Upload
vidia-meiranda-akib
View
254
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bab 3
Citation preview
BAB III
PEMBAHASAN
3.1Systemic Lupus Erythematosus
3.1.1 Definisi dan Epidemiologi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya,
memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit
yang beragam(Kasjmir, et al., 2011).Istilah “lupus” pertama kali digunakan pada
abad pertengahan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif. Pada tahun 1846,
Ferdinand von Hebra memperkenalkan tentang malar rash. Dia juga
memperkenalkan istilah “lupus erythematosus” dan mempublikasikannya pada
Atlas of Skin Disease pada tahun 1856. Moriz Kaposi memperkenalkan pertama
kali Lupus sebagai penyakit sistemik dengan manifestasi viseral (Bertsias,
Cervera, & Boumpas, 2012).
Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang, pada
pasien ini di dapatkan adanya malar rash, fotosensitifitas, arthritis, serositis,
vaskulitis, limfopeni, serta gejala konstitusional, seperti kelelahan, demam, dan
penurunan berat badan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa SLE adalah penyakit
inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran
gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang
beragam(Kasjmir, et al., 2011).
3.1.2 Epidemiologi
Prevalensi SLE di dunia sangat bervariasi(Bartels, 2014). Dalam 40 tahun
terakhir, SLE menjadi penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai
populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000(Isbagio,
Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Prevalensi tertinggi dilaporkan terjadi di
Italia, Spanyol dan Britania Raya (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
Lebih dari 90% SLE terjadi pada wanita yang biasanya terjadi setelah
masa pubertas (Bartels, 2014). 65% pasien dengan SLE ditemukan pada usia 16
sampai 55 tahun, 20% terjadi pada usia sebelum 16 tahun dan 15% terjadi pada
usia 55 tahun (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Frekuensi pada wanita
16
17
dibandingkan dengan pria berkisar antara 5:1 (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari totalkunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien
SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat kepoliklinik reumatologi selama
tahun 2010 (Kasjmir, et al., 2011). Insiden di Yogyakarta antara tahun 1983-1986
adalah 10,1 per 10.000 perawatan. Sedangkan di Medan antara tahun 1980-
1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut
kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-
97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Angka kematian pasien dengan
SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun
pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis (Kasjmir, et
al., 2011)
Dari hasil anamnesis pasien ini didapatkan bahwa pasien merupakan
seorang wanita dengan usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan teori tentang studi
epidemiologis yang menyatakan bahwa lebih dari 90% SLE terjadi pada wanita
yang biasanya terjadi setelah masa pubertas (Bartels, 2014). 65% pasien SLE
umumnya ditemukan pada usia 16 sampai 55 tahun.
3.1.2 Etiologi
Etiologi dari SLE termasuk faktor genetik dan faktor lingkungan dengan
gender wanita sangat berpengaruh terhadap pathogenesis. Faktor faktor ini
dapat menyebabkan gangguan irreversibel pada toleransi imun yang
dimanifestasikan oleh respon imun melawan antigen nuklear endogen(Bertsias,
Cervera, & Boumpas, 2012).
Faktor Genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi terjadi pada kembar monoazigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%). Peningkatan frekuensi SLE pada
18
keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor
genetik berperan dalam patogenesis SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010). Bersaudara kandung dengan pasien SLE mempunyai potensi
30 kali lebih besar untuk menjadi SLE dibandingkan dengan saudara kandung
yang tidak terkena SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
Faktor genetik merupakan predisposisi terhadap perkembangan SLE.
Meskipun pada kasus SLE yang jarang mungkin dikaitkan dengan defisiensi gen
tunggal (komponen komplemen C1q dan C4). SLE lebih sering merupakan hasil
dari kombinasi dari variasi berbagai macam gen. Kekurangan komplemen C4
telah dikaitkan dengan berkurangnya eliminasi dari sel self-reactive B sedangkan
kekurangan dari C1q menyebabkan berkurangnya eliminasi dari bahan nekrosis
(limbah)(Tsokos, 2011). Penurunan aktivitas dari komplemen dapat
meningkatkan kepekaan terhadap penyakit karena berkurangnya kemampuan
netralisasi dan pembersihan, baik antigen diri sendiri (self antigen) maupun
antigen asing. Jika beban antigen melebihi batas kapasitas pembersihan dari
sistem imun, maka autoimunitas mungkin terjadi(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Faktor Hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan sesudah
menopause(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Hormon
berkontribusi melalui mekanisme yang belum diketahui dalam meningkatkan
prealensi SLE pada perempuan(Tsokos, 2011).
Metabolisme estrogen dan prolaktin yang abnormal dapat menyebabkan
autoimun(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Esterogen yang berlebihan
dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki laki dan
perempuan, mungkn bertanggung jawab terhadap perubahan sistem imun.
Sedangkan prolaktin diketahui menstimulasi respo imun humoral dan selular,
yang mana diduga mempunyai peranan dalam patogenesis SLE (Isbagio,
Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010)
Teori ini sesuai dengan kondisi pasien yang berjenis kelamin wanita
dengan usia 30 tahun yang menandakan bahwa pasien dalam usia produktif
sehingga faktor hormonal memungkinkan berperan dalam patogenesis SLE
19
pada pasien ini. Namun pada pasien ini, mengaku tidak ada riwayat keluarga
yang menderita penyakit serupa dengan pasien, namun tidak menutup
kemungkinan penyakit timbul karena faktor risiko lain.
3.1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan
awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik
penyakit SLE seringkali tidak terjadi bersamaan (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Kelelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE
dan biasanya mendahului berbagai manifestasi kluinis lainnya. Kelelahan ini
dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan diakibatkan oleh aktifitas penyakit SLE, maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid
(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan biasanya terjadi pada sebagian penderita SLE
dan dapat terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan
berat badan pada penderita SLE disebabkan karena penurunan nafsu
makan(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Demam
Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil(Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Manifestasi Kulit
Lesi kulit yang spesifik terhadap lupus dapat diklasifikasi menjadi akut,
sub-akut dan kronik.
Lesi akut dari SLE adalah malar rash. Lesi ini muncul akut dengan terjadi
peninggian lesi, gatal dan sakit. Lesi ini ditimbulkan oleh karena paparan sinar
matahari. Ruam ini dapat bertahan selama beberapa hari sampai minggu. Ruam
akut dari SLE dapat bersifat sementara dan sembuh tanpa menimbulkan
skar(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
20
Lesi Sub-Akut dari SLE adalah Subacute Cutaneous Lupus
Erythematosus (SCLE). Sekitar 50% pasien yang terkena SLE, hanya sekitar
10% saja yang mempunyai SCLE.Pasien dengan SCLE mempunyai insidensi
tinggi fotosensitivitas. Daerah yang biasa terkena SCLE adalah bahu, lengan
bawah, dan leher. Pasien dengan SCLE mungkin terdapat lesi kulit berbentuk
annular atau psoriasiform(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
Lesi kronik pada SLE adalah Ruam Discoid, yang mana terjadi sekitar
25% pada pasien SLE. Karakteristik dari ruam ini adallah kemerahan, terdapat
persebaran ke folikel rambut. Ruam ini dapat dijumapai di wajah dan leher, akan
tetapi dapat juga dijumpai di telinga. Ruam ini menyebar dengan lambat dengan
inflamasi aktif dan kemudian sembuh, meninggalkan skar sentral, atropi,
telangiektasis dan dispigmentasi(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
Fotosensitivitis adalah terjadinya ruam akibat terpapar sinar ultraviolet B
yang berasal dari sinar matahari. Hal ini teerjadi sekitar 60-100% pada penderita
SLE (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Dapat pula terjadi fenomena
Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan
dapat pula berupa bercak eritema (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana,
2010).
Manifestasi Muskuloskeletal
Arthritis/arthropathy sering terjadi pada SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi,
& Suarjana, 2010). Keluhan sering dianggap sebagai manifestasi arhtritis
rheumatoid karena keterlibatan banyak sendi kecil dan simetris(Bertsias,
Cervera, & Boumpas, 2012).
Miositis juga dapat terjadi pada pasien SLE dimana melibatkan otot
proksimal. Miositis dilaporkan terjadi 5-11% pada pasien dengan SLE. Selain itu,
Avascular Necrosis (AVN) dapat juga terjadi pada SLE. AVN adalah penyebab
morbiditas dan kecacatan pada pasien SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas,
2012).
Manifestasi Ginjal
Keterlibatan dari ginjal terjadi sekitar 40-70% pada semua pasien SLE
dan merupakan penyebab besar morbiditas(Bertsias, Cervera, & Boumpas,
2012). Rasio wanita dibanding pria dengan kelainan ginjal adalah 10:1 dengan
puncak insidensi antara usia 20-30 tahun(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010). Formasi dari imun kompleks di ginjal menyebabkan inflamsi
21
intra glomerulus dengan rekruitmen dari leukosit dan proliferasi pada sel sel di
ginjal. Proteinuria adalah tanda dari lupus nephritis dan biasanya disertai
hematuria(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Biopsi ginjal pada kasus ini
akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal pada
pasien SLE(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit untuk ditegakkan karena
gambaran klinisnya begitu luas. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat
tidak terlalu banyak membantu proses penegakan diagnosis ini(Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi,
hemiparesis, llesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis atau myelitis
transversal. Sedangkan pada susunan syaraf perifer akan bermanifestasi
sebagai neuropati perifer, dan myasthenia gravi(Bertsias, Cervera, & Boumpas,
2012).
Manifestasi Kardiologis
Perikarditis terjadi hampir sekitar 25% dari pasien SLE(Bertsias, Cervera,
& Boumpas, 2012). Perikarditis harus dicurigai apabila adanya nyeri substernal,
friction rub, gambaran ekg dan ekokardiografi (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan
bermanifestasi sebagai angina pektoris, miokard infark, atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini daat dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan
jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang (Isbagio,
Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Manifestasi Paru dan Pleura
Manifestasi paru yang paling sering adalah pleuritis. Nyeri pleuritik terjadi
45-60% pada pasien SLE dan dapat muncul dengan atau tanpa pleural efusion,
serta dan atau adanya pleuritic friction rub (Bertsias, Cervera, & Boumpas,
2012). Manifestasi paru paru yang dapat terjadi baik berupa radang intersisial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum dan perdarahan
paru (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010). Hal ini terjadi sekitar 1-3%
pada pasien SLE (Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012).
Manifestasi Hematologi
22
Anemia adalah presentasi klinis yang sering pada SLE (Bertsias, Cervera,
& Boumpas, 2012). Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses
imun dan non imun. Anemia tanpa diperantarai proses imun adalah anemia
karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia
sideroblastik. Anemia diperantarai proses imun adalah anemia aplastik, anemia
hemolitik autoimun (Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Manifestasi Liver dan Gastrointestinal
Manifestasi dari GI tract dilaporkan sebesar 25-40% pada pasien SLE.
Dispepsia dilaporkan sebesar 11-50% dan tukak lambung dilaporkan sebesar 4-
21%(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Keluhan keluhan ini banyak dijumpai
pada mereka yang memakai glukorkortikoid(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Nyeri abdominal yang disertai nausea dan muntah terjadi sekitar 30%
pada pasien SLE(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Nyeri abdominal juga
dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum(Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Pada anamnesis, pasien mengatakan bahwa pasien sering merasa
kelelelahan padahal pasien tidak melakukan aktivitas berat. Terkadang kelelahan
juga dipicu setelah pasien keluar rumah dan terkena paparan sinar matahari.
Pasien mengeluh sempat demam tinggi mendadak namun tidak menggigil
Pasien ini juga mengeluhkan nafsu makan menurun sehingga terjadi penurunan
berat badan secara perlahan dalam 1 bulan. Berat badan awal pasien 51
kilogram dan saat ini berat badan pasien 48 kilogram. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa pasien SLE dapat mengeluhkan gejala konstitusional seoerti kelelahan,
demam, dan penurunan berat badan.
Untuk manifestasi kulit, pada pasien ini mengeluhkan adanya bercak
merah kehitaman pada kedua pipi dialami sejak sekitar 5 bulan yang lalu,
awalnya berupa bercak merah kecil, semakin lama semakin lebar dan
menghitam, tidak gatal dan nyeri serta kemerahan pada telapak tangan. Sesuai
dengan teori, didapatkan malar rash dan vasculitis pada pasien ini
Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi terutama pada pundak, siku, lutut,
dan pergelangan tangan. Nyeri bersifat hilang timbul, bertambah jika dibuat
istirahat dan berkurang bila dibuat aktivitas. Pasien sempat merasa sendi pada
lututnya teraba hangat dan adanya kekakuan pada pagi hari setelah bangun
23
tidur selama kurang lebih 30 menit hinnga pasien tidak dapat bangun dari tempat
tidur, sehingga sesuai dengan teori manifestasi klinis muskuloskeletal.
Pada pada pasien ini didapatkan adanya perikarditis dari pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ada
pericardial friction rub. Pada elektrokardiografi menunjukkan adanya perikarditis
dan kardiomegali. Pada ekokardiografi menunjukkan adanya efusi pericarditis
berat. Hal ini sesuai dengan teori bahwa Perikarditis harus dicurigai apabila
adanya nyeri substernal, friction rub, gambaran ekg dan ekokardiografi(Isbagio,
Kasjmir, Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Pasien juga didapatkan adanya nyeri pleuritik yang di tandai dengan
pasien mengeluh adanya nyeri dada dirasakan di bagian kanan bawah seperti
ditusuk-tusuk tembus ke punggung dan dirasakan terus menerus. Terdapat efusi
pleura yang dapat dilihat dari gambaran foto thoraks X-Ray. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa manifestasi paru paru yang paling sering adalah pleuritis
yang ditandai dengan adanya nyeri pleuritik terjadi 45-60% pada pasien SLE dan
dapat muncul dengan atau tanpa pleural efusion (Bertsias, Cervera, & Boumpas,
2012).Namun tidak didapatkan pleuritic friction rub pada pasien ini.
Pasien ini didapatkan manifestasi hematologi karena sesuai pada
pemeriksaan darah lengkap didapatkan limfopeni berdasarkan hasil Total
Lymphocyte Count (TLC) sebesar 1361,2/mm3. Pasien juga sering mengeluhkan
badan lemas dan didapatkan hasil direct coomb’s test +2 (positif). Pasien
mengeluhkan adanya nyeri abdomen pada regio epigastrik, Hal ini sesuai teori
karena pasien memiliki manifestasi gastrointestinal.
3.1.4 Kewaspadaan Akan Penyakit SLE
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebihkriteria,
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunanberat badan.
3.Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membran mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
24
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus,gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer(Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010).
Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2
atau lebih kriteria kewaspadaan SLE. Pada pasien ini telah terpenuhi 7 kriteria
kewaspadaan SLE yaitu pada poin 1,2,3,4,6,7,8,dan 10.
3.1.5 Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini
diartikansebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria
terpenuhi(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of
Rheumatology (ACR)revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan
dan tanda SLE dan padakondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropsikiatrik
lupus (NPSLE), maka dapat sajakriteria tersebut belum terpenuhi (Kasjmir, et al.,
2011).
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklahmudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakitlain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit
SLE menjadi penting(Kasjmir, et al., 2011)
Tabel Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria ACR
25
B
B
Gambar 3.1 Kriteria SLE ACR
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif,maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bilahasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positifdanmanifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan(Kasjmir, et al., 2011).
Pada pasien ini didapatkan ruam malar, arthritis, serositis (perikarditis),
gangguan hematologik (limfopenia), dan ANA test positif. Sehingga terpenuhi 6
dari 11 kriteria.
26
Kriteria SLICC (Petri, 2012)
27
Gambar 3.2. Kriteria SLE SLICC
Menurut Peraturan SLICC pada pasien, Pasien hharus memenuhi syart
minimal 4 kriteria termasuk minimal 1 kriteria klinis dan 1 tanda imunologis ATAU
pasien telah dilakukan biopsi dan terbukti lupus nefritis dan terdapat antibodi
antinuklear atau antibodi anti-double-stranded DNA (Petri, 2012)
Pada pasien ini didapatkan ruam malar, nyeri pada sendi lebih dari 2
sendi, serositis (pada pasien ini perikarditis), limfopenia, ANA test (+), dan
Coomb test (+). Sehingga terpenuhi syarat 4 kriteria klinis dan 2 tanda
imunologis.
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan
Monitoring
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukankreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya padapasien dengan tanda dan gejala mengarah pada
SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal
(Kasjmir, et al., 2011).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis
28
dan berubah,mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jikadidapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakansel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan
(Kasjmir, et al., 2011).
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien
yang bukan SLE. Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.
Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm
yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kasjmir, et al., 2011).
Karena pasien merupakan pasien umum sehingga pembayarannya tunai
maka pemeriksaan yang dilakukan hanya ANA test dan Coomb’s test. Hasil ANA
test pada pasien ini adalah 8,3 (positif) dan hasil Coomb’s test adalah +2 (positif).
Walaupun tidak semua pemeriksaan serologi diperiksakan, diagnosis SLE sudah
dapat ditegakkan.
3.1.6 Penilaian Aktifitas Penyakit SLE
Menilai aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian
terapi(Bertsias, Cervera, & Boumpas, 2012). Perjalanan penyakit SLE yang
ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat
akan aktivitas penyakitnya. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti
SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk
menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan
pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium
canggih (Kasjmir, et al., 2011).
29
30
Gambar 3.3 SLE MEX SLEDAI (Kasjmir, et al., 2011)
Pada pasien ini didapatkan total skor MEX SLEDAI yaitu 9 , dengan rincian
berikut :
Artritis : 2
Gangguan Mukotaneous (Ruam malar) : 2
Serositis : 2
Fatigue : 1
Total : 7
3.1.7 Penatalaksanaan
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah :
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
(Kasjmir, et al., 2011)
Edukasi
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
31
pengetahuanakan masalah aktivitas � fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakaitabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur
(Kasjmir, et al., 2011)
Gambar 3.3 Butir butir edukasi terhadap pasien SLE (Isbagio, Kasjmir,
Setyohadi, & Suarjana, 2010)
Program Rehabilitasi
Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot
hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas
selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi
sekitar 1-5% per hari dalam kondisi mobilitas.(Isbagio, Kasjmir, Setyohadi, &
Suarjana, 2010).
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan
program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.(Kasjmir, et al., 2011)
Medikamentosa
32
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi
dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya (Bertsias, Cervera,
& Boumpas, 2012).
Cara Pemberian Kortikosteroid
Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam
nyawa,induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan
intravena dengandosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3
hari berturut-turut (Kasjmir, et al., 2011)
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai
dikurangisegera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis.
Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.
Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi,
serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari
40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu.
Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20
mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis
prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankandalam dosis rendah untuk
mengontrol aktivitas penyakit (Kasjmir, et al., 2011).
33
Gambar 3.4 Algoritma Penanganan SLE (Kasjmir, et al., 2011)
Pada pasien ini, pasien termasuk dalam SLE derajat sedang. Pasien ini
diterapi dengan Inj. Ceftriaxone 2x1 gr, PO :Methylprednisolon 3x16 mg dan
Azathioprine 2x50 mg. Dan juga diberikan edukasi mengenai penyakitnya seperti
bed rest, mobilisasi ringan jika tidak pusing, hindari cahaya matahari langsung.