22
BAB I PENDAHULUAN Sekitar 1 neonatus dari 5.000 kelahiran hidup dilahirkan dengan obstruksi usus. Etiologi primer obstruksi usus halus kongenital adalah abnormalitas-abnormalitas pada perkembangan anatomic (stenosis dan atresia jejuni-ileal), sekresi mucus (ileus mekonium), dan inervasi dinding usus (penyakit Hirschprung segmen panjang) 3 . Obstruksi ini dapat terjadi secara parsial maupun komplit, dapat dengan karakteristik sederhana (simple) atau strangulasi. Pada obstruksi sederhana, isi usus gagal bergerak dalam arah aboral (menjauhi mulut), sedangkan pada obstruksi strangulasi, selain terdapat kegagalan isi usus bergerak dalam arah aboral juga terdapat gangguan aliran darah menuju usus. Jika obstruksi strangulasi tidak ditangani dengan tepat, strangulasi dapat menyebabkan infark dan perforasi usus 3 . Berdasarkan etiologi yang mendasarinya, obstruksi usus dapat diklasifikan menjadi obstruksi intrinsic dan ekstrinsik. Penyebab obstruksi intrinsic adalah abnormalitas kongenital pada inervasi usus, produksi mucus, dan anatomi tubular. Diantara ketiganya, abnormalitas pada struktur tubular adalah yang paling sering ditemukan, dan dapat bermanifestasi sebagai obliterasi (atresia) atau penyempitan (stenosis) pada lumen usus. Lebih dari 90% stenosis dan atresia usus terjadi di duodenum, jejunum, dan ileum. Stenosis dan atresia pada kolon sangat jarang dijumpai.

Atresia Usus

  • Upload
    tantra

  • View
    36

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka

Citation preview

Page 1: Atresia Usus

BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar 1 neonatus dari 5.000 kelahiran hidup dilahirkan dengan obstruksi usus. Etiologi primer

obstruksi usus halus kongenital adalah abnormalitas-abnormalitas pada perkembangan anatomic

(stenosis dan atresia jejuni-ileal), sekresi mucus (ileus mekonium), dan inervasi dinding usus

(penyakit Hirschprung segmen panjang)3.

Obstruksi ini dapat terjadi secara parsial maupun komplit, dapat dengan karakteristik sederhana

(simple) atau strangulasi. Pada obstruksi sederhana, isi usus gagal bergerak dalam arah aboral

(menjauhi mulut), sedangkan pada obstruksi strangulasi, selain terdapat kegagalan isi usus

bergerak dalam arah aboral juga terdapat gangguan aliran darah menuju usus. Jika obstruksi

strangulasi tidak ditangani dengan tepat, strangulasi dapat menyebabkan infark dan perforasi

usus3.

Berdasarkan etiologi yang mendasarinya, obstruksi usus dapat diklasifikan menjadi obstruksi

intrinsic dan ekstrinsik. Penyebab obstruksi intrinsic adalah abnormalitas kongenital pada

inervasi usus, produksi mucus, dan anatomi tubular. Diantara ketiganya, abnormalitas pada

struktur tubular adalah yang paling sering ditemukan, dan dapat bermanifestasi sebagai obliterasi

(atresia) atau penyempitan (stenosis) pada lumen usus. Lebih dari 90% stenosis dan atresia usus

terjadi di duodenum, jejunum, dan ileum. Stenosis dan atresia pada kolon sangat jarang dijumpai.

Penyebab obstruksi ekstrinsik kongenital adalah adanya kompresi pada usus oleh pembuluh

darah, organ, dan kista3.

Page 2: Atresia Usus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Atresia usus adalah obliterasi atau hilangnya lumen usus yang disebabkan oleh adanya

abnormalitas struktur tubular pada usus yang terjadi secara kongenital3. Lebih dari 90% stenosis

dan atresia usus terjadi di duodenum, jejunum, dan ileum. Stenosis dan atresia pada kolon sangat

jarang dijumpai1.

2.2. Epidemiologi

Insiden atresia duodenal adalah 1 per 5.000-10.000 kelahiran hidup, sedangkan insiden atresia

jejuno-ileal adalah 1 per 2.000-5.000 kelahiran hidup1,2. Dari penelitian kasus atresia usus yang

dilakukan oleh Sirelkhatim dkk., 82.5% kasus atresia usus adalah tipe jejuno-ileal dan 27.5%

adalah tipe duodenum1.

Hampir semua anak dengan atresia usus akan menunjukkan gejala dalam beberapa jam setelah

kelahiran4. Atresia duodenum biasanya berhubungan dengan anomaly sistemik seperi sindrom

Down dan anomaly kardiak dan ginjal, sedangkan atresia jejuni-ileal biasanya berhubungan

dengan anomaly gastrointestinal seperti malrotasi, hernia internal, dan gastroschisis1.

Laju mortalitas pada pasien dengan atresia usus adalah sebesar 32.5% yang disebabkan oleh

penyebab yang multipel seperti anomaly kardiak, ikterus, prematuritas, dan tipe atresia yang

terjadi, seperti yang akan disebutkan selanjutnya1.

2.3. Etiologi dan Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya atresia usus telah dijelaskan berdasarkan penelitian oleh Louw dan

Barnard pada tahun 1955. Penelitian tersebut menemukan bahwa dengan percobaaan

menggunakan anjing coba, melakukan ligasi pada pembuluh darah mesenteric dan menciptakan

obstruksi strangulasi pada janin anjing akan menyebabkan lesi atretik pada usus halus yang sama

seperti yang ditemukan secara klinis pada bayi manusia baru lahir4. Dari temuan tersebut,

disimpukan bahwa atresia usus disebabkan oleh gangguan iskemik. Teori ini juga menjelaskan

mengapa ibu hamil yang merokok dan konsumsi obat vasokonstriktor selama kehamilan

berhubungan dengan atresia usus4.

Page 3: Atresia Usus

Pada obstruksi, secara khas akan muncul distensi usus, hal ini disebabkan oleh akumulasi

makanan, udara, dan sekresi usus di proksimal dari titik obstruksi. Seiring usus mengalami

dilatasi, absorpsi cairan usus akan menurun dan sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.

Pergeseran ini akan menyebabkan deplesi intravascular secara isotonic, yang biasanya

menyebabkan hipokalemia. Distensi usus juga menyebabkan penurunan aliran darah menuju

usus yang mengalami obstruksi. Ketika darah mengalami pergeseran menjauh dari mukosa usus,

integritas mukosa menghilang. Bakteri akan berproliferasi pada usus yang stagnan, dengan

dominasi bakteri coliform dan anaerob. Proliferasi bakteri yang cepat ini, ditambah dengan

hilangnya integritas mukosa, akan menyebabkan bakteri mengalami translokasi melalui dinding

usus dan berpotensi menyebabkan endotoksemia, bakteremia, dan sepsis3.

2.3.1. Atresia Duodenum

Atresia duodenum terjadi akibat adanya kegagalan vakuolisasi duodenum dari tahap

korda padatnya2. Terdapat variasi anatomi pada atresia duodenum ini, yaitu stenosis

duodenum, jaring mukosa (mucosal web) dengan dengan dinding muscular yang

intak (disebut deformitas windsock), dua ujung duodenum yang dipisahkan oleh

fibrous cord, dan separasi komplit , dengan celah di dalam duodenum2. Atresia

duodenum berhubungan dengan beberapa kondisi, diantaranya yaitu

polihidramnion pada saat kehamilan, marotasi, pancreas anular, dan atresia biliaris,

serta anomaly kardiak, renal, esophageal, dan anorektal. Pada sebagian besar kasus,

obstruksi duodenum yang terjadi ada di distal dari ampulla vater, sehingga neonates

akan menunjukkan manifestasi emesis biliari2.

Atresia duodenum terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran hidup dan merupakan 25-

40% dari kejadian atresia usus secara keseluruhan. Atresia duodenal terjadi

diakibatkan adanya kegagalan dalam rekanalisasi lumen usus selama kehamilan,

berbeda dengan atresia yang terjadi pada level yang lebih distal dimana atresia

terjadi akibat gangguan vascular pada periode prenatal. Selama minggu ke 4 dan ke

5 pada perkembangan fetus normal, mukosa duodenum mengalami proliferasi sel

epithelial yang cepat. Persistensi sel ini, yang seharusnya mengalami degenerasi

setelah usia kehamilan 7 minggu, akan menyebabkan oklusi lumen (atresia) pada

sekitar dua pertiga kasus dan menyebabkan penyempitan (stenosis) pada sepertiga

Page 4: Atresia Usus

kasus. Atresia duodenal dapat muncul dalam beberapa bentuk, termasuk

diantaranya adalah membrane tipis yang menyumbat lumen, fibrous cord pendek

yang menghubungkan dua ujung buntu kantung duodenum, atau celah yang

memisahkan dua ujung duodenum yang tidak saling berhubungan. Bentuk yang

paling sering adalah bentuk membrane, dan hampir seluruhnya terjadi di dekat

ampulla of vater. Pada kasus yang jarang, membrane tersebut dapat mengalami

distensi dan disebut dengan windsock web. Bentuk atresia duodenal yang tidak

biasa ini menyebabkan obstruksi sebesar beberapa sentimeter sampai ke distal dari

asal membrane3.

Sekitar 50% bayi dengan atresia duodenum adalah bayi premature. Sering terjadi

anomali yang terjadi bersamaan, diantaranya adalah penyakit jantung kongenital

(30%), malrotasi (20-30-%), pancreas anularis (30%), anomaly ginjal (5-15%),

atresia esofagela dengan atau tanpa transesofageal fistula (5-10%), malformasi

skeletal (5%), dan anomaly anorektal (5%). Dari anomaly-anomali tersebut, hanya

penyakit jantung kongenital yang menyebabkan peningkatan mortalitas. Pancreas

anularis menyebabkan peningkatan komplikasi lambat, seperti refluks

gastroesofageal, ulkus peptikum, pancreatitis, gastric outlet dan obstruksi

duodenum yang rekuren, dan kanker lambung. Maka, follow-up jangka panjang

pada pasien ini direkomendasikan. Hampir separuh pasien dengan atresia

duodenum mempunyai abnormalitas kromosom, dengan trisomi 21 ditemukan pada

sepertiga pasien3.

2.3.1. Atresia Jejuno-ileal

Atresia jejuniileum biasanya disebabkan oleh kejadian vascular dalam kehidupan

intrauterine, yang menyebabkan infark dan resorpsi segmental pada usus bayi.

Kejadian-kejadian yang meningkatkan kompromis vascular diantaranya adalah

volvulus usus, intususepsi, ileus mekonium dan herniasi strangulasi melalui defek

pada dinding abdomen pada gastroschisis dan omphalocele. Gaya hidup ibu selama

kehamilan yang menyebabkan vasokonstriksi, seperti merokok dan penggunaan

kokain juga merupakan hal yang meningkatkan kompromis vascular. Atresia

jejunoilelal ditemukan berhubungan dengan kejadian kelahiran ganda, berat lahir

Page 5: Atresia Usus

rendah, dan prematuritas. Tidak seperti atresia pada duodenum, atresia jejuniileal

sering disertai dengan anomaly ekstraintestinal3.

Ada lima tipe atresia jejuno-ileal2,4,5, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 di

bawah ini. dari kelima tipe atresia jejuno-ileal, tipe II dan IIIa adalah tipe yang paling

sering dijumpai, masing-masing berkontribusi sebesar 30-35% kasus. Tipe IIIb dan

IV berkontribusi sebesar 10-20% kasus, dan tipe IIIb adalah tipe yang paling jarang

dijumpai.

Gambar 1. Tipe Atresi Jejuno-ileal4

1. Tipe I

Terdapat jaring mukosa atau diafragma yang mengoklusi lumen usus, namun

kontinuitas antara usus bagian proksimal dan distal masih terjaga2,5. Usus bagian

proksimal mengalami dilatasi, sedangkan usus bagian distal kolaps. Panjang usus

biasanya normal4.

Page 6: Atresia Usus

2. Tipe II

Terdapat kord (cord) yang atretik yang menghubungkan usus bagian proksimal

dan distal3,4. Mesenterium pada atresia jejunoileal tipe II ini intak2.

3. Tipe IIIa

Tipe IIIa ini terjadi jika kedua ujung proksimal dan distal usus berakhir pada

simpul mati. Terdapat defek kecil pada mesenterium, sehingga usus bagian

proksimal dan distal dipisahkan oleh celah berbentuk V karena mesenteric yang

mengalami defek2,3,4.

4. Tipe IIIb

Tipe IIIb sama seperti tipe IIIa, namun terdapat defek pada mesenterium yang

lebih ekstensif dan hilangnya suplai darah normal menuju usus bagian distal. Usus

distal akan bergelung di sekitar arteri ileokolik, yaitu arteri tempat usus bagian

distal mendapatkan seluruh suplai darahnya, sehingga terbentuk tampilan “apple-

peel”. Anomaly ini berhubungan dengan prematuritas, ileum bagian distal yang

pendek abnormal, dan pemendekan usus yang signifikan3.

5. Tipe IV

Atresia multipel, dengan penampakan seperti sosis2.

2.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien dengan obstruksi usus akan bervariasi bergantung kepada penyebab,

level obstruksi, dan waktu antara kejadian obstruksi dan evaluasi pasien. Gejala klasik obstruksi

pada neonates adalah emesis biliari (muntah hijau), distensi abdomen, dan obstipasi (konstipasi

yang intractable)3. Manifestasi klinis atresia usus berdasarkan level obstruksi dibagi menjadi

atresia usus letak tinggi untuk atresia duodenum dan atresia usus letak rendah untuk atresia

jejuno-ileal2,5. Kedua atresia letak tinggi dan letak rendah pada akhirnya akan menyebabkan

obstipasi. Namun, pada awalnya mekonium tetap dapat keluar jika obstruksi terjadi di bagian

atas usus atau jika obstruksi terjadi pada usia lanjut ketika janin masih berada dalam kehidupan

intrauterine3.

Page 7: Atresia Usus

2.4.1. Atresia Duodenum

Hallmark adanya obstruksi duodenum adalah emesis biliari (muntah hijau) dengan

volume yang banyak dan frekuensi yang sering, tanpa atau dengan distensi abdomen

yang kurang menonjol, yang biasanya muncul pada hari pertama kehidupan3. Jika

ditemukan distensi abdomen, distensi yang terjadi terbatas di bagian atas (di daerah

epigastrium) dan menghilang setelah bayi muntah5. Nyeri yang dirasakan bersifat

intermittent, dan biasanya membaik setelah muntah. Gelombang peristaltic dapat

terlihat di awal perjalanan penyakit. Riwayat polihydramnion selama kehamilan

ditemukan positif pada separuh kasus, hal ini disebabkan oleh absorpsi cairan amnion

yang tidak adekuat di usus bagian distal. Cairan ini dapat terwarnai oleh empedu

dikarenakan adanya muntah saat janin masih di dalam uterus3. Bayi dengan sindroma

Down juga harus dicurigai menderita atresia duodenum5. Jaundice ditemukan pada

sepertiga kasus dengan obstruksi duodenum3. Pasase mekonium pada bayi dengan

atresia duodenum dapat normal karena mekonium sudah berada di dalam usus bagian

distal sebelum atresia terjadi5.

2.4.2. Atresia Jejuno-ileal

Obstruksi pada usus halus bagian distal menyebabkan distensi abdomen sedang atau

menonjol dengan emesis yang secara progresif berisi feses3. Emesis yang terjadi

lebih lambat, yang terjadi setelah abdomen mengalami distensi. Distensi abdomen

terjadi di seluruh kuadran abdomen, berbeda dengan distensi pada atresia duodenum

yang hanya terbatas pada abdomen bagian atas saja. Abdomen juga tetap mengalami

distensi walaupun bayi sudah muntah5. Hampir 80% bayi gagal untuk mengeluarkan

mekonium pada 24 jam pertama kehidupan3. Biasanya, saat dilakukan rectal toucher,

mekonium yang keluar hanya sedikit, kering berbutir-butir, dan berwarna hijau atau

abu-abu. Mekonium yang abnormal ini ditemukan pada atresia yang terjadi pada

kehamilan muda dan pada letak atresia di ileum bagian distal5. Obstruksi usus bagian

distal (jejuno-ileal) lebih jarang terdeteksi pada saat janin masih dalam kandungan

dibandingkan dengan obstruksi proksimal (duodenum). Polihidramnion ditemukan

pada 20-30% kasus atresia jejuno-ileal, dan itu dapat merupakan tanda pertama

Page 8: Atresia Usus

adanya obstruksi usus. Jaundice, berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak

terkonjugasi, ditemukan pada 20-30% pasien3.

Pada atresia jejunum yang berada di proksimal, manifestasi klinisnya lebih mirip

dengan atresia duodenum5.

2.5. Diagnosis

Diagnosis obstruksi usus kongenital mengandalkan kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

temuan radiologic. Pada kasus-kasus tertentu, diagnosis dapat ditegakkan pada periode prenatal.

Diagnosis prenatal adanya atreasia dapat dicapai dengan pemeriksaan ultrasound, dimana pada

ultrasound tersebut didapatkan gambaran double bubble3.Pemeriksaan ultrasound rutin selama

periode prenatal juga dapat mendeteksi polihidramnion, yang sering terjadi bersamaan dengan

obstruksi usus di level yang tinggi. Adanya polihidramnion tersebut merupakan indikasi

dilakukannya aspirasi lambung pada nenonatus segera setelah lahit. Aspirasi dengan volume

lebih dari 15-20 mL cairan, khususnya jika cairan tersebut diwarnai oleh cairan empedu,

merupakan tanda yang sangat indikatif akan adanya obstruksi usus bagian proksimal3.

Pada periode postnatal, radiografi polos adalah pemeriksaan diagnostic awal yang dapat

memberikan informasi yang berharga tentang potensi komplikasi yang dapat terjadi pada

obstruksi usus. Pada obstruksi komplit, radiografi polos dapat menunjukkan distensi usus di

proksimal dari titik obstruksi. Foto upright atau cross-table lateral view biasanya menunjukkan

adanya beberapa of air-fluid levels pada bagian usus yang mengalami distensi.

2.5.1. Atresia Duodenum

Diagnosis atresia duodenum dicurigai oleh adanya double-bubble sign yang khas

pada foto polos abdomen, sebelum dilakukan dekompresi orogastrik pada bayi2,3,5,6.

Penampakan bubble sign (gelembung udara) ini, seperti yang ditunjukkan oleh

gambar 2 di bawah ini, disebabkan oleh lambung dan duodenum proksimal yang

mengalami distensi dan terisi gas, yang terkoneksi secara invariable3.

Bila pada kecurigaan adanya atresia duodenum namun pada pemeriksaan foto polos

abdomen hanya terlihat satu gelembung udara, mungkin sekali gelembung duodenum

terisi penuh cairan atau gambarab gelembung duodenum dan lambung dalam

proyeksi tumoang tindih. Foto ulang dapat dilakukan dengan sebelumnya dilakukan

Page 9: Atresia Usus

pengisapan cairan dalam lambung dan duodenum dan foto dibuat kembali delam

proyeksi lateral atau dengan posisi kepala di bagian bawah (upside down) 5.

Gambar 2. Foto Polos Abdomen Menunjukkan tanda “Double-Bubble” yang Khas

pada Atresia Duodenum6.

2.5.2. Atresia Jejunoileal

Pada pasien dengan obstruksi karena atresia jejunioleal, foto polos abdomen

menunjukkan air-fluid level yang multiple di bagian proksimal obstruksi pada

posisisi upright atau lateral decubitus3. Untuk atresia jejunum sendiri, gambaran yang

terlihat pada foto polos abdomen adalah adanya setidaknya tiga air-fluid level. Ketiga

air-fluid level ini dibentuk oleh air-fluid level masing-masing di lambung, di

duodenum, dan di usus di bawah ligamentum Treitz5.

Page 10: Atresia Usus

Gambar 3. Gambaran Atresia Jejunum. Terlihat tiga air fluid level, dan tidak

ditemukan air fluid level pada segmen bawah usus5.

Untuk atresia ileum, pada foto polos abdomen terlihat seluruh abdomen terisi penuh

gelembung udara yang tersebar rata, kecuali sedikit di bagian bawah. Namun,

gambaran ini tidak karakteristik untuk atresia ileum dikarenakan terdapat kelainan-

kelainan lain dengan gambaran foto polos abdomen yang sama, yaitu penyakit

Hirschsprung letak tinggi, meconium plug syndrome, dan atresia setinggi kolon5.

Dalam menentukan lokasi obstruksi usus menggunakan foto polos harus hati-hati,

dikarenakan haustra colon belum berkembang secara penuh pada neonates, sehingga

obstruksi usus kecil dan usus besar bisa sulit dibedakan menggunakan foto polos.

Pada kasus tersebut, dapat diindikasikan pemeriksaan menggunakan kontras atau CT

scan. Media kontras oral atau nasogastrik dapat digunakan untuk mengidentifikasi

obstruksi di usus bagian proksimal, dan kontras enema dapat digunakan untuk

mendiagnosis obstruksi yang terjadi di bagian usus yang lebih distal. Studi kontras

kadang dibutuhkan untuk mengekslusi malrotasi dan volvulus karena infarks usus

Page 11: Atresia Usus

dapat terjadi dalam 6 sampai 12 jam jika volvulus tidak ditangani. Studi kontras jenis

barium meal secara umum tidak diperlukan dan kemungkinan dapat menyebabkan

aspirasi, sehingga tidak boleh dikerjakan3,5. Pada studi bariu enema, pada atresia

ileum dapat terlihat gambaran lumen kolon yang kecil (mikrocolon)5. Selain itu,

enema juga dapat berperan sebagai alat terapeutik dalam memperbaiki obstruksi di

bagian distal oleh karena ileus mekonium atau meconium plug syndrome3.

Gambar 4. Atresia Ileum5.

Pasien dengan obstruksi usus halus harus stabil dan berada dalam keseimbangan

cairan dan elektrolit yang adekuat sebelum operasi atau radiographic attemps at

dissimpaction kecuali dicurigai adanya volvulus. Adanya infeksi harus diterapi

dengan antibiotic yang sesuai. Antibiotic profilaksis biasnya diberikan sebelum

pembedahan3.

Atresia ileal atau jejuna memerlukan reseksi bagian proksimal usus yang mengalami

dilasi dan diikuti dengan anastomosis end-to-end. Jika ada mucosal diaphragm,

jejunoplasty atau ileoplasty dengan eksisi parsial pada web merupakan alternative

untuk reseksi3.

Page 12: Atresia Usus

2.6. Terapi

Terapi awal pada bayi dan anak-anak dengan obstruksi usus harus diarahkan pada resusitasi

cairan dan stabilisasi pasien. dekompresi nasogastrik biasanya akan memperbaiki nyeri dan

muntah. Setelah dilakukan kultur, antibiotic broad-spectrum dapat diberikan untuk neonates

dengan obstruksi usus yang terlihat sakit berat dan untuk pasien yang dicurigai mengalami infark

karena strangulasi. Pasien dengan strangulasi harus segera dilakukan operasi sebelum usus

mengalami infark, karena menyebabkan gangrene dan perforasi usus. Nekrosis usus yang

ekstensif dapat menyebabkan short bowel syndrome. Manajemen konservatif non operatif

biasanya terbatas hanya pada anak-anak dengan kecurigaan striktur adhesi atau inflamatori yang

kemungkinan dapat membaik dengan pemberian dekompresi nasogastrik atau obat anti

inflamasi. Jika perbaikan tanda klinis tidak terlihat dalam 12-24 jam, maka intervensi bedah

biasanya diindikasikan pada pasien dengan manajemen konservatif tersebut3.

2.6.1. Atresia Duodenum

Terapi awal untuk anak dengan atreasia duodenum adalah dekompresi nasogastric

atau orogastric dan cairan intravena. Echocardiography, ultrasound ginjal, dan

radiologi dada dan tulang punggung sebaiknya dilakukan untuk mengevaluasi

anomaly lain yang menyertai. Koreksi definitif untuk atresia biasanya ditunda sampai

anomaly yang mengancam nyawa dievaluasi dan diterapi3. Repair pembedahan

tipikal untuk atresia duodenum adalah duodenoduodenostomy3. Teknik

duodenoduodenostomy pada atresia duodenum adalah melakukan pembedahan

bypass pada obstruksi duodenum2.

Pada periode postoperative, gastrotomy tube dapat ditempatkan untuk drain lambung

dan melindungi saluran nafas. Dukungan nutrisi secara intravena atau

transanastomitic jejuna tube diprlukan sampai anak dapat makan secara oral.

Prognosis jangka panjang sangat baik, dengam hampir 90% kasus akan bertahan3.

2.6.2. Atresia Jejuniileal

Atresia jejunoilela membutuhkan pembedahan reseksi pada bagian proksimal usus

yang mengalami dilatasi dan diiukuti dengan anastomosis ujung ke ujung (end to end

Page 13: Atresia Usus

anastomosis). Jika terdapat diafragma mukosa, dapat dilakukan alternative reseksi

yaitu jejunoplasti atau ileoplasti dengan eksisi parsial pada jaring mukosa tersebut3.

.

Page 14: Atresia Usus

BAB III

RINGKASAN

Atresia usus adalah obliterasi atau hilangnya lumen usus yang disebabkan oleh adanya

abnormalitas struktur tubular pada usus yang terjadi secara kongenital3. Hampir semua anak

dengan atresia usus akan menunjukkan gejala dalam beberapa jam setelah kelahiran4. Atresia

duodenum biasanya berhubungan dengan anomaly sistemik seperi sindrom Down dan anomaly

kardiak dan ginjal, sedangkan atresia jejuni-ileal biasanya berhubungan dengan anomaly

gastrointestinal seperti malrotasi, hernia internal, dan gastroschisis1. Manifestasi klinis pasien

dengan obstruksi usus akan bervariasi bergantung kepada penyebab, level obstruksi, dan waktu

antara kejadian obstruksi dan evaluasi pasien. Gejala klasik obstruksi pada neonates adalah

emesis biliari (muntah hijau), distensi abdomen, dan obstipasi (konstipasi yang intractable)3.

Hallmark adanya obstruksi duodenum adalah emesis biliari (muntah hijau) dengan volume yang

banyak dan frekuensi yang sering, tanpa atau dengan distensi abdomen yang kurang menonjol.

Obstruksi pada usus halus bagian distal menyebabkan distensi abdomen sedang atau menonjol

dengan emesis yang secara progresif berisi feses3. Emesis yang terjadi lebih lambat, yang terjadi

setelah abdomen mengalami distensi. Diagnosis atresia duodenum dicurigai oleh adanya double-

bubble sign yang khas pada foto polos abdomen. Pada pasien dengan obstruksi karena atresia

jejunioleal, foto polos abdomen menunjukkan air-fluid level yang multiple di bagian proksimal

obstruksi pada posisisi upright atau lateral decubitus3. Terapi awal pada bayi dan anak-anak

dengan obstruksi usus harus diarahkan pada resusitasi cairan dan stabilisasi pasien. dekompresi

nasogastrik biasanya akan memperbaiki nyeri dan muntah. Terapi definitif untuk atresia usus

adalah pembedahan.