235
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI SKRIPSI IRFAN PRADANA 0706287460

ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR

KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

SKRIPSI

IRFAN PRADANA

0706287460

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM S1 REGULER ILMU ADMINISTRASI

DEPOK

JUNI 2011

Page 2: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR

KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

SKRIPSIDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu

Administrasi

IRFAN PRADANA

0706287460

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL

DEPOK

JUNI 2011

Page 3: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Tanda Tangan :

Tanggal : 30 Juni 2011

ii

Page 4: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalJudul Skripsi :Analisis Terhadap Perubahan Ketentuan Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi, pada Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Drs. Kusnar Budi., M.Buss (…………………..)

Sekretaris Sidang : Dra. Elsie Sylviana Kasim, M.Si (………….……….) Penguji Ahli : Prof. Dr. Safri Nurmantu., M.Si (………….……….)

Pembimbing : Dr. Haula Rosdiana, M.Si (………….……….)

Ditetapkan di : DepokTanggal : 30 Juni 2011

iii

Page 5: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan rahmat-

Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Perubahan

Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak

Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi”. Doa serta pujian juga penulis

panjatkan kepada Bunda Maria yang selalu menyampaikan doa-doa umatnya kepada

Allah Bapa. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Ilmu

Administrasi pada program S1 Reguler Ilmu administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Skripsi ini merupakan perjuangan penulis selama menempuh kuliah di Universitas

Indonesia. Banyak sekali hambatan yang membuat penulis jatuh bangun untuk tetap

bertahan dan berusaha. Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak” menunjukan

bahwa penulis tidaklah sempurna. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan baik

yang ada di dalam karya penulis maupun di dalam diri penulis sendiri. Penulis sangat

berharap skripsi ini dapat berguna bagi berbagai pihak.

Dalam menyusun skripsi ini, tentu banyak sekali pihak yang memberikan bantuan

maupun dukungan. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

2. Prof. Dr. Irfan Ridwan M, M.Si., selaku Ketua Program Sarjana Reguler/Kelas

Paralel Departemen Ilmu Administrasi.

3. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan

memberikan dukungan serta bimbingan dalam menyusun skripsi ini.

4. Umanto Eko P, S.Sos, M.Si. selaku Sekretaris Program Sarjana Reguler/Kelas

Paralel Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.

5. Para dosen Ilmu Administrasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang berguna

dan bermanfaat selama penulis menjalankan masa kuliah di FISIP UI.

iv

Page 6: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

6. Para narasumber yang telah memberikan informasi serta masukan dalam

penulisan skripsi ini.

7. Papa dan Mama, yang sudah memberikan seluruh keringat dan kerja kerasnya,

dukungan yang tiada henti-hentinya dalam segala hal untuk Irfan.

8. Adik-adik saya Ogi, Nia, Maria yang telah memberikan dukungan selama ini.

9. Indri Putri Victris Hutabarat, makasih ya let. Semua support dari kamu menjadi

semangat buat aku dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Mami Tri, Mba devi, Mba Meiske, dan Mas Read, yang sudah memberikan

dukungan dan masukan dalam penyusunan Skripsi ini.

11. Smita Adinda, teman seperjuangan yang telah memberikan bantuan teknis

maupun non-teknis dalam penyusunan skripsi ini.

12. Rekan-rekan kantor PB Taxand. Khususnya Heru Laksono, “partner in crime”

yang selalu menghibur dan mendukung.

13. Gegana group, Wisnu, Blek, Areng, Eli, Cenges, dan ubot yang sudah menjadi

teman satu nasib selama perkuliahan dan memberikan dukungan atas skripsi ini.

Sukses semua!

14. Keluarga besar Administrasi UI 2007 yang mendukung saya dalam penulisan

skripsi ini.

15. Untuk semua teman-teman saya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima

kasih untuk doa dan supportnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari harapan dan

kesempurnaan karena masih terdapat banyak kekurangan, hal ini lebih disebabkan

karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis akan

dengan senang hati mengharapkan bahkan menerima saran dan kritik dari pihak

manapun dengan diiringi doa dan ucapan terima kasih.

Depok, Juni 2011

Penulis

v

Page 7: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Irfan PradanaNPM : 0706287460Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalDepartemen : Ilmu AdministrasiFakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikJenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Fight) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Analisis Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas karya akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : DepokPada Tanggal : 30 Juni 2011

Yang Menyatakan

(Irfan Pradana)

vi

Page 8: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

ABSTRAK

Nama : Irfan Pradana Program Studi : Ilmu Administrasi FiskalTema : Analisis Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak

Pertambahan Nilai Terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi

Skripsi ini membahas mengenai implementasi dari adanya perubahan peraturan pelaksana Pemungut PPN (Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi). Perubahan peraturan pelaksana yang difokuskan untuk dianalisis adalah perubahan terakhir yaitu Peraturan Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 yang diubah menjadi Peraturan Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Teknik analisis yang digunakan adalah triangulasi.

Hasil analisis diperoleh bahwa perubahan peraturan pelaksanaan sistem pemungutan PPN melalui Pemungut ini menimbulkan beban administrasi yang lebih besar dalam hal implementasi dari beberapa pihak baik pihak KKKS maupun rekanan. Peraturan pelaksana terdahulu dan pencabutan kebijakan merupakan alternatif yang diharapkan oleh pihak KKKS sebagai aktor dalam implementasi kebijakan.

Kata kunci: Implementasi, Pemungut PPN, Kontraktor Bagi Hasil.

viiUniversitas Indonesia

Page 9: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

ABSTRACT

Name : Irfan Pradana Study Program : Fiscal AdministrationTitle : Analysis of Changes in Terms of Value Added Tax

Collector Contract Cooperation Against Exploitation of Oil and Gas

This thesis discuss about the implementation of implementing regulations of Tax Collector (Oil and Gas Company) changes. Implementing regulations changes focused to be analyzed is the last change of Financial Regulation Number 11/PMK.03/2005 which transformed into Financial Regulations No. 73/PMK.03/2010. This thesis used descriptive qualitative method. Analysis technique used was triangulation.

The results of the analysis found that changes in implementing regulations of Value Added Tax (VAT) collection system through the Collector pose a greater administrative burden in terms of implementation of several parties, both Oil and Gas Company and its partners. The previous implementing regulations and repeal policy is an alternative that is expected by Oil and Gas Company as an actor in policy implementation.

Keywords: Implementation, VAT Collector, Profit Sharing Contract.

viiiUniversitas Indonesia

Page 10: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................iiHALAMAN PENGESAHAN....................................................................................iiiKATA PENGANTAR................................................................................................ivHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................viABSTRAK ................................................................................................................viiABSTRACT...................................................................................................................

...............................................................................................................viiiDAFTAR ISI...............................................................................................................ixDAFTAR TABEL......................................................................................................xiiDAFTAR GAMBAR................................................................................................xiiiDAFTAR LAMPIRAN............................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................11.1 Latar Belakang Permasalahan.............................................................................11.2 Pokok Permasalahan............................................................................................81.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................81.4 Signifikansi Penelitian.........................................................................................91.5 Sistematika Penelitian.......................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI...............................122.1 Tinjauan Pustaka...............................................................................................122.2 Kerangka Teori..................................................................................................17

2.2.1 Fungsi Pajak...............................................................................................172.2.2 Asas-asas Pemungutan Pajak.....................................................................182.2.3 Kebijakan Publik........................................................................................212.2.4 Implementasi Kebijakan.............................................................................242.2.5 Kebijakan Pajak..........................................................................................272.2.6 Undang-Undang Pajak (Tax Laws)............................................................292.2.7 Administrasi Pajak (Tax Administration)...................................................312.2.8 Kepatuhan Perpajakan (tax compliance)....................................................372.2.9 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai......................................................382.2.10 Konsep Pajak Pertambahan Nilai.............................................................402.2.11 Kelebihan VAT........................................................................................422.2.12 Mekanisme Pemungutan PPN..................................................................432.2.13 Metode Penghitungan PPN.......................................................................442.2.14 Saat dan TempatTerutang Pajak Pertambahan Nilai................................45

2.3 Kerangka Pemikiran..........................................................................................46

BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................493.1 Pendekatan Penelitian........................................................................................493.2 Jenis Penelitian..................................................................................................50

3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian...................................................................503.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian.................................................................50

ixUniversitas Indonesia

Page 11: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu......................................................................513. 3 Metode dan Strategi Penelitian.........................................................................51

3.3.1 Jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data..............................513.3.2 Teknik Analisis data...................................................................................52

3.4 Informan............................................................................................................533.5 Lokasi Penelitian...............................................................................................543.6 Batasan Penelitian.............................................................................................543.7 Keterbatasan Penelitian.....................................................................................55

BAB IV KETENTUAN PERPAJAKAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN.......................56

4.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai.........................................................................564.2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai......................................................................604.3 Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai......................................................624.4 Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut........................654.5Gambaran Umum Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan

Gas Bumi (KKKS)..........................................................................................704.5.1 Kegiatan Usaha Hulu Migas Dilakukan Melalui Kontrak Kerja Sama......704.5.2 Kewajiban DMO dalam Kontrak Kerja Sama............................................744.5.3 Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagai Wajib Pajak Badan....................764.5.4 Pengaruh Kebijakan Ring-fence.................................................................774.5.5 Bentuk Badan Usaha Kontraktor Kontrak Kerja Sama..............................774.5.6 Komponen Perhitungan Bagi Hasil Produksi Minyak dan Gas Bumi.......78

4.5.6.1Gross Revenue......................................................................................784.5.6.2 First Trance Petroleum.......................................................................784.5.6.3 Total Recoverable Cost.......................................................................794.5.6.4 Equity To Be Split................................................................................81

4.6 Penetapan Harga Minyak Mentah Indonesia.....................................................81

BAB V ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI......83

5.1 Latar Belakang Diubahnya Peraturan Menteri Keuangan Mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada Tahun 2010........................83

5.2 Analisis terhadap Implementasi Sehubungan dengan Adanya Perubahan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS....................97

5.2.1 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005.......................................................................................98

5.2.2 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.....................................................................................105

5.3 Kebijakan yang Sebaiknya Diberlakukan Bagi KKKS Sebagai Pemungut PPN Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakannya di Bidang PPN................114

xUniversitas Indonesia

Page 12: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................1196.1 Kesimpulan......................................................................................................1196.2 Saran................................................................................................................121

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................123

DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................128

LAMPIRAN ............................................................................................................129

xiUniversitas Indonesia

Page 13: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pendapatan Negara, 2005-2011.................................................................2

Tabel 1.2 Lembaga yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPN...................................5

Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya oleh Peneliti Lain.....................15

Tabel 5.1 Perbedaan Saat Pembuatan Faktur Pajak dalam Pasal 13 UU PPN. .95

Tabel 5.2 Perubahan Ketentuan PMK 11 dengan PMK 73................................109

Tabel 5.3 Keadaan Penyetoran PPN oleh KKKS.................................................112

xiiUniversitas Indonesia

Page 14: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia....................................1

Gambar 2.1 Proses Kebijakan sebagai Hierarki....................................................33

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran............................................................................48

Gambar 4.1 Kewajiban DMO Dalam Setiap Generasi Kontrak Bagi Hasil........75

Gambar 4.2 Pola Bagi hasil PSC..............................................................................80

Gambar 5.1 Mekanisme Umum Pemungutan PPN................................................84

Gambar 5.2 Mekanisme Pemungutan PPN melalui Pemungut PPN...................85

Gambar 5.3 Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS Tanpa Status Pemungut PPN................................................................................................................89

Gambar 5.4 Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS melalui Status Pemungut PPN................................................................................................................90

Gambar 5.5 Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005.....................................................................101

Gambar5.6 Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan Nomor 11/PMK.03/2005..................103

Gambar5.7 Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.....................................................................107

Gambar5.8 Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan Nomor 73/PMK.03/2010..................108

Gambar5.9 Perbandingan Prosedur saat Pemungutan dan Penyetoran PPN antara Peraturan yang Dahulu (PMK 11) dengan Peraturan Baru (PMK73)..............................................................................................110

xiiiUniversitas Indonesia

Page 15: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil wawancara dengan pihak DJP...............................................129

Lampiran 2 Hasil wawancara dengan pihak KKKS...........................................133

Lampiran 3 Hasil wawancara dengan pihak BP MIGAS..................................139

Lampiran 4 Hasil wawancara dengan pihak Rekanan.......................................143

xivUniversitas Indonesia

Page 16: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Minyak dan gas bumi adalah salah satu kekayaan alam dari hasil

pertambangan yang mempunyai nilai sangat strategis bagi kepentingan hidup bangsa

Indonesia sebagai sumber energi dalam negeri, sumber penerimaan negara, maupun

sebagai bahan baku industri petrokimia dan lainnya (Nasution, 2010, h.,1). Peran

minyak dan gas bumi dalam pembangunan nasional tidak dapat dipungkiri menjadi

demikian penting sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan energi, peningkatan

ekonomi, dan pengembangan industri dalam negeri. Jika dilihat tingkat produksi

minyak di Indonesia, per tahun 2008 Indonesia menduduki peringkat 7 dalam hal

produksi minyak di dunia. Cadangan minyak Indonesia dapat memenuhi permintaan

minyak dalam negeri selama 50 tahun dengan tingkat produksi saat ini

(PricewaterhouseCoopers, 2010, h.7). Berikut adalah tabel produksi dan konsumsi

minyak di Indonesia.

Gambar 1.1Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia

Sumber: BP Stastistical Review of World energy June 2009 for data 1998-2008

Dari tabel diatas dapat digambarkan bahwa sektor minyak dan gas bumi merupakan

sektor yang sangat penting. Hal tersebut juga diperkuat dari segi penerimaan negara.

Sektor minyak dan gas bumi tetap menjadi andalan dalam penyusunan Anggaran

Universitas Indonesia

1

Page 17: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, termasuk dari sektor

perpajakannya. Berikut ini adalah data penerimaan negara Indonesia tahun 2005-2010

(Analisis, 2011, h.1).Tabel 1.1

Pendapatan Negara, 2005-2011(Dalam Miliar Rupiah)

Sumber: www.anggaran.depkeu.go.id

Universitas Indonesia

2

Page 18: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Dari tabel 1.1 terlihat bahwa migas memberikan sumbangan terbesar bagi penerimaan

negara bukan pajak. Migas menjadi salah satu sektor penting bagi pemerintah untuk

dapat memenuhi target penerimaan negara dari tahun ke tahun. Oleh karena itu,

pemerintah banyak sekali mengeluarkan kebijakan bagi sektor migas. Kebijakan ini

diharapkan mampu memberikan dampak yang positif bagi penerimaan negara baik

dari sumber saya alam yang dihasilkan maupun dari segi penerimaan pajak.

Industri minyak dan gas bumi memiliki sifat yang berbeda dengan industri

lainnya. Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi merupakan kegiatan untung-

untungan, karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang

besar, tidak ada jaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan

cadangan minyak. Industri minyak dan gas bumi merupakan usaha yang memerlukan

teknologi tinggi padat modal, dan sarat risiko, maka diperlukan pengelolaan yang

benar-benar profesional. Apabila dalam pekerjaannya Pemerintah belum

melaksanakan atau tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka Menteri

Pertambangan dan Energi dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor. Terdapat

berbagai bentuk kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor. Kerja sama tersebut

diantaranya (Aspek Perpajakan, 2010, h.1):

- Konsesi

- Kontrak Karya

- Kontrak Unitasi

- Kontrak Bantuan Teknis

- Perjanjian Operasi Bersama (Joint Operation Agreement)

- Kontrak Secondary

- Kontrak Pinjaman

- Kontrak Bagi Hasil

Sejak diterbitkannya undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas

bumi, kontrak kerja sama yang diberlakukan adalah kontrak bagi hasil.

Kontrak bagi hasil merupakan suatu penggabungan usaha antara pemerintah

yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sebagai

Badan Hukum Milik Negara dengan perusahaan lainnya untuk mengeksploitasi

Universitas Indonesia

3

Page 19: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

minyak dan gas bumi. Ciri yang menonjol dari kontrak bagi hasil adalah manajemen

dan kepemilikan aset berada pada pemerintah yang diwakili oleh BP Migas, serta

yang dibagi adalah hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi. Sistem kontrak

bagi hasil bertujuan menguntungkan bagi kedua belah pihak, sehingga tidak aneh jika

banyak negara penghasil minyak dan gas bumi seperti Indonesia menggunakan sistem

ini untuk mendapatkan hasil eksploitasi minyak dan gas bumi. Di Indonesia, badan

yang melakukan kontrak bagi hasil ini disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerjasama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS). Dalam aspek perpajakannya, Kontrak

bagi hasil memiliki aturan dan pelaksanaan yang mebedakannya dengan wajib pajak

lainnya. Dalam Kontrak bagi hasil terdapat klausul pajak yang menyebutkan

pemerintah Indonesia menanggung dan membebaskan pajak lainnya selain pajak

penghasilan yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea masuk, Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), dan lain-lain.

Dalam bidang PPN, KKKS ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemungut PPN.

Pemungut PPN adalah sebutan yang ditujukan untuk beberapa pihak yang ditunjuk

oleh pemerintah untuk melakukan pemungutan PPN (Indonesia Tax Review, 2009,

h.6). Dengan demikian, dalam hal PKP melakukan penyerahan penyerahan barang

atau jasa kepada pihak yang ditunjuk pemerintah, maka pihak tersebut akan bertindak

sebagai Pemungut PPN. Pemungut PPN merupakan modifikasi yang dilakukan oleh

pemerintah dalam melakukan administrasi pajak di bidang PPN. Tujuan utama

pemerintah memberlakukan mekanisme Pemungut PPN adalah untuk mengamankan

penerimaan negara. Selain itu, dulu banyak Wajib Pajak khususnya PKP Rekanan

pemerintah yang menerima pembayaran dari uang APBN/APBD, yang dipandang

belum dapat melakukan sendiri kewajiban PPN berdasarkan UU PPN 1984. Hal ini

disebabkan karena adanya reformasi perpajakan nasional (tax reform) pada tahun

1983, sehingga harus ada sosialisasi sampai masyarakat benar-benar siap dan

memahami praktiknya (Indonesia Tax Review, 2009, h.11). Mekanisme pemungutan

PPN melalui Pemungut ini awalnya tidak diatur dalam hukum dasar pemberlakuan

PPN di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (UU PPN 1984).

Dulu pengaturannya hanya diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986

Universitas Indonesia

4

Page 20: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

yang menunjuk Kantor Perbendaharaan Negara (sekarang Kantor Pelayanan

Perbendaharaan Negara) sebagai Pemungut PPN (Indonesia Tax Review, 2009, h.9).

Penyimpangan ini semakin meluas ketika pemerintah menerbitkan Keputusan

Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang Penunjukan Badan-badan Tertentu dan

Bendaharawan untuk Memungut dan Menyetor PPN dan PPnBM. Mekanisme ini

akhirnya dilegalkan secara hukum saat UU PPN 1984 diubah untuk pertama kalinya,

yaitu melalui UU Nomor 11 Tahun 1994. Penunjukan Pemungut PPN mengalami

perubahan dalam beberapa waktu. Berikut adalah perubahan terhadap lembaga yang

ditunjuk sebagai pemungut PPN oleh pemerintah.Tabel 1.2

Lembaga yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPNSebelum 1 Januari 2004

Berdasarkan KMK Nomor : 547/KMK.04/2000

Setelah 1 Januari 2004Berdasarkan KMK Nomor :

563/KMK.03/2003 dan PMK Nomor : 11/PMK.03/2005

1. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;

2. Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah (Tingkat I maupun Tingkat II);

3. Pertamina;4. Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan

Kontrak Karya di bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya;

5. Badan Usaha Milik Negara dan Daerah;

6. Bank Pemerintah;7. Bank Pembangunan Daerah.

1. Bendaharawan Pemerintah;2. Kantor Perbendaharaan dan Kas

Negara;3. Kontraktor Perjanjian Kerjasama

Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Sumber : Indonesian Tax review/Volume II/Edisi12/2009

Jika dilihat dari sejarah peraturan pelaksana terhadap mekanisme pemungutan

PPN melalui PPN, maka sudah terjadi beberapa kali perubahan peraturan pelaksana

yang memuat mengenai tatacara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan oleh

Pemungut PPN. Sejak tahun 1986 hingga 2010. Berdasarkan beberapa penelitian

sebelumnya yang terkait dengan pemungut PPN, diperoleh gambaran kendala-

kendala yang terjadi dalam pelaksanaannya. Kendala inilah yang menarik peneliti

dalam melihat secara keseluruhan mengenai perubahan terkait dengan peraturan yang

mengatur meanisme pemungutan PPN melalui Pemungut.

Universitas Indonesia

5

Page 21: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Dimulai dengan diaturnya ketentuan mengenai Pemungut PPN pada tahun

1986 melalui Keputusan Presiden Nomor 9 (Keppres No.9) tentang Penunjukkan

Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan Menyetorkan PPN yang

dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau JKP dari PKP Rekanan

Pemerintah. Sebagai aturan pelaksana Keppres tersebut adalah Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 565/KMK/04/1986 tentang Penatausahaan dan

Pertanggungjawaban PPN dan PPnBM yang dibayar Bendaharawan.

Pada tahun 1988 diadakan perluasan penunjukkan pihak sebagai Pemungut

PPN dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang

Penunjukkan Badan-Badan Tertentu dan Bendaharawan Untuk Memungut dan

Menyetor Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam

pelaksanaannya, diterbitkan tiga Keputusan Menteri Keuangan sebagai peraturan

pelaksana Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tersebut.

Pada tahun 2000, terdapat perubahan Undang-Undang PPN yang kedua

melalui UU No.18 Tahun 2000. Dalam hal ini, Pemerintah juga mengeluarkan

peraturan pelaksana pengganti sebagai penyesuaian dari adanya pasal 16A UU No.11

Tahun 1994. Ada 3 perturan pelaksana yang menjadi dasar bagi pemungut PPN

dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peraturan pelaksana tersebut antara

lain: Keputusan Menteri Keuangan Nomor 547/KMK.04/2000, Nomor

548/KMK.04/2000, KMK 549/KMK.04/2000.

Pada tanggal 1 Januari 2003, berlaku KMK Nomor 563/KMK.03/2003

tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas

Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporannya. Munculya Keputusan Menteri Keuangan ini sebagai suatu tanda bahwa

Pemerintah menentukan kembali pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan

PPnBM. Dalam hal ini, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan PPnBM hanyalah

Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Pada tahun 2005, peraturan pelaksana tentang Pemungut PPN terhadap

Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

Universitas Indonesia

6

Page 22: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(KPS) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 ( PMK

11) yang mengatur tentang penunjukan KPS untuk memungut, menyetor, dan

melaporkan PPN dan PPnBM beserta tata cara pemungutan, penyetoran, dan

pelaporannya. PMK 11 mulai berlaku pada tanggal 1 Pebruari 2005. Setelah berjalan

hingga 31 Maret 2010, pada akhirnya ketentuan tersebut digantikan dengan keluarnya

PMK Nomor 73/PMK.03/2010 (selanjutnya akan disebut dengan istilah PMK 73)

yang berlaku sejak 1 April 2010. Berlakunya PMK 73 bermula dari munculnya

Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8

tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM pada tanggal 15 Oktober 2009. PMK 73

mengatur tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak

Gas dan Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan

Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak

Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.

Pada dasarnya, PMK 73 merupakan perubahan yang mengacu pada peraturan

sebelumnya yaitu PMK 11. Pada PMK 73 istilah KPS diubah menjadi Kontraktor

Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS). Saat ini, pemungut

PPN terdiri dari Bendaharawan Pemerintah baik pusat maupun daerah, Kantor

Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan KKKS. Hal penting yang

membedakan antara PMK 11 dan PMK 73 adalah perubahan terhadap pasal yang

mengatur saat pemungutan PPN dan PPnBM oleh KKKS. PMK 11 terdiri dari 10

pasal, sedangkan PMK 73 terdiri dari 11 pasal. Terdapat beberapa perubahan yang

membedakan antara PMK 11 dan PMK 73. Perubahan kebijakan melalui PMK 11

menjadi PMK 73 mengundang reaksi dari berbagai pihak khusunya KKKS. Hal ini

disebabkan karena PMK 11 telah berlaku cukup lama yaitu dari 1 Pebruari 2005

hingga 31 Maret 2010, sehingga pihak KKKS sebagai pemungut PPN dan PPnBM

harus mempelajari kembali isi dari PMK 73. Mengingat bahwa pihak KKKS sudah

terbiasa dengan PMK 11, maka PMK 73 menjadi hal yang baru (Wawancara dengan

Deviyana, 15 Januari 2011). Adanya perubahan PMK ini menjadi dasar pemikiran

peneliti untuk melihat kembali mengenai peraturan pelaksana yang terkait dengan

Universitas Indonesia

7

Page 23: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pemungut PPN yang terdahulu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan di

tingkat kebijakan mengenai mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas oleh

penulis adalah :

1. Apa latar belakang munculnya kebijakan Pemungutan PPN melalui Pemungut

hingga diubahnya Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemungutan,

penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010?

2. Bagaimana implementasi kebijakan oleh KKKS sehubungan dengan adanya

perubahan ketentuan dalam mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut?

(khususnya ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 yang

diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010).

3. Alternatif kebijakan seperti apakah yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS

sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di

bidang PPN?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis latar belakang diberlakukannya kebijakan Pemungutan

PPN melalui Pemungut hingga diubahnya Peraturan Menteri Keuangan

mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor

Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010.

2. Untuk memetakan dan menganalisis implementasi kebijakan oleh KKKS

sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan dalam mekanisme

pemungutan PPN melalui Pemungut (khususnya ketentuan Peraturan Menteri

Keuangan No.11/PMK.03/2005 yang diubah menjadi Peraturan Menteri

Keuangan No.73/PMK.03/2010).

Universitas Indonesia

8

Page 24: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3. Untuk menganalisis kebijakan yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS

sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di

bidang PPN.

1.4 Signifikansi Penelitian

Setelah tujuan penelitian selesai dilakukan maka hasil dari penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat akademis maupun manfaat

praktis sebagai berikut:

a. Signifikansi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang

implementasi sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan di bidang Pajak

Pertambahan Nilai. Implementasi ini dilaksanakan melalui Peraturan Menteri

Keuangan terhadap berbagai pihak khususnya Kontraktor Kontrak Kerjasama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi sebagai pemungut PPN. Selain itu, hasil

penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lain yang

akan membahas masalah sejenis. Hal ini dilatarbelakangi dengan pelaksanaan

kebijakan dan berbagi ketentuan yang ada di lapangan yang tidak selalu berjalan

sesuai rencana pemerintah.

b. Signifikansi Praktis

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, yaitu:

- Menjadi bahan pertimbangan bagi para penyusun kebijakan dalam pemerintahan

untuk menyusun kebijakan PPN yang lebih baik, khususnya dalam bidang

ketentuan mengenai Pemungut PPN. Mengingat ketentuan Pemungut PPN

merupakan ketentuan yang berbeda dengan ketentuan PPN pada umumnya.

- Memberikan gambaran menyeluruh mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi

Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dalam

menjamin penerimaan pajak negara sebagai pemungut PPN.

- Sebagai bahan pertimbangan bagi KKKS dan rekanan untuk menyusun rencana

dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan dengan sebaik-baiknya tanpa

melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku.

Universitas Indonesia

9

Page 25: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

1.5 Sistematika Penelitian

Penelitian ini disusun dengan sistematis yang terdiri dari enam bab yang dapat

dirinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan yang menguraikan

hal atau peristiwa yang menjadi dasar lahirnya masalah pokok

penelitian. Selanjutnya perumusan pokok permasalahan dilakukan

setelah mencermati latar belakang masalah, tujuan penelitian dapat

ditentukan setelah masalah penelitian dirumuskan, signifikansi

penelitian merupakan harapan manfaat yang diperoleh dengan

dilakukannya penelitian ini, dan sistematika penulisan dijelaskan guna

memudahkan dalam memahami skripsi dengan mengetahui

sistematikanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka dari penelitian lain yang sejenis

dan teori-teori yang dikemukakan oleh pakar yang relevan dengan

masalah penelitian. Landasan teori disusun sebagai dasar pembahasan

masalah penelitian. Teori yang digunakan adalah teori yang menjadi

landasan teoritis dari masalah yang diangkat oleh peneliti dalam

bidang perpajakan.

BAB III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai metode penelitian yang digunakan,

meliputi pendekatan penelitian, jenis penelitian, tipe penelitian, teknik

pengumpulan data, teknik analisis data dan pembahasan penelitian.

Universitas Indonesia

10

Page 26: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB IV GAMBARAN UMUM

Dalam bab ini akan diinventarisir mengenai ketentuan perpajakan

yang berkaitan dengan masalah pokok dalam skripsi dan gambaran

umum mengenai Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak

dan Gas Bumi di Indonesia serta segala sesuatu informasi yang

relevan.

BAB V ANALISIS PERMASALAHAN

Merupakan fokus pembahasan masalah dalam penelitian sehingga

masalah penelitian dapat dijawab dengan jelas dan sistematis. Analisis

dilakukan terperinci berdasarkan masing-masing masalah pokok yang

telah dirumuskan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup yang menguraikan simpulan dan saran-saran

untuk mengevaluasi pelaksanaan ketentuan pajak.

Universitas Indonesia

11

Page 27: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian mengenai “Implikasi Perubahan Ketentuan

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi”, penulis perlu melakukan peninjauan pustaka

dengan beberapa macam contoh penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Dalam tinjauan pustaka kali ini, peneliti mengambil tiga penelitian yang

berkaitan dengan penelitian kami untuk membantu jalannya penelitian.

Tinjauan kepustakaan yang pertama diambil dari tesis yang disusun oleh

Solahuddin, FISIP UI tahun 2008 dengan judul “Pelaksanaan kebijakan saat

pembuatan faktur pajak atas transaksi antara pengusaha kena pajak rekanan dan

bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai”.

Masalah dalam penelitian ini yaitu apa latar belakang dikeluarkannya tata cara

pembuatan faktur pajak? Bagaimanakah Implikasi dikeluarkannya ketentuan

mengenai faktur pajak? Bagaimanakah cara mengantisipasi permasalahan

pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan

bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Alternatif-alternatif kebijakan

yang bagaimanakah yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan

faktur pajak bagi pengusaha kena pajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada

bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN? Metode penelitian yang

digunakan adalah metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan studi

kepustakaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya

ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan

kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana

pengawasan faktur pajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur

pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan

tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan

Universitas Indonesia

12

Page 28: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya

dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

Tinjauan pustaka kedua diambil dari tesis yang disusun oleh Senny Tussytha,

FISIP UI, tahun 2006 dengan judul “Analisis penghapusan pemungutan pajak

pertambahan nilai oleh Badan Pemungut Kontraktor bagi hasil,terhadap penerimaan

pajak pertambahan nilai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua”.

Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN

oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN

oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN?

Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi

pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah

ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut

PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan

pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil

penelitian yang diperoleh adalah penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh

Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari

prinsip dasar PPN. Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku

sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP)

atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas

pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang

bertindak selaku penjual BKP atau JKP. Atas kelebihan bayar, PKP dapat meminta

pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan

pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP

yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita

waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam

proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung

berpengaruh terhadap penerimaan Negara. Penunjukkan Pemungut untuk melakukan

pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu

terrealisasinya penerimaan negara.

Universitas Indonesia

13

Page 29: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Studi pustaka yang ketiga diambil dari tesis yang disusun oleh Rafael Alun

Trisambodo, FISIP UI tahun 2002 dengan judul “Evaluasi kebijakan pemungutan

pajak pertambahan nilai oleh pemungut Kontraktor kontrak bagi hasil dan kontrak

karya: studi kasus pada enam perusahaan supplier”.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme

pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor

Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang

timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan

Kontrak Karya.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan

melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor

Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya.

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi

kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima

perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002

untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah

dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.

Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme

pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut

Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN

umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari

pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran

Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang

ditentukan.

Berikut merupakan tabel perbandingan penelitian yang menjadi rujukan bagi

peneliti untuk menyusun penelitian ini.

Universitas Indonesia

14

Page 30: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya oleh Peneliti Lain

Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua

Peneliti Ketiga

Penelitian yang

akan

Dilakukan

Nama Peneliti Solahuddin Senny Tussytha Rafael Alun Trisambodo Irfan Pradana

Tahun Penelitian 2008 2006 2002 2011

Judul

Pelaksanaan kebijakan saat pembuatan faktur pajak atas transaksi antara pengusaha kena pajak rekanan dan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai

Analisis penghapusan pemungutan pajak pertambahan nilai oleh Badan Pemungut Kontraktor bagi hasil,terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua

Evaluasi kebijakan pemungutan pajak pertambahan nilai oleh pemungut Kontraktor kontrak bagi hasil dan kontrak karya: studi kasus pada enam perusahaan supplier

Implikasi Perubahan Ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi

Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis :-Latar belakang dikeluarkannya tata cara pembuatan faktur pajak, Implikasi dikeluarkannya ketentuan mengenai faktur pajak

-Cara mengantisipasi permasalahan pelaksanaan kewajiban PPN berkaitan dengan transaksi yang melibatkan bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN

-Alternatif-alternatif kebijakan yang dapat menjadi solusi terbaik dari masalah saat pembuatan faktur pajak bagi pengusaha kena

Untuk menganalisis :-Mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN

-Dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN

-Kendala-kendala yang

Untuk menganalisis mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran

Untuk menganalisis :-latar belakang diubahnya Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada tahun 2010.

- implikasi yang ditimbulkan sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan Peraturan Menteri

Universitas Indonesia

15

Page 31: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua

Peneliti Ketiga

Penelitian yang

akan

Dilakukanpajak rekanan yang menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut PPN.

dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN

-Ada tidaknya pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak

oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.

Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS, rekanan, maupun pemerintah.

-Alternatif kebijakan yang sebaiknya diberlakukan bagi KKKS sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya di bidang PPN.

Pendekatan Penelitian Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif

Jenis Penelitian Deskriptif Deskriptif Analitis Deskriptif Deskriptif

Teknik Pengumpulan

Data

wawancara dan studi kepustakaan

wawancara dan studi

kepustakaan

wawancara, observasi dan studi

kepustakaan

wawancara dan studi kepustakaan

Hasil yang Diperoleh

Hasil analisis menunjukkan bahwa latar belakang dikeluarkannya ketentuan tersebut adalah sebagai peraturan pelaksana dari UU PPN, memberikan kepastian hukum, mengoptimalkan sistem faktur pajak, dan menjadi sarana pengawasan faktur

Hasil penelitian yang diperoleh adalah penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang

Hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang

-

Universitas Indonesia

16

Page 32: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Keterangan Peneliti Pertama Peneliti Kedua

Peneliti Ketiga

Penelitian yang

akan

Dilakukanpajak. Implikasi berlakunya ketentuan atas pembuatan faktur pajak justru menyulitkan bagi PKP rekanan. Di lain pihak bagi DJP memerlukan tambahan pengawasan dalam pelaksanaan kewajiban PKP. Saran yang diberikan adalah penunjukkanbendaharawan dan KPPN sebagai pemungut PPN sebaiknya dihilangkan saja karena tidak sesuai dengan konsep dan karakter PPN.

dari prinsip dasar PPN.

dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan.

Sumber: olahan penulis

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Fungsi Pajak

Setiap negara yang memungut pajak kepada rakyatnya pasti mempunyai

tujuan, yaitu untuk membiayai pemerintahan yang dijalankan dalam rangka

memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri. Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan

Universitas Indonesia

17

Page 33: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

dapat mencerminkan keadilan, dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai

dengan objek pajak yang dimiliki rakyat. Besarnya objek pajak dipengaruhi oleh

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemungutan pajak

juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk

didalamnya ekonomi rakyat secara individu.

Menurut Musgrave (1993, h. 6) terdapat tiga fungsi pajak, yaitu:

1. Penyediaan barang sosial, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya

untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial, dan bagaimana

bauran/komposisi barang sosial ditentukan. Penyediaan ini dapat disebut

sebagai fungsi alokasi dari kebijakan anggaran. Kebijakan pengaturan, yang

juga dipertimbangkan sebagai suatu bagian dari fungsi alokasi tidak

dimasukkan disini karena kebijakan itu tidak terlalu merupakan masalah

kebijakan anggaran.

2. Penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin

terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan

distribusi yang merata dan adil yang disini disebut sebagai fungsi distribusi.

3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan

tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan

laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan memperhitungkan segala

akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran. Fungsi tersebut

dikenal sebagai fungsi distribusi.

2.2.2 Asas-asas Pemungutan Pajak

Banyak pendapat para ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan

yang harus ditegakkan dalam membangun suatu sistem perpajakan. Diantara

pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four maxims dari Adam

Smith. Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan Tarigan,

pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu equiality, certainty,

convenience, dan economy. Keempat asas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Asas Equality

Universitas Indonesia

18

Page 34: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pembebanan pajak itu harus adil dan merata, yaitu hendaknya dikenakan

kepada para subjek pajak seimbang dengan kemampuannya untuk membayar

pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat di bawah perlindungan

pemerintah. Pembebanan pajak itu adil apabila setiap wajib pajak

menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah

sebanding dengan kepentingannya dan dengan manfaat yang diterima dari

pemerintah.

2. Asas Certainty

Yang dimaksud asas certainty adalah bahwa pajak yang dibayar oleh wajib

pajak harus jelas bagi semua wajib pajak dan seluruh masyarakat dan

mempunyai kepastian hukum. Kepastian hukum yang diutamakan adalah

mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, kapan harus dibayar, jumlah

yang harus dibayar, dan bagaimana cara membayarnya.

Menurut Mansury (1996, h.5), kepastian tersebut dihubungkan dengan empat

pertanyaan pokok:

1. Harus pasti, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak.

2. Harus pasti, apa yang menjadi dasar untuk mengenakan pajak kepada

subjek pajak.

3. Harus pasti, berapa jumlah yang harus dibayar berdasarkan ketentuan

tentang tarif pajak.

4. Harus pasti, bagaimana jumlah pajak yang terutang tersebut harus dibayar.

Adam Smith berpendapat sebagaimana dikutip Mansury bahwa kepastian

itu lebih penting dari keadilan. Seharusnya kepastian itu menjamin

tercapainya keadilan dalam pemungutan pajak yang diinginkan. Sistem

pajak yang adil berarti penentuan subjek pajak, objek pajak, tarif pajak,

dan prosedur pajak yang disarankan atas kedilan itulah yang harus pasti

dari semula.

Universitas Indonesia

19

Page 35: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3. Asas Convenience

Saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang

tidak meyulitkan bagi Wajib Pajak. Pajak hendaknya dipungut pada saat yang

paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat

diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak (Early, 2000,

h.20). Berdasarkan asas ini timbul dukungan yang kuat untuk menerapkan

sistem pemungutan yang disebut pay as you earn (P.A.Y.E) (Mansury, 1996,

h.6).

4. Asas Economy

Biaya pemungutan pajak bagi kantor pajak dan biaya memenuhi kewajiban

pajak bagi wajib pajak hendaknya sekecil mungkin. Demikian pula halnya

dengan beban yang dipikul oleh wajib pajak hendaknya juga sekecil mungkin.

Sedangkan Dora Hancock dalam bukunya Taxation: Policy and Practise,

mengutip pendapat Stiglitz Pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa lima

karakteristik yang diharapkan ada dalam suatu sistem perpajakan, yaitu sebagai.

1. Economically efficient: it should not have an impact on allocation of

resources;

2. Administratively simple: it should be easy and inexpensive to administer;

3. Flexible: it should be easy for a system to respon to changing economic

circumstances;

4. Politically accountable: taxpayer should be able to determine what they

are actually paying so that the political system can more accurately

reflect the preference of individuals;

5. Fair: it should be seen to be fair in its impact on all individuals.

(Rosdiana, Tarigan, 2005, h.34)

Dalam reformasi pepajakan yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun

1984, ditetapkan enam sasaran utama, yaitu:

1. Penerimaan negara dari sektor perpajakan menjadi bagian dari penerimaan

negara yang mandiri dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional;

Universitas Indonesia

20

Page 36: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2. Pemerataan dalam pengenaan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak;

3. Menjamin adanya kepastian;

4. Sederhana;

5. Menutup peluang penghindaran pajak dan/atau penyelundupan pajak oleh

weajib pajak dan penyalahgunaan wewenang oleh petugas pajak;

6. Memberikan dampak yang positif dalam bidang ekonomi.

2.2.3 Kebijakan Publik

Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah membutuhkan instrumen untuk

dapat mengimplementasikan fungsinya tersebut. Instrumen yang dimaksud adalah

kebijakan. Helco memberi batasan dari suatu kebijakan, yaitu:

”To suggest in academic circle that there is a general agreement of anything

is to done a crimson in the bullpen, but policy is one term on which there

seems to be a certain amount of defitional agreement, as commonly used, the

terms policy is usually consider to apply to amethong bigger than particular

decisions, but smaller the general social movement.”(Parsons, 2005, h.15)

dijelaskan bahwa menurut Helco, kebijakan adalah suatu istilah yang disepakati

secara umum yang biasanya digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tertentu

juga untuk perubahan sosial.

Selain itu, istilah kebijakan publik juga didefinisikan Dye dalam Thoha(1993,

h. 50) sebagai berikut.

”Whatever goverment choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan).

Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003, h.3)kebijakan terdiri dari komponen-

komponen sebagai berikut:

1. Goal atau tujuan yang diinginkan

2. Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan

3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,

membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

Universitas Indonesia

21

Page 37: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau

sekunder)

Menurut Dunn dalam Dwidjowijoto (2006, h. 32) kebijakan publik adalah

suatu pedoman dalam melaksanakan berbagai macam tindakan pemerintah mulai dari

tingkat negara, provinsi, sampai dengan tingkat kabupaten kota. Definisi kebijakan

publik sangat banyak, namun secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga,

yaitu:

1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu

peraturan-peraturan, seperti Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden.

2. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah, atau penjelas

pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran

Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota.

Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB

antar-Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Wali kota.

3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur

pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya. Bentuk

kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah

Menteri, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dunn (2003, h. 22) mengatakan proses pembuatan kebijakan sebagai

serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu yaitu:

1. Penyusunan agenda: para pejabat yang akan dipilih dan diangkat menempatkan

masalah pada agenda publik.

2. Formulasi kebijakan: para pejabat yang dipilih merumuskan alternatif kebijakan

untuk mengatasi masalah.

3. Adopsi kebijakan: merupakan alternatif yang diadopsi dengan dukungan dari

mayoritas legislatif, konsensus diantara pimpinan lembaga atau keputusan peradilan.

Universitas Indonesia

22

Page 38: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

4. Implementasi kebijakan: kebijakan yang telah diambil untuk dilaksanakan oleh

unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

5. Penilaian kebijakan: unit-unit pemeriksa dan akuntansi dalam pemerintahan

menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi

persyaratan Undang-Undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Dunn (2003, h. 26) mengatakan analisis kebijakan dilakukan untuk

menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yaitu dilakukan dalam

tahap proses pembuatan kebijakan, yaitu:

1. Perumusan masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan

memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan

masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi tersembunyi, mendiagnosis

penyebabnya, memetakan tujuan yang memungkinkan, dan merancang peluang-

peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya

alternatif kebijakan. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat

menguji masa depan, mengestimasi akibat dari kebijakan yang diusulkan, dan

mengenali kendala-kendala yang mungkin terjadi.

3. Rekomendasi

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang

telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada

tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi mambantu mengestimasi tingkat risiko dan

ketidakpastian.

4. Pemantauan

Pemantauan menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil

Universitas Indonesia

23

Page 39: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan menemukan akibat-akibat

yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan

rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab

pada setiap tahap kebijakan.

5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang

ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar

dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan.

Evaluasi menghasilkan seberapa jauh masalah telah terselesaikan.

2.2.4 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan

proses kebijakan pemerintah. Udoji dalam Wahab (1997, h. 59) dengan tegas

mengatakan bahwa :

” the execution of policies is as important if not more important than

policy making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets

unless they are implemented “.

Menurut Udoji, pelaksanaan kebijakan adalah suatu hal yang penting, bahkan

mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan

akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip

kalau tidak diimplementasikan.

Sedangkan Lester (1996, h. 97) yang mengutip pendapat Anderson menyatakan

bahwa :

“ By implementation, we mean the stage of the policy process

immediately after the passage of a law. Implementation, viewed most

broadly, means administration of the law in which various actors,

organizations, procedures, and techniques work together to put

adopted policies into effect in an effort to attain policy or program

goals.”

Universitas Indonesia

24

Page 40: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Implementasi merupakan tahapan dalam proses kebijakan yang dilaksanakan setelah

berlakunya suatu hukum. Secara luas, implementasi berarti administrasi dari hukum

yang melibatkan berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik kerjasama untuk

menempatkan kebijakan dalam upaya untuk mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

Implementasi dapat dilihat sebagai proses, output, dan hasil.

Syukur dalam Sumaryadi (n.d, h. 85) mengemukakan adanya tiga unsur

penting dalam proses implementasi yaitu:

1. adanya program atau kebijaksanaan yang dilaksanakan

2. target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan

akan menerima manfaat dari program, perubahan atau peningkatan

3. unsur pelaksana (implementor) baik organisasi atau perorangan untuk bertanggung

jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi

tersebut.

Kendala- kendala dalam implementasi kebijakan dinamakan oleh Dunsire

sebagai implemetation gap yaitu suatu keadaan dalam proses kebijaksanaan selalu

terbuka untuk kemungkinan akan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan

(direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai (sebagai

hasil atau prestasi dari pelaksanaan kebijaksanaan). Perbedaan tersebut bergantung

pada implementation capacity dari organisasi administrasi pemerintahan atau

kelompok organisasi/ aktor yang dipercaya mengemban tugas mengimplementasikan

kebijaksanaan tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan aktor atau suatu

organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada

jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal

kebijakan dapat tercapai.

Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan

dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses

pembuatan kebijakan analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan

dan proses publik. Pengetahuan tersebut betapa pun tetap tidak lengkap kecuali jika

hal tersebut disediakan kepada pengambil kebijakan dan publik terhadap siapa para

analis berkewajiban melayaninya. Hanya jika pengetahuan tentang kebijakan

Universitas Indonesia

25

Page 41: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota- anggota badan

eksekutif, legislatif dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki

peranan dalam keputusan- keputusan publik, dapat menggunakan hasil- hasil analisis

kebijakan untuk memperbaiki

proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Karena efektifitas pembuatan kebijakan

tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi dan

penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktik dan teori

pembuatan kebijakan publik.(Dunn, 2003, h.1)

Analisis terhadap proses implementasi kebijakan biasanya dilakukan melalui

pemantauan /monitoring. Pemantauan digunakan untuk memberikan informasi

tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik. Karena memungkinkan analis

mendeskripsikan hubungan antara operasi program kebijakan dan hasilnya, maka

pemantauan merupakan sumber informasi utama tentang implementasi. Pemantauan

setidaknya memainkan empat fungsi dalam analisis kebijakan, masing- masing fungsi

akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kepatuhan (compliance), pemantauan bermanfaat untuk menentukan apakah

tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar

dan prosesdur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah dan lembaga

profesional.

2. Pemeriksaan (auditing), pemantauan membantu menentukan apakah sumberdaya

dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen

tertentu memang telah samapi kepada mereka.

3. Akuntansi, pemantauan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan

akuntansi atas perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya

sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.

4. Eksplanasi, pemantauan juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan

mengapa hasil- hasil kebijakan publik dan program berbeda. (Dunn, 2003, h.509)

Setiap kebijakan pemerintah mengandung resiko kegagalan yang tinggi. Ada

dua kategori pengertian kegagalan kebijakan sebagaimana diungkap oleh Hogwood

dan Gunn (1986) yaitu non implementation atau tidak diimplementasikan dan

Universitas Indonesia

26

Page 42: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

kategori unsuccessful implementation atau implentasi yang tidak berhasil. Non

Implementation berarti suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai rencana, mungkin

karena pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau telah

bekerja sama tetapi tidak efisien, bekerja setengah hati atau tidak menguasai

permasalahan. Unsuccessful implementation atau implementasi yang tidak berhasil

biasanya terjadi manakala suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana namun

mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan, kebijkan tersebut tidak

berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikenhendaki. Biasanya

kebijakan yang memiliki resiko gagal menurut Wahab disebabkan oleh faktor bad

execution atau pelaksanaannya yang jelek dan faktor bad policy atau kebijakannya

sendiri memang jelek atau bad luck, kebijakan tersebut memang bernasib jelek.

(Sumaryadi, n.d, h. 84).

2.2.5 Kebijakan Pajak

Kebijakan pajak adalah kebijakan fiskal dalam arti yang sempit. Kebijakan

fiskal dalam arti yang luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi

masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen

pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara (Mansury, 1999, h.1). Sementara

itu, pengertian kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan yang berhubungan

dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai tax base, siapa-siapa yang

dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya

pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban

pajak terutang.

Dengan demikian, berdasarkan definisi di atas, kebijakan penurunan tarif

maupun kebijakan pemerintah untuk menanggung Pajak Penghasilan (PPh) atas

penghasilan pekerja sampai dengan sebesar upah minimum regional (UMR) serat

kebijakan pemerintah untuk menanggung PPh atas penghasilan pekerja sampai

dengan sebesar satu juta rupiah merupakan contoh kebijakan fiskal dalam arti luas.

Sementara itu, contoh kebijakan fiskal dalam arti sempit, misalnya ketentuan

Universitas Indonesia

27

Page 43: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

mengenai diperbolehkan penggunaan norma perhitungan penghasilan netto atau yang

dalam literatur disebut sebagai presumptive tax atau demmed profit.

Menurut Michael P. Devereux dalam Rosdiana dan Tarigan, isu-isu penting

dalam kebijakan pajak adalah sebagai berikut.

a. What should the tax base be : income, expenditure, or a hybrid?

b. What should the tax rate schedule be?

c. How should international income flows be taxed?

d. How should environmental taxes be designed?

Selain itu, kebijakan perpajakan dapat dirumuskan sebagai:

1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka

menunjang penerimaan negara, dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.

2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi

kebutuhan dana untuk keperluan negara.

3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan

negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.

(Marsuni, 2006, h.37)

Cobham menjelaskan bahwa ada empat tujuan yang harus dicapai dalam pembuatan

suatu kebijakan pajak, yaitu:

1. Revenue

Pendapatan merupakan tujuan yang paling jelasdan merupakan tujuan

langsung dari perpajakan, sehingga tujuan pembuatan suatu kebijakan pajak haruslah

dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi negara.

2. Redistribution

Bertujuan agar memberikan suatu kalangan tertentu cara untuk mencapai

penghasilan sesuai yang dibutuhkan, dengan mengangkat masyarakatnya keluar dari

garis kemiskinan.

3. Representation

Merupakan keuntungan yang sangat potensial yang dipicu oleh sistem pajak

yang dapat berfungsi dengan baik.

4. Re-pricing economic alternatives

Universitas Indonesia

28

Page 44: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Sektor pajak merupakan alat utama bagi pemerintah untuk mempengaruhi

perilaku dari WP di negaranya.(Cobham, 2005, h.4)

2.2.6 Undang-Undang Pajak (Tax Laws)

Hukum pajak merupakan keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan

pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali

kepada masyarakat melalui kas negara. Oleh karena itu, hukum pajak merupakan

bagian dari hukum public, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara

dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak

(Brotodihardjo, 1998, h. 1). Mansury (1996, h. 1) mendefinisikan hukum pajak

sebagai keseluruhan peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk

mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat

dengan melalui kas negara.

Menurut lingkungannya, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik,

selain dari hukum tata negara, hukum administratif dan hukum publik, tetapi

memiliki hubungan paling erat dengan hukum perdata. Hal ini disebabkan alasan-

alasan berikut.

a. Hukum pajak banyak menggunakan istilah hukum perdata.

b. Peristiwa-peristiwa dalam hukum perdata sering merupakan sasaran

dan objek dari perpajakan.

c. Hukum perdata merupakan hukum umum yang berlaku pula pada

hukum pajak, kecuali hukum publik menentukan lain.

Namun, ada pula pihak yang berpendapat bahwa hukum pajak berdiri sendiri,

yaitu dengan alasan sebagai berikut ini.

1) Hukum pajak memiliki tugas yang bersifat lain dari hukum administratif

pada umumnya.

2) Hukum pajak dapat digunakan dan berfungsi sebagai sarana untuk

pengembangan perekonomian negara.

3) Hukum pajak memiliki karakteristik yang bersifat spesifik dalam

mekanisme kerja.

Universitas Indonesia

29

Page 45: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Hukum pajak dibedakan menjadi dua, yaitu Hukum pajak material dan

Hukum pajak formal. Hukum pajak material mengatur ketentuan-ketentuan mengenai

siapa-siapa saja yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa saja

yang dikenakan pajak dan apa-apa saja yang dikecualikan serta berapa besarnya pajak

yang terutang. Dengan demikian, dalam hukum pajak material diatur mengenai:

1) objek pajak, keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan, dan peristiwa hukum

yang dapat dikenakan pajak (objek pajak).

2) subjek pajak yaitu siapa saja yang dapat dikenakan pajak atau diwajibkan

melaksanakan kewajiban perpajakan (subyek pajak).

3) Besarnya pajak yang terutang (dasar pengenaan pajak dan tarif pajak).

Hukum pajak formal mengatur bagaimana mengimplementasikan hukum

pajak material, oleh karena itu dalam hukum pajak formal diatur mengenai prosedur

(tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan serta sanksi-sanksi bagi yang

melanggar kewajiban perpajakan. Hukum pajak formal memuat bentuk dan cara-cara

dalam melaksanakan hukum pajak material, antara lain berupa:

1) tata cara pendaftaran wajib pajak;

2) kewajiban pembukuan, tata cara penyetoran pajak, tata cara pelaporan dan

lain-lain;

3) tata cara penetapan utang pajak, hapusnya utang pajak, cara penagihan

utang pajak;

4) prosedur pengajuan keberatan pajak, dan lain-lain;

5) sanksi dan hak serta kewajiban wajib pajak maupun pihak fiskus.

Undang-Undang Perpajakan adalah seperangkat peraturan perpajakan yang

terdiri dari undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Konsistensi dan

kejelasan antara Undang-Undang Perpajakan dengan peraturan dibawahnya haruslah

dijaga dengan baik agar tidak menimbulkan ambigu yang pada akhirnya akan

membingungkan wajib pajak. Ketidakjelasan peraturan akan menjadi salah satu

faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak.

Apabila terjadi dispute (perselisihan atau perbedaan pendapat) antara wajib

pajak dan fiskus dalam menafsirkan suatu undang-undang, pendapat Prof. Dr. J.H.A.

Universitas Indonesia

30

Page 46: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Logemann dapat dijadikan sebagai pedoman. Urutan tentang cara-cara penafsiran itu

adalah:

4) penafsiran menurut Ilmu Tata Bahasa;

5) penafsiran menurut sejarah terjadinya hukum;

6) penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang;

7) penafsiran secara sistematis;

8) penafsiran secara sosiologis;

9) penafsiran menurut analogi.

2.2.7 Administrasi Pajak (Tax Administration)

Administrasi Pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan

organisasi/kelembagaan. Sebagai suatu sistem, kualitas dan kuantitas sumber daya

manusia juga merupakan salah satu tolak ukur kinerja administrasi pajak.

Administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena seharusnya

bukan saja sebagai perangkat laws enforcement, tetapi lebih penting dari itu, sebagai

Sevice Point yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus pusat

informasi perpajakan. (Rosdiana, Tarigan, 2005, h.98)

Menurut Mansury (1996, h. 23), administrasi pajak mempunyai tiga

pengertian, yaitu:

a. Suatu instansi atau badan yang mempunyai wewenang dan tanggung

jawab untuk menyelesaikan penyelenggaraan pungutan pajak. Di

Indonesia organisasi atau badan yang menyelenggarakan pemungutan

pajak negara berada di bawah Departemen Keuangan, yaitu DJP, dan

Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

b. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada

instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan

pajak.

c. Kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak oleh suatu instansi atau

badan yang ditatalaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai

sasaran yang telah digariskan dalam kebijakan perpajakan.

Universitas Indonesia

31

Page 47: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Administrasi pajak dalam pelaksanaanya masih menghadapi banyak kendala.

Slemford dan Bakija menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi oleh fiskus

sebagai pelaksana administrasi pajak dalam melaksanakan fungsinya, yaitu:

1. The absence of withholding and information reporting

2. Taxing individuals instead of taxing at the business level

3. Lack of incentives to comply

4. High tax rates

5. Deduction, credits, and exemption.

6. Trying to tax things that are easy to hide

7. Public perceptions of complexity and unfairness

8. Lack of documentation and low audit coverage. (Slemford, Bakija, 1996, h. 156)

Konsep administrasi perpajakan merupakan unsur pokok ketiga dari sistem

perpajakan. Konsep ini sangat penting karena berkaitan dengan aparat pajak sebagai

pemungut pajak dan wajib pajak sebagai pihak yang melaksanakan kewajiban

perpajakan serta berkaitan dengan penerimaan pajak sebagai wujud dari pemungutan

suatu pajak.

Menurut pendapat Moh. Zain dan Kustadi Arinta (1989, h.113) bahwa

administrasi perpajakan adalah instrumen yang efektif untuk merealisasikan

kebijakan perpajakan dan instrumen yang bertanggung jawab untuk mengelola dan

melaksanakan undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, masalah aparat dan

instansi pajak merupakan tulang punggung dan memegang peranan penting dalam

pelaksanaannya. Dengan kata lain, bahwa masalah organisasi dari pengelola undang-

undang perpajakan tersebut memegang peran utama dan merupakan prioritas pertama

yang dipermasalahkan dalam administrasi perpajakan.

Berkaitan dengan administrasi perpajakan ini, dapat dilihat pendapat Daniel

W. Bromley (1998, h. 33) mengenai the policy process as a hierarchy yang saling

berhubungan, yaitu a policy level (tingkat kebijakan), an organizational level (tingkat

organisasional), and an operational level (tingkat operasional). Hal tersebut dapat

digambarkan pada bagan berikut ini.

Universitas Indonesia

32

Page 48: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Gambar 2.1Proses Kebijakan sebagai Hierarki

Sumber: Daniel Bromley, Economics Interests and Institutions : The Conceptual Foundations of Public Policy

Administrasi perpajakan merupakan faktor penting dalam penerimaan pajak,

sesuai dengan pendapat Nowak (1970) yang dikutip oleh Mansury (1996, h.24)

mengatakan bahwa:

Administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan

kebijaksanaan perpajakan. Tugas administrasi perpajakan tidak membuat

The Policy Process as a Hierarchy

Policy Level

Institutional Arrangements

Organizational Level

Institutional Arrangements

Operational Level

Patterns of interaction

Outcomes

Assesment

Universitas Indonesia

33

Page 49: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

kebijaksanaan atau memutuskan siapa-siapa yang dikenakan dan dikecualikan dari

pemungutan pajak, juga tidak menentukan objek pajak baru. Sebagai sarana

pelaksanaan undang-undang perpajakan, administrasi perpajakan perku disusun

dengan sebaik-baiknya, sehingga mampu menjadi instrumen yang bekerja secara

efektif dan efisien, sebab jika tidak efektif dan efisien, maka sasaran sistem

perpajakan tidak dapat dicapai.

Terselenggaranya administrasi perpajakan yang baik, menurut Mansury

(1996:24) dikatakan atas dasar-dasar, antara lain :

1. Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan undang-undang yang

memudahkan bagi administrasi dan memberi kejelasan bagi wajib pajak.

2. kesederhanaan akan mengurangi penyelundupan pajak. Kesederhanaan

dimaksud baik dalam perumusan yuridis, yang memberikan kemudahan untuk

dipahami maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan untuk

dipatuhi dalam memenuhi kewajiban pajaknya oleh wajib pajak.

3. Reformasi dalam bidang perpajakan yang realistis harus mempertimbangkan

kemudahan tercapainya efisiensi dan efektifitas administrasi perpajakan,

semenjak dirumuskannya kebijakan perpajakan.

4. Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif perlu disusun dengan

mempertimbangkan penataan, pengumpulan, pengolahan dan pemanfaatan

informasi tentang subjek pajak dan objek pajak.

Kegiatan administrasi perpajakan merupakan suatu proses yang mencakup

semua kegiatan untuk melaksanakan berbagai fungsi administrasi perpajakan, seperti

mendaftarkan wajib pajak, menyediakan surat pemberitahuan pajak, mengeluarkan

surat ketetapan pajak, menagih pajak yang terutang, menyelesaikan sengketa dengan

wajib pajak, serta menghapuskan utang pajak. Administrasi perpajakan wajib

mengacu kepada hukum pajak positif, yaitu hukum pajak yang sedang berlaku.

Menurut Numantu, administrasi pajak memiliki dua pengertian yaitu dalam arti luas

dan dalam arti sempit. Administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai:

1. Fungsi, yakni:

Universitas Indonesia

34

Page 50: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

a. melakukan fungsi perencanaan, yaitu merencanakan apa yang akan

dicapai fiskus, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

b. Melakukan fungsi pengorganisasian, yaitu mengelompokkan tugas,

tanggung jawab, wewenang dari para petugas sedemikian rupa

sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien.

c. Melakukan fungsi penggerakkan, yaitu melaksanakan kegiatan yang

mempengaruhi pegawai untuk menjalankan tugasnya sebaik-baiknya

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.

d. Melakukan fungsi pengawasan, yaitu mengamati dan mengupayakan

agar apa yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan

sebelumnya.

2. Sistem, yaitu seperangkat unsur yang saling berkaitan, yang berfungsi

bersama-sama untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan suatu tugas

tertentu.

3. Lembaga, yaitu suatu instansi yang berwenang dan tempat fiskus

melaksanakan kegiatan.

administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan, dan pelayanan terhadap

kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan

tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak.

Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara.

Suatu negara dapat dengan sukses mencapai sasaran yang diharapkan dalam

menghasilkan penerimaan pajak yang optimal dikarenakan administrasi

perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan sistem perpajakan di suatu

negara. Silvani menyebutkan bahwa administrasi pajak dikatakan efektif bila mampu

mengatasi masalah-masalah:

1. Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers).

Dengan administrasi pajak yang efektif akan mampu mendeteksi dan

menindak dengan menerapkan sanksi tegas bagi masyarakat yang telah

memenuhi ketentuan menjadi Wajib Pajak

Universitas Indonesia

35

Page 51: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2. Wajib pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Administrasi perpajakan efektif dapat mengetahui penyebab Wajib Pajak

tidak menyampaikan SPT melalui pemeriksaan pajak.

3. Penyelundupan pajak (tax evaders).

Penyelundup pajak, yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari

yang seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan akan lebih

terdeteksi dengan dukungan adanya bank data tentang Wajib Pajak dan

seluruh aktivitas usahanya sangat diperlukan.

4. Penunggak pajak (deliquent tax payers).

Upaya pencairan tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan

penagihan secara intensif dalam set administrasi pajak yang baik akan lebih

efektif melaksanakan upaya tersebut.

Pada dasarnya sasaran administrasi perpajakan yang baik adalah

meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dan

pelaksanaan ketentuan perpajakan secara seragam satau persepsi antara Wajib Pajak

dan fiskus dalam menilai suatu ketentuan untuk mendapatkan tingkat efisiensi yang

baik yaitu tercapainya penerimaan maksimal dengan biaya minimal. Untuk mencapai

hal tersebut, diisyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan dalam suatu

negara, antara lain:

1. Administrasi pajak harus dapat mengamankan penerimaan negara.

2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan.

3. Dapat merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan

menghilangkan kesewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang

dipengaruhi kepentingan pribadi.

4. Dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang adil atas

ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan.

5. Mampu menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif.

6. Meningkatkan kepatuhan pembayar pajak.

7. Memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha bagi

masyarakat pembayar pajak.

Universitas Indonesia

36

Page 52: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

8. Dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan semokrasi masyarakat.

2.2.8 Kepatuhan Perpajakan (tax compliance)

Kepatuhan perpajakan merupakan suatu hal yang juga diperlukan dalam

menciptakan administrasi perpajakan yang efisien dan efektif. Kepatuhan perpajakan

Wajib Pajak yang dikemukakan oleh Nowak dalam bukunya yang berjudul Tax

Administration In Theory and Practise dikatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak

merupakan suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan

yang dapat tercermin dalam situasi dimana:

1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.

3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.

4. Membayar pajak yang terutang tapat pada waktunya.

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam

menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi

dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.

Nurmantu dalam bukunya yang berjudul Pengantar Perpajakan mengatakan bahwa

kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak

memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Dapat

dikatakan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci bagi berhasilnya

pelaksanaan kebijakan perpajakan. Sebagai penyelenggaraan pemungutan pajak

berdasarkan undang-undang, administrasi perpajakan perlu disusun dengan sebaik-

baiknya sehingga mampu menjadi instrumen yang bekerja secara efisien dan efektif.

Administrasi pajak yang baik dapat tercipta apabila ada suatu sistem pengawasan

yang baik.

Universitas Indonesia

37

Page 53: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2.2.9 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Salah satu jenis indirect consumption-based taxation yang saat ini menjadi

salah satu sumber penerimaan pajak yang signifikan di Indonesia dan di negara-

negara lainnya, yaitu pajak penjualan dan Value Added Tax (Pajak Pertambahan

Nilai).

1. Legal Character

Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri atau nature dari suatu jenis

pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari suatu jenis pajak akan

menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana seharusnya pajak tersebut

harus dipungut. Dengan demikian, legislative structure dan interpretasi dari suatu

terminologi seharusnya dipandu oleh legal character. Berkaitan mengenai hal ini,

Terra (1988, h. 7) mengatakan sebagai berikut.

”Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the

guiding principle in determining its consequences and not just the

label, or the name of tax”

Legal character dari pajak penjualan dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak

langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption).

a. General

Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum. Kata

general (umum) inilah yang membedakan dengan jenis pajak yang lainnya, yaitu

excise (di Indonesia seringkali disebut cukai). Sales tax bersifat general, sedangkan

excise bersifat spesific. Artinya, Pajak Penjualan dikenakan terhadap semua barang,

sedangkan excise hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja.

Pajak Penjualan ditujukan kepada semua private expenditure. Sebagai

konsekuensinya, tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa

karena keduanya merupakan pengeluaran. Dengan kata lain, yang harus menjadi

objek pajak penjualan adalah barang dan juga jasa dan bukan hanya barang saja atau

jasa saja karena pengeluaran itu bisa dalam bentuk barang maupun jasa.

Universitas Indonesia

38

Page 54: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

b. Indirect

Pajak penjualan merupakan pajak tidak langsung, sehingga beban pajaknya

dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting.

Dengan kata lain, tidak selalu harus konsumen yang memikul beban pajak penjualan

sepenuhnya atau seutuhnya, tetapi beban pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh

penjual dengan cara mengurangi keuntungan dan atau melakukan efisiensi.

c. On Consumption

Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah

konsumsi tersebut digunakan/habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara

bertahap/berangsur-angsur. Oleh karena itu, semua barang seharusnya menjadi objek

pajak penjualan, tanpa membeda-bedakan apakah barang tersebut merupakan barang

yang bergerak maupun barang yang tidak bergerak. Selain itu, karena pajak penjualan

merupakan pajak atas konsumsi, pengertian konsumsi juga meliputi barang tidak

berwujud.

Legal character VAT diadopsi oleh Indonesia yang menerapkannya sebagai

pengganti pajak penjualan. Gunadi menyebutkan bahwa karakteristik Pajak

Pertambahan Nilai adalah ciri khusus yang melekat dalam sistem Pajak Pertambahan

Nilai yang tidak dimiliki oleh sistem pajak yang lain. Karakteristik tersebut yaitu:

1. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung.

Karakteristik ini membawa konsekuensi yuridis antara pemikul beban

pajak (destinataris pajak) dengan penanggung pajak atas pembayaran

pajak ke kas negara yang berada pada pihak yang berbeda.

2. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak obyektif.

Yang dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu jenis pajak yang

timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif yang

dinamakan tatbestand. Sedangkan yang dimaksud tatbestand adalah

keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak.

Universitas Indonesia

39

Page 55: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3. Pajak Pertambahan Nilai merupakan multistage tax.

Karakteristik ini berarti bahwa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

ialah setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi. Tiap penyerahan

barang yang menjadi obyek pajak dari tingkat pabrikan sampai

pedagang besar dan pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan

Nilai.

4. Pajak Pertambahan Nilai menggunakan faktur pajak.

Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang maka setiap

penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak Pengusaha Kena

Pajak yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk membuat faktur

pajak sebagai bukti telah dilaksanakannya pemungutan pajak.

5. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri.

Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena

Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam negeri. Apabila

barang/jasa dikonsumsi di luar negeri maka atas BKP/JKP tersebut tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Namun, setiap orang yang akan

melakukan pengeluaran untuk konsumsi di dalam negeri akan dikenakan

Pajak Pertambahan Nilai, karena tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai

adalah pengenaan pajak atas konsumsi di dalam negeri (tax on

consumption expenditure).

2.2.10 Konsep Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya merupakan Pajak Penjualan yang

dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan

distribusi. Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur

peredaran suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk

mendapatkan laba. Pada setiap tahap produksi nilai produk dan harga jual produk

selalu terdapat nilai antara lain, yang utama karena setiap penjual menginginkan

Universitas Indonesia

40

Page 56: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

adanya keuntungan sehingga dalam menentukan harag jual, harga perolehan

ditambah dengan laba bruto (mark up).

Pengertian Value Added, menurut Alan Tait (1988, h. 4) adalah sebagai

berikut.

”Value Added is the value that a producer (whether a manufacturer,

distributor, advertising agent, hairdresser, farmer, race horse trainer or

circus owner) adds to his raw material or purchases (other tha labor) before

selling the new or improved product or service. That is, the inputs (the raw

materials, transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid

wages to work on these inputs and, when the final good and service is sold,

some profit is left. So value added can be looked at from the additive side

(wages plus profit) or from the substactive side (output minus inputs).”

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa nilai tambah bersumber dari adanya

kegiatan ekonomi seperti terjadinya transaksi jual-beli, sewa, dan lain sebagainya.

Secara kalkulatif, nilai tambah akan mempengaruhi hasil akhir (harga jual) transaksi

barang dan jasa, yaitu dengan ditambahkannya nilai tambah pada harga perolehan.

Secara umum, nilai tambah dapat dirumuskan dengan dua persamaan

sebagaimana disampaikan oleh Tait, yaitu:

Jadi value added (pertambahan nilai) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi

pertambahan nilai (upah and keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi

input.

Sedangkan Aaron (1982, h. 14) mendefinisikan Added Value sebagai berikut:

”....Added value is the difference between the value of firm’s sales and the

value of the purchased material inputs in uses in producing goods sold. Value added

Nilai Tambah = Upah + Keuntungan

Nilai Tambah = Nilai output- Biaya input

Value Added = Wages + profits = output - input

Universitas Indonesia

41

Page 57: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

is also equal to the sum of wages and salaries, interest payment, and profit before tax

earned by a firm.”

Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai nilai tambah adalah perbedaan nilai

penjualan dengan pembelian bahan material dalam memproduksi barang. Karena

yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah value added (pertambahan nilai atau

nilai tambah), istilah atau terminologi yang digunakan adalah Value Added Tax

(Pajak Pertambahan Nilai). Smith dkk sebagaimana dikutip oleh Rosdiana dan

Tarigan (2005, h. 175), mendefinisikan Value Added Tax sebagai berikut.

“The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of

its operation. Value added can be viewed either as the difference between a

firm’s, sales, and its purchase during an accounting period or as the sum of

its wages, profits, rent, interest and other payments not subject to the tax

during that period.”

Sedangkan Ebrill dan kawan-kawan (2001, h. 2) mendefinisikan VAT sebagai

berikut.

”A broad based Tax levied on commodity sales up and including, at least, the

manufacturing stage, with systematic offsetting of tax charged on commodities

purchased as inputs-except perhaps on capital goods-against that due on outputs”.

Walaupun bernama Value Adeed Tax, namun VAT secara umum tidak selalu

dimaksudkan sebagai pajak yang dikenakan atas value added, tetapi lebih

dimaksudkan sebagai pajak atas konsumsi. Intinya adalah mengenakan pada semua

tahap produksi, tetapi dengan mekanisme yang memperbolehkan perusahaan untuk

mengurangkan pajak yang telah mereka bayar dalam rangka memperoleh barang dan

jasa untuk diserahkan lagi kepada pihak lain.

2.2.11 Kelebihan VAT

Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005, h. 217), VAT memiliki kelebihan

yaitu:

Universitas Indonesia

42

Page 58: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

1. Fiscal Advantages

Bagi pemerintah, terdapat beberapa keuntungan jika menerapkan VAT, yaitu

pertama, karena cakupannya yang luas yang meliputi seluruh jalur produksi dan

distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar, kedua, kerana sangat mudah

untuk menimbulkan value added di setiap jalur produksi dan distribusi sehingga

potensi pemajakannya semakin besar, terakhir, dengan menggunakan sistem invoice

(faktur pajak), lebih mudah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh

wajib pajak serta mendeteksi adanya penyalahgunaan hak pengkreditan pajak

masukan.

2. Psychological Advantages

Karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan ke dalam harga jual/harga

yang dibayar oleh konsumen, seringkali konsumen tidak menyadari bahwa dia sudah

membayar pajak. Hal ini berbeda dengan Pajak Penghasilan dimana pegawai,

misalnya merasakan langsung beban pajak tersebut karena langsung mengurangi gaji

yang diterimanya, sementara bila dia belanja di supermarket, karena dalam harga

sudah termasuk PPN, dia tidak merasakan langsung bahwa dia sudah membayar

pajak.

3. Economic Advantages

Keunggulan consumption-based taxation adalah netral terhadap pilihan

seseorang apakah akan saving terlebih dahulu ataukah langsung mengkonsumsi

penghasilan yang didapatkannya.

2.2.12 Mekanisme Pemungutan PPN

Menurut Ebril dan kawan-kawan (2001, h. 20), mekanisme pemungutan PPN

dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:

a. Addition Method

Berdasarkan metode ini, PPN yang terutang dihitung dari penjumlahan

seluruh unsur nilai tambah dikalikan tarif PPN yang berlaku

b. Substraction Method

Universitas Indonesia

43

Page 59: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Berdasarkan metode ini, PPN yang terutang dihitung dari selisih antara

penjualan dengan harga pembelian kemudian dikalikan dengan tarif pajak yang

berlaku.

c. Credit Method

Metode ini hampir sama dengan substraction method,hanya bedanya dalam

credit method yang dicari bukan sekedar selisih antara harga jual dengan harga beli

melainkan selisih antara pajak yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang

dipungut pada saat penjualan. Dengan kata lain, PPN yang terutang merupakan hasil

pengurangan antaraPPN yang dipungut oleh pengusaha pada saat melakukan

penjualan (PPN Keluaran) dengan PPN yang dibayar pada saat melakukan pembelian

(PPN Masukan). Metode ini lebih akurat dibandingkan dengan metode substraction

method yaitu apabila dalam harga beli terdapat unsur yang tidak terutang PPN.

2.2.13 Metode Penghitungan PPN

a. The Substractive - Direct Method

Metode ini juga dikenal dengan nama account method atau business transfer

tax. Pajak dihitung dengan cara mengurangi harga penjualan dengan harga pembelian

dan langsung dikalikan dengan tarif.

b. The Substractive - Indirect Methods (The Invoice or Credit)

Dalam metode ini pajak dihitung dengan cara mengurangkan selisih pajak

yang dipungut pada waktu penjualan (output tax) dengan jumlah pajak yang telah

dibayar pada waktu pembelian (input tax). Sehingga dalam metode indirect

substraction ini, yang dikurangkan adalah pajaknya. Oleh karena itu, metode ini

dikenal juga dengan metode kredit (credit method). Untuk mengetahui berapa pajak

yang telah dibayar dan atau dipungut harus ada dokumen yang dapat

membuktikannya. Tait mengatakan sebagaimana dikutip Haula Rosidana dan Rasin

Sales = xDeductible Purchases= (xx) –Tax Bases = xxxVAT = 10% x Tax Bases

Universitas Indonesia

44

Page 60: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Tarigan dalam bukunya: the invoice methods creates a good audit trail. Oleh karena

itu, dalam mengawasi penerapan metode kredit pajak, invoice atau faktur pajak

mempunyai peranan yang sangat vital dan karena itu pula metode indirect ini,

seringkali disebut juga metode faktur pajak (Invoice Method).

2.2.14 Saat dan TempatTerutang Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Tait (1988, h. 390) suatu barang atau jasa akan menjadi terutang

PPN jika barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Suatu negara memiliki kewenangan

untuk mengenakan PPN jika atas barang dan jasa tersebut dikonsumsi di dalam

wilayahnya. Jika suatu barang dan jasa dikonsumsi di luar wilayah negara yang

memproduksi barang dan jasa tersebut, maka negara tempat barang atau jasa tersebut

memproduksi tidak berhak untuk mengenakan PPN dan berlaku sebaliknya

(destination principle).

Sales = aOutput tax = a x 10%Purchases = bInput Tax = b x 10%VAT Liabilities = VAT Output – VAT Input

Universitas Indonesia

45

Page 61: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2.3 Kerangka Pemikiran

Penulis berangkat dari pemikiran bahwa di Indonesia, minyak dan gas gas bu

mi merupakan sektor yang sangat vital bagi masyarakat. Hal tersebut diatur dalam

pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah juga membuat Undang-Undang yang

melandasi kegiatan sektor munyak dan gas bumi di Indonesia. Dasar hukumnya

adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jika

ditinjau dari segi pajak, kegiatan sektor minyak dan gas bumi ini memberikan

sumbangan yang sangat besar bagi penerimaan pajak. Hal tersebut terjadi karena

sektor minyak dan gas bumi memiliki nilai transaksi yang sangat besar setiap

tahunnya dan hasilnya pun memiliki nilai yang sangat tinggi.

Dengan latar belakang tersebut, berbagai cara dilakukan pemerintah untuk

mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor migas, salah satunya penerimaan

terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam

hal ini, pemerintah turut serta mengamankan penerimaan Negara dari wajib pajak

yang belum mengerti secara jelas pelaksanaan pemungutan PPN yang baru berjalan

pada saat tax reform tahun 1983. Cara yang digunakan oleh pemerintah adalah

dengan menunjuk beberapa badan untuk memungut PPN dan PPnBM dari Wajib

Pajak. Salah satu pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN adalah Kontraktor

Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi. Syukur mengemukakan

adanya tiga unsur penting dalam proses implementasi yaitu:

1. adanya program atau kebijaksanaan yang dilaksanakan

2. target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan

diharapkan akan menerima manfaat dari program, perubahan atau

peningkatan

3. unsur pelaksana (implementor) baik organisasi atau perorangan untuk

bertanggung jawab dalam memperoleh pelaksanaan dan pengawasan dari

proses implementasi tersebut.

Universitas Indonesia

46

Page 62: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Dengan demikian, kerangka berpikir penulis sesuai dengan teori tersebut. Peraturan

pelaksana mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan sudah diatur

pertama kali pada tahun 1986 melalui Keputusan Presiden. Selanjutnya berkembang

hingga perubahan terakhir yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

No.11/PMK.03/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010. Dengan

adanya PMK 11 ini maka KKKS sebagai pemungut PPN menjalankan ketentuan

tersebut sebagai pemenuhan kewajiban perpajakannya. Dalam hal ini, beberapa pihak

yang terlibat dalam implementasi ketentuan tersebut diantaranya adalah KKKS

sebagai pemungut PPN, Rekanan dari KKKS yang melakukan transaksi atas barang

atau jasa yang dipungut PPN-nya, dan Pemerintah yakni Kantor Pelayanan Pajak

(KPP) sebagai pihak dilapangan yang memabantu KKKS dan rekanan dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketiga pihak ini terlibat secara langsung

dalam pengimplementasian Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005. Pada

April 2010, PMK 11 diubah dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan

No.73/PMK.03/2010 yang mulai berlaku pada April 2010. Oleh karena itu, penelitian

ini ditujukan untuk menganalisis latar belakang dikeluarkannya kebijakan pajak

melalui Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010, bagaimana

pengimplementasian kebijakan tersebut bagi KKKS, dan alternatif kebijakan terbaik

yang seharusnya diberlakukan pada KKKS sebagai Pemungut PPN.

Universitas Indonesia

47

Page 63: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Gambar 2.2Kerangka Pemikiran

Sumber: olahan peneliti

Pemungut PPN

sebagai Target Group dalam proses implementasi

Kontraktor Kontrak Kerjsama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi

Minyak dan Gas Bumi sebagai sektor penting di Indonesia

Peraturan Pelaksana

Implementasi

Universitas Indonesia

48

Page 64: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk

memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan

gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan

informan yang terperinci, dan disusun dalam sebuah latar yang alamiah. Hal ini

senada dengan pengertian pendekatan kualitatif menurut Creswell (1994, h. 11), yaitu

:

”In qualitative methods (approaches) the human and social sciences offer

several traditions. These tradition may be method types of data collection,

analysis, and reporting writing, or overall designs that include all phases in

the research process”

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendukung hakikat hubungan peneliti-

responden dalam penelitian kualitatif, yaitu peneliti tidak mengambil jarak dengan

responden. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang

lain merupakan alat pengumpul data utama. Artinya, peneliti sendiri secara langsung

mengumpulkan informasi yang didapat dari subjek penelitian.

Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan

bahwa dalam membahas pokok permasalahan dalam skripsi ini, dengan membuat

gambaran atau deskripsi tentang implikasi perubahan ketentuan pemungut pajak

pertambahan nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan

Gas Bumi. Dalam penelitian kualitatif ini pengumpuan data tidak dipandu oleh teori,

tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh

karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang

ditemukan untuk kemudian dianalisis dan di dapat kesimpulannya.

Universitas Indonesia

49

Page 65: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3.2 Jenis Penelitian

3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. Metode

Deskriptif mempelajari norma-norma atau standar-standar, dan juga membuat

gambaran mengenai situasi atau kejadian serta menerangkan hubungan, membuat

prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin

dipecahkan. Selain itu, penelitian deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan data dan

penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti dari data itu,

menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis dan teoritis

(Surakhmad, 1982, h. 139). Jadi tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.

Dalam skripsi ini, penulis menggambarkan analisis perubahan ketentuan

pemungut pajak pertambahan nilai terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi.

3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian

Berdasarkan manfaat penelitian, penelitian ini merupakan bentuk penelitian murni.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Creswell (1994, h. 21) mengenai karakteristik

penelitian murni, yaitu:

1. Research problems and subjects are selected with a great deal of freedom.

2. Research is judged by absolute norm of scientific rigor, and the highest standards

of scholarship are sought.

3. The driving goal is to contribute to basic, theoretical knowledge.

Penelitian ini dilakukan dalam kerangka akademis dan lebih ditujukan untuk

pemenuhan kebutuhan peneliti, oleh sebab itu penelitian ini digolongkan dalam

penelitian murni jika dilihat dari manfaat penelitian.

Universitas Indonesia

50

Page 66: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu

Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini merupakan jenis penelitian cross

sectional. Penelitian cross-sectional menurut Neuman (2000, h. 31) adalah ”in cross-

sectional research, researcher observe at one time. Hal ini disebabkan karena

penelitian ini hanya dilakukan pada satu waktu tertentu saja yaitu pada tahun 2011.

3. 3 Metode dan Strategi Penelitian

3.3.1 Jenis penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data

Menurut Lofland dan Lofland sebagaimana dikutip oleh Moleong (2000, h.

157) dalam bukunya, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata

dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Sebagai upaya untuk mengumpulkan data primer, data sekunder, serta

landasan teori yang diperlukan dalam analisis dan pembahasan masalah, peneliti

menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research) dan

pengumpulan data lapangan (field research).

1) Studi Kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mencari kerangka referensi

dan landasan teori baik dalam buku-buku, peraturan-peraturan, majalah,

maupun jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan ide penelitian termasuk dari

media internet yang kemudian menjadi dasar kriteria dalam membahas

masalah yang ditemukan dalam penelitian lapangan. Data yang dikumpulkan

dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Hal ini sejalan

dengan yang dikemukakan Neuman (1997, h. 30):

”The tehniques may be grouped into two categories: quantitative,

collecting data in the form of numbers, and qualitative, collecting data

in the form of words or picture.”

2) Studi Lapangan (field research)

Pengumpulan data di lapangan atau field research dilakukan untuk

mendapatkan data utama mengenai implikasi perubahan dari ketentuan

Universitas Indonesia

51

Page 67: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

pemungut PPN terhadap KKKS. Cara yang ditempuh adalah dengan

mengadakan wawancara mendalam. Wawancara adalah metode pengumpulan

data dengan cara bertanya langsung dengan responden sehingga terdapat

proses interaksi antara pewawancara dengan responden. Wawancara

mendalam menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara

dengan bentuk pertanyaannya adalah pertanyaan terbuka. Pertanyaan ini

nantinya akan dapat dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. Bentuk

pertanyaan terbuka dipilih sebagai instrumen terbaik agar penulis memperoleh

jawaban yang jelas dan menyeluruh, dengan demikian tidak ada batasan

jawaban. Hal ini membuat informasi yang di dapat oleh peneliti akan lengkap

dan dapat menganalisis dengan baik.

3.3.2 Teknik Analisis data

Teknik analisa data yang digunakan adlam penelitian ini adalah anilsa data

kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen, sebagaimana dikutip oleh Moeleong (2005,

h.157) menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah:

“Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milah dalam satuan yang dapat

dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”

Tidak semua temuan data yang diperoleh di lapangan dan literatur secara makro

berhubungan dengan tema ini akan digunakan untuk analisis hasil penelitian ini.

Hanya data, gambaran, maupun analisis yang sesuai yang akan digunakan pada

penelitian ini.

Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan

data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara

terhadap objek penelitian. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik

yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumen (Nasution, 2003, h. 115).

Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan

Universitas Indonesia

52

Page 68: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna

untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi

bersifat reflektif.

Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya

dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada

penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan

teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber

artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif .

Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan

pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Dilihat dari sumber datanya, penelitian meta analisis dikategorikan penelitian

kepustakaan karena menggunakan laporan-laporan yang telah ada. Dilihat dari teknik

pengumplan datanya, penelitian menggunakan analisis isi (content analysis). Salah

satu ciri khas penelitian ini ialah sumber datanya adalah laporan/hasil penelitian dan

keterandalannya diukur dari sintesis dan analisisnya terhadap laporan-laporan

penelitian terdahulu (Merryana, 2006, h. 104).

3.4 Informan

Menurut Neuman (1997, h. 374) informan yang baik adalah:

1. Informan sangat akrab atau familiar, dan menyaksikan peristiwa

penting yang terkait dengan isu yang diangkat.

Universitas Indonesia

53

Page 69: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2. Informan tersebut terlibat langsung di lapangan dalam masalah yang

diteliti.

3. Informan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan wawancara

(interaksi) dengan peneliti.

4. Informan sebaiknya tidak bersikap analitis (non analytic).

Dalam penelitian ini, studi lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam

kepada pihak-pihak yang berkompeten seperti :

1. Bapak Sumarno, staff Direktorat Peraturan Perpajakan I (bidang

PPN industri), Direktorat Jendral Pajak.

2. Ibu Deviyana Arifin, Bapak Read, dan Ibu Triwati Wong sebagai

staff pajak yang menangani perpajakan pada salah satu Kontraktor

Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS).

3. Pihak rekanan dari KKKS yang merupakan pihak yang

berhubungan langsung dengan KKKS terkait dengan ketentuan

atas Pajak Pertambahan Nilai.

4. Bapak Herdjuno Poernomo, selaku Kepala Sub Dinas Evaluasi

Kebijakan Pajak BP MIGAS.

3.5 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa tempat, yaitu: kantor

KKKS yang berada di wilayah Jakarta, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak sebagai

pembuat kebijakan, dan Kantor Pelayanan Pajak tempat KKKS terdaftar untuk

melaksanakan kewajiban perpajakannya.

3.6 Batasan Penelitian

Menurut Umar (2004, h. 166) pembatasan penelitian penting untuk dilakukan

agar penelitian lebih fokus dan jelas. Hal ini sejalan dengan pemikirannya:

”Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan batasan-

batasan dari masalah riset yang akan berguna untuk mengidentifikasi

Universitas Indonesia

54

Page 70: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

faktor-faktor mana saja yang aka dimasukkan ke dalam lingkup

masalah riset dan mana yang tidak. Dengan demikian, pembatasan

masalah akan memuat masalah riset menjadi fokus dan jelas,

sehingga rumusan masalah dapat dibuat dengan jelas pula”

Penelitian ini terbatas pada Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005

dan Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 di bawah Undang-Undang

nomor 42 Tahun 2009. Penelitian ini menganalisis mengenai latar belakang

diubahnya Peraturan Menteri Keuangan, menganalisis implementasi yang

ditimbulkan sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan Peraturan Menteri

Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan

No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS serta menganalisis kebijakan yang sebaiknya

diberlakukan bagi KKKS sebagai Pemungut PPN dalam melaksanakan kewajiban

perpajakannya di bidang PPN.

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan.

Peneliti melakukan studi lapangan terhadap sedikit pihak KKKS, karena beberapa

KKKS tidak bersedia untuk memberikan data mengingat bahwa biasanya KKKS

memiliki kebijakan yang sangat ketat terhadap kerahasiaan datanya. Hal inilah yang

menjadi kendala peneliti untuk secara maksimal memperoleh data khususnya data

keuangan sehingga penelitian ini hanya difokuskan kepada implikasi perubahan

ketentuan atas Pemungut PPN, dalam hal ini adalah KKKS.

Universitas Indonesia

55

Page 71: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB IV

KETENTUAN PERPAJAKAN TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

4.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai

Di dalam kerangka teori telah dijelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) merupakan pajak obyektif. Yang dimaksud dengan pajak obyektif adalah suatu

jenis pajak yang timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor obyektif yang

dinamakan tatbestand. Sedangkan yang dimaksud tatbestand adalah keadaan,

peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Selain itu, PPN juga

termasuk dalam pajak tidak langsung, sehingga beban pajak dapat dialihkan kepada

pihak lain yang dalam hal ini adalah konsumen. Dengan demikian yang menanggung

beban pajak adalah kkonsumen akhir dari barang atau jasa tanpa memandang

bagaimana kemampuan konsumen tersebut. Di dalam mekanisme PPN, yang

diperhatikan adalah Objek Pajak bukan Subjek Pajak. Oleh karena itu, Objek PPN

harus dipahami secara jelas dan menyeluruh.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan

Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Objek Pajak diatur

dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

Universitas Indonesia

56

Page 72: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 4 tersebut menyebutkan apa saja yang menjadi daftar objek pajak PPN,

sehingga diluar daftar tersebut bukan merupakan objek PPN. Terdapat berbagai

istilah yang terkandung dalam pasal 4 tersebut. Untuk dapat memahami maka dapat

dilihat dari pasal 1 tentang pengertian dasar kata-kata yang terdapat dalam UU PPN.

Istilah-istilah tersebut antara lain:

1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,

perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona

Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-

Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa

barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-

Undang ini.

4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena

Pajak.

5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau

perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak

tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang

karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.

8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan

pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke

dalam Daerah Pabean.

Universitas Indonesia

57

Page 73: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah

setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah

Pabean di dalam Daerah Pabean.

11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan

Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.

Kata penyerahan Barang Kena Pajak juga memiliki makna yang sangat luas.

Setiap terjadi transaksi pasti terjadi penyerahan barang, tetapi yang dimaksud dengan

penyerahan Barang Kena Pajak diatur dalam Pasal 1A ayat (1) sebagai berikut:

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau

perjanjian sewa guna usaha (leasing);

c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru

lelang;

d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;

e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan

semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran

perusahaan;

f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau

penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;

g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan

h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka

perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang

penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak

yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Selain itu disampaikan juga daftar mengenai pengertian yang tidak termasuk dalam

penyerahan Barang Kena Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1A ayat (2), sebagai

berikut:

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

Universitas Indonesia

58

Page 74: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat

pajak terutang;

d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak

yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah

Pengusaha Kena Pajak; dan

e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,

dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Dengan melihat Pasal 1A ayat (1) dan (2) dan Pasal 4 terlihat jelas bahwa semua

penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang tidak ada di ayat (2) akan

dikenakan PPN. Tetapi dalam UU PPN juga dilakukan pengecualian dengan

Peraturan Pemerintah mungkin untuk tidak dipungut pajak terutang sebagaimana

diatur Pasal 16B sebagai berikut:

(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari

pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah

Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena

Pajak tertentu;

c. impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar

Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Universitas Indonesia

59

Page 75: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau

perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak

Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau

perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

4.2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai

Subyek PPN menurut UU PPN dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Ketentuan UU PPN Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa:

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak

yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.

PKP tidak termasuk Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk

dikukuhkan sebagai PKP.

Ketentuan yang mengatur bahwa subyek PPN harus PKP terdapat dalam

pasal 4 huruf a, huruf c, dan huruf f, serta pasal 16D UU PPN, Pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. dari pasal-pasal tersebut

dapat disimpulkan bahwa:

a. Melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dapat dikenakan PPN

adalah PKP dan Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan

sebagai PKP.

b. Mengekspor BKP yang dapat dikenakan PPN adalah PKP.

c. Menyerahkan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan

adalah PKP.

d. Bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan BKP dan atau

JKP dapat dikenakan PPN adalah PKP.

Universitas Indonesia

60

Page 76: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

2. Bukan Pengusaha Kena Pajak

Untuk lebih memahami mengenai subyek PPN maka kita harus melihat

pengertian dari pengusaha yang tercantum dalam pasal 1 angka 14 yang menyebutkan

bahwa pengusaha adalah:

Orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan

usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,

mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan

barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa

termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah

Pabean.

Subyek PPN tidak harus PKP, dalam hal ini pengusaha yang bukan

merupakan PKP pun dapat menjadi subyek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Huruf b dan huruf e serta pasal 16C UU PPN. Berdasarkan pasal tersebut, yang

dikenakan PPN adalah:

- Siapapun yang mengimpor BKP (Pasal 4 huruf b).

- Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha

atau pekerjaan.

- Siapapun yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau

JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dalam memahami subyek pajak maka harus dipahami mengenai definisi

pengusaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU PPN. Pengusaha adalah

Orang pribadi atau Badan yang dalam kegiatan usahanya

menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,

melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud

dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, memanfaatkan jasa

dari luar Daerah Pabean.

Dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN istilah ”badan” dirumuskan sebagai

sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan

usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah

Universitas Indonesia

61

Page 77: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,

persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau

organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

4.3 Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU PPN, terutangnya pajak terjadi pada saat:

a. penyerahan Barang Kena Pajak;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau

h. ekspor Jasa Kena Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 di atas, saat terutangnya pajak terjadi apabila

salah satu dari peristiwa seperti yang telah tertulis tersebut terpenuhi. Jika

pembayaran dilakukan sebelum penyerahan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak

atau Pemanfaatan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak maka ketentuannya

mengacu pada Pasal 11 ayat (2) yang berisi:

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau

sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan

sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau

Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada

saat pembayaran.

pasal 11 ayat (2) di atas dengan tegas menetapkan saat pembayaran merupakan saat

terutangnya PPN jika pembayaran terjadi sebelum peristiwa yang menyebabkan

terutangnya PPN itu terjadi yaitu penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan

Jasa Kena Pajak. Dalam Pasal 11 ayat (4) diatur mengenai saat terutangnya pajak

yang sukar ditentukan. Pasal 11 ayat (4) berisi sebagai berikut:

Universitas Indonesia

62

Page 78: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat

terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan

atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan

ketidakadilan.

Dengan adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai ketentuan saat

terutangnya Pajak Pertambahan Nilai, sudah jelas bahwa Undang-Undang PPN

berusaha memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak sehingga Wajib Pajak

tidak memiliki keraguan dan berusaha meminimalisasi asas uncertainty.

Selain bendaharawan pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan, UU PPN juga mengatur setidaknya ada tiga pihak

yang wajib memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang, yaitu dalam

Pasal 3A, yang menyebutkan bahwa:

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan

huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan

oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib

memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena

Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang

memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib

Universitas Indonesia

63

Page 79: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai

yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

Selain itu, defnisi pemungut PPN terdapat dalam Pasal 1 angka 27 UU PPN.

Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa:

”Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara

pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk

oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan

melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak

atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa

Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi

pemerintah tersebut.”

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai melalui Pemungut PPN diatur dalam

Pasal 16 A Undang-Undang PPN yang berisi:

(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau

penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai.

(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur

dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Dari pasal 16 A UU PPN tersebut, memiliki makna sebagai berikut:

1. Instansi Pemerintah dan Badan-Badan terentu ditunjuk sebagai Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai;

2. Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa

Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, wajib membuat

Faktur Pajak;

3. Pajak yang telah dipungut tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara

menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama Pengusaha Kena Pajak

Universitas Indonesia

64

Page 80: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan

kemudian melaporkan pemungutan dan penyetoran tersebut ke Direktorat

Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak;

4. Surat Setoran Pajak tersebut diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak

yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

sebagai bukti bahwa ia telah menyetorkan pajak yang terutang ke kas

negara.

4.4 Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut

Keberadaan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai pada awalnya hanya diatur

melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986 yang berlaku mulai 1 April 1986

tentang Penunjukkan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan

Menyetorkan PPN yang dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau

JKP dari PKP Rekanan Pemerintah. Sebagai aturan pelaksana Keppres tersebut

adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK/04/1986 tentang

Penatausahaan dan Pertanggungjawaban PPN dan PPnBM yang dibayar

Bendaharawan.

Pada tahun 1988 diadakan perluasan penunjukkan pihak sebagai Pemungut

PPN dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tentang

Penunjukkan Badan-Badan Tertentu dan Bendaharawan Untuk Memungut dan

Menyetor Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Keppres ini pada awalnya diberlakukan dengan pertimbangan untuk pengamanan

penerimaan negara, serta untuk memberikan pembinaan dalam rangka peningkatan

kepatuhan para Pengusaha Kena Pajak untuk memasukkan Surat Pemberitahuan

Masa PPN dengan tertib dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya. Oleh

karena itu, pemerintah memandang perlu adanya kebijakan yang menunjuk Badan-

Badan Tertentu dan Bendaharawan sebagai Pemungut dan Penyetor PPN dan PPnBM

yang terutang oleh PKP.

Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 menetapkan Kantor

Perbendaharaan Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Tingkat I

Universitas Indonesia

65

Page 81: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

maupun Tingkat II, Pertamina, Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya

di Bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya, Badan Usaha

Milik Negara dan Daerah, Bank Pemerintah, dan Bank Pembangunan Daerah sebagai

Pemungut dan Penyetor PPN dan PPnBM yang terutang oleh PKP yang melakukan

penyerahan BKP dan atau JKP. Dalam Keppres tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa

pelaksanaannya diatur oleh Menteri Keuangan.

Dalam pelaksanaannya, diterbitkan tiga Keputusan Menteri Keuangan sebagai

peraturan pelaksana Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 tersebut. Keputusan

Menteri Keuangan tersebut terdiri dari:

a. KMK 1287/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata cara

Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh Bendaharawan sebagai

Pemungut. Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat pemungutan

PPN dijelaskan bahwa:

- Pemungutan pajak dilakukan pada saat pembayaran dengan cara

pemotongan langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan

Pemerintah.

- Penyetoran PPN & PPnBM yang terutang dilakukan selambat-

lambatnya 10 hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan.

b. KMK 188/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata Cara

Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh KPN sebagai Pemungut.

Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat pemungutan PPN

dijelaskan bahwa:

- PPN dan atau PPnBM atas penyerahan BKP dan JKP yang terutang

oleh PKP Rekanan Pemerintah dipungut oleh KPN yang melakukan

pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah

- Pemungutan PPN dilakukan pada saat pembayaran, dengan cara

pemotongan langsung dari tagihan rekanan pada Surat Perintah

Membayar (SPM) yang terkait.

c. KMK 1289/KMK.04/1988 tanggal 23 Desember 1988 tentang Tata Cara

Pemungutan dan Pelaporan PPN & PPnBM oleh Badan-Badan Tertentu

Universitas Indonesia

66

Page 82: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

sebagai Pemungut. Dalam KMK ini pasal yang berisi tentang saat

pemungutan PPN dijelaskan bahwa:

- Pemungutan pajak dilakukan pada saat pembayaran dengan cara

pemotongan langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan

Pemerintah.

- Penyetoran PPN & PPnBM yang terutang dilakukan selambat-

lambatnya pada hari ke-sepuluh setelah bulan terjadinya

pembayaran tagihan.

Pada tahun 1994 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengalami

perubahan yang pertama melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 yaitu

perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan

Nilai Barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.di dalam perubahan

ini, ketentuan mengenai Pemungut PPN diatur dalam Pasal 16A.

Jika dilihat sebelumnya, ketentuan yang mengatur mengenai Pemungut PPN

ini hanya diatur melalui Keputusan Presiden No.56 tahun 1988 dan Keputusan

Presiden No.9 tahun 1986. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sumarno pihak

DJP tanggal 31 Mei 2001, Pemerintah merasa perlu memasukan aturan Pemungut

PPN ini di dalam Undang-Undang karena jika hanya melalui Keputusan Presiden

tidaklah terlalu kuat, jadi payung hukumnya ditambah melalui Undang-Undang PPN

yang memuat aturan mengenai Pemungut PPN.

Undang-Undang No.11 tahun 1994 ini mulai berlaku pada awal tahun 1995.

Selama masa berlakunya hingga tahun 2000 belum ada peraturan pelaksana yang

mengatur mengenai tatacara pelaksanaan Undang-Undang ini. Dengan demikian,

aturan pelaksananya masih mengikuti aturan sebelumnya yaitu KMK

1287/KMK.04/1988, KMK 1288/KMK.04/1988, KMK 1289/KMK.04/1988.

Pada tahun 2000, terdapat perubahan Undang-Undang PPN yang kedua

melalui UU No.18 Tahun 2000. Dalam hal ini, Pemerintah juga mengeluarkan

peraturan pelaksana pengganti sebagai penyesuaian dari adanya pasal 16A UU No.11

Tahun 1994. Ada 3 perturan pelaksana yang menjadi dasar bagi pemungut PPN

Universitas Indonesia

67

Page 83: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peraturan pelaksana tersebut antara

lain:

1. KMK Nomor 547/KMK.04/2000 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah,

Badan-Badan Tertentu, dan Instansi Pemerintah Tertentu Untuk Menungut,

Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah. Dalam KMK ini, pasal 1 menyebutkan bahwa:

(a) Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat

dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten atau Kota, Pertamina, Kontraktor

Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang Minyak, Gas Bumi, Panas

Bumi dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan

Usaha Milik Daerah, Bank Milik Negara, Bank Milik Daerah dan Bank

Indonesia, ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

(b) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

yang melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau

Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan

melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang

Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.

(c) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi maupun

Kabupaten atau Kota yang melakukan pembayaran melalui Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara atau Bank Milik Daerah wajib melaporkan

Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang

terutang oleh Pengusaha Kena Pajak, yang telah dipungut oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara atau Bank Milik Daerah dimaksud.

2. KMK Nomor 548/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh

Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut.

Dalam hal ini, diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa

Universitas Indonesia

68

Page 84: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah yang pembayarannya

melalui Bendaharawan Pemerintah, dipungut, disetor dan dilaporkan oleh

Bendaharawan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.

Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat pembayaran dengan cara

pemotongan secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.

Sedangkan penyetorannya dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah bulan

terjadinya pembayaran tagihan. Untuk pelopran dilakukan paling lambat 14 (empat

belas) hari setelah bulan dilakukan pembayaran atas tagihan.

3. KMK Nomor 549/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh

Badan-Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam KMK ini yang dimaksud dengan Badan-Badan Tertentu yaitu

PERTAMINA, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang minyak,

gas bumi, panas bumi, dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik

Negara, Badan Usaha Milik Daerah termasuk Bank Pemerintah dan Bank Daerah,

dan Bank Indonesia. Pemungutan atas PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh Badan-

Badan Tertentu dilakukan dengan cara pemotongan secara langsung dari pembayaran

atas tagihan rekanan. Sedangkan untuk penyetoran PPN dan PPnBM dilakukan paling

lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan. Untuk

pelaporan dilakukan paling lambat pada hari ke 20 (dua puluh) setelah bulan

dilakukan pembayaran atas tagihan rekanan.

Pada intinya, ketiga Keputusan Menteri Keuangan tersebut sebagai peraturan

pelaksana yang memperbaharui dan mengakomodir peraturan pelaksana yang lama

karena peraturan pelaksana yang lama mengacu kepada Keputusan Presiden. Sesuai

dengan wawancara dengan Bapak Sumarno, Staff Direktorat Peraturan Perpajakan I

Direktorat Jenderal Pajak, beliau mengatakan

” Tahun 2000 itu keluar tiga KMK. Ada KMK No. 547,548, dan 549

tahun 2000. Intinya kalau KMK 547 itu yang pertama ya, itu intinya

yang ditunjuk dalam KMK 1289 yang sebelumnya tetap ditunjuk

sebagai pemungut PPN. KMK 547 ini cuma pernunjukannya saja,

Universitas Indonesia

69

Page 85: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

kemudian tata caranya diatur di KMK 548 dan KMK 549, 548 untuk

Bendaharawan dan KPKN, utuk yang 549 itu untuk selain

Bendaharawan Pemerintah berarti kaya kontraktor-kontraktor bagi

hasil”

Peraturan pelaksana melalui KMK Nomor 547, 548, dan 549 berjalan hingga

tahun 2003. Pada tanggal 1 Januari 2003, berlaku KMK Nomor 563/KMK.03/2003

tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas

Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporannya. Munculya Keputusan Menteri Keuangan ini sebagai suatu tanda bahwa

Pemerintah menentukan kembali pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan

PPnBM. Dalam hal ini, yang ditunjuk sebagai pemungut PPN dan PPnBM hanyalah

Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Selain itu,

bukan merupakan pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Bapak Sumarno pun

dalam wawancara menegaskan :

“Tahun 20003 itu keluar KMK No. 563, di KMK 563 ini yang

ditunjuk sebagai pemungut PPN Cuma bendaharawan dan KPKN.

KMK 563 ini secara otomatis mencabut KMK 547,548 dan 549

sehingga semua kontraktor bagi hasil dan pertambangan tidak ada

yang ditunjuk sebagai pemungut PPN.”

4.5 Gambaran Umum Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS)

4.5.1 Kegiatan Usaha Hulu Migas Dilakukan Melalui Kontrak Kerja Sama

Kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia berlandaskan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 yang berarti negara

tetap memiliki kepemilikan (ownership) sumber daya migas. Atas dasar hal tersebut

maka disusunlah Undang-Undang sebagai dasar kegiatan di bidang minyak dan gas

bumi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas

22/2001).

Universitas Indonesia

70

Page 86: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pertambangan migas di Indonesia dilakukan oleh para kontraktor bagi hasil

yang melakukan eksplorasi dan produksi minyak di wilayah hokum pertambangan

Republik Indonesia berdasarkan suatu Kontrak Bagi Hasil yang disebut Production

Sharing Contract (PSC). Banyak sekali definisi mengenai istilah-istilah dalam bidang

minyak dan gas bumi yang menurut peneliti perlu diketahui. Di dalam UU Migas

22/2001, definisi mengenai minyak bumi dan gas bumi diatur dalam pasal 1 ayat 1

dan 2.

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin

mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi

tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang

diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas

Bumi.

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi

tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses

penambangan Minyak dan Gas Bumi.

Terdapat 2 jenis kegiatan yang dilakukan di bidang minyak dan gas bumi.

Kegiatan tersebut diatur dalam pasal 5 yang menyebutkan bahwa:

1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup : 

a. Eksplorasi; 

b. Eksploitasi. 

2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup : 

a. Pengolahan; 

b. Pengangkutan; 

c. Penyimpanan; 

d. Niaga. 

KKKS yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN dalam hal ini melakukan

kegiatan usaha hulu. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan

atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. Definisi mengenai

eksplorasi dan ekspolitasi diatur dalam pasal 1 ayat 8 dan 9.

Universitas Indonesia

71

Page 87: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

1. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai

kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan

Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.

2. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan

Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas

pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,

penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan

Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Definisi mengenai Kontrak Kerjsama sendiri diatur dalam pasal 1 ayat 19.

Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja

sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih

menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

Terkait dengan sistem Kontrak Bagi Hasil (Profit Sharing Contract), terdapat

Badan Pelaksana yang berfungsi sebagai badan yang mengendalikan kegiatan usaha

hulu. Definiai mengenai Badan Pelaksana diatur dalam ayat 23.

Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan

pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

KKKS melakukan kegiatan hulu dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dan

dikendalikan melalui Kontrak Kerjasama. Terkait dengan syarat-syarat dalam

melakukan Kontrak Kerjasama, diatur dalam pasal 6 yang berisi:

(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1

dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.

(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit

memuat persyaratan :

a. kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik

penyerahan; 

b. pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; 

Universitas Indonesia

72

Page 88: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

c. modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha

Tetap. 

Penentuan subyek yang dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu dan hilir

disebutkan dalam pasal 9 ayat 1 dan 2:

(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

a. badan usaha milik negara;

b. badan usaha milik daerah;

c. koperasi; usaha kecil;

d. badan usaha swasta.

(2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu.

KKKS menjalankan kegiatan di bidang kegiatan usaha hulu karena hanya

melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Dalam bab IV UU Migas 22/2001 diatur secara

jelas mengenai kegiatan usaha hulu. Dalam membuat Kontrak Kerjasama yang

diakukan oleh Pemerintah dan KKKS terdapat beberapa ketentuan yang wajib

dimuat. Hal in diatur dalam pasal 11 ayat 3 yang berisi sebagai berikut.

Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling

sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :

a. penerimaan negara;

b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;

c. kewajiban pengeluaran dana;

d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;

e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;

f. penyelesaian perselisihan;

g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan

dalam negeri;

h. berakhirnya kontrak;

i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;

j. keselamatan dan kesehatan kerja;

k. pengelolaan lingkungan hidup;

Universitas Indonesia

73

Page 89: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

l. pengalihan hak dan kewajiban;

m. pelaporan yang diperlukan;

n. rencana pengembangan lapangan;

o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;

p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;

q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

4.5.2 Kewajiban DMO dalam Kontrak Kerja Sama

Dalam peraturan awal, beberapa kontrak yang ditandatangani sebelum tahun

1997 tidak mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama untuk menyerahkan sebagian

dari bagi hasil minyaknya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Hal ini diubah

pada kontrak-kontrak setelah tahun 1977 dn sudah merupakan syarat untuk kontrak

yang mewajibkan sebagian produksi untuk pemenuhan kebutuhan domestik (domestic

market obligtion/DMO). Mikesell dalam Machmud (2000, h. 85) mengatakan

”kontraktor menyetujui untuk memberikan porsi dari bagian minyaknya untuk

diserahkan kepada pasar domestik berdasarkan rasio dari total produksi minyak

mentah di Indonesia dikalikan dengan jumlah minyak yang dikonsumsi di Indonesia,

dengan batas paling banyak 25% dari bagian minyak mentah milik kontraktor dari

wilayah kontrak. Harga dari minyak mentah yang dijual kepada pasar domestik harus

berada di bawah 20c perbarelnya.” Kewajiban DMO dalam setiap generasi PSC dapat

dilihat dalam bagan berikut:

Universitas Indonesia

74

Page 90: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Gambar 4.1Kewajiban DMO Dalam Setiap Generasi Kontrak Bagi Hasil

Sumber: PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide (diolah peneliti)

Universitas Indonesia

Kontrak Bagi Hasil

Generasi I1965-1975

Generasi II1976-1988

Generasi III1988-

sekarang

Generasi IV 1995

(Indonesia \timur)

Generasi V Kontrak Baru

Pasca UU 22/2001

Kontrak Baru (2008-

sekarang

0.20 c/bbl 100% harga ICP untuk 1 tahun pertama

100% harga ICP untuk 60 bulan pertama

Selanjutnya 1,20 c/bbl

Sela njutnya 10% harga ICP

Selanjutnya 25% harga ICP

100% harga ICP untuk 60 bulan pertama

100% harga ICP untuk 60 bulan pertama

Selanjutnya 25% harga ICP

Selanjutnya 25% harga ICP

100% harga ICP untuk 60 bulan pertama

75

Page 91: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Dalam perhitungan bagi hasil dalam Kontrak Bagi Hasil, setelah blok berproduksi

selama 60 bulan diperhitungkan kewajiban DMO yang harus diserahkan oleh

Kontraktor Kontrak Kerja Sama kepada Pemerintah dan kewajiban Pemerintah untuk

membayar DMO fee yang harus dibayarkan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama

terkait dengan penyerahan minyak mentah DMO tersebut. Termasuk perhitungan

pajak (government tax entitlement) terkait dengan pendapatan minyak dan gas bumi

yang merupakan bagian kontraktor kontrak kerja sama.

4.5.3 Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagai Wajib Pajak Badan

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan 267/KMK.012/1978

tentang tata cara penghitungan dan pembayaran pajak perseroan dan pajak atas

bunga, dividen dan royalti yang terutang oleh kontraktor yang melakukan kontrak

kerja sama (kontrak bagi hasil) di bidang minyak dan gas bumi dengan perusahaan

pertambangan minyak dan gas bumi negara (pertamina) menjadikan kontraktor yang

melakukan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi merupakan subjek pajak

perseroan dan pajak atas bunga, dividen, dan royalti.

Dalam kontrak kerja sama, klausul yang mengatur tentang kewajiban

perpajakan kontraktor terdapat dalam section V dengan rumusan sebagai berikut:

Contractor shall… severally be subject to and pay to the Government

ofthe Republic of Indonesia the income tax including the final tax of

profit after tax deduction if applicable, imposed on it pursuant to

applicable Income Tax Law comply with the requirements of the tax

law in particular with respects to filling of returns, assessment of tax,

and keeping and showing of books and records.(Draft Kontrak Bagi

Hasil BP Migas )

Undang-undang No.22 tahun 2001 tentang migas Pasal 31 menyebutkan

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu

wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan Negara

Bukan Pajak, yang terdiri atas pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor

dan cukai; pajak daerah dan retribusi daerah.\

Universitas Indonesia

76

Page 92: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

4.5.4 Pengaruh Kebijakan Ring-fence

Di semua negara yang industri perminyakannya maju, perlakuan pajaknya

selalu menganut kebijakan ring-fence (Surahmat, 2007, h. 117). Di Indonesia

kebijakan ring-fence ini tertuang dalam PP No. 35 tahun 1994 yang menyatakan

“kepada kontraktor diberikan satu wilayah kerja”. Kebijakan ring-fence mengatur

satu wilayah kerja untuk satu entitas, dan apabila suatu perusahaan minyak

mempunyai beberapa wilayah kerja maka harus dibentuk suatu badan hukum yang

berbeda untuk setiap wilayah kerja. Kebijakan ring-fence kembali diperjelas dalam

UU Migas 22/2001 pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu)

Wilayah Kerja.

(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa

Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah

Kerja.

Tujuan dari kebijakan Ring-fence adalah untuk mencegah terjadinya

konsolidasi baik dalam hal biaya-biaya untuk tujuan recovery of operating cost

maupun untuk perhitungan Pajak Penghasilan Badan (tax consolidation) antar

wilayah kerja yang dioperasikan oleh satu perusahaan, yang apabila terjadi

konsolidasi diantara keduanya maka akan merugikan negara. Kebijakan Ringfence ini

penting untuk melindungi penerimaan negara terutama jika saat mulainya eksplorasi

dari keduanya tidak bersamaan. Perlakuan perpajakan dalam setiap wilayah kerja

dihitung secara terpisah baik yang menyangkut penghasilan maupun biayanya.

Dengan perlakuan demikian, maka masalah BUT yang timbul dari kegiatan

memberikan support pada kegiatan eksplorasi dapat dihindarkan.

4.5.5 Bentuk Badan Usaha Kontraktor Kontrak Kerja Sama

Dalam mengusahakan pertambangan minyak dan gas di Indonesia, khususnya

kegiatan usaha hulu yang mencakup eksploitasi dan eksplorasi, bentuk badan usaha

kontraktor kontrak kerja sama dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maupun

Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kontraktor KKS dengan bentuk PT merupakan

Universitas Indonesia

77

Page 93: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

kontraktor kontrak kerja sama yang badan hukumnya 100% dimiliki dan didirikan

oleh Perusahaan Nasional sebagai Perusahaan Induk; kontraktor kontrak kerja sama

yang merupakan suatu badan hukum yang dimiliki oleh Perusahaan Campuran antara

Perusahaan Asing dengan Perusahaan Nasional; atau kontraktor kontrak kerja sama

yang merupakan suatu badan hukum yang dimiliki oleh Perusahaan Asing.

Sedangkan kontraktor kontrak kerja sama yang berbentuk Bentuk Usaha

Tetap yang badan hukumnya 100% dimiliki dan didirikan oleh Perusahaan Asing

sebagai Perusahaan Induk; atau Kontraktor kontrak kerja sama yang merupakan suatu

badan hukum yang 100% dimiliki dan didirikan oleh Perusahaan Nasional yang

mempunyai badan hukum di luar negeri sebagai Perusahaan Induk. Undangundang

no. 22 tahun 2001 hanya memperbolehkan kontraktor kontrak kerja sama yang

berbentuk BUT untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu.

4.5.6 Komponen Perhitungan Bagi Hasil Produksi Minyak dan Gas Bumi

Perhitungan bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama

(KKKS) berbeda-beda tergantung dari kontrak. Di Indonesia perhitungan bagi hasil

pemerintah/KKKS biasanya sebesar 85%/15% untuk minyak mentah. Gambaran pola

perhitungan bagi hasil sesuai dengan kontrak kerja sama (kontrak bagi hasil) dapat

dilihat pada gambar 4.2:

4.5.6.1 Gross Revenue

Setelah ditemukan cadangan minyak, maka kontraktor kontrak kerja sama

akan mulai berproduksi secara komersial. Pada masa ini KKKS mulai berproduksi

melakukan pengangkatan (lifting) minyak mentah. Gross Revenues dari kontraktor

didapat dari total lifting minyak mentah. Lifting dalam bentuk barel minyak mentah

akan dijual berdasarkan Indonesian Crude Price (ICP).

4.5.6.2 First Trance Petroleum

Gross revenue tersebut akan dikurangkan dengan First Tranch

Petroleum/FTP yang besarnya ditentukan dalam kontrak umumnya 20% atau

Universitas Indonesia

78

Page 94: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

persentase tertentu dari gross revenues atau lain sesuai kontrak yang akan dibagi

antar pemerintah dan kontraktor, atau hanya merupakan bagian pemerintah saja.

4.5.6.3 Total Recoverable Cost

Total lifting minyak mentah (gross revenue) setelah FTP dari operasi kontrak

kerja sama yang telah berproduksi secara komersial tadi akan dikurangi dengan Total

Recoverable yang berupa:

a. Investment Credit

Adalah suatu insentif yang diberikan kepada KKKS pada saat akan mulai berproduksi

untuk membangun fasilitas produksi dalam bentuk investment credit yaitu suatu

persentase tertentu atas biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun fasilitas

produksi tersebut yang dapat diperhitungkan oleh kontraktor bagi hasil sebagai

bagian dari cost recoverable. Umumnya investment credit besarnya adalah 20% atau

17% dari capital investment untuk biaya pengembangan, transportasi, dan fasilitas

produksi. Pola bagi hasil PSC dapat dicontohkan dengan jumlah sebagai berikut.

Universitas Indonesia

79

Page 95: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Gambar 4.2Pola Bagi hasil PSC

Sumber: http://www.tax.gov.kh

b. Cost Recovery

Cost recovery pada dasarnya merupakan penggantian atas biaya yang

merupakan pengeluaran tahun yang bersangkutan (current year operating cost)

maupun penggantian atas biaya melalui mekanisme depresiasi yang merupakan

pengeluaran tahun sebelumnya yang dikapitalisasikan (depreciation-current and pior

year-asset).

Biaya yang dapat dipulihkan (di-recover) adalah biaya-biaya yang merupakan

operating cost. Sesuai dengan prinsip keberhasilan (successful effort), operating cost

baru dapat dipulihkan apabila KKKS yang bersangkutan telah berhasil menemukan

Universitas Indonesia

80

Page 96: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

cadangan migas yang layak dieksploitasi secara komersial, dan seluruh biaya operasi

KKKS sebelum produksi dapat pula dipulihkan secara bertahap dari hasil

produksinya sampai dengan semua biaya tersebut habis dipulihkan dengan tidak

memperhatikan waktu carry forward loss (kompensasi rugi) sebagaimana dalam

ketentuan perpajakan.

4.5.6.4 Equity To Be Split

Jika dari perhitungan Gross Profit dikurangi dengan FTP dan total Cost

Recoverable (biaya-biaya telah terpulihkan seluruhnya/fully recovered) akan

didapatkan Equity to be split atau bagian lifting minyak yang siap dibagikan. Jumlah

minyak ini kemudian dibagikan kepada pemerintah dan KKKS sesuai dengan

komposisi persentase bagi hasil yang diatur dalam kontrak (grossed up split),

biasanya 73,2143% untuk pemerintah dan 26,7857% untuk KKKS.

Dalam perhitungan bagi hasil dalam kontrak kerja sama ini juga

diperhitungkan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) yang harus

diserahkan oleh KKKS kepada Pemerintah dan kewajiban Pemerintah untuk

membayar DMO fee yang harus dibayarkan Pemerintah kepada KKKS terkait dengan

penyerahan minyak mentah DMO tersebut. Termasuk perhitungan pajak terkait

dengan pendapatan minyak dan gas bumi yang merupakan bagian KKKS.

4.6 Penetapan Harga Minyak Mentah Indonesia

Dalam kontrak kerja sama, hasil produksi dibagi secara in kind yaitu dalam

bentuk barel minyak. Penetapan harga minyak merupakan hal yang sangat penting

mengingat berapa besar harga minyak berpengaruh untuk menghitung cost recovery,

penghasilan, dan pajak. Walaupun ketentuan dalam kontrak menyebutkan berbeda-

beda, tetapi Kontrak Kerja Sama secara umum menetapkan bahwa semua minyak

mentah untuk perhitungan cost recovery dan pajak adalah harga menurut Indonesian

Crude Price (ICP). (Madjedi , 2001)

ICP menjadi harga patokan minyak Indonesia yang ditetapkan oleh

Pemerintah setiap bulannya. Penetapan harga minyak mentah adalah suatu harga atas

Universitas Indonesia

81

Page 97: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

penjualan minyak mentah yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan

harga minyak mentah jenis tertentu di pasar global. Dalam perhitungan bagi hasil,

ICP akan didasarkan atas harga rata-rata tertimbang (ICP Weighted Average Price).

Formula perhitungan harga rata-rata tertimbang, didapat dari sumber yang kompeten

dalam perdagangan minyak internasional, antara lain: Platts, RIM, dan APPI. Harga

ICP ditetapkan per bulan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Harga minyak mentah sebagaimana harga komoditi yang lainnya berfluktuasi

sesuai dengan situasi dan kondisi pasar minyak itu sendiri. Parameter yang

mempengaruhi harga minyak ada yang bersifat fundamental (dipengaruhi oleh hukum

permintaan dan penawaran artinya apabila penawaran meningkat tetapi permintaan

tetap maka harga cenderung menurun, dan sebaliknya) dan nonfundamental

(perubahan cuaca/musim, situasi geopolitik, kondisi stok/cadangan crude/produk dari

Negara-negara konsumen utama dunia/OECD, sentimen pasar yang biasanya

dipermainkan oleh para spekulan).

Universitas Indonesia

82

Page 98: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB V

ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA

PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

5.1 Latar Belakang Diubahnya Peraturan Menteri Keuangan Mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi pada Tahun 2010

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah dan gambaran

mengenai ketentuan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah, ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005

yang berlaku dari tahun 2005 hingga 2010 telah diubah dengan ketentuan baru

melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010. Perubahan ini

memberikan pengaruh yang baru terhadap kewajiban perpajakan bagi Pemungut PPN

khususnya Kontraktor Kontrak Bagi Hasil Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi.

Perubahan PMK ini pasti diawali dengan peraturan sebelumnya. Jadi perubahan

terhadap peraturan pelaksana ini sudah beberapa kali dalam hal status sebagai

Pemungut PPN maupun tata cara pelaksanaan.

Mengingat bahwa analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

teknik triangulasi, maka peneliti terlebih dahulu melihat dan membandingkan dengan

seluruh data relevan yang telah dikumpulkan selama proses turun lapangan dengan

penelitian yang memiliki topik sejenis. Beberapa tesis dan skripsi telah menjadi

bahan bagi peneliti untuk melakukan teknik triangulasi. Dalam hal ini skripsi dan

tesis yang digunakan sebagai dasar meta analisis adalah penelitian yang

menggunakan topik sejenis yaitu mengenaiPemungut PPN.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 dan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005, saat ini Pemungut PPN yang

ditunjuk oleh pemerintah adalah Bendaharawan Pemerintah, Kantor Perbendaharaan

dan Kas Negara, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas

Bumi.

Universitas Indonesia

83

Page 99: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Sistem pemungutan PPN melalui Pemungut PPN merupakan sebuah sistem

modifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka memungut PPN.

Sistem ini pada dasarmya berbeda dengan sistem pemungutan pada umumnya. Sistem

pemungutan PPN berdasarkan mekanisme umun yang berlaku memiliki mekanisme

sebagai berikut.

Gambar 5.1Mekanisme Umum Pemungutan PPN

Sumber: Olahan peneliti

Dalam mekanisme pemungutan PPN yang umum berlaku, terdapat dua pihak yang

terlibat. Pihak tersebut terdiri dari pemungut pajak dan pembayar pajak. Sebagai

penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), PKP melakukan

pemungutan PPN atas BKP atau JKP yang diserahkan kepada pembeli atau penerima

jasa. Dengan demikian, pembeli atau penerima BKP atau JKP merupakan pihak yang

memikul beban pajak yang dikenakan dalam transaksi tersebut. Sebagai pemungut

atas PPN yang dibayarkan oleh pembeli/penerima jasa, PKP melakukan penyetoran

dan pelaporan kepada negara. Dengan demikian, PKP memiliki tanggung jawab

untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang telah dibayarkan

pembeli/penerima jasa kepada negara.

Pengusaha Kena Pajak

Negara

Pembeli/ Penerima Jasa

BKP/JKP

PPN

Bertanggung Jawab atas PPN yang

Dipungut

Pemikul Beban Pajak

PPN

Universitas Indonesia

84

Page 100: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Di Indonesia, Pemerintah memodifikasi mekanisme tersebut dengan

ditunjuknya beberapa pihak sebagai Pemungut PPN meskipun statusnya adalah

pembeli atau penerima jasa. Mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN

dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 5.2Mekanisme Pemungutan PPN melalui Pemungut PPN

Sumber: Olahan peneliti

Dalam mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN, alur mekanisme

pemungutan PPN pada umumnya menjadi terbalik. Pembeli/penerima jasa dalam hal

ini yang ditunjuk sebagai pihak pemungut PPN oleh pemerintah memikul beban

pajak dan sekaligus bertanggung jawab atas pemungutan, penyetoran, dan pelaporan

kepada negara. Artinya, ketika pembeli/penerima jasa melakukan pembelian BKP

atau JKP kepada PKP, maka pembeli/penerima jasa tersebut tidak membayarkan PPN

yang terutang kepada PKP melainkan menyimpan PPN tersebut dan nantinya PPN

tersebut disetorkan kepada negara.

Dalam tesis yang ditulis oleh Senny Tussytha, FISIP UI tahun 2006, disebutkan

bahwa mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut PPN ini dikritisi banyak pihak

sebagai penyimpangan mekanisme PPN itu sendiri, dimana pihak yang menerima

Pengusaha Kena Pajak

Negara

Pembeli/ Penerima Jasa

BKP/JKP

Pemikul Beban Pajak dan Bertanggung Jawab atas PPN yang Dipungut

PPN

Universitas Indonesia

85

Page 101: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BKP atau JKP justru yang memungut PPN. Namun demi kepentingan pengamanan

penerimaan negara kebijakan tersebut perlu diambil. Selain itu alasan lain yang

menjadi dasar adalah penerapan PPN pada awalnya disadari memerlukan alat atau

mekanisme pengawasan yang baik agar dapat dicapai tujuannya, karena belum

adanya mekanisme pengawasan yang baik dan masih rendahnya kepatuhan PKP

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka pemerintah melalui instansinya

berfungsi sebagai pengawas dan juga pemungut.

Dalam perkembangan selanjutnya, menurut analisis Senny Tussytha, terjadi

banyak distorsi dan inefensiensi dalam mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut.

Salah satu yang paling menonjol adalah keterlambatan pemungut dalam melakukan

kewajibannya, misalnya untuk menyetor dan melaporkan pajak yang telah

dipungutnya. Hal ini selain berdampak pada terganggunya aliran penerimaan pajak ke

kas negara, tetapi juga berakibat berkurangnya penerimaan pajak karena PKP

Rekanan pemerintah melakukan restitusi karena lebih bayar. Jika melihat masalah

restitusi yang dilakukan oleh PKP Rekanan, maka perlu ditinjau sebab-sebab yang

mempengaruhi ada atau tidaknya restitusi. Ada tiga transaksi yang menyebabkan

adanya lebih bayar yang kemudian berimbas dengan adanya permohonan restitusi:

1. PKP melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN. Dalam hal ini status PKP

adalah rekanan dari Pemungut

2. PKP melakukan penyerahan barang namun mendapatkan fasilitas PPN tidak

dipungut.

3. PKP melakukan ekspor. Dalam hal ekspor, tarif yang berlaku adalah 0%

sehingga PKP memiliki Pajak Masukan yang lebih besar dari Pajak Keluaran.

Hal tersebut yang menjadi penyebab adanya lebih bayar dari PKP.

Menurut penjelasan Bapak Sumarno, staff Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal

Pajak melalui wawancara mendalam pada tanggal 31 Mei 2011, restitusi timbul

ketika adanya 3 kejadian tersebut.

” Bagi vendor sebagai PKP dalam mekanisme umum ketika dia

melakukan penjualan dan pembelian otomatis Pajak Keluarannya akan

Universitas Indonesia

86

Page 102: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

selalu lebih besar karena Pajak Keluarannya yang lebih besar

menunjukkan bahwa vendor ini memiliki margin keuntungan. Dalam

Pajak Keluaran tersebut terdapat unsur laba.”

Latar belakang penunjukkan Kontraktor Kontrak Kerjasama Pengusahaan

Minyak dan Gas Bumi (KKKS) sebagai Pemungut PPN adalah karena adanya sistem

Kontrak Bagi Hasil yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka mengelola

sektor minyak dan gas bumi. Berikut adalah pernyataan dari Bapak Sumarno selaku

Staff Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak.

”Bisnis pengeboran minyak itu ciri-cirinya padat modal.

Reimbursement yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan dalam

rangka PSC atau kontrak bagi hasil. Syarat untuk memperoleh

reimbursment atau pengembalian (PMK Nomor 64/PMK.02/2005)

salah satu syaratnya yaitu diajukan ke BP Migas, setelah semua selesai

BP Migas mengajukan ke Dirjen Anggaran, setelah selesai baru

kemudian diajukan ke Dirjen Perbendaharaan yang nantinya akan

dicairkan. Syarat penting untuk mendapatkan reimbursment yaitu

harus ada SSP.”

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005 dijelaskan

mengenai definisi dari Kontrak Kerja Sama dalam pasal 1. PMK tersebut

menyebutkan bahwa:

“Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk Kontrak

Kerja Sama lain dalam kegiatan.eksplorasi dan ekploitasi yang lebih

menguntungkan Negara Republik Indonesia dan hasilnya

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Di dalam pasal 3 PMK No.64/PMK.02.2005 juga menjelaskan syarat-syarat

yang harus dipenuhi dalam memperoleh pembayaran kembali. Untuk memperoleh

pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap

dalam hal ini KKKS wajib menyampaikan permohonan kepada Badan Pelaksana.

Permohonan yang disampaikan oleh KKKS wajib dilengkapi dengan:

Universitas Indonesia

87

Page 103: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

a. Surat permohonan pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM dengan

mencantumkan:

1) Nomor dan tanggal Invoice;

2) Jumlah pembayaran kembali PPN dan atau PPn BM yang diajukan;

3) Nama bank, nama pemegang rekening dan nomor rekening Badan

Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan;

4) Daftar rekapitulasi Faktur Pajak atau dokumen lain yang diperlakukan

sebagai Faktur Pajak untuk masing-masing Kantor Pelyanan Pajak

dimana Rekanan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

b. Dokumen Perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku, yaitu:

1) Untuk pengadaan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP)

dimana jumlah pembayarannya lebih besar dari Rp10.000.000,- (sepuluh

juta rupiah) (termasuk PPN dan PPnBM) yaitu:

(i) Surat Setoran Pajak (SSP) Asli ( lembar ke-5) atau fotocopy

yang diberi cap dan tandatangan kantor penerima pembayaran untuk

SSP elektronik;

(ii) Faktur Pajak Asli atau dokumen lain yang diperlakukan sebagai

Faktur Pajak yang sudah dibubuhi cap.

Dengan adanya syarat mengenai keberadaan Surat Setoran Pajak (SSP)

tersebut, maka secara tidak langsung KKKS memerlukan SSP guna memperoleh

reimbursement dari Pemerintah. Jika menggunakan mekanisme umum pemungutan

PPN, maka SSP akan berada pada pihak PKP Rekanan. Dalam hal ini, KKKS pasti

mengajukan permintaan SSP tersebut kepada PKP Rekanan guna memenuhi syarat

dalam mengajukan reimbursement. Masih menurut Bapak Sumarno,

” Ketika terjadi mekanisme biasa (pemungut PPN pada umumnya) di

saat kontraktor membeli barang kepada vendor otomatis kontraktor

tidak memiliki SSP karena SSP dipegang oleh vendor. Padahal salah

Universitas Indonesia

88

Page 104: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

satu syarat untuk reimbursement adalah harus ada SSP sehingga

kontraktor harus meminta SSP tersebut kepada vendor.”

Berikut adalah skema mekanisme KKKS dalam rangka mengajukan

reimbursement kepada Pemerintah apabila menggunakan mekanisme pemungutan

PPN pada umumnya.

Gambar 5.3Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS Tanpa Status Pemungut PPN

Sumber: Olahan peneliti

Apabila menggunakan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya, alur yang

terjadi dapat di ilustrasikan sebagai berikut:

KKKS melakukan pembelian BKP atau JKP dari PKP. Dalam hal menerima

pembayaran harga perolehan, maka PKP bertindak sebagai pemungut PPN yang

dibayarkan oleh KKKS. Ketika KKKS membayar PPN kepada PKP, maka KKKS

akan mendapatkan bukti potong yang berasal dari PKP. Bukti potong ini nantinya

akan menjadi Pajak Masukan apabila dalam mekanisme pemungutan PPN secara

umum. Selanjutnya, PPN yang dipungut oleh PKP nantinya akan disetorkan ke kas

negara. Ketika menyetorkan kepada kas negara, maka PKP akan mendapatkan SSP

yang merupakan surat bukti bahwa PKP telah menyetorkan PPN yang dipungut dari

KKKS.

Jika dilihat dari sistem kontrak yang digunakan oleh pihak KKKS dengan

pemerintah, maka sistem yang digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil. Dalam

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005 menyebutkan bahwa semua

Penyerahan BKP dan atau JKP

Negara

PPN

PPNPKP KKKS

SSP

SSP

SSP sebagai syarat reimbursement

reimbursement

Universitas Indonesia

89

Page 105: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

PPN yang dibayar oleh KKKS kepada PKP akan dikembalikan kepada KKKS atau

disebut reimburse. Sepertu yang disampaikan oleh Bapak Sumarno, bahwa yang

menjadi syarat untuk memperoleh reimbursement adalah dengan adanya SSP. Jika

menggunakan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya, maka dipastikan pihak

KKKS harus meminta SSP kepada PKP yang melakukan penjualan BKP atau JKP.

Menurut Bapak Sumarno:

” Ya kalo bayarnya lancar. Bagaimana jika tidak dibayarkan oleh

vendor (PKP) kepada negara, kontraktor kan jadi repot untuk

mendapatkan reimburse.”

Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah memodifikasi mekanisme

pemungutan PPN dengan cara menunjuk KKKS sebagai pihak pemungut PPN.

Dalam mekanisme pemungutan PPN melalui pemungut, maka alur yang terjadi untuk

mendapatkan SSP bagi KKKS dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut.

Gambar 5.4Mekanisme Pengumpulan SSP oleh KKKS melalui Status Pemungut PPN

Sumber: Olahan peneliti

Dengan adanya mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut, pemerintah

berusaha memberikan kemudahan kepada KKKS dalam rangka mendapatkan SSP.

Dengan demikian, KKKS dapat dengan mudah memperoleh haknya dalam

mengajukan reimbursement kepada pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa upaya

pemerintah tersebut menambah kewajiban KKKS dalam bidang perpajakan. Namun,

bertambahnya kewajiban tersebut diimbangi dengan kemudahan KKKS dalam

memperoleh haknya.

Penyerahan BKP dan atau JKP

Negara

PPN

PKP KKKS

SSP

SSP sebagai syarat reimbursement

reimbursement

Universitas Indonesia

90

Page 106: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Dalam sejarah penunjukkan pihak-pihak sebagai Pemungut PPN, dapat

diketahui bahwa KKKS pernah tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN pada tahun

2003-2005. Dalam hal ini, KKKS mengalami hambatan dalam mengajukan

permohonan restitusi kepada Badan Pelaksana yaitu Badan Pelaksana Kegiatan

Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). Hambatan tersebut terjadi karena

KKKS harus mengajukan permohonan permintaan SSP dari rekanan. Sebagai

dampaknya, KKKS juga mengalami hambatan dalam mengajukan permohonan

pembayaran kembali PPN kepada pemerintah. Oleh karena itu, DJP berpendapat

bahwa KKKS mgalami hambatan terkait dengan reimbursement yang diajukan

sehingga Pemerintah mempertimbangkan menunjuk kembali KKKS sebagai

Pemungut PPN dengan latar belakang masalah pengumpulan SSP tersebut. Berikut

adalah kutipan pihak DJP:

” Di tahun 2003 kan kontraktor sempat tidak ditunjuk sebagai

pemungut, oleh karena itu kontraktor merasa kerepotan dalam

mengumpulkan SSP dari vendor. Setelah itu atas pertimbangan

tersebut munculah PMK 11 tahun 2005.”

Masih menurut analisis Senny Tussytha, penghapusan pemungutan PPN dan

PPnBM melalui KKKS memberikan dampak bagi penerimaan di Kantor Pelayanan

Pajak. Dari hasil yang dihitung dengan membandingkan besarnya jumlah lebih bayar

dan restitusi pada tahun 2003 dan 2004 oleh PKP Rekanan, maka disimpulkan oleh

Senny Tussytha bahwa potensi penerimaan Negara dari sektor pajak berkurang pada

tahun 2003 akibat banyaknya restitusi yang diajukan oleh PKP Rekanan. Sedangkan

di tahun 2004 ketika status Pemungut PPN pada KKKS dicabut, jumlah Wajib Pajak

yang mengajukan restitusi lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2003 dimana

KKKS masih ditunjuk sebagai Pemungut PPN dan PPnBM.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penunjukkan KKKS sebagai Pemungut PPN

dilatarbelakangi oleh:

1. Adanya sistem Kontrak Kerjasama (dalam hal ini yang digunakan adalah Kontrak

Bagi Hasil)

Universitas Indonesia

91

Page 107: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam

pengusahaan Minyak dan Gas Bumi telah membentuk Kontrak Kerjasama dalam hal

pengusahaan minyak dan gas bumi. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor

518/KMK.06/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2005,

disebutkan mengenai persyaratan yang wajib dipenuhi oleh KKKS dalam

mengajukan permohonan pembayaran kembali PPN dan atau PPnBM kepada Badan

Pelaksana. Dokumen perpajakan yang wajib disiapkan oleh KKKS adalah SSP, faktur

pajak asli, dan fotocopy tagihan rekanan.

Dengan adanya syarat tersebut, pemerintah merasa perlu menunjuk KKKS sebagai

Pemungut PPN dan PPnBM dengan tujuan memberikan kemudahan bagi KKKS

untuk mengajukan permohonan pembayaran kembali PPN dan PPnBM kepada BP

MIGAS. Dengan tidak ditunjuknya KKKS sebagai Pemungut PPN dan PPnBM pada

tahun 2003 hingga 2005 memberikan dampak bagi KKKS dimana pengumpulan SSP

harus melalui proses yang cukup sulit karena KKKS harus mengajukan permintaan

kepada PKP Rekanan. Di dalam pertimbangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

11/PMK.03/2005 juga siebutkan bahwa:

a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 27 dan Pasal 16A ayat (2) Undang –

undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Undang – undang Nomor 18 Tahun 2000, Menteri Keuangan berwenang

untuk menunjuk suatu badan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan

mengatur tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya;

b. Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan bagi Kontraktor Perjanjian

Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dalam melaksanakan

hak dan kewajiban perpajakannya, perlu menunjuk Kontraktor Perjanjian Kerjasama

Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan

Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya;

c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan b, perlu

menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian

Universitas Indonesia

92

Page 108: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk Memungut,

Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah Beserta Tata  Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.

2. Dalam rangka pengamanan penerimaan Negara, serta untuk memberikan

pembinaan guna peningkatan kemampuan Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya. Hal ini merupakan bentuk usaha pemerintah dalam

melindungi penerimaan Negara dari sektor pajak.

Latar belakang pertama kali adanya sistem pemungutan PPN melalui

Pemungut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1986. Dalam

Keputusan Presiden ini disebutkan bahwa:

a.untuk pengadaan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dibeli atau diterima

dari Pengusaha Kena Pajak, Pemerintah harus melunasi Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang, bersama-sama dengan

pelunasan jumlah uang yang ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak yang menjadi

rekanan Pemerintah untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

tersebut;

b. bahwa dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang, sebagian besar Pengusaha Kena Pajak

yang menjadi rekanan Pemerintah dipandang belum memungkinkan melakukan

sendiri penghitungan, pemungutan, dan penyetoran serta pelaporan Pajak

Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana

ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 beserta peraturan

pelaksanaannya;

c. bahwa sehubungan dengan hal itu, dalam rangka pengamanan penerimaan Negara,

serta untuk memberikan pembinaan guna peningkatan kemampuan Pengusaha Kena

Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dipandang perlu untuk menunjuk

Kantor Perbendaharaan Negara Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan

untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Universitas Indonesia

93

Page 109: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Atas Barang Mewah yang terhutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang menjadi

rekanan Pemerintah dengan Keputusan Presiden.

Di dalam huruf c disebutkan bahwa ditunjuknya pemungut PPN dalam rangka

pengamanan penerimaan Negara serta untuk memberikan pembinaan guna

peningkatan kemampuan PKP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini

dilatarbelakangi oleh adanya tax reform di tahun 1983 sehingga Pemerintah

mengganggap banyak wajib Pajak yang belum mampu melaksanakan kewajiban

perpajakannya dengan baik. Negara khawatir nantinya penerimaan Negara akan

berkurang karena Wajib Pajak belum terlalu memahami mekanisme PPN yang ada.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 berlaku dari tahun

2005 hingga tahun 2010. Di tahun 2010, PMK Nomor 11/PMK.03/2005 diubah

dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 dan berlaku sejak 1

April 2010. Menurut Bapak Sumarno selaku Staff Peraturan Perpajakan I Direktorat

Jenderal Pajak, perubahan tersebut merupakan pelaksanaan dalam rangka

menjalankan pasal 16 UU PPN no.42 tahun 2009. Isi dari pasal 16 A UU PPN No.42

Tahun 2009 adalah

”Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau

penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak

Pertambahan Nilai.”

Perubahan yang mendasar yaitu tentang saat pembuatan faktur pajak atas

pemungutan. Di dalam Undang-Undang PPN No.18 Tahun 2000 pasal 13 diatur

mengenai saat pemungutan dan pembuatan faktur pajak. Terdapat ketentuan yang

menyimpang dari ayat itu sendiri. Ketentuan ini yaitu Pengusaha Kena Pajak dapat

membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada

pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama

sebulan takwim. Dalam UU PPN No.18 Tahun 2000 ini, pembuatan faktur pajak

dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah penyerahan dalam hal belum

terjadi pembayaran. Namun, menurut pasal 3 disebutkan bahwa apabila pembayaran

Universitas Indonesia

94

Page 110: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena

Pajak, faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.

Di dalam perubahan ketiga UU PPN yaitu melalui Undang-Undang PPN Nomor 42

Tahun 2009, ditegaskan dalam pasal 13 bahwa terdapat 4 hal yang menjadi dasar

dalam pembuatan faktur pajak. Faktur pajak harus dibuat pada:

a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi

sebelum

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap

pekerjaan; atau

d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Satu hal yang berbeda dari Undang-Undang sebelumnya yaitu saat penyerahan. Di

dalam UU PPN No.42 Tahun 2009, ketika PKP melakukan penyerahan BKP dan atau

JKP maka pada saat penyerahan tersebut PKP wajib membuat faktur pajak. Berbeda

dengan UU PPN No.18 Tahun 2000 dimana pembuatan faktur pajak dilakukan paling

lambat pada akhir bulan berikutnya dalam hal belum terjadi pembayaran. Berikut ini

adalah table perbedaan mendasar dalam pasal 13 UU PPN Nomor 18 Tahun 2000

dengan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009.Tabel 5.1

Perbedaan Saat Pembuatan Faktur Pajak dalam Pasal 13 UU PPNPasal 13

UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 UU PPN Nomor 42 Tahun 2009

Saat pembuatan faktur pajak paling

lambat akhir bulan berikutnya setelah

penyerahan dalam hal belum terjadi

pembayaran

Saat pembuatan faktur pajak adalah pada

saat penyerahan Barang Kena Pajak dan

atau Jasa Kena Pajak

Sumber: Olahan peneliti

Jika dilihat, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 saat

pemungutan PPN dan PPnBM bagi KKKS adalah saat adanya pembayaran dari PKP

Rekanan. Dalam hal ini, PKP Rekanan paling lambat membuat faktur pajak pada

Universitas Indonesia

95

Page 111: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

akhir bulan berikutnya setelah penyerahan. Dengan demikian, apabila belum ada

pembayaran, maka KKKS belum memungut PPN dan atau PPnBM yang timbul

akibat transaksi yang terjadi. Saat pemungutan ini diatur dalam pasal 6 dimana

disebutkan bahwa saat pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan :

a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan

berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;

atau

b.pada saat melakukan pembayaran dalam hal :

1) pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan

Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak;

2) pembayaran dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa

Kena Pajak; atau

3) pembayaran dilakukan pada  saat yang sama dengan saat penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.

Pasal ini memberikan kesesuaian dengan pasal 13 dalam Undang-Undang PPN no.18

Tahun 2000 dimana saat pembuatan faktur pajak dapat dilakukan paling lambat akhir

bulan berikutnya setelah penyerahan dalam hal belum terjadi pembayaran.

Di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 saat

pemungutan PPN dan PPnBM bagi KKKS yang melakukan transaksi pembelian BKP

dan atau JKP dari PKP Rekanan dipungut pada saat penyerahan BKP dan atau JKP

diserahkan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 yaitu Pemungutan Pajak Pertambahan

Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

dilakukan paling lama pada saat:

a. penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

b.penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum

penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau

c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

Universitas Indonesia

96

Page 112: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Isi dalam pasal tersebut juga mencerminkan bahwa Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 73/PMK.03/2010 menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam pasal

13 tentang saat pembuatan faktur pajak Undang-Undang PPN.

Jadi dapat disimpulkan bahwa latar belakang diubahnya Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor

73/PMK.03/2010 adalah dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan ketiga atas Undang-Undang PPN Nomor 8

tahun 1983.

5.2 Analisis terhadap Implementasi Sehubungan dengan Adanya Perubahan Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan No.73/PMK.03/2010 bagi KKKS.

Jika dilihat mengenai masalah yang ditimbulkan dari implementasi sistem

pemungutan PPN melalui Pemungut PPN ini, ada beberapa penelitian dalam bentuk

skripsi maupun tesis yang membahas dan menganalisis mengenai dampak yang

ditimbulkan dari adanya mekanisme tersebut baik dari pihak KKKS, PKP Rekanan,

dan Pemerintah.

Di dalam Tesis yang disusun oleh Rafael Alun Trisambod FISIP UI tahun

2002 dianalisis mengenai jumlah kerugian Negara yang timbul karena keterlambatan

penyetoran pajak ke kas Negara oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil. Tesis tersebut

membahas mengenai ketentuan Pemungut PPN di tahun 2001 melalui Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemungutan,

Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah oleh Badan-Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sebelum berlakunya Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2005, pihak KKKS tidak ditunjuk sebagai

Pemungut PPN selama tahun 2003 hingga 2005. Sebelum kebijakan tersebut, terdapat

Keputusan Menteri Keuangan No.549/KMK.04/2000 dimana mekanisme

pemungutan PPN melalui Pemungut adalah sebagai berikut.

a. Pada saat PKP rekanan mengajukan tagihan, wajib membuat Faktur Pajak dan SSP,

dengan ketentuan:

Universitas Indonesia

97

Page 113: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

1. Faktur Pajak diisi dengan rangkap tiga;

2. SSP rangkap lima yang diisi adalah kolom identitas dan jumlah pajak terutang.

Sedangkan kolom lainnya tidak perlu diisi.

b. Pajak terutang pada saat pembayaran (bukan pada saat penyerehan)

c. Penyerahan kepada Pemungut PPN, atau pembayaran

d. Penyetoran wajib dilakukan oleh Badan tertentu paling lambat 15 hari setelah

bulan penyerahan tagihan (pelunasan hutang)

e. Badan tertentu wajib menyampaikan laporan menggunakan “Surat Pemberitahuan

Masa Bagi Pemungut PPN” yang dubuat dalam rangkap dua paling lambat pada hari

kedua puluh setelah bulan dilakukannya pembayaran.

Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan

penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak

Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya

hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu

menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan

menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan.

Dari penelitian ini di dapat salah satu contoh bahwa ketentuan yang terdahulu

mengenai Pemungut PPN hingga peraturan yang berlaku saat ini memiliki perbedaan

dalam isinya dan berbeda antara satu dengan yang lainnuya. Hingga saaat ini, sudah 5

kali perubahan ketentuan menganai Pemungut PPN dan PPnBM ini khususnya bagi

KKKS. Pada tahun 2003, KKKS tidak ditunjuk sebagai Pemungut dan di awal tahun

2005 KKKS ditunjuk kembai sebagai pemungut melalui Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 11/PMK.03/2005. Ketentuan ini berlaku hingga than 2010 dimana kemudian

diubah dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.

5.2.1 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005

Sejarah penunjukkan Pemungut PPN mengalami perjalanan yang cukup

panjang dan terjadi beberapa kali perubahan, baik dari segi pihak yang ditunjuk

sebagai Pemungut PPN maupun dari segi aturan pelaksaannya melalui Keputusan

Menteri Keuangan (KMK) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan

Universitas Indonesia

98

Page 114: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Menteri Keuangan No.11/PMK.03/2005 menyatakan bahwa Kontraktor Kontrak

Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKKS) ditunjuk kembali sebagai

Pemungut PPN. Penunjukkan kembali ini merupakan perubahan yang terjadi setelah

KKKS tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN selama jangka waktu 1 tahun yaitu pada

tanggal 1 Januari 2003 hingga 31 Desember 2004.

Peraturan Menteri Keuangan No.11/ PMK.03/2005 tentang Penunjukan

Kontrkator Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporannya terdiri dari 10 pasal yang mengatur mengenai ketentuan dalam

implementasi oleh KKKS.

Saat pemungutan PPN dan PPnBM terdapat pada pasal 6 ayat 1 yang berisi:

Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan paling lambat :

a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP

dan/atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya

setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP atau

b. Pada saat melakukan pembayaran dalam hal :

1) Pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan

BKP dan/atau JKP;

2) Pembayaran dilakukan sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP; atau

Pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan BKP

dan/atau JKP;

3) pembayaran dilakukan pada  saat yang sama dengan saat penyerahan Barang

Kena Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.

Saat penyetoran dan pelaporan PPN oleh KKKS juga diatur dalam pasal 6:

- Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

dipungut dilakukan paling lambat pada hari ke -15 (lima belas) bulan berikutnya

setelah bulan dilakukannya pemungutan.

 - Kontraktor wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah  yang dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

Universitas Indonesia

99

Page 115: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan melalui  Surat Pemberitahuan

Masa PPN bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai pada masa  pajak saat terjadinya

pemungutan, paling lambat pada hari ke 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah

bulan dilakukan pemungutan.

- Apabila hari ke-15 (lima belas) dan/atau hari ke-20 (dua puluh) bertepatan dengan

hari libur, maka saat penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau saat

pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pada hari kerja berikutnya.

- Termasuk hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah hari libur nasional

atau hari-hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sebagai pihak rekanan dari KKKS, saat pembuatan faktur pajak bagi rekanan

juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 pasal 5.

(1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak Standar untuk setiap penyerahan Barang

Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Kontraktor.

(2) Faktor Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibuat paling

lambat:

a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan

berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ataau Jasa Kena Pajak;

atau

b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal:

1) penerimaan pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;

2) penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau

Jasa Kena Pajak atau

3) Penerimaan pembayaran terjadi pada saat yang sama dengan saat penyerahan

Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Universitas Indonesia

100

Page 116: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Berikut ini adalah gambar saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN

oleh KKKS berdasarkan PMK No.11/PMK.03/2005

Gambar 5.5Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara dengan pihak KKKS

Berdasarkan gambar diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

PKP Rekanan dan KKKS saling menyepakati untuk menyerahkan barang yang dibeli

oleh pihak KKKS. Penyerahan barang dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2010.

Faktur pajak diterbitkan pada tanggal 20 Nopember 2010 (jangka waktu penerbitan

faktur pajak adalah akhir bulan berikutnya setelah terjadinya penyerahan menurut

pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005). Ketika faktur pajak

diterbitkan pada bulan Februari, maka saat itulah pihak KKKS melakukan

pemungutan PPN. Atas pemungutan ini nantinya akan disetorkan kepada kas negara

pada tanggal 15 bulan berikutnya. Dalam ilustrasi ini adalah pada tanggal 15

Desember 2010. Pelaporan atas pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada

tanggal 20 Desember 2010.

Jika dilihat dari ilustrasi di atas, KKKS berkewajiban memungut PPN dan

PPnBM pada saat terjadinya pembayaran oleh KKKS yaitu paling lambat saat faktur

pajak diterbitkan oleh pihak PKP Rekanan. Jika faktur pajak diterbitkan pada tanggal

20 Nopember 2010, maka KKKS harus menyetorkannya paling lambat tanggal 15

Desember 2010.

Universitas Indonesia

101

Page 117: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Menurut pihak KKKS, proses internal dalam melakukan verifikasi atas

dokumen-dokumen terkait dengan pembelian Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak adalah 30 hari.

” untuk proses internal dalam melakukan verifikasi sendiri, kita butuh

waktu rata-rata 30 hari karena butuh beberapa kali pengecekan ”

Hal yang sama juga disampaikan oleh pihak BP MIGAS. Kepala Sub Dinas Evaluasi

Kebijakan Pajak BP MIGAS mengatakan bahwa:

” dalam melakukan verifikasi tuh butuh waktu sekitar 10-30 hari. Tapi

kebanyakan 30 hari”

Melalui ilustrasi pada skema, terlihat bahwa waktu untuk verifikasi bagi

KKKS seharusnya adalah 30 hari. Namun sebelum 30 hari, tepatnya pada 25 hari

KKKS wajib menyetorkan PPN dan PPnBM kepada Pemerintah. Hal ini lah yang

patut dicermati. Masalah waktu verifikasi yang kurang menyebabkan pihak KKKS

menunda penyetoran yang berimplikasi pada sanksi administrasi sebesar 2 persen per

bulan dari PPN dan PPnBM yang terlambat disetor.

Di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi, yang disebut sebagai Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk

melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam hal ini, BP MIGAS merupakan Badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang

berstatus Badan Pelaksana. Tugas yang dimiliki oleh Badan Pelaksana terkait dengan

pengawasannya terhadap KKKS diatur dalam Bab IX Pasal 44, yaitu:

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal

penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; 

b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 

c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali

akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk

mendapatkan persetujuan; 

d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana

dimaksud dalam huruf c; 

Universitas Indonesia

102

Page 118: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 

f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan

Kontrak Kerja Sama; 

g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat

memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Berikut ini adalah alur KKKS dan Rekanan dalam melakukan penyerahan

hingga pelaporan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

11/PMK.03/2005.

Gambar 5.6Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan

Nomor 11/PMK.03/2005Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan

Dari skema diatas dapat dijelaskan contoh transaksi yang dilakukan salah satu pihak

KKKS. Suatu transaksi antara PKP Rekanan dan KKKS diawali dengan melakukan

serah terima barang atau jasa. Setelah terjadinya serah terima barang atau jasa, pihak

KKKS melakukan verifikasi nilai transaksi dan memproses Good Receipt/Service

Universitas Indonesia

103

Page 119: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

acceptance. Setelah proses tersebut selesai, maka KKKS akan menerbitkan Good

Receipt/Service acceptance kepada PKP Rekanan. PKP Rekanan wajib menyerahkan

Invoice lengkap dengan Faktur Pajak dan Service Acceptance / Good Receipt .

Setelah itu Faktur Pajak diserahkan kepada bagian keuangan untuk dilakukan

verifikasi dan pembukuan. Setelah selesai proses tersebut dan memastikan bahwa

tidak ada Faktur Pajak yang cacat, maka pihak KKKS menyetorkan PPN dan PPnBM

kepada Negara atas nama PKP Rekanan. SSP yang di dapat oleh KKKS diberikan

kepada PKP Rekanan sebagai bukti bahwa pihak KKKS telah menyetorkan PPN dan

PPnBM yang dipungutnya.

Dalam melakukan transaksi diatas, pihak KKKS memerlukan waktu 10

hingga 30 hari. Namun karena banyaknya transaksi yang terjadi, maka pihak KKKS

butuh waktu hingga 30 hari karena melewati beberapa tahap pengecekan. Menurut

staff bagian compliance KKKS, disebutkan bahwa

“ transaksi dengan vendor kan banyak sekali, jadi tidak bisa cepat

dalam proses validasi. Belum lagi kalau barangnya tidak sesuai dengan

pesanan. Biasanya memerlukan waktu yang lebih lama lagi”

Lamanya proses verifikasi yang dilakukan oleh KKKS berakibat pada munculnya

potensi keterlambatan penyetoran PPN dan PPnBM oleh KKKS. Seperti pernyataan

dari KKKS sendiri bahwa di dalam pelaksanaannya, pihak KKKS merasakan

kesulitan dalam implementasinya. Kesulitan tersebut disebabkan oleh hal berikut:

• Pada umumnya, faktur pajak rekanan diserahkan kepada KKKS bersama-

sama dengan invoice.

Hal ini jelas meberikan waktu yang sempit bagi KKKS untuk melakukan

validasi terhadap Faktur Pajak yang ada. Sebagai ilustrasi, jika penyerahan

dilakukan pada akhir bulan Januari. Dengan demikian, faktur pajak dan

invoice dikirimkan oleh PKP Rekanan kepada KKKS akhir bulan Februari.

Pihak KKKS harus menyetorkan PPN yang dipungutnya pada tanggal 15

bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa KKKS hanya memiliki waktu 15

hari dalam proses validasi. Padahal, jika melihat pendapat dari BP MIGAS

dan KKKS. Waktu itu sangatlah sempit untuk proses validasi karena

Universitas Indonesia

104

Page 120: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

bessarnya jumlah transaksi yang terjadi dan besarnya jumlah PPN dan

PPnBM yang dipungut oleh pihak KKKS.

• Invoice dan Faktur Pajak yang diterima oleh KKKS dari rekanan sering kali

lebih dari sebulan dari tanggal penyerahan BKP/JKP, walaupun tanggal di

Faktur Pajak tidak melebihi batas waktu penerbitan Faktur Pajak.

• jangka waktu pembayaran invoice yang umumnya berlaku di semua industri

adalah 30 hari setelah menerima invoice dari rekanan. Hal ini dimaksud untuk

memvalidasi apakah invoice benar dan FP tersebut cacat atau tidak.

• Tanggal dalam faktur pajak tidak secara otomatis mencerminkan bahwa pada

tanggal itu juga KKKS menerima faktur pajak dari rekanan.

• KKKS tidak bisa mengatur rekanan kapan tagihan harus dikirim kepada

KKKS.

5.2.2 Analisis atas Implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 73/PMK.03/2010 tentang Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama

Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang

Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan

Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PMK

ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Di dalam PMK ini memuat 11 Pasal

dimana yang akan menjadi focus analisis adalah saat pembuatan faktur pajak oleh

PKP Rekanan, saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh

KKKS.

Saat pemungutan PPN dan PPnBM diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang berisi:

“Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai

dan Pajak”

Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

dilakukan paling lama pada saat:

Universitas Indonesia

105

Page 121: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

a. penyerahan Barang Kena Pajak danl atau penyerahan Jasa Kena

Pajak;

b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi

sebelum penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum

penyerahan Jasa Kena Pajak; atau

c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian

tahap pekerjaan.

Saat penyetoran dan pelaporan PPN dan PPnBM juga diatur dalam pasal 7

ayat 2 sampai 4 yang berisi:

- Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib menyetorkan Pajak

Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama tanggal15

(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

- Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib melaporkan Pajak

Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor atau

Pemegang Kuasa/Pemegang Izin terdaftar paling lama pada akhir bulan berikutnya

setelah berakhirnya Masa Pajak.

- Pelaporan atas pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Sebagai pihak rekanan dari KKKS, saat pembuatan faktur pajak bagi rekanan

juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 pasal 6.

(1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena

Pajak danl atau Jasa Kena Pajak kepada Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang

Izin.

(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat:

a. penyerahan Barang Kena Pajak danl atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

Universitas Indonesia

106

Page 122: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

b. penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum

penyerahan Barang Kena Pajak danl atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau

c. penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

Berikut ini adalah gambar saat pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN

oleh KKKS berdasarkan PMK No.73/PMK.03/2010.

Gambar 5.7Mekanisme transaksi pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM oleh KKKS

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak KKKS

Berdasarkan gambar diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

PKP Rekanan dan KKKS saling menyepakati untuk menyerahkan barang yang dibeli

oleh pihak KKKS. Penyerahan barang dilakukan pada tanggal 30 April 2010. Faktur

pajak diterbitkan pada saat penyerahan sekaligus (jangka waktu penerbitan faktur

pajak adalah pada saat penyerahan menurut pasal 6 ayat 2 Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010). Ketika faktur pajak diterbitkan pada saat

penyerahaan, maka saat itulah pihak KKKS melakukan pemungutan PPN. Atas

Universitas Indonesia

107

Page 123: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

pemungutan ini nantinya akan disetorkan kepada kas negara pada tanggal 15 bulan

berikutnya. Dalam ilustrasi ini adalah pada tanggal 15 Mei 2010. Pelaporan atas

pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada tanggal 31 Mei 2010.

Berikut ini adalah alur KKKS dan Rekanan dalam melakukan penyerahan

hingga pelaporan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

73/PMK.03/2010.

Gambar 5.8Mekanisme KKKS dalam Proses Validasi Invoice Terkait dengan Peraturan Menteri keuangan

Nomor 73/PMK.03/2010Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan

Jika dilihat dari isinya mengeani saat pemungutan PPN, saat penyetoran PPN, saat

pelaporan PPN, saat penerbitan Faktur Pajak oleh PKP Rekanan, dan sanksi yang

diterima akibat keterlambatan penrbitan Faktur pajak, maka PMK 11/PMK.03/2005

mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan PMK 73/PMK.03/2010.

Perubahan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut.Tabel 5.2

Perubahan Ketentuan PMK 11 dengan PMK 73

Universitas Indonesia

108

Page 124: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

PMK 11/2005 PMK 73/2010 Catatan

Saat penerbitan FPAkhir bulan

berikutnya setelah

penyerahan

Pada Saat

penyerahan

Saat pemungutan

PPNSaat penerbitan FP

Pada saat

penyerahan

BKP/JKP

Saat Penyetoran

PPN

Tgl 15 bulan

berikutnya setelah

tanggal faktur

Tanggal 15

berikutnya setelah

masa pajak berakhir

UU 42/2009 :

akhir bulan

berikutnya &

sebelum

penyampaian SPT

Saat Pelaporan

Akhir bulan

berikutnya setelah

penyerahan

Akhir bulan

berikutnya setelah

penyerahan

Terlambat

menerbitkan FP

Sanksi denda 2%

dari DPPSanksi 2% dari DPP

Terlambat

menerbitkan lbh

dari 3 bln

dianggap tdk

menerbitkan

Sumber: Olahan Peneliti

Jika digambarkan melalui skema, perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

11/PMK.03/2005 menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010

dapat dilihat dalam skema berikut

Universitas Indonesia

109

Page 125: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Gambar 5.9Perbandingan Prosedur saat Pemungutan dan Penyetoran PPN antara Peraturan yang Dahulu

(PMK 11) dengan Peraturan Baru (PMK73).Sumber: Olahan peneliti berdasarkan wawancara mendalam dengan pihak Rekanan

Berdasarkan skema diatas, konsekuensi yang timbul adalah waktu untuk

menyetorkan PPN menjadi lebih sempit dari saat pemungutan PPN. Hal tersebut

membuat pihak KKKS semakin kesulitan dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peraturan pelaksana

melalui PMK 11/PMK.03/2005 telah memberikan kesulitan bagi KKKS dalam

pelaksanaannya. Dengan berlakunya peraturan baru melalui PMK 73/PMK.03/2010,

KKKS merasa semakin sulitnya melaksanakan kewajiban sebagai Pemungut PPN.

Seperti yang dikemukakan oleh salah satu pihak KKKS,

“kami tidak setuju dengan adanya PMK 73 ini. Yang benar saja, PMK 11 saja

kita sudah kerepotan. Ini muncul PMK baru yang jauh lebih menyulitkan

kami. Jika dilihat dari segi pelaksanaan, hal tersebut sangatlah mustahil untuk

dilakukan.”

Sama halnya dengan pendapat Kepala Sub Dinas Evaluasi Kebijakan BP MIGAS.

Beliau mengkritisi dalam hal saat pemungutan PPN dan mengatakan bahwa PMK 73

Serah Terima Barang/Jasa

Terbit Faktur Pajak dan InvoicePungut PPN

Setor PPN

Serah Terima Barang/Jasa

Terbit Faktur Pajak dan InvoicePungut PPN

PMK 11

PMK 73Setor PPN

JanuariFebruari Maret

Universitas Indonesia

110

Page 126: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

menimbulkan beban adminstrasi dalam pengimplementasiannya. Berikut pendapat

yang diutarakan.

“Transaksi yang dilakukan oleh KKKS kan dapat dianalogikan seperti kita

beli barang, contohnya handphone. Ketika kita beli handphone, apakah anda

mau sebelum barangnya di cek kualitasnya dan isinya tapi anda sudah

diharuskan membayar? Sama halnya dengan transaksi yang dilakukan oleh

KKKS. Dalam hal ini KKKS kan belum sempat validasi atas barang atau jasa

yang dibeli dari rekanan. KKKS belum mengetahui barang sudah sesuai atau

belum, cacat atau tidak tetapi sudah disuruh bayar PPN nya duluan.

Bagaimana jika terjadi retur? PKP Rekanan harus menerbitkan Faktur Pajak

Pengganti kan? Jelas menambah cost yang seharusnya tidak terjadi.”

Pelaksanaan PMK 73 ini menimbulkan konsekuensi bagi KKKS. Konsekuensi

tersebut antara lain:

1. KKKS mendapatkan sanksi denda karena keterlambatan penyetoraan PPPN dan

PPnBM.

Dalam pelaksanaan PMK 73 telah dibahas bahwa KKKS hanya memiliki

waktu yang sangat sempit dalam melakukan proses verifikasi invoice dan Faktur

Pajak. Hal ini lah yang dapat menimbulkan potensi keterlambatan penyetoran PPN

bagi KKKS. Dengan adanya keterlambatan penyetoran PPN, otomatis KKKS akan

mendapatkan sanksi denda sebesar 2 % dari nilai PPN yang terutang (Pasal 9 ayat 21a

KUP). Jika dilihat dari analisis tesis tahun 2002 yang ditulis oleh Rafael Alun

Trisambodo FISIP UI, maka sanksi bunga yang didapatkan dari KKKS dari dulu

sudah cukup besar akibat adanya keterlambatan dalam menyetorkan PPN dan

PPnBM. Hasil analisis Rafael menyebutkan bahwa 60,32% dari 315 transaksi yang

terjadi oleh tiga PKP Rekanan, KKKS terlambat menyetorkan PPN dan PPnBM yang

telah dipungut dari rekanannya. Berikut digambarkan perbandingan dan penjumlahan

lamanya keterlambatan yang ada agar dapt diperoleh gambaran berapa lama rata-rata

keterlambatan penyetoran yang dilakukan oleh KKKS

Universitas Indonesia

111

Page 127: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Tabel 5.3Keadaan Penyetoran PPN oleh KKKS

Indikator PT”A” PT”B” PT”C” Total %

Tepat

Waktu

9 48 68 125 39,68

Terlambat 19 142 29 190 60,32

Transaksi 28 190 97 315 100

Sumber: tesis Rafael Alun Trisambodo FISIP UI,2002

Analisis besarnya kerugian dilakukan dengan cara penggabungan tiga perusahaan

dengan rincian transaksi dan sanksi bunga yang harus dibayar. Diperoleh kerugian

Negara dalam tahun 2001 dari tiga rekanan yang pemungutan PPN dan PPnBM nya

dilakukan oleh KKKS adalah Rp 2.650.691.315,63 diperoleh dari penjumlahan nilai

PPN dan PPnBM yang belum disetor sebesar Rp 1.938.799.210,25 dan nilai sanksi

bunga tersebut sebesar Rp 711.892.105,38. Nilai kerugian yang besar tersebut hanya

dari tiga perusahaan dalam satu tahun. Dapat diperkirakan berapa total kerugian

Negara dengan asumsi hal yang sama dilakukan oleh KKKS.

Melihat besarnya nilai kerugian yang diambil dari hanya tiga rekanan, maka dapat

diperkirakan besarnya kerugian Negara yang timbul dari pelaksanaan pemungutan

PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh KKKS. Jumlah KKKS yang menjadi

pemungut ditambah dengan waktu penunjukan yang mulai dilakukan beberapa tahun

yang lalu sangat memungkinkan munculnya kerugian Negara.

Dari analisis tesis yang disusun dari Rafael tercermin bahwa sebelum adanya PMK

11 pun tingkat kepatuhan KKKS dalam hal penyetoran PPN sangatlah rendah.

2. Waktu Verifikasi

Waktu verifikasi atas invoice dan faktur pajak dari rekanan merupakan focus

masalah yang dihadapi oleh KKKS dalam pelaksanaan PMK 73 ini. Untuk

perbandingan, disaat berlakunya PMK 11, KKKS sudah merasa keberatan atau

kesulitan dalam pengimplementasiannya.. KKKS pernah memberikan masukan

melalui diskusi dengan pemerintah melalui IPA (Indonesia Petroleum Association).

Sesuai dengan pendapat saah satu staff di KKKS.

Universitas Indonesia

112

Page 128: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

“Kita sih udah pernah ngomong masalah PMK 11 ini dengan DJP.

Namun hingga diterbitkannya PMK 73, tidakada tanggapan dari

pemerintah.”

Sama halnya dengan pendapat salah satau pengurus Indonesian Petroleum

Association, beliau menyatakan:

“Sebagai gabungan dari KKKS yang ada,kami pernah melakukan

dialog dengan pemerintah terkait dengan PMK 11. hanya saja

pemerintah tidak memperdulikan masukan dan rasa kesulitan KKKS”

BP MIGAS sebagai manjemen dari KKKS juga menyampaikan hal yang serupa.

“Diskusi dengan pemerintah sih kami sudah pernah.pemerintah sih

tidak ada respon apa-apa. Mereka hanya beralasan bahwa mereka

hanya menjalankan aturan sesuai dengan Undang-Undang.

Jika ditinjau lebih jauh mengenai peraturan diatas Peraturan Menteri Keuangan yang

mengatur masalah tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan

PPnBM, maka dapat dilihat mengenai isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam

pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 143/2010 disebutkan bahwa pajak yang

terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan Pemerintah dalam hal ini memiliki kekuatan

hukum yag lebih kuat jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Jelas

sangatlah berbeda antara ketentuan yang disebutkan oleh Peraturan Pemerintah

dengan Perturan Menteri Keuangan.

Ketika dilakukan konfirmasi mengenai hal ini kepada DJP. Pihak staff Peraturan

Perpajakan I. Beliau menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000

memang saat ini masih berlaku dan bertentangan dengan PMK 73 yang telah

Universitas Indonesia

113

Page 129: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

diterapkan lebih dari setahun. Namun, pihak DJP hanya menjelaskan bahwa

Peraturan Pemerintah Nomor 143/2010 hanyalah berlaku bagi Bendaharawan dan

KPKN. Alasannya adalah pihak Bendaharawan dan KPKN belum mempunyai dana

pada saat melakukan pemesanan barang. Berbeda dengan KKS yang menurut pihak

DJP telah mempunyai anggaran yang cukup besar sehingga pemungutan PPN

dilakukan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.

Dapat diambil kesimpulan mengenai implementasi kebijakan terkait dengan

mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN, bahwa dalam pelaksanaannya

dari awal berlakunya mekanisme tersebut pada tahun 1986 hingga saat ini mengalami

banyak kendala dan masalah yang sebelumnya telah diuraikan melalui analisis

beberapa penelitian dalam skripsi maupun tesis. Jika dilihat dari asas ease of

administration, maka pelaksanaan kebijakan ini menimbulkan beban tersendiri baik

bagi pihak KKKS maupun rekanan. Dampak yang cukup besar dirasakan oleh kedua

pihak yang merupakan actor dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Tambahan biaya

dalam pelaksanaan sampai dengan sanksi bunga akibat keterlambatan penyetoran

PPN maupun keterlambatan pembuatan Faktur Pajak merupakan salah satu bentuk

dampak yang dirasakan oleh kedua pihak.

5.3 Kebijakan yang Sebaiknya Diberlakukan Bagi KKKS Sebagai Pemungut PPN Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakannya di Bidang PPN.

Di dalam pelaksaan mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut, KKKS

sebagai Pemungut PPN memiliki hubungan secara langsung terkait dengan transaksi

yang dilakukannya ketika melakukan pembelian barang atau jasa. Selain rekanan,

pihak pemerintah juga memiliki peran dalam membuat desain kebijakan dan Badan

Pelaksana dari KKKS yang memiliki wewenang penuh dalam hal manajemen.

Sebagai badan pembuat kebijakan, Direktorat Jenderal Pajak merupakan pihak yang

merancang kebijakan pajak bagi KKKS, sedangkan untuk badan pelaksana, BP

MIGAS mempunyai peran yang sangat sentral dalam memberikan persetujuan

seluruh kegiatan yang akan dilakukan oleh KKKS.

Desain kebijakan merupakan salah satu faktor penting yang harus

diperhatikan bagi Negara sebelum kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan.

Universitas Indonesia

114

Page 130: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Kebijakan yang kurang atau bahkan tidak tepat dapat mengakibatkan dampak yang

sangat buruk bagi Negara itu sendiri maupun rakyat sebagai subyek pelaksana

kebijakan. Kebijakan pajak dalam hal system pemungutan PPN melalui pemungut

telah diketahui merupakan kebijakan yang berbeda dari mekansime PPN pada

umumnya. Ketentuan mengenai peraturan pelaksananya maupun status sebagai

Pemungut sendiri telah mengundang banyak reaksi beberapa pihak yang terkait dalam

menjalankan kebijakan tersebut.

Telah dianalisis dalam bab sebelumnya bahwa banyak sekali kendala dan

masalah yang dihadapi oleh KKKS dalam menjalankan system pemungutan PPN

melalui Pemungut. Masalah ini terkait dengan aturan pelaksana yang dibuat oleh

peerintah dalam rangka menjalanankan system tersebut. Hingga saat ini telah

beberapa kali terjadi perubahan tentang tata cara pemungutan, penyetoran, dan

pelaporan PPN oleh KKKS sebagai Pemungut. Peraturan pelaksana yang berlaku saat

ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010.

Menurut pihak KKKS sebagai subyek utama dalam pengimplementasian,

kebijakan yang terbaik bagi KKKS adalah tetap berlakunya mekanisme pemungutan

PPN melaluyi Pemungut PPN. Namn pihak KKKS berpendapat bahwa peraturan

pelaksana yang berlaku saat ini menimbulkan beban adminsitrasi yang cukup besar

untuk dilaksanakan. Maka dari itu, KKKS berharap agar peraturan pelaksana

mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang dilakukan oleh

KKKS kembali kepada peraturan pelaksana yang terdahulu. Peraturan pelaksana yang

dimaksud adalah Keputusan Menteri Keuagan Nomor 549/KMK.04/2000 tentang

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewaholeh Badan-Badan Tertentu Sebhagai Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai. Berikut adalah pendapat dari KKKS dalam menentukan

kebijakan yang terbaik bagi pihaknya sendiri sebagai Pemungut PPN.

“Kalau tentang kebijakan yang paling baik sih kami maunya kembali

ke peraturan pelaksana di tahun 2000 melalui KMK 549 dimana saat

pemungutan PPN terjadi pada saat KKKS melakukan pembayaran atas

tagihan dari vendor”

Universitas Indonesia

115

Page 131: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Di dalam peraturan pelaksana ini dijelaskan dalam pasal 5 bahwa:

- Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara pemotongan

secara langsung dari pembayaran atas tagihan rekanan

- Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

yang terutang dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan

terjadinya pembayaran tagihan

- Dalam hal hari kelima belas jatuh pada hari libur maka saat penyetoran

dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Penerapan KMK No. 549/KMK.04 tahun 2000 memberikan keuntungan bagi KKKS

dalam beberapa hal antara lain:

1. KKKS tetap berstatus sebagai Pemungut PPN.

Hal ini memberikan keuntungan bagi KKKS dalam hal pengumpulan SSP dari

rekanan. Dengan adanya status pemungut PPN, SSP akan langsung didapatkan oleh

KKKS ketika menyetorkan PPN yang telah dipungut kepada Negara. Kemudahan

dalam memperoleh SSP inilah yang merupakan keuntungan bagi KKKS karena

sebagaimana yang telah dalam analisis bab sebelumnya, KKKS memerlukan SSP

sebagai suatu syarat dalam mengajukan reimbursement kepada Pemerintah.

2. KKKS mempunyai waktu yang cukup lama dalam melakukan verifikasi terhadap

invoice dan faktur pajak.

Hal ini terjadio karena dalam KMK Nomor 549/KMK.04/2000 saat pemungutan PPN

adalah pada saat pembayaran yang dilakukan oleh KKKS atas tagihan dari rekanan.

Dalam hal belum terjadi pembayaran, maka PPN belum dipungut oleh KKKS.

3. KKKS mempunyai waktu untuk menyetorkan PPN setelah terjadinya

pemungutan.

Dalam hal penyetoran PPN kepada Negara atas PPN yang dipungut dari rekanan,

KKKS memiliki waktu sesuai dengan pasal 5 KMK Nomor 549/KMK.04/2000 yaitu

paling lambat 15 (lima belas) hari setelah bulan terjadinya pembayaran tagihan.

Universitas Indonesia

116

Page 132: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

jika dilihat dari sudut pandang BP MIGAS sebagai Badan Pelaksana kegiatan

hulu migas di Indonesia, kebijakan yang dapat meberikan solusi antara lain:

1. Kembali pada sistem “cash basis” dalam menentukan saat pemungutan PPNB

bagi KKKS

Dalam menentukan saat pemungutan PPN oleh KKKS, BP MIGAS menganggap

bahwa sistem cash basis merupakan yang terbaik karena hal tersebut sesuai dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000 dimana disebutkan dalam pasal 10 bahwa:

“Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau

Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut

pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.”

Menurut pihak BP MIGAS, seharusnya peraturan pelaksana terhadap KKKS

juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 143/2000 tersebut. Dengan

demikian tidak terjadi tumpang tindih karena di dalam PMK 73 yang sekarang

berbeda dengan Peraturan Pemerintah No 143.

2. Pemerintah menacbut mekanisme pemungutan PPN melalui Pemungut PPN

Dalam hal ini, status badan pemungut tidak lagi diberikan kepada KKKS.

Namun konsekuensi yang harus diperhatikan adalah mengenai SSP yang akan

diguinakan oleh KKKS dalam mengajukan reimbursement.

3. Peraturan pelaksana bagi KKKS dalam mekanisme pemungut PPN disamakan

dengan peraturan pelaksana badan Pemungut PPN lainnya seperti Bendaharawan

dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Menurut pandangan dari pihak PKP Rekanan sendiri, PMK 11 dirasakan sudah

cukup baik dalam pelaksanaannya. Rekanan merasa masih mampu untuk

menjalankan peraturan pelaksana berdasarkan PMK 11 ini karena pihak rekanan

beralasan bahwa mereka masih meliliki waktu dalam menerbitkan faktur pajak.

Didalam implementasinya, seringkali pihak rekanan terlambat dalam menerbitkan

faktur pajak kepada KKKS. Hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan Service

Acceptance atau Good Received dari KKKS atas barang atau jasa yang diberikan.

Universitas Indonesia

117

Page 133: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Berikut pernyataan dari rekanan KKKS dalam wwancara mendalam.

“untuk kebijakan yang terbaik sih balik ke PMK 11 ya, karena dalam

PMK 11 pelaksanaannya masih memungkinkan. Berbeda dengan

PMK 73 yang menimbulkan beban adminstrasi dalam

implementasinya. Rekanan kan jadi serba salah jika harus menerbitkan

Faktur Pajak sedangkan Service Acceptance atau Good Received

belum di terima dari KKKS.”

Dari beberapa pandangan dan pendapat dari 3 pihak yaitu KKKS, BP MIGAS,

dan Rekanan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada yang memberikan pendapat

untuk tetap melaksanakan ketentuan PMK 73. Peraturan pelaksana yang dianggap

paling baik dan nyaman dalam pelaksanaannya adalah dengan kembali menerepkan

beberapa peraturan pelaksana terdahulu atau mencabut mekanisme pemungutan PPN

melalui Pemungut PPN itu sendiri. Dengan demikian, jika ditinjau dari legal

character PPN, maka hal tersebut tidak menyimpang dan akan berjalan sesuai dengan

teori PPN yang berlaku umum.

Universitas Indonesia

118

Page 134: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Setelah melakukan analisis pada bab V, maka sampailah penulis pada

penarikan kesimpulan. Sebelum kesimpulan diperoleh penulis menjelaskan bahwa

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 merupakan peraturan

pelaksana dari adanya mekanisme pemungutan PPN oleh Pemungut. Adanya

peraturan pelaksana tersebut merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 11/PMK.03/2005. Sebelumnya, terdapat peraturan pelaksana yang terlebih

dahulu mengatur tentang Pemungut PPN. Adapun kesimpulan dari hasil analisis

skripsi ini adalah:

1. Kebijakan pemungutan PPN melalui Pemungut dijalankan tidak selaras

dengan Legal Character PPN itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan

bertambahnya beban administrasi pajak bagi KKKS karena diperlukan

tenaga tambahan dalam rangka pengimplementasianya. Peraturan pelaksana

dalam mekanisme ini mempunyai perbedaaan dalam pelaksanaannya.

Namun yang patut dicermati adalah mengenai dasar hukum yang digunakan

oleh mekanisme ini disamakan dengan mekanisme pemungutan PPN pada

umumnya yang mengenal adanya Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.

Dasar hukum tersebut adalah pasal 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan

Nilai yang mengatur tentang saat pembuatan faktur pajak. Penunjukkan

KKKS sebagai Pemungut PPN dilatarbelakangi oleh beberapa faktor

diantaranya adanya sistem Kontrak Kerjasama (dalam hal ini yang

digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil), dalam rangka pengamanan

penerimaan Negara, serta untuk memberikan pembinaan guna peningkatan

kemampuan Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya. Sedangkan perubahan terakhir dimana PMK 11 diubah

menjadi PMK 73 pada tahun 2010 dilatarbelakangi oleh perubahan ketiga

Universitas Indonesia

119

Page 135: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

pada Undang-Undang PPN pada tahun 2009. Dengan demikian, perubahan

ini bertujuan untuk menyesuaikan isi dari Undang-Undang PPN itu sendiri.

2. Seperti yang dikatakan oleh Udoji, implementasi kebijakan merupakan

aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan pemerintah. Dalam

hal ini yang sangat erat terkait dengan implementasi adalah administrasi

pajak. Kegiatan administrasi perpajakan merupakan suatu proses yang

mencakup semua kegiatan untuk melaksanakan berbagai fungsi administrasi

perpajakan, seperti mendaftarkan wajib pajak, menyediakan surat

pemberitahuan pajak, mengeluarkan surat ketetapan pajak, menagih pajak

yang terutang, menyelesaikan sengketa dengan wajib pajak, serta

menghapuskan utang pajak. Administrasi perpajakan wajib mengacu kepada

hukum pajak positif, yaitu hukum pajak yang sedang berlaku. Perubahan

mengenai peraturan pelaksana dalam mekanisme pemungutan PPN melalui

Pemungut PPN tercatat telah terjadi 5 kali. Menurut beberapa penelitian

yang dilakukan untuk menganalisis masalah yang ada dalam hal pemungut

PPN didapatkan bahwa mekanisme ini menimbulkan suatu masalah dari

beberapa aspek. Dalam pelaksanaannya dari awal berlakunya mekanisme

tersebut pada tahun 1986 hingga saat ini mengalami banyak kendala dan

masalah yang sebelumnya telah diuraikan melalui analisis beberapa

penelitian dalam skripsi maupun tesis. Jika dilihat dari asas ease of

administration, maka pelaksanaan kebijakan ini menimbulkan beban

tersendiri baik bagi pihak KKKS maupun rekanan. Dampak yang cukup

besar dirasakan oleh kedua pihak yang merupakan aktor dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut. Tambahan biaya dalam pelaksanaan sampai dengan

sanksi bunga akibat keterlambatan penyetoran PPN maupun keterlambatan

pembuatan Faktur Pajak merupakan salah satu bentuk dampak yang

dirasakan oleh kedua pihak.

3. Dari beberapa pandangan dan pendapat dari 3 pihak yaitu KKKS, BP

MIGAS, dan Rekanan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada yang

memberikan pendapat untuk tetap melaksanakan ketentuan PMK 73.

Universitas Indonesia

120

Page 136: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Peraturan pelaksana yang dianggap paling baik dan nyaman dalam

pelaksanaannya adalah dengan kembali menerepkan beberapa peraturan

pelaksana terdahulu atau mencabut mekanisme pemungutan PPN melalui

Pemungut PPN itu sendiri. Dengan demikian, jika ditinjau dari legal

character PPN, maka hal tersebut tidak menyimpang dan akan berjalan

sesuai dengan teori PPN yang berlaku umum.

6.2 Saran

Setelah mengambil kesimpulan atas analisis yang telah dilakukan, maka

terdapat beberapa saran yang ingin penulis sampaikan terkait dengan hasil penelitian

ini. Saran- saran tersebut adalah:

1. Kebijakan pemungutan PPN melalui Pemungut PPN merupakan

kebijakan yang mengesampingkan legal character dari PPN sendiri. Hal ini

lah yang membuat berbagai permasalahan timbul karena pemerintah masih

belum dapat menerpakan mekanisme tersebut secara optimal melalui

ketentuan-ketentuan khusus. Masih terdapat ketentuan yang mangacu pada

ketentuan PPN yang sesuai dengan legal character PPN. Hal ini lah yang

seharusnya diperhatikan pemerintah, jika ingin menerapkan mekanisme

khusus, maka ketentuan dan perlakuannya harus sekhusus mungkin dan tidak

adanya tumpang tindih antara dasar hukum yang mengatur.

2. Untuk implementasinya, seharusnya pemerintah memberikan beberapa

perubahan peraturan pelaksana yang dapat memberikan kenyamanan bagi

KKKS maupun pihak-pihak yang terkait. Dengan demikian, kepatuhan

perpajakan dapat meningkat dan pada akhirnya penerimaan Negara dari sektor

pajak akan menungkat pula.

3. Kebijakan yang terbaik tentunya harus di implementasikan melalui

peraturan pelaksana dibawahnya agar berjalan efisien dan mencapai tujuan

dari kebijakan itu sendiri. Sebaiknya pemerintah mengkaji lagi mengenai

peraturan pelaksana terkait Pemungut PPN khususnya KKKS. Mengingat

KKKS adalah pihak independen yang berjalan di bawah manajemen

Universitas Indonesia

121

Page 137: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pemerintah. PMK 73 harus di analisis dan di lihat ulang agar dapat

memberikan solusi terbaik bagi semua pihak khususnya KKKS.

Universitas Indonesia

122

Page 138: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Aaron, Henry, VAT: Experience of Some European Countries, Deventer: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1982.

Brotodiharjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung :Refika Aditama, 1998.

Cobham, Alex, Taxation Policy and Development , England: The Oxford Council on Good Governance, 2005.

Creswell, John. W, Research Design: Qualitative and Quantitative Approach, SAGE Publications,1994.

Dunn, William, Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition (Terjemahan), Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003.

Dwidjowijoto, Riant Nugroho, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang: Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006.

Euman, W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 3rd ed, Boston: Allyn and Bacon, 1997.

---------------------------------, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 4th ed, USA: Allyn and Bacon, 2000.

Husein, Umar, Metode Riset Ilmu Administrasi, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2004.

Liam, Ebrill, dkk, The Modern VAT, Washington D.C : International Monetary Fund, 2001.

Machmud, Tengku Nathan, The Indonesian Production Sharing Contract: An Investor’s Perspective, Kluwer Law International, 2000.

Madjedi, Hasan. Indonesia’s Petroleum Contracts – Issues And Challenges, Presented at One Day PSC International Conference, Jakarta, 2001

Mansury R, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta,: Ind-Hill Co, 1996.

---------------, Kebijakan Fiskal, Jakarta: YP4, 1999.

Universitas Indonesia

123

Page 139: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Marsuni, Lauddin, Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2006.

Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2000.

Musgrave and Musgrave, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Edisi Kelima, Jakarta : alih bahasa Alfonsus Sirait, Penerbit Erlangga , 1993.

Nasution, Prof. Dr. S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

Parsons, Wayne, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Predana Media,2005.

Rosdiana dan Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Slemrod and Bakija, Taxing’s Ourselves: A Citizen’s Guide To The Great Debate Over Tax Reform, England: The Massachusetts Institute Of Technology, 1996.

Soemitro, Rochmat , Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT. Eresco, 1986.

Suandy,Early,Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, 2000.

Surahmat, Rachmanto, Bunga Rampai Perpajakan, Jakarta: Salemba Empat, 2007

Sukardji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2003..

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilniah Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsico), 1982.

Tait, Alan, Value Added Tax: International Practice and Problems, Washington DC: International Monetary Fund, 1988.

Tangkilisan, Hessel, Kebijakan Publik yang Membumi, Yogyakarta: YPAPI, 2003.

Universitas Indonesia

124

Page 140: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Terra, Ben, Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in The European Community, Deventer-Boston, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1988.

Thoha, Miftah , Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.

Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan, Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Penebit Bumi Aksara, Jakarta, 1997.

Peraturan Perundang-Undangan :

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009

Tanggal 15 Oktober 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

-----------------------, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,

Bab 1, Pasal 1.

-----------------------, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan

Gas Bumi.

-----------------------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.03/2005 Tanggal

31 Januari 2005 tentang Penunjukan Kontraktor Perjanjian Kerjasama

Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Untuk Memungut,

Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

Atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporannya.

-----------------------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 /PMK.03/2010 Tentang

Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas

Bumi dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan

Universitas Indonesia

125

Page 141: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Sumber Daya Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporannya.

Sumber Lainnya:

Merryana, Rosa A (2006). Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006, 104,106

www.fiskal.depkeu.co.id

Nasution, Sakti, Pajak dan Peningkatan Kemampuan Inovasi Badan Usaha, Gagasan Hukum, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/08/02/pajak-dan-peningkatan kemampuan-inovasi-badan-usaha/ ,

www.mediaindonesia.com

Pemungut PPN dan PPnBM, diakses dari

http://www.klinik-pajak.com/2010/pemungut-ppn-dan-ppnbm.html,

Indonesian Tax Review,volume II, edisi 22, tahun 2010

Indonesian Tax Review, Volume II, Edisi 12, 2009.

PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide,

2010

Draft Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) BP Migas

http://jurnalskripsi.com/analisis-perhitungan-pajak-penghasilan-pada-perusahaan-

minyak-dan-gas-bumi-yang-melakukan-kontrak-production-sharing%E2%80%9D-

studi-kasus-pada-but-%E2%80%9Cx%E2%80%9D-2-pdf.htm

Universitas Indonesia

126

Page 142: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Nasution, Sakti, Pajak dan Peningkatan Kemampuan Inovasi Badan Usaha, Gagasan

Hukum, diakses dari http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/08/02/pajak-dan-

peningkatan kemampuan-inovasi-badan-usaha/,

http://rubahpertapa.wordpress.com/

Universitas Indonesia

127

Page 143: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Irfan PradanaJenis Kelamin : Laki-lakiTempat Tanggal Lahir: Bogor, 21 Juni 1989Agama : KatolikAlamat : Kebon kelapa no. 4 BogorNomor Handphone : 085311506591

Pendidikan Formal

2004 – 2007 SMA Regina Pacis BogorJl. Ir. H. Juanda No.2, Bogor

2001 – 2004 SLTP Regina Pacis BogorJl. Ir. H. Juanda No.2, Bogor

1996 – 2001 SDK Santo Yusup SurabayaSD Mardi Yuana Bogor

Pengalaman Kerja

January 2011- present Junior Consultant (Transfer Pcring Division)PB TaxandMenara Imperium, 27th Fl.Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 1Jakarta 12980 Indonesia

June – September 2010 Internship – Tax DepartmentBritish Petroleum IndonesiaPerkantoran Hijau Arkadia, Tower EJl. TB. Simatupang, Kav.88Jakarta 12520

May – June 2010 Internship as Junior AuditorKantor Akuntan Publik Drs. IrwantoBbd Plaza 17th floorJalan Imam bonjol no.31Jakarta Pusat

July – September 2008 Bank Danamon, Tbk Marketing Division - Marketing staffMarketing FreelanceJl. Raya TajurBogor

128

Page 144: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

LAMPIRAN 1

WAWANCARA DENGAN PIHAK DIREKTORAT JENDERAL PAJAKNarasumber : Bapak SumarnoJabatan : Staff Subdit Peraturan PPN Industri Direktorat Peraturan Perpajakan ITanggal : 31 Mei 2011, pukul 14.00 WIB

1. Bagaimana sejarah pemungutan PPN melalui Pemungut di Indonesia?

Di Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1983 belum ada aturan mengenai Pemungut PPN, tetapi waktu itu sudah ada mekanisme mengenai Pemungut PPN yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 1986 tentang Penunjukkan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) untuk Memungut dan Menyetorkan PPN yang dibayarkan oleh Pemerintah atas Penyerahan BKP dan atau JKP dari PKP Rekanan Pemerintah.Setelah itu terdapat perluasan terhadap pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN, di tahun 1988 diterbitkan Keppres Nomor 56 tahun 1988 sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 1986, yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Kantor Perbendaharaan Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Tingkat I maupun Tingkat II, Pertamina, Kontaktor-Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya di Bidang Minyak dan Gas Bumi dan Pertambangan Umum Lainnya, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah, Bank Pemerintah, dan Bank Pembangunan DaerahDengan diamandemennya Undang Undang PPN yang pertama tahun 1994 baru diatur masalah pemungut PPN dalam pasal 16A. Sekarang bunyinya tidak berubah sampai perubahan yang ke 2 tidak berubah.Undang Undang PPN tahun 1994 ini mulai berlaku tahun 1995. Hingga tahun 2000, belum ada peraturan pelaksana untuk pasal 16A itu. Jadi masih menggunakan KMK 1289. Artinya di atas KMK 1289 itu dibuatkan payung hukum agar relevan karena peraturan tertinggi adalah Undang-Undang. Jika peraturan pelaksanaannya melalui Keppres dianggap kurang kuat dasar hukumnya. Kemudian pasal 16A ini baru dibuatkan aturan pelaksaan di tahun 2000. Tahun 2000 itu keluar 3 (tiga) KMK yaitu KMK No. 547,548, dan 549 tahun 2000. KMK 547 itu yang pertama memuat badan-badan yang ditunjuk dalam KMK 1289 yang sebelumnya tetap ditunjuk sebagai pemungut PPN. KMK 547 ini hanya pernunjukannya saja, kemudian tata caranya diatur di KMK 548 dan KMK 549, 548 untuk Bendaharawan dan KPKN, utuk yang 549 itu untuk selain Bendaharawan Pemerintah berarti seperti kontraktor-kontraktor bagi hasil. Pada pasal 16A ini aturan pelaksanaannya baru keluar tahun 2000, sedangjkan di tahun 2000 kan muncul perubahan yang kedua Undang Undang PPN. Untuk Undang Undang PPN yang tahun 2000 itu aturan pelaksanaannya tetap menggunakan KMK yang dibuat tahun 2000.

129

Page 145: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

Di tahun 20003, diberlakukan KMK No. 563, di KMK 563 ini yang ditunjuk sebagai pemungut PPN Cuma bendaharawan dan KPKN. KMK 563 ini secara otomatis mencabut KMK 547,548 dan 549 sehingga semua kontraktor bagi hasil dan pertambangan tidak ada yang ditunjuk sebagai pemungut PPN. Kemudian sampai tahun 2005, diberlakukan PMK 11 yang kontraktor migas itu ditunjuk lagi tapi hanya untuk kontrak bagi hasil, yang kontrak karya itu tidak ditunjuk lagi. Hingga saat ini, peraturan pelaksana yang terakhir adalah PMK No.73 tahun 2010 yang berlaku sejak bulan april 2010 lalu.

2. Apakah latar belakang ditunjuknya KKKS sebagai Pemungut PPN?

Menurut saya, latar belakang yang paling penting yaitu di masalah SSP ini. Untuk bendaharawan termasuk dalam badan pemerintah sehingga memang latar belakang paling penting adalah untuk mengamankan pernerimaan Negara, sedangkan untuk kontraktor berbeda satu sama lain dan bukan merupakan badan Negara. Sebenarnya tidak masalah jika kontraktor tidak ingin ditunjuk sebagai pemungut PPN lagi, justru dengan adanya PMK ini DJP mempunyai tugas tambahan. Bagi vendor sebagai PKP dalam mekanisme umum ketika dia melakukan penjualan dan pembelian otomatis PK nya akan selalu lebih besar karena PK nya yang lebih besar menunjukkan bahwa vendor ini memiliki margin keuntungan. Dalam PK tersebut terdapat unsur laba.

3. Apakah yang membedakan KKKS dengan badan pemungut lainnya?

Sebenarnya sama saja. Pemerintah menunjuk bendaharawan, KPN, dan Badan-Badan tertentu sebagai pemungut PPN. Yang membedakan antara KKKS dengan badan pemungut lainnya hanyalah pada peraturan pelaksananya.

4. Bagaimana perlakuan masing-masing Pemungut PPN dalam menjalankan kewajiban perajakannya?

Dalam menjalankan kewajibannya, pastilah terdapat perbedaan antara KKKS dengan badan pemungut lainnya. Hal ini terjadi karena peraturan pelaksananya juga berbeda.

5. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK No.11 tahun 2005?

Mengenai PMK No.11, pihak KKKS pernah menyampaikan masukan dan keluhan yang dirasakan dalam pelaksanaanya. Menurut mereka, masalah utama yang dihadapi adalah waktu verifikasi. Pihak KKKS menganggap tidak

130

Page 146: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

memiliki cukup waktu yang banyak dalam melakukan verifikasi terhadap invoice dan faktur pajak.Namun sebenarnya hal tersbut dapat diatasi dengan melakukan proses verifikasi sejak barang di pesan. Jadi seharusnya KKKS mengecek dulu ke tempat penjual yang mau menjual barangnya. Dengan demikian, proses verifikasi dapat berjalan lebih cepat.

6. Apakah pemerintah pernah melakukan pertemuan dengan KKKS terkait dengan PMK 11?

Pihak KKKS melalui IPA (Indonesian Petroleum Association) pernah melakukan pertemuan untuk membahas masalah ini.

7. Apakah latar belakang diubahnya peraturan pelaksana melalui PMK 11 menjadi PMK 73 di tahun 2010?

Latar belakang diubahnya peraturan pelaksana dari PMK 11 menjadi PMK 73 adalah bersumber pada peubahan Undang-Undang PPN yang ketiga yaitu Undang-Undang No. 42 tahun 2009. hal mendaar yang diubah dalam Undang-Undang baru ini adalah saat pembuatan faktur pajak dalam pasal 13 yang menyebutkan bahwa saat pembuatan faktur pajak adalah pada saat penyerahan barang. Dengan demikian, PMK 11 diubah menjadi PMK 73 yang secara langsung menyesuaikan dengan Undang-Undang PPN tahun 2009.

8. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan penerapan PMK 73 terhadap KKKS?

Dalam pelaksanaannya, memang KKKS juga pernah memprotes kebijakan ini. menurut mereka PMK 73 memberikan mekanisme yang lebih menyulitkan KKKS dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pemungut. Maalah yang masih dibawa yaitu tentang verifikasi terhadap faktur pajak dan invoice yang lebih sedikit.

9. Apakah pemerintah pernah melakukan pertemuan dengan KKKS terkait dengan PMK 73?

Untuk PMK 73 juga pernah dibahas dengan KKKS. Namun, hingga sekarang masih dalam proses kajian oleh DJP.

10. Mengapa ketentuan PMK 73 tidak dicabut?

Nanti kontraktor pada protes, ini kan sebenarnya dalam rangka keinginan kontraktor migas. Pmk 73 ini dilakukan dalam rangka melaksanakan

131

Page 147: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

perubahan Undang Undang PPPN yang kedua tahun 2000 kemudian tahun 2009 muncul perubahan Undang Undang PPN yang ketiga melalui Undang Undang No. 42 tahun 2009. Ada perubahan-perubahan salah satunya adalah mengenai saat pembuatan faktur pajak dalam pasal 13.Mengapa PMK 11 ini diganti menjadi PMK 73, sebeneranya keduanya sama-sama dalam rangka menjalankan pasal 16A. Mengapa diubah menjadi PMK 73 karena dalam rangka melaksanakan perubahan Undang Undang PPN yang ketiga, salah satu perubahan yang mendasar yaitu tentang saat pembuatan faktur pajak atas pemungutan. Ketika PKP melakukan penyerahan barang, dia melakkan pemugutan PPN dengan membuat faktur pajak

132

Page 148: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

LAMPIRAN 2

WAWANCARA DENGAN PIHAK KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA

PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Narasumber : Deviyana Arifin

Jabatan : Tax Staff

Tanggal : 15 April 2011, pukul 14.00 WIB

Lokasi : Gedung Perkantoran Hijau Arkadia Jakarta Selatan

Status WAPU (Wajib Pungut)

1. Bagaimana pandangan KKKS terhadap status WAPU yang telah diberikan oleh pemerintah?

Menurut kami, status WAPU yang telah diberikan kepada kami memberikan tambahan beban administrasi dalam pelaksanaannya karena dengan adanya status WAPU ini KKKS merasa kesulitan dalam melaksanakan peraturan pelaksana terkait dengan pemungut PPN. Dengan status WAPU ini, maka KKKS memiliki tambahan tanggung jawab dalam hal pemungutan PPN.

2. Kewajiban perpajakan apa yang harus dipenuhi oleh KKKS sebagai pemungut PPN?

Dengan adanya status WAPU ini, KKKS berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang dipungut dari pihak rekanan. Berbeda dari system pemungutan PPN pada umumnya dimana tanggung jawab tersebut berada di pihak penjual. Sebagai pihak pemungut PPN, maka tanggung jawab itu beralih kepada KKKS yang merupakan pembeli dari barang dan jasa dari rekanan.

3. Dampak positif apakah yang diperoleh oleh KKKS sebagai WAPU jika ditinjau dari segi perpajakan?

Dampak positif menurut kami tidak ada. Karena dengan adanya status WAPU ini, KKKS merasa terbebani. Kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh KKKS menjadi lebih besar.

133

Page 149: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

4. Dampak negatif apakah yang dirasakan oleh KKKS sebagai Pemungut KKKS?

Dampak negatif yang dirasakan oleh KKKS dengan adanya status WAPU atau Pemungut PPN ini diakibatkan oleh sulitnya dalam implementasi terhadap peraturan pelaksana terkait dengan pemungut PPN. Pada akhirnya dampak tersebut mengakibatkan KKKS mendapatkan sanksi adminitrasi dari DJP karena keterlambatan penyetoran PPN yang telah dipungut dari KKKS. Sanksinya ini sebesar 2 % dari nilai PPN yang terutang oleh KKKS. Keterlambatan ini disebabkan karena peraturan pelaksana yaitu PMK 11 dan PMK 73 yang memang sulit dalam pengimplementasiannya.

Implementasi Peraturan PMK No.11/PMK.03/2005

5. Bagaimana penerapan PMK No.11 sebagai peraturan pelaksana dari mekanisme Pemungut PPN?

Penerapan terhadap PMK 11 ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena ada beberapa ketentuan yang menurut pihak KKKS merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan. Selain itu, peraturan pelaksana KKKS dengan badan pemungut lainnya juga berbeda. Perbedaan ini terkait dengan saat pemungutan PPN. KKKS merasa ada diskriminasi karena badan pemungut PPN yang lain memiliki tenggang waktu yang lebih memudahkan dalam pelaksanaan pemungutan PPN. Selain itu, dalam pelaksanaan PMK 11 maupun PMK 73 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi kekuatan hukumnya jika dilihat dari Peraturan Pemerintah yang mengaturnya.Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 143 Pasal 10 disebutkan bahwa saat pemungutan pajak adalah saat dilakukannya pembayaran oleh KKKS. Sedangkan di dalam PMK 11 dan PMK 73 kan berbeda mengaturnya. Jadi sebenarnya kan kita bias mengikuti peraturan yang lebih tinggi kekuatan hukumnya.

6. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK 11?

PMK 11 ini pada awalnya berlaku sejak KKKS ditunjuk kembali sebagai pihak Pemungut di tahun 2005. Sebelumnya pihak KKKS selama 2 tahun tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN di tahun 2003. Untuk implmentasinya yang telah berlaku selama beberapa tahun, kami menganggap bahwa terdapat masalah dalam hal waktu verifikasi invoice dan faktur pajak.

Di PMK 11 kan disebutkan bahwa saat pembuatan faktur pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan barang atau jasa kena pajak. Namun dalam pelaksanaannya KKKS kadang menerima invoice dan faktur

134

Page 150: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

pajak lebih dari 1 bulan setelah terjadinya penyerahan barang. Jika melihat Peraturan Pemerintah No 143/2000 pasal 10, maka hal ini jelas bertentangan. Didalam PP 143 dijelaskan bahwa pemungutan PPN dilakukan oleh KKKS apabila KKKS telah mebayar tagihan dari rekanan. Dalam hal ini yang digunakan adalah cash basis. Sedangkan dalam PMK 11, saat pemungutan dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan BKP atau JKP. Yang menjadi masalah adalah ketika rekanan mengirimkan barang pada akhir bulan. Setelah itu invoice dan faktur pajak keluar pada akhir bulan berikutnya. Pada tanggal 15 setelah terbitnya faktur pajak, KKKS sudah harus menyetorkan PPN yang dipungut dari rekanan. Hal ini lah yang menjadi masalah dimana KKKS hanya memiliki waktu kurang lebih 15 hari. Sedangkan proses verifikasi dalam perusahaan kami biasanya memerlukan waktu sekitar 30 hari. Kan ga semudah yang dibayangkan, karena banyaknya transaksi yang dilakukan oleh KKKS dengan pihak rekanan. Dengan demikian dilakukan beberapa kali proses dalam verifikasi dan mevalidasi faktur pajak dan invoice dari rekanan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya faktur pajak yang cacat karena kalo sudah cacat nanti KKKS yang merasakan kerugiannya. Apabila faktur pajak cacat, maka KKKS tidak dapat mengajukan reimbursement kepada Pemerintah atas nilai yang terdapat pada faktur pajak yang cacat tersebut.

7. Dampak apakah yang timbul dari pelaksanaan PMK 11 ini?

Dampak terbesar yang ditimbulkan adalah munculnya STP dari DJP dan denda adminstrasi bagi KKKS akibat adanya keterlambatan dalam penyetoran PPN yang telah dipungut dari rekanan. Secara langsung KKKS juga tidak dapat 100% patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan pelaksanaannya sendiri yang sulit dalam implementasinya.

8. Apakah KKKS pernah melakukan forum diskusi mengenai PMK 11 ini dengan DJP?

Melalui IPA (Indonesian Petroleum Association), KKKS pernah mengajak DJP untuk membahas masalah dan kendala yang KKKS alami dalam rangka pelaksanaan PMK 11 ini. Kami mengungkapkan beberapa keluhan. Namun, DJP tidak berbuat apa-apa dan tidak ada solusi hingga munculnya PMK 73 sebagai pengganti PMK 11.

9. Bagaimana tindakan KKKS dalam menghadapi masalah dalam pelaksanaan PMK 11?

135

Page 151: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

Kami selalu memberikan masukan kepada pemerintah melalui DJP. Selain itu kami menyusun beberapa tax planning dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan KKKS secara maksimal. Kami juga memberikan masukan kepada pihak BP MIGAS yang bertindak sebagai manajemen kami.

Implementasi Peraturan PMK No.73/PMK.03/2010

10. Bagaimana tanggapan pihak KKKS dengan diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73 sbagai peraturan pelaksana dalam mekanisme pemungutan PPN melalui pemungut?

Diubahnya PMK 11 menajadi PMK 73 membuat kami terkejut, karena sudah cukup lama PMK 11 ini berlaku dan berjalan yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Dengan diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73, KKKS merasa masalah yang ada di PMK 11 terkait dengan implementasinya belum dapat diselesaikan, di PMK 73 ini. Malah masalah menjadi lebih parah karena KKKS semakin merasakan kesulitan dalam implementasinya. Selain itu berarti KKKS harus menyesuaikan dengan peraturan pelaksana yang baru. KKKS merasa pemerintah tidak mendengarkan masukan yang pernah kami berikan. Malah mengeluarkan peraturan baru yang lebih menyulitkan.

11. Apakah perbedaan yang dominan dari kedua PMK tersebut?

Perbedaan yang paling dominan dari diubahnya PMK 11 menjadi PMK 73 terletak pada saat pemungutan PPN. Pada PMK 11, saat pemungutan PPN dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau pada saat melakukan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena pajak;pembayaran dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau pembayaran dilakukan pada saat yang sama dengan saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Keja Pajak.

Sedangkan dalam PMK 73, saat pemungutan PPN dilakukan paling lama pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak; penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

136

Page 152: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

12. Masalah apa saja yang timbul terkait dengan implementasi PMK 73?

Masalah yang timbul adalah masalah yang terkait dengan saat pemungutan PPN oleh KKKS. Di dalam implementasinya, rekanan wajib membuat faktur pajak pada saat melakukan penyerahan barang atau jasa. Dengan demikian, saat pemungutan PPN terjadi pada saat penyerahan baranng yang dilakukan oleh rekanan. Hal tersebut menandakan bahwa saat pemungutan PPN bersamaan dengan saat penyerahan dan saat pembuatan faktur pajak. Hal ini memberikan masalah bagi kami karena kami tidak memiliki waktu dalam melakukan verifikasi invoice dan faktur pajak. Misalkan saja barang dikirim pada akhir bulan januari, maka tanggal 15 Februari KKKS harus sudah menyetorkan PPN yang dipungutnya dari rekanan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 7 ayat 2 dimana disebutkan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Dengan demikian yang menjadi masalah adalah KKKS ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengecek faktur. Yang harus dicek kan banyak. Barang nya sudah sesuai belum, rate yang dipakai sudah benar atau belum, atau nilai transaksi yang tertera dalam faktur pajak sudah sesuai dengan transaksi yang terjadi atau belum.

13. Dampak apakah yang timbul dari pelaksanaan PMK 73 ini?

Dampak bagi KKKS sendiri hampir sama dengan dampak yang ditimbulkan oleh PMK 11. Dampak yang paling besar adalah timbulnya beban administrasi yang lebih besar yang ditanggung oleh KKKS.

14. Bagaimana tindakan KKKS dalam menghadapi masalah dalam pelaksanaan PMK 73?

Untuk menghadapai kendala dan masalah dalam PMK 73, pihak kami sudah melakukan diskusi lagi melalui IPA dengan DJP. Namun, hingga saat ini belum ada proses lebih lanjut dari DJP sendiri.

15. Kebijakan seperti apakah yang ideal menurut KKKS sebagai pihak pemungut PPN?

Kalau tentang kebijakan yang paling baik sih kami maunya kembali ke peraturan pelaksana di tahun 2000 melalui KMK 549 dimana saat

137

Page 153: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

pemungutan PPN terjadi pada saat KKKS melakukan pembayaran atas tagihan dari vendor.

138

Page 154: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

LAMPIRAN 3

WAWANCARA DENGAN PIHAK BP MIGAS

Narasumber : Herdjuno Poernomo

Jabatan : Kepala Sub Dinas Evaluasi Kebijakan Pajak

Tanggal : 24 Mei 2011, pukul 13.30 WIB

Lokasi : Wisma Mulia lantai 33, Jakarta

1. Bagaimana gambaran umum mengenai sistem bagi hasil yang dilakukan pemerintah dalam sektor minyak dan gas bumi?

Jika dilihat dari awal mengenai sistem Production Sharing Contract (PSC). Maka dapat dijelaskan bahwa sebenernya pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan kontraktor dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia. System kerjasama yang dilakukan adalah Kontrak Bagi Hasil. Di dalam system ini dijelaskan secara jelas mengenai kesepakatan yang dilakukan oleh kontraktor dan pemerintah sebelum Kontraktor melakukan eksploitasi. Dalam pembagian hasil kotor (Gross), sebenarnya pemerintah memperoleh bagian sekitar 73% dan kontraktor mendapat bagian sekitar 27%. Namun, pajak-pajak yang ditanggung oleh kontraktor nantinya akan menambah bagian pemerintah. Jika secara bersih dihitung-hitung, pemerintah mendapatkan bagain sekitar 85% dan kontraktor sekitar 15%.

Jika berbicara mengenai pajak, maka PPN yang terdapat dalam kegiatan hulu migas adalah local VAT, self assessment VAT, dan import VAT. Dalam hal import VAT, dibagi menjadi 2 kegiatan yaitu eksplorasi dan eksploitasi/produksi. Untuk eksploitasi, ketentuannya diatur dalam peraturan Menteri Keuangan. Pajak dalam negeri terkait dengan kegiatan kontraktor melakukan eksploitasi dibebaskan. Jadi sesuai dengan UU No.22/2001.

Dalam Kontrak Bagi Hasil yang dilakukan oleh pemerintah, KKKS akhirnya kembali ditunjuk sebagai WAPU (Tax Collector). Peraturan yang mengatur di tahun 2005 yaitu PMK 11 dan tahun 2010 sampai sekarang menggunakan peraturan baru yaitu PMK 73.

2. Bagaimanakah peran BP MIGAS sebagai wakil pemerintah dalam hal pelaksanaan seluruh kegiatan hulu migas di Indonesia?

Sebagai Badan Pelaksana, BP MIGAS tuh bertindak sebagai manajemen KKKS. Dalam hal ini, KKKS memiliki peran full control atas semua kegiatan yang dilakukan oleh KKKS. Jika KKKS ingin melakukan eksplorasi, maka

139

Page 155: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

KKKS diminta untuk memberikan anggarannya dan nantinya kami melihat anggaran tersebut untuk dikoreksi dan disesuaikan apabila terdapat anggaran yang tidak perlu. Jadi kasarnya sih semua kegiatan KKKS harus lapor kepada BP MIGAS. Bahkan untuk memecat karyawan dari KKKS sendiri pun BP MIGAS memiliki otoritas. Namun, jika sseperti itu udah berbau politik. BP MIGAS tidak akan mencampuradukan urusan bisnis dengan politik.

3. Tugas apa saja yang harus dilakukan oleh BP MIGAS sebagai badan pelaksana?

Tugas Badan Pelaksana diatur dalam UU No.22 tahun 2001 yaitu :

a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

4. Apakah BP MIGAS mengetahui semua permasalahan pajak yang dihadapi oleh KKKS?

BP MIGAS mengetahui segala permasalahan khususnya perpajakan yang dihadapi oleh KKKS karena BP MIGAS kan sebagai manajemen dari KKKS.

5. Apakah BP MIGAS bertanggung jawab atas masalah pajak yang dihadapi oleh KKKS?

Untuk tanggung jawab, sebenernya KKKS sudah memberikan input kepada DJP terkait PMK 11 dan PMK 73. Namun DJP tidak pernah merespon sama sekali. Mereka hanya berargumen bahwa mereka hanya menjalankan peraturan perundang-undangan yang ada.

6. Bagaimana implementasi PMK 11 yang dilaksanakan oleh KKKS dalam memenuhi kewajiban perpajakannya?

140

Page 156: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

PMK 11 berlaku sejak tahun 2005 sejak KKKS sempat tidak ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Menurut pendapat dari beberapa KKKS, implementasi PMK 11 ini dirasa sulit dalam hal saat pemungutan PPN dan waktu verifikasi barang dan dokumen yang dibeli dari pihak rekanan.

7. Apakah permasalahan yang timbul akibat diberlakukannya PMK 11 ini?

Dengan berlakunya PMK 11 ini, maka KKKS merasakan dampak yang cukup besar. Dampak yang paling dirasakan adalah mengenaoi beban administrasi yang bertambah karena implementasi dari PMK 11 tidak memberikan banyak waktu bagi KKKS untuk melakukan verifikasi terhadap invoice dan faktur pajak

8. Bagaimana tingklat kepatuhan dari KKKS ketika berlaku PMK 11?

Tingkat kepatuhan KKKS menurut saya berada di estimasi 50 % ketika melaksanakan ketentuan PMK 11 tersebut.

9. Bagaimana pandangan pihak BP MIGAS atas perubahan PMK 11 menjadi PMK 73 yang berlaku pada bulan april 2010?

Menurut BP MIGAS, perubahan tersebut sama sekali tidak memberikan solusi dari masalah yang ada pada PMK 11. Padahal di PMK 11 itu KKKS sudah protes kepada DJP. Tapi ini kok malah diubah menjadi peraturan yang lebih parah ya.

10. Masalah apa saja yang timbul dari berlakunya PMK 73 ini?

Masalah yang timbul jelas lebih rumit. Saat ini KKKS hanya memiliki waktu yang singkat dalam melakukan verifikasi invoice dan faktur pajak karena saat pemungutan PPN bersamaan dengan saat penyerahan barang dan saat pembuatan faktur pajak. Kapan KKKS bisa mengecek kalo barangnya itu sudah sesuai? Kalo salah kan otomatis akan membuat faktur pembetulan bagi rekanan. Hal itu kan menambah beban administrasi lagi bagi rekanannya juga. Bagi KKKS juga pasti dampaknya akan besar karena nantinya akan terjadi keterlambatan penyetoran PPN.

11. Bagaimana tingkat kepatuhan KKKS pada saat berlakunya PMK 73?

Tingkat kepatuhan KKKS hanya berkisar 30% karena mereka kesulitan atas waktu yang sangat singkat dalam verifikasi. Kan transaksi KKKS tuh ga kecil ya. Jadi ga bisa sembarangan verifikasi.

12. Kebijakan apakah yang terbaik bagi KKKS dalam hal Pemungut PPN?

141

Page 157: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

Ya menurut saya dih ada beberapa alternative ya. Yang pertama cabut ketentuan Pemungut PPN atas KKKS, yang kedua kembali ke cash basis dimana saat pemungutan PPN adalah saat pembayaran oleh KKKS, dan yang ketiga adalah Peraturan Pelaksana bagi KKKS disamakan dengan pemungut lainnya.

142

Page 158: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

LAMPIRAN 4

WAWANCARA DENGAN PIHAK REKANAN

Narasumber : Bpk. Agung

Jabatan : Manager pajak salah satu perusahaan jasa di bidang minyak dan gas

bumi

Tanggal : 20 Maret 2011, pukul 13.30 WIB

Lokasi : Cibubur

1. Bagaimana mekanisme pemungutan PPN jika rekanan melakukan transaksi dengan KKKS?

Untuk transaksi dengan KKKS sistemnya berbeda dengan sitem pemungutan PPN biasanya. Jika mekanisme biasa kan kita sebagai penjual yang memungut PPN atas transaksi penjualan kepada pembeli, kalau kita berhadapan dengan KKKS sistemnya jadi terbalik. Yang memungut PPN itu KKKS. Padahal mereka bertindak sebagai pembeli barang atau jasa.

2. Bagaimana implementasi PMK 11 menurut pandangan Rekanan?

PMK 11 ini masih bisa dijalankan kalau menurut vendor sendiri ya. Di PMK 11 itu kan berlaku sampai tahun 2005 ya. Jadi begini ilustrasinya, vendor melakukan transaksi dengan KKKS, dalam hal ini vendor sebagai penjual barang atau jasa ya, sedangkan KKKS bertindak sebagai pembeli barang atau jasa. Ketika vendor melakukan penyerahan barang atau jasa, ambil saja contoh di tanggal 20 Januari. Maka vendor kan harus membuat faktur pajak paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah penyerahan kan. Jadi masih cukup waktu lah untuk menunggu berita acara serah terima dari KKKS. Selain itu bagi KKKS juga masih punya waktu untuk ngecek barang dan invoice. Jadi PMK 11 ini masih bisa dijalankan kalau menurut vendor.

3. Bagaimana mekanisme verifikasi yang dilakukan rekanan dengan KKKS?

Untuk mekanismenya jadi begini, ketika vendor menyerahkan barang kepada customer (KKKS) maka customer akan mengeluarkan berita acara serah terima yang akan diberikan kepada vendor. Setelah berita acara ini diterima, maka langkah selanjutnya adalahg pembuatan invoice oleh vendor. Setelah invoice di verifikasi oleh KKKS, maka selanjutnya vendor akan menerbitkan faktur pajak sesuai dengan nilai invoice. Setelah semuanya lengkap, baru KKKS menyetorkan PPN kepada negara. Nah untuk proses verifikasi yang dilakukan oleh KKKS sih kebanyakan 10-15 hari ya setelah menerima barang.

143

Page 159: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

Hal itu dilakukan hanya untuk mengecek barang atau jasa saja loh. Baru setelah oke kita buatkan invoice dan faktur pajak. Kalo untuk verifikasi barang, invoice, dan faktur pajak sih bisa memakan waktu hingga 30 hari.

4. Apakah pihak rekanan selalu tepat waktu dalam menerbitkan faktur pajak?

Kalo dari sisi vendor sih ga ada masalah ya karena masalahnya tuh ada di sisi customernya. Mereka kan butuh waktu untuk verifikasi. Kalau di kita sih maunya cepet ya mengeluarkan faktur pajak. Kan semakin lama kita menerbitkan faktur pajak. Maka A/R kita diluar juga akan semakin lama tertahan ya. Namun, dalam lapangan sih terkadang ada yang lebih dari 1 bulan kita baru nerbitin faktur pajak. Hal itu juga disebabkan dari customernya sendiri yang lama melakukan proses verifikasi.

5. Apakah peraturan pelaksana mengenai tata cara pemungutan,penyetoran, dan pelaporan PPN oleh KKKS berpengaruh pada cashflow perusahaan?

Kalo dari segi cashflow sih ga ada masalah ya, karena yang bertanggung jawab untuk menyetorkan PPN kan ada di pihak KKKS. Vendor kan disini tugasnya hanya menerbitkan Faktur Pajak.

6. Perubahan apa yang terjadi ketika diberlakukan PMK 73?

Di PMK 73 itu kan vendor harus membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan barang dan jasa. Nah yang menjadi permasalahan di lapangan itu contohnya ketika kita melakukan penyerahan barang di luar kota, misalnya pada akhir bulan. Kita kan harus menerbitkan faktur pajak saat penyerahan. Sedangkan invoice tidak bisa langsung kita terbitkan pada hari itu juga, karena ada beberapa dokumen yang harus dilengkapi oleh vendor. Selain itu, pihak customer juga melakukan pengecekan terhadap kualitas dan kuantitas barang yang diterimanya. Jika sudah sesuai baru mereka meminta kita mebuat invoice dan faktur pajak biasanya. Nah, di lapangan itu kan kadang medannya juga berat, ada yang di tengah hutan, ada yang di tengah laut. Kan beda2. Kalau KKKS baru bisa verifikasi 10-20 hari berarti itu kan sudah lewat tanggal jatuh tempo penyetoran PPN oleh KKKS. Kadang-kadang KKKS gamau tuh nerima faktur pajak setelah lewat dari tanggal jatuh tempo.Kalau dulu, PMK 11 itu KKKS masih ada waktu hampir 2 bulan setelah terima barang untuk setor PPN. Sekarang Cuma 15 hari semenjak berlakunya PMK 73.

7. Bagaimana jika ada faktur pajak yang cacat?

144

Page 160: ANALISIS PERUBAHAN KETENTUAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR KONTRAK KERJASAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

(Lanjutan)

Kalau ada faktur pajak yang cacat sih butuh membetulkan dokumen-dokumen dan harus minta accept lagi dari customer. Dan itu membutuhkan waktu yang lama sekitar 10 hari.

8. Apakah vendor pernah melakukan diskusi dengan DJP terkait dengan PMK 11 dan PMK 73?

Vendor sudah pernah bertemu dengan DJP untuk membahas masalah ini. Waktu itu kita ketemu AR kita. Mereka menganggapnya penyerahan barang/ jasa harus disamakan dengan tanggal diterimanya barang. Namun, untuk jasa, mereka masih toleransi, kita boleh ngikutin tanggal invoice. Nah, kalo untuk barang kan jelas tuh kapan saat diterimanya. Sedangkan kalo jasa kan sulit kadang-kadang ditentukan saat diterimanya. Sebenernya kalau kita tanya AR lain juga mereka berbeda penafsiran. Ada yang tetap berprinsip bahwa faktur pajak harus sama tanggalnya dengan saat diterimanya barang atau jasa. Bagian perundang-undangan DJP juga pernah ngomong sih. Mereka juga ga nyangka kalo kejadiannya bakal kaya gini di lapangan. Menurut mereka kalo untuk merubah peraturannya juga sudah susah karena ini kan sumbernya dari Undang-Undang. Sampai sekarang sih belum ada jalan keluar atau solusi dari DJP sendiri ya. Yang ada yaitu pihak KKKS yang selalu mengundang kita untuk meeting membicarakan solusi agar mereka tidak terkena penalty atas keterlambatan penyetoran PPN.

9. Bagaimana dengan permintaan bukti potong kepada KKKS?

Untuk penerimaan bukti potong sih ga ada masalah ya. Kita terima semua kok. Semua disetorkan oleh KKKS,

10. Bagaimana kebijakan yang sebaiknya diberlakukan?

Menurut vendor sih lebih baik kembali ke PMK 11 ya dimana pelaksanaannya masih masuk akal, dan dari KKKS sendiri juga masih bisa melaksanakannya.

145