Upload
hanhi
View
291
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
1 PENDAHULUAN
Arsitektur nusantara berusaha membuat tinjauan dalam
perspektif ilmu arsitektur dengan obyek (salah satunya) adalah
arsitektur tradisional/folk architecture/arsitektur vernakular.
Antropologi, post kolonialisme, dan arsitektur tradisional adalah
wilayah pengetahuan descriptive (penjelasan) bukan prescriptive
(resep untuk mendesain). Arsitektur nusantara tidak membatasi
geografis, arsitektur nusantara merupakan perubahan cara pandang
(Dinapradipta, 2006).
Arsitektur nusantara menempatkan arsitektur tradisional bukan
sebagai bendanya tetapi sebagai cara pandang arsitektur tradisional
dari sisi pengetahuan arsitektur (Dinapradipta,2006). Dalam tulisan ini
akan dibahas mengenai Arsitektur Nusantara Minangkabau yang dilihat
dari sisi pengetahuan arsitektur bukan pengetahuan antropologi. Dalam
hal ini yang dibahas adalah arsitektur rumah tinggal masyarakat
Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau berlokasi di Sumatra Barat, sebagian
daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah propinsi Riau
bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan Barat.
Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut,
bisa dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang
luas dan menyebar dari daratan sampai ke pesisir. Tapi asal Bangsa
Minangkabau adalah dari daratan. Karena itulah maka Arsitektur
Nusantara Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara
daratan.
1
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Rumah tempat tinggal Minangkabau disebut sebagai Rumah
Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang). Dikatakan Gadang (besar)
bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya selain
sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan
perlambang kehadiran satu kaum dalam satu nagari1, serta sebagai
pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat keluarga
kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat
anggota keluarga yang sakit.
Ditinjau dari bentuk, ukuran, serta gaya pemerintahan
Kelarasan2 dan Gaya Luhak3, Rumah Gadang mempunyai nama yang
beraneka ragam. Menurut Gaya Kelarasan aliran Koto Piliang, bentuk
Rumah Gadangnya diberi nama Garudo Tabang 4, karena di kedua ujung
rumah diberi beranjang (gonjong)5. Sedangkan Rumah Gadang dari
Kelarasan Bodi Caniago lazimnya disebut Garudo Menyusukan Anak6.
Bangunan tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri dan kanan
bangunan, tetapi pada bagian ujung kiri dan kanan di bawah gonjong
diberi beratap (emper) yang merupakan sayap burung yang sedang
mengerami anaknya.
Jika menurut Gaya Luhak, masing-masing Luhak mepunyai gaya
dan namanya sendiri. Rumah Gadang yang merupakan kepunyaan dari
Kaum Penghulu Pucuk di Luhak Tanah Datar dinamakan Gajah
1 Perkampungan penduduk Minangkabau yang memiliki tiga bagian utama, yaitu: Taratak, Koto, Dusun Kota. Pusatnya disebut Kampung. 2 Tingkat territorial Pemerintahan zaman Belanda yang statusnya lebih tinggi dari Kepala Nagari/desa 3 Komunitas yang merupakan gabungan dari beberapa Nagari 4 Garuda Terbang 5 Sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi dari lantai rumah bagian tengah 6 Garuda menyusukan anak
2
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Maharam7 karena besarnya. Sedangkan modelnya Rumah Baanjuang
karena Luhak tersebut menganut aliran kelahiran Koto8 Piliang.
Rumah Gadang Luhak Agam merupakan kepunyaan Kaum
Penghulu Andiko (yang memerintah) dinamakan Serambi Papek
(Serambi Pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada bagian kedua
ujung bangunannya. Sedangkan modelnya adalah Rumah Gadang di
bawah gonjong pada kedua ujungnya diberi ber emper dengan atap,
karena Luhak tersebut menganut Kelarasan Bodi Coniago.
Rumah Gadang Luhak Limopuluh Koto disebut dengan Rajo
Babandiang9 yang bentuknya seperti rumah di Luhak Tanah Datar yang
tidak mempunyai dan memakai Anjuang pada kedua ujung bangunan
atau tidak mempunyai lantai yang ditinggikan pada kedua ujung
bangunannya.
Gambar 1: Rumah Gadang Luhak Agam Serambi Papek
Gambar 2: Rumah Gadang Luhak
Tanah Datar
7 Gajah tidur 8 Gabungan dari beberapa buah dusun / dusun yang berkembang 9 Raja berbanding
3
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
4
Gambar 3: Rumah Gadang Luhak Lima Puluhan Kota
Bentuk dasar dari bangunan Rumah Gadang berbentuk segi
empat atau empat persegi panjang yang tidak simetris yang
mengembang ke atas. Dilihat pada sisi lain maka Rumah Gadang adalah
Rumah Panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah.
Rumah Gadang bentuknya yang memanjang tersebut biasanya
didasarkan kepada jumlah ruang dalam bilangan ganjil: 3,5,7,9, dan
ada pula 17 ruang pada masa lalu tetapi sekarang tidak diketemukan
lagi (Syamsidar, 1991).
Gambar 4: Denah Dasar Kompleks Rumah Gadang
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Keterangan Gambar: A: Rumah Gadang B: Deretan Rangkiang (Lumbung) C: Lesung D: Limau Manih Sandaran Alu E: Kemuniang Hutan Kudo F: Tebat Ikan G: Tepian Tempat Mandi H: Kebun Bunga 1. Anjung Kiri (Ujung) 2. Anjung Kanan (Pangka) 3. Jenjang 4. Sitinjau Lauik 5. Sibayau-Bayau 6. Sitangka Lapa 7. Jalan Masuk 8. Jalan Besar 9. Puding Perak Paga di Luar 10. Puding Emas Paga di Dalam 11. Jalan Kecil Ketapian Mandi 12. Halaman Pakai Pasir Halus 13. Kepuak Gadang 14. Kapuak Ketek 15. Batu Tapakan
5
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
2 PEMBAHASAN
PROSES MEMBUAT ARSITEKTUR NUSANTARA MINANGKABAU
Sebagaimana lazim dilakukan dalam masyarakat Nusantara,
secara umum proses membangun itu dapat dikatakan terdiri dari empat
langkah atau tahapan (Prijotomo, 1995).
Pertapakan
Langkah atau tahap pertama dari proses membangun adalah
proses pertapakan, yaitu proses di mana sebuah tapak ditetapkan,
termasuk di sini adalah penetapan tempat-tempat yang akan
diperuntukkan bagi berdirinya bangunan-bangunan (Prijotomo, 1995).
Hal pertama dari penentuan tapak adalah mendefinisikan area of
ground. Maksud dari area of ground adalah identifikasi tipe-tipe
tempat. Bisa saja tempat itu sempit, atau bisa juga sangat luas. Bukan
hanya butuh bentuk yang persegi empat, tapi juga yang lain (Unwin,
1997). Dengan mengidentifikasi tempat terlebih dahulu, maka akan
dapat ditentukan mana tempat yang sesuai untuk suatu bangunan,
sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pembangunan nantinya.
Untuk mendirikan sebuah Rumah Gadang, masyarakat tidak bisa
langsung memutuskan sendiri. Sebelumnya harus dimulai dengan
permusyawarahan antara orang-orang yang sekaum. Dalam
permusyawarahan tersebut akan dikaji patut tidaknya pembangunan
Rumah Gadang tersebut dilaksanakan. Hal ini dilihat dari segi
kepentingan satu-satu dan kepentingan tidak rusaknya adat. Misalnya
ketentuan adat mengatakan bahwa mendirikan Rumah Gadang pada
6
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
suatu tempat tertentu atau komunitas tertentu memiliki peraturan
yang berbeda dengan tempat dan komunitas lain dalam menentukan
bentuk dan ukuran serta gonjong Rumah Gadang tersebut. Rumah
Gadang bergonjong empat dan selebihnya, hanya boleh didirikan pada
perkampungan yang berstatus Nagari atau pusat Nagari atau komunitas
yang disebut dengan Koto. Di perkampungan yang lebih kecil seperti
Dusun10 atau yang lainnya hanya boleh mendirikan Rumah Gadang yang
bergonjong dua. Sedangkan pada komunitas yang disebut dengan
Taratak11 tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Gambar 6: Rumah Gadang bergonjong dua
Gambar 5: Rumah Gadang bergonjong empat
Sehubungan dengan ketentuan adat tersebut, dalam
musyawarah pembangunan Rumah Gadang juga dikaji letak yang tepat
serta ukurannya, serta penentuan waktu mulai mengerjakannya. Hasil
mufakat tersebut disampaikan kepada Penghulu Suku untuk
menyampaikan rencana pendirian Rumah Gadang itu kepada Penghulu
10 Gabungan dari beberapa Taratak atau Taratak yang berkembang 11 Tempat orang berladang secara bersama-sama, bagian yang dikerjakan masing-masing merupakan milik masing-masing. Pimpinannya disebut Tuo (Tua atau Ketua)
7
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Suku lainnya di dalam Nagari atau Dansanak Penghulu12 (Syamsidar,
1991).
Selain persyaratan tempat yang berhubungan dengan peraturan
dan luas perkampungan, terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis.
Rumah Gadang tidak boleh didirikan pada tanah yang basah, rendah
atau labil, atau di atas lahan pertanian. Masyarakat Minangkabau
dituntun dalam penggunaan lahan dan tanaman harus disesuaikan
dengan kondisi dan sifat masing-masing (Yurnaldi, 2000). Hal ini
dikarenakan Rumah Gadang tidak memiliki pondasi yang ditanam,
sehingga harus diletakkan di tanah yang stabil. Setiap tahapan dari
proses pendiriannya diperhitungkan dengan cara seksama dan dapat
dilihat sebagai sebuah pola dari penggunaan tanah dan tumbuh-
tumbuhan.
Soal orientasi Rumah Gadang, harus memperhatikan segi
keamanan, kepercayaan, dan kesehatan. Rumah Gadang dibangun
berjajar menurut arah mata angin dari Utara ke Selatan. Tapi ada juga
pendapat lain yang menyebutkan bahwa orientasi bangunan Rumah
Gadang tidak terpaku pada arah mata angin, melainkan terpaku pada
letak Gunung Merapi yang dipandang sebagai gunung bertuah karena
dalam kisah Tambo13 diceritakan bahwa Datuk Maharajo Dirajo
mendarat ke pantai pulau Sumatera karena melihat puncak Gunung
Merapi sebesar telur dari arah laut. Kemudian tempat pertama yang
dijadikan perkampungan adalah di lereng gunung tersebut. Letak
bangunan Rumah Gadang tidak boleh membelakangi Gunung Merapi.
Tetapi semenjak adanya jalan raya yang memenuhi hubungan antara
satu Nagari dengan Nagari lain atau pembangunan jalan raya dalam
12 Kelompok kepenghuluan yang sama seberat seringan 13 Sejarah kelahiran masyarakat Minangkabau
8
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Pemerintahan Belanda maka posisi bangunan Rumah Gadang ikut
terpengaruh, sehingga banyak yang dibangun paralel dengan jalan.
Pada perkampungan-perkampungan tua kita melihat adanya
bangunan rumah Gadang yang membelakangi jalan raya. Hal ini
bukanlah karena tempat bangunan dari Rumah Gadang tersebut
dilaksanakan demikian. Tetapi karena jalan raya itu dibangun lebih
kemudian daripada bangunan Rumah Gadang. Oleh karena itulah
bangunan Rumah Gadang itu tidak selalu menghadap ke jalan raya akan
tetapi karena kepercayaan rumah
Gadang tersebut yang tidak boleh
membelakangi Gunung Merapi maka
letak dan tempat Rumah Gadang itu
selalu lebih berdasarkan kepada
kepercayaan akan makna Gunung
Merapi sebagai suatu makna yang
bertuah dalam kehidupan orang
Minangkabau.
Mengenai arah letak yang
menyatakan bahwa letak Rumah
Gadang adalah arah mata angin, ada
yang mengatakan memanjang arah
utara ke selatan dan ada pula yang
menyatakan memanjang arah timur
barat. Dari kenyataan itu kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa letak itu
sangat dipengaruhi oleh bukan pada arah timur dan barat atau utara
dan selatan tetapi jelas letak dari bangunan Rumah Gadang yang akan
didirikan itu harus tidak membelakangi Gunung Merapi. Tempat
mendirikan Rumah Gadang ini adalah di tanah pusako tinggi satu
Gambar 7: Rumah Gadang merupakan rumah panggung
9
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
paruik14. Gunanya didirikan di sana ialah rumah itu basis bagi kaum
untuk bermusyawarah antara mamak dengan kemenakan, tempat
mamak memberi petunjuk dan pengajaran kepada anak kemenakannya,
tempat anak kemenakan mengadu dan bercerita, dan juga tempat
menyimpan barang-barang pusaka peninggalan mamak-mamak
sebelumnya. Jadi Rumah Gadang ini adalah rumah pusako dalam kaum
itu (Syamsidar, 1991).
Letak Rumah Gadang tidak rata dengan tanah, tapi memiliki
platform yang dinaikkan. Platform yang dinaikkan menciptakan level
permukaan horizontal yang diangkat di atas lahan yang asli. Bisa tinggi
bisa juga rendah. Bisa besar, berupa panggung atau teras, bisa juga
berukuran sedang, seperti meja atau altar, atau bisa juga kecil, berupa
anak tangga (Unwin, 1997). Jadi Rumah Gadang bisa dikatakan sebagai
rumah panggung, karena lantainya terletak jauh di atas tanah. Lantai
Gambar 8: atap Rumah Gadang yang tampak dominan pada keseluruhan bentuknya sehingga menjadi tanda
14 Tanah yang dulunya digarap oleh ninik mereka
10
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai ditinggikan satu
tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah Gadang tidak
beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga tinggi yang
merupakan lantai perahu. Ketinggian panggung atau platform Rumah
Gadang adalah sekitar satu atau dua meter di atas permukaan tanah.
Ruangan di bawah lantai ditutup anyaman bambu untuk kandang .
Dalam mengidentifikasi tempat, bisa menggunakan marker atau
tanda. Marker mengidentifkasi tempat yang khusus dengan cara yang
paling dasar. Bisa saja berupa batu atau bendera (Unwin, 1997).
Sesuatu yang menjadi tanda dari Rumah Gadang adalah bentuk
atapnya yang khas, yaitu menjulang ke atas sampai titik terkecil di
ujung sopi. Bentuknya secara keseluruhan menyerupai tanduk kerbau.
Penafsiran
Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang
berkelompok dan memiliki peraturan serta pemimpin dalam
kelompoknya. Mereka sangat menghormati keputusan pemimpin dalam
menentukan segala sesuatu, termasuk yang berkaitan dengan pendirian
bangunan. Untuk itulah sebelum mendirikan suatu bangunan diadakan
musyawarah terlebih dahulu antar pemimpin desa tentang layak
tidaknya atau boleh tidaknya bangunan ini didirikan.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tempat atau tapak di
mana bangunan akan didirikan dapat menentukan bentuk bangunan
tersebut. Di Nagari boleh didirikan Rumah Gadang yang bergonjong
empat atau lebih. Hal ini disebabkan karena Nagari merupakan
perkampungan yang terbesar dan merupakan gabungan antara Dusun,
Koto, dan Taratak sehingga sudah dianggap layak memiliki bangunan
yang besar. Sedangkan Dusun, memiliki wilayah yang luasnya di bawah
Nagari sehingga hanya diperbolehkan memiliki bangunan yang tidak
11
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
terlalu besar, hanya memiliki gonjong dua. Sementara Taratak tidak
diperbolehkan memiliki bangunan yang bergonjong karena Taratak
merupakan permukiman yang paling luar dari kesatuan Nagari dan
belum punya Penghulu.
Dalam hal orientasi bangunan yang tidak boleh membelakangi
Gunung Merapi, disebabkan karena Gunung Merapi dipercaya
merupakan cikal bakal tempat terbentuknya masyarakat Minangkabau
sehingga Gunung Merapi memiliki makna yang dalam yang dipercaya
sebagai sumber kehidupan dan keberuntungan. Orang yang berani
mengambil resiko mendirikan bangunan Rumah Gadang dengan
membelakangi Gunung Merapi dipercaya tidak akan mendapatkan
kejayaan dan keselamatan dalam hidupnya.
Rumah Gadang merupakan Rumah Panggung. Hal ini bisa jadi
disebabkan karena daerah Sumatra Barat yang merupakan lokasi
masyarakat Minangkabau bermukim merupakan lokasi yang rawan
binatang buas, jadi didirikan rumah panggung adalah dengan maksud
sebagai tempat perlindungan dari binatang buas. Selain itu rumah
panggung berarti bahwa kedudukan manusia memiliki derajat yang
lebih tinggi daripada hewan mengingat kolong di bawah rumah
diperuntukkan sebagai kandang hewan peliharaan.
Perangkaan
Langkah atau tahap kedua adalah proses perangkaan. Langkah
ini termasuk penyiapan hingga pemberdirian rerangka atau kerangka
bangunan. Kerangka bangunan ini biasa dikenal dengan sebutan struktur
utama bangunan. Proses perangkaan bangunan ini dapat dikatakan
berlaku sebagai langkah kedua, tak peduli apa kerangka bangunan yang
12
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
akan dipergunakan, kerangka/struktur batang ataukah
kerangka/struktur bidang (dinding pemikul)(Prijotomo, 1995).
Untuk mendirikan Rumah Gadang dicarikan bahannya ke hutan
di mana dipilih kayu yang baik dan tahan lama yang kemudian ditebang
dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki, lalu dibawa bersama-
sama ke tempat rumah itu akan didirikan. Sebagai sandi tiap-tiap
tonggak akan ditegakkan. Pada masa sekarang sebagai sandi telah
ditukar dengan mempergunakan semen yang dicor. Setelah persiapan-
persiapan kerangka rumah sudah siap untuk ditegakkan, selanjutnya
tahap kegiatan tersebut dengan batagak tiang atau batagak kudo-kudo,
yaitu kegiatan di mana seluruh tiang dan kerangka rumah mulai dari
bangunan bawah, bagian tengah, bagian atas telah siap dilakukan.
Yang dibangun pertama kali adalah rumah bagian bawah. Yang
dimaksud dengan bagian bawah adalah dari sandi sampai kepada
kandang. Mula-mula tanah di mana tempat bangunan itu didirikan
diratakan. Sudah itu dicari batu yang hampir bersamaan besarnya yang
digunakan sebagai sandi dari bangunan. Sandi dari bangunan itu
ditanamkan ke tanah sebagai tempat tiang-tiang rumah atau tonggak
ditegakkan. Biasanya sandi tersebut luas permukaannya lebih luas
daripada garis menengah lingkaran tonggak. Sandi tersebut tidak
dipersiapkan atau dibentuk dari batu yang berukuran besar melainkan
dicari batu yang mempunyai permukaan yang datar, dan dapat
ditanamkan sebagian dari badan batu tersebut ke dalam tanah.
Penentuan letak dan bentuk sandi serta cara pemasangannya sangat
menentukan kekokohan Rumah Gadang tersebut.
Antara lantai dan sandi-sandi yang merupakan tempat berdirinya
tiang rumah disebut dengan kandang. Fungsi kandang adalah untuk
memelihara ternak seperti ayam, itik, kambing, kerbau, dan sapi. Maka
antara tiang-tiang dari atas sendi ke lantai diberi sasak, yakni ditutup
13
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
atau dipagar dengan bambu yang dianyam sehingga pagar itu satu
dengan yang lainnya saling terikat. Pagar yang terbuat dari bambu ini
disebut dengan sasak. Bila sasaknya terbuat dari bagian bambu yang
dibelah dengan ukuran 7 cm disebut dengan sasak gadang. Sedangkan
bila dibelah dengan ukuran 2 sampai 3 cm disebut dengan sasak bugih.
Cara pembuatan dari sasak ini adalah dengan membelah-belah bambu
sesuai dengan besarnya yang dikehendaki dengan merautnya sehingga
bilah-bilah dari bambu tersebut yang tajam menjadi tumpul. Kemudian
setelah bambu menjadi sasak dilakukan pembenaman ke dalam lumpur
yang selalu digenangi oleh air sampai dengan bambu tersebut berubah
bentuk dan warnanya menjadi hitam. Masa pembenaman ini lebih lama
lebih baik tetapi tidak melebihi dari jangka waktu 2 tahun.
Pada Rumah Gadang yang asli tangganya terbuat dari kahu15.
Induk dari tangga tersebut dilobangi dengan mempergunakan pahat
sebanyak 7 atau 9 buah atau yang merupakan angka ganjil, gunanya
untuk kedudukan anak tangga. Lobang itu harus dibuat miring, supaya
kalau nanti tangga itu ditegakkan akan datar kembali.
Teknik dan cara pembuatan bangunan Rumah Gadang pada
bagian tengah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari teknik dan
cara pembuatan atau mendirikan tiang-tiang atau tonggak-tonggak yang
ada dalam sebuah Rumah Gadang seperti disebut dengan tiang: tonggak
tuo maksudnya tiang yang dituakan di mana pada tiang tersebut
menghubungkan seluruh tiang-tiang bangunan rumah gadang. Tiang
panjang merupakan tiang-tiang yang melintang berdekatan dengan
tonggak tua dan ada lagi tiang yang disebut dengan tiang dalam, tiang
temban, tiang dapur, tiang tepi, tonggak gantung yang kesemuanya
adalah tiang-tiang yang membentuk kerangka Rumah Gadang menjadi
15 Papan tebal
14
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
empat persegi panjang dengan dibatasi oleh tiang-tiang pada garis
tengah rumah.
Tiang Rumah Gadang berbentuk dasar bulat yang dibuat bersegi-
segi. Tidak ada tiang rumah Gadang yang terbuat dari kayu bulat. Tiang
merupakan bagian penting dari bangunan. Segi-segi dari tiang tidak
sama besarnya. Tiang yang besar terdapat pada tengah bangunan.
Tiang yang berada di tengah bangunan dibuat bersegi 8 sedangkan yang
terletak di samping bersegi 5. Tiang-tiang ini banyak fungsinya, yang
mana tiap nama menunjukkan fungsinya yaitu tiang: tepi, temban,
tengah, dalam panjang, salek, dapur, yang kesemuanya diberi ukiran
yang sesuai menurut fungsinya (Syamsidar, 1991).
Gambar 9: Letak tiang-tiang dalam Rumah Gadang
Antara dua deretan tiang-tiang yang dikasarkan merupakan satu
ruangan. Jumlah seluruh tiang-tiang badan istana adalah 10 x 5 = 50
buah dengan 9 ruangan. Jumlah tiang-tiang anjung masing-masing
adalah 9 buah yang terdiri dari dua ruangan. Jadi jumlah seluruh tiang
anjung kiri kanan adalah 18 buah. Rumah untuk tangga mempunyai
tiang yang agak kecil 4 buah. Jadi jumlah seluruh tiang-tiang istana
adalah 50+18+4 buah=72 buah tiang besar kecil (Syamsidar, 1991).
Tiang utama rumah didirikan tegak, tiang luar rumah lebih tua
agak condong ke luar sedikit. Hal itu untuk memberi sentuhan garis
15
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
atap yang dibangun ke
atas dan ke luar dengan
cara balok-balok
melintang dan kerangka
penguat, puncaknya
diperluas dengan
pemakaian penunjang
dan pengikat (Tjahjono,
2002).
Antara tiang-tiang
tersebut antara bagian
tengahnya dihubungkan
oleh rasuak, yaitu
merupakan dasar dari
bagian tengah dari bagian rumah gadang. Di atas rasuak yang dibantu
oleh hariau16 dibangun lantai yang dari ujung ke ujungnya meninggi dan
adakalanya dari ujung ke ujungnya bertingkat yang disebut dengan
anjuang. Lantai dari bangunan Rumah Gadang kesemuanya terbuat dari
papan yang diketam secara lurus dan kemudian disusun secara datar
dan rapat di atas jariau-jariau yang telah dipersiapkan untuk itu
(Syamsidar, 1991). Tiang-tiang rumah gadang tidak ditanam ke dalam
tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu layah. Untuk
menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak digunakan paku,
melainkan pasak dari bambu (Yurnaldi, 2000).
Gambar 10: bagian tiang
Penafsiran
Kayu yang dipilih dalam pembangunan Rumah Gadang adalah
kayu yang terbaik. Terutama yang akan digunakan sebagai tiang. Hal ini
16 Kayu untuk memperkuat kedudukan bangunan lantai
16
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
disebabkan karena tiang-tiang pada banguan Rumah Gadang tidak
ditanam ke dalam tanah sehingga diperlukan kayu yang kuat. Kayu
tersebut dipotong dengan besaran yang berbeda tergantung nantinya
akan dijadikan tiang yang mana. Ada beberapa macam tiang yaitu tuo,
tepi, temban, tengah, dalam, panjang, salek, dan dapur. Tiang-tiang
tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda karena memiliki fungsi
yang berbeda. Tonggak tuo berada di tengah bangunan memiliki segi 8
dan ukuran yang paling besar. Hal ini disebabkan karena tiang ini
merupakan tiang utama yang menyangga bangunan Rumah Gadang dan
menghubungkan antara tiang-tiang yang lain. Tiang-tiang yang lain
memiliki segi 5 dengan besaran yang lebih kecil karena fungsinya bukan
sebagai kolom struktur. Dari susunan tiang-tiang tersebut dapat
disimpulkan bahwa bangunan Rumah Gadang memiliki jenis
struktur/kerangka batang.
Persungkupan
Langkah ketiga yang ditempuh adalah proses persungkupan,
yakni proses memasang bidang lantai, dinding dan penyekat, serta
pemasangan penutup atap bangunan (Prijotomo, 1995). Pada Rumah
Gadang, kegiatan ini secara berurutan adalah memasang atap,
memasang lantai, kemudian memasang dinding, lalu langsung membuat
kamar dan seterusnya menyasak rumah atau melekatkan dinding-
dinding yang terbuat dari bambu (Syamsidar, 1991).
Roof or canopy
Roof memisahkan tempat dari langit, melindungi dari matahari
dan hujan. Roof juga mendefinisikan area tanah di bawahnya. Roof bisa
jadi kecil sebagai sebuah balok di atas pintu, atau bisa jadi sebesar
17
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
stadion. Karena gaya gravitasi, roof membutuhkan penyangga, bisa
berupa dinding atau kolom (Unwin, 1997).
Menurut bentuknya, Rumah Gadang biasa disebut Rumah
Gonjong atau Rumah Bagonjong, karena atapnya berbentuk bergonjong
runcing menjulang, adalah nama yang membedakan dengan rumah
biasa. Lengkungan pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau,
sedangkan lengkung pada badan rumah landai seperti badan kapal
(Syamsidar, 1991).
Gonjong adalah bagian yang paling tinggi dari setiap ujung atap
yang menghadap ke atas, dan merupakan ujung turang yang dibalut
dengan timah yang berbentuk:
• 2 labu-labu di bagian bawah
• 1 kelimbing di atas labu-labu
• 1 anting-anting di atas belimbing
• 1 ujung yang tajam di atas anting-anting
Gambar 11: bagian atap
Antara labu-labu, belimbing dan anting-anting ada peraturan yang
searah dengan ujung yang paling atas. Kombinasi bentuk gonjong inilah
18
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
yang seperti ujung tanduk kerbau jantan, dan dinamakan ‘isendak
langit’. Turang adalah bagian di bawah gonjong sampai ke batas garis
lurus bubungan atas kepemimpinan. Turang ini adalah tempat penahan
gonjong. Kombinasi bentuk turang dengan gonjong itulah yang
berbentuk ‘Rabuang mambacuik’. Keseluruhannya (antara Turang dan
Gonjong) disebut Gonjong saja.
Atap terbuat dari ijuk. Saga ijuk diatur susunannya dengan nama
Labah Mangirok atau Labah Maraok dan Bada Mudiak. Bubungan seperti
legkungan sayap burung burak akan terbang. Lengkungan bubungan
terletak antara dua gonjong yang ditengah. Gonjongnya seperti rebung
yang mula keluar dari tanah. Pucuk gonjong mencuat ke atas
(Syamsidar, 1991).
Lantai
Lantai terbuat dari papan. Ke ujung kiri kanan dari lantai
ditinggikan satu tingkat atau dua tingkat dinamakan anjung. Bila Rumah
Gadang tidak beranjang maka lantai yang sebelah kedua ujungnya juga
tinggi merupakan lantai perahu.
Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak terbuat dari kayu,
akan tetapi dibuat dari bambu yang dipecah dan didatarkan yang
disebut dengan palupuah. Jadi tidak menggunakan paku di dalam
pemasangannya tetapi hanya menggunakan rotan yang telah dibelah
untuk mengikat sehingga lantai tersebut tidak terlepas dan bercerai
berai (Syamsidar, 1991).
Barrier
Sebuah barrier membagi satu tempat dengan yang lain. Bisa
berupa dinding, tapi bisa juga berupa pagar. Tapi bisa juga barrier
secara psikologis yang berupa garis pada lantai (Unwin, 1997).
19
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Barrier pada bangunan Rumah Gadang berupa dinding penyekat.
Bangunan dinding rumah yang membesar ke atap disebut dengan silek
membebaskannya dari terpaan tempian. Di bawah lantai terdapat ruang
kosong yang dinamakan kolong. Kolong tersebut menjadi tempat
penyimpanan alat-alat pertanian atau juga tempat perempuan
bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruang atau sasak yang berkisi
jarang. Kolong ini ditutup dengan mempergunakan bambu yang
dianyam langsung waktu menutup kolong itu. Cara membuatnya
dilakukan dengan bergotong royong. Mula-mula diambil bambu yang
panjang beberapa
potong direntangkan
pada tepi kandang dan
diatur jaraknya,
kemudian diselip dari
atas ke bawah,
sehingga merupakan
anyaman. Untuk lebih
kuat dan kokoh, tiap-
tiap menyelip ini
antara yang satu
dengan yang lainnya harus berhadapan. Pekerjaan ini dinamakan
menyasak. Membuat janjang dengan mempergunakan papan tebal dan
lebar, induknya dilobangi dengan menggunakan pahat dan gergaji
sebanyak 7 atau 9 buah sebagai tempat bagi anak janjang. Lobang
dibuat miring, karena jenjang ini akan ditegakkan miring di tengah-
tengah rumah (Syamidar, 1991). Dinding-dinding tersebut membagi
Rumah Gadang menjadi beberapa ruangan.
Gambar 12: Perbedaan bahan untuk dinding penutup kolong dan ruang utama
Untuk pembuatan dinding dan pintu-pintu serta bilik atau kamar
pada bagian tengah Rumah Gadang biasanya telah diatur berdasarkan
20
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
ruang atau bagian yang diatur oleh tiang-tiang yang ada. Sebuah Rumah
Gadang biasanya hanya mempunyai sebuah pintu saja dan terletak pada
bagian ruang yang di tengah. Sedangkan jendela adalah setiap satu
ruang Rumah Gadang ada satu jendela yang kesemuanya menghadap
pada bagian depan rumah. Pada setiap pintu ada bandue17 (Syamsidar,
1991).
Rumah Gadang secara memanjang dibagi atas beberapa
ruang/lanjar. Maka secara melebar ia dibagi kepada didieh. Dan pada
sebagian Rumah Gadang pada ujung kiri dan kanan ada ruangan yang
disebut dengan anjuang dan ada kalanya ada ruangan yang menjorok
keluar di atas pintu masuk yang disebut dengan Balai18 (Syamsidar,
1991).
Ruangan dalam Rumah Gadang dibagi atas beberapa bagian
yaitu didieh yang menghadap ke depan atau bagian depan yang
merupakan ruang terbuka, dan didieh yang arah ke dalam disebut
Bandua digunakan sebagai Biliek (kamar tidur), dan di tengahnya
sebagai tempat sirkulasi keluar masuk (Syamsidar, 1991).
Gambar 13: Susunan ruang dalam Rumah Gadang
17 yang disebut dengan dasar dari pada pintu 18 yang digunakan untuk menerima tamu
21
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Makna dan Perlambangan
Orang Minang membandingkan ujung yang agung dengan tanduk
’kerbau kemenangan’ yang legendaris dalam pertandingan yang
diselenggarakan oleh pesaing dari Jawa (Tjahjono, 2002).
Penafsiran
Urutan pembuatan Rumah Gadang dalam kajian persungkupan
ini berbeda dengan urutan kebanyakan bangunan. Urutannya terbalik
yaitu dari atap, lalu lantai, kemudian baru dinding. Hal ini bisa jadi
disebabkan karena atap berfungsi untuk melindungi bangunan sehingga
ditutup terlebih dahulu supaya pada pengerjaan lantai dan dinding
nantinya tidak terganggu oleh panas dan hujan. Kemudian lantai
dikerjakan sesudah atap karena lantai merupakan tempat berpijak
untuk dinding dan dapat memudahkan dalam pengerjaan dinding bila
lantai sudah terpasang. Lalu yang terakhir adalah pengerjaan dinding.
Dinding dilakukan terakhir setelah atap dan lantai sehingga mudah
dalam pengerjaanya. Pembagian ruangnya pun telah terbantu oleh
tiang-tiang yang sudah terpasang sebelumnya.
Atap yang bergonjong menunjukkan kebesaran Bangsa
Minangkabau. Jumlah gonjong tidak bisa ditentukan secara bebas oleh
pemilik rumah. Dalam menentukan jumlahnya harus memperhatikan
peraturan adat yang berlaku. Susunan atap sudah merupakan ketentuan
dalam peraturan adat Minangkabau.
Pada Rumah Gadang yang asli, lantai tidak menggunakan kayu
melainkan bambu. Ini disebabkan karena bambu lebih mudah didapat
daripada kayu. Terlebih lagi bambu membutuhkan perawatan yang
lebih mudah daripada lantai kayu.
22
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Penutup ruang utama dan kolong berasal dari material yang
berbeda. Hal ini disebabkan karena fungsi dari kedua ruangan itu
berbeda. Untuk kolong cukup ditutup dengan sasak yang berkisi jarang
karena yang menghuni kolong hanyalah hewan-hewan peliharaan atau
alat-alat pertanian. Sedangkan ruang utama ditutup dengan kayu yang
masif karena aktivitas di dalamnya membutuhkan privasi penghuninya.
Hanya ada satu pintu
di Rumah Gadang.
Hal ini disebabkan
karena Rumah
Gadang merupakan
rumah panggung yang
membutuhkan tangga
untuk memasukinya.
Karena tangga yang
tersedia hanya satu,
maka hanya di situlah
letak pintu yang ada.
Karena merupakan sebuah pemborosan jika dibangun tangga yang lebih
dari satu.
Gambar 14: Rumah Gadang yang besar hanya memiliki satu tangga di depan dan satu pintu
Persolekan
Langkah keempat, sekaligus dipandang sebagai langkah terakhir
adalah proses persolekan. Proses ini bisa juga dikenal dengan proses
perampungan (finishing). Walaupun sebuah bangunan kayu misalnya,
tidak melakukan pengecatan atau pelapisan (jadi dibiarkan
sebagaimana bahan aslinya) tidaklah berarti bahwa proses persolekan
tidak terselenggara. Pemasangan atau penempelan benda-benda
23
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
tertentu harus dipandang sebagai sebuah tindakan dalam langkah
persolekan ini (Prijotomo, 1995).
Kegiatan terakhir dari tahapan pembangunan Rumah Gadang
ialah mengukir dan mencat bagian-bagian dari bangunan yang
diperlukan ukiran, dan yang paling akhir adalah membuat parit di
sekeliling rumah. Dinding Rumah Gadang juga berukir dengan ukiran
yang telah tertentu. Atap Rumah Gadang juga ada ukiran yang relatif
sifatnya. Relatif di sini berarti bahwa setiap Rumah Gadang tidak
memiliki motif ukiran yang sama.
Salah satu hal yang sangat penting pada ukiran rumah adat
Minangkabau adalah nama ukirannya. Nama ukiran dapat dilihat dari
kaitan ukiran dengan kehidupan masyarakat. Setiap nama ukiran
melambangkan suatu gejala hidup dalam masyarakat yang menjadi
pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Minangkabau.
Penggambaran kehidupan gejala alam dapat dilihat dari nama ukiran
yang berasal dari nama tumbuh-tumbuhan dan nama binatang.
Sedangkan penggambaran nilai-nilai kehidupan manusia dalam
masyarakat dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata-kata
adat.
Bentuk yang mula-mula timbul adalah bentuk realis, yaitu
meniru bentuk alam seperti apa yang dilihatnya. Tetapi kemudian
bentuk-bentuk alam itu mulai ada yang dirubah sesuai dengan
pandangan dan selera pembuatnya. Tetapi tidak berarti bahwa bentuk
realis sudah ditinggalkan sama sekali. Biasanya kedua bentuk itu
dikombinasikan dalam sebuah ukiran. Hal itu terlihat menonjol pada
ukiran Minangkabau.
Pada umumnya motif dasar yang banyak ditiru adalah bentuk
tumbuh-tumbuhan dan bentuk binatang. Suatu hal yang menjadi prinsip
motif ukiran rumah Minangkabau adalah motif itu diambilkan dari
24
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
benda-benda mati seperti pemandangan, pasir putih di pantai,
gantungan kain dan sebagainya.
Ukiran adat Minangkabau tidak memiliki pola tertentu, sesuai
dengan sifat gejala alam yang sukar dibuat polanya. Pola ukiran
Minangkabau hanya terletak dalam pikiran dan keahlian masing-masing
tukang ukir dalam memindahkan bentuk-bentuk alam ke dalam bentuk-
bentuk ukiran. Proses pemindahan bentuk alam ke bentuk ukiran hanya
terjadi dengan melihat bentuk alam, kemudian melalui proses abstraksi
alam pikirannya, lalu dipahatkan ke atas kayu yang hendak diukir.
Dengan demikian cetakan atau pola tetap tidak dikenal dalam ukiran
Minangkabau. Di samping itu prinsip pokok dalam ukiran Rumah Adat
Minangkabau disebutkan dalam kata-kata adat yang sudah mentradisi
dalam kehidupan masyarakat.
Ukiran dalam Rumah Gadang tidak dibiarkan polos tanpa warna.
Semua warna dipakai untuk menghidupkan seni ukiran. Warna dasar
yang digunakan adalah warna merah coklat, dibumbui dengan warna-
warna lain yang cocok sehingga tiap ukiran memiliki bentuk yang sesuai
dengan kenyataannya.
Ukiran tidak diletakkan di sembarang tempat. Sebelum ukiran
dibuat harus dipikirkan lebih dahulu motif ukiran yang sesuai dengan
tempat di mana ukiran itu akan ditempatkan. Umumya orang
Minangkabau akan selalu terpancing dengan sifat alam di sekitarnya
baik itu merupakan gerak-gerik isyarat ataupun bersifat lambang. Jadi
untuk menempatkan suatu ukiran itu hendaknya tepat pada sasarannya.
Ukiran akar-akaran dapat kita temui pada tempat-tempat yang
mengundang orang harus terlebih dahulu menggunakan akal pikiran
sebelum bertindak, yaitu ditempatkan di tiang-tiang, di pintu gerbang,
di pintu masuk di rangkiang. Begitu juga dengan penempatan ukiran
yang banyak melambangkan bunga-bunga. Kebanyakan ukiran bunga-
25
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
bungaan ini ditempatkan di tempat-tempat yang cepat terpandang
seperti di pintu-pintu, jendela-jendela, sampai ke bubungan atap.
Ukiran yang bermotif umbi-umbian dan daun-daunan banyak terdapat
pada pinggang rumah dan lisplang dalam kamar.
Sedangkan untuk ukiran yang bermotif binatang bisa
ditempatkan di dalam kamar maupun di luar kamar. Ukiran yang
terdapat di dalam kamar adalah yang bermotifkan binatang piaraan
seperti kucing lalok, kucing menyusukan anak, itiak pulang patang, dan
lain-lain. Sedangkan yang bermotif binatang liar kebanyakan di
tempatkan di tempat terbuka seperti alang bebega, gajah badorong,
kijang lari, ruso balari dalam ransam, harimau dalam parangkok, kudo
manyipak, dan lain-lain. Untuk ukiran ramo-ramo, kunang-kunang
berabah mandi, alang babega, sikumbang janti tantandu bararak,
sipaduik manyosok bungo, banyak terlihat pada pintu-pintu kamar anak
gadis. Sedangkan pada pintu bujangan banyak dijumpai ukiran paruah
anggang, kudo manyipak, takuak kodo manyipak, lokan-lokan, kaluang
bagayuik, kijang lari, dan lain-lain.
Pada bandua ayam19 dihiasi dengan tiga jenis ukiran dengan
nama aka cino bapilin, siriah gadang, dan sikambang manih. Pada
bagian dinding yang lebih luas dihiasi dengan ukiran yang bernama
pucuak rabuang, aka cino dan tabendang ka langik. Pada ventilasi di
atas jendela dihiasi ukiran dengan nama sikambang manih. Pada ujung
atap dihiasi ukiran pisang sasikek, tantadu bararak dan itiak pulang
patang. Pada pintu masuk dihiasi ukiran daun bodi, bungo lado, buah
palo, pucuak rabuang (Yulnardi, 2000). Dewasa ini muncul ukiran-
ukiran yang ditata dengan menggunakan tempelan pecahan kaca,
menjadikan penampilan ukiran berkesan lebih semarak (Minarsih, 1998)
19 Bagian memanjang bawah jendela
26
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Makna dan Perlambangan
Tiap-tiap ukiran mempunyai makna dan maksud tersendiri. Hal
itu juga berhubungan dengan tempat diletakkannya ukiran tersebut.
Berikut adalah arti dari beberapa buah ukiran:
1. Aka Bapilin (akar berpilin). Artinya bahwa tindakan orang
Minangkabau tidak ada yang sia-sia, semuanya harus ada maksud
dan tujuan. Oleh karena itu tidak boleh putus asa, karena
manusia sudah dibekali dengan akal pikiran untuk memikirkan
segala sesuatu yang berguna untuk hidupnya.
2. Kaluak paku (gulungan pucuk pakis muda). Ukiran ini
melambangkan tanggung jawab seorang mamak terhadap
kemenakan di rumah orang tua, juga sebagai ayah di rumah
isteri.
3. Bungo mantimun (bunga mentimun). Ukiran ini menggambarkan
bahwa sesuatunya itu harus dibiarkan berkembang sesuai dengan
kodratnya. Manusia hanya memelihara supaya perkembangannya
jangan terhalang, bahkan harus dipupuk supaya perkembangan
yang sudah ada jangan sampai mundur kembali.
4. Daun kacang goreng. Ukiran ini menggambarkan bahwa segala
sesuatu yang terdapat di alam memiliki tanda-tanda yang
menunjukkan keadaan alam itu sendiri.
5. Daun sirih. Ukiran ini menggambarkan konsep-konsep dalam
sistem sosial orang Minangkabau.
6. Bada mudiak (iringan ikan teri ke hulu sungai). Ukiran ini
menggambarkan kehidupan yang seia sekata dalam pergaulan
masyarakat, tidak terdapat saling pertentangan.
7. Itiak pulang patang (itik pulang sore). Ukiran ini
menggambarkan kehidupan yang santai sesudah berusaha dan
27
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bermakna keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan.
8. Kuciang lalok (kucing tidur). Ukiran ini menggambarkan keadaan
orang yang malas seperti kucing tidur.
9. Limpapeh (lipas besar). Ukiran ini menggambarkan bila dalam
sebuah rumah adat terdapat anak gadis yang cantik, maka
kepadanya diberi nama julukan limpapeh.
10. Ramo-ramo (kupu-kupu). Ukiran ini menggambarkan tentang
pusaka Minangkabau yang tetap, tidak berubah dari dahulu
sampai sekarang, walaupun para pendukungnya sudah silih
berganti. Pusaka Minangkabau yang dimaksudkan adalah adat
Minangkabau.
11. Sikambang manih. Ukiran ini bermakna kemeriahan, keramahan,
dan kesopanan.
12. Aka cino. Ukiran ini bermakna kehaluasan dan keserasian.
Gambar 16: Ukiran Ramo-ramo
Gambar 15: Ukiran Itik Pulang Patang
Penafsiran
28
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Ukiran merupakan upaya dari masyarakat Minangkabau dalam
memperindah bangunannya. Ukiran juga melambangkan identitas dan
kejayaan penghuni bangunan. Semakin penuh ukiran menyelubungi
bangunan, menunjukkan semakin jayanya keluarga yang menempati
rumah tersebut.
Ukiran yang terdapat pada Rumah Gadang adalah ukiran yang
menggambarkan sesuatu yang ada di alam seperti tumbuhan dan
hewan. Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari siklus kehidupan alam
yang terjadi di
luar kuasa
manusia. Begitu
juga dengan
kehidupan
masyarakat
Minangkabau.
Mereka tidak bisa
hidup lepas dari
alam. Karena
itulah mereka
menorehkan alam ke dalam bangunannya dalam bentuk ukiran.
Gambar 17: Ukiran tergambar di keseluruhan elemen
Rumah Gadang
Ukiran-ukiran yang bertemakan tumbuh-tumbuhan dan bunga-
bungaan sering dijumpai di tempat yang mudah dilihat oleh orang luar.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau suka dengan segala
bentuk keindahan dan diharapkan supaya orang lain ikut merasakan
segala keindahan tersebut dengan menempatkannya di tempat yang
mudah dilihat.
Ukiran-ukiran yang berwujud hewan peliharaan sering dijumpai
di dalam kamar, karena letak hewan peliharaan adalah di dalam rumah.
29
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Sebaliknya, letak hewan liar adalah di luar rumah, karena itu ukiran
yang menggambarkan hewan liar diletakkan di luar rumah.
Ukiran-ukiran dan warna-warna yang disematkan pada seluruh
bagian Rumah Gadang memperkaya makna dan semakin memperindah
tampilan Rumah Gadang. Rumah Gadang sudah memiliki bentuk yang
unik walaupun tanpa ukiran. Dengan ukiran, maka bentuk yang unik
tersebut semakin memiliki banyak makna dan menjadi semakin indah.
Upacara pada setiap langkah/proses pembuatan
Di dalam setiap langkah itu, bisa saja terselenggara upacara dan
tatacara tertentu yang harus diselenggarakan oleh masyarakat
bersangkutan. Ini berarti bahwa dalam proses membangun itu
terselenggara pula sebuah organisasi dan pengelolaan
konstruksi/pembangunan. Sementara itu, terhadap keberadaan
bangunan dalam setiap langkah itu, bisa saja didapatkan makna dan
atau simbolisasi tertentu. Memang, makna dan simbolisasi itu bisa saja
terberikan setelah seluruh proses terjalani, tetapi di sini dianggap
bahwa makna dan simbolisasi itu terjumpai/terdapati di dalam masing-
masing langkah. Maksudnya, makna dan simbolisasi bisa saja
ditempatkan di dalam penggal-penggal langkah dari proses pengadaan
bangunan (Prijotomo, 1995).
Dalam masyarakat Minangkabau, upacara-upacara yang
dilakukan sebelum mendirikan bangunan dikenal dengan upacara yang
disebut dengan batoboh dan me orak rabo. Upacara batoboh adalah
upacara yang dilakukan untuk memasang niat dalam rangka mengambil
kayu ke hutan sebagai bahan bangunan. Upacara ini dilaksanakan di
hutan tempat penebangan kayu. Sedangkan me orak rabo berarti
melakukan pembersihan atau mendatarkan tempat dari semak-semak
yang harus dibuang sehingga tempat bangunan yang akan dibangun
30
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
menjadi datar dan jelas sehingga mudah dilakukan pengukuran untuk
meletakkan tiang-tiang. Upacara ini juga bermaksud untuk
membersihkan setan-setan halus yang ada di tempat itu. Upacara ini
dilakukan di tempat bangunan akan didirikan.
Selain itu terdapat pula upacara yang disebut dengan
mencataktiang tua atau mencacak tonggak tuo yaitu pekerjaan yang
pertama yakni membuat tiang utama. Mencacak berarti memahat atau
melobangi tiang yang pertama yang dianggap tertua. Upacara ini
dianggap sebagai waktu peresmian bangunan akan didirikan dan
dilaksanakan di halaman atau di tempat bangunan akan didirikan.
Ketika mendirikan bangunan, terdapat satu upacara yang
disebut dengan nama batagak rumah atau batagak kudo-kudo. Batagak
rumah berarti menegakkan tiang-tiang rumah di atas sandi rumah yang
telah ditetapkan. Batagak kudo-kudo memasang tiang-tiang yang tegak
lurus dan melintang tempat pemasangan atap yang berbentuk pelana
kuda sebagai dasar atap bangunan rumah yang bergonjong. Tujuan
upacara ini adalah untuk mendapat restu dari nagari dan mendapat
dorongan moril dalam melaksanakan pembangunan tersebut.
Setelah bangunan selesai dibangun juga dilaksanakan upacara.
Pada bangunan Rumah Gadang, upacara ini disebut dengan upacara
menaiki rumah. Karena tiap-tiap bangunan yang telah selesai akan
segera ditunggui atau dihuni oleh pemilik rumah. Tujuan dari upacara
ini selain peresmian bahwa bangunan itu akan dihuni, juga merupakan
tanda ucapan terima kasih dan permohonan doa restu kepada kaum
kerabat yang sudah berperan serta dalam pendirian bangunan tersebut.
Upacara ini diselenggarakan pada bangunan yang bersangkutan
(Syamsidar, 1991).
31
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Penafsiran
Sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadat,
masyarakat Minangkabau masih melakukan upacara-upacara dalam
mendirikan bangunan, yang mana upacara-upacara tersebut telah
dilaksanakan secara turun temurun sejak para pendahulunya. Masih
dilaksanakannya upacara-upacara tersebut antara lain disebabkan oleh
masih percayanya masyarakat Minangkabau terhadap mitos-mitos yang
ada.
Apabila dalam mengambil kayu di hutan tanpa dilaksanakan
upacara sebelumnya, dikuatirkan kayu yang ditebang berasal dari pohon
yang ‘berpenghuni’. ‘Penghuni’ tersebut bisa jadi menjadi marah dan
rumah yang dibangun nantinya menjadi tidak aman. Jadi upacara yang
dilakukan juga memiliki maksud meminta ijin kepada para ‘penghuni’
untuk memotong ‘tempat tinggalnya’ untuk digunakan sebagai bahan
bangunan.
Begitu juga yang terjadi dengan upacara di tapak bangunan.
Tapak yang kosong, bukan berarti benar-benar ‘kosong’. Membangun
rumah di tapak tanpa melakukan upacara pendirian dipercaya bisa
mengakibatkan bencana dalam proses pembangunan rumahnya. Bisa
jadi mengakibatkan tukang yang mengerjakannya celaka, dan lain
sebagainya.
Sedangkan upacara menaiki rumah dilakukan supaya rumah yang
akan ditinggali tersebut membawa keberuntungan bagi penghuni rumah
di masa depannya.
Kepercayaan masyarakat Minangkabau terhadap hal-hal mistis
tersebut menjadikan upacara-upacara pendirian rumah masih
dilakukan. Hal ini berguna bagi kelangsungan adat istiadat yang sudah
turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sebelumnya.
32
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Pelaksanaan upacara dilakukan di setiap proses pembangunan
kecuali pada proses persolekan. Pada proses pertapakan, perangkaan,
dan persungkupan, dilakukan upacara karena proses ini merupakan
proses utama dalam pendirian sebuah bangunan. Sedangkan proses
persolekan hanyalah sebuah proses finishing, jadi bukan proses
pendirian bangunan. Sehingga upacara tidak diperlukan pada proses ini.
TRANSITION, HIERARCHY, HEART
Mengalami sebuah arsitektur melibatkan suatu pergerakan.
Seseorang melewati dari luar ke dalam, atau melalui beberapa rute
tingkatan. Seseorang bisa saja berpikir sebuah tempat sebagai tempat
pemberhentian. Hal ini bisa disebut sebagai tempat yang statis. Tetapi
sebuah jalan yang diambil oleh seseorang dari satu tempat statis ke
tempat statis lain disebut tempat juga. Hal ini bisa disebut sebagai
tempat dinamis.
Karakteristik dari tempat statis bisa dipengaruhi oleh tempat
dinamis yang mengarah padanya. Dan karakteristik dari tempat dinamis
bisa dipengaruhi oleh tempat statis ke mana dia mengarah.
Transisi membentuk bagian dari pengalaman berarsitektur.
Sebuah pintu dari rumah merupakan batas antara dunia publik dan
dunia private. Tempat-tempat transisi penting sebagai cara tempat
statis berhubungan satu sama lain. Seringkali terdapat sekuen, atau
hirarki tingkatan antara satu tempat statis dan yang lainnya. Biasanya
hirarki ini memuncak pada pusat arsitektur yang disebut sebagai
jantung (heart) (Unwin, 1997).
33
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Trantition
Yang berfungsi sebagai transisi pada suatu bangunan adalah
penghubung dua tempat, dalam hal ini adalah pintu. Pintu adalah
sesuatu yang kita lalui untuk berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain; dan jendela adalah sesuatu yang membuat kita bisa melihat
ke luar ruangan dan yang menyebabkan cahaya dan udara dapat masuk
ke ruangan (Unwin, 1997).
Semua jendela dan pintu dalam rumah Gadang disebut dengan
pintu. Pintu Badan Rumah Gadang adalah jendela, sedangkan pintu
masuk Rumah Gadang adalah yang terdapat pada anjuang. Jadi ada dua
pintu menurut istilah orang Minangkabau, yaitu pintu di badan rumah
dan pintu untuk masuk ke rumah (Syamsidar, 1991).
Letak pintu adalah pada badan rumah gadang bagian muka dan
samping kiri kanan. Kalau kita melihat dinding bagian belakang Rumah
Gadang maka kita melihat dinding terbuat dari sasak20. Jumlah jendela
pada Rumah Gadang tergantung pada jumlah ruangan.
Pintu pada Rumah Gadang yang berfungsi sebagai transisi adalah
satu pintu yang terdapat di depan bangunan di depan tangga masuk.
Pintu ini menghubungkan dunia luar dengan dunia di dalam Rumah
Gadang atau bisa dikatakan bahwa pintu ini merupakan penghubung
antara dua tempat statis. Seseorang yang ingin mengalami kehidupan di
dalam Rumah Gadang harus melalui pintu ini terlebih dahulu.
Hierarchy
Hirarki dalam arsitektur adalah sebuah rangkaian atau rute
tingkatan yang dialami dalam sebuah arsitektur. Dalam mengalami
suatu hirarki, seseorang harus melalui sebuah jalan/path. Sebuah path
bisa berupa ramp atau tangga (Unwin, 1997).
20 Bambu yang telah dibelah
34
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang
terletak di bagian depan. Rumah Gadang Rajo Babandiang di Luhak
Limopuluhan Kota letak tangganya di belakang. Sedangkan Rumah
Gadang Surambi Papek dari Luhak Agam letak tangganya di samping
sebelah kiri menghadap ke depan. Akan tetapi Rumah Gadang Gajah
Maharam atau Si Tinjau Lauik atau Rumah Baanjuang tipe Koto Piliang
mempunyai tangga di depan dan belakang yang letaknya di tengah.
Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet
pada dinding. Pada Rumah Gadang Rajo Babandiang tangganya terletak
pada antara bagian dapur dan rumah. Sedangkan pada Rumah Gadang
Surambi Papek dapur dibangun terpisah oleh jalan keluar masuk melalui
tangga rumah (Syamsidar, 1991). Untuk masuk ke dalam Rumah
Gadang, maka seseorang harus melalui tangga ini terlebih dahulu. Ini
merupakan satu-satunya jalan masuk ke dalam Rumah Gadang. Setelah
itu akan dialami tingkatan ruang-ruang di dalam Rumah Gadang.
Rumah Gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-
masingnya mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian merupakan
ruangan lepas kecuali biliek21. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan
ruang-ruang ditandai oleh tiang. Tiang tersebut berbanjar dari muka ke
belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke
belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai
ruang. Jumlah lajur tergantung pada besar rumah, biasanya 3, 5, dan 7.
Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara 3 sampai dengan 9.
Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang yang
disebut didieh belakang atau Bandua biasanya digunakan untuk kamar-
kamar. Jumlah kamar tergantung kepada perempuan yang tinggal di
dalamnya atau besarnya lanjar yang ada. Kamar tersebut umumnya
kecil, sekedar termuat sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan
21 Kamar Tidur
35
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar-kamar digunakan untuk tidur
dan berganti pakaian saja, dan tak mungkin digunakan untuk keperluan
lain, karena keperluan lain harus digunakan pada ruangan atau tempat
yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang
komunalistis, tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang
memberikan kesempatan pengembangan pada kehidupan yang
individual. Kamar untuk para gadis ialah pada bagian ujung kanan jika
orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri
biasanya digunakan oleh penganten baru atau pasangan suami istri yang
paling muda. Meletakkan mereka di sana agar bisa terhindar dari hingar
bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjuang, maka
anjuang sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan
anjuang sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi
penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara adat. Pada hari-
hari biasa, anjungan bagian kiri digunakan untuk meletakkan peti-peti
penyimpanan barang berharga milik kaum.
Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai
previlasi dari para penghuni kamar. Seperti tempat mereka makan,
tempat mereka menanti tamu masing-masing. Luasnya seluas Lanjar
kali satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka. Lanjar
ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar tiga. Sebagai
lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu dari masing-
masing penghuni kamar yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu
dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan
bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua
perempuan tua yang memimpin rumah tangga tersebut. Perempuan lain
yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk
di lajur kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu ada
laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya,
36
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang
menemaninya di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini
ialah di kedua ujung ke ujung rumah. Pangkal rumah adalah di bagian
tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya merupakan tiang
yang paling tengah. Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan
dinding depan. Merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan
sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan (Syamsidar,
1991).
Rumah Gadang pada umumya terdiri dari tiga ruang sampai
sebelas ruang. Fungsinya selain untuk menentukan batas kamar tidur
dengan wilayahnya, maka pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian. Yakni
bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan. Apabila Rumah Gadang
itu memiliki tangga di tengah bagi yang terletak di belakang maupun di
depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari muka ke
belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat
duduk atau makan, baik pada waktu sehari-hari ataupun pada waktu
diadakan perjamuan atau bertamu. Pada Rumah Gadang Serambi Papek
yang tangganya di sebelah sisi rumah, maka ruangannya terbagi dua,
yakni ruang ujung dan ruang pangka (pangka=pangkal). Dalam bertamu
atau perjamuan ruang di ujung tempat tamu, sedang ruang di pangkal
tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi pangkal (tuan
rumah) (Syamsidar, 1991).
Dari fungsi-fungsi ruang yang disebutkan di atas, dapat dilihat
adanya hirarki dalam penyusunan ruang-ruang tersebut. Hirarkinya
dapat dilihat dari penting tidaknya ruang tersebut dalam kaitannya
dengan fungsi ruang terhadap penghuninya. Juga dapat dilihat
berdasarkan fungsi publik - private. Lanjar belakang – lanjar kedua –
lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi merupakan urutan private –
37
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
semi private – semi publik – semi publik – publik. Ini adalah hirarki
dalam Rumah Gadang yang dilihat dari fungsi publik-private.
Selain itu, hirarki dalam Rumah Gadang juga berdasarkan siklus
kehidupan wanita, dan membentuk perjalanan dari pusat menuju ke
anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur
(http://cyclops.prod.untd.com). Pada masyarakat Minang yang
matrilineal, suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional, anjuang
merupakan tempat tinggal banyak anak perempuan yang baru menikah
dan suaminya tinggal. Wanita lain yang sudah menikah dan pasangannya
menempati bilik atau biliak, di belakang rumah. Setiap gadis yang
menikah pindah ke anjuang, sementara wanita yang sudah menikah
lainnya pindah bergeser satu ruangan ke arah dapur. Idealnya, wanita
tertua di rumah harus tidur di biliak sebelah dapur. Jika tidak ada
biliak kosong untuk ditempati, ia pindah ke ruangan yang disebut
pangkalan (tiang pusat) melambangkan kedudukannya sebagai wanita
tua (Tjahjono, 2002).
Heart
Gambar 18: siklus kehidupan wanita dalam Rumah Gadang
38
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
Heart merupakan puncak dari susunan Hirarki yang terdapat
dalam bangunan. Heart bisa juga diartikan sebagai fokus dalam
arsitektur. Dalam arsitektur, fokus bisa berarti elemen manapun yang
merupakan pusat atau inti. Bisa saja berupa fireplace, tapi mungkin
juga berupa altar, bahkan gunung yang jauh (Unwin, 1997).
Dalam susunan ruang pada Rumah Gadang, ada satu ruang yang
ditinggikan, disebut anjuang. Di masyarakat Minang yang matrilineal,
suami hidup di rumah istri, dan secara tradisional anjuang merupakan
tempat tinggal anak perempuan yang baru menikah bersama suaminya.
Sebagai kehidupan wanita yang masih gadis, anjuang merupakan
puncak, karena di sinilah tempat mereka bila mereka sudah menikah.
Namun untuk pasangan yang menikah lebih lama, anjuang hanyalah
sebuah titik awal. Puncaknya berada pada pangkalan.
FAKTOR DAN UNSUR ALAM DALAM ARSITEKTUR
Dalam perspektif arsiektur lingkungan, pengetahuan arsitektur
sebaiknya meliputi pengetahuan yang terukur dan tidak terukur tentang
arsitektur. Pengetahuan yang terukur yaitu pengetahuan tentang
bangunan, kenyamanan, keefisiensian dan keefektifan bangunan, serta
hal-hal yang bersifat referensial. Sedangkan pengetahuan yang tidak
terukur antara lain arsitektur, kesenangan dan kepuasan, makna, serta
hal-hal yang bersifat simbolis. Kenyamanan merupakan standart
bangunan, sedangkan kenikmatan bukanlah sebuah standart, hal ini
berhubungan dengan manusia yang menempati dan mengalami
bangunannya.
Sudut pandang arsitektur nusantara merupakan sudut pandang
pengetahuan arsitektur. Hal ini berbeda dengan arsitektur tradisional.
Dalam arsitektur tradisional, sudut pandang yang digunakan berasal
39
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
dari pengetahuan antropologi. Dalam pengetahuan antropologi,
lingkung bina atau arsitektur digunakan oleh manusia untuk
mengekspresikan diri. Sedangkan dalam pengetahuan arsitektur,
manusia dan budaya dibawa demi terciptanya lingkung bina atau
arsitektur.
Lingkung bina dapat menjadi arsitektur dengan melihat
kemampuannya dalam mempengaruhi manusia dan kesempatannya
dalam memanfaatkan iklim. Faktor yang mempengaruhi arsitektur
antara lain: angin, kelembaban, temperatur udara, curah hujan, panas
matahari, dan lain sebagainya. Sedangkan unsur yang mempengaruhi
faktor-faktor tersebut adalah dinding, bukaan, sosoran, dan lain
sebagainya (Dinapradipta, 2006).
Sebagai Arsitektur Nusantara, Rumah Gadang memperhatikan
iklim tropis tempat mereka berdiri. Seperti masyarakat tradisional yang
lain, masyarakat Minangkabau memanfaatkan alam dan iklim demi
menciptakan kenyamanan dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Hal
ini tercermin dalam desain rumah tinggalnya.
Bangunan dinding Rumah Gadang membesar ke atap yang
disebut dengan silek. Ini berguna pada saat musim hujan, mengingat
iklim di Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi. Dinding yang
berbentuk seperti ini berfungsi untuk membebaskan bangunan dari
terpaan air hujan. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan
endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis. Air hujan yang bagaimana
pun lebatnya, akan meluncur cepat pada atapnya.
Kolong Rumah Gadang dibuat tinggi untuk memberikan hawa
yang segar, terutama pada musim panas, Di samping itu agar lebih
aman dalam menghadapi bahaya banjir. Hal yang tak kalah pentingnya
dari segi arsitekturnya, adalah tiang-tiang Rumah Gadang yang tidak
ditanam ke dalam tanah. Tiang-tiang ini hanya diletakkan di atas batu
40
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
layah. Untuk menghubungkan tiang-tiang dan bagian rumah tidak
digunakan paku, melainkan pasak dari bambu. Kondisi ini membuat
rumah gadang relatif tahan terhadap goncangan gempa ataupun angin
kencang (Yurnaldi, 2000). Kebanyakan material yang digunakan adalah
kayu, jadi musuh utama rumah gadang adalah api (Irwan).
Rumah Gadang yang dibangun berjajar menurut arah mata angin
dari Utara ke Selatan berguna membebaskannya dari panggang
matahari serta hembusan angin yang keras. Tetapi jika dilihat dari
kegunaannya, garis-garis Rumah Gadang menunjukkan penyesuaian
dengan alam tropis.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Rumah Gadang
memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan alam dan iklim
setempat. Sehingga tinggal di Rumah Gadang dapat merasakan
kenyamanan tinggal di iklim tropis.
41
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
3 KESIMPULAN
Arsitektur Nusantara Minangkabau mengalami semua proses
dalam membangun arsitektur seperti yang disebutkan oleh Josef
Prijotomo, 1995, yaitu Proses Pertapakan, Perangkaan, Persungkupan,
dan Persolekan. Proses pertapakan adalah berkaitan dengan pencarian
tapak yang tepat dalam pembangunan rumahnya, kemudian pencarian
bahan bangunannya, sampai dengan pembersihan tapaknya. Proses
berikutnya adalah proses perangkaan, yaitu pemasangan tiang-tiang
yang disusun berdasarkan ruang-ruang dalam Rumah Gadang.
Kemudian adalah proses Persungkupan. Proses ini agak berbeda dengan
bangunan yang lain, karena pemasangannya diawali dengan penutupan
atap terlebih dahulu, kemudian lantai, dan yang terakhir adalah
dinding. Proses terakhir adalah proses persolekan, yaitu pemberian
ukiran di seluruh elemen bangunannya.
Dalam melakukan proses membangun tersebut, masyarakat
Minangkabau tidak melupakan keharusan yang sudah ditetapkan oleh
adat istiadat Minangkabau sebelumnya, yaitu pelaksanaan upacara.
Dengan pelaksanaan upacara ini, mereka percaya dalam
pembangunannya tidak akan terjadi bencana, dan dalam
penempatannya akan membawa keberuntungan bagi penghuninya.
Upacara ini dapat melestarikan adat istiadat Minangkabau.
Hirarki juga terdapat dalam penataan ruang-ruang dalam Rumah
Gadang. Hirarki yang digunakan ada 2, yaitu berdasarkan fungsi publik-
private, dan berdasarkan siklus kehidupan wanita, mengingat
masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang matrilineal. Yang
berdasarkan fungsi publik-private, hirarkinya adalah Lanjar belakang –
42
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
lanjar kedua – lanjar ketiga – lanjar tengah – lanjar tepi. Sedangkan
yang berdasarkan siklus kehidupan wanita, hirarkinya adalah dari pusat
menuju ke anjuang, kemudian biliak, dan terakhir dapur.
Rumah Gadang merupakan arsitektur yang memanfaatkan iklim
dalam usahanya untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya.
Dalam hal ini, Rumah Gadang cocok ditampatkan di iklim tropis. Hal ini
terlihat dari bentuk bangunannya yang memperhatikan curah hujan dan
penghawaan.
43
Arsitektur Nusantara Minangkabau (Rumah Gadang)
4 DAFTAR PUSTAKA
Dinapradipta, Asri. 2006. Materi Perkuliahan Arsitektur Nusantara. Surabaya: Pascasarjana Arsitektur ITS
http://cyclops.prod.untd.com
Irwan. ___. History of Rumah Gadang. www.kangguru.org
Tjahjono, Gunawan. 2002. Indonesian Heritage, Arsitektur. Jakarta: Buku Antara Bangsa
Minarsih. 1998. Korelasi Antara Motif Hias Songket Dan Ukiran Kayu Di Propinsi Sumatera Barat (Studi Kasus Daerah Pandai Sikek, Silungkang Dan Kubang). http://digilib.itb.ac.id
Prijotomo, Josef. 1995. Analisa Formal Bagi Identifikasi Jatidiri. Proceeding Seminar on Nusantarian Architecture, Change and Continuity. Surabaya. WTC.
Prijotomo, Josef. 2004. Arsitektur Nusantara Menuju Keniscayaan. Surabaya: Wastu Lanas Grafika
Syamsidar, B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Unwin, Simon. 1997. Analysing Architecture. London: Routlegde
Yurnaldi, 2000. Bagonjong, Wujud Arsitektur dari Karya Sastra. www.kompas.com
44