25
BAB III PEMBAHASAN 3.1Systemic Lupus Erythematosus 3.1.1 Definisi dan Epidemiologi Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam(Kasjmir, et al., 2011).Istilah “lupus” pertama kali digunakan pada abad pertengahan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif. Pada tahun 1846, Ferdinand von Hebra memperkenalkan tentang malar rash. Dia juga memperkenalkan istilah “lupus erythematosus” dan mempublikasikannya pada Atlas of Skin Disease pada tahun 1856. Moriz Kaposi memperkenalkan pertama kali Lupus sebagai penyakit sistemik dengan manifestasi viseral (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang, pada pasien ini di dapatkan adanya malar rash, fotosensitifitas, arthritis, serositis, vaskulitis, limfopeni, serta gejala konstitusional, seperti kelelahan, demam, dan penurunan berat badan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa SLE adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam(Kasjmir, et al., 2011). 16

BAB 3 17 agt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 3

Citation preview

Page 1: BAB 3 17 agt

BAB III

PEMBAHASAN

3.1Systemic Lupus Erythematosus

3.1.1 Definisi dan Epidemiologi

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya,

memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit

yang beragam(Kasjmir, et al., 2011).Istilah “lupus” pertama kali digunakan pada

abad pertengahan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif. Pada tahun 1846,

Ferdinand von Hebra memperkenalkan tentang malar rash. Dia juga

memperkenalkan istilah “lupus erythematosus” dan mempublikasikannya pada

Atlas of Skin Disease pada tahun 1856. Moriz Kaposi memperkenalkan pertama

kali Lupus sebagai penyakit sistemik dengan manifestasi viseral (Bertsias,

Cervera, & Boumpas, 2012).

Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang, pada

pasien ini di dapatkan adanya malar rash, fotosensitifitas, arthritis, serositis,

vaskulitis, limfopeni, serta gejala konstitusional, seperti kelelahan, demam, dan

penurunan berat badan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa SLE adalah penyakit

inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran

gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang

beragam(Kasjmir, et al., 2011).

3.1.2 Epidemiologi

Prevalensi SLE di dunia sangat bervariasi(Bartels, 2014). Dalam 40 tahun

terakhir, SLE menjadi penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai

populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000(Isbagio,

Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Prevalensi tertinggi dilaporkan terjadi di

Italia, Spanyol dan Britania Raya (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Lebih dari 90% SLE terjadi pada wanita yang biasanya terjadi setelah

masa pubertas (Bartels, 2014). 65% pasien dengan SLE ditemukan pada usia 16

sampai 55 tahun, 20% terjadi pada usia sebelum 16 tahun dan 15% terjadi pada

usia 55 tahun (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Frekuensi pada wanita

16

Page 2: BAB 3 17 agt

17

dibandingkan dengan pria berkisar antara 5:1 (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah

Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1.4% kasus SLE dari totalkunjungan pasien di poliklinik Reumatologi

Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien

SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat kepoliklinik reumatologi selama

tahun 2010 (Kasjmir, et al., 2011). Insiden di Yogyakarta antara tahun 1983-1986

adalah 10,1 per 10.000 perawatan. Sedangkan di Medan antara tahun 1980-

1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut

kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-

97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Angka kematian pasien dengan

SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun

pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi

(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam

jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis (Kasjmir, et

al., 2011)

Dari hasil anamnesis pasien ini didapatkan bahwa pasien merupakan

seorang wanita dengan usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan teori tentang studi

epidemiologis yang menyatakan bahwa lebih dari 90% SLE terjadi pada wanita

yang biasanya terjadi setelah masa pubertas (Bartels, 2014). 65% pasien SLE

umumnya ditemukan pada usia 16 sampai 55 tahun.

3.1.2 Etiologi

Etiologi dari SLE termasuk faktor genetik dan faktor lingkungan dengan

gender wanita sangat berpengaruh terhadap pathogenesis. Faktor faktor ini

dapat menyebabkan gangguan irreversibel pada toleransi imun yang

dimanifestasikan oleh respon imun melawan antigen nuklear endogen(Bertsias,

Cervera, & Boumpas, 2012).

Faktor Genetik

Kejadian SLE yang lebih tinggi terjadi pada kembar monoazigotik (25%)

dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%). Peningkatan frekuensi SLE pada

Page 3: BAB 3 17 agt

18

keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan

prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor

genetik berperan dalam patogenesis SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010). Bersaudara kandung dengan pasien SLE mempunyai potensi

30 kali lebih besar untuk menjadi SLE dibandingkan dengan saudara kandung

yang tidak terkena SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Faktor genetik merupakan predisposisi terhadap perkembangan SLE.

Meskipun pada kasus SLE yang jarang mungkin dikaitkan dengan defisiensi gen

tunggal (komponen komplemen C1q dan C4). SLE lebih sering merupakan hasil

dari kombinasi dari variasi berbagai macam gen. Kekurangan komplemen C4

telah dikaitkan dengan berkurangnya eliminasi dari sel self-reactive B sedangkan

kekurangan dari C1q menyebabkan berkurangnya eliminasi dari bahan nekrosis

(limbah)(Tsokos, 2011). Penurunan aktivitas dari komplemen dapat

meningkatkan kepekaan terhadap penyakit karena berkurangnya kemampuan

netralisasi dan pembersihan, baik antigen diri sendiri (self antigen) maupun

antigen asing. Jika beban antigen melebihi batas kapasitas pembersihan dari

sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Faktor Hormonal

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.

Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan sesudah

menopause(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Hormon

berkontribusi melalui mekanisme yang belum diketahui dalam meningkatkan

prealensi SLE pada perempuan(Tsokos, 2011).

Metabolisme estrogen dan prolaktin yang abnormal dapat menyebabkan

autoimun(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Esterogen yang berlebihan

dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki laki dan

perempuan, mungkn bertanggung jawab terhadap perubahan sistem imun.

Sedangkan prolaktin diketahui menstimulasi respo imun humoral dan selular,

yang mana diduga mempunyai peranan dalam patogenesis SLE (Isbagio,

Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010)

Teori ini sesuai dengan kondisi pasien yang berjenis kelamin wanita

dengan usia 30 tahun yang menandakan bahwa pasien dalam usia produktif

sehingga faktor hormonal memungkinkan berperan dalam patogenesis SLE

Page 4: BAB 3 17 agt

19

pada pasien ini. Namun pada pasien ini, mengaku tidak ada riwayat keluarga

yang menderita penyakit serupa dengan pasien, namun tidak menutup

kemungkinan penyakit timbul karena faktor risiko lain.

3.1.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan

awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik

penyakit SLE seringkali tidak terjadi bersamaan (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Kelelelahan

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi kluinis lainnya. Kelelahan ini

dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes

toleransi latihan. Apabila kelelahan diakibatkan oleh aktifitas penyakit SLE, maka

diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah.

Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid

(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan biasanya terjadi pada sebagian penderita SLE

dan dapat terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan

berat badan pada penderita SLE disebabkan karena penurunan nafsu

makan(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Demam

Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil(Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Manifestasi Kulit

Lesi kulit yang spesifik terhadap lupus dapat diklasifikasi menjadi akut,

sub-akut dan kronik.

Lesi akut dari SLE adalah malar rash. Lesi ini muncul akut dengan terjadi

peninggian lesi, gatal dan sakit. Lesi ini ditimbulkan oleh karena paparan sinar

matahari. Ruam ini dapat bertahan selama beberapa hari sampai minggu. Ruam

akut dari SLE dapat bersifat sementara dan sembuh tanpa menimbulkan

skar(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Page 5: BAB 3 17 agt

20

Lesi Sub-Akut dari SLE adalah Subacute Cutaneous Lupus

Erythematosus (SCLE). Sekitar 50% pasien yang terkena SLE, hanya sekitar

10% saja yang mempunyai SCLE.Pasien dengan SCLE mempunyai insidensi

tinggi fotosensitivitas. Daerah yang biasa terkena SCLE adalah bahu, lengan

bawah, dan leher. Pasien dengan SCLE mungkin terdapat lesi kulit berbentuk

annular atau psoriasiform(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Lesi kronik pada SLE adalah Ruam Discoid, yang mana terjadi sekitar

25% pada pasien SLE. Karakteristik dari ruam ini adallah kemerahan, terdapat

persebaran ke folikel rambut. Ruam ini dapat dijumapai di wajah dan leher, akan

tetapi dapat juga dijumpai di telinga. Ruam ini menyebar dengan lambat dengan

inflamasi aktif dan kemudian sembuh, meninggalkan skar sentral, atropi,

telangiektasis dan dispigmentasi(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Fotosensitivitis adalah terjadinya ruam akibat terpapar sinar ultraviolet B

yang berasal dari sinar matahari. Hal ini teerjadi sekitar 60-100% pada penderita

SLE (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Dapat pula terjadi fenomena

Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan

dapat pula berupa bercak eritema (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana,

2010).

Manifestasi Muskuloskeletal

Arthritis/arthropathy sering terjadi pada SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi,

& Suarjana, 2010). Keluhan sering dianggap sebagai manifestasi arhtritis

rheumatoid karena keterlibatan banyak sendi kecil dan simetris(Bertsias,

Cervera, & Boumpas, 2012).

Miositis juga dapat terjadi pada pasien SLE dimana melibatkan otot

proksimal. Miositis dilaporkan terjadi 5-11% pada pasien dengan SLE. Selain itu,

Avascular Necrosis (AVN) dapat juga terjadi pada SLE. AVN adalah penyebab

morbiditas dan kecacatan pada pasien SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas,

2012).

Manifestasi Ginjal

Keterlibatan dari ginjal terjadi sekitar 40-70% pada semua pasien SLE

dan merupakan penyebab besar morbiditas(Bertsias, Cervera, & Boumpas,

2012). Rasio wanita dibanding pria dengan kelainan ginjal adalah 10:1 dengan

puncak insidensi antara usia 20-30 tahun(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010). Formasi dari imun kompleks di ginjal menyebabkan inflamsi

Page 6: BAB 3 17 agt

21

intra glomerulus dengan rekruitmen dari leukosit dan proliferasi pada sel sel di

ginjal. Proteinuria adalah tanda dari lupus nephritis dan biasanya disertai

hematuria(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Biopsi ginjal pada kasus ini

akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal pada

pasien SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit untuk ditegakkan karena

gambaran klinisnya begitu luas. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat

tidak terlalu banyak membantu proses penegakan diagnosis ini(Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi,

hemiparesis, llesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis atau myelitis

transversal. Sedangkan pada susunan syaraf perifer akan bermanifestasi

sebagai neuropati perifer, dan myasthenia gravi(Bertsias, Cervera, & Boumpas,

2012).

Manifestasi Kardiologis

Perikarditis terjadi hampir sekitar 25% dari pasien SLE(Bertsias, Cervera,

& Boumpas, 2012). Perikarditis harus dicurigai apabila adanya nyeri substernal,

friction rub, gambaran ekg dan ekokardiografi (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan

bermanifestasi sebagai angina pektoris, miokard infark, atau gagal jantung

kongestif. Keadaan ini daat dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan

jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang (Isbagio,

Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Manifestasi Paru dan Pleura

Manifestasi paru yang paling sering adalah pleuritis. Nyeri pleuritik terjadi

45-60% pada pasien SLE dan dapat muncul dengan atau tanpa pleural efusion,

serta dan atau adanya pleuritic friction rub (Bertsias, Cervera, & Boumpas,

2012). Manifestasi paru paru yang dapat terjadi baik berupa radang intersisial

parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum dan perdarahan

paru (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Hal ini terjadi sekitar 1-3%

pada pasien SLE (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).

Manifestasi Hematologi

Page 7: BAB 3 17 agt

22

Anemia adalah presentasi klinis yang sering pada SLE (Bertsias, Cervera,

& Boumpas, 2012). Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses

imun dan non imun. Anemia tanpa diperantarai proses imun adalah anemia

karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia

sideroblastik. Anemia diperantarai proses imun adalah anemia aplastik, anemia

hemolitik autoimun (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Manifestasi Liver dan Gastrointestinal

Manifestasi dari GI tract dilaporkan sebesar 25-40% pada pasien SLE.

Dispepsia dilaporkan sebesar 11-50% dan tukak lambung dilaporkan sebesar 4-

21%(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Keluhan keluhan ini banyak dijumpai

pada mereka yang memakai glukorkortikoid(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Nyeri abdominal yang disertai nausea dan muntah terjadi sekitar 30%

pada pasien SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Nyeri abdominal juga

dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum(Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Pada anamnesis, pasien mengatakan bahwa pasien sering merasa

kelelelahan padahal pasien tidak melakukan aktivitas berat. Terkadang kelelahan

juga dipicu setelah pasien keluar rumah dan terkena paparan sinar matahari.

Pasien mengeluh sempat demam tinggi mendadak namun tidak menggigil

Pasien ini juga mengeluhkan nafsu makan menurun sehingga terjadi penurunan

berat badan secara perlahan dalam 1 bulan. Berat badan awal pasien 51

kilogram dan saat ini berat badan pasien 48 kilogram. Hal ini sesuai dengan teori

bahwa pasien SLE dapat mengeluhkan gejala konstitusional seoerti kelelahan,

demam, dan penurunan berat badan.

Untuk manifestasi kulit, pada pasien ini mengeluhkan adanya bercak

merah kehitaman pada kedua pipi dialami sejak sekitar 5 bulan yang lalu,

awalnya berupa bercak merah kecil, semakin lama semakin lebar dan

menghitam, tidak gatal dan nyeri serta kemerahan pada telapak tangan. Sesuai

dengan teori, didapatkan malar rash dan vasculitis pada pasien ini

Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi terutama pada pundak, siku, lutut,

dan pergelangan tangan. Nyeri bersifat hilang timbul, bertambah jika dibuat

istirahat dan berkurang bila dibuat aktivitas. Pasien sempat merasa sendi pada

lututnya teraba hangat dan adanya kekakuan pada pagi hari setelah bangun

Page 8: BAB 3 17 agt

23

tidur selama kurang lebih 30 menit hinnga pasien tidak dapat bangun dari tempat

tidur, sehingga sesuai dengan teori manifestasi klinis muskuloskeletal.

Pada pada pasien ini didapatkan adanya perikarditis dari pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ada

pericardial friction rub. Pada elektrokardiografi menunjukkan adanya perikarditis

dan kardiomegali. Pada ekokardiografi menunjukkan adanya efusi pericarditis

berat. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Perikarditis harus dicurigai apabila

adanya nyeri substernal, friction rub, gambaran ekg dan ekokardiografi(Isbagio,

Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Pasien juga didapatkan adanya nyeri pleuritik yang di tandai dengan

pasien mengeluh adanya nyeri dada dirasakan di bagian kanan bawah seperti

ditusuk-tusuk tembus ke punggung dan dirasakan terus menerus. Terdapat efusi

pleura yang dapat dilihat dari gambaran foto thoraks X-Ray. Hal ini sesuai

dengan teori bahwa manifestasi paru paru yang paling sering adalah pleuritis

yang ditandai dengan adanya nyeri pleuritik terjadi 45-60% pada pasien SLE dan

dapat muncul dengan atau tanpa pleural efusion (Bertsias, Cervera, & Boumpas,

2012).Namun tidak didapatkan pleuritic friction rub pada pasien ini.

Pasien ini didapatkan manifestasi hematologi karena sesuai pada

pemeriksaan darah lengkap didapatkan limfopeni berdasarkan hasil Total

Lymphocyte Count (TLC) sebesar 1361,2/mm3. Pasien juga sering mengeluhkan

badan lemas dan didapatkan hasil direct coomb’s test +2 (positif). Pasien

mengeluhkan adanya nyeri abdomen pada regio epigastrik, Hal ini sesuai teori

karena pasien memiliki manifestasi gastrointestinal.

3.1.4 Kewaspadaan Akan Penyakit SLE

Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau

lebihkriteria,

1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

penurunanberat badan.

3.Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi

membran mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

Page 9: BAB 3 17 agt

24

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis

transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer(Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010).

Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2

atau lebih kriteria kewaspadaan SLE. Pada pasien ini telah terpenuhi 7 kriteria

kewaspadaan SLE yaitu pada poin 1,2,3,4,6,7,8,dan 10.

3.1.5 Diagnosis

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini

diartikansebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria

terpenuhi(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of

Rheumatology (ACR)revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan

dan tanda SLE dan padakondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropsikiatrik

lupus (NPSLE), maka dapat sajakriteria tersebut belum terpenuhi (Kasjmir, et al.,

2011).

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini

tidaklahmudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi

sebagai penyakitlain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,

dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit

SLE menjadi penting(Kasjmir, et al., 2011)

Tabel Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria ACR

Page 10: BAB 3 17 agt

25

B

B

Gambar 3.1 Kriteria SLE ACR

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%

dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA

positif,maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan

klinis. Bilahasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya

tes ANA positifdanmanifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan

observasi jangka panjang diperlukan(Kasjmir, et al., 2011).

Pada pasien ini didapatkan ruam malar, arthritis, serositis (perikarditis),

gangguan hematologik (limfopenia), dan ANA test positif. Sehingga terpenuhi 6

dari 11 kriteria.

Page 11: BAB 3 17 agt

26

Kriteria SLICC (Petri, 2012)

Page 12: BAB 3 17 agt

27

Gambar 3.2. Kriteria SLE SLICC

Menurut Peraturan SLICC pada pasien, Pasien hharus memenuhi syart

minimal 4 kriteria termasuk minimal 1 kriteria klinis dan 1 tanda imunologis ATAU

pasien telah dilakukan biopsi dan terbukti lupus nefritis dan terdapat antibodi

antinuklear atau antibodi anti-double-stranded DNA (Petri, 2012)

Pada pasien ini didapatkan ruam malar, nyeri pada sendi lebih dari 2

sendi, serositis (pada pasien ini perikarditis), limfopenia, ANA test (+), dan

Coomb test (+). Sehingga terpenuhi syarat 4 kriteria klinis dan 2 tanda

imunologis.

Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan

Monitoring

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila

diperlukankreatinin urin.

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))

6. Foto polos thorax

Pemeriksaan Serologi pada SLE

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE

adalah tes ANA generik. (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

dikerjakan/diperiksa hanya padapasien dengan tanda dan gejala mengarah pada

SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,

akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang

mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis

(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease

(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal

(Kasjmir, et al., 2011).

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,

tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis

Page 13: BAB 3 17 agt

28

dan berubah,mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan

datang terutama jikadidapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes

ANA dengan menggunakansel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan

gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan

(Kasjmir, et al., 2011).

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes

antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,

Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil

ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang

didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA

yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer

yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien

yang bukan SLE. Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif

menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak

menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30%

pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes

anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.

Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm

yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kasjmir, et al., 2011).

Karena pasien merupakan pasien umum sehingga pembayarannya tunai

maka pemeriksaan yang dilakukan hanya ANA test dan Coomb’s test. Hasil ANA

test pada pasien ini adalah 8,3 (positif) dan hasil Coomb’s test adalah +2 (positif).

Walaupun tidak semua pemeriksaan serologi diperiksakan, diagnosis SLE sudah

dapat ditegakkan.

3.1.6 Penilaian Aktifitas Penyakit SLE

Menilai aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian

terapi(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Perjalanan penyakit SLE yang

ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat

akan aktivitas penyakitnya. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti

SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk

menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan

pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium

canggih (Kasjmir, et al., 2011).

Page 14: BAB 3 17 agt

29

Page 15: BAB 3 17 agt

30

Gambar 3.3 SLE MEX SLEDAI (Kasjmir, et al., 2011)

Pada pasien ini didapatkan total skor MEX SLEDAI yaitu 9 , dengan rincian

berikut :

Artritis : 2

Gangguan Mukotaneous (Ruam malar) : 2

Serositis : 2

Fatigue : 1

Total : 7

3.1.7 Penatalaksanaan

Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah :

I. Edukasi dan konseling

II. Program rehabilitasi

III. Pengobatan medikamentosa

(Kasjmir, et al., 2011)

Edukasi

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan

dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu

dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan

Page 16: BAB 3 17 agt

31

pengetahuanakan masalah aktivitas � fisik, mengurangi atau mencegah

kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)

dengan memakaitabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur

(Kasjmir, et al., 2011)

Gambar 3.3 Butir butir edukasi terhadap pasien SLE (Isbagio, Kasjmir,

Setyohadi, & Suarjana, 2010)

Program Rehabilitasi

Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot

hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas

selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi

sekitar 1-5% per hari dalam kondisi mobilitas.(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &

Suarjana, 2010).

Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan

program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

e. Lain-lain.(Kasjmir, et al., 2011)

Medikamentosa

Page 17: BAB 3 17 agt

32

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien

dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek

samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi

dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk

meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah

standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya (Bertsias, Cervera,

& Boumpas, 2012).

Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse Terapi Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam

nyawa,induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan

intravena dengandosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3

hari berturut-turut (Kasjmir, et al., 2011)

Cara pengurangan dosis kortikosteroid

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai

dikurangisegera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara

hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol

yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis.

Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.

Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi,

serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari

40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu.

Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20

mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis

prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankandalam dosis rendah untuk

mengontrol aktivitas penyakit (Kasjmir, et al., 2011).

Page 18: BAB 3 17 agt

33

Gambar 3.4 Algoritma Penanganan SLE (Kasjmir, et al., 2011)

Pada pasien ini, pasien termasuk dalam SLE derajat sedang. Pasien ini

diterapi dengan Inj. Ceftriaxone 2x1 gr, PO :Methylprednisolon 3x16 mg dan

Azathioprine 2x50 mg. Dan juga diberikan edukasi mengenai penyakitnya seperti

bed rest, mobilisasi ringan jika tidak pusing, hindari cahaya matahari langsung.