12
7 BAB 2 HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSI Bagian ini merupakan kajian teoritis yang di dalamnya mengangkat studi-studi identitas teritorial dan resistensi. Dalam bagian ini, penulis melakukan elaborasi teori identitas teritorial dan resistensi menjadi satu kajian yang memiliki korelasi satu sama lain, dan integrated. Dengan demikian, pada kerangka konseptual, penulis mencoba menarik benang merah yang mengangkat hubungan identitas teritorial dan resistensi sebagai satu komponen yaitu, resistensi adalah bagian dari identitas teritorial, sebaliknya. Teori Identitas Dalam mengkaji identitas teritorial, terlebih dahulu yang penting dilakukan adalah melihat makna identitas. Jenkins (2004) menggunakan dimensi individually unique dan collectively shared untuk menjelaskan makna identitas. Masih menurut Jenkins, identitas merupakan pemaknaan kita akan siapa kita, dan siapa orang lain, sebaliknya. Dengan demikian, pandangan Jenkins lebih merujuk pada makna tentang kesamaan maupun keunikan yang disepakati dan pada prinsipnya selalu dinegosiasikan (Jenkins, 2004). Johnson et al (2002) menyoroti identitas sebagai dinamika sosial dalam satu komunitas. Johnson et al (2002) menggunakan dimensi collective memory dalam kaitannya dengan konstruksi group- reference ketimbang self-reference (Johnson et al, 2002). Dalam studi lain oleh Nawata dan Yamaguchi (2014), identitas in group maupun out group agaknya saling bertentangan ketika dipadukan sebagai satu hubungan dalam satu lapangan pekerjaan. Nawata dan Yamaguchi

BAB 2 HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN RESISTENSIrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16485/2/T2_092014004_BAB II... · teritorial dan resistensi sebagai satu komponen yaitu,

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB 2

HUBUNGAN IDENTITAS TERITORIAL DAN

RESISTENSI

Bagian ini merupakan kajian teoritis yang di dalamnya

mengangkat studi-studi identitas teritorial dan resistensi. Dalam bagian

ini, penulis melakukan elaborasi teori identitas teritorial dan resistensi

menjadi satu kajian yang memiliki korelasi satu sama lain, dan

integrated. Dengan demikian, pada kerangka konseptual, penulis

mencoba menarik benang merah yang mengangkat hubungan identitas

teritorial dan resistensi sebagai satu komponen yaitu, resistensi adalah

bagian dari identitas teritorial, sebaliknya.

Teori Identitas

Dalam mengkaji identitas teritorial, terlebih dahulu yang penting

dilakukan adalah melihat makna identitas. Jenkins (2004)

menggunakan dimensi individually unique dan collectively shared

untuk menjelaskan makna identitas. Masih menurut Jenkins, identitas

merupakan pemaknaan kita akan siapa kita, dan siapa orang lain,

sebaliknya. Dengan demikian, pandangan Jenkins lebih merujuk pada

makna tentang kesamaan maupun keunikan yang disepakati dan pada

prinsipnya selalu dinegosiasikan (Jenkins, 2004).

Johnson et al (2002) menyoroti identitas sebagai dinamika sosial

dalam satu komunitas. Johnson et al (2002) menggunakan dimensi

collective memory dalam kaitannya dengan konstruksi group-reference ketimbang self-reference (Johnson et al, 2002). Dalam studi

lain oleh Nawata dan Yamaguchi (2014), identitas in group maupun out group agaknya saling bertentangan ketika dipadukan sebagai satu

hubungan dalam satu lapangan pekerjaan. Nawata dan Yamaguchi

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

8

menyoroti dominasi identitas dalam kelompok lebih kuat dan

mendominasi daripada identitas dari luar kelompok. Sehingga ada

kesan identitas dinilai sebagai self-categorization. Pandangan Nawata

dan Yamaguchi sangat sejalan dengan pandangan Hogg (2011), tetapi

Hogg melihat kategorisasi diri sendiri sebagai social-comparison.

Identitas yang kuat dipengaruhi oleh kognisi yang kuat melalui

perilaku ke arah luar (Brown dan Capoza, 2006). Hal ini tidak sedikit

mengakibatkan konflik antar identitas atau klaim yang bertentangan

antara kelompok etnis, misalnya Saltman (2002) mengklasifikasikan

identitas dan etnisitas sebagai dua kelompok berbeda yaitu, identitas

lebih kepada presepsi atau kognisi individu dan etnisitas adalah

fenomena sosial budaya. Hal ini tidak lepas oleh keberadaan identitas

kolektif yang terdiri atas masyarakat asli maupun migran (Raport dan

Dawson, 1998).

Studi Finley (2010) memperkuat gagasan integrasi identitas dalam

satu wilayah geografis. Finley menekankan studi identitas pada

penerimaan, dan penerimaan ini hadir melalui inklusi. Inklusi yang

Finley maksud adalah, dengan membuka diri bagi identitas lain untuk

mengikuti aktivitas lokal, kendati identitas lain memiliki karakteristik

latar belakang, budaya, dan kemampuan yang berbeda. Hal ini agar

menghindarkan komunitas yang berbeda-beda itu dari konflik.

Castells (2010) memperkenalkan tiga karakteristik identitas yaitu,

legitimizing identity, resistance identity, dan project identity.

Legitimizing identity berkenan pada institusi dominan masyarakat yang

memperluas serta merasonalisasi dominasi mereka. Resistance identity

erat dengan kondisi tertindas a masyarakat atau kelompok rendah yang

dicap rendah oleh logika dominasi. Oleh karena itu, ada konstruksi

kekuatan penolakan atas dasar prinsip-prinsip kontradiktif dan terkesan

dipaksakan. Project identity merupakan alternatif bila aktor-aktor

sosial atas dasar materi kultural yang tersedia membangun identitas

baru dan meredefinisi posisi mereka dalam masyarakat. Dengan kata

lain, transformasi menyeluruh dalam struktur masyarakat.

Fisher et al (dalam Litaay, 2011) melihat identitas menjadi

pemicuh konflik, sebabnya adalah identitas diri maupun kelompok

terancam. Tipikalitas konflik berbasis identitas tersebut hadir karena

Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

9

hilangnya sesuatu yang dimiliki atau penderitaan di masa lampau yang

belum teratasi. Litaay (2011) kemudian menawarkan solusi, adalah

dengan kesepakatan bersama guna mengakui kebutuhan pokok semua

pihak.

Ruang Lingkup Identitas Teritorial

Identitas teritorial erat kaitannya dengan identitas geografis.

Dalam memaknai identitas teritorial maka penting melihat identitas

teritorial ini sebagai “ruang hidup” (Caldo, 1996 dalam Pollice, 2003).

Ruang hidup hadir melalui integrasi yang saling terkoneksi dengan

dimensi fisik maupun dimensi sosial (relasi), juga representasi dari

tindakan manusia, dan nilai-nilai budaya sebagai produk geografis

(Fremont, 1976 dalam Pollice, 2003). Dematteis, (1995 dalam Pollice,

2003) menyebut identitas teritorial adalah bagaimana aktor-aktor

memahami wilayahnya, sebagaimana ia (Dematteis, 1995) memberi

contoh pada dimensi fisik yaitu tanah yang mampu dijadikan sebagai

media komunikasi, kerja sama, produksi, pertukaran, dan sumber

nafkah. Dengan demikian, identitas teritorial berasal dari referensi diri

yang intepretatif (Pollice, 2003). Vallega (2001 dalam Pollice, 2003)

memberi pemahaman semiotika yang membentuk identitas teritorial

melalui realitas teritorial (signifier), representasi realitas (sign), dan

penjelasan realitas (signified).

Identitas teritorial bagi Magnaghi (1984 dalam Pollice, 2003)

dipandang lebih ke ranah institusi yaitu, berupa aturan yang harus

dihormati. Pada skala tertentu, identitas teritorial dapat dijadikan

sebagai tata ruang dalam upaya memulai pembangunan, tetapi juga

dapat dijadikan sebagai aturan berdasar pada regulasi masyarakat (Persi

dan Pra, 2001; Paasi, 2011). Studi Paasi (2011), berkenan pada identitas

teritorial yang disebut sebagai identitas regional. Bagi Passi (2011),

identitas teritorial itu bisa dijadikan identitas perlawanan apabila

jejaring global lebih bertindak sebagai aktor kapitalis dan ada dampak

destruktif terhadap wilayah milik masyarakat dalam identitas

teritorialnya. Paasi (2011) menyebut wilayah dan kekuasaan sebagai

faktor yang membentuk identitas. Paasi (2011) juga menambahkan,

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

10

pemaknaan konteks kedaerahan melalui sejarah menjadi bagian penting

yang membentuk kekuasaan berbasis identitas teritorial.

Berbicara mengenai identitas teritorial maka tidak dapat terlepas

dari pengaruh modal teritorial. Modal teritorial merupakan aspek yang

berwujud dan tidak berwujud (Camagni, 2008 dalam Ugo dan Perruca,

2014). Camagni menyebutkan modal teritorial sebagai; modal ekonomi,

modal budaya, sosial, dan alam. Modal teritorial pertama kali

didefinisikan oleh Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2001 dengan judul Territorial Outlook. OECD membedakan modal teritorial sebagai berikut; Tangible Factors, Untraded Interdependencies, dan Intangible Factors (dalam

Ugo dan Perucca, 2014). Berikut penjelasan ketiganya dapat dilihat

dalam lampiran tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Modal Teritorial Menurut OECD

Sumber : OECD, 2001 (dalam Ugo dan Perucca, 2014)

Pada tabel di atas, penulis simpulkan bahwa modal teritorial oleh

OECD menggabungkan modal material (modal alam dan modal

ekonomi), modal sosial, dan kelembagaan sebagai bagian integral dalam

penyusunan program pembangunan berbasis modal teritorial.

Modal teritorial selalu berkenan pada modal yang menghasilkan

modal sebagaimana, barang privat sebagai modal alam memberi

Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

11

jaminan bagi terbentuknya relasi perusahaan dan wirausaha, kemudian

juga membentuk kreativitas yang tidak lain adalah human capital melalui entrepreneur. Selain itu, barang publik memberi jaminan bagi

pengelolaan sumber daya alam bersama, dan membentuk kelembagaan

juga modal sosial yaitu, kepercayaan (Camagni, 2008 dalam Ugo dan

Perucca, 2014). Sehingga Camagni menyebut modal teritorial sebagai

sesuatu yang berwujud (sebagai contoh sumber daya alam) dan yang

tidak berwujud (sebagai contoh relational capital).

Studi-Studi Terdahulu Tentang Identitas Teritorial

Studi Luminita Filimon et al (2014) menggunakan manajemen

teritorial dalam melakukan analisis terkait pembentukan wilayah

pedesaan dalam persaingan global. Dalam studi Luminita Filimon et al

(2014), pembangunan pedesaan harus berdasar pada identitas teritorial

dan warisan (material maupun immaterial) agar tercipta pembangunan

yang berkelanjutan maupun pembangunan yang lebih produkitf. Hal

ini dapat dilakukan apabila ada integrasi masyarakat pedesaan di

Rumania yang berkapabilitas dalam mengutamakan produk lokal

maupun potensi sebenarnya. Luminita Filimon et al (2014) menyoroti

konsep warisan dan hubungannya dengan identitas teritorial melalui

sumber daya, institusi, maupun dalam hal pembangunan ekonomi.

Sumber daya menjadi satu set potensi yang dimiliki teritorial, institusi

mengambil tempat sebagai aturan kolektif dalam hal kepemilikan

komunal bukan lagi personal, dan warisan sendiri harus menjadi

“mesin” konstruksi wilayah (Landel dan Senil, 2009 dalam Luminita

Filimon et al, 2014). Selain itu, konsep defensive identity dan offensive identity oleh Basand dan Guindani (1982, dalam Luminita Filimon et al,

2014) juga turut dielaborasi dalam studi mereka. Pemandangan studi

Bassand dan Guindani ini berkenan pada dua pemahaman yaitu,

dependensi maupun inovasi. Dependensi mengambil bagian khusus

pada wilayah identitas defensif, berimbas pada kemandekan

pembangunan, sebaliknya identitas ofensif lebih membuka diri bagi

pembangunan yang inovatif. Dengan demikian, Lajarge dan Roux (2007

dalam Luminita Filimon et al ,2014) menggunakan pengkajian proyek

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

12

sebagai langkah awal memulai pembangunan berbasis identitas

teritorial sejalan dengan prioritas pokok yaitu, sumber daya teritorial.

Zoran Roca (2012) menggunakan tema sense of belonging dalam

memperkenalkan terraphilia dan topophilia dalam kajian identitas

teritorial. Terraphilia sendiri membentuk rasa memiliki karena wilayah

mempunyai daya tarik (territorial attractiveness). Sementara topophilia sendiri mengutamakan rasa kecintaan pada teritorial. Beery et al (2015)

menggunakan kajian topophilia dalam keterkaitannya dengan

masyarakat, budaya, dan interaksi. Beery et al (2012) melihat

pengelolaan alam yang berkelanjutan adalah dengan menggunakan

kajian topophilia yang dinilai sebagai perilaku bawaan. Perilaku

bawaan ini kemudian menjadi identitas teritorial (Beery et al, 2015).

Selain itu, Beery et al (2015) menggunakan kajian biophilia sebagai

afiliasi manusia dengan alam atau dunia bukan manusia. Biophlia

sendiri hadir atau terbentuk karena adaptasi perilaku leluhur yang

mendorong masyarakat kontemporer untuk menghargai kondisi alam

(Wilson, 1984 dalam Beery et al, 2015). Kellert (dalam Beery et al,

2015) memperkenalkan kajian biophilia sebagai berikut;

Tabel 2.2. Biophilia Menurut Kellert

Utilitarian Pemanfaatan atau eksploitasi alam secara positif

Naturalistic Alam sebagai sumber stimulasi dan keberagaman

Ecologistic/Scientific Alam sebagai sumber ilmu pengetahuan

Symbolic Pemanfaatan alam untuk mengekspresikan tanda

Aesthetic Daya tarik secara fisik dari keindahan alam yang bersifat

universal

Negativistic Takut atau enggan terhadap alam

Humanistic Kecintaan pada alam

Moralistic Alam membentuk etika

Dominionistic Penguasaan terhadap alam

Sumber : Kellert (dalam Beery et al, 2015)

Baik terraphilia, topophilia, dan biophilia, adalah menyangkut

identitas teritorial sebagai bagian dari rasa memiliki dan kecintaan

terhadap alam. Dengan demikian, Roca (2012) mengklasifikasikan

Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

13

identitas teritorial menjadi dua yaitu, territorial belonging dan

territorial attractiveness. Territorial belonging bergantung pada rasa

memiliki teritorial untuk; mempromosikan lingkungan dan sosial-

budaya melalui kesadaran, mendorong perlindungan terhadap warisan

dan budaya, memperbaiki hubungan sosial dan semangat komunitas,

memfasilitasi efisiensi dan efektivitas lembaga-lembaga lokal, dan

memperkuat diri melalui rasa aman dan kepuasan. Sedangkan

territorial attractiveness dimiliki oleh agen pembangunan, terutama

mereka yang bertanggung jawab dalam melakukan strategi untuk

pengembangan wilayah, meliputi; mampu menilai daya tarik wilayah,

menentukan unsure-unsur daya tarik wilayah, memberi dukungan bagi

kebijakan dan proyek-proyek publik yang disesuaikan dengan kekhasan

wilayah (Roca, 2012).

Program pembangunan saat ini berisiko dan membahayakan

identitas, seyogyanya identitas harus dilestarikan (Pollice, 2003).

Pollice (2003) memberi pandangan terkait identitas teritorial sebagai

kekuatan bagi pembangunan daerah. Kekuatan itu sendiri berasal pada

pengorganisasian ruang juga kehidupan sosial. Masih menurut Pollice,

pengembangan akan terjadi dalam daerah apabila identitas menjadi atau

begitu kuat dan saling bersinergi dengan program pengembangan

(Pollice, 2003). Bagi Pollice (2003), identitas lokal tidak akan memiliki

kekuatan pendorong, sebaliknya akan menjadi mistifikasi dari realitas

teritorial yang berakhir pada konsekuensi yang negatif dalam hal

dinamika pembangunan dan identitas sendiri. Pollice (2003)

mengatakan bahwa, lokal tidak sepantasnya melawan global tetapi

harus saling melengkapi, sebaliknya.

Dewasa ini, dimensi yang sulit dipahami dari transformasi antara

negara industri maju dan negara transisi berimbas pada identitas warga

negara (Sellers, 2012). Sellers (2012) melihat pergeseran baru dalam

identitas teritorial antara masyarakat industri maju dan masyarakat

transisi selalu terkoneksi pada kekuasaan, lembaga, pola ekonomi, dan

kehidupan sosial di berbagai skala. Pada skala lokal ketika dilakukan

survey oleh Sellers (2012) berdasar pada data World Survey Value dan International Social Survey Programs sejak tahun 1981-2003 di 33

negara, Sellers (2012) menemukan bahwa tingkat lokal lebih

mendominasi karena identitas yang begitu kuat.

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

14

Identitas teritorial memang berkenan pada pemaknaan, dan

pemaknaan ini erat kaitannya dengan pemaknaan kolektif. Selain itu,

identitas teritorial bersumber pada nilai-nilai sosial sebagaimana

kekuasaan, etika, solidaritas, dan lain sebagainya, juga transfer

pengetahuan (warisan), promosi sumber daya, kebijakan, rasa memiliki,

dan keberlanjutan. Albino (dalam Roca, 2012) menyoroti

perkembangan identitas teritorial melalui operasionalisasi identitas

budaya, dan juga menghargai tipikalitas leluhur adalah sarana dalam

mendorong inovasi lokal baru. Veneri (2011) menggunakan konsep

modal teritorial sebagaimana modal sosial, hubungan sosial-budaya,

tata ruang, dam struktur pemerintahan.

Kebijakan Pembangunan dan Resistensi

Noerberg-Hoedge dan Goering (1995) menjelaskan bahwa,

kemajuan pembangunan di negara-negara Utara sebaliknya memberi

krisis multidimensi dalam hal; penipisan sumber daya, polusi,

pengangguran, tuna wisma, dan marak terjadi kriminalitas. Sementara

negara-negara Selatan sendiri mengalami kemiskinan multidimensi

dalam hal; degradasi ekologi, kelebihan jumlah penduduk, gesekan

antar etnis, dan hutang internasional. Dengan demikian, kebanyakan

para ekonom memberi solusi, “Called Progress in the North, and Development in the South”(Noerberg-Hoedge dan Goering, 1995).

Solusi ini adalah dengan melakukan pendekatan industri melalui

kemutakhiran teknologi agar perdagangan bebas dapat diterapkan, dan

dirasakan mampu memperbaiki ekonomi di negara-negara Selatan

(Noerberg-Hoedge dan Goering, 1995). Tetapi sekali lagi dikatakan oleh

Noerberg-Hoedge dan Goering (1995) bahwa pendekatan industrial

bukan merupakan solusi melainkan wajah dari masalah. Dengan

demikian, pendekatan pembangunan yang tidak sejalan dengan

identitas teritorial maka akan berbuah menjadi identitas perlawanan.

Chambers (1983, dalam Chambers, 2013) menjelaskan pentingnya

memahami masyarakat pedesaan yang menginginkan perubahan, tetapi

perlu menghormati realitas dan prioritas mereka. Chambers (1983,

dalam Chambers, 2013) juga melihat tentang bias-bias yang kerap

Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

15

menjadi pra-pemahaman orang luar dalam melihat komunitas di

pedesaan. Bias-bias ini teridentifikasi dalam tujuh bias sebagaimana; (1)

bias musim atau datang di saat kering/kemarau dan musim panen; (2)

bias tempat atau datang hanya pada lokasi yang mudah dijangkau; (3)

bias tokoh atau hanya menemui tokoh elite dalam masyarakat; (4) bias

gender atau hanya menemui kelompok laki-laki; (5) bias program atau

menggunakan program untuk pamer kesuksesan; (6) bias kesopanan

atau kecenderungan untuk menyembunyikan hal-hal buruk dengan

basa-basi; (7) bias profesi atau cenderung memahami masyarakat dari

aspek yang diminatinya saja. Chambers melihat hal-hal tersebut sebagai

penyebab kemiskinan, dan kemiskinan ini disebabkan oleh faktor orang

asing. Yang dalam pandangan Chambers orang asing digolongkan

sebagaimana pemerintah, peneliti, dan staff LSM. Menurut Chambers,

orang yang paling miskin dan marginal adalah masyarakat yang tidak

kelihatan, dan hal tersebut terjadi oleh sebab mereka (orang asing)

memiliki banyak bias dalam memandang masyarakat pedesaan. Tema

sentral pemikiran Chambers adalah pembalikan (reversal) sikap dan

perilaku orang luar yang bekerja di masyarakat agar lebih peka dan

memahami situasi dan persoalan masyarakat, terutama masyarakat yang

paling miskin (Chambers 1983, dalam Chambers, 2013).

Studi kasus pada pedesaan di Bolivia melihat pembangunan yang

terkendala oleh dilematisasi identitas yang di satu sisi ada gagasan

tentang inovasi pada bidang pertanian, tetapi di sisi lain masyarakat

pedesaan Bolivia masih memilih untuk bertahan. Hal ini didorong oleh

dua dimensi terkait politisasi proyek populer yang mendorong kecaman

berdasar pada artikulasi identitas pedesaan. Adat sebagai kelembagaan

informal menjadi integrasi identitas sebagai kesatuan identitas petani di

pedesaan Bolivia (Fontana, 2014). Dalam kasus di pedesaan di Bolivia,

masyarakat petani masih memegang teguh prinsip adat, dan adat

menjadi kesatuan dalam menyatukan identitas para petani. Namun di

satu sisi ada gagasan untuk mengubah pola pertanian di sana, tetapi

identitas mayoritas memilih untuk bertahan dengan kultur yang ada.

Dengan demikian, penulis melihat bahwa adat adalah aturan yang kuat

sebagai kendala perubahan dalam bidang pertanian yang padat modal.

Kecenderungan bias pemahaman intra masyarakat dalam satu

komunitas maupun komunitas luar ini kemudian berpotensi kuat

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

16

terjadinya resistensi. Resistensi sendiri terbentuk oleh pandangan

masyarakat global yang berbeda (Amoore, 2005). Kajian resistensi dan

gerakan sosial merupakan hal yang memiliki kesamaan tetapi tidak

selalu identik, Kesamaan ini hadir melalui hubungan, sebagaimana

resistensi menjadi pelopor gerakan sosial. Dalam ruang lingkup

pertanian, resistensi marak terjadi di Asia. Sebagaimana Schneider

(2011) melakukan studi pada petani di Kamboja, Scott (1981) pada

petani di Asia Tenggara, Walker (2008) di Cina, dan sebagainya.

Kerkvliet (2009) memberikan argumentasinya terkait resistensi yang ia

nilai sebagai politik tradisional. Politik tradisional itu dibaginya

menjadi tiga kelompok yaitu; (1) politik sehari-hari (everyday politics); (2) politik resmi (official politics) dan; (3) politik advokasi (advocacy politics). Politik sehari-hari ini nyaris mirip dengan perlawanan sehari-

hari (everyday resistance) milik Scott atau dengan kata lain, tidak ada

komunikasi yang sistemik antara kubu yang berselisih paham, dan lebih

kepada tindakan diam-diam tetapi ada perlawanan secara terselubung

(hidden resistance). Kemudian politik resmi adalah bagaimana institusi

turut disertakan dengan cara; adanya upaya untuk mendiskusikan,

menghindari dan mengubah kebijakan dominasi terkait alokasi sumber

daya. Ini adalah sebuah langkah maju ketika negosiasi dalam wajah

internalisasi ekonomi dirasakan perlu untuk diterapkan. Sementara

advokasi lebih kepada upaya kecaman secara kolektif apabila

kontradiksi paham ini sudah tidak mampu menemui jalan keluar yang

aman.

Gramsci (1976) dan Polanyi (1957) memiliki pandangan yan sama

terkait resistensi yang berifat frontal dan lebih kepada tindakan

kolektif, sementara Scott (1990) melihat resistensi lebih berkenan pada

tindakan yang selalu terselubung. Schneider (2011) melihat bagaimana

petani yang melakukan perlawanan, tetapi mendapat perlawanan balik

oleh pihak yang dilawan melalui intervensi militer. Oleh karena itu,

resistensi tersembunyi erat kaitannya dengan petani. Baik Scott,

Polanyi, dan Gramsci memiliki formulasi resistensi yang sama yaitu,

perlawanan terikat pada konteks historis tertentu. Gramsci (1976)

memandang resistensi dalah sebagai “kontra hegemoni” yang hadir

ketika pihak elite mendapat hak istimewa dan menindas masyarakat

atau kelompok lain. Cox (1993) menyatakan, resistensi tidak selalu

Hubungan Identitas Teritorial dan Resistensi

17

mengambil posisi kekerasan, tetapi juga non-kekerasan sebagaimana

melakukan boikot.

Dengan demikian, kesatuan petani yang mengasosiasikan diri

pada posisi resistor berada pada kelompok yang sering melibatkan diri

dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sendiri memiliki dua dimensi

yakni, “Gerakan Sosial Lama” (Old Social Movements) dan “Gerakan

Sosial Baru” (New Social Movements). Sebagaimana dilakukan studi

pada petani di India oleh Singh (2010) yang melihat gerakan sosial

lama sudah tidak lagi menjadi landasan perlawanan masyarakat petani

India, sebaliknya, gerakan sosial baru merupakan style mereka.Petani

India mampu mengangkat martabat mereka yang semula peasants menjadi farmers. Hal ini dikatakan oleh Singh bahwa para petani

kontemporer India tidak lagi mempersoalkan masalah-masalah yang

berwujud konflik, pertikaian, ketegangan antar kasta dan kelompok.

Namun, mereka (petani India) melakukan klaim secara terbuka tentang

masalah materialistik seperti gender, ekologi, hak asasi manusia,

kebebasan, otonomi, kesetaraan dan keadilan sosial. Tilly (1978)

menjelaskan pandangannya terkait collective action sebagai perjuangan

secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama.Pandangan Touraine

dan Laclau (dalam Singh, 2010)mengembangkan pendekatan gerakan

sosial baru menggantikan gerakan sosial lama yang hanya berorientasi

terhadap isu yang berkaitan dengan materi dan bisanya terlabel pada

suatu kelompok (petani dan buruh). Di sisi lain, Tilly dan Zald (dalam

Singh, 2010) mengembangkan teori mobilisasi sumber daya untuk

memahami dampak dan capaian gerakan sosial. Tilly (1978)

mengkategorikan mobilisasi sendiri hadir melalui; kepentingan,

organisasi, mobilisasi, dan kesempatan. Sehingga ada kekuasaan lokal

yang lahir dari struktur masyarakat, oleh Tilly disebut sebagai social forces.

Kerangka Konseptual

Identitas teritorial tidak selalu menjadi landasan bagi

pembangunan saja, melainkan juga landasan perlawanan. Berdasarkan

pada pemaparan kajian-kajian teoritis di atas, maka penulis membuat

IDENTITAS TERITORIAL Studi Tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

18

kerangka konseptual pada penelitian yang dilakukan sebagai berikut

dalam skema di bawah ini.

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Berdasar pada skema di atas maka dapat dijelaskan bahwa,

identitas teritorial dan resistensi memiliki hubungan yang saling

melengkapi apabila bias pemahaman orang luar begitu mendominasi.

Dominasi orang luar melalui kebijakan pembangunan yang tidak

relevan dengan konteks atau wilayah, dapat menjadi basis perlawanan

apabila identitas teritorial difungsikan sebagai identitas perlawanan.

Dengan kata lain, identitas teritorial dan resistensi membentuk

identitas perlawanan oleh karena keterancaman identitas teritorial itu

sendiri. Ketika identitas teritorial terancam, adalah sangat penting

resistensi dilakukan sejalan dengan kekuasaan, kelembagaan, kebijakan,

maupun kecaman. Sehingga bagi penulis 4k ini adalah komponen

identitas teritorial dalam resistensi.

Identitas Teritorial

Resistensi (Kekuasaan, Kelembagaan,

Kebijakan, dan Kecaman)

Bias Pemahaman Orang Luar/Identitas Luar Melalui Kebijakan Pembangunan