20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011). 2.1.1 Amoksisilin Rumus struktur: Amoksisilin memiliki rumus molekul C 16 H 19 N 3 O 5 S.3H 2 Struktur kimia amoksisilin terdiri atas cincin β-laktam, cincin tiazolidin rantai samping amida dan gugus karboksil. Amoksisilin merupakan antibiotika O dengan berat molekul 419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau, berasa pahit. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol (1 gram dalam 370 ml air atau dalam 2000 ml alkohol), tidak larut dalam benzen, dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995; Wattimena, 1991). Universitas Sumatera Utara

ANTIBIOTIKA USU

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANTIBIOTIKA USU

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotika

Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad

renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan

pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika

alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis.

Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di

laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika

semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).

2.1.1 Amoksisilin

Rumus struktur:

Amoksisilin memiliki rumus molekul C16H19N3O5S.3H2

Struktur kimia amoksisilin terdiri atas cincin β-laktam, cincin tiazolidin rantai

samping amida dan gugus karboksil. Amoksisilin merupakan antibiotika

O dengan berat

molekul 419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau,

berasa pahit. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol (1 gram dalam

370 ml air atau dalam 2000 ml alkohol), tidak larut dalam benzen, dalam karbon

tetraklorida dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995; Wattimena, 1991).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: ANTIBIOTIKA USU

berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan cara

kerja mengganggu perkembangan dinding sel mikroba dengan jalan mencegah

kerja enzim transpeptidase sehingga menjadi inaktif (Subronto dan Tjahjati,

2001). Amoksisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan

tubuh hewan dan dieksresikan melalui ginjal, kelenjar susu, hati dan usus

(Subronto dan Tjahjati, 2001).

Antibiotika derivat penisilin banyak digunakan pada peternakan domba,

babi dan unggas untuk mengobati penyakit infeksi dan sebagai tambahan bahan

makanan atau ditambahkan kedalam minuman untuk mencegah serangan dari

beberapa penyakit (Doyle, 2006).

Residu penisilin yang terdapat di dalam daging dan jaringan lainya

biasanya dapat diabaikan keberadaannya setelah 5 hari pasca pemberian terakhir.

Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui ginjal dan keluar melalui urin

(Subronto dan Tjahjati, 2001). Residu penisilin yang berlebihan dapat

menyebabkan reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi alergi, gatal, urtikaria dan

demam (Subronto dan Tjahjati, 2001).

2.1.2 Ampisilin

Rumus struktur:

Ampisilin berbentuk anhidrat dan trihidrat memiliki rumus molekul

C16H19N3O4S.3H2O dengan berat molekul 403,45. Ampisilin berupa bubuk

Universitas Sumatera Utara

Page 3: ANTIBIOTIKA USU

hablur putih, tidak berbau. Garam trihidratnya stabil pada suhu kamar. Dalam air

kelarutannya 1 g/ml, dalam etanol absolut 1 g/250 ml dan praktis tidak larut dalam

eter dan kloroform (Ditjen POM, 1995). Ampisilin memiliki spektrum

antimikroba yang luas tetapi lebih efektif terhadap bakteri gram negatif.

2.1.3 Tetrasiklin

Rumus struktur:

Tetrasiklin memiliki rumus molekul C22H24N2O8.HCl dengan berat

molekul 480,6. Tetrasiklin merupakan serbuk hablur, kuning, tidak berbau, agak

higroskopis. Stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya matahari yang

kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Larut dalam air, dalam alkali hidroksida

dan dalam larutan karbonat, sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam

kloroform dan eter. Tetrasiklin mudah membentuk garam dengan ion Na+ dan Cl-

Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur

Streptomyces aureofasiens atau S. rimosus. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik

dengan daya jangkauan (spektrum) luas, dengan jalan menghambat sintesis

protein dengan cara mengikat sub unit 30 S dari pada ribosom sel bakteri. pada

unggas tetrasiklin digunakan untuk mengatasi infeksi CRD (Chronic Respiratory

Diseasis), erisipclas dan sinusitis (Subronto dan Tjahjati, 2001).

sehingga kelarutannya menjadi lebih baik (Ditjen POM, 1995)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: ANTIBIOTIKA USU

2.1.4 Kloramfenikol

Rumus struktur:

Kloramfenikol mempunyai rumus molekul C11H29N7O12

Kloramfenikol termasuk antibiotika yang paling stabil. Larutan

kloramfenikol dalam air pada pH 6 menunjukkan kecenderungan terurai yang

paling rendah. Senyawa ini cepat dan hampir sempurna diabsorpsi dari saluran

cerna. Oleh karena itu pemberian kloramfenikol dilakukan secara peroral

(Wattimena, 1990).

dengan berat

molekul 323.1. Kloramfenikol merupakan serbuk kristal putih sampai putih

keabuan atau putih kekuningan, tidak berbau, sangat tidak larut dalam air, sangat

larut dalam alkohol dan propilen glikol (Ditjen POM, 1995).

Kloramfenikol merupakan antibiotika golongan amphenicol yang bersifat

bakteriosidal dengan memiliki aktifitas spektrum luas aktif terhadap bakteri yang

patogen dengan jalan menghambat sintesis protein dengan cara mengikat sub unit

30 S dari pada ribosom sel bakteri dan menghambat aktifitas enzim peptidil

transferase. Kloramfenikol dahulu digunakan dalam pengobatan untuk hewan

ternak dan manusia tetapi karena adanya laporan bahwa kloramfenikol

menimbulkan penyakit anemia plastik bagi manusia sehingga sejak tahun 1994 di

Amerika dan Eropa penggunaan kloramfenikol tidak diijinkan untuk pengobatan

hewan ternak (Martaleni, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: ANTIBIOTIKA USU

2.2 Penggunaan Antibiotika Dalam Peternakan

Penggunaan “obat hewan” pada tahap produksi ternak sering dilakukan

agar prodiktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan (Bahri dkk, 2005).

“Obat hewan” yang paling sering digunakan pada peternakan adalah antibiotika

(Dewi dkk, 2002). Antibiotika diberikan pada hewan ternak berguna untuk

mencegah atau mengobati penyakit sehingga digunakan sebagai imbuhan pakan

(Oramahi dkk, 2004).

Pemberian antibiotika pada hewan dalam peternakan skala besar umumnya

diberikan melalui air minum dan dapat diikuti dengan pemberian antibiotika

melalui pakan (Martaleni, 2007).

Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak

diberikan secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006).

Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup

dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis (Bahri dkk, 2000)

Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (food suplement) sudah

umum digunakan oleh peternak. Suplement ini dimaksudkan untuk memacu

pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi

mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang

menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan (Rahayu, 2009).

Menurut Bahri., dkk, (2000), hampir semua pabrik pakan menambahkan

“obat hewan” berupa antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian

besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika.

Apabila peternak yang menggunakan pakan tersebut tidak memperhatikan aturan

pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotika yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: ANTIBIOTIKA USU

dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap

antibiotika tertentu, reaksi alergi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih., dkk,

2005).

Beberapa negara mengizinkan pemberian berbagai jenis antibiotika,

termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa untuk

diberikan secara berkala pada peternakan ayam tetapi golongan ini tidak diizinkan

diberikan melalui pakan ternak di Indonesia (Martaleni, 2007).

2.3 Residu Antibiotika

Residu obat adalah sisa dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau

organ hewan/ternak setelah pemakaian “obat hewan” (Rahayu, 2009).

Menurut Oramahi dkk, 2004; Bahri dkk, 2005 pemberian antibiotika

sebagai pakan ternak yang diberikan dalam waktu yang cukup lama dengan tidak

memperhatikan aturan pemberiannya akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh

ternak sehingga menyebabkan terdapatnya residu pada jaringan tubuh ternak.

Residu antibiotika yang terakumulasi memiliki konsentrasi yang berbeda-

beda antara jaringan dari tubuh ternak satu dengan yang lainnya (Bahri dkk,

2005).

Akibat penggunaan antibiotika yang luas dalam pakan ternak, banyak

peneliti yang melaporkan mengenai keberadaan antibiotika di dalam jaringan

tubuh ternak. Hasil penelitian Oramahi dkk, 2004 terhadap 65 sampel hati ayam

secara mikrobiologi dan diperoleh residu antibiotika golongan penisilin sebesar

29,23%, golongan makrolida sebesar 36,92%, golongan aminoglikosida sebesar

1,54 % dan golongan tetrasiklin 26,15%.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: ANTIBIOTIKA USU

Dewi, dkk., (2002) dan Handayani, dkk., (2003) telah menemukan residu

antibiotika dengan menggunakan metode mikrobiologi, berupa golongan

antibiotika tetrasiklin, penisilin, aminoglikosida, dan makrolida pada sampel

produk asal hewan baik daging segar maupun daging olahan yang diambil dari

pasar tradisional dan rumah potong hewan di wilayah Kabupaten Badung (Bali),

Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Hasil penelitian Karlina, 2011 telah menemukan residu kloramfenikol

pada telur yang beredar di Sumatera Utara sebesar 0,0752 - 0,1937 µg/g secara

analisa KCKT, dimana kadar yang diperoleh melebihi persyaratan yang

ditetapkan oleh pemerintah. Kristina (2011) menemukan kadar tetrasiklin yang

melebihi batas kadar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam daging ayam yang

diambil dari pasar swalayan di kota Medan secara spektrofotometer UV sebesar

4,9141 dan 8,5556 µg/g.

Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa antibiotika tidak dapat

seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan

telur. Hal ini berarti sebagian antibiotika masih tertahan dalam jaringan tubuh

sebagai bentuk residu.

2.4 Batas Toleransi Residu Antibiotik

Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan

pemakaian antibiotika dan “obat hewan” yang tergolong obat keras perlu

memperhatikan waktu henti sehingga diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau

berada di bawah Batas Maksimum Residu (BMR). Berdasarkan Standar Nasional

Indonesia (SNI No. 01-6366-2000), batas maksimum residu antibiotika dalam

makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk antibiotika amoksisilin, ampisilin

Universitas Sumatera Utara

Page 8: ANTIBIOTIKA USU

dan kloramfenikol adalah 0,01 µg/g dan batas maksimum residu antibiotika

tetrasiklin adalah 0,1 ug/g.

2.5 Penentuan Residu Antibiotik dalam Sampel Makanan

Metode penentuan multi-residu yang semakin penting, untuk kontrol

residu dalam produk makanan. Metode ini menguntungkan dibandingkan dengan

metode residu untuk senyawa tunggal karena metode ini lebih mudah dilakukan

dan lebih murah dalam hal penggunaan pereaksi.

Analisa multi-residu dalam sampel makanan dapat dilakukan melalui 2

cara yaitu penentuan secara kualitatif (skrining) dan penentuan secara kuantitatif

(konfirmasi) (Shankar et al, 2010).

Metode analisa untuk melakukan uji kualitatif terhadap residu dalam

sampel makanan memiliki kriteria seperti metode memberikan hasil yang akurat,

memiliki sensitifitas yang baik ,reprodusibel, biaya pengerjaannya murah,

kemampuan untuk mendeteksi analit yang akan dianalisis (Shankar et al, 2010).

Telah banyak penelitian mengenai metode analisa multiresidu untuk golongan

antibiotika dengan menggunakan LCMS. O’Keeffe, (1999) telah mengembangkan

metode penentuan multiresidu sulfonamide, antibiotika golongan β-laktam dan

tetrasiklin pada telur secara KCKT-MS. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa

metode ini sangat sensitif karena dapat mendeteksi keberadaan residu pada kadar

50-300 ppb (part per billion).

Metode multiresidu untuk residu obat hewan di produk makanan

dilaporkan oleh Zhou et.al, (2006) berhasil menggunakan kromatografi cair

spektrometri massa dengan mengembangkan metode untuk penentuan secara

bersamaan 30 jenis antibiotika yang terdapat pada daging yang dikonsumsi oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 9: ANTIBIOTIKA USU

manusia. Fang et al, (2007) telah melakukan uji kualiatif dan uji kuantitatif residu

kloramfenikol yang terdapat pada madu, udang, dan daging ayam menggunakan

alat KCKT-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan

dapat mendeteksi keberadaan residu antibiotika dengan batas deteksi hingga 100

ppb.

Prosedur penyiapan sampel sangat menentukan dalam analisa secara

kromatografi (Rohman, 2009). Penyiapan sampel dari bahan yang memiliki

matriks yang komplek seperti daging, ginjal atau hati sangat diperlukan supaya

hasil uji kualitatif memiliki sensitifitas yang baik (Shankar, 2010). Ekstraksi pada

sampel bertujuan mengurangi atau menghilangkan adanya partikulat dari matriks

sampel sehingga akan mengganggu proses analisa terutama menggunakan analisa

secara kromatografi (Rohman, 2009).

Penyiapan sampel dari daging biasanya dimulai dengan tahap

pemotongan, menghaluskan sampel, menghomogenisasi, dan ekstraksi dengan

larutan organik (Shankar, 2010).

2.6 Teori Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia

Mecheal Tsweet pasa tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam

tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang

berisi kalsium karbonat. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang

menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase)

(Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: ANTIBIOTIKA USU

Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk

memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks,

baik komponen organik maupun komponen anorganik.

Pemisahan senyawa biasanya menggunakan beberapa teknik kromatografi.

Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan

senyawa yang akan dipisahkan (Anonim (b), 2009).

Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau

kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak

mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat

dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang

berbeda (Anonim (b), 2009).

2.6.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan

dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam

teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif

dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif

maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen

POM, 1995).

KCKT merupakan metode yang sering digunakan untuk menganalisis

senyawa obat. KCKT dapat digunakan untuk pemeriksaan kemurnian bahan obat,

pengawasan proses sintesis dan pengawasan mutu (quality control) (Ahuja and

Dong, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: ANTIBIOTIKA USU

2.6.1.1 Jenis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dapat dibagi menjadi beberapa

metode, yakni: kromatografi fase normal (normal phase chromatography),

kromatografi fase balik (reversed-phase chromatography), kromatografi penukar

ion (ion-exchange chromatography) dan kromatografi eksklusi ukuran (size

exclusion chromatography) (Kazakevich and Lobrutto, 2007).

Kromatografi fase balik merupakan kebalikan dari kromatografi fase

normal. Kromatografi fase balik menggunakan fase diam yang bersifat nonpolar,

dan fase geraknya yang relatif lebih polar daripada fase diam. Fase diam yang

umum digunakan adalah oktadesilsilan (ODS atau C18). Hampir 90 % senyawa

kimia dapat dianalisis dengan kromatografi jenis ini (Meyer, 2004; Kazakevich

and Lobrutto, 2007).

2.6.1.2 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase

gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi

analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan

setiap komponen dalam campuran (Kazakevich and Lobrutto, 2007).

Menurut Meyer (2004) seperti yang ditunjukkan proses pemisahan yang

terjadi di dalam kolom dapat dilihat pada gambar 1 yaitu contohnya, campuran

dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi (partikel ● dan ▲)

(Gambar 1.1a). Di mana komponen ▲ cenderung menetap di fase diam dan

komponen ● lebih cenderung di dalam fase gerak (Gambar 1.1b).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: ANTIBIOTIKA USU

Gambar 1.1. Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom KCKT. Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan

menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi

sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya,

sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase

gerak (Gambar 1.1c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen

akan terpisah. Komponen ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah

lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam,

sehingga komponen ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram,

kemudian diikuti oleh komponen ▲ (Gambar 1.1d) (Meyer, 2004).

2.6.1.3 Istilah Umum Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

2.6.1.3.1 Waktu Tambat

Waktu tambat atau retention time (tR) adalah periode waktu yang dilalui

dari penyuntikan sampel hingga diperoleh rekaman signal maksimum. Waktu

tambat suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini

Fase Gerak

Fase Diam

Universitas Sumatera Utara

Page 13: ANTIBIOTIKA USU

dijadikan suatu dasar analisis kualitatif. Suatu puncak kromatografi dapat

diidentifikasi dengan membandingkan waktu tambatnya terhadap baku (Meyer,

2004). Gambar 1.2 menunjukkan, w adalah lebar puncak dan t0 disebut waktu

hampa (void time/dead time) yaitu waktu tambat pelarut yang tidak tertahan atau

waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom (breakthrough

time). Waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir (μ) dan panjang kolom (L). Jika

laju alir lambat atau kolom panjang, maka tR akan semakin besar dan sebaliknya.

𝜇 = 𝐿𝑡𝑅

Gambar 1.2. Kromatogram hasil analisis KCKT. (Meyer, 2004).

2.6.1.3.2 Faktor Kapasitas (k’)

Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran derajat tambatan dari analit

yang tidak dipengaruhi laju alir dan panjang kolom. Faktor kapasitas dihitung

dengan membagi waktu tambat bersih (t’R) dengan waktu hampa (t0) seperti yang

dapat dilihat pada rumus berikut ini.

𝑘 = 𝑡′𝑡𝑜

= 𝑡𝑅 − 𝑡𝑜𝑡𝑜

Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen berbeda dengan

ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase gerak yang sama,

Universitas Sumatera Utara

Page 14: ANTIBIOTIKA USU

maka faktor kapasitas dari analit pada kedua sistem KCKT tersebut secara teoritis

adalah sama (Kazakevich and Lobrutto, 2007).

2.6.1.3.3 Efisiensi Kolom (N)

Efisiensi adalah ukuran tingkat penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi

kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritikal atau theoretical plates (N),

yang dapat dihitung dengan rumus:

𝑁 = 16 �𝑡𝑅𝑤� P

2

Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan pita sempit

dan memisahkan analit dengan baik. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika

ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi

semakin baik. Hubungan antara nilai lempeng dengan panjang kolom disebut

sebagai nilai HETP/Height Equivalent of Theoretical Plate (H). H dapat dihitung

dengan rumus:

𝐻 = 𝐿𝑁

(Snyder and Kirkland, 1979).

2.6.1.3.4 Selektifitas atau Faktor Pemisahan (α)

Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk

membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan sebagai rasio

perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit yang berbeda:

𝛼 = 𝑘2𝑘1

= 𝑡𝑅2 − 𝑡0𝑡𝑅1 − 𝑡0

Universitas Sumatera Utara

Page 15: ANTIBIOTIKA USU

2.6.1.3.5 Resolusi (Rs)

Resolusi (Rs) merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang

berdekatan. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan waktu tambat antara dua

puncak dibagi dengan rata-rata lebar kedua puncak (Ornaf and Dong, 2005).

Pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkan harus lebih besar dari 1,5.

Sementara itu, bila kedua puncak yang berdekatan memiliki perbedaan ukuran

yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar (Meyer, 2004).

2.6.1.3.6 Faktor Tailing dan Faktor Asimetri

Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian

dengan derajat simetris yang sempurna (Ornaf and Dong, 2005). Namun

kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai. Jika

diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi

memperlihatkan tailing (Dolan, 2003). Pada Gambar 1.3 ditunjukkan tiga jenis

bentuk puncak.

Gambar 1.3. Bentuk puncak kromatogram. (Kazakevich and Lobrutto. 2007).

Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni

faktor tailing dan faktor asimetris. Faktor tailing (Tf) dihitung dengan

menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5% (W0,05), rumusnya dituliskan

sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: ANTIBIOTIKA USU

abaTf

2+

=

Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5%

seperti yang ditunjukkan di Gambar 4.

Gambar 1.4. Pengukuran derajat asimetris puncak (Dolan, 2003).

Sedangkan faktor asimetri (As) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

abAs =

Nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan setengah lebar

puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar 1.4. Jika nilai a

sama dengan b, maka faktor tailing dan asimetri bernilai 1. Kondisi ini

menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003). Bila puncak

berbentuk tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari 1 dan

sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri akan

bernilai lebih kecil dari 1 (Hinshaw, 2004).

2.7 Spektrometri Massa

Spektrometri massa merupakan tehnik yang sangat spesifik dan fleksibel

dalam mendeteksi dan mengidentifikasi suatu senyawa organik dan bukan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: ANTIBIOTIKA USU

organik karena spektrometri massa tidak hanya memberikan informasi mengenai

berat/struktur molekul tetapi juga memberikan informasi jelas dari struktur jejak

jari (fingerprint) yang berbeda-beda pada setiap senyawa (Cappiello, 2007).

Spektrometri massa dapat dipasang (coupling) dengan semua tehnik

kromatografi yaitu kromatografi cair, kromatografi gas dan kromatografi lapis

tipis (Onggo., dkk, 1998)

Metode ionisasi pada spektrometri massa dapat melalui beberapa cara

seperti Electron Impact (EI), Electrospray Ionization (ESI), Fast Atomic

bombardment (FAB), Atmospheric Pressure Chemical Ionization (APCI),

Atmospheric Pressure Photo Ionization (APPI), Termospray Ionization (TSP)

(Cappiello, 2007).

Pada penelitian ini alat KCKT-MS yang ada menggunakan spektrometri

massa metode elektrospray ionisasi (ESI).

2.7.1 Electrospray Ionization (ESI)

Electrospray Ionization (ESI) adalah salah satu metode dari spektrometri

massa untuk mendapatkan ion molekul. Metode ESI menggunakan penyemprotan

sehingga tidak terjadi fragmentasi molekul sampel melainkan yang diperoleh

adalah ion molekul dari senyawa sehingga bisa dipakai untuk identifikasi

(kualitatif) senyawa analit (Cappiello, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: ANTIBIOTIKA USU

2.7.2 Instrumen KCKT

Instrumen KCKT terdiri atas 6 bagian, yakni wadah fase gerak (reservoir),

pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor

(detector) dan perekam (recorder) (McMaster, 2007).

2.7.2.1 Wadah Fase Gerak (Reservoir)

Wadah fase gerak menyimpan sejumlah fase gerak yang secara langsung

berhubungan dengan sistem (Meyer, 2004). Wadah haruslah bersih dan inert,

seperti botol pereaksi kosong maupun labu gelas. Adalah hal yang penting untuk

men-degass fase gerak sebelum digunakan karena gelembung gas kecil dalam fase

gerak dapat terkumpul di pump head atau pun detektor sehingga akan

mengganggu kondisi KCKT (Brown and De Antonis, 1997).

2.7.2.2 Pompa (Pump)

Pompa yang digunakan pada KCKT haruslah merupakan instrumen yang

kokoh untuk menghasilkan tekanan tinggi hingga 350 bar atau bahkan 500 bar.

Tipe pompa yang umum digunakan adalah pompa piston bersilinder pendek

(short-stroke piston pump). Laju alir dapat bervariasi dari 0,1 hingga 5 mL/menit.

Kebanyakan pompa saat ini telah memiliki saluran pembilas yang biasanya air

dapat bersirkulasi. Larutan ini berfungsi untuk membilas piston agar bersih dari

garam dapar (Meyer, 2004).

2.7.2.3 Tempat Injeksi Sampel (Injector)

Ada 3 jenis macam injektor, yakni syringe injector, sampling valve dan

automatic injector. Syringe injector merupakan bentuk injektor yang paling

sederhana (Synder and Kirkland, 1979). Sampling valve atau manual injector

mengandung 6 katup saluran dilengkapi dengan rotor, sample loop dan saluran

Universitas Sumatera Utara

Page 19: ANTIBIOTIKA USU

jarum suntik (needle port). Larutan sampel akan disuntikkan ke dalam sampel

loop dengan jarum suntik gauge 22 pada posisi “load” dan larutan sampel yang

ada di sample loop kemudian akan dialirkan ke kolom dengan memutar rotor ke

posisi “inject”. Ukuran sample loop eksternal bervariasi antara 6 μl hingga 2 ml

(Ornaf and Dong, 2005).

Automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki prinsip yang

mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis (Meyer, 2004).

2.7.2.4 Kolom (Column)

Kolom merupakan jantung dari instrumen KCKT karena proses pemisahan

terjadi di sini. Kolom umumnya terbuat dari 316-grade stainless steel dan

dikemas dengan fase diam tertentu. Ukuran panjang kolom untuk tujuan analitik

berkisar antara 10 hingga 25 cm dan diameter dalam berkisar 3 hingga 9 mm

(Brown and DeAntonis, 1997). Sedangkan untuk tujuan preparatif panjang

berkisar antara 30 cm atau lebih dan diameter dalam berkisar 10 hingga 25,4 mm

(Meyer, 2004).

2.7.2.5 Detektor (Detector)

Karakteristik detektor yang baik adalah sensitif, batas deteksi rendah,

respon yang linier, mampu mendeteksi solut secara universal, tidak destruktif,

mudah dioperasikan, memiliki dead volume yang kecil dan tidak sensitif terhadap

perubahan temperatur serta kecepatan fase gerak (Hamilton and Sewell, 1977).

Beberapa detektor yang paling sering digunakan dalam KCKT adalah detektor

spektrofotometer UV-Vis, photodiode-array (PDA), fluoresensi, indeks bias,

spektrometri massa dan detektor elektrokimia (Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: ANTIBIOTIKA USU

2.7.2.6 Perekam

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder

dihubungkan ke detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari detektor

dan memplotkannya ke dalam kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis

(Brown and De Antonis, 1997).

Universitas Sumatera Utara