera dapat dilihat di Gambar 2.2.

    2.2. Otoritas Metrologi Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang benar telah ditetapkan Otoritas

    Metrologi yang diakui sebagai rujukan. Otoritas metrologi terbagi dalam tiga bidang:

    bidang metrologi ilmiah dalam hal kebenaran ilmiah menjadi tanggung jawab Pusat

    Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan

    Indonesia (Puslit KIM-LIPI); bidang metrologi legal dalam hal pengukuran yang

    berkaitan dengan regulasi menjadi tanggung jawab Direktorat Metrologi Kementerian

    Perdagangan, dan bidang akreditasi laboratorium dalam hal menentukan

    kompetensi suatu laboratorium untuk melakukan pengukuran (baik pengujian

    maupun kalibrasi) menjadi wewenang Komite Akreditas Nasional (KAN).

    Direktorat Metrologi Kementerian Perdagangan Republik Indonesia memiliki

    tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan

    bimbingan teknis, pengawasan serta evaluasi di bidang Kemetrologian. Adapun

    fungsinya meliputi3: a) penyiapan perumusan kebijakan; b) penyiapan perumusan

    standar, norma, kriteria, dan prosedur; c) bimbingan dan pelaksanaan teknis; d)

    pengawasan dan evaluasi pelaksanaan di bidang sarana dan tenaga, standar

    ukuran dan laboratorium, teknik, pengawasan dan penyuluhan serta kerjasama

    kemetrologian; e) pelaksanaan urusan tata persuratan dan rumah tangga Direktorat.

    Dengan demikian secara garis besar, tugas pokok dan fungsi Direktorat Metrologi

    adalah mengelola standar ukuran dan satuan ukuran, melaksanakan tera dan tera

    3www.djpdn.go.id.Tupoksi Direktorat Metrologi.

  • 11

    ulang UTTP, melakukan pengawasan UTTP dan BDKT serta penyuluhan

    kemetrologian.

    Pada era otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32

    tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan dalam pelaksanaan dan

    pengawasan metrologi legal berada di daerah (Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/

    Kota). Untuk memfasilitasi pelayanan kemetrologian legal di daerah dibentuk Unit

    Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Metrologi Legal sebagai unsur pelaksana tugas

    teknis di bidang metrologi legal di daerah.

    Pada era otonomi ini terdapat permasalahan umum pelayanan metrologi legal.

    Pemerintah Daerah menganggap kegiatan tera dan tera ulang sebagai sumber PAD,

    sehingga penganggaran untuk dinas atau UPT yang membidangi metrologi legal

    didasarkan pada besarnya penerimaan retribusi dari kegiatan tera ulang UTTP. Hal

    ini mengakibatkan investasi dan pemeliharaan laboratorium atau peralatan menjadi

    sangat terbatas, dan pada akhirnya akan menurunkan kapasitas institusi tersebut

    untuk melakukan pengawasan penggunaan UTTP yang digunakan oleh pelaku

    usaha di wilayahnya. Perlu ada perubahan paradigma dari pemerintah Propinsi/

    Kabupaten/ Kota bahwa kegiatan Metrologi Legal harus ditekankan pada upaya

    untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan sekaligus menumbuhkan

    iklim berusaha yang sehat4.

    2.3. SDM Metrologi Dalam rangka mewujudkan pelayanan yang prima di bidang kemetrologian

    perlu didukung pengembangan sumber daya manusia kemetrologian yang kompeten

    dan memadai. Menurut Suparno (2001:27), Kompetensi adalah kecakapan yang

    memadai untuk melakukan suatu tugas atau memiliki ketrampilan dan kecakapan

    yang disyaratkan. Dikaitkan dengan kemetrologian, SDM kemetrologian yang

    kompeten adalah SDM yang memiliki kecakapan yang memadai untuk melakukan

    suatu tugas atau memiliki ketrampilan dan kecakapan kemetrologian yang

    disyaratkan. SDM kemetrologian yang memadai diartikan upaya untuk memenuhi

    persyaratan kuantitas dan kualitas pelayanan kemetrologian.

    4Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007

  • 12

    Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor

    48/M.DAG/PER/12/2010 tentang pengelolaan sumber daya kemetrologian jenis

    SDM kemetrologian meliputi: Penera, Pegamat Tera, Pranata Laboratorium

    Kemetrologian dan Penyidik Pegawai Negerei Sipil (PPNS) Metrologi Legal. penera

    adalah pegawai berhak dalam proses menandai dengan tanda tera sah atau tanda

    tera batal yang berlaku ataumemberikan keterangan tertulis yang bertanda tera sah

    atau tanda terabatal yang berlaku berdasarkan pengujian yang dijalankan atas

    UTTP. Pengamat tera bertugas melakukan pengawasan terhadap UTTP,BDKT, dan

    SI. Pranata laboratorium kemetrologian bertugas melakukan pengelolaan standar

    ukuran dan laboratorium kemetrologian untuk menjamin kesesuaian dengan

    peraturan dan persyaratan yang berlaku serta ketertelusuran standar di tingkat

    nasional atau internasional.PPNS Metrologi Legal bertugas melakukan penyidikan

    tindak pidanaUndang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal5.

    Kompetensi SDM dinilai memadai untuk melaksanakan tugas rutin

    kemetrologian, tapi sulit untuk melakukan inovasi dalam rangka pengembangan

    sistem Metrologi Legal. Hal ini disebabkan pola rekruitmen tenaga fungsional kurang

    maksimal, karena direkruit dari pegawai dinas yang ada, sehingga pilihan kandidat

    menjadi sangat terbatas. Untuk itu, pada masa mendatang pola rekruitmen tenaga

    fungsional dilakukan dari kandidat umum dengan kualifikasi yang tinggi, sehingga

    tenaga penera yang dihasilkan memiliki daya inovasi yang lebih baik

    Pengembangan SDM metrologi selama ini dinilai kurang memadai, baik diukur

    dari jumlah dan intensitasnya. Kurangnya pengembangan SDM disertai

    berkurangnya jumlah SDM fungsional karena memasuki usia pensiun

    mengakibatkan kinerja unit metrologi daerah relatif mengalami penurunan. Hal inilah

    yang menjadi penyebab para pemangku kepentingan menilai pengembangan SDM

    metrologi sangat mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah

    Propinsi dan Kabupaten/ Kota.

    Permasalahan SDM dalam melaksanakan kegiatan tera dan tera ulang tentu

    akan berdampak pada layanan yang sanggup diberikan. Sebagai informasi bahwa di

    tahun 1998 kemampuan penera dalam menera atau tera ulang mencapai 19.000 5Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 48/M.DAG/PER/12/2010 tentang

    pengelolaan sumber daya kemetrologian.

  • 13

    UTTP per penera per tahun sedangkan tahun 2006 turun menjadi 6.739 UTTP per

    penera per tahun6.

    2.4. Penelitian Terdahulu Di negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan populasi masih cukup

    besar. Pertumbuhan ini akan berdampak pada perdagangan dan pasar sebagai

    fasilitas untuk mempertemukan pedagang dan konsumen.

    Di daerah perkotaan, pertumbuhan akibat urbanisasi juga menambah

    kontribusi bagi pertumbuhan penduduk. Pendapatan penduduk perkotaan relatif

    didominasi oleh bertumbuhnya pendapatan penduduk golongan menengah atas.

    Pertumbuhan golongan menengah atas ini telah memberikan insentif bagi para

    pelaku usaha untuk mengembangkan pasar modern. Bagi golongan menengah atas

    pasar modern lebih menarik karena alasan kualitas, keamanan, dan pelayanan yang

    lebih baik (Mc Cullough et al, 2009).

    Walaupun saat ini perkembangan pasar tradisional relatif lebih kecil

    dibandingkan pasar modern namun hampir 80% rumah tangga Indonesia

    memperoleh bahan kebutuhan pokoknya melalui transaksi perdagangan barang di

    pasar tradisional (KPPU dikutip dari AC Nielsen, 2009). Kontribusi yang besar untuk

    pemenuhan kebutuhan konsumen ini memberikan alasan bagi pemerintah untuk

    tetap mendukung keberadaan pasar tradisional. Dukungan ini dapat dilihat dari

    dikeluarkannya beberapa kebijakan di sektor perdagangan terutama yang terkait

    dengan pasar tradisional, serta program-program yang ditujukan untuk

    merealisasikan regulasi yang dibuat.

    Salah satu kebijakan yang mendukung pasar tradisional yaitu kebijakan

    Kementerian Perdagangan mengenai Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi

    Khusus Sarana Perdagangan (Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 86/M-

    DAG/PER/12/2012). Realisasi kebijkan ini adalah dibuatnya beberapa program

    perkuatan sarana perdagangan seperti program Pasar Tertib Ukur, pasar

    percontohan, dan program peningkatan sarana Metrologi Legal.

    6Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007

  • 14

    Pelaksanaan tertib ukur akan memberikan dampak positif bagi perkembangan

    pasar tradisional. Sucofindo (2013) sedikitnya menyebutkan ada tiga manfaat yang

    diperoleh dari pembentukan pasar tertib ukur antara lain: (1) Meningkatkan citra

    pasar tradisional melalui kebenaran hasil pengukuran; (2) Meningkatkan

    pemahaman dan kesadaran pedagang/pengguna dan pemilik UTTP serta pengelola

    pasar dalam membangun kepercayaan masyarakat; dan (3) Mendorong pemerintah

    daerah untuk meningkatkan pelayanan kemetrologian dalam rangka perlindungan

    konsumen.

    Untuk tercapainya pasar tertib ukur pemerintah sudah mengeluarkan

    kebijakan-kebijakan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib

    dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-Syarat Bagi Alat-

    Alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya, dan Peraturan Menteri

    Perdagangan No. 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang,

    dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang, dan Surat

    Edaran Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor

    01/SPK/SE/5/2011 tentang Tera UTTP mengamanatkan agar UTTP yang secara

    langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai

    untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan wajib

    ditera atau ditera ulang. Kedua kebijakan tersebut sebagai regulasi turunan dari

    Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

    Dari peraturan tersebut di atas secara tersirat terlihat bahwa peran metrologi

    untuk mendukung peningkatan pelayanan di pasar tradisional adalah hal yang

    penting. Pasar Tertib Ukur, serta peningkatan sarana Metrologi Legal sebagai

    program kerja membuktikan hal tersebut. Pada sebuah pasar (khususnya pasar

    tradisional) perlindungan tertib ukur arahnya bukan hanya ke konsumen namun juga

    ke produsen. Untuk itu pelayanan pemerintah untuk mendukung terciptanya tertib

    ukur harus terlaksana. Pemerintah yang memangku tugas kemetrologian baik pusat

    maupun daerah tentu harus memiliki kapasitas yang cukup dan dapat mengikuti

    perkembangan UTTP di pasar tradisional sebagai salah satu beban kerjanya.

    Untuk mengetahui seberapa besar layanan yang harus dilakukan pemerintah

    yang dalam hal ini kemetrologian, dalam melayani kemetrologian untuk pasar

    tradisional, tentu harus didukung data perkembangan UTTP di daerah. Namun yang

  • 15

    menjadi kendala hingga saat ini ternyata tidak ada data perkembangan UTTP di

    pasar tradisional.

    Namun demikian survey yang dilakukan oleh Sucofindo di tahun 2011 telah

    menghasilkan perhitungan dugaan jumlah UTTP yang beredar di pasar tradisional.

    Informasi survey Sucofindo menyatakan bahwa dari 11 jenis UTTP diperkirakan

    sebanyak 7.737.904 UTTP terdapat di pasar tradisional. Dugaan jumlah UTTP

    terbanyak dapat dijumpai pada pasar tradisional di wilayah Jawa Barat yakni

    2.007.397 unit atau sekitar 26% dari dugaan nasional. Jenis UTTP yang paling

    banyak beredar adalah anak timbangan dengan dugaan berjumlah 5.411.338 unit

    atau sekitar 69,93% dari total UTTP. Jenis kedua yang banyak beredar yakni

    timbangan meja beranger dengan hasil dugaan sebanyak 1.172.042 unit atau sekitar

    15.15% dari total UTTP dan paling banyak beredar pada pasar tradisional di Jawa

    (Sucofindo; 2013).

    Dari 7.737.904 UTTP yang beredar di pasar tradisional, hasil sucofindo

    menunjukkan 53% tanda tera dari UTTP ditemukan dalam kondisi bagus. Sementara

    selebihnya dalam kondisi tidak tampak (38.67%), rusak (3.74%), bahkan ada

    beberapa yang sudah putus (1.67%) dan sekitar 3% tidak ada keterangan.

    Berdasarkan tanda tera akhir, hanya sekitar 40% UTTP yang bertanda tera sah

    (bertanda setahun terakhir), sementara sisanya ditera lebih dari setahun yang lalu

    (Sucofindo; 2013).

    Penerbitan sejumlah regulasi di bidang kemetrologian secara tersirat

    menunjukkan bahwa metrologi memiliki peran yang signifikan dalam mendukung

    peningkatan pelayanan di pasar tradisional. Dengan demikian, pemerintah yang

    memangku tugas kemetrologian baik pusat maupun daerah tentu harus memiliki

    kapasitas yang cukup dan dapat mengikuti perkembangan UTTP di pasar

    tradisional.

    Namun, Secara umum pelayanan unit Metrologi Legal di Indonesia (khususnya

    di luar Jawa) mengalami penurunan kapasitas sejak masa otonomi daerah, akibat:

    a. Kurangnya kepedulian pemerintah Propinsi/ Kabupaten/ Kota dalam

    mengembangkan unit metrologi, yang ditunjukkan dengan besaran APBD yang

    kurang memadai,

    b. Adanya persepsi bahwa unit metrologi legal semata-mata sebagai sumber

    retribusi PAD,

  • 16

    c. Penurunan jumlah SDM akibat pensiun atau rotasi kerja lintas instansi, dan

    keterbatasan pengembangan kompetensi SDM metrologi daerah,

    d. Peralatan dan standar kerja yang kurang memadai jika dibandingkan dengan

    perkembangan jumlah UTTP yang pesat di masyarakat, serta

    e. Kerjasama antar unit metrologi daerah dinilai pada tingkat yang sangat rendah,

    padahal dunia kemetrologian menuntut intensitas kerjasama dan saling

    pengakuan yang tinggi antar unit metrologi.

    Banyaknya kelembagaan metrologi daerah yang berbentuk UPTD mendorong

    unit metrologi daerah lebih fokus pada layanan tera dan tera ulang UTTP, dan

    meminimalkan kegiatan pengawasan terhadap pelanggaran UUML. Pemerintah

    daerah berkecenderungan melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan PAD

    secara langsung daripada kegiatan yang hanya membebani keuangan daerah,

    seperti: penyuluhan, bimtek, dan pengawasan kemetrologian.

    Penurunan kegiatan pengawasan ini dipicu oleh berbagai faktor antara lain: (1)

    interpretasi terhadap SK Menteri PAN Nomor 106 yang membatasi UPTD

    melakukan kegiatan pengawasan, (2) interpretasi terhadap SK Menteri Dalam

    Negeri Nomor 6 tahun 2003 tentang Pembinaan PPNS Daerah yang hanya

    mengijinkan untuk menyidik pelanggaran Peraturan Daerah, bukan pelanggaran

    undang-undang, (3) adanya eforia reformasi yang membuat masyarakat merasa

    lebih berdaya dan aparat menjadi ragu bertindak, (4) pimpinan daerah dan kepala

    dinas yang lebih menekankan sisi penerimaan PAD yang dapat dihasilkan oleh

    kegiatan tera dan tera ulang UTTP, sehingga kurang memprioritaskan kegiatan

    pengawasan, (5) keterbatasan personil, sarana dan anggaran untuk kegiatan

    pengawasan kemetrologian, dan (6) tidak adanya tupoksi pengawasan dalam UPTD

    Metrologi di banyak daerah.

    Berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah dan aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun

    2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 dinilai berdampak besar

    terhadap kelembagaan unit metrologi daerah pada masa mendatang. Peraturan

    pemerintah ini memberikan kemungkinan bagi pemerintah Kabupaten/ Kota untuk

    membentuk unit metrologinya, sehingga penataan kelembagaan metrologi daerah

    sangat strategis dalam pengembangan sistem metrologi legal di Indonesia pada

    masa mendatang (Kajian Sistem Metrologi Legal, 2007).

  • 17

    BAB III METODOLOGI

    3.1. Kerangka Pemikiran Kendati jumlah pasar modern dan retail modern semakin banyak, terutama di

    kota-kota besar Indonesia, namun Pasar Tradisional masih merupakan tempat

    berbelanja barang yang utama bagi masyarakat Indonesia. AC Nielsen, seperti

    dikutip oleh KPPU pada tahun 2009 menunjukkan bahwa masih sekitar 80% rumah

    tangga Indonesia terlibat dengan pasar tradisional untuk memperoleh barang dan

    bahan kebutuhan pokoknya. Hal ini menunjukkan besarnya peran pasar tradisional

    dalam transaksi perdagangan barang dan kehidupan masyarakat Indonesia sehari-

    hari.

    Jika kenyataan ini dihubungkan dengan Undang-Undang nomor 2 Tahun 1981

    tentang Metrologi Legal yang mewajibkan kebenaran ukuran, takaran, timbangan

    atau jumlah barang yang diperdagangkan untuk umum7 , dan Peraturan Menteri

    Perdagangan R.I. Nomor : 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar,

    Timbang, Dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera Dan Ditera Ulang, Pasal

    2 ayat (1) dan Pasal 6 yang mewajibkan mengenai tera/tera ulang dari UTTP yang

    digunakan untuk kepentingan umum8 , maka akan tampak bahwa masalah-masalah

    yang berhubungan dengan pelayanan tera/tera ulang, penggunaan, dan

    pengawasan alat UTTP di pasar tradisional, masih amat relevan untuk terus

    diamati/dikaji dalam kerangka perdagangan barang dan perlindungan konsumen.

    7Dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun

    juga, semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya

    8UTTP yang wajib ditera dan ditera ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a adalah UTTP yang secara langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam keadaan siap pakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau penimbangan untuk: a. kepentingan umum; b. usaha; c. menyerahkan atau menerima barang; d. menentukan pungutan atau upah; e. menentukan produk akhir dalam perusahaan; atau f. melaksanakan peraturan perundang-undangan

  • 18

    Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

    Pasar Tradisional

    Perdagangan Barang

    Pembeli/ Konsumen

    Pedagang

    Penggunaan UTTP

    Tera, Tera Ulang, Pengawasan, Kebenaran

    Akurasi dan Reliabilitas UTTP

    Tujuan: Keadilan

    Tujuan: Perlindungan

    konsumen

    UPTD Provinsi/ UPTD Kabupaten/Kota

    Pengetahuan Kesadaran

    Pengetahuan Kepedulian

    Kapasitas: Peralatan/ Sarana

    Prasarana Kecukupan UTTP

    Pengganti Jumlah dan kompetensi

    SDM

    Sanksi dan penegakan

    aturan

    UU no. 2/81 tentang Metrologi Legal

    Peraturan perundangan lain

    Permintaan terhadap Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas

    Pasokan terhadap Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas

    GAP Pelayanan Tera/Tera Ulang UTTP Timbangan Meja dan Pegas

    Hambatan hambatan

    Faktor pasokan

    Faktor permintaan

    Permendag no. 86/2012 tentang DAK Sarana Perdagangan; mengenai peningkatan sarana metrologi legal

  • 19

    Sesuai dengan tujuan analisis yang ingin mengevaluasi dan menganalisis gap

    pelaksanaan pelayanan tera/tera ulang UTTP di pasar tradisional, maka analisis ini

    diharapkan memperoleh gambaran-gambaran mengenai:

    1. Jumlah UTTP, khususnya timbangan meja dan timbangan pegas, di pasar

    tradisional. Informasi ini digunakan untuk menggambarkan jumlah dan

    perkembangan timbangan yang digunakan oleh pedagang di pasar

    tradisional.Informasi-informasi ini berasal dari data sekunder yang diperoleh dari

    Dinas Perdagangan, UPTD metrologi legal, dan pengelola pasar setempat.

    2. Kapasitas UPTD metrologi legal daerah untuk melaksanakan pelayanan

    tera/tera ulang UTTP, pengawasan, dan penyuluhan di pasar tradisional.

    Informasi ini diperoleh dari UPTD Metrologi Legal.

    3. Gap/Selisih antara permintaan dan kapasitas pelayanan tera/tera Ulang UTTP di

    pasar tradisional.

    Gap pelayanan tera/tera ulang UTTP pada suatu wilayah ditentukan oleh

    selisih antara Permintaan dan Pasokan terhadap pelayanan tera/tera ulang UTTP di

    wilayah tersebut. Secara umum, Permintaan pelayanan tera/tera ulang ditentukan

    oleh jumlah UTTP yang ada di wilayah tersebut, sedangkan jumlah pasokan

    pelayanan tera/tera ulang ditentukan oleh kapasitas instansi UPTD Metrologi Legal

    dan Dinas Perdagangan di daerah dalam menyediakan pelayanan tera/tera ulang

    tersebut.

    Disamping ketiga informasi tersebut, analisis juga diarahkan untuk

    memperoleh informasi-informasi tambahan mengenai:

    1. Hambatan yang dihadapi oleh daerah dalam upaya pelayanan, pengawasan dan

    penegakan aturan metrologi legal, khususnya berkenaan dengan kegiatan

    tera/tera ulang UTTP timbangan di daerah.

    2. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dan kapasitas

    pasokan pelayanan tera/tera ulang UTTP di daerah.

    3. Pendapat UPTD Metrologi Legal terhadap implementasi Peraturan Menteri

    Perdagangan RI No. 86/M-DAG/PER/12/2012 tentang Petunjuk Teknis

    Penggunaan Dana Alokasi Khusus Sarana Perdagangan di daerah sampel.

    Apakah implementasi Peraturan Menteri Perdagangan ini dinilai meningkatkan

  • 20

    kapasitas daerah dalam melakukan pengawasan, penyuluhan, dan pelayanan

    metrologi legal (khususnya tera/tera ulang UTTP) di daerahnya.

    3.2. Data dan Sumber Data Data dan informasi yang dibutuhkan dalam analisis ini kemudian diolah

    menjadi petunjuk dalam melakukan: Menurunkan butir pertanyaan yang akan

    muncul dalam instrumen analisis; Mengidentifikasikan sumber informasi yang perlu

    didatangi; dan Menyusun strategi untuk memperoleh data/informasi tersebut. Hasil

    penurunan butir kuesioner kemudian didokumentasikan dalam 3 buah kuesioner

    yaitu: 1) Kuesioner UPTD Metrologi Legal, 2) Kuesioner Pengelola Pasar, dan 3)

    Kuesioner Pedagang.

    3.3. Responden dan Sampling Memperhatikan elaborasi kebutuhan informasi diatas, tampak bahwa sumber

    informasi adalah UPTD Metrologi Legal di daerah Kajian, Pengelola Pasar

    Tradisional yang diamati di daerah kajian, dan Pedagang Pasar Tradisional

    pengguna timbangan yang ada di pasar yang diamati.

    Tabel 3.1. Key Person/Responden, Instrumen, dan Metode Pengumpulan Data

    Key Person/Responden

    Instrumen Metode

    Unit pelayanan teknis daerah (UPTD) pelayanan metrologi legal Provinsi

    Kuesioner UPTD Metrologi Legal

    Wawancara

    FGD

    Instansi/Lembaga yang membawahi pengelolaan Pasar tradisional di Kabupaten/Kota

    Kuesioner Pengelola Pasar Wawancara

    FGD

    Pedagang pasar Kuesioner pedagang Wawancara

    Uji ulang timbangan menggunakan anak timbangan standar 1 kg

  • 21

    3.4. Sampling

    a. Daerah Sampel Analisis ini dilakukan di tiga daerah, yaitu di Bandung, Denpasar, dan Ternate.

    Dipilihnya daerah penelitian tersebut dengan pertimbangan, antara lain

    perkembangan kegiatan usaha perdagangan di pasar tradisional dan jumlah UTTP

    yang beredar relatif besar yaitu Bandung dan Denpasar. Sedangkan Ternate dipilih

    sebagai representasi daerah dengan jumlah penggunaan alat UTTP relatif rendah.

    b. Metode sampling

    Daerah sampel ditentukan secara purposive dengan memperhatikan ragam dan

    jumlah UTTP di masing-masing daerah. Secara umum, daerah sampel dipilih

    mewakili daerah dengan kapasitas perdagangan dan jumlah UTTP relatif tinggi

    (Bandung), menengah (Denpasar), dan daerah dengan kapasitas perdagangan

    dan jumlah UTTP relatif rendah (Ternate).

    Key Person Unit Pelayanan Teknis Daerah dan Pengelola Pasar dipilih secara

    purposive.

    Responden Pedagang, jika pengelola pasar memiliki data yang lengkap, maka

    responden Pedagang akan dipilih secara proporsional acak. Dimana proporsi

    pedagang diharapkan mewakili jumlah kategori barang daging, ikan, sayur, dan

    bahan kering. Responden pedagang dalam masing-masing kategori kemudian

    dipilih menggunakan angka acak. Namun jika pengelola pasar tidak ada, atau

    tidak memiliki data pedagang, maka responden pedagang akan dipilih secara

    purposive dengan tetap memperhatikan keterwakilan kategori barang tersebut.

    c. Ukuran Sampel

    Key Person Instansi: Diwakili oleh Direktur/ Kepala/ perwakilan yang ditunjuk

    dari instansi yang bersangkutan.

    Responden Pasar: Pada satu Kota akan dipiih 2 pasar tradisional. Jika di

    daerah tersebut telah ada pasar dengan predikat Pasar Tertib, maka salah satu

    pasar diupayakan merupakan perwakilan dari pasar tertib tersebut. Pasar yang

    dipilih merupakan pasar yang tetap (memiliki pengelola pasar, bukan pasar

  • 22

    berpindah, pasar kaget, atau pasar sementara).Daftar pasar terpilih pada masing-

    masing wilayah survey dapat dilihat dalam tabel 3.3.

    Responden Pedagang: Jumlah pedagang pasar tradisional amat bervariasi

    antara 50 hingga bisa lebih dari 3000 pedagang, dengan status pedagang yang

    berbeda-beda (Kios, Los/Emper, dan Pedagang Kaki Lima-PKL). Untuk itu, mungkin

    pasar perlu dibagi menurut ukuran jumlah pedagang menjadi pasar kecil (jumlah

    pedagang kurang dari 200), pasar menengah (jumlah pedagang antara 200-600,

    dan pasar besar (jumlah pedagang antara 600-1000), dan pasar Induk (jumlah

    pedagang lebih dari 1000). Pada pasar Kecil dan Menengah, ukuran sampel

    ditetapkan 10% dari populasi pedagang yang menjual ikan, daging, sayur, dan

    bahan kering, yang ada di Kios, Los, dan PKL. Sedangkah pada pasar Besar dan

    Induk, ukuran sampel ditetapkan 5% dari populasi.

    Tabel 3.2. Daftar Pasar Sampel

    Daerah Nama Pasar Kategori Pasar Jumlah sampel pedagang

    Denpasar-Bali 1. Pasar Agung Pasar Tertib 11 2. Pasar Badung Pasar Biasa 37

    Bandung-Jawa Barat 1. Pasar Kosambi Pasar Biasa 20 2. Pasar Anyar Pasar Biasa 22

    Ternate-Maluku Utara 1. Pasar Kie Raha Pasar Tertib 18 2. Pasar Bastiong Pasar Tertib 35

    3.5. Metode Pengumpulan Data Data terdiri dari data sekunder dan data primer. Sebagian data yang

    menjelaskan dimensi Kapasitas UPT Metrologi dalam melakukan penyuluhan,

    pengawasan, dan tera timbangan merupakan data sekunder yang diambil dari profil

    kelembagaan UPTD metrologi di daerah.

    Sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh melalui survey

    (pengamatan atau wawancara dengan menggunakan kuesioner yang dipersiapkan

    terlebih dahulu) langsung kepada responden. Data primer yang dikumpulkan

    meliputi (1) dari UPT Metrologi Legal Daerah: update terhadap data kapasitas UPT

    Metrologi Legal daerah terutama dari sisi kapasitas SDM dan sarana, serta informasi

  • 23

    mengenai hambatan dalam pelaksanaan pelayanan, pengawasan, dan penyuluhan

    metrologi legal di wilayah kerjanya; (2) Dari Pedagang: profil identitas pedagang,dan

    kondisi, status, dan pemenuhan standar timbangan milik pedagang; (3) Dari

    Pengelola Pasar: profil pasar.

    Untuk menjamin data yang dikumpulkan mudah ditabulasi, diolah dan

    dianalisis, maka digunakan instrumen pengumpulan data berupa wawancara dengan

    panduan Kuesioner dan pengamatan langsung terhadap penggunaan alat UTTP di

    pasar tradisional. Data primer juga dikumpulkan melalui pelaksanaan FGD (focus

    group discussion) di daerah kajian yang dihadiri oleh pemangku kepentingan (1)

    UPT Metrologi Legal Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai penyedia layanan, (2) Dinas

    Perdagangan sebagai mitra penyedia pengawasan dan penyuluhan serta urusan

    perdagangan secara umum, (3) Pengelola pasar, (4) Konsumen yang diwakili oleh

    Yauasan Lembaga Konsumen setempat.

    3.6. Metode Pengolahan Data Dan Analisis Data

    a. Tabulasi dan Metode Pengolahan Data

    Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategori

    responden, daerah penelitian dan wilayah penelitian, dan selanjutnya dilakukan

    tabulasi data berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan. Tabulasi dilakukan dengan

    bantuan spreadsheet untuk memudahkan pengolahan data lebih lanjut

    b. Analisis Data

    Memperhatikan kebutuhan informasi yang ada, maka sebagian besar data

    diolah secara deskriptif, seperti menggunakan perhitungan proporsi, distribusi

    frekuensi, grafik, dan penyajian dalam bentuk matriks sebaran atau tabulasi silang

    (crosstab). Pada beberapa bagian, data diolah dan dianalisis secara inferensial,

    terutama untuk melihat pengaruh perbedaan wilayah, jenis pasar, tingkat kapasitas

    UPT metrologi daerah. Analisis inferensial yang digunakan adalah analisis Chi-

    square, dan uji beda dua rata-rata melalui ANOVA.

  • 24

    Tabel 3.3. Metode Analisis dan Sumber Data

    Tujuan Analisis Sumber Informasi Sumber Keluaran Alat Bantu/Analisis

    Mengevaluasi pelaksanaan wajib tera dan tera ulang UTTP.di pasar tradisional

    Pedagang Data primer: Pengamatan, wawancara, Pengamatan tanda tera sah, hasil uji beban

    Jenis timbangan yang digunakan.

    Status tera timbangan saat pengamatan

    Proporsi timbangan sudah ditera namun tidak memenuhi standar

    Hambatan dalam melakukan tera ulang timbangan

    Statistik deskriptif (distribusi frekuensi, diagram batang, tabel, tabulasi silang)

    Statistik inferensial uji beda 2 rata-rata, uji Chi Square.

    UPTD metrologi legal daerah

    Data primer Survey-wawancara: kuesioner bagi pengelola UPTD metrologi legal

    Focus Group Discussion bersama pemangku kepentingan di daerah.

    Data sekunder profil kelembagaan UPT Metrologi daerah pada Dir Metrologi dan Balai Metrologi

    Gambaran kapasitas SDM, anggaran, sarana prasarana pelayanan tera/tera ulang UTTP

    Pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan pelayanan tera/tera ulang UTTP

    Pendapat berhubungan dengan kelembagaan, harmonisasi peraturan, kapasitas UPT, koordinasi

    Hambatan dalam pelayanan tera/tera ulang

    Menganalisis gap pelaksanaan metrologi legal dengan perkembangan penggunaan alat UTTP di pasar tradisional.

    Hasil Evaluasi Hasil pengolahan data

    Diskusi

    Gambaran pertumbuhan UTTP di daerah

    Gambaran arah pertumbuhan kapasitas UPTD dalam melaksanakan tera/tera ulang UTTP

    Perbandingan kapasitas dengan pertumbuhan UTTP

    Matriks Analisis gap antara populasi dan kapasitas UPT Metrologi Legal di daerah kajian

  • 25

    Tujuan Analisis Sumber Informasi Sumber Keluaran Alat Bantu/Analisis

    Merumuskan usulan kebijakan tertib ukur dalam rangka perlindungan konsumen.

    Analisis gap Masukan dari survey-wawancara: kuesioner bagi pengelola UPT metrologi legal dan dinas yang membawahi urusan perdagangan di daerah.

    Focus Group Discussion bersama pemangku kepentingan di daerah.

    Hasil analisis gap

    Usulan solusi, kebijakan, yang dapat ditempuh untuk mengatasi gap pelaksanaan tera/tera ulang UTTP

    3.7. Tahapan Pelaksanaan Analisis Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup penelitian, serta kerangka pemikiran di

    atas, maka langkah-langkah penelitian sebagai berikut:

    a. Tahap persiapan mencakup rangkaian kegiatan: melakukan koordinasi tim peneliti, melakukan pendalaman kajian literaratur sebagai landasan teoritis dan

    akademis pelaksanaan penelitian, dan perumusan dan mempertegas tujuan

    penelitian dengan berkonsultasi dengan Direktorat Metrologi serta inventarisasi

    permasalahan dalam pelaksanaan tera dan tera ulang UTTP.

    b. Tahap penyusunan desain analisis dan penyusunan instrumen penelitian, termasuk melakukan uji kuesioner dan uji kesesuaian instrumen dengan tujuan

    penelitian serta melakukan pembahasan desain analisis.

    c. Tahap pengumpulan data, baik data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan di 6 kota yang memiliki unit pelayanan metrologi

    daerah di 6 propinsi yang dipilih berdasarkan potensi ekonomi, klasifikasi unit

    metrologi daerah (besar, menengah dan kecil) yang dapat merepresentasikan

    kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia (barat, tengah dan timur).

    d. Tahap pengolahan data, yang mencakup kegiatan tabulasi dan pengolahan data observasi dan survei lapangan, data dan informasi hasil diskusi kelompok,

    serta data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi.

  • 26

    e. Tahap analisis dan interpretasi data. Hasil pengolahan data dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif

    serta melakukan interpretasi dan pembahasan hasil analisis data.

    f. Tahap perumusan kesimpulan dan rekomendasi. Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasinya ditarik kesimpulan serta penyusunan rekomendasi.

  • 27

    BAB IV GAMBARAN PELAYANAN TERA/TERA ULANG UTTP

    4.1.Gambaran Responden Survey Secara umum, responden pedagang berimbang antara yang berjenis kelamin

    laki-laki (45,5%) dan yang perempuan (54,5%). Sebagian besar pedagang di pasar

    tradisional berusia diatas 35 tahun (86%). Dan lebih dari separuhnya sudah

    berdagang lebih dari 10 tahun (66,3%).

    Dari sisi jenis kelamin, meskipun secara umum, jumlah responden pedagang

    laki-laki realtif sama dengan pedagang perempuan, namun pandangan kepada

    masing-masing pasar menunjukkan bahwa di Denpasar pedagang didominasi oleh

    perempuan, di Bandung relatif lebih banyak pedagang Laki-laki, sedangkan di

    Ternate relatif seimbang jumlahnya.

    Sumber: Data diolah

    Gambar 4.1. Jenis Kelamin, Usia Pedagang, dan Lama Berdagang

  • 28

    Barang dagangan responden adalah ikan (14,3%), daging ayam, sapi, dan

    babi (17,9%), sayuran (25,7%) dan bahan kering lainnya seperti bumbu, ikan kering,

    beras, kerupuk, dll sebesar (42,1%).

    Tempat berjualan responden secara umum ada di kios dan los, status tempat

    berjualan ini kebanyakan adalah sewa (72%) dan sisanya adalah milik.Semua

    responden berada di dalam lingkungan pasar (100%).

    Sumber: Data Diolah

    Gambar 4.2. Tempat Berdagang, Status Tempat Berdagang, dan Lokasi Berdagang

    a. Penggunaan Timbangan

    Secara umum, timbangan yang paling populer untuk digunakan di pasar

    tradisional adalah Timbangan Meja Beranger dan Timbangan Pegas. Namun jika

    dilihat data per daerah, maka akan tampak bahwa masing-masing daerah memiliki

    karakteristik sendiri-sendiri. Pedagang di Denpasar dan Bandung tampak lebih

  • 29

    menyukai timbangan meja beranger, sedangkan pedagang di Ternate tidak

    menggunakan timbangan meja beranger dan lebih memilih timbangan pegas.

    Sumber: Data Diolah

    Gambar 4.3. Penggunaan Timbangan di Denpasar, Bandung, dan Ternate

    Alasan penggunaan timbangan dapat dilihat dalam gambar 4.6.Secara umum,

    faktor yang mempengaruhi pemilihan timbangan adalah (1) kemudahan

    pengoperasian dan (2) kesesuaian/ kecukupan kapasitas.

    Jika dilihat masing-masing jenis timbangan, maka tampak bahwa:

    Alasan pemilihan timbangan Meja beranger adalah (1) kemudahan pengoperasian, (2) kecukupan kapasitas, (3) keawetan, (4) harga, (5) sudah lebih dulu dimiliki.

    Alasan pemilihan timbangan Pegas adalah (1) kemudahan pengoperasian. Alasan pemilihan timbangan Dacin adalah (1) kecukupan kapasitas. Alasan pemilihan timbangan Bobot Ingsut adalah (1) kecukupan kapasitas, (2)

    keawetan.

    Alasan pemilihan timbangan Sentisimal adalah (1) kecukupan kapasitas, (2) kemudahan pengoperasian.

    Alasan pemilihan timbangan Elektronik adalah (1) kemudahan pengoperasian, (2) ketelitian, dan (3) kecukupan kapasitas.

    Secara umum tampak bahwa pedagang telah menyesuaikan kebutuhan

    dengan jenis timbangannya.

  • 30

    Sumber: Data Diolah

    Gambar 4.4. Alasan Penggunaan Timbangan

    b. Jangkauan Pelayanan Tera Ulang Di Dalam Pasar

    Hasil survey menunjukkan, secara umum, baru sekitar 77,9% timbangan yang

    digunakan di pasar tradisional sudah ditera ulang. Keterangan langsung pedagang

    memang menunjukkan hanya 66,2% timbangan yang sudah di tera ulang, namun

    mempertimbangkan alasan belum tera ulang karena timbangan masih baru (dari

    34,7% dari pedagang yang belum tera ulang), maka proprosi timbangan yang sudah

    di tera ulang bertambah menjadi 77,9%.

  • 31

    Ada beberapa alasan pedagang mengapa timbangan mereka belum ditera

    ulang, yaitu: (1) timbangan masih baru (dikonfirmasi dari tanda tera), sehingga

    belum wajib di tera ulang (34,7%), (2) tidak ada petugas yang datang/pemberitahuan

    (10,2%), (3) pada saat tera ulang berlangsung, pedagang sedang tidak berjualan

    karena ada acara/upacara, dan lain-lain (10,2%), (4) tidak menjawab.

    Tabel 4.1. Proporsi Sudah dan Belum Tera Ulang, Menurut Wilayah Survey

    Sumber: Data Diolah

    Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada perbedaan dalam melakukan tera

    ulang antara wilayah, jenis barang dagangan, lokasi berjualan, lama berjualan, dan

    karakteristik personal pedagang lainnya. Artinya proporsi umum sudah tera ulang

    sebesar 66,2% - 77,9% berlaku sama di semua tempat. Angka ini menunjukkan

    jangkauan pelayanan tera ulang di pasar tradisional di kota kajian.

    c. Uji Ulang Ketepatan Ukur Timbangan

    Pengujian ketepatan ukur dilakukan dengan menguji keseimbangan timbangan

    pada saat tanpa beban dan dengan menggunakan beban standar 1 kilogram. Hasil

    uji ulang ketepatan dapat memberikan hasil (1) timbangan memberikan hasil

    kurang, (2) tepat, (3) atau lebih. Timbangan yang memberikan hasil kurang

    berarti menunjukkan sisi baki barang yang lebih berat, atau pembacaan hasil yang

    lebih tinggi dari seharusnya. Hal ini berarti berpotensi merugikan pembeli karena

    berat barang yang diberikan kurang dari kesepakatan. Sedangkan jika hasilnya

    lebih, maka sisi baki anak timbangan lebih berat, atau hasil pembacaan lebih

    rendah dari seharusnya. Hal ini berarti merugikan penjual karena berat barang yang

    diberikan melebihi kesepakatan.

    Pengujian ketepatan ukur timbangan pada timbangan meja dan pegas

    menunjukkan pentingnya kegiatan tera ulang. Dari hasil pemeriksaan ulang

    76,6% 61,9% 60,4% 66,2%23,4% 38,1% 39,6% 33,8%

    100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTable Total

    Col %Denpasar

    Col %Bandung

    Col %Ternate

    kode wilayah

    Col %

    TableTotal

  • 32

    timbangan, tampak bahwa timbangan yang telah ditera ulang, memiliki proporsi hasil

    tepat ukur yang lebih tinggi dibandingkan timbangan yang belum ditera

    ulang.Demikian pula pada timbangan yang belum ditera ulang, memberikan proporsi

    hasil yang menyimpang yang lebih tinggi dibandingkan timbangan yang sudah ditera

    ulang. Pada timbangan meja beranger 87,2% timbangan yang tepat ukur adalah

    timbangan yang sudah ditera ulang, sedangkan yang memberikan hasil kurang,

    52,0% nya belum ditera ulang. Pada timbangan pegas, 66,0% timbangan yang

    tepat ukur sudah ditera ulang, sedangkan 75,0% timbangan yang belum ditera ulang

    memberikan hasil kurang/menyimpang.

    Tabel 4.2. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Meja Beranger

    Sumber: Data Diolah

    Tabel 4.3. Tabulasi Silang Sudah Tera Ulang vs Hasil Pemeriksaan Ulang Timbangan Pegas

    Sumber: Data Diolah

    Hasil ini jika diuji dengan uji Chi Square, ternyata memberikan hasil yang

    signifikan pada tingkat kepercayaan 95% bagi timbangan meja beranger, dan pada

    tingkat kepercayaan 90% pada timbangan pegas. Hasil ini menunjukkan kegiatan

    tera ulang memiliki pengaruh yang nyata terhadap ketepatan ukur timbangan yang

    digunakan pedagang di pasar tradisional.

    Crosstab

    % within timbang ulang tmb

    48,0% 87,2% 75,0% 72,1%52,0% 12,8% 25,0% 27,9%

    100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tmb

    Total

    Chi-Square Tests

    11,633a 2 ,00311,579 2 ,003

    8,174 1 ,004

    68

    Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

    Value dfAsymp. Sig.

    (2-sided)

    2 cells (33,3%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 1,12.

    a.

    Crosstab

    % within timbang ulang tp

    25,0% 66,0% 25,0% 60,0%75,0% 34,0% 75,0% 40,0%

    100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tp

    Total

    Chi-Square Tests

    4,778a 2 ,0924,750 2 ,093

    ,000 1 1,000

    55

    Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

    Value dfAsymp. Sig.

    (2-sided)

    4 cells (66,7%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is 1,60.

    a.

  • 33

    d. Kerusakan Sesudah Tera Ulang

    Informasi dari tabel 3 dan 4 juga dapat menunjukkan proporsi timbangan yang

    menjadi tidak tepat ukur setelah ditera ulang. Pada timbangan meja, ada 72,1%

    timbangan yang sudah ditera ulang. Dari yang telah ditera ulang tersebut 30,6%

    diantaranya ketika diperiksa ulang ternyata memberikan hasil ukur ulang yang tidak

    tepat. Sedangkan dari timbangan yang belum ditera ulang, 57,4% diantaranya

    ternyata memberikan hasil pengukuran yang tepat.

    Pada timbangan pegas, dari 60% timbangan yang sudah ditera ulang, hanya

    6,1% yang memberikan hasil tidak tepat. Sedangkan dari timbangan yang belum

    ditera ulang, diketahui 85,5% diantaranya memberikan hasil pengukuran yang tepat.

    Hal ini menunjukkan, proprosi timbangan meja yang menjadi rusak setelah

    ditera adalah lebih banyak dibandingkan timbangan pegas.

    Tabel 4.4.Tabulasi Silang Hasil Ukur Ulang vs Apakah Sudah Tera Ulang, Pada Timbangan Meja Beranger dan Timbangan Pegas, Dengan Persentasi Menurut

    Kolom dan Baris. (a) Timbangan Meja Beranger

    (b) Timbangan Pegas

    Sumber: Data Diolah

    Wawancara dengan pedagang menunjukkan beberapa hambatan dalam

    mejaga timbangan meja untuk tetap berfungsi baik setelah ditera ulang. Hambatan

    yang paling banyak disampaikan/ditemukan adalah (1) timbangan meja menjadi

    apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tmb Crosstabulation

    % within apakah timbangan sudah ditera ulang

    24,5% 69,4% 6,1% 100,0%68,4% 26,3% 5,3% 100,0%36,8% 57,4% 5,9% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tmb

    Total

    apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tp Crosstabulation

    % within apakah timbangan sudah ditera ulang

    3,0% 93,9% 3,0% 100,0%13,6% 72,7% 13,6% 100,0%

    7,3% 85,5% 7,3% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tp

    Total

    apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tmb Crosstabulation

    % within timbang ulang tmb

    48,0% 87,2% 75,0% 72,1%52,0% 12,8% 25,0% 27,9%

    100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tmb

    Total

    apakah timbangan sudah ditera ulang * timbang ulang tp Crosstabulation

    % within timbang ulang tp

    25,0% 66,0% 25,0% 60,0%75,0% 34,0% 75,0% 40,0%

    100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

    yatidak

    apakah timbangansudah ditera ulangTotal

    kurang tepat lebihtimbang ulang tp

    Total

  • 34

    rusak setelah kembali dari tempat tera ulang, (2) ketidaktahuan/kemampuan

    pedagang merawat timbangan mejanya, dan (3) ketiadaan pengawasan.

    Timbangan meja menjadi rusak setelah tera ulang dapat disebabkan oleh:

    Kesalahan penanganan ketika memindahkan timbangan. Pedagang biasanya meminta bantuan buruh untuk membawa timbangan mereka ke lokasi tera ulang.

    Kebiasaan ini disebabkan oleh antrian pelayanan yang panjang dan lama, atau jarak

    yang jauh, sehingga mereka memilih tetap mejaga dagangan dan menyerahkan

    urusan tera ulang kepada buruh. Dalam mengangkut timbangan, seorang buruh

    dapat membawa timbangan milik 4 hingga 6 pedagang sekaligus. Mereka

    membawa dengan cara saling ditumpuk dalam keranjang. Dengan cara membawa

    seperti ini, besar kemungkinan timbangan yang telah tepat, menjadi menyimpang

    karena ada bagian timbangan meja yang bergeser, tidak terletakkan secara benar,

    tertekuk, terganjal, atau tertukar kelengkapannya.

    Ketika survey dilakukan, petugas UPT Metrologi pendamping dapat dengan

    segera memperbaiki kesalahan yang terjadi akibat salah penempatan atau

    pergeseran ini. Namun untuk yag tertekuk atau berubah bentuk harus melalui

    kegiatan reparasi.

    Hasil ini menunjukkan UPT perlu mempertimbangkan untuk

    merubah/memperbaiki alur pelaksanaan pelayanan tera ulang ketika

    dilaksanakan di lokasi pasar, seperti: menetapkan tempat pelayanan yang lebih

    lega/baik, memperbaiki tata cara antrian untuk memudahkan pemilik timbangan,

    bersedia melakukan pemeriksaan ulang singkat ditempat pedagang untuk

    memastikan tidak ada timbangan yang mejadi rusak dalam perjalanan

    Kesalahan dalam reparasi. Alur pelayanan tera ulang menunjukkan UTTP yang gagal di tahapan pemeriksaan awal, akan masuk ke tahapan reparasi/perbaikan

    sebelum dinilai kembali kelayakannya. Tindakan reparasi tidak dilakukan oleh

    petugas UPT sendiri. UPT biasanya merujuk pedagang kepada rekanan pelaksana

    reparasi timbangan (reparatur) yang ada diluar kelembgaan UPT. Dalam

    pelaksanaan tera ulang di lokasi, perusahaan reparatur juga hadir bersama-sama

    UPT di pasar.

    Kualitas timbangan hasil perbaikan amat bergantung pada kualitas kerja

    reparatur ini.Diskusi yang dilakukan menunjukkan kemungkinan reparatur

  • 35

    bekerja terburu-buru karena waktu pelayanan tera ulang di setiap pasar adalah

    terbatas (antara 1 hingga 7 hari tergantung ukuran pasar), atau reparatur kurang

    ahli dalam menangani reparasi yang diperlukan.

    Hal ini menunjukkan UPT dan Pemerintah Daerah perlu menambah waktu

    pelayanan agar pelaksanaan tera ulang dan reparasi tidak terburu-buru,

    menyediakan perusahaan rekanan untuk reparasi yang lebih kompeten, dan

    memastikan sertifikasi dan penilaian reparatur yang lebih ketat dan

    berkelanjutan.

    Ketidaktahuan cara perawatan timbangan. Kebersihan timbangan mempengaruhi ketepatan ukur timbangan. Jenis barang dagangan tertentu seperti daging, ikan, dan

    sayur cenderung membuat timbangan menjadi cepat kotor. Pedagang perlu

    melakukan perawatan berkala untuk memastikan timbangannya selalu dalam kondisi

    tepat. Untuk bisa melakukan perawatan, pedagang perlu memahami cara kerja

    komponen-komponen timbangan, kapasitas timbangan, dan tata cara menimbang

    yang benar. Hal ini menunjukkan pengelola pasar perlu secara terus menerus

    melakukan pengawasan dan pendidikan pedagang.

    e. Umur Timbangan

    Umur timbangan adalah lama pemilikan timbangan oleh pedagang yang diukur

    dalam tahun.Kajian menduga, umur timbangan mempengaruhi ketepatan ukur.Jika

    dibandingkan umur timbangan antara timbangan meja dan timbangan pegas,

    tampak bahwa umur timbangan meja relatif lebih tua dibanding timbangan pegas.

    Rata-rata umur timbangan meja adalah 10,84 tahun. Sedangkan rata-rata umur

    timbangan pegas adalah 2,08 tahun.

    Keterangan dari pedagang memang menunjukkan bahwa timbangan pegas

    relatif lebih cepat rusak dibandingkan timbangan meja beranger. Keterangan dari

    pedagang pasar di Denpasar, menunjukkan bahwa setelah 1-1,5 tahun, timbangan

    pegas akan mulai rusak.

  • 36

    Tabel 4.5. Rata-Rata Waktu Pemilikan Timbangan (Tahun)

    Jika diperhatikan hasil uji ketepatan ukur yang menunjukkan timbangan meja

    memiliki proporsi penyimpangan yang lebih besar dibanding timbangan pegas, maka

    gejala ini kemungkinan disebabkan karena umur timbangan. Usia Timbangan pegas

    relatif lebih baru, sehingga tingkat kerusakannya relatif lebih rendah dibanding

    timbangan meja.Hasil ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa timbangan meja

    lebih buruk dibandingkan timbangan pegas, karena beberapa timbangan meja yang

    berusia lebih dari 20 tahun tetap berfungsi baik dan tepat ukur.

    4.2. Gambaran Pelayanan Tera/Tera Ulang di Daerah Berikut ini gambaran evaluasi pelaksanaan Metrologi Legal di daerah kajian:

    Denpasar Bali, Bandung Jawa Barat, dan Ternate Maluku Utara.

    a.Denpasar-Bali

    Pengamatan dilakukan di 2 pasar: (1) pasar Agung (98 pengguna timbangan),

    dan (2) Pasar Badung (300 pengguna timbangan), keduanya di kota

    Denpasar.Pasar Agung adalah pasar Adat yang telah menjadi pasar tertib

    ukur.Sedangkan Pasar Badung adalah pasar milik Pemerintah Daerah yang ada di

    bawah pengelolaan PD Pasar Denpasar, dan belum menjadi pasar tertib

    ukur.Sampel: 48 pedagang, 2 pengelola pasar, 1 UPT Metrologi legal.

    Hasil umum adalah: Ada gap antara penggunaan UTTP, khususnya

    timbangan, dengan kapasitas UPT Metrologi Legal di Bali, terutama pada bagian-

    bagian:

    Pemahaman dan dukungan pembuat kebijakan

    Keterbatasan anggaran untuk operasional dan pengadaan standar

    Kondisi sarana gedung yang mulai rusak

    Report

    pemilikan tahun

    2,08 39 1,9522,08 39 1,952

    timbangan pegasadaTotal

    Mean N Std. Deviation

    Report

    pemilikan tahun

    10,84 56 8,14620,00 1 .11,00 57 8,164

    timbangan ada

    0Total

    Mean N Std. Deviation

  • 37

    Sarana lab kurang, sehingga tidak seluruh UTTP dapat ditera/tera ulang

    Pertumbuhan pedagang tradisional dan modern membuat sebaran pedagang menjadi lebih luas

    Ketidakhati-hatian dan kekurang pengetahuan mengenai cara perawatan dan pemeliharaan timbangan oleh pedagang membuat timbangan yang telah ditera

    ulang, menjadi tidak seimbang kembali dalam waktu cepat.

    Tidak ada pengawasan terhadap timbangan. Hal ini karena UPT Metrologi Legal hanya memiliki tugas untuk melakukan pelayanan tera dan tera ulang. Sehingga

    menurut p