32
88 ARSITEKTUR ATONI, MANGGARAI, DAN PAPUA 4.1 Arsitektur Atoni/Dawan Jaman dahulu orang Dawan mendirikan rumah dan perkampungannya di puncakpuncak gunung. Perkampungan ini dikelilingi oleh pagar batu, bambu/pelepah gewang, semak berduri dan sebagainya. Setiap kampung biasanya didiami kelompok kerabat dengan seorang kepala/pimpinan. Sebuah perkampungan baru dapat terbentuk karena adanya pemecahan anggota kelompok atau kawin campur antar suku. Dengan demikian kelompok kerabat menjadi terpencarpencar dalam wilayah yang luas. Pemecahan tempat kediaman berhubungan erat dengan sistem mata pencaharian yaitu berladang. Pola perkampungan suku Dawan yang asli adalah kelompok padat dengan rumah rumah (cluster) dengan beberapa kandang ternak (sapi/babi). Kadangkadang penduduk tersebar disekeliling perkampungan. Disamping itu ruang luar yang terbuka dimanfaatkan sebagai tempat bermain anakanak atau tempat bekerja (menenun) terutama dibawah naungan pohonpohon besar atau dengan mendirikan pondok-pondok tempat kerja (Sane). Pada Desa Maslete contohnya, masih terdapat beberap kelompok rumah dengan pola asli (cluster). Perumahan rakyat biasa terdiri dari kelompokkelompok yang masingmasing dihuni oleh anggota sebuah marga. Setiap kelompok marga ini BAGIAN IV

Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ntt

Citation preview

Page 1: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

88

ARSITEKTUR ATONI, MANGGARAI, DAN PAPUA

4.1 Arsitektur Atoni/Dawan

Jaman dahulu orang Dawan mendirikan rumah

dan perkampungannya di puncak–puncak

gunung. Perkampungan ini dikelilingi oleh

pagar batu, bambu/pelepah gewang, semak

berduri dan sebagainya. Setiap kampung

biasanya didiami kelompok kerabat dengan

seorang kepala/pimpinan. Sebuah

perkampungan baru dapat terbentuk karena

adanya pemecahan anggota kelompok atau

kawin campur antar suku. Dengan demikian kelompok kerabat menjadi terpencar–

pencar dalam wilayah yang luas. Pemecahan tempat kediaman berhubungan erat

dengan sistem mata pencaharian yaitu berladang.

Pola perkampungan suku Dawan yang asli adalah kelompok padat dengan rumah–

rumah (cluster) dengan beberapa kandang ternak (sapi/babi). Kadang–kadang

penduduk tersebar disekeliling perkampungan. Disamping itu ruang luar yang

terbuka dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak–anak atau tempat bekerja

(menenun) terutama dibawah naungan pohon–pohon besar atau dengan mendirikan

pondok-pondok tempat kerja (Sane).

Pada Desa Maslete contohnya, masih terdapat beberap kelompok rumah dengan

pola asli (cluster). Perumahan rakyat biasa terdiri dari kelompok–kelompok yang

masing–masing dihuni oleh anggota sebuah marga. Setiap kelompok marga ini

BAGIAN

IV

III

Page 2: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

89

mempunyai sebuah rumah yang dikeramatkan yang disebut dengan rumah marga.

Kompleks perumahan raja/Usif terletak pada daerah ketinggian/bukit, sedangkan

perumahan rakyat biasa terletak pada daerah yang lebih rendah. Pemanfaatan

ruang luar/terbuka pada kompleks Sonaf lebih diutamakan pada kegiatan spiritual

(upacara-upacara adat). Hal ini di tandai dengan didirikannya tiang–tiang tempat

persembahan.

Jenis bangunan dalam masyarakat Dawan dapat dibagi menjadi :

a. Rumah Rakyat kecil/ume to ana;

b. Rumah marga;

c. Rumah raja/sonaf (istana), dan

d. Pondok kerja

Pada rumah rakyat biasa maupun rumah Raja di bagian depannya biasa di

bangun/dilengkapi dengan Lopo (tempat pertemuan).

1. Rumah Rakyat Biasa (ume To Ana’)

a) Tipologi Bangunan.

Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya

tergantung pada kebutuhan serta status sosial

pemiliknya. Rumah dengan denah berbentuk bundar

ini disebut juga Ume Kbubu (Rumah Bulat). Kadang

disebut juga Ume Bife (Rumah Perempuan), karena

sebagian besar kegiatan dari wanita terfokus pada

rumah ini, misalnya : melahirkan, memasak, menenun,

dan sebagainya. Sedangkan kegiatan pria lebih

banyak di ladang.

Page 3: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

90

b) Pondasi (Baki).

Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun

membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi

pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm–40 cm.

Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat

musim penghujan.

c) Lantai (Nijan).

Lantai bangunan terbuat dari tanah yang diurug diatas/di dalam fondasi yang sudah

berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.

d) Tiang (Ni)

Tiang ume to ana‘ disini dibagi menjadi 3 bagian :

1. Ni Ana’ :

Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah

(secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya

juga bervariasi, namun rata–rata antara 1,5–2,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam

dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang

agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk

menopang Neu’ Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau

kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana‘, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira –

kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 – 80 cm.

Diameter tiang antara 10–15 cm.

2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung).

Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan

juga sebagai tumpuan untuk meletakan balok–balok loteng. Tiang ini juga

meneruskan semua gaya–gaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat

buah dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikian pula halnya dengan Ni

Tetu ini, kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya.

Page 4: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

91

Fungsinya sebagai tumpuan balok–balok loteng. Pada saat sekarang ini dengan

peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak

yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh

gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar.

Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 20–25 cm dan dipilih dari teras kayu

merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata – rata berkisar antara

2,50–3,00 m.

3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan).

Tiang ini diletakan dibaian tengah–atas balok loteng. Jumlahnya satu buah. Pada

bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian

diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk

menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,00–2,50 m.

e) Dinding (Niki).

Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana‘). Beberapa kayu/bilah bambu melintang

terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan

perkuatan pada dinding. Tinggi dinding ± 0,50–0,80 m. Semakin dekat ke pintu

semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis

bahan antara lain : papan, bambu cincang, batang pinang cincang, pelepah gewang,

kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuat diatas batu dengan

tujuan agar tidak mudah rusak akibat rayap atau air.

f) Atap (Tefi).

Atap berbentuk kerucut sebagai akibat dari bentuk denah dan rangka atap. Puncak atap

mempunyai dua bentuk yakni bulat (seperti sanggul wanita) dan pelana/palungan

terbalik. Bentuk bundar (denah) atau metaphor sebagai bentuk bulat/kerucut (atap)

mempunyai arti bentangan langit yang melingkupi bumi. Konstruksi rangka atap sendiri

terdiri dari :

Page 5: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

92

1. Nono Ana’/Neu’ Nono.

Berupa kayu–kayu kecil (cemara) yang berdiameter antara 2–4 cm yang diikat menjadi

satu kesatuan yang berbentuk lingkaran. Neu Nono ini bisa berfungsi sebagai ring

balok, karena dipasang melingkari seluruh bangunan dengan bertumpu pada tiang–

tiang keliling (Ni Ana‘) kemudian diikat (tali Mausak).

2. Nono Tetu.

Bahan dan diameter sama dengan Nono Ana‘ tapi ukuran ikatannya sedikit lebih kecil.

Fungsi untuk memberikan bentukan melingkar pada atap bagian tengah.

3. Nono Nifu/Nono Sene.

Fungsinya sama yakni pemberi bentuk lingkaran pada bagian atas atap. Bahan serta

ukurannya sama dengan Nono Tetu. Kadang hanya dipakai Nono Nifu saja/Nono Sene

saja.Pada Rumah Raja (sonaf) digunakan kedua–duanya.

4. Suaf.

Adalah sebuah balok bulat dan lurus, berdiameter 5 -7 cm (untuk Ume Kbubu) yang

diletakan/diikatkan diatas semua Nono (Nono Ana‘, Nono Tetu, Nono Sene/Nono Nifu).

Balok ini diambil dari alam, yakni batang pohon cemara/yang lainnya, dan harus lurus

dan panjang, utuh, tidak boleh disambung–sambung pada saat dipasangkan. Fungsi

Suaf adalah : Sebagai pembentuk rangka atap, dan sebagai tempat untuk

mengikatkan Takpani.

5. Takpani

Adalah batang – batang kecil cemara berdiameter 2-3 cm yang diikatkan arah

melintang terhadap Suaf. Jarak antar Takpani 30–40 cm.

Fungsi Takpani adalah sebagai tempat untuk mengikatkan alang – alang.

6. Penutup Atap

Penutup rangka atap menggunakan alang – alang (Hun).

Page 6: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

93

g) Loteng (Tetu).

Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet )

yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini

diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/

batang pinang cincang.

h) Pintu (Enok).

Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya

1m–1,25m, lebarnya 0,80–1,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis besar

pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar dan balok

diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif). Pada kedua

balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah Pintu). Lubang

tersebut dinamakan Bola’/Kona’. Utin dan Bola melambangkan pria dan wanita. Selain

lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain yang disebut Kona Falo

yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci tradisional.

i) Tangga (Elak).

Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke loteng

yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

Elak Ma’bola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi

empat sampai lima lubang.

Elak Se’at yakni sebuah bambu yang ditakik 4 – 5 takikakan.

Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan

beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.

Page 7: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

94

2. Rumah Raja / Istana ( Sonaf ).

a) Tipologi Bangunan.

Tidak seperti rumah rakyat biasa yang bundar, denah Sonaf agak lonjong/elips.

Bentuk tersebut melambangkan alam semesta dan sebagai pemersatu/perangkul

suku – suku. Luasnya juga lebih besar dari Ume Kbubu. Ruangan dibagi dua yaitu :

Sulak : Ruang yang digunakan untuk pertemuan kepala–kepala suku.

Bife : Ruang tempat tinggal, memasak, tidur, menyimpan benda pusaka. Ruang

ini hanya bolh dimasuki oleh pemiliknya saja, tidak sembarang orang yang boleh

memasukinya kecuali diberi ijin khusus dan sanggup mentaati pantangan-

pantangan yang ada.

b) Pondasi (Baki).

Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper

yang disusun setinggi 20–40 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran.

Fungsinya sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.

c) Lantai (Nijan).

Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi

dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai

rata.

d) Tiang (Nono).

Tiang struktur pada Sonaf ini dibagi 3 bagian yakni :

1. Ni Ana’ :

Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan suku–suku yang

berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi tiang dan

jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiang–tiang ini diberi ukiran. Untuk bahan tiang ini

digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus. Pada bagian atas tiang

diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone).

Page 8: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

95

2. Ni Tetu (Tiang Loteng) :

Tiang ini berfungsi menopang balok–balok loteng di atasnya. Jumlah tiang ini 4 buah

yang terletak dibagian dalam (Ruang perempuan/ruang tinggal). Tinggi tiang adalah

2,50 cm dan berdiameter 20 cm. Tiang dipilih yang lurus dan bahan dari teras pohon

kayu merah. Bagian atas tiang ditakik menyerupai cabang (Tatone), dipakai sebagai

tempat menumpuk balok Suif. Ke empat tiang ini melambangkan 4 suku besar yakni :

Uis Sanak, Uis Lake, Uis Bana, dan Uis Atoh.

3. Ni Enaf :

Tiang Utama. Tiang ini lebih tinggi dari tiang yang lain (4,00 m) dan melambangkan

adanya makhluk yang supra natural. Jumlah tiang ini ada dua. Yang satu berada di

ruang dalam/ruang perempuan (Bife) dan yang lainnya berada di luar/tempat

pertemuan (Sulak). Diameter tiang ini lebih besar dari tiang lain (25 cm) dan pada

puncaknya terdapat cabang alamiah. Cabang tersebut berfungsi sebagai penopang

balok bubungan (Lael) di atasnya. Bahan yang dipilih sebagi tiang utama ini adalah

teras kayu merah / putih yuang diberi bentuk bulat polos tanpa ukiran.

e) Dinding (Niki).

Bahan dinding berasal dari pohon kayu merah yang dibelah menjadi papan. Papan

dipasan melintang dengan perkuatan dua kayu melintang, papan–papan disatukan

dengan diikatkan pada tiang–tiang (Ni Ana‘). Tinggi dan tebal papan yang mengelilingi

bangunan adalah 1,50 m dan 2cm. Sedangkan dinding yang membatasi ruang Bife

dan Sulak tingginya 2,50 m dan tebalnya 4 cm. Pada bagian bawah dinding diberi alas

dari balok kayu yang diberi sponing untuk memasukan papan tersebut kedalam.

Tujuannya untuk mencegah merembesnya air ke atas dinding dan menghindari

serangan rayap–rayap. Balok–balok ini disebut Penif.

Page 9: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

96

F) Atap (Tefi)

Bentuk atap agak berbeda dengan Ume

Kbubu terutama pada bagian bubungan yang

lebih panjang dan pada bagian depan

teritisnya tidak sampai ke tanah malah agak

tinggi. Elemen – elemen konstruksi atap

Sonaf :

1. Non Ni Ana’/Neu Nono :

Adalah rangkaian batang–batang cemara berdiameter 2 – 4 cm, yang diikatsatukan

dan diletekan di atas Ni Ana‘ (tiang anak) secara melingkar sesuai dengan bentuk

denah yang ada. Fungsinya untuk menyatukan/mengikat tiang–tiang secara

keseluruhan dan sebagai tumpuan Suaf.

2. Non Loti :

Rangkaian batang–batang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana.

Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujung–ujung

balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat

ujung–ujung balok loteng.

3. Non Nifu & Nono :

Fungsinya sama yakni pemberi bentuk (lingkaran) dan juga sebagai tumpuan Suaf.

4. Non Sene :

Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.

Page 10: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

97

5. Loti.

Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis

depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti mencerminkan

jumlah suku–suku yang tergabung.

6. Suaf.

Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7–

10 cm. Bahan Suaf dari batang–batang cemara yang lurus utuh tanpa adanya

sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan

(Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan tali–tali yang diikatkan pada

Non Ni Ana‘.

7. Takpani :

adalah batang–batang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani

2–3 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang–

alang / Hun).

g) Loteng.

Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok

bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni Ainaf)

yang ditanam dalam tanah.

h) Pintu.

Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal

masing–masing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri

kira–kira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masing–masing

papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masing–masing dua buah yaitu disebalah

kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang

Page 11: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

98

tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini

menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan sebagainya.

Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus pada sisi-

sisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional (Hau Eka).

Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :

Daun pintu ( Bena ).

Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).

Balok di bawah pintu (Kbafnesu Penif).

Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola‗) tempat memasukan lidah

pintu (Utin). Utin dan Bola‘ berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan pria dan

wanita.

3. Rumah Tempat Pertemuan Umum (Lopo/Ume Buat)

Lopo dalam bahasa Dawan berarti rumah tempat musyawarah/tempat pertemuan

umum. Ume Lopo sering disebut pula sebagai rumah Ume Atoni (Rumah laki–laki)

karena lebih sering ditempati, dimasuki, dipakai oleh kaum laki–laki. Konstruksi Ume

Lopo secara keseluruhan sama dengan Ume Kbubu. Yang membedakannya adalah

teritisnya tidak sampai ke tanah. Jaraknya dari permukaan tanah antara 150–200 cm,

tidak berdinding dan tidak berpintu. Nama Ume Lopo diberikan sesuai dengan

keadaan teritis yang tidak sampai ke tanah. Sedangkan Ume Buat berarti rumah

tempat berkumpul.

a. Tipologi.

Denah Ume Lopo sama dengan rumah tinggal (Ume Kbubu). Bentuknya bundar

dengan garis tengah 6,00–8,00 m. Letaknya berada di depan. Ume Bife (rumah

perempuan) atau Ume Kbubu memberikan makna simbolik sebagai pelindung.

Page 12: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

99

b. Bentuk bagian – bagian.

1. Tiang ( Ni )

Bentuk tiang lopo adalah bulat denagan diameter 20–30 cm. Jumlah tiang adalah 4

buah (Ni Tetu), sebagai pendukung balok–balok loteng yakni sebuah tiang

pendukung balok–balok loteng. Di tengah–tengah persilangan diagonal loteng

terdapat sebatang kolom disebut Ni Enaf yang bertumpu pada balok–balok loteng

(Tunis). Jenis pohon yang dipakai sebagai tiang adalah teras kayu Kmel (jenis kayu

merah), teras kayu putih (Hu‘e), Matani (sejenis kayu marambi), Ayotias (teras

Kasuari), Kiu Tias (teras asam). Ke-empat tiang Ni Tetu setinggi 3,00 m ditanam

sedalam 0,50 m. Ujung tiang (Ni) bagian atas yang berdiameter paling kecil disebut

Utin. Bagian ini berfungsi sebabagai sambungan yang akan dimasukan kedalam

lubang pahatan yang terdapat pada balok melintang (Suif). Dibawah Utin terdapat

sebuah alur untuk penempatan Benatu‘as (lempengan kayu/batu bundar) sebagai

pencegah tikus agar tidak naik ke loteng. Bagian bawah Benatu‘as terdapat Tkoma

Maeka yakni bagian yang diukir untuk memperindah tiang.

2. Atap.

Bentuk maupun konstruksi atap ume lopo pada dasarnya sama seperti pada ume

kbubu. Perbedaannya hanya pada teritis atap lopo yang tidak sampai menyentuh

tanah, tetapi berjarak dari permukaan tanah 150-200 cm.

Bentuk puncak atap lopo ada 2 macam, yaitu :

a. Berbetnuk pelana/palungan terbalik, dan

b. Berbentuk kerucut.

Page 13: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

100

4.2 ARSITEKTUR MANGGARAI

Pola Perkampungan Dan Rumah Adat Masyarakat Manggarai

Kampung tradisional di Manggarai

berbentuk bundar dengan pintu

saling berhadapan. Bentuk bulat

memiliki makna keutuhan atau

kebulatan. Bentuk kampung

demikian diperkuat oleh tuturan

ritual. Secara mistis kampung

dibagi atas tiga, yaitu pa’ang

(bagian depan), ngandu (pusat),

dan ngaung atau musi (bagian

belakang kampung). Pada saat ini, terdapat tiga obyek kampung adat di Kabupaten

Manggarai Barat, yaitu Pacar Pu‘u di Kecamatan Macang Pacar, Kampung Todo dan

Kampung Komodo di Pulau Komodo.

Arsitektur tradisional, termanifestasikan dalam bentuk rumah gendang dan

compang.

Rumah Gendang –

Rumah tradisional Manggarai biasa disebut dengan nama Mbaru Gendang atau

Mbaru Tembong. Bentuknya menyerupai seperti kerucut yang terbuat dari

rerumputan kering. Struktur bangunan menerus dari atap sampai lantai.

Compang – Compang

adalah tugu yang dibuat di tengah halaman rumah yang difungsikan sebagai altar

dalam upacara adat. Altar tersebut terbuat dari tumpukan batu yang ditengahnya

terdapat sebuah pohon. Altar tersebut dikelilingi halaman dan pemukiman

penduduk. Lokasi compang biasanya merupakan pusat desa. Compang biasanya

Page 14: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

101

difungsikan sebagai tempat untuk persembahan dalam penyelenggaraan upacara

adat.

Lingko –

Lingko adalah sebuah pola pembagian sawah pertanian (berbentuk seperti sarang

labalaba) yang ditengahnya terdapat sebuah londok (tempat rahasia). Londok

tersebut merupakan sentral dalam pembagian lahan pertanian. Londok merupakan

lambang kebersamaan. Bentuk desain londok ini hampir sama dengan design

compang yang berada di pusat pusat desa.

Rumah Gendang dan lingko adalah bentuk dari ikatan sosial tradisional yang

masih kuat untuk orang Manggarai. Tu‘a golo dan juga Tu‘a gendang mempunyai

hak sepenuhnya untuk tinggal di dalam rumah gendang.

Kepemilikan Tanah Adat (ulayat)dibagi menjadi tiga macam yaitu:

Lingko rame ;adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang

memiliki tempat pemujaan atau mempersembahkan sesaji pada pusat atau di

tengah-tengahnya.

Lingko Bon; bentuknya sama dengan lingko rame, hanya tidak memiliki tempat

pemujaan pada pusat tanahnya.

lingko neol ;tidak berbentuk sarang laba-laba.

Sistem Pemukiman Dan Budidaya

Sistem pemukiman sebagian masyarakat tradisional Manggarai, berkelompok dan

melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. Di

pusat kampung yang selalu ditanam pohon beringin (Ficus benyamina) ini merupakan

tempat melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah pokok (rumah

adat) yang dinamakan rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang

utamanya digantungkan gendang 8 (delapan) buah pertanda arah angin yang dibunyikan

saat upacara adat atau pengumpulan massa.

Sistem pemukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di

Page 15: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

102

Manggarai walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini,

hanya para tokoh adat dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal

di rumah-rumah modern yang dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian

samping atau belakang rumahnya.

Di dalam kehidupan masyarakat

manggarai yang terjadi adanya

beberapa jenis rumah tradisional yang

sesuai dengan tuntutan kebutuhan

serta budaya dan kepercayaan

masyarakat. Akan tetapi meskipun

secara tipologi bentuk, dan fungsinya

berbeda namun secara umum

sebutannya sama yakni mbaru

(rumah). Sebutan mbaru selalu di ikuti

dengan nama rumah berdasarkan dengan fungsinya, seperti mbaru niang mese (rumah

adat), mbaru niang koe (rumah tinggal biasa), mbaru tekur ( rumah tempat istirahat),

mbaru niang mese disebut juga mbaru gendang atau rumah gendang. Selain itu, rumah

juga disesuaikan dengan status dan fungsinya, misalnya rumah adat disebut niang

wowang, sedangkan untuk rumah tinggal biasa menurut fungsinya dimasa lampau

dibedakan atas 8 penamaan;

• Niang supe,

• Niang mongko,

• Niang teruk,

• Niang wesa,

• Niang wa,

• Niang rato/niang dangka,

• Niang lodok dan,

Page 16: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

103

• Niang dopo.

Perbedaan yang mendasar dari beberapa tipologi rumah tersebut adalah pada

ukuran bangunannya, dimana rumah adat lebih besar dari ukuran rumah tinggal

biasa. Selain itu dari segi tampilan rumah adat memiliki bidang atap yang tinggi

serta dilengkapi dengan ragam hias pada puncak atap (bubungannya), sedangkan

rumah tinggal biasa atapnya lebih rendah dan tidak memiliki ragam hias seperti

rumah adat.

Keberadaan beberapa jenis atau tipologi rumah diatas biasanya selalu disertai

pula dengan beberapa komponen pentingnya yang tidak dapat dipisahkan dari

sebuah kampung tradisional antara lain;

• Peralatan terbuka (natas)

• Bangunan megalitik (compang, bangka dari kubur dan like)

Kesemua komponen ini merupakan komponen dasar bagi terbentuknya sebuah

kampung.

• Secara tipologi rumah tradisional di manggarai dapat ditinjau dari tipologi bentuk,

fungsi dan langgam, dari tipologi fungsi

rumah tradisional manggarai dapat

dibedakan atas 3 jenis yakni rumah

adat (niang wowing) rumah tempat

menerima sebelum memasuki rumah

adat (mbau tekur) dan rumah tinggal

biasa.

• Di tinjau dari segi tipologi bentuk rumah tradisional manggarai awalnya hanya

terdapat 2 macam yakni rumah beratap kerucut dan tumah beratap pelana, namun

dalam perkembangannya dewasa ini di kenal ada atap berbentuk limas.

• Dan di tinjau dari tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional manggarai

mengenal langgam khas manggarai (atap kerucut yang menjulang tinggi) dan

Page 17: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

104

tipologi ini memiliki keserupaaan dengan tipologi langgam sumbawa dan bugis

adalah mbau tekur yang memiliki atap berbentuk pelana. Namun walaupun secara

tipologi fungsi, bentuk, dan langgam rumah tradisional manggarai dimasa lampau

memiliki perbedaan akan tetapi secara structural memiliki keserupaan yaitu rumah

dengan memiliki tipologi berbentuk panggang atau rumah panggung.

• Demikian juga dengan bentuk denah antara rumah

adat dengan rumah tinggal biasa yang secara

geometrik memiliki keserupaan bentuk yakni

lingkaran, akan tetapi ukuran bangunannya berbeda

dimana rumah adat ukurannya lebih besar dari

rumah tinggal biasa, perbedaan ukuran bangunan

disini erat kaitannya dengan status dan fungsi

bangunan.

• Secara horisontal pola ruang pada arsitektur

tradisional manggarai ini berintikan pada ruang

tengah yang mengintari sembilan buah tiang

utama. Pada bagian tengah ini ada terdapat 2

ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang

bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo)

bagian belakang yang memiliki fungsi ganda yakni

bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus

bersifat sakral dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai

untuk aktifitas penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat

pelaksanaan aktifitas adat (upacara adat).

Page 18: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

105

POLA RUANG DALAM ARSITEKTUR MANGGARAI

o Secara horisontal pola ruang pada arsitektur tradisional manggarai ini berintikan

pada ruang tengah yang mengintari sembilan buah tiang utama. Pada bagian

tengah ini ada terdapat 2 ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang

bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo) bagian belakang yang memiliki

fungsi ganda yakni bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus bersifat sakral

dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai untuk aktifitas

penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat pelaksanaan

aktifitas adat (upacara adat).

o Secara vertikal, rumah tradisional manggarai, dibagi menjadi beberapa bagian,

yakni

• ngaung (kolong rumah) digunakan sebagai tempat memelihara ternak dan untuk

menenun.

• waselele (tempat tinggal manusia)

• wasemese (tempat penyimpanan hasil panen)

• lamparae (tempat penyimpanan benih tanaman)

• sekang kode (tempat penyimpanan benda-benda pusaka)

• ruang koe (ruang kosong yang bersifat sakral)

MATERIAL BANGUANAN

pada dasarnya material bangunan yang digunakan untuk bangunan di NTT khususnya

manggarai untuk tipologi fungsi yang satu dengan yang lain tidak ada perbedaan yang

significant, terkecuali penggunan material tertentu untuk rumah adat yang tidak

diperkenankan untuk rumah tinggal biasa dalam hal ini seperti kayu khusus yang

digunakan untuk tiang utama rumah adat.

Page 19: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

106

• Secara umum bahan bangunan yang

digunakan dibagi atas 2 yaitu bahan yang

struktural dan bahan yang non struktural,

bahan bangunan yang digunakan umumnya

terbuat dari kayu dan bambu sebagai bahan

struktural dan bahan yang non struktural

berupa alang-alang dan ijuk sebagai bahan

penutup atap dan juga raham hias yang di

gantung pada bidang atap bagian dalam.

Page 20: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

107

4.3 ARSITEKTUR PAPUA (HONAI)

Egi. Doc. Perkembangan arsitektur

vernakular

Page 21: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

108

Suku bangsa Dani adalah sebutan bagi penduduk yang tinggal di Lembah Baliem

(Keturunan Moni, penduduk dataran tinggi Pinai, yang datang ke Lembah Baliem), yang

memiliki luas sekitar 1.200 Km2.

Dani adalah orang asing yang awalnya berbunyi Ndani, setelah ada perubahan fenom N

hilang menjadi Dani dan masuk ke pustaka etnografi.

Suku Dani lebih senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek

moyangnya dengan penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta

babi.

Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

1. Sub keluarga Wano

2. Sub keluarga Dani Pusat yang terdri ataslogat Dani Barat dan logat lembah

Besar Dugawa, dan

3. Sub keluarga Nggalik– Dugawa

Selain itu juga bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa

Irian (secara umum).

Sistem Religi / Kepercayaan

Dasar religi masyarakat Dani adalah sama uraian yang di atas yaitu menghormati roh

nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi.

Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti

para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

Kekuasaan sakti ini antara lain :

1. Kekuatan menjaga kebun;

2. Kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala;

3. Kekuatan menyuburkan tanah.

Page 22: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

109

Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang

yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan

untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri

perang.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga yaitu kelompok kekerabatan, paroh

masyarakat, dan kelompok teritorial.

a. Kelompok kekerabatan

1. Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga

luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama– sama

menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima). Pernikahan orang

Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu– satuan

tempat tinggal yang disebut siimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3– 4 slimo yang

dihuni 8– 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang

suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem

Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang

menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami

Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).

2. Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul

(klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)

3. Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa

Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas

yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki.

Page 23: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

110

Sistem Kesenian dan Kerajinan

Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman,

seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan. - Honai

- Ebeai

- Wamai Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni

kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang

Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut

antara lain :

- Moliage

- Valuk

- Seg

- Wim

- Kurok

- Panah sekehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong

2. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang

dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku

3. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga

dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.

Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang

memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada

di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri– sendiri, mereka adalah :

-Ap.Menteg

-Ap.Horeg

- Ap Ubaik

Page 24: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

111

Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam

masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti

kuat, pandai dan terhormat.

Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua tetapi masih mampu

mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan

tersebut antara lain :

- Pemeliharaan kebun dan Bahi

- Melerai pertengkaran

Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain.

Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah

juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin

masyarakat Dani :

- Pandai bercocok tanam

- Bersifat ramah dan murah hati

- Pandai berburu

- Memiliki kekuatan fisik dan keberanian

- Pandai berbicara

- Pandai berdiplomas

Sistem Ekonomi

Nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan manusia yang

sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.

Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu

baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas.

Page 25: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

112

Manurut BLUMMER, inovasi yang berkesinambungan dan kontak budaya menyebabkan

pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem

perkebunan ubijalar, seperti sekarang. Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani

adalah bercocok tanam dan beternak babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang

diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah

berladang.

Honai adalah rumah tradisional masyarakat di pegunungan tengah Papua. Rumah

memiliki bentuk bulat dan biasanya dihuni oleh 5-10 orang. Terbuat dari papan kayu

kasar dengan atap ilalang/jerami, dengan tinggi sekitar 4-6 meter dan diameter 5-7

meter. Anyaman bambu ini telah diatur mengelilingi dinding interior rumah dan satu pintu

di bagian depan. Rumah tersebut memiliki dukungan empat tiang di tengah dan perapian

untuk mengejar keluar udara dingin di malam hari, juga merupakan tempat untuk

masak,spt.; hipere (ubi jalar), WAM (babi), dan sayuran. Lantainya dari tanahdan ditutupi

dengan rumput kering. Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur

dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan.

Karena dibangun 2 lantai. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat

api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk

kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).

Page 26: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

113

Honai - Rumah Adat Papua

Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami

atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela yang bertujuan

untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.

Page 27: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

114

Arsitektur tak selalu mewujud dalam bangunan yang besar, megah, mewah dan serba

wah. Bisa saja kecil, sederhana, tetapi memiliki kualitas yang baik.. Lebih dari itu,

arsitektur adalah wujud anasir hasil proses pergumulan, pemikiran, dan perenungan

arsitek untuk melahirkan ide arsitektural.

Sebutlah di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu

terkenal, yaitu honai. Rumah khas masyarakat Papua ini berbentuk lingkaran, terbuat

dari kayu dan beratap jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Satu keluarga bisa

memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan dibatasi pagar kayu di

sekelilingnya. Tiap rumah dihuni satu pria beserta istri-istri dan anak-anak mereka.

Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil dan rendah, dan tak memiliki jendela

sebagai ventilasi udara. Komposisi demikian bertujuan untuk menahan hawa dingin

pegunungan Papua. Struktur rumah tradisinal tersebut tersusun atas dua lantai—

lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan,

dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua lantai, ia memiliki tinggi

kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah, disiapkan tempat untuk membuat

api unggun untuk menghangatkan diri, sekaligus sebagai tempat untuk memasak.

Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara arsitek

terdahulu dalam memandang, memahami, dan mewujudkannya dengan

mengandalkan bahan yang sederhana dan sangat natural. Bagaimana eksplorasi

Page 28: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

115

material dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan nilai

fungsional suatu bangunan.

Dalam perkampungan Suku Dani biasanya terdapat sebuah tempat khusus untuk

mengadakan upacara yang berhubungan dengan perang. Tempat ini umumnya hanya

dipakai oleh kaum pria. Sementara kaum wanitanya memiliki tempat tersendiri, yang

disebut Eba-ae, tempat para wanita makan dan tidur dengan anak-anaknya. Eba-ae

ini juga menjadi tempat pria datang mengunjungi istri-istrinya.

4.4 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DARI KETIGA ARSITEKTUR DI ATAS

a). PERSAMAAN

Sistem pemukiman ketiga arsitektur di atas biasanya memilih puncak sebuah bukit

sebagai pusat kampungnya.

Mempunyai kemiripan bentuk rumah adatnya.

Arsitektur Atoni Arsitektur Manggarai

Page 29: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

116

Bahan penutup atap umumnya sama-sama menggunakan ilalang (alang-alang)

disamping bahan-bahan penutup atap lainnya, spt; jerami (honai),daun gewang).

4.5 KESIMPULAN DAN SARAN

4.5.1 Kesimpulan

Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara

keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya

merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata

Nusa yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa digunakan

dalam konsep kenegaraan ―Jawa‖, artinya dikenakan pada daerah di luar

pengaruh budaya Jawa.

Arsitektur Nusantara terdiri atas :

1) Arsitektur Klasik atau Candi

2) Arsitektur Islam

3) Arsitektur Kolonial

4) Arsitektur Vernakular

Karakteristik budaya Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya bangsa

Austronesia yang merupakan cikal bakalnya, begitu pun arsitektur sebagai

produk budaya memiliki ciri dan karakter yang sama dengan austonesia dalam

materi maupun makna simboliknya.

Page 30: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

117

Arsitektur vernakular Manggarai, Atoni, dan Papua sebagai bagaian dari

arsitektur Nusantara dengan variannya yang mempunyai kesamaan terhadap

arsitektur Austronesia namun mempunyai perbedaan terhadap pengertian dan

maksud penyampaiannya terhadap segi arsitektur.

Perihal wujud Arsitektur Vernakular (Tradisional) adalah Arsitektur tertua

dalam perkembangannya, walaupun dalam keberadaannya pada suatu

lingkungan kawasan yang sama, tetapi memiliki bentuk, makna dan nilai

simbolis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, hal ini menunjukkan,

bahwa gagasan lahir dari cara hidup yang berbeda pula.

Antara Arsitektur Atoni, Manggarai, dan Papua ditemukan perbedaan yang

signifikan baik dari segi pola ruang , pola permukiman, bentuk denah, tampilan

dan juga wujud ritual adatnya, tetapi memiliki makna dan nilai simbolis yang

hampir sama, kondisi lingkungan (site) dan juga cara hidup masyarakat adat.

Berdasarkan pemahaman Tipologi arstitektur, maka dapat dijabarkan bahwa

Arsitektur Tradisional (vernacular) Atoni, Manggarai, dan Papua, termasuk

dalam satu Tipologi, yaitu tipologi fungsi sosial dan fungsi religius; Tipologi

langgam geometri arsitektur rumah panggung beratap limas.

4.5.2 Saran

Arsitektur Tradisional (Vernakular) sebagai warisan budaya leluhur memiliki

sejumlah pola pikir yang kompleks, dalam perwujudannya, sehingga dapat

menciptakan suatu filosofi Arsitektur dalam menjawab tantangan dan peluang di

era globalisasi.

Kesadaran untuk memanfaatkan arsitektur Vernakular sebagai sumber dan modal

desain merupakan suatu upaya meningkatkan kualitas wajah Arsitektur Nusantara,

Akan tetapi penerapan unsur lokal tersebut nampaknya masih mengalami

hambatan yang cukup berarti karena belum didukung oleh teori, metoda dan

bahkan pengaruh perkembangan Arsitektur Modern. Memang tidak dapat dipungkiri

Page 31: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

118

lagi bahwa kedewasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang

melingkupi dunia Arsitektur mengakibatkan pudarnya tata nilai Arsitektur

Vernakular. Untuk itu sebagai warisan budaya leluhur harus dapat menyaingi

budaya modern, akibatnya jati diri lokal kita tidak akan lenyap apabila dalam setiap

desain arsitektur dapat menghadirkan nuansa lokal dalam tranformasinya, tidak

perlu semua unsur dihadirkan paling tidak sebagian bentuk, makna ataupun

langgamnya yang diterapkan, sehingga warisan budaya kita senantiasi hadir, hidup

dan berkembang dalam menjawab tantangan Globalisasi.

Page 32: Arsitektur Vernakular Atoni, Manggarai, Papua

119

DAFTAR PUSTAKA

F.Isnen, ST, Meng. 2006. Kopendium Arsitektur Indonesia dan Asia.

Atmadi, Parmono. 1990. Arsitektur Candi Indoensia. Gadjah Mada University Press :

Yogyakarta.

Budihardjo, Eko, 1991. Jatidiri Arsitektur Indonesia. Alumni : Bandung.

Hanafi, Zulkifli. 1985. Kompendium Sejarah: Seni Bina Timur. USM Press : P.Pinang.

Mangunwijaya, Y.B. 1992. Wastu Citra. Penerbit Gramedia : Jakarta.

Prijotomo, Josef. 1988. Pasang Surut Arsitektur di Indonesia. Surabaya: Penerbit CV.

Ardjun

Soekmono, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia volume 1. Kanisius:

Yogyakarta.

Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Masjid Kuno. Gadjah Mada University Press:

Yogyakarta.

Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda. Gadjah Mada University Press:

Yogyakarta.

Sumintardja, D. 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur Indonesia. Yayasan LPMB