Upload
musimsemi
View
87
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad
renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan
pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).
Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika
alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis.
Antibiotika yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di
laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotika
semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).
2.1.1 Amoksisilin
Rumus struktur:
Amoksisilin memiliki rumus molekul C16H19N3O5S.3H2
Struktur kimia amoksisilin terdiri atas cincin β-laktam, cincin tiazolidin rantai
samping amida dan gugus karboksil. Amoksisilin merupakan antibiotika
O dengan berat
molekul 419,45. Pemeriannya berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau,
berasa pahit. Senyawa ini sukar larut dalam air dan metanol (1 gram dalam
370 ml air atau dalam 2000 ml alkohol), tidak larut dalam benzen, dalam karbon
tetraklorida dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995; Wattimena, 1991).
Universitas Sumatera Utara
berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan cara
kerja mengganggu perkembangan dinding sel mikroba dengan jalan mencegah
kerja enzim transpeptidase sehingga menjadi inaktif (Subronto dan Tjahjati,
2001). Amoksisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan
tubuh hewan dan dieksresikan melalui ginjal, kelenjar susu, hati dan usus
(Subronto dan Tjahjati, 2001).
Antibiotika derivat penisilin banyak digunakan pada peternakan domba,
babi dan unggas untuk mengobati penyakit infeksi dan sebagai tambahan bahan
makanan atau ditambahkan kedalam minuman untuk mencegah serangan dari
beberapa penyakit (Doyle, 2006).
Residu penisilin yang terdapat di dalam daging dan jaringan lainya
biasanya dapat diabaikan keberadaannya setelah 5 hari pasca pemberian terakhir.
Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah melalui ginjal dan keluar melalui urin
(Subronto dan Tjahjati, 2001). Residu penisilin yang berlebihan dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi alergi, gatal, urtikaria dan
demam (Subronto dan Tjahjati, 2001).
2.1.2 Ampisilin
Rumus struktur:
Ampisilin berbentuk anhidrat dan trihidrat memiliki rumus molekul
C16H19N3O4S.3H2O dengan berat molekul 403,45. Ampisilin berupa bubuk
Universitas Sumatera Utara
hablur putih, tidak berbau. Garam trihidratnya stabil pada suhu kamar. Dalam air
kelarutannya 1 g/ml, dalam etanol absolut 1 g/250 ml dan praktis tidak larut dalam
eter dan kloroform (Ditjen POM, 1995). Ampisilin memiliki spektrum
antimikroba yang luas tetapi lebih efektif terhadap bakteri gram negatif.
2.1.3 Tetrasiklin
Rumus struktur:
Tetrasiklin memiliki rumus molekul C22H24N2O8.HCl dengan berat
molekul 480,6. Tetrasiklin merupakan serbuk hablur, kuning, tidak berbau, agak
higroskopis. Stabil di udara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya matahari yang
kuat dalam udara lembab menjadi gelap. Larut dalam air, dalam alkali hidroksida
dan dalam larutan karbonat, sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam
kloroform dan eter. Tetrasiklin mudah membentuk garam dengan ion Na+ dan Cl-
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur
Streptomyces aureofasiens atau S. rimosus. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik
dengan daya jangkauan (spektrum) luas, dengan jalan menghambat sintesis
protein dengan cara mengikat sub unit 30 S dari pada ribosom sel bakteri. pada
unggas tetrasiklin digunakan untuk mengatasi infeksi CRD (Chronic Respiratory
Diseasis), erisipclas dan sinusitis (Subronto dan Tjahjati, 2001).
sehingga kelarutannya menjadi lebih baik (Ditjen POM, 1995)
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Kloramfenikol
Rumus struktur:
Kloramfenikol mempunyai rumus molekul C11H29N7O12
Kloramfenikol termasuk antibiotika yang paling stabil. Larutan
kloramfenikol dalam air pada pH 6 menunjukkan kecenderungan terurai yang
paling rendah. Senyawa ini cepat dan hampir sempurna diabsorpsi dari saluran
cerna. Oleh karena itu pemberian kloramfenikol dilakukan secara peroral
(Wattimena, 1990).
dengan berat
molekul 323.1. Kloramfenikol merupakan serbuk kristal putih sampai putih
keabuan atau putih kekuningan, tidak berbau, sangat tidak larut dalam air, sangat
larut dalam alkohol dan propilen glikol (Ditjen POM, 1995).
Kloramfenikol merupakan antibiotika golongan amphenicol yang bersifat
bakteriosidal dengan memiliki aktifitas spektrum luas aktif terhadap bakteri yang
patogen dengan jalan menghambat sintesis protein dengan cara mengikat sub unit
30 S dari pada ribosom sel bakteri dan menghambat aktifitas enzim peptidil
transferase. Kloramfenikol dahulu digunakan dalam pengobatan untuk hewan
ternak dan manusia tetapi karena adanya laporan bahwa kloramfenikol
menimbulkan penyakit anemia plastik bagi manusia sehingga sejak tahun 1994 di
Amerika dan Eropa penggunaan kloramfenikol tidak diijinkan untuk pengobatan
hewan ternak (Martaleni, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2 Penggunaan Antibiotika Dalam Peternakan
Penggunaan “obat hewan” pada tahap produksi ternak sering dilakukan
agar prodiktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan (Bahri dkk, 2005).
“Obat hewan” yang paling sering digunakan pada peternakan adalah antibiotika
(Dewi dkk, 2002). Antibiotika diberikan pada hewan ternak berguna untuk
mencegah atau mengobati penyakit sehingga digunakan sebagai imbuhan pakan
(Oramahi dkk, 2004).
Pemberian antibiotika pada hewan dalam peternakan skala besar umumnya
diberikan melalui air minum dan dapat diikuti dengan pemberian antibiotika
melalui pakan (Martaleni, 2007).
Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak
diberikan secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006).
Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup
dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis (Bahri dkk, 2000)
Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (food suplement) sudah
umum digunakan oleh peternak. Suplement ini dimaksudkan untuk memacu
pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi
mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang
menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan (Rahayu, 2009).
Menurut Bahri., dkk, (2000), hampir semua pabrik pakan menambahkan
“obat hewan” berupa antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian
besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika.
Apabila peternak yang menggunakan pakan tersebut tidak memperhatikan aturan
pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotika yang
Universitas Sumatera Utara
dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap
antibiotika tertentu, reaksi alergi dan kemungkinan keracunan (Yuningsih., dkk,
2005).
Beberapa negara mengizinkan pemberian berbagai jenis antibiotika,
termasuk golongan tetrasiklin, neomisin, basitrasin, dan preparat sulfa untuk
diberikan secara berkala pada peternakan ayam tetapi golongan ini tidak diizinkan
diberikan melalui pakan ternak di Indonesia (Martaleni, 2007).
2.3 Residu Antibiotika
Residu obat adalah sisa dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau
organ hewan/ternak setelah pemakaian “obat hewan” (Rahayu, 2009).
Menurut Oramahi dkk, 2004; Bahri dkk, 2005 pemberian antibiotika
sebagai pakan ternak yang diberikan dalam waktu yang cukup lama dengan tidak
memperhatikan aturan pemberiannya akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh
ternak sehingga menyebabkan terdapatnya residu pada jaringan tubuh ternak.
Residu antibiotika yang terakumulasi memiliki konsentrasi yang berbeda-
beda antara jaringan dari tubuh ternak satu dengan yang lainnya (Bahri dkk,
2005).
Akibat penggunaan antibiotika yang luas dalam pakan ternak, banyak
peneliti yang melaporkan mengenai keberadaan antibiotika di dalam jaringan
tubuh ternak. Hasil penelitian Oramahi dkk, 2004 terhadap 65 sampel hati ayam
secara mikrobiologi dan diperoleh residu antibiotika golongan penisilin sebesar
29,23%, golongan makrolida sebesar 36,92%, golongan aminoglikosida sebesar
1,54 % dan golongan tetrasiklin 26,15%.
Universitas Sumatera Utara
Dewi, dkk., (2002) dan Handayani, dkk., (2003) telah menemukan residu
antibiotika dengan menggunakan metode mikrobiologi, berupa golongan
antibiotika tetrasiklin, penisilin, aminoglikosida, dan makrolida pada sampel
produk asal hewan baik daging segar maupun daging olahan yang diambil dari
pasar tradisional dan rumah potong hewan di wilayah Kabupaten Badung (Bali),
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Hasil penelitian Karlina, 2011 telah menemukan residu kloramfenikol
pada telur yang beredar di Sumatera Utara sebesar 0,0752 - 0,1937 µg/g secara
analisa KCKT, dimana kadar yang diperoleh melebihi persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Kristina (2011) menemukan kadar tetrasiklin yang
melebihi batas kadar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam daging ayam yang
diambil dari pasar swalayan di kota Medan secara spektrofotometer UV sebesar
4,9141 dan 8,5556 µg/g.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa antibiotika tidak dapat
seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan
telur. Hal ini berarti sebagian antibiotika masih tertahan dalam jaringan tubuh
sebagai bentuk residu.
2.4 Batas Toleransi Residu Antibiotik
Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan
pemakaian antibiotika dan “obat hewan” yang tergolong obat keras perlu
memperhatikan waktu henti sehingga diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau
berada di bawah Batas Maksimum Residu (BMR). Berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI No. 01-6366-2000), batas maksimum residu antibiotika dalam
makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk antibiotika amoksisilin, ampisilin
Universitas Sumatera Utara
dan kloramfenikol adalah 0,01 µg/g dan batas maksimum residu antibiotika
tetrasiklin adalah 0,1 ug/g.
2.5 Penentuan Residu Antibiotik dalam Sampel Makanan
Metode penentuan multi-residu yang semakin penting, untuk kontrol
residu dalam produk makanan. Metode ini menguntungkan dibandingkan dengan
metode residu untuk senyawa tunggal karena metode ini lebih mudah dilakukan
dan lebih murah dalam hal penggunaan pereaksi.
Analisa multi-residu dalam sampel makanan dapat dilakukan melalui 2
cara yaitu penentuan secara kualitatif (skrining) dan penentuan secara kuantitatif
(konfirmasi) (Shankar et al, 2010).
Metode analisa untuk melakukan uji kualitatif terhadap residu dalam
sampel makanan memiliki kriteria seperti metode memberikan hasil yang akurat,
memiliki sensitifitas yang baik ,reprodusibel, biaya pengerjaannya murah,
kemampuan untuk mendeteksi analit yang akan dianalisis (Shankar et al, 2010).
Telah banyak penelitian mengenai metode analisa multiresidu untuk golongan
antibiotika dengan menggunakan LCMS. O’Keeffe, (1999) telah mengembangkan
metode penentuan multiresidu sulfonamide, antibiotika golongan β-laktam dan
tetrasiklin pada telur secara KCKT-MS. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa
metode ini sangat sensitif karena dapat mendeteksi keberadaan residu pada kadar
50-300 ppb (part per billion).
Metode multiresidu untuk residu obat hewan di produk makanan
dilaporkan oleh Zhou et.al, (2006) berhasil menggunakan kromatografi cair
spektrometri massa dengan mengembangkan metode untuk penentuan secara
bersamaan 30 jenis antibiotika yang terdapat pada daging yang dikonsumsi oleh
Universitas Sumatera Utara
manusia. Fang et al, (2007) telah melakukan uji kualiatif dan uji kuantitatif residu
kloramfenikol yang terdapat pada madu, udang, dan daging ayam menggunakan
alat KCKT-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang digunakan
dapat mendeteksi keberadaan residu antibiotika dengan batas deteksi hingga 100
ppb.
Prosedur penyiapan sampel sangat menentukan dalam analisa secara
kromatografi (Rohman, 2009). Penyiapan sampel dari bahan yang memiliki
matriks yang komplek seperti daging, ginjal atau hati sangat diperlukan supaya
hasil uji kualitatif memiliki sensitifitas yang baik (Shankar, 2010). Ekstraksi pada
sampel bertujuan mengurangi atau menghilangkan adanya partikulat dari matriks
sampel sehingga akan mengganggu proses analisa terutama menggunakan analisa
secara kromatografi (Rohman, 2009).
Penyiapan sampel dari daging biasanya dimulai dengan tahap
pemotongan, menghaluskan sampel, menghomogenisasi, dan ekstraksi dengan
larutan organik (Shankar, 2010).
2.6 Teori Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia
Mecheal Tsweet pasa tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang
berisi kalsium karbonat. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang
menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase)
(Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk
memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks,
baik komponen organik maupun komponen anorganik.
Pemisahan senyawa biasanya menggunakan beberapa teknik kromatografi.
Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan
senyawa yang akan dipisahkan (Anonim (b), 2009).
Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau
kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak
mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat
dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang
berbeda (Anonim (b), 2009).
2.6.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan
dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam
teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif
dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif
maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen
POM, 1995).
KCKT merupakan metode yang sering digunakan untuk menganalisis
senyawa obat. KCKT dapat digunakan untuk pemeriksaan kemurnian bahan obat,
pengawasan proses sintesis dan pengawasan mutu (quality control) (Ahuja and
Dong, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.6.1.1 Jenis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dapat dibagi menjadi beberapa
metode, yakni: kromatografi fase normal (normal phase chromatography),
kromatografi fase balik (reversed-phase chromatography), kromatografi penukar
ion (ion-exchange chromatography) dan kromatografi eksklusi ukuran (size
exclusion chromatography) (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Kromatografi fase balik merupakan kebalikan dari kromatografi fase
normal. Kromatografi fase balik menggunakan fase diam yang bersifat nonpolar,
dan fase geraknya yang relatif lebih polar daripada fase diam. Fase diam yang
umum digunakan adalah oktadesilsilan (ODS atau C18). Hampir 90 % senyawa
kimia dapat dianalisis dengan kromatografi jenis ini (Meyer, 2004; Kazakevich
and Lobrutto, 2007).
2.6.1.2 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase
gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi
analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan
setiap komponen dalam campuran (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Menurut Meyer (2004) seperti yang ditunjukkan proses pemisahan yang
terjadi di dalam kolom dapat dilihat pada gambar 1 yaitu contohnya, campuran
dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi (partikel ● dan ▲)
(Gambar 1.1a). Di mana komponen ▲ cenderung menetap di fase diam dan
komponen ● lebih cenderung di dalam fase gerak (Gambar 1.1b).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1. Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom KCKT. Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan
menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi
sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya,
sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase
gerak (Gambar 1.1c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen
akan terpisah. Komponen ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah
lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam,
sehingga komponen ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram,
kemudian diikuti oleh komponen ▲ (Gambar 1.1d) (Meyer, 2004).
2.6.1.3 Istilah Umum Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
2.6.1.3.1 Waktu Tambat
Waktu tambat atau retention time (tR) adalah periode waktu yang dilalui
dari penyuntikan sampel hingga diperoleh rekaman signal maksimum. Waktu
tambat suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini
Fase Gerak
Fase Diam
Universitas Sumatera Utara
dijadikan suatu dasar analisis kualitatif. Suatu puncak kromatografi dapat
diidentifikasi dengan membandingkan waktu tambatnya terhadap baku (Meyer,
2004). Gambar 1.2 menunjukkan, w adalah lebar puncak dan t0 disebut waktu
hampa (void time/dead time) yaitu waktu tambat pelarut yang tidak tertahan atau
waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom (breakthrough
time). Waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir (μ) dan panjang kolom (L). Jika
laju alir lambat atau kolom panjang, maka tR akan semakin besar dan sebaliknya.
𝜇 = 𝐿𝑡𝑅
Gambar 1.2. Kromatogram hasil analisis KCKT. (Meyer, 2004).
2.6.1.3.2 Faktor Kapasitas (k’)
Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran derajat tambatan dari analit
yang tidak dipengaruhi laju alir dan panjang kolom. Faktor kapasitas dihitung
dengan membagi waktu tambat bersih (t’R) dengan waktu hampa (t0) seperti yang
dapat dilihat pada rumus berikut ini.
𝑘 = 𝑡′𝑡𝑜
= 𝑡𝑅 − 𝑡𝑜𝑡𝑜
Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen berbeda dengan
ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase gerak yang sama,
Universitas Sumatera Utara
maka faktor kapasitas dari analit pada kedua sistem KCKT tersebut secara teoritis
adalah sama (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
2.6.1.3.3 Efisiensi Kolom (N)
Efisiensi adalah ukuran tingkat penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi
kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritikal atau theoretical plates (N),
yang dapat dihitung dengan rumus:
𝑁 = 16 �𝑡𝑅𝑤� P
2
Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan pita sempit
dan memisahkan analit dengan baik. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika
ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi
semakin baik. Hubungan antara nilai lempeng dengan panjang kolom disebut
sebagai nilai HETP/Height Equivalent of Theoretical Plate (H). H dapat dihitung
dengan rumus:
𝐻 = 𝐿𝑁
(Snyder and Kirkland, 1979).
2.6.1.3.4 Selektifitas atau Faktor Pemisahan (α)
Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk
membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan sebagai rasio
perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit yang berbeda:
𝛼 = 𝑘2𝑘1
= 𝑡𝑅2 − 𝑡0𝑡𝑅1 − 𝑡0
Universitas Sumatera Utara
2.6.1.3.5 Resolusi (Rs)
Resolusi (Rs) merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang
berdekatan. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan waktu tambat antara dua
puncak dibagi dengan rata-rata lebar kedua puncak (Ornaf and Dong, 2005).
Pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkan harus lebih besar dari 1,5.
Sementara itu, bila kedua puncak yang berdekatan memiliki perbedaan ukuran
yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar (Meyer, 2004).
2.6.1.3.6 Faktor Tailing dan Faktor Asimetri
Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian
dengan derajat simetris yang sempurna (Ornaf and Dong, 2005). Namun
kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai. Jika
diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi
memperlihatkan tailing (Dolan, 2003). Pada Gambar 1.3 ditunjukkan tiga jenis
bentuk puncak.
Gambar 1.3. Bentuk puncak kromatogram. (Kazakevich and Lobrutto. 2007).
Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni
faktor tailing dan faktor asimetris. Faktor tailing (Tf) dihitung dengan
menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5% (W0,05), rumusnya dituliskan
sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
abaTf
2+
=
Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5%
seperti yang ditunjukkan di Gambar 4.
Gambar 1.4. Pengukuran derajat asimetris puncak (Dolan, 2003).
Sedangkan faktor asimetri (As) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
abAs =
Nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan setengah lebar
puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar 1.4. Jika nilai a
sama dengan b, maka faktor tailing dan asimetri bernilai 1. Kondisi ini
menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003). Bila puncak
berbentuk tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari 1 dan
sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri akan
bernilai lebih kecil dari 1 (Hinshaw, 2004).
2.7 Spektrometri Massa
Spektrometri massa merupakan tehnik yang sangat spesifik dan fleksibel
dalam mendeteksi dan mengidentifikasi suatu senyawa organik dan bukan
Universitas Sumatera Utara
organik karena spektrometri massa tidak hanya memberikan informasi mengenai
berat/struktur molekul tetapi juga memberikan informasi jelas dari struktur jejak
jari (fingerprint) yang berbeda-beda pada setiap senyawa (Cappiello, 2007).
Spektrometri massa dapat dipasang (coupling) dengan semua tehnik
kromatografi yaitu kromatografi cair, kromatografi gas dan kromatografi lapis
tipis (Onggo., dkk, 1998)
Metode ionisasi pada spektrometri massa dapat melalui beberapa cara
seperti Electron Impact (EI), Electrospray Ionization (ESI), Fast Atomic
bombardment (FAB), Atmospheric Pressure Chemical Ionization (APCI),
Atmospheric Pressure Photo Ionization (APPI), Termospray Ionization (TSP)
(Cappiello, 2007).
Pada penelitian ini alat KCKT-MS yang ada menggunakan spektrometri
massa metode elektrospray ionisasi (ESI).
2.7.1 Electrospray Ionization (ESI)
Electrospray Ionization (ESI) adalah salah satu metode dari spektrometri
massa untuk mendapatkan ion molekul. Metode ESI menggunakan penyemprotan
sehingga tidak terjadi fragmentasi molekul sampel melainkan yang diperoleh
adalah ion molekul dari senyawa sehingga bisa dipakai untuk identifikasi
(kualitatif) senyawa analit (Cappiello, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Instrumen KCKT
Instrumen KCKT terdiri atas 6 bagian, yakni wadah fase gerak (reservoir),
pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor
(detector) dan perekam (recorder) (McMaster, 2007).
2.7.2.1 Wadah Fase Gerak (Reservoir)
Wadah fase gerak menyimpan sejumlah fase gerak yang secara langsung
berhubungan dengan sistem (Meyer, 2004). Wadah haruslah bersih dan inert,
seperti botol pereaksi kosong maupun labu gelas. Adalah hal yang penting untuk
men-degass fase gerak sebelum digunakan karena gelembung gas kecil dalam fase
gerak dapat terkumpul di pump head atau pun detektor sehingga akan
mengganggu kondisi KCKT (Brown and De Antonis, 1997).
2.7.2.2 Pompa (Pump)
Pompa yang digunakan pada KCKT haruslah merupakan instrumen yang
kokoh untuk menghasilkan tekanan tinggi hingga 350 bar atau bahkan 500 bar.
Tipe pompa yang umum digunakan adalah pompa piston bersilinder pendek
(short-stroke piston pump). Laju alir dapat bervariasi dari 0,1 hingga 5 mL/menit.
Kebanyakan pompa saat ini telah memiliki saluran pembilas yang biasanya air
dapat bersirkulasi. Larutan ini berfungsi untuk membilas piston agar bersih dari
garam dapar (Meyer, 2004).
2.7.2.3 Tempat Injeksi Sampel (Injector)
Ada 3 jenis macam injektor, yakni syringe injector, sampling valve dan
automatic injector. Syringe injector merupakan bentuk injektor yang paling
sederhana (Synder and Kirkland, 1979). Sampling valve atau manual injector
mengandung 6 katup saluran dilengkapi dengan rotor, sample loop dan saluran
Universitas Sumatera Utara
jarum suntik (needle port). Larutan sampel akan disuntikkan ke dalam sampel
loop dengan jarum suntik gauge 22 pada posisi “load” dan larutan sampel yang
ada di sample loop kemudian akan dialirkan ke kolom dengan memutar rotor ke
posisi “inject”. Ukuran sample loop eksternal bervariasi antara 6 μl hingga 2 ml
(Ornaf and Dong, 2005).
Automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki prinsip yang
mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis (Meyer, 2004).
2.7.2.4 Kolom (Column)
Kolom merupakan jantung dari instrumen KCKT karena proses pemisahan
terjadi di sini. Kolom umumnya terbuat dari 316-grade stainless steel dan
dikemas dengan fase diam tertentu. Ukuran panjang kolom untuk tujuan analitik
berkisar antara 10 hingga 25 cm dan diameter dalam berkisar 3 hingga 9 mm
(Brown and DeAntonis, 1997). Sedangkan untuk tujuan preparatif panjang
berkisar antara 30 cm atau lebih dan diameter dalam berkisar 10 hingga 25,4 mm
(Meyer, 2004).
2.7.2.5 Detektor (Detector)
Karakteristik detektor yang baik adalah sensitif, batas deteksi rendah,
respon yang linier, mampu mendeteksi solut secara universal, tidak destruktif,
mudah dioperasikan, memiliki dead volume yang kecil dan tidak sensitif terhadap
perubahan temperatur serta kecepatan fase gerak (Hamilton and Sewell, 1977).
Beberapa detektor yang paling sering digunakan dalam KCKT adalah detektor
spektrofotometer UV-Vis, photodiode-array (PDA), fluoresensi, indeks bias,
spektrometri massa dan detektor elektrokimia (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.7.2.6 Perekam
Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder
dihubungkan ke detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari detektor
dan memplotkannya ke dalam kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis
(Brown and De Antonis, 1997).
Universitas Sumatera Utara