71
A. MEKANISME KERJA OBAT ANTI PSIKOTIK I. PENDAHULUAN Pengertian psikotropik menurut WHO adalah obat yang bekerja pada/atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Berbeda dengan pengobatan antibiotik, pengobatan dengan psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan pada pengetahuan empirik. Jenis-jenis psikotropika biasanya digolongkan berdasarkan kegunaannya klinisnya, yaitu : anti psikosis, anxiolitik, anti depresan, Mood stabilizer, Cognitive enhancer, hipnotik, stimulant. Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah : berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis, dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia, dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang reversible atau ireversibel, tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikis atau fisik. 1

Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

psikiatri

Citation preview

Page 1: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

A. MEKANISME KERJA OBAT ANTI PSIKOTIK

I. PENDAHULUAN

Pengertian psikotropik menurut WHO adalah obat yang bekerja pada/atau

mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikofarmakologi berkembang

dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata

efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Berbeda dengan pengobatan antibiotik,

pengobatan dengan psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan pada

pengetahuan empirik.

Jenis-jenis psikotropika biasanya digolongkan berdasarkan kegunaannya

klinisnya, yaitu : anti psikosis, anxiolitik, anti depresan, Mood stabilizer, Cognitive

enhancer, hipnotik, stimulant.

Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting

obat neuroleptik ialah : berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas,

hiper aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis, dosis besar tidak

menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia, dapat menimbulkan gejala ekstra

piramidal yang reversible atau ireversibel, tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan

ketergantungan psikis atau fisik.

1

Page 2: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

II. PEMBAGIAN OBAT-OBAT NEUROLEPTIKA

Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau

obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga

efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik

ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :

I. Obat anti psikotik tipikal

1. Phenothiazine

Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE

LEVOMEPROMAZINE

Rantai piperazine : PERPHENAZINE

TRIFLUOPERAZINE

FLUPHENAZINE

Rantai piperidine : THIORIDAZINE

2. Butyrophenone : HALOPERIDOL

3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE

II. obat anti psikotik atipikal

1. Benzamide : SULPIRIDE

2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE

OLANZAPINE

QUETIAPINE

3. Benzisoxazole : RISPERIDON

Obat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif pada

berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif

dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu

obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan obat-obat neuroleptika

atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” juga

terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors”

Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan

gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik

berfungsi dalam lingkungan yang suportif.

2

Page 3: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

III. FARMAKOKINETIK

Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat

memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik

adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap tapi tidak

seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang signifikan. Oleh

karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik

25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata

65%. Kebanyakan obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92

– 99%) sewaktu distribusi dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga

besar, biasanya lebih dari 7L/kg.

Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan

mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-daily

dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-hydroxychloropromazine dan

reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat tersebut.

Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama

thioridazin, lebih poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat

tersebut. Sediaan dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine,

thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.

Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan

tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh

eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.

IV. MEKANISME KERJA

Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang

dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.

Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut

disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional

neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan

observasi berikut:

Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama

pada sistem mesolimbik-frontal.

3

Page 4: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa

(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin

(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun

menyebabkan psikosis de novo pada pasien.

Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang

menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak

menderita skizofrenia.

Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan

jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada

cairan serebrospinal, plasma, dan urin.

Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di

otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic

klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.

Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-

obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan

tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor

selain reseptor D2.

Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 – D5. Setiap satu

reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain

transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens,

kortek serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek

terapi relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi

dengan afinitas mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan

hambatan reseptor D2 dan disfungsi ekstrapiramidal.

Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi

terhadap reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-

adrenoseptor mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru

ini. Inhibisi reseptor serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik

baru ini. Clozapin, satu obat yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D1, D4, 5-

HT2, muskarinik dan alfa-adrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah

4

Page 5: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

terhadap reseptor D2. Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin,

quetiapin, resperidon dan serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-

HT2A, walaupun obat-obat tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau reseptor

lainnya. Kebanyakan obat atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang

kurang kalau dibandingkan dengan obat-obatan standar.

V. EFEK KERJA

Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan

keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin

diotak, antara lain :

1. Jalur dopamin nigrostriatal

Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur

nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi

kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction

(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan

leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

2. Jalur dopamin mesolimbik

Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin

mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria

yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat

menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif

psikosis.

3. Jalur dopamin mesokortikal

Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.

Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini

selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,

juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala

pada emosi dan sistem kognitif.

5

Page 6: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

4. Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur

ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok

dapat terjadi galactorrhea.

Tindakan-tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan antipsikotik

terdapat pada tabel berikut.

Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptik

Obat D2 D4 Alfa1 5-HT2 M H1

Kebanyakan phenothiazine dan thioxanthene

++ - ++ + + +

Thiordazine ++ - ++ + +++ +Haloperidol +++ - + - - -Clozapin - ++ ++ ++ ++ +Molindone ++ - + - + +Olazapin + - + ++ + +Quetiapin + - + ++ + +Risperidon ++ - + ++ + +

6

Page 7: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Sertindole ++ - + +++ - -

VI. INDIKASI PENGGUNAAN

Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :

- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),

bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya

nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.

- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala :

gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),

gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),

dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).

- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :

tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Sindroma psikosis dapat terjadi pada :

- Sindrom psikosis fungsional : Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,

psikosis reaktif singkat, dll.

- Sindrom psikosis organik : delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.

VII. PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOSIS

a) Pengobatan skizofrenia

Antipsikosis merupakan satu-satunya pengobatan efektif untuk skizofrenia. Tetapi

tidak semua pasien responsif dan normalisasi tingkah laku yang komplit jarang dicapai.

Antipsikosis tradisional (tipikal) paling efektif dalam pengobatan gejala skizofrenia yang

positif (delusi, halusinasi, dan gangguan pemikiran). Obat-obat baru dengan aktifitas

penghambat serotonin (atipikal) efektif untuk pasien-pasien yang resisten dengan obat

tradisional, terutama pengobatan dengan gejala negatif dari skizofrenia (menarik diri,

emosi buntu, kemunduran dalam komunikasi dengan orang lain.

Klorpromazin (CPZ) berefek antipsikosis dan bersifat sedasi. Indikasi utama

fenotiazin adalah skizofrenia, dengan gangguan psikosis. Gejala psikosis yang

dipengaruhi oleh fenotiazin dan antipsikosis lain adalah ketegangan, hiperaktivitas,

combativeness, hostality, halusinasi, delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri

7

Page 8: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

yang buruk, negativisme dan kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Sedangkan

pengaruh fenotiazin kurang terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi.

Butirofenon diantaranya adalah haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan

mania penderita psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin.

Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu

kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing)

dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).

Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk mengontrol

gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif

(social disinterest, incompetence, dan personal neatness).

Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun

antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan

antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan

dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien sangatlah penting.

b) Pencegahan mual dan muntah yang hebat

Antipsikosis (umumnya proklorperazin) berguna untuk pengobatan mual akibat

obat. Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin, dan klozapin

mempunyai efek antiemetik.

Domperidon diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah, efek obat ini secara

klinis sangat mirip metoklopramid, yaitu mencegah refluks esofagus berdasarkan efek

peningkatan tonus sfingter bagian bawah.

c) Penggunaan lain

Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku

yang agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan cegukan yang

menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan

untuk pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.

Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang

sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain

8

Page 9: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil

efek samping belum tentu sama.

Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis

tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat

dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

VIII. SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURANNo Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran1 Chlorpromazine LARGACTIL

PROMACTILMEPROSETILETHIBERNAL

Tab. 25 mg, 100 mg

Amp.25 mg/ml

150-600 mg/h

2 Haloperidol SERENACE

HALDOLGOVOTILLODOMERHALDOL DECA-NOAS

Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mgLiq. 2 mg/mlAmp. 5 mg/mlTab. 0,5 mg, 2 mgTab. 2 mg, 5 mgTab. 2 mg, 5 mgAmp. 50 mg/ml

5-15 mg/h

50 mg / 2-4 minggu

3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h4 Fluphenazine

Fluphenazine-decanoate

ANATENSOLMODECATE

Tab. 2,5 mg, 5 mgVial 25 mg/ml

10-15 mg/h25 mg / 2-4 minggu

5 Levomepromazine

NOZINAN Tab.25 mgAmp. 25 mg/ml

25-50 mg/h

6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h8 Sulpiride DOGMATIL –

FORTE Tab. 200 mgAmp. 50 mg/ml

300-600 mg/h

9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h10 Risperidone RISPERDAL

NERIPROSNOPRENIAPERSIDAL-2RIZODAL

Tab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 2 mgTab. 1,2,3 mg

Tab 2-6 mg/h

11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg,

200 mg50-400 mg/h

13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h

9

Page 10: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

IX. PENGATURAN DOSIS

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :

- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu

Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam

- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari)

- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping

(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas

hidup pasien.

Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran

dinaikkan setiap 2 – 3 hari

sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)

dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan

dosis optimal

dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)

diturunkan setiap 2 minggu

dosis maintenance

dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu

tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)

stop

X. LAMA PEMBERIAN

Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi

pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang

cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.

Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah

dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan

kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom

Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat

lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis.

10

Page 11: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan

sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk ”Psikosis

Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun

waktu 2 minggu – 2 bulan.

Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan

dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada

penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic Rebound”, yaitu :

gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda

dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet

Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).

Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila

sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru

menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.

Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine Decanoate

25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4 minggu) sangat berguna

untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif

terhadap medikasi oral.

Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa

minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.

Dosis mulai dengan ½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru

ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.

Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan

pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus

menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.

XI. PEMILIHAN SEDIAAN

Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi

yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada

perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat

11

Page 12: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam memilih obat secara individual ialah

riwayat respon pasien terhadap obat.

Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi

rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya

tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.

Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :

1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui

sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.

2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh

pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin

enantat atau dekanoat.

3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke, sehingga

hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh pada fenotiazin

piperazin, atau haloperidol.

4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping

ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.

5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.

6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau

fenotiazin piperazin.

7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,

haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.

Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang

sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain

(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil

efek samping belum tentu sama.

Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis

tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat

dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

12

Page 13: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

XII. EFEK SAMPING DAN PENANGANAN

1. KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN

Efek samping

Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping

umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi

mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai

eosinofilia dalam darah perifer.

Efek endokrin

CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal ini

dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.

Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan hiperprolaktinemia lewat

penghambatan efek sentral dopamin.

Kardiovaskular

Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :

Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang

dihambat oleh CPZ.

Berefek bloker

Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung

Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ

Neurologik

Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis

berlebihan. Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat ini,

empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,

parkinsonisme dan sindroma neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul

setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral

dan diskinesia tardif.

2. BUTYROPHENONE

Efek samping dan intoksikasi

Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi

depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia dan

13

Page 14: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada

wanita hamil.

Susunan saraf pusat

Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami

eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan

hypothalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.

Sistem saraf otonom

Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor yang

disebabkan oleh amin simpatomimetik.

Sistem kardiovaskular dan respirasi

Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan obat

penghambat respirasi.

Efek endokrin

Menyebabkan galaktore

3. DIBENZODIAZEPIN

Efek samping dan intoksikasi

Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan klozapin.

Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat, dengan resiko

1,2% pada penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari

6 minggu kecuali bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula terjadi hipertermia,

takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi, kantuk, letargi, koma, disorientasi,

delirium, depresi pernapasan, aritmia dan kejang.

EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS

OBAT ANTI PSIKOSIS EFEKEKSTRAPIRAMIDAL

EFEKANTIEMETIK

EFEKSEDATIF

EFEK HIPOTE

NSIF

A. DERIVAT FENOTIAZIN1. Senyawa dimetilaminopropil :

KlorpromazinPromazin

++++

++++

+++++

+++++

14

Page 15: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Triflupromazin2. Senyawa piperidil :

Mepazin Tioridazin

3. Senyawa piperazin :AsetofenazinKarfenazinFlufenazinPerfenazinProklorperazinTrifluoperazin tiopropazat

B. NON-FENOTIAZINKlorprotiksen

C. BUTYROPHENONEHaloperidol

+++

+++

+++++++++++++++++

++

+++

+++

+++

+++++++++++++++++

++

+++

+++

+++++

++++++

++++

+++

+

+

++++

+++++++

++

+

EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK

EFEK GAMBARANKLINIS

WAKTURESIKO

MAKSIMAL

MEKANISME PENGOBATAN

Distonia akut Spasme otot lidah, wajah, leher, punggung ; dapat menyerupai bangkitan ; bukan histeria

1-5 hari Belum diketahui

Dapat diberikan berbagai pengobatan, obat anti Parkinson bersifat diagnostik dan kuratif

Akatisia Ketidak-tenangan, motorik, bukan ansietas atau agitasi

5-60 hari Belum diketahui

Kurangi dosis atau ganti obat; obat anti Parkinson, benzodiazepin, atau propanolol

Parkinsonisme Bradikinesia, rigiditas, macam-macam tremor, wajah topeng, suffling gait

5-30 hari Antagonisme dengan

dopamin

Obat anti Parkinson menolong

Sindroma malignan

Katatonik, stupor, demam, tekanan darah tidak stabil, mioglobinemia,; dapat fatal

Berminggu-minggu, dapat bertahan beberapa hari setelah obat dihentikan

Ada kontribusi antagonisme dengan dopamin

Hentikan neuroleptik segera; dantrolene atau bromokriptin dapat menolong; obat anti Parkinson lainnya tidak efektif

15

Page 16: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Tremor perioral (sindroma kelinci)

Tremor perioral (mungkin sejenis perkinsonisme yang dating terlambat) pengobatan

Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun

Belum diketahui

Obat antiparkinson sering menolong

Diskinesia tardif Diskinesia mulut-wajah; koreoatetosis atau distonia meluas

Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun (memburuk dengan penghentian)

Diduga : kelebihan efek dopamin

Sulit dicegah, pengobatan tidak memuaskan

Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang

involunter pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala

menghilang) yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan

besarnya dosis. Bila gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan

dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent).

Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah

menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.

16

Page 17: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

B. Mekanisme Kerja dari Mood Stabilizer

I. PENDAHULUAN

Mania ditandai dengan aktivitas fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang

luar biasa yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi.

Obat yang digunakan untuk mengobati mania disebut mood modulators, mood stabilizer

atau anti manics.

Penderita mania mengalami suasana perasaan yang meningkat disertai dengan

energi yang meningkat, sehingga terjadi aktivitas yang berlebihan, percepatan,

kebanyakan bicara dan berkurangnya kebutuhan tidur. Pengendalian yang normal dalam

kelakuan sosial terlepas, perhatian terpusat tidak dapat dipertahankan dan sering kali

perhatian sangat mudah dialihkan. Kadang juga dapat ditemukan harga diri yang

membumbung, pemikiran yang serba hebat dan terlalu optimistis dinyatakan dengan

bebas.

Tujuan dari penatalaksanaan mania adalah menekan secara menyeluruh semua

gejala-gejala yang muncul dan mengembalikan pasien ke keadaaan dan status mental

sebelumnya keadaan paling baik). Mood, pikiran, dan kebiasaan harus dikembalikan ke

kondisi normal, meskipun beberapa gejala mempunyai tingkat keparahan yang berbeda.

17

Page 18: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

II. PLASTISITAS SINAPTIK DAN NEUROTRANMISI

Sejarah memformulasikan bahwa gangguan mood terjadi akibat pergeseran ion

dan perubahan pada permeabilitas membran, yang akan menyebabkan kegagalan

langsung pada eksitasi neuron dan transmisi. Pemberian lithium merupakan salah satu

dari beberapa pilihan yang diketahui merupakan terapi yang memuaskan pada gangguan

bipolar, beberapa penelitian mengungkapkan hal tersebut terjadi akibat efek dari

neurotransmiter. Penelitian sebelumnya menemukan efek dari lihtium pada banyak

neurotransmiter dan sistem neuromodulator termasuk monoaminergik, serotoninergik,

kolinergik, dan sistem GABA. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa kemungkinan

lithium mengganggu pompa Na-K dan efek ini merupakan efek langsung pada perubahan

yang terjadi pada transmisi sinaps yang merupakan efek sekunder dari sistem

neurotransmiter spesifik.

Studi terbaru menyebutkan bahwa gangguan mood, termasuk gangguan bipolar,

mempengaruhi kaskade sinyal intraseluler yang akan menyebabkan gangguan struktural

dan fungsional pada plastisitas neuron, sama halnya dengan perubahan pada

neurotransmisi glutamate. Glutamat, neurotansmiter yang dominan pada otak,

berpengaruh pada transmisi sinaps pada sirkuit otak, dan merupakan kunci utama

pengaturan kekuatan dan plasticity sinaps, yang mana memegang peranan penting pada

proses neurobiologi dari belajar, memori dan kognisi umum. Perubahan level glutamat di

plasma, serum dan LCS ditemukan pada pasien yang menderita gangguan mood.

Dari sejumlah kasus didapatkan lihtium mempunyai efek langsung pada transmisi

glutamat. Secara khusus, beberapa bukti menunjukkan bahwa lithium mengubah

rangsang saraf pada hippocampus CA1 sinapsis, yang mengarah untuk meningkatkan

potensi rangsang postsynaptic. Kemampuan lithium untuk meningkatkan transmisi

sinaptik dalam CA1 hippokampus dikaitkan dengan peningkatan rangsangan presynaptic

serta peningkatan efisiensi sinaptik. Sebuah laporan terbaru juga menunjukkan bahwa

efek pada peningkatan sinaptik pada CA1 sinapsis mungkin timbul dari kemampuannya

untuk mempotensiasi arus melalui subtipe reseptor AMPA glutamat ionotropik secara

selektif meningkatkan kemungkinan channel opening. Efek-efek pada transmisi sinaptik

hippokampus mungkin menjadi relevansi khusus untuk pengobatan gangguan mood

karena hippokampus adalah komponen kunci dari jaringan sistem limbik, dan terlibat

18

Page 19: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

dalam regulasi emosional, kognisi dan memori. Oleh karena itu, sinyal hippokampus

disfungsional dapat menyebabkan gangguan perilaku pada gangguan mood, hipotesis

lebih lanjut didukung oleh temuan konsisten defisit memori deklaratif pada pasien

dengan gangguan mood. Sebagai relay akhir pada sirkuit hippocampal tripartit,

perubahan dalam plastisitas sinaptik dalam neuron piramidal CA1 dapat mempengaruhi

perubahan modulasi hippocampal dan / atau subicular dari beberapa struktur target

utama, termasuk korteks prefrontal (PFC), amigdala dan striatum, serta pengendalian

hippokampus terhadap pengaturan endokrin hipotalamus. Ini sangat menarik mengingat

teori terkemuka menunjukkan bahwa disfungsi dalam sirkuit saraf yang menghubungkan

hippocampus, PFC dan anterior cingulate cortex (ACC) erat terkait dengan kelainan

afektif dan kognitif yang terlihat pada gangguan mood.

Efek langsung pada transmisi saraf juga telah didokumentasikan untuk mood

stabilizer yang diklasifikasikan dalam antikonvulsan. Valproate menurunkan frekuensi

tinggi dari pelepasan potensial aksi dengan meningkatkan inaktivasi voltaged-gated

natrium channel dan secara tidak langsung meningkatkan fungsi GABA. Lamotrigin

melakukan blok pada channel natrium dan L-type channel kalsium, yang dapat

menyebabkan efek pada neurotransmisi dasar. Selain itu, baik valproate dan lamotrigin

meningkatkan regulasi eksitasi transporter asam amino, yang menyebabkan peningkatan

clearance glutamat. Oleh karena itu, mood stabilizer ini secara tidak langsung dapat

mempengaruhi rangsang neurotransmisi oleh modulasi tingkat penyerapan glutamat.

III. INTRASELULAR SIGNALING CASCADES

Studi selama 15 tahun terakhir telah menyatakan hipotesis bahwa gangguan mood

mungkin tidak hanya dihubungkan dengan gangguan seluler di eksitabilitas saraf dan

transmisi, tetapi juga pada gangguan dalam kaskade sinyal selular yang memediasi

perubahan struktural dan fungsional dalam saraf dan plastisitas sinapsis. Studi praklinis

telah menunjuk defisit dalam kaskade sinyal intraseluler yang terkait dengan sel,

pertumbuhan kelangsungan hidup dan metabolisme.

Kedua studi praklinis dan klinis menunjukkan bahwa lithium memberikan efek

neurotropik dan neuroprotektif, dan penelitian terbaru mengidentifikasi peran khusus

lithium dalam mengaktifkan kaskade sinyal intraseluler. Lithium menyebabkan

19

Page 20: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

peningkatan regulasi neurotrophin, neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF) serta

protein saraf, sel-B lymphoma/leukemia-2 (Bcl-2). Ia telah mengemukakan bahwa

tingkat berkurang Bcl-2 berkontribusi terhadap temuan mengurangi ukuran sel

hippocampal piramidal, dan penurunan tingkat of BDNF telah diidentifikasi dalam

gangguan bipolar. Selain efek neurotropiknya, BDNF memainkan peran penting dalam

mengatur plastisitas sinaptik dan, khususnya, diperlukan untuk bentuk-bentuk khusus

potensiasi jangka panjang di CA3-CA1 sinaps. Peningkatan ekspresi Bcl-2 melawan efek

buruk dari stres pada neuron, menunjukkan bahwa induksi farmakologis yang memiliki

utilitas dalam kasus ketahanan seluler dikompromikan. Selain pertentangan sel-kematian

sinyal, Bcl-2 merangsang regenerasi trauma aksonal berikut. Pada tingkat sel, Bcl-2

memainkan peran kunci dalam mengendalikan dinamika kalsium intraseluler, yang

merupakan kepentingan khusus karena kalsium regulasi sinyal gangguan telah berulang

kali diakui sebagai kelainan bipolar seluler. Menariknya, sinyal kalsium intraseluler juga

mempunyai peran regulasi dalam plastisitas sinaptik kaskade, termasuk mediasi aktivitas

transkripsi yang tergantung BDNF. Sebuah polimorfisme nukleotida tunggal pada gen

Bcl-2 (rs956572) dikaitkan dengan peningkatan gangguan bipolar risiko, dan secara

fungsional terkait dengan: (i) mengurangi Bcl-2 ekspresi dalam lymphoblasts manusia,

dan (ii) penurunan volume substansia nigra di striatum ventral. Lebih lanjut mendukung

peran Bcl-2 fungsi dalam gangguan bipolar, polimorfisme ini secara signifikan

mempengaruhi homeostasis kalsium intraseluler melalui regulasi endoplasma retikulum

rilis di lymphoblasts berasal dari pasien dengan gangguan bipolar.

Terakhir bukti yang mungkin relevan untuk klinis efek dari lithium, menunjukkan

bahwa mempromosikan perkembangan neurite dan menstimulasi neurogenesis

hippocampal orang dewasa di tikus. Mengingat bahwa neuron baru lahir

mengintegrasikan ke dalam sirkuit yang ada, dimana mereka menampilkan ditingkatkan

plastisitas dalam perilaku sirkuit yang relevan, ini bisa menjadi signifikan untuk fungsi

hippocampal dalam suasana hati

peraturan. Telah dilaporkan bahwa hipokampus neurogenesis kontribusi untuk regulasi

umpan balik negatif dari sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Mendukung

pandangan bahwa neuron baru lahir mungkin terlibat dalam sumbu HPA umpan balik

peraturan, sel-sel berkontribusi pada peningkatan antidepresan yang diinduksi dalam

20

Page 21: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

integrasi stres. Dengan demikian, dalam keadaan depresi, memfasilitasi neurogenesis

hippocampal dapat mengembalikan tepat kontrol atas sistem respons stres. Hal ini

terutama menarik karena ada bukti kuat dari HPA sumbu kelainan pada gangguan bipolar

(dibahas di bawah).

Beberapa enzim telah terbukti secara langsung dihambat oleh konsentrasi lithium

di terapi relevan. Ini termasuk inositol monophosphatase (IMPase); polifosfat inositol

fosfatase-; bisphosphate 30-nucleotidase; fruktosa 1,6-bisphophatase; kinase sintase

glikogen 3 (GSK3) dan phosphoglucomutase. Bukti dari berbagai penelitian juga telah

terlibat protein kinase C (PKC) dalam patofisiologi gangguan bipolar, dan keduanya

lithium dan valproate mengurangi tingkat PKC serta aktivitas PKC. Lithium berinteraksi

dengan jalur phosphoinositol-PKC melalui penghambatan IMPase, yang menghasilkan

penurunan bebas myo-inositol dan produksi diasilgliserol. Tindakan ini berkumpul untuk

menghasilkan tingkat PKC menurun dan aktivitas enzim. Valproate juga menghasilkan

tingkat PKC menurun dan aktivitas, tetapi themechanism dimana ia melakukannya adalah

fromthat berbeda lithium.

IV. PENENTUAN TINGKAT KONVERGENSI

Struktur-fungsi perubahan dalam gangguan bipolar dan efek stabilisator suasana

hati In vivo manusia studi pelaporan penurunan volume materi abu-abu dalam gangguan

bipolar yang baik dilemahkan atau meningkat pengobatan lithium telah memberikan kuat

mendukung untuk efek saraf dan neurotropik. Meskipun bukti yang konsisten dari

volume hipokampus menurun diidentifikasi pada penyakit depresi, penelitian awal

menunjukkan tidak ada perbedaan dalam gangguan bipolar. Namun, dengan

menggunakan pemetaan tiga dimensi teknik, sebuah penelitian terbaru dibedakan

struktural kelainan pada pasien dengan gangguan bipolar bahwa sekitar sesuai dengan

CA1 subbidang hippocampal. Beberapa laporan tambahan dan meta-analisis memiliki

didokumentasikan volume hipokampus peningkatan total pasien yang diobati dengan

lithium dibandingkan dengan tanpa pengobatan pasien. Sejalan dengan temuan ini,

menarik bahwa pengobatan lithium membalikkan dendritik hippocampal atrofi diinduksi

pada hewan model stres kronis. Dalam analisis recentmega-untuk secara sistematis

mengidentifikasi defisit volumetrik regional dan efek dari lithium administrasi dalam

21

Page 22: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

gangguan bipolar, data pencitraan dikumpulkan menunjukkan pengurangan volume otak

yang secara signifikan terkait dengan durasi penyakit. Individu dengan bipolar gangguan

yang tidak memakai terapi lithium menunjukkan signifikan penurunan volume otak dan

hippocampus, sedangkan pasien yang diobati dengan lithium menunjukkan secara

signifikan volume hipokampus dan amigdala meningkat. data pada amigdala volume di

patientswith gangguan bipolar memiliki sudah bertentangan, tetapi studi terbaru

menggunakan resolusi tinggi Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus meyakinkan

menunjukkan bahwa volume amigdala lebih kecil tanpa pengobatan pasien dengan

gangguan bipolar dan lebih besar pada pasien dengan gangguan bipolar pada mood-

stabilizer pengobatan.

Bersama-sama dengan data dalam analisis mega-atas-referenced, tampak lithium

yang memang memiliki efek trofik dalam amigdala. Tokoh volumetrik kelainan telah

dilaporkan dalam gangguan bipolar di ACC, dan kronis pengobatan dengan lithium atau

valproik asam telah dikaitkan dengan materi abu-abu meningkat volume di wilayah ini.

Praklinis penelitian yang menunjukkan bahwa lithium dan valproate meningkatkan

ekspresi molekul terlibat dalam plastisitas sinaptik, renovasi sitoskeleton dan ketahanan

seluler mungkin menjelaskan mengapa pencitraan ini studi telah menemukan volume

meningkat pada pasien dengan lithium-diperlakukan gangguan bipolar. Oleh karena itu,

ada Data menunjukkan neurotropik dan tindakan neuroprotektif lithium dalam berbagai

bidang dan limbik / atau prefrontal jaringan dengan meningkatkan ketahanan seluler,

meningkatkan sinaptik plastisitas dan morfologi neuronal modulasi. Studi neuroimaging

fungsional telah berharga dalam mengidentifikasi sirkuit otak putatif misregulated dalam

suasana hati gangguan. Dikombinasikan dengan data dari struktural dan volumetrik studi,

para peneliti telah mengidentifikasi otak kunci daerah dalam loop limbik, striatal dan

PFC yang dianggap mendasari manifestasi kognitif dan perilaku. Daerah ini mencakup

amigdala dan terkait limbik struktur, PFC ACC, orbital dan medial, ventro- medial

striatum, thalamus medial dan terkait dari ganglia basal. Berbeda dengan lesi lokal di

wilayah terisolasi, terganggu sinyal dalam sirkuit yang saling berhubungan diduga

menyebabkan penyakit kerentanan dan manifestasi perilaku suasana hati gangguan

gejala.

22

Page 23: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

V. PERSIMPANGAN DENGAN SISTEM GLUKOKORTIKOID DAN

AFEKTIF KETAHANAN

Meningkatkan bukti menunjukkan bahwa kelainan sistem limbik bersinggungan

dengan gangguan pada sinyal glukokortikoid pada gangguan suasana hati. Tarif

neurogenesis hippocampal adalah negatif dipengaruhi oleh peningkatan tingkat

glukokortikoid beredar dan stres kronis. Sebaliknya, terakhir bukti menunjukkan bahwa

neurogenesis hippocampal orang dewasa berperan dalam mengatur stres respon sistem.

Hal ini cukup menarik mengingat: (i) struktural dan volumetrik defisit dalam

hippocampus dari tanpa pengobatan pasien dengan gangguan bipolar (Gambar 2), dan (ii)

pengaruh lithium pada sirkuit hippocampal dan neurogenesis (Gambar 1c, d, e).

Perubahan inHPA umpan balik sumbu peraturan adalah salah satu kelainan biologis yang

paling kuat diamati pada gangguan afektif (Kotak 2). Selain itu, subtipe depresi paling

sering dikaitkan dengan hyperactivation sumbu HPA adalah yang paling mungkin untuk

dikaitkan dengan volumereductions hippocampal. Pentingnya fungsional dari gangguan

ini adalah disorot oleh penelitian yang menunjukkan bahwa normalisasi Aktivitas aksis

HPA sejajar remisi dari episode depresi dan mengurangi kambuh. Selanjutnya, kronis

pengobatan dengan lithiumand valproate dapat meningkatkan pemulihan baik dari

depresi dan episode manik yang terkait dengan (penyakit yaitu Cushing) eksogen atau

endogen ketinggian glukokortikoid. Yang penting, telah menunjukkan bahwa lithium dan

asam valproat (VPA) meningkatkan kadar bcl-2-terkait athanogene, TAS-1, sebuah

cochaperone protein yang menghambat reseptor glukokortikoid (GR) aktivasi. Bersama-

sama, data yang tersedia menunjukkan bahwa interaksi antara GR dan BAG1 melawan

merusak efek hypercortisolemia dalam gangguan bipolar dan berkontribusi terhadap

ketahanan afektif. Dengan demikian, perawatan ditujukan untuk modulasi langsung dari

jalur ini merupakan fokus bunga penelitian yang cukup besar, dan upaya untuk

mengidentifikasi terapi yang meningkatkan neurogenesis hippocampal mungkin memiliki

utilitas dalam mempromosikan glukokortikoid terkait afektif ketahanan. Temuan yang

berkaitan dengan peraturan glukokortikoid sangat penting karena: (i) glukokortikoid

merupakan salah satu agen beberapa mampu merangsang kedua manik dan episode

depresi pada individu yang rentan; dan (ii) peran glukokortikoid playimportant

inmediating yang stres respon serta modulasi selular dan afektif ketahanan.

23

Page 24: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

VI. STRATEGI-STRATEGI BARU DAN NOVEL TERAPI

Tujuan utama adalah pengobatan profilaksis, penurunan episode keparahan dan

meningkatkan interval antar episode. Meskipun pengobatan, sejumlah besar pasien

mengalami episode berulang. Permulaan depresi melumpuhkan sangat menyulitkan

karena administrasi sebagian besar terapi saat ini digunakan memiliki jeda waktu untuk

mencapai keberhasilan, hanya sebagian kecil dari pasien memenuhi respon kriteria pada

akhir minggu pengobatan pertama. Hal ini membuat pasien sangat rentan terhadap

menyakiti diri dan bunuh diri, yang tercermin oleh tingginya tingkat kematian selama

periode latensi. Dengan demikian, hal ini cukup baik studi terbaru menunjukkan bahwa

glutamatergic modulator dan otak paradigma stimulasi dapat memegang janji cepat

bertindak sebagai terapi.

VII. GLUTAMATERGIC MODULATOR

Tumbuh apresiasi glutamatergic yang abnormal sinyal dalam patofisiologi

gangguan suasana hati telah menunjukkan untuk modulator glutamatergic sebagai daerah

yang menjanjikan untuk penelitian pembangunan. Dengan demikian, senyawa

menargetkan glutamat rilis, reseptor glutamat ionotropic dan transporter glutamat berada

di bawah studi. awal studi mengidentifikasi cepat bertindak sifat antidepresan untuk

ketamin, non-kompetitif, tinggi afinitas reseptor NMDA antagonis, bunga yang signifikan

dihasilkan. In vitro, ketamin meningkat glutamatergic tingkat neuron menembak dan

presynaptic glutamat rilis, efek yang dianggap untuk berkontribusi pada efek yang kuat

dan cepat antidepressive. Menambahkan substansial bukti-konsep validasi untuk studi

klinis sebelumnya, baru-baru double blind plasebo terkontrol pada pasien dengan

pengobatan-tahan gangguan bipolar direplikasi, kuat cepat bertindak respon antidepresan

ketamin. praklinis penelitian menunjukkan bahwa antidepresan efek ketamin dimediasi

oleh aktivitas reseptor AMPA ditingkatkan. Peningkatan sinyal viaAMPAreceptors

glutamatergic diperkirakan terjadi sebagai akibat dari ekstraseluler meningkat glutamat,

yang secara istimewa nikmat sinyal melalui AMPA karena blokade reseptor NMDA

reseptor. Studi selanjutnya pada tikus telah menunjukkan bahwa target mamalia dari

rapamycin (mTOR) sinyal jalur yang terlibat dalam menengahi fastacting antidepresan

efek dari ketamin, dan ini adalah tergantung pada terjemahan cepat dari BDNF melalui

24

Page 25: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

penonaktifan faktor elongasi eukariotik 2 (eEF2). Meskipun hasil yang menggembirakan,

jangka panjang efikasi dan keamanan tetap ditangani. Sebuah penuh penjelasan

mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari kemampuan ketamin untuk menengahi

kedua fastacting dan efek antidepressive berkelanjutan diharapkan berharga dalam

memajukan pengembangan obat yang rasional untuk masa depan antidepresan agen.

Stimulasi otak

Langkah terakhir in understanding the misregulation kritis sirkuit saraf telah menaikkan

prospek langsung, terapi penargetan dengan menggunakan stimulasi otak untuk

mempromosikan in vivo saraf plastisitas. Non-invasif metode, termasuk

transkranialmagnetik stimulasi dan arus searah transkranial stimulasi, serta sebagai

bentuk invasif dari otak dalam stimulasi (DBS) yang menargetkan daerah otak melalui

implan elektroda, telah diusulkan. Secara teori, stimulasi ini dapat menghasilkan sirkuit

tingkat modifikasi yang dapat memperbaiki gejala. Penerapan DBS sebagai sukses terapi

pada penyakit Parkinson telah menyebabkan peningkatan minat utilitas potensinya untuk

pengobatan gangguan mood yang parah. Fungsional neuroimaging Data digabungkan

dengan data lesi sebelumnya pada hewan pengerat telah digunakan untuk

mengidentifikasi daerah sasaran putatif dan sirkuit saraf yang berkaitan dengan gangguan

mood, dan menarik pendahuluan studi menargetkan sirkuit limbik-kortikal memiliki

menjanjikan dalam gejala ameliorating di treatmentresistant depresi.

25

Page 26: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

C. KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

I. PENDAHULUAN

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan

Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang

memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di

rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan

psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi

terapeutik segera, antara lain: kondisi gaduh gelisah, tindak kekerasan (violence),

tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri, gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat

dan delirium.

II. EVALUASI

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan

utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus

dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik

Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan

pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan

tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi

informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau

inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang

diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi

dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak

dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik

26

Page 27: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,

pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu

pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh

seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.

Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat

memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan

mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah

meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu

gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien

selanjutnya:

a. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa

situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika

intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan

pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik

Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau

kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi

medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,

kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali

menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan

psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua

kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.

c. Psikosis

Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh

ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini

dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan

serta kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal

27

Page 28: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara

ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau

pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.

e. Kemampuan merawat diri sendiri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien

mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang

dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat

pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

c. Perlu observasi lebih lanjut.

III. PERTIMBANGAN DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TERAPI

1. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa

hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya

penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi,

EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya,

informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.

2. Terapi

Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum

tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,

perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

28

Page 29: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang

sangat efektif.

a) Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya

menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.

Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran

psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah.

Etiologi

Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis:

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak

organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.

Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena

suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).

Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin

terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik

(misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial,

dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,

pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya)

dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau

keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak

sendiri.

29

Page 30: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya

terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya

terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor

otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu

waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui

penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis

yang teliti.

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu

merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak

berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan

dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara

mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi

serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini

biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada

perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-

emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau

bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun.

Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir.

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah

ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping

psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang

inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi.

3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan

hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari

dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba

kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan

30

Page 31: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif

dan kebingungan reaktif.

4. Psikosis bipolar

Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok

gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang

menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang

dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu.

Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia;

pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang

lain juga menurun, dan sebaliknya.

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang

sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau

melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap

mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia

lekas tersinggung dan marah.

5. Amok

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh

faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa

Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan

Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound

phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya

seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia

bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula

terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja

yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam

keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir

karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau

karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya.

31

Page 32: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

IV. MENILAI DAN MEMPREDIKSI PERILAKU KEKERASAN

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam:

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu

b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjata

d. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat

f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak

kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan:

a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24 tahun,

status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat

psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis

d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

V. TATALAKSANA

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita

harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan

kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita

sudah dapat menguasai keadaan.

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap

berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk

lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya

32

Page 33: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu

dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin.

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik

tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu

mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan

neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,

haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak

secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu

tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara

intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti

neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan

antiagitasi.

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis

terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf

vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi

sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya

duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan

mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-

barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan

neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian

makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila

belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila

ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis.

33

Page 34: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk

lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila

sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar

memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika.

b) Tindak kekerasan (violence)

Seorang yang gaduh-gelisah

Menghadapi dengan tenangMenenangkan dengan kata-

kata sedapat-dapatnya,amankan.

Menentramkan keluarga/pengantar

Memeriksa badaniah sedapat-dapatnya

Terdapat kelainan intern/nerologik

Perawatan/penjagaan yang baik

Tidak terdapat kelainan intern/nerologik

Perawatan/penjagaan yang baikObati

kelainan intern/nerologik*etiologik*simptomatik

Obati gejala psikiatrik*neroleptika

Obati gangguan psikiatrik*neroleptika*tranquilaizer*psikoterapi suportif*Terapi elektrokonvulsi bila perlu

34

Page 35: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang

terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri

atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat

berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat

mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.

a. Gambaran klinis dan diagnosis

Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:

Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan

mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),

Intoksikasi alkohol atau zat lain,

Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

Katatonik furor

Depresi agitatif

Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan

pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),

Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan

temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,

Adanya rencana spesifik,

Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

Laki-laki,

Usia muda (15-24 tahun),

Tatus sosioekonomi rendah,

Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

Tindakan antisosial lainnya

Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak

kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat

diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil

kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

35

Page 36: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Panduan wawancara dan Psikoterapi

Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas

bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu

dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan

menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”

Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,

Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang

dan penuh kontrol.

Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

VI. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN

1) Lindungi diri anda

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)

seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa

dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.

- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu

pada anggota staf yang terlatih.

- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa

bahwa anda mengancamnya

- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan

rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan

pernah membelakangi pasien

2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,

gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

- Ancaman verbal,

36

Page 37: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

- Agitasi psikomotor,

- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

- Waham kejar, dan

- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti

garpu, asbak)

3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara

aman.

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya

setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk

menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan

wawancara pskiatrik.

VII. TERAPI PSIKOFARMAKA

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan

obat antipsikotik atau benzodiazepin:

- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-

rata per hari 13-14mg,

- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2

menit).

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang

sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk

penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan

benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan

respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol.

c) Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan

dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti

Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya

sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).Ada macam-macam

37

Page 38: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih

dapat dipakai karena praktis, yaitu:

1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh

kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak

berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa

mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri

dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai

integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga

lebih sedikit.

2. Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh

diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok

tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali

beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside

macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang

menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan

masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.

Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat

memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap

kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada

orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan.

Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah

melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:

1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).

38

Page 39: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan

kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat

mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed

murder”).

Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti

kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk

bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan

emosi dengan keinginan untuk membunuh.

3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).

Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan

bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,

akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya

sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum

diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa

berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia

menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

VIII. FAKTOR RISIKO

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri:

l. Jenis kelamin

Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki.

Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan

dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri,

meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan

overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.

m. Usia

Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,

angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan

39

Page 40: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih

jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.

n. Ras

Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding

ras kulit hitam.

o. Status perkawinan

Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.

Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian

meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal

juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

p. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial

yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki

resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki

resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang

memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi,

montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih

tinggi untuk bunuh diri.

q. Kesehatan fisik

Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan

dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik,

pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

r. Gangguan mental

Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki

gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia

10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan

mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.

s. Kecanduan alkohol

Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien

bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien

40

Page 41: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau

pasangan dalam satu tahun terakhir.

t. Gangguan kepribadian

Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan

kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga

merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga

dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,

keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah

dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor

kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri

Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila:

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau

berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering

dikatakan pada keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan

lain-lain)

e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan

serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang

miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide

bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

41

Page 42: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Mulailah dengan menanyakan:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

Tanyakan isi pikiran pasien:

- Berapa sering pikiran ini muncul?

- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

Selidiki :

- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh

dirinya?

- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

- Seberapa pesimiskah mereka?

- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

IX. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat

kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau

bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan

atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan

antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali

dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan

depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan.

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan

tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat

membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan

percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan

secara impulsif.

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi

berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat

di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah

menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan

42

Page 43: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan

masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.

Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai

kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang

berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.

X. TERAPI PSIKOFARMAKA

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan

berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya

terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1

mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus

terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

d) Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan

penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia

mutisme dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata

sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah

yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat

menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain

dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari

pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10

hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin

terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau

dosis yang meningkat cepat.

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika

terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:

- Diaforesis

43

Page 44: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

- Disfagia

- Tremor

- Inkontinensia

- Penurunan kesadaran

- Mutism

- Takikardia

- Tekanan darah yang meningkat atau labil

- Leukositosis

- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.

Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2

menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak

menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis

dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat

menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan

instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi

hipotalamus dan kekakuan otot

Faktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor

predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,

kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,

pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini

dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni

dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu

dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga

dan teman-temannya.

44

Page 45: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang

mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila

demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik

maligna.

Hentikna pemberian antipsikotik segera.

Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

Lakukan pmeriksaan laboratorium

Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan

kemungkinan terjadiny agagal ginjal.

Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian

adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda

atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45

mg/hari

Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

45

Page 46: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.

2. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral

Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.

3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill;

2001.

4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:

2001.

5. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:

Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.

6. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.

7. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI.2010.

46

Page 47: Antipsikotik, Moodstabilizer, Kegawatdaruratan Psikiatri

8. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press.2009.

9. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott

Williams & Wilkins. 2007

10. Tomb, D.A. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2004

47