Upload
nur-darda-hajatulail
View
55
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hiuoip
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan
yang dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Oleh karena
itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang menjadi kesepakatan global dalam
Milleneum Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu
menguranggi jumlah balita yang bergizi buruk atau gizi kurang sehingga mencapai 15
persen pada tahun 2015. (UNICEF, 2009)
Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya
kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap
tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan (UNICEF, 2009). Badan
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh
keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari
80 persen kematian anak (WHO, 2011). Diperkirakan 165 juta anak usia dibawah lima
tahun diseluruh dunia yang terkena stunted mengalami penurunan dibandingkan dengan
sebanyak 253 juta tahun 1990. Tingkat prevalensi stunting tinggi di kalangan anak di
bawah usia lima tahun terdapat di Afrika (36%) dan Asia (27%), dan sering belum diakui
sebagai masalah kesehatan masyarakat.(UNICEF, 2012)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mousa pada tahun 2004 di wilayah
Qashqa’i, Iran, menunjukkan hasil bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada
2
orang tua atau keluarga yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari
keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga
akan meningkatkan status gizi anak balita di keluarga itu.
Berdasarkan peringkat Human Development Index (HDI), pada tahun 2011
Indonesia berada pada urutan ke -124 dari 187 negara, jauh di bawah Negara ASEAN
lainnya. Faktor-faktor yang menjadi penentu HDI yang dikembangkan oleh United
Nations Development Program (UNDP) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan status gizi masyarakat (Akhmadi, 2009).
Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4% dan gizi kurang pada balita
adalah 13 %. Keduanya menunjukkan bahwa target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi sekitar 20% dan target Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015 sekitar 18,5% telah tercapai pada tahun 2007.
Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi
kurang diatas prevalensi nasional. (Riskesdas, 2007).
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Indonesia sehat 2010 merupakan visi
pembangunan kesehatan. Visi pembangunan di bidang gizi adalah mewujudkan keluarga
mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat / keluarga yang optimal
(Depkes RI, 2000).
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat diperlukan dalam mengisi
pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Salah satu upaya peningkatan
derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat, gizi yang seimbang dapat
3
meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan
pertumbuhan yang normal (Depkes RI, 2004). Namun sebaliknya gizi yang tidak
seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh Indonesia,
masalah gizi yang tidak seimbang itu adalah Kurang Energi Protein (KEP), Kurang
Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan Anemia Gizi
Besi (Depkes RI, 2004).
Dampak krisis ekonomi terhadap status gizi masyarakat yang diamati adalah
meningkatnya prevalensi kurang energi protein (KEP) terutama pada kelompok usia 6-23
bulan dari 29,0% pada Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1995 menjadi
30,5% pada SUSENAS 1998, meningkatnya kasus Kurang Energi Protein (KEP)
dibeberapa kabupaten / kota, serta kasus gizi buruk, marasmus dan kwashiorkor makin
sering dilaporkan. Data akhir Juli 1999 menunjukkan bahwa jumlah kasus gizi buruk
yang dilaporkan sekitar 10.000 kasus dari 210 kabupaten / kota di Indonesia.
Kurang Energi Protein (KEP) masih merupakan masalah utama di Indonesia,
mengingat angka prevalensi KEP terutama pada anak balita masih cukup tinggi. Menurut
Depkes RI, pada awal Pelita V masih ada sekitar 10,8% anak balita yang menderita gizi
kurang dan gizi buruk. Sedang pada orang dewasa, KEP sering dijumpai pada ibu hamil
dan ibu menyusui terutama yang berpenghasilan rendah. Keadaan KEP tersebut secara
langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian bayi
dan balita. KEP pada ibu hamil dapat mengakibatkan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR),
yaitu berat lahir kurang dari 2500 gram, bayi lahir mati, atau bahkan bias mengakibatkan
kematian pada ibu.
4
Faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada anak balita adalah faktor yang
mempengaruhi secara langsung yakni kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi
yang mungkin diderita si anak. Serta ada pula faktor yang dapat mempengaruhi secara
tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga yang rendah, pola pengasuhan anak
yang salah serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang kurang memadai
Data SUSENAS didapatkan prevalensi balita gizi buruk yang cenderung
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2001 prevalensi gizi buruk 6,3% tahun 2002
prevalensi gizi buruk 7,47%, tahun 2003 prevalensi gizi buruk 8,55% (Depkes, 2006).
Tahun 2005 prevalensi gizi buruk 8,8% dan untuk provinsi DKI Jakarta terdapat 7,3%
gizi buruk dan 15,03% gizi kurang (BPS, 2006).
Berdasarkan data statistik di atas dapat dilihat bahwa prevalensi gizi kurang dan
gizi buruk di DKI Jakarta lebih rendah dari rata-rata nasional, namun jika tidak
ditanggulangi maka angka prevalensi DKI Jakarta dapat meningkat dengan cepat karena
DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang juga wilayah urban yang memiliki
permasalahan kesehatan yang sangat komplek.
Berdasarkan data statistik dan kaitannya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi di atas, penulis memilih judul “Hubungan Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Ibu Tentang Gizi Terhadap Status Gizi Balita di Puskesmas Kecamatan
Jagakarsa”. Dengan mengetahui hubungan-hubugan antara faktor-faktor tersebut
diharapkan dapat membantu mengurangi angka kejadian bayi dengan status gizi kurang
bahkan buruk di Indonesia dan lebih khususnya di wilayah kecamatan Jagakarsa, Jakarta
Selatan.
5
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan status gizi
anak balita di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan ?
C. Tujuan penelitian
Umum:
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
Khusus:
1) Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang gizi balita di Puskesmas
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
2) Untuk mengetahui gambaran sikap dan perilaku ibu terhadap gizi balita di Puskesmas
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
3) Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita di
Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
4) Untuk mengetahui hubungan antara sikap ibu dengan status gizi anak balita di
Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
5) Untuk mengetahui hubungan antara perilaku ibu dengan status gizi anak balita di
Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
6
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan ini dapat memberi manfaat:
a. Bagi penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan
dalam memahami permasalahan yang ada khususnya permasalahan gizi di kalangan
balita.
b. Bagi masyarakat
Dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang pentingnya
kecukupan gizi. Sehingga diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pola perilaku
pemberian gizi yang dilakukan orang tua terhadap balita mereka khususnya yang
mengalami gizi kurang, yang pada akhirnya kasus gizi kurang di kalangan masyarakat
dapat menurun secara nyata.
c. Bagi puskesmas
Dapat memberikan gambaran serta masukan kepada puskesmas setempat
sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap gizi balita
serta faktor-faktor apa saja yang memperbaiki gizi balita khususnya di lingkungan
setempat sehingga dapat diketahui solusi serta pemecahan masalah yang tepat dalam
menanganinya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengetahuan
a. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam
menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga
dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru dalam diri orang tersebut menjadi proses berurutan :
1.Awarenes, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
2.Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
8
3.Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik
buruknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4.Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru.
5.Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikap.
b. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang
mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2003):
a. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain :
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
b. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.
9
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu
komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.
e. Sintesis (Sinthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek
tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Lukman yang dikutip oleh Hendra (2008), ada beberapa faktor yang
memperngaruhi pengetahuan, yaitu:
1) Umur
Singgih (1998), mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang maka
proses – proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada
umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
ketika berumur belasan tahun. Selain itu, Abu Ahmadi (2001), juga
mengemukakan bahwa daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh
umur. Dari uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa bertambahnya umur dapat
10
berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi
pada umur – umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan
atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.
Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian –
pembagian umur sebagai berikut :
I. Menurut tingkat kedewasaan :
0– 14 tahun : bayi dan anak - anak
15 – 49 tahun : orang muda dan dewasa
50 tahun ke atas : orang tua 8
II.Interval 5 tahun :
Kurang dari 1 tahun,
1– 4 tahun,
5 – 9 tahun,
10 – 14 tahun dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Depkes RI yang dikutip oleh Hardiwinoto, pembagian kategori umur,
yaitu :
1. Masa balita : 0 – 5 tahun,
2. Masa kanak – kanak : 5 – 11 tahun,
3. Masa remaja awal : 12 – 16 tahun,
4. Masa remaja akhir : 17 – 25 tahun,
5. Masa dewasa awal : 26 – 35 tahun,
6. Masa dewasa akhir : 36 – 45 tahun,
7. Masa lansia awal : 46 – 55 tahun,
11
8. Masa lansia akhir : 56 – 65 tahun,
9. Masa manula : 65 – sampai atas (Depkes RI, 2009).
2) Intelegensi
Intelegensi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk belajar dan berpikir
abstrak guna menyesuaikan diri secara mental dalam situasi baru. Intelegensi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari proses belajar.
Intelegensi bagi seseorang merupakan salah satu modal untuk berpikir dan
mengolah berbagai informasi secara terarah sehingga ia menguasai lingkungan
(Khayan,1997). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan
intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat
pengetahuan.
3) Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama bagi
seseorang, di mana seseorang dapat mempelajari hal – hal yang baik dan juga
hal – hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam lingkungan
seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara
berpikir seseorang.
12
4) Sosial budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang
lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan
memperoleh suatu pengetahuan.
5) Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (1997), pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Menurut Wied
hary A. (1996), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan
mudah atau tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang
mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin
baik pula pengetahuannya.
6) Informasi
Menurut Wied Hary A. (1996), informasi akan memberikan pengaruh
pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang
rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media
misalnya televisi, radio atau surat kabar, maka hal itu akan dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang.
Informasi tidak terlepas dari sumber informasinya. Menurut Notoatmodjo
(2003) dalam Rahmahayani (2010), sumber informasi adalah asal dari suatu
informasi atau data yang diperoleh.
13
7) Sumber informasi dokumenter
Merupakan sumber informasi yang berhubungan dengan dokumen resmi
maupun dokumen tidak resmi. Dokumen resmi adalah bentuk dokumen
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan di bawah tanggung jawab
instansi resmi. Dokumen tidak resmi adalah segala bentuk dokumen yang
berada atau menjadi tanggung jawab dan wewenang badan instansi tidak
resmi atau perorangan. Sumber primer atau sering disebut sumber data
dengan pertama dan hukum mempunyai wewenang dan tanggung jawab
terhadap informasi tersebut.
8) Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat
diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman itu suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab
itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang
kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 1997 dalam Rahmahayani,
2010).
14
2. Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek (Notoadmojo, 2003). Manifestasi sikap itu tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup
b. Komponen Pokok Sikap
Dalam buku Notoadmojo 2003, Allport menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai
3 komponen pokok:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecenderungan untuk bertindak
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting.
c. Berbagai Tingkatan Sikap
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan(objek)
2) Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap
15
3) Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap paling tinggi.
3. Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003) pengaruh pengetahuan terhadap perilaku dapat
bersifat langsung maupun melalui perantara sikap. Suatu sikap belum otomatis terwujud
dalam bentuk praktek. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan yang nyata
(praktek) diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan. Perilaku
kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem seseorang terhadap sakit atau penyakit adalah cara manusia
merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan, mempersepsi tentang suatu
penyakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun secara aktif (praktik) yang
dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut.
Perilaku kesehatan di bidang kesehatan menurut Azwar (1995) dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: a) Latar belakang: latar belakang seseorang yang meliputi norma -
norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dalam
masyarakat, b) Kepercayaan: dalam bidang kesehatan, perilaku seseorang sangat
dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan. Kepercayaan yang
dimaksud meliputi manfaat yang akan didapat, hambatan yang ada, kerugian dan
16
kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit, c) Sarana : tersedia atau tidaknya
fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan d) Cetusan seseorang
yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang baik dan bertempat tinggal dekat
dengan sarana kesehatan, bisa saja belum pernah memanfaatkan sarana kesahatan
tersebut. Suatu ketika orang tersebut terpaksa minta bantuan dokter karena mengalami
perdarahan ketika melahirkan bayi kejadiaan itu dapat memperkuat perilaku orang
tersebut untuk memanfaatkan sarana kesehatan yang sudah ada.
4. Status Gizi dan Penilaian Status Gizi
a. Definisi Status Gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variable tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variable ternetu.
Contoh: gondok endemic merupakan keadaan tidak seimbangnya pemasukan dan
pengeluaran yodium dalam tubuh (Dewa Nyoman Supriasa, 2008).
Status gizi merupakan hasil keseimbangan antara konsumsi zat-zat gizi
dengan kebutuhan gizi untuk berbagai proses biologis dari organisme tersebut.
Apabila dalam keseimbangan normal maka individu tersebut berada dalam keadaan
normal. Terpenuhinya kebutuhan zat gizi ditentukan oleh dua faktor utama, pertama
asupan makanan dan kedua adalah utilisasi biologik zat gizi (Savitri, 1994).
b. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan
formasi, analisis dan membuat interpretasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan.
17
Secara garis besar pengumpulan informasi yang menyangkut penilaian gizi dapat
dilakukan dengan sara-cara:
a. Pengukuran Antropometri
b. Penilaian klinis pemeriksaan fisik
c. Tes biokimia/ laboratorium
d. Test fungsional
e. Statistik vital
f. Penilaian faktor ekologi
Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada
periode kehidupan lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja
bergantung pada bentuk kelainan yang bertalian dengan kejadian penyakit tertentu.
Kurang kalori protein, misalkan lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu,
pemeriksaan terhadap tanda dan gejala kea rah sana termasuk pula kelainan lain yang
menyertainya, perlu dipertajam (Arisman, 2009).
Anamnesis tentang asupan pangan harus mencantumkan pula (selain
wawancara asupan pangan) pertanyaan yang terkait dengan baik secara sistemik
maupun topikal; frekuensi ngemil (snacking); jumlah makanan yang disantap antara
dua waktu makan; asupan minuman bergula, seperti jus, kopi, teh, dan soda; obat atau
kondisi yang mempengaruhi sekresi air ludah (mengurangi atau menambah); penyakit
kronik misalnya gangguan makan, DM, HIV, atau penyakit jantung; mutu makanan
yang disantap secara umum setiap hari; penggunaan suplementasu vitamin dan
18
mineral; penggunaan botol (diisi susu atau jus buah, atau digunakan sekedar untuk
mengempeng). Sebagian makanan bersifat protektif terhadap enamel sementara
sisanya bertabiat merusak. Substansi yang berkemampuan mengurangi kepekaan dan
protein susu. Jeruk sitrun diyakini merangsang sekresi air ludah; sementara berbagai
obat, radioterapi kanker mulur dipastikan mereduksi pengaliran saliva.
Anamnesis juga wajib mencantumkan pola konsumsi obat karena
kemungkinan interaksi antara makanan dan obat. Obat (baik yang diperloleh dengan
resep dokter maupun dibeli sendiri) berpotensi mengganggu pencernaan, penyerapan,
metabolism, utilisasi, serta ekskresi berbagai zat gizi. Obat bahkan memiliki
kehandalan dalam mengganggu status gizi, sehingga berat badan pengguna beberapa
obat tertentu merosot, disamping terkondisi pula untuk meajdi anoreksia. Antasida
berbasis alumunium dan magnesium hidroksida yang digunakan dalam dosis tinggi,
misalnya akan menguras cadangan fosfat sedemikian rupa sehingga kekurangan
fosfat kemudian mendapat tempat. Dari sini kelemahan otot, anoreksia dan gagal
jantung kongestif gampang sekali munvul. Sebaliknya, tidak sedikit zat (status) gizi
yang juga berkemampuan memengaruhi kerja obat dengan jalan mengubah alur
metabolism dan fungsi obat ; di samping zat gizi itu sendiri juga memiliki khasiat
farmakologi pada keadaan tertentu.
Sebagai contoh, kebutuhan akan vitamin A meningkat oleh konsumsi bersama
dengan anti kejang (phenytoin) dan antikolesterol (cholesteryalmine). Kebutuhan
akan vitamin D juga meningkat oleh keberadaan obat pengikat asam empedu
(colestipol). Kebutuhan akan vitamin K juga ebrtambah oleh phenytoin. Kadar
karoten dipengaruhi oleh pil KB. Kadar asam folat terkurangi oleh keberadaan
19
phenytoin, pil KB, dan antikejang. Kadar vitamin B6 dan B12 juga berkurang oleh pil
KB.
Pemeriksaan klinis diarahkan untuk mencari kemungkinan adanya bintik
bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis, kheilosis angular,
fluorosis, karies, gondok, serta hepato dan splenomegali
Penilaian antropometris yang penting dilakukan adalah penimbangan berat
dan pengukurang tinggi badan, lingkar lengan dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan
ini penting, terutama pada anak prasekolah yang berelas ekonomi social rendah.
Pengamatan anak usia sekolah dipusatkan terutama pada percepatan tumbuh. Uji
pertumbuhan pada golongan usia ini setidaknya diselenggarakan setahun sekali
karenalaju pertumbuhan pada fase ini relative lambat. Sebagai patokan, pertambahan
berat anak usia 5-10 tahun berkisar sampai 10%-nya, sementara tinggi badan hanya
bertambah sekitar 2 cm setahun.
Uji biokimiawi yang penting adalah pemeriksaan kadar hemoglobin, serta
pemeriksaan hapusan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya
pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja
Penilaian status gizi dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan
formasi,analisis dan membuat interpretasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan.
Secara garis besar pengumpulan informasi yang menyangkut penilaian gizi dapat
dilakukan dengan cara-cara:
20
a. Pengukuran Antropometri
b. Penilaian klinis pemeriksaan fisik
c. Tes biokimia/ laboratorium
d. Test fungsional
e. Statistik vital
f. Penilaian faktor ekologi
Antropometri merupakan salah satu metode untuk penentuan status gizi,
praktis dilaksanakan di lapangan, telah lama dikenal di Indonesia baik untuk
penentuan status gizi perorangan maupun masyarakat (Depkes RI, 1995). Untuk
penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan
dengan variabel lain, seperti berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan
atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U) dan berat badan menurut
tinggi badan atau panjang badan (BB/TB atau BB/PB). Masing-masing indeks
antropometri memiliki baku rujukan atau nilai patokan untuk memperkirakan
status gizi seseorang.
Status gizi yang digambarkan oleh masing-masing indeks mempunyai arti
yang berbeda-beda. Jika antropometri ditujukan untuk mengukur seseorang yang
kurus kering (wasting), kecil pendek (stunting) atau keterhambatan pertumbuhan,
maka indeks BB/TB dan TB/U adalah cocok digunakan. Kurus kering dan kecil
pendek ini umumnya menggambarkan keadaan lingkungan yang tidak baik,
ketertinggalan dan akibat sakit yang menahun. Cara pengukuran lain yang paling
21
banyak digunakan adalah indeks BB/U atau melakukan penilaian dengan melihat
perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan. Penggunaan indeks BB/U
sangat mudah dilakukan akan tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan
perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu.
Penilaian Status gizi secara tidak langsung.
Penilaian ini meliputi: 1) Survei konsumsi makanan, 2) statistik vital, 3)
faktor ekologi. Adapun survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status
gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Pengumpulan data konsurnsi makanan dapat memberikan gambaran
tentang konsurnsi berbagai zat gizi pada masyarkat, keluarga dan individu. Survei
ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis
data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian bedasarkan umur, angka
kesakitan dan kernatian akibat penyebab tertentu dan data lain yang berhubungan
dengan gizi.
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dan keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
22
Menurut Apriaji (1986) faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi
seseorang terdiri dari dua bagian yaitu faktor internal dan faktor ekternal.
Faktor internal terdiri dari a) status kesehatan, b) nilai cerna, c) umur, d) jenis
kelamin, e) kegiatan dan aktivitas. Status kesehatan akan menentukan kebutuhan zat
gizi seseorang, misalnya kebutuhan orang yang baru sembuh dari sakit bebeda dengan
kebutuhan orang yang sehat, hal ini disebabkan karena sel - sel tubuh yang baru
sembuh perlu dganti sehingga akan membutuhkan zat gizi lebih banyak.
Nilai cerna suatu bahan makanan tergantung pada beberapa faktor diantaranya
umur bahan makanan, komposisi asam amino suatu bahan makanan, lamanya
pernasakan dan pemakaian bahan pelarut dalam pemasakan. Bahan makanan yang
diambil pada umur mudah akan memiliki nilai cerna yang lebih tinggi, bahan
makanan bersumber dari hewani mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan makanan sumber nabati, pemasakan dengan waktu
singkat dan suhu yang rendah mempunyai nilai cerna yang lebih tinggi serta
pemakaian bahan pelarut (cuka atau asam) akan mempunyai nilai cerna yang rendah
dalam bahan makanan karena terjadi pengerasan dinding sel makanan dan
penggumpalan protein.
Umur seseorang sangat mempengaruhi kebutunan gizinya. Hal ini dapat
dilihat pada anak usia balita yang berada dalam masa pertumbuhan memerlukan
makanan yang bergizi relatif lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.
Kebutuhan zat gizi pada pria akan lebih besar dari pada wanita karena mempunyai
kegiatan lebih banyak seperti aktivitas fisik sehingga memerlukan energi dan protein
23
yang lebih banyak. Sebaliknya wanita akan mernerlukan zat besi lebih banyak karena
wanita secara teratur mengalami menstruasi.
Kegiatan dan aktivitas seseorang sangat menentukan besar atau kecilnya
kebutuhan zat gizi, misalnya seseorang dengan pekerjaan yang berat akan
memerlukan energi dan zat - zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan orang
mempunyai pekerjaan sedang atau ringan. Khusus pada anak balita juga memerlukan
energi yang lebih banyak untuk proses tumbuh kembang.
Faktor eksternal merupakan faktor yang berpengaruh diluar tubuh seseorang,
antara lain: a) tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, b) latar belakang sosial
budaya, c) daya beli, d) kebersihan lingkungan.
Tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin apakah dia mampu atau tidak
dalam menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, sedangkan tingkat
pengetahuan gizi seseorang terutama pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh dalam
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta gizi anak balitanya. Pendidikan
terutama pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat terhadap kelangsungan anak dan
bayinya. Pada masyarakat dengan rata –rata pendidikan rendah menunjukan
prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya pada masyarakat yang
pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah (Abunain,1988)
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk
keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan faktor
selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan
menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986)
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang lebih
baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan menafsirkan informasi
24
tersebut guna kelansungan hidupnya lebih – lebih pada jaman kemajuan ilmu
tehnologi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu akan lebih banyak
memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap permasalahan yang
dihadapi.Dengan demikian mereka dapat memilih serta menentukan aternatif lebih
baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk dalam menentukan pemberian
makanan bagi balita yang ada dirumah tangga tersebut (Biro Pusat Statistik,1993)
Latar belakang sosial budaya diuraikan sebagai berikut: kebiasaan dalam
suatu keluarga yang lebih mengutamakan bapak, dimana bapak haruslah mendapat
porsi makanan lebih banyak dan lebih baik dengan alasan bapak adalah pencari
nafkah dan sebagai kepala keluarga, hal ini bisa merugikan anggota keluarga lain
karena tidak mendapatkan makanan yang sesuai terutama pada anak balita.
Disamping itu masih ada kepercayaan untuk memantang makanan tertentu yang
dipandang dari segi gizi sebenarnya mengandung zat gizi yang baik.
Kemampuan keluarga untuk membeli makanan dipengaruhi oleh besar
kecilnya tingkat pendapatan keluarga karena jika tingkat pendapatan rendah relatif
akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya apalagi dalam berbagai jenis
makanan yang beraneka ragam. Kebersihan lingkungan secara tidak lansung
berpengaruh terhadap status gizi seseorang, namun faktor lingkungan yang kurang
bersih dapat menyebabkan meningkatnya penyakit pada anak seperti penyakit infeksi
dan kecacingan.
d. Kurang Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah
teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi
25
buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-
tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor
(Soekirman (2000).
Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua
jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu
masalah gizi di Indonesia. Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat
disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum
menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan
sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan
bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau
kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai “busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan
kwashiorkor, masing-masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan
marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat
gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas
bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu
daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi
kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).
Untuk tingkat Puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan menimbang
BB anak dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS dan tabel baku median
WHONCHS KEP berat bila hasil penimbangan BB/U kurang dari 60% baku median
WHONCHS.
26
Gejala klinis ada tiga jenis yaitu kwashiorkor, marasmus dan marasmic
kwashiorkor (Depkes RI, 1999). Untuk tingkat RSU kabupaten/ kota penemuan KEP
dilakukan dengan menimbang dan mengukur tinggi badan dibandingkan dengan umur
dan table BB/U dan table TB/U baku median WHO-NCHS. KEP berat bila BB/U
<60% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB < 60% baku median WHO-NCHS
(Depkes RI, 1999).
Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disajikan dalan dua
versi yakni persentil (persentile) dan skor simpang baku (standar deviation score = z).
Menurut Waterlow,et,al, gizi anak-anak dinegara-negara yang populasinya relative
baik (well-nourished), sebaiknya digunakan “presentil”, sedangkan dinegara untuk
anak-anak yang populasinya relative kurang (under nourished) lebih baik
menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap median baku
rujukan ( Djumadias Abunaim,1990).
Tabel 1 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standart
Baku Antropometeri WHO-NCHS
NoIndeks yang
dipakai
Batas
PengelompokanSebutan Status Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 s/d +2 SD Gizi baik
> +2 SD Gizi lebih
27
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Menurut Jellifle (1994) banyak anak-anak dari golongan ekonomi
marginal menunjukan pertumbuhan abnormal. Hal ini diketahui dari berat
badannya pada tahun-tahun pertama hidupnya.
1) Enam bulan pertama kehidupannya
Pertumbuhan baik sekali berkat protein, kalori, vitamin yang cukup
dari aliran ASI yang baik dan bersih. Anak juga dilindungi dari infeksi-infeksi
oleh antibodi yang didapat dari ibu selama dalam kandungan.
2) Enam bulan berikutnya
Pertumbuhan sedang-sedang saja, tetapi ASI tidak mencukupi lagi
untuk memasok protein, kalori dan zat besi. Kadang-kdang perlu makanan
lain yang biasanya berupa pati atau karbohidrat dengan sedikit protein.
3) Tahun ke-2 dan ke-3
28
Pertumbuhannya buruk atau tidak ada pertumbuhan, bukan berat
badan menurun untuk waktu lama karena kurang protein, kebiasaan makan
karbohidrat (makanan berpati), kadang-kadang sedikit ASI, ditambah sedikit
protein seperti susu sapi, daging, ikan atau polong-polongan dan sering
terkena infeski misalnya campak, diare, malaria, infeksi paru dan kecacingan.
KEP mungkin terjadi pada setiap saat dari tiga periode tersebut, tetapi
tidak pernah ditemukan pada bayi yang muda yang mendapat ASI dengan
sangat memuaskan (Jellifle, 1994). Judiono dkk (2001) meneliti berat badan
lahir dengan status gizi pada bayi 0-6 bulan di kabupaten dan kotamadya
Sumedang, propinsi Jawa Barat menyimpulkan bahwa bayi usia 4 bulan yang
lahir dengan kondisi berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko KEP
10,2 kali sedangkan pada bayi usia 6 bulan risiko tersebut meningkat 23,3 kali
lebih besar untuk mengalami KEP dibandingkan dengan bayi lahir berat badan
normal.
Menurut UNICEF (1988) faktor - faktor yang mempengaruhi status
gizi anak balita dan penyebab kurang gizi pada balita di masyarakat yaitu:
penyebab langsung dan tidak langsung. Makanan dan penyakit dapat secara
langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya
dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang
mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh
29
cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah
terserang penyakit (Supariasa et al, 2002).
Sedangkan penyebab tidak langsung ada tiga yaitu:
(1) ketahanan pangan,
(2) pola pengasuhan anak,
(3) pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu
gizinya. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak
agar dapat tumbuh kembang dengan baik fisik, mental dan sosial. Juga
disebabkan adanya system dan fasilitas pelayanan kesehatan dan lingkungan
kurang memadai. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat
menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang
terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling
berhubungan, ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan,
harga pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan
kesehatan. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal kedekatannya dengan anak, cara memberikan makan maupun
pengetahuan tentang jenis makanan yang harus diberikan sesuai umur dan
kebutuhan, memberi kasih sayang dan sebagainya.
Faktor tidak langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak
dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti
30
imunisasi, pemeriksaan kehamilan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan
gizi serta sarana kesehatan. Pokok masalah di masyarakat adalah kurangnya
pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat
berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung sehingga akan
menurunkan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan (Supariasa et al,
2002).
Akar masalah adalah adanya krisis ekonomi, politik dan sosial yang
menimpa Indonesia sejak tahun 1997 yang akhirnya dapat meningkatkan angka
pengangguran, inflasi dan kemiskinan dan menimbulkan keresahan sosial.
Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat
kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai. (Tabor et al,
2000).
31
Gambar 2 Faktor penyebab kurang gizi (Sumber: Depkes RI, 2001) Disesuaikan dari
bagan UNICEF, 1988, The State of the World’s Children 1998, OxfordUniv. Press)
Penjaringan kasus gizi buruk dapat dimulai dari pemantauan arah
pertumbuhan secara cermat yang dapat dilakukan secara rutin di Posyandu. Bila
ditemukan balita gizi buruk harus segera dicari kemungkinan penyebabnya dan
segera ditentukan solusinya, kemudian dilakukan kembali pemeriksaan
anthropometri dan tanda-tanda klinis. Anak dengan masalah ini harus dirujuk ke
Pos Kesehatan Desa. Oleh Bidan desa dilakukan pemeriksaan ulang klinis,
antropometris, pertumbuhan. Jika secara klinis dan anthropometris ditemukan
tanda-tanda gizi buruk tanpa komplikasi, anak bias dirawat oleh bidan/PKD
dengan supervisi Puskesmas. Jika gizi buruk disertai komplikasi maka anak harus
dirujuk ke Puskesmas atau RS. Penderita gizi buruk harus dilaporkan dalam 24
jam ke Puskesmas yang selanjutnya akan dilaporkan ke Dinas Kesehatan, seperti
halnya pada penyakit wabah harus segera dilakukan tindakan-tindakan pelacakan.
(Pelatihan TOT fasilitator PKD, 2005)
e. Pemberian Makan Anak dibawah lima tahun
Pelaksanaan pemberian makanan yang sebaik-baiknya kepada bayi dan anak
bertujuan:
a. Memberikan nutrien yang cukup untuk kebutuhan, memelihara kesehatan dan dan
memulihkannya bila sakit, melaksanakan berbagai jenis aktivitas pertumbuhan
dan perkembangan fisik serta psikomotor.
32
b. Mendidik kebiasaan yang baik tentang memakan dan menyukai makanan yang
diperlukan (Hassan dan Alatas, 1998).
Merencanakan pengaturan makan untuk seorang bayi dan anak:
a. Menentukan jumlah kebutuhan dari setiap nutrien dengan menggunakan data
tentang kebutuhan nutrien.
b. Menentukan jenis bahan makanan yang dipilih untuk menerjemahkan nutrien
yang diperlukan dengan menggunakan daftar komposisi nutrien dari berbagai
macam bahan makanan.
c. Menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan (menu)
yang dikehendaki.
d. Menentukan jadwal untuk waktu makan dan menentukan hidangan.
e. Memperhatikan masukan yang terjadi terhadap hidangan tersebut. Perlu
dipertimbangkan kemungkjinan faktor kesukaan dan factor ketidaksukaan
terhadap suatu makanan juga anoreksia (Hassan dan Alatas, 1998).
Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pengaturan makan yang cepat adalah:
a. Umur
b. Berat badan
c. Diagnosis penyakit, tahap serta keadaan penyakit
d. Keadaan mulut sebagai penerima makanan
e. Kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan
toleransi anak terhapad makanan yang diberikan (Hassan & Alatas, 1998).
33
Pemasukan kalori yang tinggi hanya dapat terjadi jika makanan diberikan
lebih sering. Pembagian makanan dalam 3 kali pemberian sehari jelas tidak dapat
ditampung oleh anak yang memiliki lambung kecil. Untuk anak 1-2 tahun hanya
mampu menerima jumlah yang diperlukan itu jika dibagi dalam 6-8 kali pemberian
sehari, untuk anak yang labih besar 4-6 kali pemberian sehari (Morley, 1997
Suhardjo, 1996).
Makanan untuk bayi sehat terdiri dari:
a. Makanan utama yaitu ASI. Jika ASI sama sekali tidak ada dapat diberikan
makanan buatan sebagai penggantinya.
b. Makanan pelengkap terdiri dari buah-buahan, biscuit, makanan padat bayi yaitu
bubur susu, nasi tim, atau makanan lain yang sejenis.
Keuntungan ASI (Hassan & Alatas, 1998):
a. Makanan alami, ideal fisiologik.
b. Mengandung nutrien untuk keperluan pertumbuhan bayi yang sangat tepat.
c. Selalu dalam keadaan segar, suhu optimal dan bebas dari basil patogen.
d. Mendukung zat anti/ zat kekebalan.
Pemberian makanan bayi yang berhasil dengan baik memerlukan fungsi
koordinatif yang terjadi dengan serasi antara ibu dan bayinya, yang seharusnya dimulai
dari semenjak pengalaman makan untuk yang pertama sekali, yang akan berlanjut terus
selama ketergantungan anak yang bersangkutan. Dengan segera menegakkan dan
mengembangkan cara-cara memberi makan yang menimbulkan kenyamanan dan
34
kepuasan akan besar sekali ikut membantu terwujudnya perasaan, kesejahteraan
emosional pada bayi serta ibu yang bersangkutan (Behrman & Vaughan, 1994).
Penetapan kecukupan pengadaan ASI, jika bayi yang bersangkutan dapat merasa
puas dan kenyang pada setiap akhir masa menetek, kemudian tidur selama 2-4 jam, di
samping ia berhasil mendapatkan penambahan berat badan yang mencukupi maka
dianggap bahwa pengadaan ASI mencukupi (Behrman & Vaughan, 1994).
Menjelang uisa akhir tahun pertama dan selama tahun kedua, sebagai akibat
penurunan kecepatan pertumbuhan yang berjalan dengan tepat, maka terdapat pula
pengurangan pemasukan kalori secara berangsur-angsur, pada bayi tersebut per kilogram
BB (Behrman & Vaughan, 1994).
Tabel 2. Kebutuhan energi dan protein sehari anak umur 1-5 tahun
Umur
(tahun)
Berat badan
(kg)
Energi Protein
K.Kal/kg/hari K.Kal/org/hari Gr/kg/hari Gr/org/hari
1 8,9 105 900 2,5 22
2 11,2 100 1100 28
3 13,1 100 1300 33
4 14,8 98 1500 3,0 44
5 16,5 91 1500 50
Sumber: penuntun Diit anak RSCM, 1998
Kadang-kadang anak tidak berminat terhadap suatu makanan tertentu yang
disajikan. Orang tua biasanya kurang mengenali keadaan ini sehingga terjadi pemaksaan
35
makanan pada bayi, reaksi alamiah yang akan diperlihatkan adalah pemberontakan dan
mulai timbul permasalahan pada waktu makan. Kegemaran atau ketidaksukaan yang kuat
anak-anak terhadap makanan tertentu, sejauh itu masih memungkinkan serta dapat
dipenuhi hendaknya dihormati juga. Pola serta kebiasaan makan yang berkembang dalam
2 tahun pertama kehidupan, besar kemungkinannya akan bertahan selama beberapa
tahun. Makan sendiri merupakan suatu langkah penting artinya dalam perkembangan rasa
kepercayaan pada diri anak sendiri serta timbulnya rasa tanggung jawab, menjelang akhir
tahun kedua kebanyakan anak bisa makan sendiri (Behrman & Vaughan, 1994).
Anjuran pemberian makanan anak balita (Depkes RI, 1999):
a. 0-6 bulan : ASI, frekuensi sesuai keinginan anak.paling sedikit 8 kali sehari. Jangan
diberi makanan atau minuman lain selain ASI.
b. 6-12 bulan : ASI frekuensi sesuai dengan keinginan anak. Paling sedikit 8 kali sehari.
Makanan pendamping ASI 2 kali sehari tiap kali 2 sendok makan. Yang diberikan
setelah pemberian ASI. Jenis makanan ini adalah bubur tim lumat ditambah kuning
telur/ayam/ikan/ tempe/tahu/daging sapi/wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/minyak.
Kemudian berangsur-angsur bubur nasi ditambah telur/ayam/ikan/tempe/tahu/daging
sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak. Makanan tersbut diberikan 3 kali
sehari. Pemberian makan sebagai berikut: umur 6 bulan : 6 sendok makan; 7 bulan : 7
bulan sendok makan; 8 bulan : 8 sendok makan; 9 bulan: 9 sendok makan; 10 bulan:
10 sendok makan; 11 bulan: 11 sendok makan. Makan selingan 2 kali sehari seperti
bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dsb, diantara waktu makan.
36
c. 12-24 bulan : ASI sesuai keinginan anak. Nasi lembek yang ditambah kuning telur,
ayam, ikan, tempe, tahu, daging sapi, wortel, bayam, bubur kacang hijau, santan, dan
minyak, diberikan 3 kali sehari. Makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu
makan.
d. 24-51 bulan: makanan yang biasa dimakan dalam keluarga 3 kali sehari. Makanan
sampingan 2 kali sehari diberikan diantara waktu makan.
Petunjuk pada pemberian makanan rutin ( Ebrahim, 1983).
a. Tidak memaksakan suatu makanan. Anak harus menikmati sendiri makanannya,
b. setiap pemberian makanan harus dengan main-main tanpa paksaan.
c. Setiap makanan yang baru akan ditolak pada mulanya. Ketika memulai makanan
yang baru harus diberikan sedikit-sedikit untuk memberikan kesempatan kepada anak
untuk membandingkan seleranya pada makanan tersebut.
d. Makanan yang diberikan harus bervariasi setiap harinya dan setiap kali pemberian
makanan.
5. Kerangka Teori
Dari uraian diatas maka diambil kerangka teori sebagai berikut :
(Bagan 1.3. kerangka teori)
37
Sumber : Modifikasi : Green, Lawrence & Kreuter Mrshall (2005), TRA dan tinjauan pustaka.
B. Kerangka Konsep
Sumber informasi dari media
Sumber informasi dari tenaga kesehatan
Pendidikan ibu Predisposising factors :
Pengetahuan ibu
Sikap ibu
Umur ibu Perilaku ibu terhadap pola pemberian makan kepada anak
Status gizi balita
Enabling factors :
Ketersediaan pelayanan kesehatan
Kemampuan/ keterampilan tenaga kesehatan
Reinforcing factors :
Dukungan suami
Dukungan keluarga
Dukungan tenaga kesehatan
Environmemnt factors :
Ekonomi
Sosial budaya
38
Berdasarkan kajian teori diatas dapat dibuat kerangka konsep sebagai berikut:
Gambar 3. Kerangka Konsep
PENGETAHUAN Praktik
Perilaku
SIKAP
ASUPAN GIZI
STATUS GIZI
Keterangan:
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak
diteliti
39
C. Hipotesis
Ada hubungan antara pengetahuan, sikap, perilaku ibu dengan status gizi anak
balita.
1. Makin tinggi pengetahuan ibu, makin baik status gizi anak balita.
2. Makin baik sikap ibu, makin baik status gizi anak balita.
3. Makin baik perilaku ibu, makin baik status gizi anak balita
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
tahun 2014.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2014.
B. Rancangan Penelitian
Rencana penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasional yang
dilakukan dengan pendekatan cross-sectional, dimana tiap subjek penelitian hanya di
observasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable
subyek pada saat pemeriksaan. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
perilaku ibu terhadap status gizi balita di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta
Selatan.
C. Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Variabel
Variabel independen : Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu
Variabel dependen : Status gizi balita
41
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah batasan-batasan yang diamati dan diteliti untuk
mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel bersangkutan
serta pengembangan instrumen atau alat ukur.
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel
Definisi
Operasional Cara Ukur AlatUkur Hasil Ukur Skala
1 Pengetahuan
Ibu
Pengetahuan ibu
adalah tingkat
pemahaman ibu
tentang
pertumbuhan
balita,
perawatan dan
pemberian
makan anak
balita, pemilihan
dan pengolahan
makanan balita.
Data tentang
pengetahuan
dikumpulkan
dengan
kuesioner yang
berisikan
pertanyaan
dengan dua
kemungkinan
jawaban. Bila
jawaban benar
diberi nilai 1 dan
salah diberi
nilai 0 untuk tiap
pertanyaan.
Kuesioner
pengetahun
tentang
pertumbuh-
an balita,
perawatan
dan
pemberian
makan anak
balita,
pemilihan
dan
pengolahan
makanan
balita
1. Baik 76-
100%
2. Kurang
<56%
Ordinal
42
2 Sikap Ibu sikap ibu berupa
penilaian
terhadap status
gizi anak balita,
cara pemberian
makanan untuk
anak balita,
pertumbuhan
anak balita.
Data tentang
sikap
dikumpulkan
dengan
kuesioner yang
berisikan
pernyataan
dengan lima
kemungkinan
jawaban
menurut skala
Likert. Pada
pernyataan
positif, nilai 4
bila sangat
setuju (SS), nilai
3 bila
setuju (S), nilai
2 bila ragu- ragu
(R), nilai 1 bila
tidak setuju
(TS), nilai 0 bila
sangat
Kuesioner
sikap
tentang gizi
anak balita
1.Baik 76-
100%
2. Kurang
<56%
Katego
rikal
43
tidak setuju
(STS). Pada
pernyataan
negatif nilai 4
bila sangat tidak
setuju (STS), 3
bila
tidak setuju
(TS), 2 bila
ragu-ragu (R), 1
bila setuju (S), 0
bila sangat
setuju (SS).
3. Perilaku ibu Perilaku ibu
tentang
pemberian gizi
anak balita
dalam penelitian
ini adalah
tindakan nyata
dari ibu anak
balita dalam
memberikan
Data
tentang perilaku
dikumpulkan
dengan 2
bila jarang
(J), 1 bila
sering (S),
0 bila
Wawancara
terpimpin
dan
kuisioner
a. Kurang
(<60%)
b. cukup
(60-
75%)
c. baik (75%)
(Arikunto,
Katego
rikal
44
makanan kepada
anak balita,
mulai dari cara
memilih,
mengolah bahan
makanan sampai
dengan
pemberiannya.
selalu (SL).
kuesioner yang
berisikan
pernyataan
dengan empat
kemungkinan
jawaban
menurut skala
Likert. Pada
pernyataan
positif nilai 3
bila selalu
dilakukan (SL),
nilai 2 bila
sering (S), nilai
1 bila kadang-
kadang, nilai 0
bila tidak
pernah (T). Pada
pernyataan
negatif nilai 3
bila tidak pernah
(T).
2009)
4. Penilaian Status gizi anak Ditentukan Timbangan (1) Status gizi Kategor
45
status gizi balita adalah
status gizi
antropometri
pada anak balita
yang
ditentukan
dengan
menggunakan
indikator berat
badan terhadap
umur (BB/U)
dalam
kilogram per
bulan (WAZ,
WEIGHT FOR
AGE) : (1) Gizi
Obesitas: skor Z
> +3; (2)
Gizi Over
Weight: +3 >
skor Z > +2; (3)
Gizi Baik: +2 >
skor Z > -2; (4)
Gizi Under
dengan
menggunakan
indikator berat
badan terhadap
umur (BB/U)
dalam
kilogram per
bulan (WAZ,
WEIGHT FOR
AGE): (1) Gizi
Obesitas: skor Z
> +3; (2)
Gizi Over
Weight: +3 >
skor Z > +2; (3)
Gizi Baik: +2 >
skor Z > -2; (4)
Gizi Under
Weight: skor Z <
-2.
dacin,
Kartu
Menuju
Sehat
(KMS),
Tabel baku
antropomet-
ri
standar
WHO-
NCHS.
tidak normal
(status gizi
buruk, gizi
kurang dan
gizi
lebih) dan (2)
Status gizi
normal (status
gizi baik).
ikal
46
Weight: skor Z <
-2.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti tersebut (Notoatmodjo,2005). Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang
memiliki anak balita yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta
Selatan
2. Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan
objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo,2005). Sampel akan diambil dengan menggunakan teknik random
sampling ialah dengan teknik pengambilan sampel dimana semua individu, diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Penlitian ini sampel yang diambil adalah ibu yang mempunyai anak balita
yang berkunjung di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan
Perhitungan Besaran sampel
Besar sampel penelitian, untuk populasi kurang dari 1.000 digunakan rumus
sebagai berikut :
47
n = N
1+ N(d2)
N = jumlah populasi = 120 ibu balita
d = preseisi 0,1 (10%)
n = 120
1+120(0,12)
= 54 ibu balita
Kriteria inklusi ;
- Ibu memiliki anak balita
- Ibu yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
- Bersedia menjadi subjek penelitian
Kriteria eksklusi
- Menolak memberi tanda tangan pada lembar persetujuan responden
- Menolak menjadi sampel atau subjek penelitian
E. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dan
variabel terkait adalah status gizi balita.
a. Pengetahuan : variabel ini berskala ordinal dengan pengukuran yang dilakukan
berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner pengetahuan.
48
b. Sikap : variabel ini berskala kategorikal dengan pengukuran yang
dilakukan berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner
sikap.
c. Perilaku : variabel ini berskala kategorikal dengan pengukuran yang
dilakukan berdasarkan jawaban atas wawancara dengan menggunakan kuesioner
perilaku.
d. Status gizi balita : variabel ini berskala kategorikal dan pengukuran ditentukan
dengan menggunakan indikator berat badan terhadap umur (BB/U) dalam kilogram
per bulan (WAZ, WEIGHT FOR AGE)
F. Prosedur Pengambilan Data
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan izin terlebih dahulu kepada
institusi terkait dalam hal ini di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan setelah
mendapat izin, peneliti melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika, seperti :
1. Informed Consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dan responden penelitian,dengan
memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed consent tersebut diberikan
sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden. Tujuan dari Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
peneliti.
2. Confidentiality
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan data dari pihak
responden sebagai hasil penelitin baik informasi maupun masalah lainnya. Sehingga,
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.
49
3. Privacy
Identitas atau segala bentuk baik yang menyangkut responden tidak akan
diketahui oleh orang lain sehingga responden dapat secara benar menjawab kuesioner
tanpa rasa takut dan menjawab. Dan menjaga kerahasiaan serta tidak mempublikasikan
kasus peneliti pada masyarakat umum.
4. Hasil penelitian ini tidak akan menyebarluaskan tentang informasi responden pada
masyarakat umum.
G. Teknik Pengambilan Data
Data pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, Kuesioner terdiri dari
identitas,pengetahuan,sikap dan tingkat pendidikan ibu tentang imunisasi campak.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari data puskesmas.
Pengumpulan data dilakukan oleh penulis dan satu orang enumerator (petugas gizi
puskesmas) dan dibantu oleh kader desa.
Cara pelaksanaan :
- Memilih responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
- Responden mengisi lembar informed consent
- Waktu pengisian kuesioner adalah 10 menit
- Saat pengisian kuesioner tidak ada waktu istirahat dan kuesioner tidak boleh dibawa
pulang.
50
H. Pengolahan Data
Menurut Arikunto (2002) pengolahan data dilakukan melalui empat tahapan yang
meliputi editing,coding/scoring,entry dan tabulating.
a. Editing
Editing adalah proses pengecekan jumlah kuesioner,kelengkapan data diantaranya
kelengkapan identitas,lembar kuesioner dan kelengkapan isian kuesioner,sehingga
apabila terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi segera oleh peneliti.
b. Coding/scoring
Coding/scoring merupakan tindakan untuk melakukan pemberian kode atau angka
untuk memudahkan pengolahan data.
1. Tingkat pengetahuan pada kuesioner yang berisikan pertanyaan dengan dua
kemungkinan jawaban. Bila jawaban benar diberi nilai 1 dan salah diberi nilai 0 untuk
tiap pertanyaan.
2. Sikap ibu diberikan kode sebagai berikut: pada pernyataan positif, nilai 4 bila sangat
setuju (SS), nilai 3 bila setuju (S), nilai 2 bila ragu- ragu (R), nilai 1 bila tidak setuju
(TS), nilai 0 bila sangat tidak setuju (STS). Pada pernyataan negatif nilai 4 bila sangat
tidak setuju (STS), 3 bila tidak setuju (TS), 2 bila ragu-ragu (R), 1 bila setuju (S), 0 bila
sangat setuju (SS).
3. Perilaku ibu diberikan kode sebagai berikut: dikumpulkan dengan 2 bila jarang (J), 1
bila sering (S), 0 bila selalu (SL). Kuesioner yang berisikan pernyataan dengan empat
kemungkinan jawaban menurut skala Likert. Pada pernyataan positif nilai 3 bila selalu
51
dilakukan (SL), nilai 2 bila sering (S), nilai 1 bila kadang-kadang, nilai 0 bila tidak
pernah (T). Pada pernyataan negatif nilai 3 bila tidak pernah (T). Sedangkan untuk
sikap ibu diberikan kode angka 4=sangat setuju (SS), 3=setuju(S),2= tidak
setuju(TS),1= sangat tidak setuju(STS).
4. Kategori status gizi diberikan kode sebagai berikut: (1) Gizi Obesitas: skor Z > +3; (2)
Gizi Over Weight: +3 > skor Z > +2; (3) Gizi Baik: +2 > skor Z > -2; (4) Gizi Under
Weight: skor Z < -2.
c. Entry
Entry data (memasukan data).Entry data yaitu suatu proses memasukan data yang
diperoleh menggunakan fasilitas komputer dengan menggunakan sistem atau program
perangkat lunak komputer.
d. Tabulating
Tahap terakhir yang dilakukan dalam proses pengolahan data adalah tabulating
(pentabulasian) merupakan tahap ketiga yang dilakukan setelah proses editing dan
coding. Kegiatan tabulating dalam penelitian meliputi pengelompokan data sesuai dengan
tujuan penelitian kemudian dimasukkan kedalam tabel-tabel yang telah ditentukan
berdasarkan kuesioner yang telah ditentukan skornya.
I. Analisis Data
Data berskala kategorikal dideskripsikan dalam frekuensi dan persen. Data kontinu
dideskripsikan dalam parameter mean, standar deviasi, minimum, maksimum. Pengaruh
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dianalisis dengan model regresi logistik, sebagai berikut
52
dengan:
p = probabilitas status gizi normal (baik)
1-p = probabilitas status gizi tidak normal (status gizi buruk, status gizi kurang dan status gizi
lebih)
X1 = sikap ibu
X2 = pengetahuan ibu
X3 = perilaku ibu
Hubungan variabel ditunjukkan dengan OR (CI 95%). Analisis data dilakukan
dengan tahap penyuntingan, pemasukan data ke komputer, pembersihan data dan analisis
statistik. Pemasukan data dilakukan dengan program Excell dan pengolahan data difokuskan
dengan program SPSS for Windows versi 15. 0. Analisis data diawali secara deskriptif untuk
melihat karakteristik dari data. Data disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Kemudian
dianalisis dengan regresi logistic multivariat. Hubungan antar variabel ditunjukkan dengan
OR (CI 95%).