53
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semua menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli dibidang rematologi, rematik dapat terungkap sebagai keluhan 1

Arthritis Rheumatoid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penyakit Arthritis Rheumatoid

Citation preview

Page 1: Arthritis Rheumatoid

BAB I

PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG

Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan

semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga

usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak

pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya

dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik.

Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan

muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan

perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang

menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya

usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak

selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian

reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik

bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan

penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak,

namun semua menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para

ahli dibidang rematologi, rematik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda.

Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal

yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan serta adanya tiga tanda utama

yaitu: pembengkakan sendi, kelemahan otot dan gangguan gerak. (sonarto,1982)

Dari berbagai masalah ksehatan itu ternyata gangguan muskuloskletal

menempati urutan kedua 14,5 % setelah pnyakit kardiovaskuler dalam pola

penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health,1996) dan

berdasarkan WHO di jawa ditemukan bahwa rheumatoid arthritis menempati

urutan pertama ( 49% ) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et.al, 1991).

1

Page 2: Arthritis Rheumatoid

B.        RUMUSAN MASALAH

1.        Apa yang dimaksud dengan rheumatoid arthritis?

2.         Apa saja patofisiologi rheumatoid arthritis ?

3.         Apa saja gejala dan tanda rheumatoid arthritis ?

4.         Bagaimana diagnosis rheumatoid arthritis ?

5.        Apa saja pemeriksaan laboratorium rheumatoid arthritis ?

6.         Bagaimana penatalaksanaan terapi rheumatoid arthritis ?

C.        TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian rheumatoid arthritis.

2. Untuk mengetahui patofisiologi rheumatoid arthritis.

3.  Untuk mengetahui gejala dan tanda rheumatoid arthritis

4. Untuk mengetahui diagnosis rheumatoid arthritis

5. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium rheumatoid arthritis

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi rheumatoid arthritis

D.       METODE PENULISAN

Penulisan makalah ini menggunakan berdasarkan literatur yang

diperoleh dari buku ataupun sumber dari internet.

E.       MANFAAT PENULISAN

1. Sebagai informasi dasar untuk mengenal arthritis rheumatoid.

2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai arthritis

rheumatoid.

2

Page 3: Arthritis Rheumatoid

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan

kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang

dikarakterisasi dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik

(Sukandar, 2009).

Rheumatoid arthritis juga didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang

umum disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui.

Inflamasi pada RA akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang

persendian. Kejadian inflamasi ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama

membran sinovial (membran yang membungkus sendi berisi cairan sinovial).

Kesehatan penderita RA akan menurun dikarenakan rasa nyeri, kelelahan,

ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien yang dapat melemah

akibat perkembangan penyakit yang progresif (Gibofsky, 2012).

Rheumatoid Arthritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas

tipe III. Hal ini dikarenakan dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya

kompleks imunoglobulin G yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan

terjadinya inflamasi. Selain itu, RA merupakan kelainan sistem imun yang

merupakan autoimun disease. Hal ini dikarenakan pada dasarnya terjadi kelainan

pada sel-sel limfosit yang mengakibatkan teraktivasinya jalur-jalur imun dan

protein-protein imun sehingga terjadi reaksi inflamasi.

B. PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi

akibat adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan

karena adanya kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya

hipersensitivitas tipe III dan adanya kelainan autoimun yang memicu

teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

3

Page 4: Arthritis Rheumatoid

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III

Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun

yang disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian

menjadi suatu antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks

antibodi ini mengaktivasi jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi

protein-protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat memicu reaksi

inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun

tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.

Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk

disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan

cairan tubuh lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh.

Hipersensitivitas tipe III ini dipicu oleh berbagai sebab seperti kelainan

autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang terpapar dari luar seperti spora

jamur (Marc, 2009).

Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)

Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus

yang dapat memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu.

Beberapa antigen yang dapat memicu kompleks antibodi adalah antigen dari

dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya

infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti spoa dari aspergilus

yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paru-paru. Kompleks

antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

4

Page 5: Arthritis Rheumatoid

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)

Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan

teraktivasinya protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu

teraktivasinya komplemen jalur klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di

kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri dari C1 q,r,s) akan membelah

protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel pada kompleks

imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1 akan

membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b akan

menempel pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi

C3a dan C3b. C3b memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3

konvertase membentuk C5 konvertase dan yang kedua menempel pada

permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin bagi fagosit. C5

konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b sebagai

MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein komplemen lain

(C7, C8, dan C9).

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)

5

Page 6: Arthritis Rheumatoid

Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil,

dan eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan

menyebabkan peradangan sendi.

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena

penyebab internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen

khusus (toksin bakteri dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan

mengalami peningkatan prosentase menderita RA apabila pada DNA nya

terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan

menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan

berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada

orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein

Antigen). ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan

menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut

Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).

Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor

eksternal juga mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling

banyak menyebabkan RA adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya

sitrunilasi pada protein-protein yang berada dalam jaringan ikat seperti vimetin.

Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak pada sel-sel jaringan ikat

terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi merupakan

antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat

menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila

terdapat sitrunilasi protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan

ACPA akan berikatan dengan antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks

imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA positif belum tentu menunjukkan

adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat ACPA, namun belum tentu

seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi sehingga belum tentu

terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak

diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein

tersitrunilasi), aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga

6

Page 7: Arthritis Rheumatoid

menyebabkan terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks

(Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis

Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel

myeloid dan sel dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan

adanya antigen berupa protein tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan

Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai mediator-mediator

inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan sel dendrit dan

myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-beta. Protein-

protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan

menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem

imun). Pada penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T

regulatory yang memiliki penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi

dari mediator-mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan adanya inflamasi

pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang membantu Sel T pada membran

sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG.

Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG

dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk

kompleks imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen

akan teraktivasi menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada

persendian (Mclnnes, 2011).

7

Page 8: Arthritis Rheumatoid

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi

seperti netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan

mensekresikan mediator-mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18,

dan 23) dan TNF alfa. Selain itu, makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang

pada persendian sehingga menyebabkan kerusakan sendi. Selain makrofag,

netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai pensintesis sitokin dan

senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis beberapa

kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).

Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah

IL-1, IL-6, dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas

sehingga menyebabkan deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang

8

Page 9: Arthritis Rheumatoid

diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein reseptor tirosin kinase dengan

jalur JAK (Mclnnes, 2011).

4. Manifestasi Rheumatoid Arthritis

Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai

macam manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah

kerusakan tulang rawan dan erosi tulang.

a. Kerusakan Tulang Rawan

Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan

sendi) seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari

permukaan protein binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi

FLS (Fibroblast-Like Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix

Metaloproteinase) sehingga meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain

itu, enzim matriks lain seperti ADAMTS akan mengurangi integritas dari

kartilago. Berbagai macam sitokin pada cairan sendi juga akan

meningkatkan perombakan tulang rawan pada persendian. Hal ini

menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan adanya

penyempitan jarak antar persendian (Mclnnes, 2011).

b. Erosi Tulang

Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa

RA dan berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif.

Berbagai macam sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan

osteoklas dan invasi pada permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17,

dan IL-1 akan meningkatkan deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya.

Osteoclast akan menyebabkan reaksi enzimatik asam yang akn

menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan dan tulang

(Mclnnes, 2011).

C. GEJALA DAN TANDA RHEUMATOID ARTHRITIS

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada

tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif.

Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi

9

Page 10: Arthritis Rheumatoid

secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa

bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada

umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala

kembali (AHRQ, 2008).

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan

energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan

kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping

itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya

mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,

panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik

untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).

Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,

takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang

terkena adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.

Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan

kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut,

bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi

hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah

hal yang umum (AHRQ, 2008).

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :

1. Stadium sinovitis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai

hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,

bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga

pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,

deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).

10

Page 11: Arthritis Rheumatoid

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit

yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi

yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak,

tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi

tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat

menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas

dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang

tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi

pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,

bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan

kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba

akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak

tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis

adalah nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga

hebat ketika beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala

lain. Kekakuan otot-otot selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien

rheumatoid arthritis serta osteoarthritis. Namun, di antara pasien dengan

osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam aktivitas. Untuk pasien

rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa menjadi

meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada

pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan

menyakitkan untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan

menyebabkan cacat permanen. Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang

berakhir pada sendi, erosi kartilago dan pecahnya tendon di sekitar sendi.

Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari. Misalnya, ibu jari yang cacat

dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari melengkung atau

disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).

Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi.

Ini muncul sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri,

keras, oval atau bulat massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti

11

Page 12: Arthritis Rheumatoid

pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga

terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru. Dalam paru-paru mereka dapat

menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam dan sekitar paru-

paru.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya jumlah sel

darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah

baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS,

2012).

Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau

vaskulitis arthritis. Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat

menyebabkan ulserasi kulit yang dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan

saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan atau

perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri, mati rasa atau kesemutan

sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin terlibat

menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi

cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan

miokarditis. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang

mungkin mengalami peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up.

Flare up biasanya sulit untuk memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada

pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).

Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah

pada kualitas hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan

kesejahteraan emosional serta kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan

kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS, 2012).

D. DIAGNOSIS RHEUMATOID ARTHRITIS

Pendekatan perawatan pasien dengan RA dapat digolongkan menjadi 2

grup :

RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang

terjadi kurang dari 3 bulan

Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena

inflamasi dan /atau karena kerusakan sendi.

12

Page 13: Arthritis Rheumatoid

Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa InflamasiCiri-ciri Dengan Inflamasi Tanpa InflamasiNyeri sendi Dengan aktivitas dan pada

saat istirahatDengan aktivitas

Pembengkakan sendi Jaringan lunak Pada banyak tulangErythema local Kadang-kadang Tidak adaPanas Lokal Berkali-kali Tidak adaKekakuan pagi hari > 30 menit < 30 menitGejala sistematik Umum, khususnya

keletihanTidak ada

(Aleteha, et al, 2010).

Membedakan RA Dari Arthritis Dengan Inflamasi LainnyaKemungkinan RA Diagnosis pembeda Anjuran ciri-ciri

Diagnosis alternatif Kekakuan pada pagi

hari > 30 menit Kristal arthropathy Mucosal ulcer,

fotosensitif, psoriasis, ruam pada kulit

Raynaud’s

Pembengkakan atau nyeri sendi pada 3 atau lebih sendi

Psoriatic arthritis Lupus

Raynaud’s Inflamasi okular-

iritis/uveitis Urethritis

Keterlibatan simetris dari tangan dan kaki (khususnya metacarpophalangeal, metatarsophalangeal)

Reaktif arthritis Spondyloathropaties Polyarticular sepsis

Inflammatory bowel disease

Infeksius diare Nephritis Isolated distal

interphalangeal joint inflammation

Durasi 4 minggu atau lebih

Source : www. BCGuidelines.ca (BCGuidelines.ca : Rheumathoids Arthritis : Diagnosis,

Manajemen and Monitoring, 2012)

Diagnosis Reumathoid Arthritis (RA) dilakukan secara klinis didasarkan

terutama pada temuan pemeriksaan fisik.  Ada 2 kriteria klasifikasi utama

diringkas dalam Tabel1. Kriteria klasifikasi yang diterbitkan pada tahun 1987 oleh

American College of Rheumathology (ACR), sebelumnya American Rheumatism

13

Page 14: Arthritis Rheumatoid

Assosiation, telah dikritik untuk fokus mereka pada identifikasi pasien dengan

penyakit RA lebih pasti (yaitu, mereka yang telah mengembangkan erosif kronis

penyakit), sehingga kriteria yang dibuat tahun 1987 gagal mengidentifikasi pasien

dengan penyakit dini, yang memberikan keuntungan, bisa mendapatkan manfaat

paling banyak dari terapi yang tersedia (Aleteha, et al, 2010).

Baru-baru ini, ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR)

menciptakan kelompok kerja sama dengan tujuan utama untuk mengembangkan

kriteria klasifikasi untuk mengidentifikasi pasien RA awal (dini) selama proses

perkembangan penyakit. Seperti pada usaha kriteria tahun 1987, kriteria

klasifikasi tahun 2010 adalah sarana untuk mengidentifikasi pasien untuk uji

klinis, untuk membedakan pasien dengan sinovitis, dan untuk menentukan

kelompok resiko tertinggi untuk mengembangkan persisten atau erosif RA.

Namun, klasifikasi ACR/EULAR tahun 2010 juga diciptakan secara skematis

untuk mengidentifikasi RA tetap (Aleteha, et al, 2010).

Ada beberapa perbedaan penting antara kriteria RA 1987 dan kriteria

klasifikasi 2010 untuk RA, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kriteria 1987

dipersyaratkan score minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di

pagi hari, jumlah keseluruhan sendi yang terlibat, presence of symmethry,

Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid positif (RF), dan tes perubahan

radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan bagi mereka dengan

sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain.

Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe

joint yang terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi

atau nyeri sendi pada pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large

Joint) meliputi bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small

Joint) mengacu pada metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalangeal

(PIP), 2-5 Metarshophalangeal (MTP), sendi interphalangeal jempol, dan

pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal kecuali dari assessment

karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).

Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul,

atau arthritis simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan

simetris bukan merupakan kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan

14

Page 15: Arthritis Rheumatoid

dari presentasi bilateral meningkat dengan adanya peningkatan lebih besar sendi-

sendi yang terlibat dan lebih progresifnya penyakit (Aleteha, et al, 2010).

Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak

adanya RF (afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin)

sebagai salah satu domain. Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya

atau tidak adanya yang baru-baru in diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein

antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA merupakan penanda dari disfungsi

autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana “Normal” didefinisikan sebagai

kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil laboratorium, positif-rendah

diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif tinggi lebih dari 3 kali

nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR)

dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar

laboratorium (Aleteha, et al, 2010).

Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi

dipertimbangkan, tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari

nilai akhir. Pada kriteria 2010 nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif

untuk RA, dan karenanya pasien akan dipertimbangkan untuk menjalani

pengobatan (Aleteha, et al, 2010).

Karena itu disarankan menggunakan kriteria 2010 ACR/EULAR untuk

assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi

lebih awal pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM RHEUMATOID ARTHRITIS

Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan RA. Pemeriksaan

tersebut antara lain :

1. Rheumatoid Factor

Rheumatoid Factor (RF) merupakan antibodi atau immunoglobulin

yang dimiliki oleh sekitar 70 sampai 80 persen orang dewasa yang memiliki

rheumatoid arthritis. Beberapa orang dengan kondisi kronis lainnya

peradangan, dan sampai 5 persen orang sehat, juga positif memiliki faktor

rheumatoid. Tes untuk faktor rheumatoid dilakukan dengan menggunakan

aglutinasi lateks atau nephelometry. Jika hasil tes positif untuk faktor

15

Page 16: Arthritis Rheumatoid

rheumatoid, sampel darah Anda lebih lanjut dianalisis menggunakan seri

pengenceran untuk mendapatkan titer yang (pengenceran darah pasien masih

menghasilkan hasil yang positif). Menggunakan uji aglutinasi lateks, titer lebih

besar dari 1:20 tidak normal. Titer tinggi juga berkorelasi dengan keparahan

penyakit. Sebagai contoh, 1:320 kemungkinan akan mencerminkan keparahan

dari rheumatoid arthritis dibandingkan 1:40. Menggunakan nephelometry,

hasil lebih dari 23 unit dan titer lebih dari 1:80 tidak normal. Beberapa tes

faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU (International Unit) (Eustice,

2007).

Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk

mendeteksi adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam

serum pada penderita rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).

Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi

autoantibodi ke bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor

rematik" karena hubungan mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid

terutama dimiliki untuk kelas IgM imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid

telah dikaitkan dengan masing-masing subclass IgG manusia dan dengan IgA

dan IgE. Peningkatan kadar faktor rheumatoid tidak hadir dalam penyakit sendi

lainnya seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gout, demam rematik,

arthritis supuratif, psoriatic arthritis, arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena

ini tingkat kekhususan, deteksi arthritis. Faktor sangat berguna sebagai

indikator rheumatoid arthritis. tes RF dapat membantu dokter dalam deteksi,

diagnosis, prognosis, dan pemantauan terapi rheumatoid arthritis. Tes untuk

faktor rheumatoid adalah tes serologi yang paling banyak digunakan sebagai

bantuan untuk diagnosis rheumatoid arthritis. Metode penentuan RF meliputi

presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan tingkat nephelometry dan tes

aglutinasi partikel (Nerl, 2012).

2. UJI ACPA

Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated

peptide (anti-CCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay

dimana tes ini untuk melihat kehadiran antibodi yang mengenali antigen

16

Page 17: Arthritis Rheumatoid

tertentu yang mengandung citrulline. Citrulline merupakan non-standar asam

amino yang dibuat dengan modifikasi enzimatik arginin (proses yang dikenal

sebagai citrullination) (Suwannalai, 2011).

Antibody protein anti-citrullinated (ACPA) terlibat dalam patogenesis

penyakit rheumatoid arthritis (RA). ACPA dapat ditemukan pada awal

perjalanan penyakit bahkan sebelum onset penyakit, dan adanya ACPA pada

saat diagnosis dapat memprediksi perjalanan penyakit. Selain itu, ACPA dapat

berkontribusi untuk patogenesis penyakit dengan mengaktifkan sel-sel

kekebalan tubuh dan sistem komplemen. Respon ACPA kemungkinan

merupakan respon B-sel T-cell-dependent, mengingat sifat protein dari antigen

yang dikenali dan mengikat kuat dengan antigen leukosit manusia bersama-

sama dengan alel epitop. Evolusi seperti respon biasanya ditandai dengan

gelombang pertama antibodi IgM setelah kontak dengan antigen pertama,

segera diikuti oleh kehadiran IgG. Setelah paparan antigen berulang, respon

IgG yang lebih didorong sedangkan penurunan puncak IgM. Pengamatan

terakhir ini dijelaskan oleh kehadiran Ig-switched, afinitas matang, sel memori

B yang terbentuk dalam kehadiran sel T CD4 +. Sel-sel T helper memberikan

aktivitas yang diperlukan untuk pematangan afinitas, switching isotipe dan

pembentukan sel memori (Suwannalai, 2011).

ACPA tes didasarkan pada deteksi autoantibodi dengan ELISA atau

MEIA atau immunoenzymofluorimetry. Pemeriksaan ACPA meliputi anti-

cyclic citrullinated peptide (Anti- CCP) dan anti-mutated citrullinated vimentin

(anti-MCV).

- Anti-Cyclic Citrullinated Peptide (Anti- CCP)

Antibodi Anti –CCP adalah singkatan anti-cyclic antibodi peptida

citrullinated. Ini adalah protein yang diproduksi sebagai bagian dari proses

yang mengarah ke peradangan sendi pada rheumatoid arthritis. Ini adalah

tes yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.

Saat ini, antibodi anti-CCP adalah penanda paling spesifik untuk

rheumatoid arthritis. Dengan spesifisitas sekitar 98%, itu adalah penanda

diandalkan untuk mengkonfirmasi diagnosis rheumatoid arthritis.

17

Page 18: Arthritis Rheumatoid

Pada pasien RA sering menghasilkan autoantibodi diarahkan

terhadap protein dan peptida yang mengandung citrulline asam amino.

Citrulline dihasilkan dalam lingkungan inflamasi oleh modifikasi asam

amino arginine oleh enzim peptidylarginine deiminase. Sehingga metode

anti-CCP ini dapat digunakan sebagai metode uji untuk mendiagnosis

penyakit RA (Langguth, 2006).

Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di

bawah arahan enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk

membentuk asam amino non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih

cocok ke dalam HLA-DR4 molekul yang sangat terkait dengan

perkembangan rheumatoid arthritis, keparahan dan prognosis. Hal ini juga

diketahui bahwa banyak jenis peptida citrullinated hadir dalam tubuh, baik

di dalam maupun di luar sendi. Pada akhir 1990-an, antibodi terhadap

peptida citrullinated yang 'ditemukan'. Sera dari pasien dengan rheumatoid

arthritis mengandung antibodi yang bereaksi terhadap peptida citrullinated.

Peptida buatan digunakan dalam tes antibodi terhadap CCP (tes anti-CCP).

Serum pasien dicampur dengan ini peptida dan jika mengandung antibodi

anti-CCP mereka akan mengikat bersama-sama. Pengikatan ini dapat

dideteksi oleh immunosorbent assay enzim-linked (Langguth, 2006).

- Anti MCV (Mutated Citrunilated Vimentin)

Anti MCV adalah suatu isoform antigenik baru dari vimentin yang

ditemukan pada pasien rheumatoid arthritis. Dan termasuk dalam golongan

18

Page 19: Arthritis Rheumatoid

ACPA. Marker alami anti-MCV merupakan pengembangan lebih lanjut dari

anti-CCP. Anti MCV menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibanding

anti-CCP mauapun RF untuk diagnosis dini rheumatoid arthritis. vimentin

citrullinated identik dengan sebelumnya dikenal antigen Sa, yang

merupakan singkatan dari Savoie, nama pasien di antaranya respon

autoantibody pertama kali diidentifikasi. Antibodi anti-Sa memberikan

spesifisitas yang tinggi> 98%, tetapi sensitivitas terbatas 22% sampai 40%

untuk pasien dengan alat tes komersial untuk mendeteksi antibodi anti-SA,

studi yang dilakukan sejauh ini menunjukkan kemungkinan nilai prognostik

untuk klinis yang parah pada rheumatoid arthritis. Selain itu, antibodi anti-

Sa memiliki Nilai prediktif tinggi sekitar 84% sampai 99% untuk

rheumatoid arthritis dan yang terkait erat dengan manifestasi extraartikular

dan keterlibatan sendi yang parah. Penelitian terbaru telah menunjukkan

bahwa kedua citrullination dan mutasi dapat mempengaruhi antigenitas

vimentin. ELISA berdasarkan mutation citrullinated vimentin (MCV) telah

tersedia secara komersial untuk diagnosis rheumatoid arthritis untuk

beberapa waktu dan memiliki sekitar kepekaan diagnostik yang sama dan

spesifisitas sebagai antibodi anti-CCP (Egerer , 2009)

3. X-RAY

X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan

jaringan lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat

memperlihatkan erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray

19

Page 20: Arthritis Rheumatoid

dapat membantu dalam memantau perkembangan penyakit dan kerusakan

sendi dari waktu ke waktu. Scanning tulang, prosedurnya menggunakan sedikit

zat radioaktif, juga dapat digunakan untuk menunjukkan sendi yang meradang.

Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk menunjukkan kerusakan sendi

(Stoppler, 2013).

American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem

untuk mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada

penampilan X-ray dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis

menggolongkan keparahan rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang

rawan, ligamen, dan tulang.

Tahap I

Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tanda-

tanda penipisan tulang.

Tahap II

1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau

tanpa/sedikit kerusakan tulang

2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan

3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi

4. Atropi pada otot yang berdampingan

5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi

Tahap III

1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan

penipisan tulang di sekitar sendi

2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi

3. Atrofi otot yang ekstensif

4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi

Tahap IV

1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan

osteoporosis di sekitar sendi

2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai

ankilosis)

20

Page 21: Arthritis Rheumatoid

3. Atrofi otot yang ekstensif

4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler,

2013).

Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA

sebagai berikut:

Kelas I : benar-benar mampu melakukan aktivitas seperti biasa sehari-hari

Kelas II : mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa tapi

terbatas dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga,

pekerjaan rumah tangga)

Kelas III : mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas

dalam pekerjaan dan kegiatan lainnya

Kelas IV : terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa,

pekerjaan, dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).

4. Laju Endap Darah (Erythrocyte Sedimentation Rate)

Laju endap darah adalah uji yang umumnya digunakan untuk penilaian

aktivitas penyakit. Tes ini untuk memastikan keparahan inflamasi dan

digunakan untuk memonitor pekembangan pengobatan RA (McNeil, 2005).

Laju endap darah mengukur seberapa cepat eritrosit mengendap pada

test tube. Protein tertentu akan ada pada inflamasi yang melekat pada eritrosit,

yang menyebabkan mereka terikat bersama dan lebih cepat jatuh ke bawah test

tube. Kecepatan jatuh ESR diukur dalam jam (McNeil, 2005).

Pada RA laju endap darah biasanya meningkat, merefleksikan

inflamasi dari penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi,

namun seluruh tubuh. Dan pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi

sistemik yang merata pada seluruh tubuh, dan ditunjukkan pada laju endap

eritrosit (Ruderman, 2008).

Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah

adalah metode westergren.

a. Metode Westergren

21

Page 22: Arthritis Rheumatoid

Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan

didiamkan. Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan

sedimen eritrosit yang terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur

dan gender pada beberapa laboratorium, padahal karakteristik ini

mempengaruhi laju endap darah. Laju endap darah umumnya meningkat

bersamaan dengan usia dan agak meningkat pada wanita. Batasan tinggi

normal pada pria adalah sama dengan usia dibagi 2, sedangkan pada wanita,

ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2 (Klipple, 2008).

Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa

keparahan yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan

juga digunakan untuk memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat

dan perkembangan penyakit yang membaik, akan menunjukan laju endap

eritrosit yang menurun dan dapat menunjukan respon dari pengobatan

(Ruderman, 2008).

b. C-Reactive Protein (CRP)

Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut C-

reactive protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin

seperti IL-6. Protein ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat.

Level CRP dapat meningkat dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma

parah, infeksi bakteri, inflamasi, bedah, atau proliferasi neoplastik.

Pengukuran CRP sudah banyak digunakan dalam aktivitas penilaian dari

penyakit inflamasi, untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk

mendeteksi penolakan transplantasi, dan memonitor progres inflamasi

(Fishbach, 2009).

Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap

darah; dengan stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4

sampai 6 jam dan normal dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara

simultan dengan laju endap darah sebagai pengukuran inflamasi yang umum

(McNeil, 2005).

c. Metode Nephelometri

Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target

protein dan mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks.

22

Page 23: Arthritis Rheumatoid

ELISA menggunakan coated plate untuk membentuk ikatan kompleks

antibodi-antigen. Ikatan kompleks ini dideteksi oleh tambahan antibodi

kedua yang dilabeli dengan enzin, kemudian dicampurkan dengan substrat,

menghasilkan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometri. Karena

CRP adalah serum protein stabil dan pengukurannya tidak mempengaruhi

komponen serum yang lain, maka cenderung kurang tidak tetap

dibandingkan laju endap darah. CRP dipengaruhi oleh usia dan gender.

Umumnya, level <0,2 mg/dL dinilai normal dan level >1 mg/dL dianggap

konsisten dengan inflamasi (McNeil, 2005).

F. PENATALAKSANAAN TERAPI RHEUMATOID ARTHRITIS

1. Non-farmakologi (lifestyle)

Terapi non-farmakologi RA, dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

a. Berhenti merokok

b. Melakukan operasi penggantian sendi

c. Memelihara aktivitas fisik

d. Melakukan diet sehat

e. Menjaga berat badan agar tetap ideal

Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Melakukan olahraga teratur

b. Melakukan terapi okupasi

c. Hidroterapi

d. Memberikan edukasi kepada pasien. (Gcelu and Kalla, 2011).

Istirahat merupakan hal yang dibutuhkan untuk terapi non-farmakologi.

Istirahat menjadi pengobatan dalam mengurangi sakit. okupasi dan terapi fisik

dapat dilakukan pasien dengan olahraga ringan atau menjaga mobilitas

(pergerakkan). Mengurangi berat badan dapat membantu mengurangi radang

pada sendi (Singh, et al 2012).

23

Page 24: Arthritis Rheumatoid

2. Farmakologi

Terapi farmakologi RA menggunakan obat-obatan sebagai berikut :

a. Symptom-modifying anti-rheumatic drugs (SMARDs)

Obat golongan SMARDs ini merupakan golongan obat analgesik

sederhana berupa NSAID (Gcelu and Kalla, 2011). NSAIDs atau golongan

kortikosteroid digunakan untuk mengurangi gejala-gejala rematik jika

dibutuhkan. NSAID jarang digunakan sebagai monoterapi untuk rheumatoid

arthritis karena NSAIDs tidak menyembuhkan penyakit melainkan hanya

sebagai tambahan bagi obat golongan DMARDs. Kortikosteroid dapat

digunakan untuk mengontrol gejala RA sebelum memulai penggunaan

DMARDs (Singh, et al 2012).

- Glukokortikoid

Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis

tunggal, baik secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk

menginduksi berkurangnya inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat

digunakan untuk meredakan gejala jangka pendek dan tanda-tanda

penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).

b. Disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs)

Ada bukti kuat bahwa terapi dini dengan menggunakan sintetis

DMARDs dapat mengurangi perkembangan radiografi, dan juga terapi

DMARD tidak harus ditunda. Pada pasien dengan inflamasi artritis sebelum

memenuhi kriteria ACR untuk RA, terapi menggunakan sintetis DMARDs

mengurangi proses kerusakan karena radiografi (Gcelu and Kalla, 2011).

DMARDs menjadi first-line terapi untuk RA. Untuk terapi dengan

DMARD harus dimulai pada 3 bulan pertama setelah simptomnya muncul.

Pengobatan dini dengan menggunakan DMARD dapat mengurangi resiko

kematian. Pasien yang menderita RA, resiko kematiannya lebih tinggi

dibanding dengan orang-orang yang tidak terkena RA (Singh, et al 2012).

1) Methotrexate

Methotrexate dianggap sebagai obat pilihan DMARD oleh pakar

rematologi untuk mengobati RA. Methotrexate memiliki kontraindikasi

24

Page 25: Arthritis Rheumatoid

dengan kehamilan dan ibu menyusui. Selain itu, Methotrexate memiliki

kontraindikasi dengan pasien penyakit hati kronik, imunodefisiensi,

kelainan darah, leukopenia, trombositopenia, dan dengan pasien yang

memiliki klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit. Methotrexate

bersifat teratogenik, sehingga harus dihindari pada pasian yang sedang

hamil. Selain itu, Methotrexate juga merupakan antagonis asam folat,

sehingga dapat menyebabkan defisiensi asam folat dalam tubuh.

Methotrexate menghambat produksi sitokin, menghambat biosintesis

purin, dan menstimulasi pelepasan adenosin, yang semuanya dapat

sebagai antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang cepat, hasilnya dapat

dilihat 2- 3 minggu setelah terapi. Pemberian Methotrexate dapat

dilakukan dengan cara oral, intramuskular (i.m), atau secara subkutan

(Singh, et al 2012).

2) Leflunomide

Leflunomide merupakan DMARDs yang menghambat sintesis pirimidin,

menurunkan proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi.

Leflunomide diberikan secara oral dengan dosis awal 100 mg perhari

selama 3 hari, dan diikuti dosis harian 20 mg sehari. Leflunomide

memiliki memiliki efektivitas yang sama dengan MTX. Leflunomide

dapat menyebabkan toksisitas di hari dan memiliki kontraindikasi dengan

pasien yang memiliki riwayat penyakit hati. Selain itu juga, Leflunomide

dapat menyebabkan toksisitas pada sumsum tulang dan juga bersifat

teratogenik (Singh, et al 2012).

3) Hydroxychloroquine

Farmakokinetik obat hydroxychloroquine kurang dipahami.

Hydroxychloroquine memiliki keuntungan yaitu kurangnya toksisitas

myelosuppresive, hati, dan ginjal yang mungkin terdapat pada DMARD

yang lain. Hydroxychloroquine diberikan secara oral dengan dosis awal

berkisar 200-300 mg, setelah 1-2 bulan dapat diturunkan menjadi 200 mg

perhari (Singh, et al 2012).

25

Page 26: Arthritis Rheumatoid

4) Sulfasalazine

Sulfasalazine merupakan prodrug yang diubah oleh bakteri di kolon

menjadi sulfapyridine dan asam 5-aminosalisilat. Ketika sulfasalazine

mencapai kolon, bakteri-bakteri yang berada di kolon akan memutuskan

hubungan antara kedua molekul-molekul. Setelah memisah dari 5-ASA,

sulfapyridine diserap kedalam tubuh dan kemudian dikeluarkan dalam

urin. Efek-efek sampingan ini termasuk mual, rasa panas di dada

(heartburn), sakit kepala, anemia, ruam kulit (skin rashes), dan, dalam

kejadian-kejadian yang jarang, hepatitis dan peradangan ginjal. Pada

pria-pria, sulfasalazine dapat mengurangi jumlah sperma. Pengurangan

jumlah sperma kembali normal setelah pemberhentian sulfasalazine atau

oleh perubahan ke suatu senyawa 5- ASA yang berbeda. Sulfasalazine

digunakan dalam dosis hingga 2-4 g / hari (Singh, et al 2012).

5) Minocycline

Minocycline merupakan obat yang diresepkan untuk pasien dengan

gejala rheumatoid arthritis ringan. Minocycline juga kadang-kadang

dikombinasi dengan obat lain untuk mengobati pasien dengan gejala

persisten dari bentuk arthritis. Minocycline mengurangi produksi zat

yang menyebabkan peradangan, seperti prostaglandin dan leukotrien,

sambil meningkatkan produksi interleukin-10, suatu zat yang mengurangi

peradangan. Minocycline biasanya diberikan sebagai kapsul (mg) 100

miligram dua kali sehari. Penggunaan Minocyline selama kehamilan

dapat memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah

lahir serta menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir

ketika diambil selama paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat

mengurangi efektivitas beberapa pil KB (Singh, et al, 2012).

6) Garam Emas

Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak

digunakan di negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan

adalah injeksi dengan dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum

banyak diketahui dengan pasti (Singh, et al 2012).

26

Page 27: Arthritis Rheumatoid

c. Terapi DMARD Biologis

DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan

telah terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan

struktural pada awal penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs

tidak berhasil dalam terapi RA. Namun, DMARDs biologis lebih mahal

daripada DMARDs tradisional, dan ini membatasi penggunaannya pada

awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi biologis adalah rekayasa

genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin TNF-alfa dan

IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel T

untuk mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas

sel T. Obat-obat penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab,

etanercept, adalimumab, penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B

perifer yaitu rituximab dan yang berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept

(Singh, et al 2012).

1) Etanercept

Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75

terkait dengan fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF,

sehingga secara biologis membuat etanercept aktif dan mencegahnya

berinteraksi dengan permukaan sel reseptor TNF yang menyebabbkan

aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi subkutan, 50 mg sekali

seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian etanercept dihindari

oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah

menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan

DMARDs (Singh, et al 2012).

2) Infliximab

Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG1 tikus dan

manusia. sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos

tikus ke TNF manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut

digabungkan ke bagian IgG kontan manusia untuk mengurangi

antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut, ketika diinjeksikan pada

manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi dengan reseptor

TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena

27

Page 28: Arthritis Rheumatoid

dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8

minggu. Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein

asing, methotrexate seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal

yang digunakan untuk terapi RA sepanjang pasien menggunakan

infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik artritis dan

ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).

3) Adalimumab

Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena

tidak ada komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari

pada infliximab. Obat ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang

diaplikasikan secara subkutan setiap 14 hari (Singh, et al 2012).

4) Antagonis reseptor IL-1

Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan

antiinflamasi yang terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor

IL-1 pada sel target dapat mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-

1 sangat penting dalam patogenesis RA. IL-1 menstimulasi pelepasan

faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan memperantarai perpindahan

dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan faktor yang

diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang

menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).

5) Abatacept

Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati

RA pada pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal

mencapai respon yang memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan

berikatan pada reseptor CD80/CD86 di sel antigen, abatacept

menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T, mencegah sel T

mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan pengurangan

sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.

Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler

dari domain 4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan

dengan obat) dan fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia

untuk mencegah fiksasi komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus

28

Page 29: Arthritis Rheumatoid

intravena berdasarkan berat pasien ( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750

mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu untuk 2 dosis setelah dosis

awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang gagal mencapai

respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya memiliki

respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).

6) Rituximab

Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari

protein utama manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari

antibodi tikus untuk mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari

sel limfosit B dewasa. Ikatan rituximab dengan sel B menghasilkan

deplesi perifer sel B, dengan pemulihan bertahap setelah beberapa bulan.

Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan durasi aksi yang

memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan

reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya

gagal menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg

diberikan 2 minggu secara terpisah (Singh, et al 2012).

7) Tocilizumab

Tocilizumab  adalah yang pertama dikelas  pengobatan RA dengan

menargetkan reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia

dalam tubuh  yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang

sistemik menetap yang dialami penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab

adalah suatu antibodi yang menghambat titik dimana IL-6 menempel

pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel pada sel, sel

tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi

dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk

nyeri dan bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan

tocilizumab memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi

akibat penyakit RA. Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan

dengan cara diinjeksikan sekali setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).

8) Certolizumab pegol

Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid

arthritis yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6

29

Page 30: Arthritis Rheumatoid

bulan, serta memiliki rheumatoid arthritis “aktif” yang parah.

Certolizumab pegol memiliki struktur yang berbeda dengan inhibitor

TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen ikatan antibodi

(Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG TNF,

karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig

konstan. Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali

injeksi 200 mg) untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti

dengan dosis 20 mg setiap minggu (Singh, et al, 2012).

9) Golimumab

Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang

menargetkan dan menetralkan membran yang terikat TNF-alpha.

Golimumab sedang diselidiki untuk administrasi oleh subkutan (SC)

injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal, Golimumab diberikan 50

mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).

Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika

terapi single DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus

methotrexate dan methotrexate plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine

khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan bahwa terapi kombinasi awal

dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine plus prednisone,

atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada

rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).

30

Page 31: Arthritis Rheumatoid

MTX / DMARD lain + Prednisone + NSAID selama 3 bulan

poor respon

DMARD lain DMARD kombinasi DMARD biologi

poor respon

DMARD triple combination (DMARD + biologi) +Prednison dosis rendah

Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab

RA. Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan

NSAID maupun kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA

dapat dihambat dengan MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan

dapat ditekan dengan NSAID atau kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara

bersamaan juga merupakan alternatif apabila single DMARD tidak berhasil. Hal

ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja melainkan banyak.

Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab RA.

Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan

sintesis purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat

menyebabkan hambatan pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh,

et al 2012).

Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis.

DMARD biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat

interaksi TNF alfa dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20,

31

Page 32: Arthritis Rheumatoid

dan lain sebagainya. Efek farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis

memang lebih baik karena kerjanya yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang

sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua dalam pengobatan RA (Singh,

et al 2012).

32

Page 33: Arthritis Rheumatoid

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yaitu

kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri,

yang membuat respon kekebalan melawan sel dan jaringan miliknya

sendiri. Atau dengan kata lain sel itu akan menyerang dirinya sendiri.

Sistem auto imun Rheumatoid Arthritis juga disebabkan oleh faktor

rheumatoid (rheumatoid factor, RF) yaitu immunoglobulin yang bereaksi

dengan molekul IgG. Karena penderita juga mengandung IgG dalam

serum, maka RF ini belum diketahui pasti, walaupun aktivasi komplemen

akibat adanya interaksi RF dengan IgG memegang peranan yang penting

pada rematik artritis (rheumatoid arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain

dengan RF positif . Sebagian besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga

berupa IgG atau IgA.

B. Saran

Mempelajari materi tentang penyakit Rheumatoid Arthritis itu

sangat penting. Karena Rheumatoid Arthritis adalah suatu keadaan kronis

dan biasanya merupakan kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang

belum diketahui. Dengan demikian sebaiknya kita menjaga aktivitas, pola

tidur, diet dan yang lainnya agar seimbang, untuk menghindari

Rheumatoid Arthritis menyerang pada sistem imun kita. 

33

Page 34: Arthritis Rheumatoid

DAFTAR PUSTAKA

AHRQ, 2008, Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults, http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repFiles/RheumArthritisConsumerGuide_Singlepage.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013.

Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria : An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.

Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And Influenza-Related Complications: A Retrospective Cohort Study BMC Musculoskeletal Disorders 2012, 13:158, 2-10.

Bose , N, MD ., 2012 , Should I Order An Anti-CCP Antibody Tes to Diagnose Rheumatoid Arthritis? , Cleveland Clinic Journal Of Medicine, Ohio.

Egerer, K., 2009, The Serological Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, Deutsches Ärzteblatt International, Germani.

Eustice, C., 2007, Everything Health Guide To Arthritis, Adam Media, Avon, pp. 53.

Fischbach, F., dan Dunning, M.B., 2009, A Manual of Laboratory and Diagnosic Test, 8th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp. 634.

Gcelu, A., and Kalla, A.A., 2011, Current Diagnosis And Treatment Strategies In Rheumatoid Arthritis, CME, August 2011, Vol.29, No.8.

Gibofsky, 2012, Overview of Epidemiology, Pathophysiology, and Diagnosis of Rheumatoid Arthritis, The American Journal of Managed Care, VOL. 18, No. 13, pp :295-302.

Klareskog, 2006, A New Model for an Etiology of Rheumatoid Arthritis Smoking May Trigger HLA–DR (Shared Epitope)–Restricted Immune Reactions to Autoantigens Modified by Citrullinationm, American College of Rheumatology, vol 54 no 1 pp : 38-46.

Klipple, J.H., Crofford, L.J., dan Stone, J.H., 2008, Primer On The Rheumatic Disease, Springer, London, pp.15-16.

34