56
LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS ANALISIS FAKTOR PENGETAHUAN, PERILAKU, DAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN DIABETES MELITUS DI DESA KALISALAK KECAMATAN KEBASEN Disusun Oleh : Go Ferra Marcheela G G4A014069 Yolanda Shinta P G4A014070 Preceptor Lapangan : dr. Tri Lestari K Preceptor Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.Si KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT JURUSAN KEDOKTERAN UMUM

BAB I, BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

LAPORANCOMMUNITY HEALTH ANALYSIS

ANALISIS FAKTOR PENGETAHUAN, PERILAKU,DAN LINGKUNGAN

TERHADAP KEJADIAN DIABETES MELITUSDI DESA KALISALAK KECAMATAN KEBASEN

Disusun Oleh :

Go Ferra Marcheela G G4A014069Yolanda Shinta P G4A014070

Preceptor Lapangan : dr. Tri Lestari KPreceptor Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.Si

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITASILMU KESEHATAN MASYARAKAT

JURUSAN KEDOKTERAN UMUMFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

SEPTEMBER 2015

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS

ANALISIS FAKTOR PENGETAHUAN, PERILAKU,DAN LINGKUNGAN

TERHADAP KEJADIAN DIABETES MELITUSDI DESA KALISALAK KECAMATAN KEBASEN

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan Masyarakat

Jurusan Kedokteran UmumFakultas Kedokteran

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh

Go Ferra Marcheela G G4A014069Yolanda Shinta P G4A014070

Telah dipresentasikan dan disetujuiTanggal ……………….

Preseptor Lapangan

dr. Tri Lestari K . NIP 19700909.200212.2.004

Preseptor Fakultas

dr. Diah Krisnansari , M. S i NIP 19770202.200501.2.001

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak

ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia

Tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah

manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili

Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2,

Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang

terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terdapat

hampir di seluruh pelosok Indonesia (Candra, 2010).

Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara,

terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di

Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India.

Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang,

setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian

setiap tahun, diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi

dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus

dengue melalui gigitan nyamuk setempat (Knowlton, Solomon, Rotkin-

Ellman, Pitch, 2009).

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan

subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan

kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di

Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang

terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang

dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya

jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna

dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak

137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)

0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384

orang atau CFR 0,89% (Kusriasturi, 2010).

Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah

penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di

dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi

intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan

respon imun. Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk,

artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi,

diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang

memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain

itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas

penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan,

sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan

lainnya (Sari, 2005).

Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen merupakan desa dengan jumlah

penduduk 10.118 jiwa. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Banyumas, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue di

Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen yaitu sejumlah 2 orang menderita DBD,

sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di Desa Kalisalak

B. Tujuan

Tujuan Umum : Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian demam berdarah dengue di Desa Kalisalak.

Tujuan Khusus :

1. Menganalisis hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan

faktor perilaku, pengetahuan, dan lingkungan Desa Kalisalak

2. Mengetahui dan menganalisis faktor risiko yang paling dominan terhadap

kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak.

3. Melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap program

pemecahan masalah berkaitan dengan faktor risiko paling dominan

terhadap kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak.

C. Manfaat

a. Bagi Peneliti

1. Menambah wawasan bagi peneliti mengenai demam berdarah dengue

beserta faktor-faktor risikonya.

2. Memberikan pemahaman dan pengalaman bagi peneliti dalam

menganalisis masalah kesehatan di masyarakat termasuk

pemecahannya.

b. Bagi Puskesmas

Memberikan masukan kepada puskesmas mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian demam berdarah dengue Desa Kalisalak,

khususnya bagi tenaga kesehatan dalam menyampaikan penyuluhan,

sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai program lanjutan

pencegahan dan untuk menekan angka kejadian demam berdarah dengue

serendah mungkin

c. Bagi Masyarakat

Memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai demam

berdarah dengue dan faktor-faktor risikonya.

BAB II

ANALISIS SITUASI

A. Deskripsi, Situasi, Kondisi dan Wilayah Kerja Puskesmas

1. Keadaan Geografis

Kecamatan Kebasen merupakan salah satu bagian wilayah

Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 53,99 km2. Kecamatan

Kebasen terdiri dari 12 desa dengan batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Patikraja

b. Sebelah Selatan : Kecamatan Sampang dan Kecamatan

Kroya Kabupaten Cilacap

c. Sebelah Timur : Kecamatan Banyumas dan Kecamatan

Kemranjen

d. Sebelah Barat : Kecamatan Rawalo

Gambar 1. Denah Wilayah Puskesmas Kebasen

Pemanfaatan lahan di Kecamatan Kebasen dapat dirinci sebagai

berikut :

a. Tanah Sawah : 1.049,60 Ha (19,43 %)

b. Tanah Pekarangan/ Bangunan : 1.542,33 Ha (28,56 %)

c. Tanah Tegal/ Kebun : 1.041,66 Ha (19,29 %)

d. Tanah Kebasen : 10,800 Ha (0,20 %)

e. Tanah Hutan Negara : 916,000 Ha (16,96 %)

f. Tanah Perkebunan Rakyat : 565,100 Ha (10,44 %)

g. Lain-lain : 274,025 Ha (5,09 %)

2. Keadaan Demografi

a. Pertumbuhan Penduduk.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen

tahun 2014 jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 61.090 jiwa

terdiri dari 31.097 jiwa laki-laki ( 50,9 % ) dan 29.993 jiwa perempuan

( 49,1 % ) tergabung dalam 15.733 rumah tangga / KK. Jika

dibandingkan dengan kondisi tahun 2013 jumlah penduduk dalam

tahun 2014 mengalami peningkatan.( sumber data dari dirjen

kependudukan dan catatan sipil)

Jumlah penduduk tahun 2014 yang tertinggi di desa Kalisalak

sebanyak 10.118 jiwa, sedangkan terendah di desa Tumiyang 1.476

jiwa. Apabila kita bandingkan dengan luas wilayah, kepadatan

penduduk kecamatan Kebasen sebesar 1.131 / km2.

Kepadatan penduduk Kecamatan Kebasen tahun 2014 sebesar

1.131/km2. Dengan kepadatan tertinggi ada di desa Cindaga dengan

tingkat kepadatan sebesar 2.045/km2

b. Tingkat Pendidikan

Tabel 2.2. Jenis Pendidikan menurut Jenis Kelamin

No Jenis PendidikanJenis Kelamin

JumlahLaki-laki Perempuan

1 Tidak/Belum Tamat

SD/MI

7.806 7.866 15.672

2 Tamat SD/MI 9.960 10.197 20.157

3 SLTP/Sederajat 3.481 2.836 6.317

4 SLTA/Sederajat 1.997 1.432 3.429

5 Diploma III 392 311 703

6 Universitas 248 158 406

Jumlah 23884 22800 46684

Tingkat pendidikan masyarakat Kebasen di dominasi dengan

tamat SD atau MI dengan jumlah 20.157 jiwa.Masyarakat yang

berpendidikan hingga jenjang universitas memiliki jumlah yang sedikit

yaitu 406 jiwa.Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan

masyarakat Kebasen cukup rendah.

c. Mata Pencaharian

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan

Kebasen tahun 2014, mata pencaharian atau jenis pekerjaan penduduk

di Kecamatan Kebasen 10 besar yaitu petani (30,68%), buruh tani

(42,67%), pengusaha (0,62%), buruh industri (4,45%), buruh

bangunan (6,08%), pedagang (4,41%), pengangkutan (1,19%), PNS

(1,80%), ABRI (0,26%), pegawai BUMN/BUMD (2,47%), pensiunan

(0,05%), penggalian (1,82%), jasa sosial (0,28%) dan lain-lain

(3,22%).

B. Pencapaian Program Kesehatan

1. Derajat Kesehatan Masyarakat

Untuk melihat gambaran derajat kesehatan masyarakat di

Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 disajikan dalam uraian yang yang

mencakup mortalitas, morbiditas dan status gizi masyarakat.

Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian,

kesakitan dan status gizi yang ada di masyarakat. Selain sebagai salah satu

indikator derajat kesehatan masyarakat, kejadian kematian, kesakitan dan

status gizi masyarakat juga dapat digunakan sebagai indikator dalam

menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan

kesehatan lainnya. Perkembangan kejadian kematian, penyakit dan staus

gizi masyarakat di Kecamatan Kebasen pada periode tahun 2014 disajikan

dalam uraian di bawah ini.

a. Mortalitas

1) Angka Kematian Bayi

Berdasarkan tabel 8 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 di Kecamatan Kebasen ada 958 lahir hidup, dengan 11

lahir mati dan jumlah bayi mati sebesar 3 bayi. Angka kematian

bayi (AKB) di Kecamatan Kebasen sebesar 3,1 per 1000 lahir

hidup, sehingga AKB dilaporkan sebesar 3,1. Sedangkan AKB

tahun 2013 sebesar 7,6. Dengan demikian ada penurunan AKB

sebesar 4,5 . Hal ini disebabkan adanya penurunan jumlah

kelahiran hidup pada tahun 2014 sebesar 958 lahir hidup

dibandingkan tahun 2013 sebanyak 1054 lahir hidup. Jika

dibandingkan dengan IIS 2013 AKB di Kecamatan Kebasen

terhitung rendah (IIS 2012 = 40 per 1000 kelahiran hidup). Dan

juga didukung oleh peningkatan kualitas pelayanan dengan

bertambahnya kemampuan tenaga medis dan paramedis untuk

penanggulangan kegawatdaruratan lewat pelatihan atau diklat yang

diikuti.

Tingginya angka kematian bayi menunjukkan masih

rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dapat

disebabkan oleh masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan

kesehatan masyarakat khususnya pelayanan kesehatan ibu dan

anak, perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat khususnya ibu

saat hamil serta lingkungan masyarakat yang belum sepenuhnya

mendukung pentingnya kesehatan.

2) Angka Kematian Ibu

Berdasarkan tabel 8 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 di Kecamatan Kebasen jumlah kematian ibu hamil 0,

ibu bersalin 0 dan ibu nifas sebanyak 0 orang. Angka Kematian Ibu

(AKI) di Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebesar 0 per

100.000 kelahiran hidup.

AKI tahun 2013 di Kecamatan Kebasen sebesar 0 per

100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian AKI di Kecamatan

Kebasen pada tahun 2014 tidak mengalami perubahan dan masih

bisa mempertahankan dalam nilai 0. Menurut IIS 2014 AKI sebesar

150 per 100.000 kelahiran hidup, dengan demikian AKI di

Kecamatan Kebasen dibawah AKI menurut IIS 2014. Ini

menunjukan bahwa program kesehatan di Kecamatan Kebasen

cukup baik. Ditunjang dengan pelayanan dan kompetensi dari

tenaga medis dan paramedis yang semakin meningkat.

3) Angka Kematian Balita

Berdasarkan tabel 7 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 di Kecamatan Kebasen jumlah Balita sebanyak 4.767

anak, jumlah balita mati adalah 4 anak. Dengan demikian Angka

Kematian Balita di tahun 2014 sebesar 2,1 per 1000 kelahiran

hidup. Sedangkan Angka Kematian Balita di tahun 2013 sebesar

17,1 per 1000 kelahiran hidup. Dengan demikian pada tahun 2014

ada penurunan Angka Kematian Balita. Ini menunjukkan program

kesehatan di Kecamatan Kebasen cukup baik. Agar tidak terjadi

peningkatan angka kematian anak, maka perlu dilakukan upaya-

upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemandirian masyarakat

tentang kesahatan melalui pemberdayaan dan pengembangan upaya

kesehatan bersumber daya masyarakat seperti POSYANDU, Desa

Siaga, Dana Sehat dan lainnya selain program kesehatan yang

dilaksanakan oleh Puskesmas dan untuk puskesmas sendiri lebih

meningkatkan lagi hal promotif dan preventif disamping pelayanan

pengobatan.

4) Angka Kecelakaan

Berdasarkan tabel 80 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 di Kecamatan Kebasen terjadi kecelakaan lalu lintas

sebanyak 39 kejadian dengan dengan jumlah korban sebanyak 36

orang luka ringan ,3 orang luka berat, dan tidak ada korban

meninggal.

Dibanding kejadian kecelakaan lalu lintas tahun 2013

sebanyak 45 kejadian dengan jumlah korban sebanyak 36 luka

ringan dan 8 luka berat ,korban meninggal 0. Angka kejadian

kecelakaan lalu lintas pada tahun 2014 menurun dibanding tahun

2013. Hal ini dimungkinkan mulai ada kesadaran dari pengendara

motor ataupun mobil untuk disiplin dalam berlalulintas.

b. Morbiditas

1) Penyakit Malaria

Berdasarkan tabel 24 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 terjadi kasus Malaria positif sebanyak 4 kasus atau

Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk.

Sedangkan kejadian kasus Malaria Positif pada tahun 2013

sebanyak 4 kasus atau Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1

per 1000 penduduk. Dengan demikian di Kecamatan Kebasen tidak

terjadi peningkatan kejadian kasus malaria positif. Hal ini bisa

dipertahankan dengan peran aktifnya medis, paramedis, petugas

surveilan, promkes, bidan desa dalam preventif dan promotifnya

dan juga dibantu oleh juru malaria desa. Dan daerah endemis

malaria di Kecamatan Kebasen masih berada di desa Kalisalak.

2) TB Paru

Dari tabel 11 dalam buku profil ini, pada tahun 2014

ditemukan kasus baru TB Paru BTA positif sebanyak 25 kasus ,

klinis 33 dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif sebanyak 60

kasus. Dengan demikian angka Penemuan Penderita TB Paru BTA

positif (CDR) di Kecamatan Kebasen sebesar 38,46 %. Dibanding

periode yang sama pada tahun 2013 ditemukan kasus baru BTA

positif sebanyak 30 kasus dengan perkiraan jumlah kasus BTA

positif sebanyak 65 kasus dengan CDR sebesar 46,15%. Dengan

demikian ada penurunan CDR pada tahun 2014 dibanding tahun

2013.

Hal ini dimungkinkan kurangnya screening dari pemegang

program atau kurang aktifnya pemegang program, medis dan

paramedis untuk melakukan penjaringan di keluarga dengan

BTA+.

3) HIV

Dari tabel 14 dalam buku profil ini, pada tahun 2014 di

Kecamatan Kebasen tidak ditemukan kasus HIV. Begitu pula di

tahun 2013 adalah 0 kasus. Hal ini dimungkinkan tidak

terdeteksinya kasus HIV di wilayah atau memang tidak ada kasus.

4) Acute Flaccid Paralysis

Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000

penduduk usia kurang dari 15 tahun. Target penemuan kasus di

Kabupaten banyumas adalah 8 kasus. Bila dilihat dari tabel 9 dalam

buku profil ini, di Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 tidak

ditemukan kasus AFP.

5) Demam Berdarah Dengue

Dari tabel 23 dalam buku profil ini, jumlah kasus DBD di

Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebanyak 9 kasus dengan

angka kesakitan DBD sebesar 14,7 per 100.000 penduduk.

Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus DBD sebanyak 8 kasus

dengan angka kesakitan DBD sebesar 13,1 per 100.000 penduduk.

Dengan demikian terjadi peningkatan kasus DBD pada tahun 2014

dibanding tahun 2013. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin

tingginya mobilitas penduduk ,kurangnya kesadaran masyarakat

untuk melakukan pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin

dan berkesinambungan, dan kurangnya pengetahuan dari

masyarakat tentang DBD dan pemberantasannya. Masyarakat

hanya mengetahui untuk penatalaksaan pemberantasan DBD hanya

dengan fogging tanpa PSN, mungkin kurangnya preventif dan

promotif dari petugas kesehatan ke masyarakat.

c. Status Gizi

Pada tahun 2014 di Kecamatan Kebasen terdapat 1.338 bayi dan

3.789 anak balita dengan bayi mendapat vitamin A satu kali sebanyak

1.338 bayi (100%), anak balita mendapat vitamin A dua kali sebanyak

3.687 (97,308%). Dan pada tabel 44 didapati anak BGM sebanyak 75

mendapatkan MP ASI 156 dan ditemukan kasus balita gizi buruk 4

katagori BB/U dan katagori BB/TB 1 anak semuanya sudah mendapat

PMT pemulihan baik dari anggaran APBN (BOK) dan BLUD, dengan

pengawasan dan evaluasi dari petugas kesehatan baik medis,

pemegang program gizi dan dibantu oleh bidan desa akhirnya 5 yang

terkatagori gizi buruk terjadi peningkatan BB yang signifikan.

2. Pelayanan Kesehatan Dasar

a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam

pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang

dialami seorang ibu apalagi yang sedang hamil bisa berpengaruh

terhadap kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa

pertumbuhan bayi dan anaknya.

1) Pelayanan K4

Masa kehamilan merupakan masa yang rawan kesehatan,

baik kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang

dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan

pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan guna mencegah

gangguan sedini mungkin dari segala sesuatu yang membahayakan

kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya.

Berdasarkan tabel 28 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil di

Kecamatan Kebasen sebanyak 1.019 ibu hamil , adapun ibu hamil

yang mendapat pelayanan K-4 adalah sebesar 993 atau 97,4 % ibu

hamil. Dibandingkan dengan tahun 2013 yang mendapatkan

pelayanan K-4 sejumlah 1010 atau 88,98 % Berarti pelayanan K-4

mengalami peningkatan sebesar 8,42%

Pada prinsipnya kegiatan-kegiatan dalam rangka pelayanan

K-4 sudah dilaksanakan secara maksimal, hal itu dikarenakan

kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan

pada waktu hamil sudah meningkat. Selain itu juga petugas

kesehatan telah berusaha maksimal dalam memotivasi kepada ibu

hamil. Dan adanya kerjasama yang baik juga antara BPM dan

Puskesmas.

Standar Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan ibu

hamil K-4 sebesar 95%. Dengan demikian untuk Kecamatan

Kebasen memenuhi target tercapai standar pelayanan minimal.

2) Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)

Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir

sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara

lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).

Jumlah ibu bersalin tahun 2014 sesuai tabel 28 sebanyak

971 orang, jumlah yang ditolong oleh nakes sebanyak 964 orang

atau 99,3%. Dibandingkan tahun 2013 jumlah ibu bersalin 1.083

orang, jumlah persalinan yang ditolong nakes 1.083 orang atau

100%. Berarti pelayanan persalinan oleh Nakes mengalami

penurunan sebesar 0,7%.

Target Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan

persalinan oleh nakes tahun 2014 sebesar 90 %. Dengan demikian

cakupan persalinan nakes Kecamatan Kebasen tahun 2014 sudah

memenuhi standar pelayanan minimal, walaupun mengalami

penurunan, hal ini masih adanya praktek dukun bersalin yang harus

ditingkatkan pembinaannya oleh puskesmas lewat kerjasama lintas

sektor.

Namun demikian kegiatan-kegiatan yang mendukung

pencapaian SPM tersebut masih tetap harus dilaksanakan untuk

lebih meningkatkan cakupan antara lain ditingkatkannya kerjasama

bidan untuk terselenggaranya PONED secara maksimal,

pengembangan kompetensi medis, bidan dan paramedis lainnya

baik dengan update kebidanan dan pelatihan, pengembangan

Pondok Bersalin Desa (Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan

Desa (PKD).

3) Ibu Hamil Risiko Tinggi dirujuk

Sesuai table 31 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil resiko

tinggi (resti) di Kecamatan Kebasen 204. Adapun jumlah ibu hamil

resti yang dirujuk 200 (98,1 %). Dibandingkan jumlah bumil resti

tahun 2013 adalah 217 orang maka tahun 2014 jumlah bumil resti

mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena tingginya

kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya serta

adanya Bidan di setiap desa sehingga setiap ada kelainan segera

terdeteksi dan mendapat penanganan.

4) Bayi dan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berdasarkan tabel 26, pada tahun 2014 jumlah bayi baru

lahir hidup sebanyak 958 bayi dengan berat badan lahir rendah

(BBLR) sebanyak 19 bayi atau 2% dari bayi yang lahir. Dari

sejumlah BBLR tersebut sudah ditangani 100 %.

Jika dibandingkan dengan tahun 2013 jumlah bayi baru

lahir hidup sebanyak 994 bayi, jumlah bayi BBLR sebanyak 46

bayi atau 4,5% dari bayi baru lahir dan tertangani 100%. Untuk

tahun 2014 berarti terjadi penurunan sebesar 2,5%. Ini sangat

dimungkinkan dengan meningkatnya kesadaran ibu hamil untuk

selalu memeriksakan kehamilan di fasilitas pelayanan kesehatan

dan tentunya lebih gencarnya promosi dari petugas kesehatan.

Target SPM tahun 2014 untuk penanganan kasus BBLR adalah

100%. Penanganan kasus BBLR di Kecamatan Kebasen sudah

sesuai target SPM Kabupaten.

5) Pelayanan Keluarga Berencana

Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi

terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita untuk melahirkan

menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang

wanita biasanya antara 15 – 49 tahun . Oleh karena itu untuk

mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita /

pasangan ini lebih diprioritaskan untuk menggunakan alat/ cara

KB.

Berdasarkan data yang dihimpun pada tabel 35, tahun 2014

jumlah pasangan usia subur (PUS) berdasarkan sumber dari Badan

Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB sebesar 13859

pasangan. Jumlah PUS tahun 2013 sebesar 13704 sehingga

mengalami peningkatan.

Jika kita perhatikan tabel 35 bahwa jumlah PUS tertinggi

terdapat di desa Cindaga yaitu sebanyak 2.349 yang sebelumnya

juga di desa Cindaga. Peserta KB aktif pada tahun 2014 sebesar

10473 atau 75,6%. Sedangkan tahun 2013 sebesar 10534 atau

76,9% sehingga jumlah peserta KB aktif mengalami penurunan.

Hal ini dikarenakan menurunnya tingkat kesadaran masyarakat

terhadap KB yang berpengaruh besar terhadap kualitas generasi

yang dilahiran dan pengaruh terhadap kesehatan ibu hamil, dengan

semakin banyak anak semakin besar resiko yang dihadapi pada saat

kehamilan atau dikarenakan kurang aktifnya pemegang program

dalam promosi tentang kualitas KB.

6) Pelayanan Imunisasi

Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi

untuk bayi umur 0 – 1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak, HB)

imunisasi untuk wanita usia subur/ ibu hamil (TT) dan imunisasi

untuk anak sekolah SD( kelas 1 : DT, dan kelas 2-3 : TD ).

Jumlah desa di Kecamatan Kebasen sebanyak 12 desa. Desa

Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2014 berdasarkan

tabel 38 sebanyak 12 desa atau 100 %.

Dibandingkan tahun 2013 desa Universal Child Imunization

(UCI) sebanyak 12 desa atau 100% berarti sama. Terget SPM

untuk desa UCI tahun 2012 sebesar 100%. Dengan demikian

Kecamatan Kebasen pada tahun 2012 sudah memenuhi target SPM.

3. Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Rujukan dan Penunjang

Pelayanan dapat dilayani melalui Puskesmas sebagai pelayanan

kesehatan dasar dan Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan.

Jumlah kunjungan baru rawat jalan yang dihimpun dari profil kesehatan

berdasarkan tabel 58 sebesar 21596 atau 35,4 % dari jumlah penduduk ,

dibanding tahun lalu mengalami peningkatan,

Jumlah kunjungan baru pasien rawat inap sebanyak 1648 pasien

atau 2,7 % dari jumlah penduduk dibanding tahun 2013 sebesar 1446

orang atau 1,36 % berarti mengalami peningkatan sekitar 1,34 %. Target

kunjungan rawat jalan berdasarkan Indonesia Sehat 2014 sebesar 15 %

dengan demikian penggunaan fasilitas kesehatan rawat jalan di Kecamatan

Kebasen tahun 2012 belum memenuhi target. Sedangkan untuk

penggunaan fasilitas kesehatan rawat inap di Kecamatan Kebasen bila

dibandingkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2014 sebesar 1,5% maka

masyarakat Kecamatan Kebasen dalam pemanfaatan fasilitas rawat inap

sudah diatas target.

4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

1) Pencegahan dan Pemberantasan Polio

Menurut sumber dari petugas surveilan Puskesmas Kebasen

tahun 2014 kasus Acute Flacid Paralysiss (AFP) di Kecamatan

Kebasen tidak ada.

Standar pelayanan Minimal untuk AFP rate per 100.000

penduduk < 15 tahun adalah. Adapun standar penemuan kasus polio

adalah 1 per 100.000 penduduk usia kurang dari 15 tahun (2 kasus

dari anak). Dengan demikian penemuan AFP tahun 2014 tidak ada

2) Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru

Bersumber dari petugas TB Paru Puskesmas tahun 2014 kasus

TB Paru sebanyak 25 kasus BTA + dengan angka kesembuhan 23

orang (95,83%). Standar pelayanan minimal untuk kesembuhan

penderita TBC BTA positif (>85%). Dengan demikian kesembuhan

penderita di Kecamatan Kebasen dibanding dengan SPM sudah

tercapai. Tentunya didukung dengan kepatuhan minum obat, dan

adanya home visit rutin dan PMO.

3) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA

Berdasarkan data dari petugas ISPA Puskesmas Kebasen yang

terhimpun dalam tabel 13, tahun 2014 perkiraan kasus pneumonia

balita sebanyak 477 anak sedangkan yang ditemukan dan ditangani

sebanyak 19 anak atau 4%. Dari jumlah kasus tersebut semua yang

ditemukan seluruhnya (100%) ditangani dengan baik.

Jika dibandingkan dengan tahun 2013, yang ditangani dan

ditemukan sebanyak 7 anak maka 2014 terjadi peningkatan kasus

pneumonia yang ditemukan dan ditangani walaupun masih sangat

dibawah standart.

Standar Pelayanan Minimal untuk balita dengan pneumonia

yang ditangani sebesar 100%. Dibandingkan dengan SPM sudah

tercapai, tetapi dalam hal penemuan kasus kurang dari target (10% X

jumlah balita). Hal ini disebabkan karena masih lemahnya dalam

penegakan diagnosa pneumonia balita. Kondisi tersebut dapat diatasi

melalui pertemuan pemantapan program dan pelatihan MTBS

(Managemen Terpadu Balita Sakit) untuk dokter, perawat dan bidan.

4) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS

Dari tabel 14 dalam buku profil ini, pada tahun 2014 di

Kecamatan Kebasen tidak ditemukan kasus HIV.

5) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD

Dari tabel 23 dalam buku profil ini, jumlah kasus DBD di

Kecamatan Kebasen pada tahun 2014 sebanyak 9 kasus dengan angka

kesakitan DBD sebesar 14,7 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada

tahun 2013 jumlah kasus DBD sebanyak 8 kasus dengan angka

kesakitan DBD sebesar 13,1 per 100.000 penduduk. Dengan demikian

terjadi peningkatan kasus DBD pada tahun 2014 dibanding tahun

2013. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat

untuk melakukan pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin dan

berkesinambungan, dan rendahnya ilmu pengetahuan tentang DBD

dan pencegahannya di masyarakat.

6) Pengendalian Penyakit Malaria

Berdasarkan table 24 dalam lampiran buku profil ini, pada

tahun 2014 terjadi kasus Malaria positif sebanyak 4 kasus atau Angka

Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk. Sedangkan

kejadian kasus Malaria Positif pada tahun 2013 sebanyak 4 kasus atau

Angka Kesakitan Malaria (API) sebesar 0,1 per 1000 penduduk.

Dengan demikian di Kecamatan Kebasen tidak terjadi peningkatan

kasus malaria positif pada tahun 2014 dan tahun 2013. Daerah

endemis malaria di Kecamatan Kebasen ada di desa Kalisalak.

7) Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan

KLB

Berdasarkan data yang dihimpun petugas Kesling tidak

terdapat desa terkena KLB kurang dari 24 jam ditangani.

8) Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor untuk nyamuk, yang dilakukan secara

rutin adalah dengan gerakan PSN, abatisasi, fogging dan penyuluhan.

Namun langkah yang paling efektif adalah dengan PSN.

Pada tahun 2014 dari sejumlah 15.733 rumah / bangunan yang

ada, diperiksa sebanyak 8685 rumah, yang terbukti bebas jentik

sebanyak 7137 rumah.

Jika dibandingkan dengan tahun 2013 bangunan yang ada

15702 diperiksa 8682 yang terbukti bebas jentik 7123.

5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar

1) Pelayanan Kesehatan Lingkungan

Berdasarkan tabel 68, tahun 2014 jumlah institusi yang terdiri

sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah dan perkantoran di

Kecamatan Kebasen yang dibina kesehatan lingkungannya sebanyak

290 buah, yang dibina 231 buah (79,66 %).

Standar pelayanan minimal untuk institusi yang dibina sebesar

70% dengan demikian institusi yang dibina di Kecamatan Kebasen

sudah mencapai standar.

2) Pelayanan Hygiene Sanitasi Tempat Tempat Umum

Pada tahun 2014 jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang

diperiksa persyaratan kesehatannya sebanyak 336 buah, TTU yang

memenuhi syarat kesehatan sebanyak 256 buah dari TTU yang

diperiksa sebanyak 291 (87,97 %).

Dibandingkan pada tahun 2013, TTU yang memenuhi syarat

kesehatan sebanyak 260 buah dari 291 buah TTU yang diperiksa.

Secara kuantitas dan secara kualitas TTU yang diperiksa tidak

mengalami perubahan.

3) Rumah Sehat

Berdasarkan tabel 62 diketahui bahwa tahun 2014 dari 15.733

rumah yang ada, diperiksa sebanyak 8796 rumah, yang memenuhi

syarat kesehatan sebanyak 5514 atau 62,69%. Jika dibandingkan

dengan tahun 2013 dari 7893 rumah yang diperiksa sebanyak 3767

rumah yang memenuhi syarat kesehatan. Secara kuantitas dan secara

kualitas mengalami peningkatan.

Cakupan rumah sehat ini tidak dapat menggambarkan kondisi

rumah sehat seluruh wilayah Kecamatan Kebasen mengingat hasil

cakupan hanya berdasarkan pada jumlah rumah yang diperiksa (tidak

seluruh rumah diperiksa).

4) Tempat-Tempat Umum

Pada tahun 2014 jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang

diperiksa persyaratan kesehatannya sebanyak 336 buah, TTU yang

memenuhi syarat kesehatan sebanyak 256 buah dari TTU yang

diperiksa sebanyak 291 (87,97 %).

Dibandingkan pada tahun 2013, TTU yang memenuhi syarat

kesehatan sebanyak 260 buah dari 291 buah TTU yang diperiksa.

Secara kuantitas dan secara kualitas TTU yang diperiksa tidak

mengalami perubahan.

BAB III

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar Permasalahan Kesehatan Yang Ada (Berdasar Data Sekunder

Puskesmas Kebasen) Bulan Juli 2015

Masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara harapan dan apa yang

dicapai, oleh karena itu seringkali menimbulkan sebuah perasaan tidak puas.

Dalam penetapan masalah sebuah masalah diperlukan tiga syarat yang harus

dipenuhi, antara lain: adanya kesenjangan, adanya rasa tidak puas, adanya rasa

tanggung jawab untuk menanggulangi masalah.

Tabel 3.1. Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Kebasen

No Penyakit Jumlah Kunjungan tiap Kasus

1 ISPA 349

2 Hipertensi 208

3 Mialgia 148

4 Dispepsia 143

5 Kulit 80

6 Cephalgia 65

7 Diabetes Melitus 62

8 Asma 29

9 GE 26

10 CHF 22

Sumber: Data Sekunder Puskesmas Kebasen 2015

B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)

Penentuan prioritas masalah di wilayah kerja Puskesmas Kebasen dengan

menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4

kelompok kriteria, yaitu:

1. Kelompok kriteria A :besarnya masalah

2. Kelompok kriteria B :kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak,

urgensi dan biaya

3. Kelompok kriteria C :kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian

terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah

4. Kelompok kriteria D :PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety,

economic, acceptability, resources availability, legality

Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di

Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut :

1. Kriteria A (Besarnya Masalah)

Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya

penduduk yang terkena efek langsung.

Tabel 3.2. Kriteria A (Besarnya Masalah)

Masalah Kesehatan

Besarnya masalah dari data sekunder Puskesmas Kebasen

Nilai0-50

(1)

51-100

(2)

101-200

(3)

201-400

(4)

ISPA X 4

Hipertensi X 4

Mialgia X 3

Dispepsia X 3

Kulit X 2

Cephalgia X 2

Diabetes Melitus X 1

Asma X 1

GE X 1

CHF X 1

2. Kriteria B (kegawatan masalah)

Kegawatan (paling cepat mengakibatkan kematian)

1. Tidak gawat

2. Kurang gawat

3. Cukup gawat

4. Gawat

5. Sangat gawat

Urgensi (harus segera ditangani, apabila tidak ditangani dapat menyebabkan

kematian)

1. Tidak urgen

2. Kurang urgen

3. Cukup urgen

4. Urgen

5. Sangat urgen

Biaya (biaya penanggulangan)

1. Sangat murah

2. Murah

3. Cukup mahal

4. Mahal

5. Sangat mahal

Tabel 3.3. Kriteria B (Kegawatan Masalah)

Masalah Kesehatan Keparahan Urgensi Biaya NilaiISPA 1 1 1 1

Hipertensi 3 3 4 3,3

Mialgia 1 1 1 1

Dispepsia 1 1 1 1

Kulit 1 1 1 1

Cephalgia 1 1 1 1

Diabetes Melitus 3 3 4 3,3

Asma 3 2 2 2,6

GE 2 3 1 2

CHF 4 3 4 3,6

3. Kriteria C (Penanggulangan Masalah)

Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan yang

harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang tersedia

mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam penanggulangan, skor

yang diberikan makin kecil.

a. Sangat sulit ditanggulangi

b. Sulit ditanggulangi

c. Cukup bisa ditanggulangi

d. Mudah ditanggulangi

e. Sangat mudah ditanggulangi

Pada tahap ini dilakukan pengambilan suara dari 2 orang yang

kemudian dirata-rata untuk menentukan skor, dimana skor tertinggi

merupakan masalah yang paling mudah ditanggulangi.

Tabel 3.4. Kriteria C (Penanggulangan Masalah)

Masalah Penanggulangan Masalah

ISPA3

Hipertensi3

Mialgia3

Dispepsia3

Kulit4

Cephalgia4

Diabetes Melitus3

Asma3

GE3

CHF1

4. Kriteria D (PEARL faktor)

Propriety : Kesesuaian (1/0)

Economic : Ekonomi murah (1/0)

Acceptability : Dapat diterima (1/0)

Resources availability : Tersedianya sumber daya (1/0)

Legality : Legalitas terjamin (1/0)

Tabel 3.5. Kriteria PEARL

Masalah P E A R L Hasil ISPA 1 1 1 1 1 1Hipertensi 1 1 1 1 1 1Mialgia 1 1 1 1 1 1Dispepsia 1 1 1 1 1 1Kulit 1 1 1 1 1 1Cephalgia 1 1 1 1 1 1Diabetes Melitus 1 1 1 1 1 1Asma 1 1 1 1 1 1GE 1 1 1 1 1 1CHF 1 1 1 1 1 1

Penetapan nilai

Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut

dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :

Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B) x C

Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D

Tabel 3.6. Urutan Prioritas Masalah

Masalah Kesehatan A B C NPD D NPT Prioritas

ISPA4 1 3 15 1 15 3

Hipertensi4 3,3 3 21,9 1 21,9 1

Mialgia3 1 3 12 1 12 4

Dispepsia3 1 3 12 1 12 5

Kulit2 1 4 12 1 12 6

Cephalgia2 1 4 12 1 12 7

Diabetes Melitus1 3,3 3 15,9 1 15,9 2

Asma1 2,6 3 10,8 1 10,8 8

GE1 2 3 9 1 9 9

CHF1 3,6 1 4,6 1 4,6 10

Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan

prioritas masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Hipertensi

2. Diabetes Melitus

3. ISPA

4. Mialgia

5. Dispepsia

6. Kulit

7. Cephalgia

8. Asma

9. GE

10. CHF

BAB IV

KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau

gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai

dengan gejala hiperglikemia disertai dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat dari defisiensi insulin.

Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi dari sel beta

pankreas atau disebabkan karena kurang responsifnya sel-sel tubuh

terhadap insulin (WHO, 1999)

Diabetes mellitus adalah Diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

(Sudoyo Aru,2006).

2. Etiologi

Etiologi dari diabetes melitus adalah

a. Mutasi genetik yang menyebabkan defek fungsi dari sel β.

b. Defek genetik pada kerja insulin.

c. Penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas.

d. Endokrinopati.

e. Obat dan bahan-bahan kimia.

f. Infeksi (Powers, 2008).

3. Epidemiologi

Pada tahun 2006, menurut WHO diperkirakan 171 juta orang di

seluruh dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total

populasi. Angka insidennya terus meningkat dengan cepat, dan

diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah menjadi 366

juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. Diabetes Mellitus yang lebih

sering dijumpai adalah diabetes mellitus tipe II, dan sering dijumpai di

negara berkembang. Peningkatan jumlah yang terbesar di Asia dan

Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,

seperti pola makan “Western- style” yang tidak sehat.

Dengan tingginya angka penderita diabetes mellitus di Indonesia,

dapat disimpulkan bahwa gaya hidup dan pola diet orang Indonesia harus

diperbaiki. Dengan pembuatan refrat ini diharapkan dapat membantu

dalam mengatasi angka prevelensi yang tinggi pada penyakit diabetes

mellitus. Perlu diketahui bahwa masih banyak orang yang menganggap

penyakit diabetes mellitus merupakan penyakit orangtua atau penyakit

yang timbul karena faktor keturunan, padahal setiap orang mungkin

menjadi pasien diabetik, tua atau muda. Persepsi yang salah ini lah yang

akan dirubah, supaya angka kejadian dari penyakit ini bisa menurun.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007, dari 24.417 responden berusia >15 tahun, 10,2%

mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl

setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak

1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2%

mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik diabetes

mellitus maupun TGT( lebih banyak ditemukan pada wanita

dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan tingkat

pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM

paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %,

sedangkan kelompok usia penderita diabetes mellitus terbanyak adalah

55-64 tahun yaitu 13,5%.

Indonesia memiliki angka penderita Diabetes Mellitus (DM) yang

terssembunyi, sehingga menimbulkan iceberg phenomenon. Hanya 1,5%

penduduk Indonesia yang mengetahui bahwa mereka menderita DM,

sedangkan 4,2% penduduk penderita DM lainnya tidak mengetahui jika

mereka menderita DM. Sedangkan 10,2% penduduk sudah masuk

kategori TGT (toleransi glukosa terganggu). Hal ini menjadi perlu

menjadi perhatian penting pemerintah agar segera ditindaklanjuti

mengingat jumlah penderita DM di Indonesia yang semakin meningkat

tahun ke tahun (National Health Survey, 2007).

4. Patogenesis

Patogenesis DM dapat dibedakan dari tipe I dan tipe II sebagai

berikut.

a. Patogenesis DM Tipe I

Penderita DM memiliki kerentanan genetik, dimana

kerentanan ini akan diaktivasi oleh faktor lingkungan seperti

infeksi, diet yang tidak seimbang, dan lain-lain. Infeksi akan

menyebabkan peradangan pada pankreas terutama di regio sel

beta sehingga akan mengaktivasi sel-sel imunitas untuk datang ke

lokasi inflamasi. Limfosit akan menginfiltrasi jaringan untuk

kemudian melakukan aksi pertahanan tubuhnya. Sel TH akan

mengaktivasi sel TC dan sel B. Sel B akan berdiferensiasi menjadi

sel plasma dan berproliferasi. Setelah itu sel plasma akan

memproduksi antibodi yang mengenali antigen. Namun, pada

penderita DM tipe I terjadi transformasi sel beta pankreas

sehingga sel ini akan dikenali sebagai sel asing oleh komponen

imun. Sel plasma akan memproduksi autoantbodi yang

menyerang sel beta pankreas sehingga terjadi ADCC (antibody

dependent cell citotoxicity) yang akhirnya mendestruksi sel beta.

Dampaknya adalah penurunan produksi insulin sehingga akan

terjadi keadaan hiperglikemia (Powers, 2005).

b. Patogenesis DM Tipe II

Terdapat tiga fase dalam patogenesis DM tipe II. Pasien DM

tipe II pada awalnya sudah mengalami resistensi insulin pada sel

perifer. Hal ini multifaktorial, bisa disebabkan karena kurangnya

latihan fisik, diet yang berbahaya, serta kerentanan genetik.

Namun dalam fase ertama ini, resistensi insulin masih dapat

dikompensasi dengan produksi insulin yang meningkat.

Kemudian dalam fase kedua, resistensi insulin memburuk

sehingga peningkatan kadar insulin tidak dapat mengkompensasi

resistensi tersebut. Hasilnya, glukosa darah menunjukkan

peningkatan dari kadar normal. Hal ini merupakan fenomena

hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin

tidak berubah namun sel beta menunjukkan penurunan sekresi

insulin sehingga keadaan hiperglikemia menjadi permanen.

Penurunan sekresi ini disebabkan oleh adanya glukosa darah

tinggi yang memberikan efek toksik bagi sel beta pankreas. Selain

itu bisa juga disebabkan oleh defek genetik dan adanya obesitas.

Obesitas menunjukkan kadar lipid yang tinggi dalam tubuh, dan

saat oksidasi lipid dilakukan, beberapa hasil reaksi akan

menghambat kerja insulin (yang sudah sedikit) sehingga efek

insulin cenderung menurun terus-menerus (Powers, 2005).

5. Patofisiologi

Ketika kadar glukosa meningkat ke kadar dimana jumlah glukosa

yang tersaring melebihi kemampuan sle tubulus melakukan reabsorpsi

maka glukosa muncul dalam urin (Glukosuria). Glukosa di urin

menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya,

menyebabkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering

berkemih). Besarnya cairan yang keluar dari tubuh menyebabkan

dehidrasi. Yang selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi

perifer karena berkurnagnya volume darah secara mencolok.

Kegagalan sirkulasi ini, jika tidak diperbaiki dapat menyebabkan

kematian karena berkurangnya aliran darah ke otak atau gagal ginjal

sekunder akibat kurangnya tekanan filtrasi. Lebih lanjut, sel-sel

kehilangan air sewaktu tubuh mengalami dehidrasi akibat ekstrasel

yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap penciutan, sehingga

dapat terjadi malfungsi sistem saraf. Gejala khas lain pada diabetes

melitus adalah polidipsia (rasa haus yang berlebihan) yang sebenarnya

adalah mekanisme kompensasi untuk melawan dehidrasi (Sherwood,

2011).

Pada defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga

terjadi polifagia. Namun meskipun asupan makan bertambah terjadi

penurunan berat akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme

lemak dan protein. Sintesis trigliserida berkurang sementara lipolisis

meningkat, menyebabkan mobilisasi besar-besaran asam-asam leamk

dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak darah sebagian

besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif.

Peningkatan pemakaian asam lemak oleh hati menyebabkan pelepasan

badan-badan keton secara berlebihan kedalam darah, menyebabkan

ketosis (Sherwood,2011).

a. Hubungan dengan alkohol

Alkohol disinyalir dapat menyebabkan hipersekresi

glucocorticoid sehingga akhirnya menyebabkan keadaan

hiperglikemia akibat stimulasi glukoneogenesis yang meningkat

oleh cortison. Hal ini menyebabkan sindrom Cushing pada

kelompok etiologi mimikri yang sudah dijelaskan di atas.

Sindrom Cushing tersebut menimbulkan gejala hiperglikemia

serta ketidakseimbangan hormon dalam tubuh, sehingga pada

akhirnya akan menyebabkan diabetes mellitus sekunder akibat

hormonal (Williams and Dluhy, 2005). Selain itu, konsumsi

alkohol pada akhirnya akan menyebabkan radang pankreas

menahun dimana akan terjadi penghancuran sel beta yang

menyebabkan hiposekresi insulin (Powers, 2005).

b. Penyebab merasa haus dan ingin minum minuman manis

Disaat penderita mengalami kondisi hiperglikemia dengan

abnormalitas insulin (baik sekresi maupun resistensi), terjadi

defisiensi glukosa yang dapat masuk ke dalam sel. Hal ini akan

menyebabkan metabolisme sel berkurang sehingga akan

mengakibatkan beberapa sel kekurangan nutrisi dan energi.

Sebagai feedback, sel-sel perifer akan mengirimkan sinyal baik

melalui autokrin, endokrin, parakrin, maupun melalui sinyal

elektrik via saraf menuju hipotalamus. Sinyal ini akan

diterjemahkan sebagai rasa haus dan lapar sehingga penderita

mengalami polidipsi dan polifagia (Sherwood, 2010).

Penderita akan lebih menyukai minuman manis sebagai

respon akan adanya “kekurangan glukosa” tubuh yang sebenarnya

tidak kurang namun hiperglikemia, tetapi tidak dapat masuk ke

sel karena adanya abnormalitas insulin. Selain itu polidipsi juga

terkait adanya stimulasi reseptor osmotik pembuluh darah yang

mendeteksi peningkatan tekanan osmotik darah (akibat

hiperglikemia, menyebabkan darah lebih kental). Hal ini memicu

respon minum di hipotalamus untuk menurunkan tekanan osmotik

darah dengan cara mengkonsumsi air. Polifagia juga dapat

disebabkan adanya peningkatan stimulasi rasa lapar oleh hormon

yang disekresikan gaster (Sherwood, 2010).

6. Manifestasi klinik

Gejala yang muncul pada diabetes melitus adalah peningkatan

jumlah urin yang disebabkan oleh diuresis osmotik sekunder akibat

dari hiperglikemia. Hal ini menyebabkan kehilangan glukosa berikut

air dan elektrolit ke dalam urin. Enuresis nokturnal dikarenakan

poliuria dapat menjadi tanda onset diabetes pada anak kecil. Haus

adalah akibat dari keadaan hiperosmolar (Masharani & German,

2011).

Kehilangan berat badan walaupun nafsu makan normal atau

bertambah adalah gejala yang biasa ditemui pada diabetes tipe 1 saat

sudah berkembang menjadi subakut selama beberapa minggu.

Hilangnya berat badan biasanya dikarenakan penurunan jumlah air,

glikogen dan simpanan trigliserida. Kehilangan berat badan yang

kronik karena pengurangan masa otot terjadi akibat diubahnya asam

amino menjadi glukosa dan badan keton (Masharani & German,

2011).

Berkurangnya volume plasma menyebabkan lemah dan pusing

karena hipotensi postural saat duduk atau berdiri. Berkurangnya

kalium total tubuh dan berlangsungnya proses katabolisme protein

otot berkontribusi pada terjadinya kelemahan. Parestesi dapat hadir

saat diagnosis diabetes tipe 1, beberapa ada yang hadir saat onset

diabetes berada pada fase sub akut. Hal ini mencerminkan

ketidaknormalan fungsi dari saraf sensorik periferal dan biasanya jelas

(Masharani & German, 2011).

Saat defisiensi insulin menjadi parah dan onset akut, gejala di atas

akan terjadi dalam waktu yang cepat. Ketoasidosis meningkatkan

dehidrasi dan hiperosmolaritas dengan menyebabkan anoreksia,

nausea dan muntah-muntah sehingga berpengaruh pada penggantian

cairan secara oral. Karena osmolaritas plasma meningkat menjadi

330mOsm/Kg (normalnya 285-285 mOsm/Kg) kesadaran yang lemah

terjadi. Dengan laju asidosis, pH menjadi 7,1 atau dibawahnya,

pernapasan yang dalam dan cepat terjadikarena tubuh berusaha

menghilangkan karbon asam. Dengan memburuknya asidosis, sistem

kardiovaskulartidak dapat mengatur vasokontriksi kompensasi

sehingga mengakibatkan beberapa pembuluh darah rusak (Masharani

& German, 2011).

7. Pemeriksaan Penunjang yang Dibutuhkan

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosis diabetes melitus adalah

a. Pemeriksaan glukosa urin.

b. Pemeriksaan mikroalbuminuria dan proteinuria.

c. Pemeriksaan glukosa darah.

d. Pemeriksaan urin dan serum keton.

e. Pemeriksaan toleransi glukosa oral.

f. Pemeriksaan toleransi glukosa intravena (Masharani & German, 2011).

8. Penatalaksanaan

a. Terapi Non-Medikamentosa

1. Pemberian edukasi

2. Perencanaan makanan

3. Kegiatan jasmani dan penurunan BB, bila BB lebih (Soegondo,

2009).

4. Diet adekuat.

Untuk memenuhi kebutuhan kalori penderita, kita harus

menghitungnya agar pasien dapat mengikuti program diet dan

asupan nutrisi yang sesuai dengan tubuhnya. Salah satu rumus yang

dpaat digunakan untuk menghitung kebutuhan kalori adalah Haris

Benedict, yaitu sebagai berikut (Gibney et al., 2005).

a) Untuk wanita : BEE = 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) - (4,7 x

U)

b) Untuk pria : BEE = 66,4 + (13,7 x BB) + (5 x TB) - (6,8 x

U)

b. Terapi Medikamentosa

DM tipe 1 : Melakukan injeksi insulin, ada 3 jenis insulin

b.1. Insulin kerja cepat : Insulin reguler, digunakan 15-20 menit

sebelum makan

a) Menurunkan kadar glukosa darah dalam waktu 20 menit

b) Mengalami puncak dalam 2-4 jam

c) Bekerja selama 6-8 jam

b.2. Insulin kerja sedang : Insulin isofan, digukan saat pagi dan

malam

a) Menurunkan kadar gula darah dalam waktu 1-3 jam

b) Mengalami puncak dalam waktu 6-10 jam

c) Bekerja selama 18-26 jam

b.3. Insulin kerja lambat : Insulin suspensi

a) Menurunkan kadar gula dalam waktu 6 jam

b) Bekerja selama 28-36 jam (Soegondo, 2009).

b.4. Pemberian insulin tergantung pada :

a) Keinginan penderita

b) Aktivitas penderita

c) Kecekatan penderita

d) Keseimbangan kadar glukosa (Soegondo, 2009).

DM tipe 2 : memberikan OHO (Obat Hiperglikemik Oral), yang

dibagi dalam 3 golongan :

b.1. Golongan Insulin Sensitizing

a) Contoh obat : Metformin

b) Dosis : 250-3000 mg, 2-3x sehari, lama

kerja 6-8 jam

c) Mekanisme : Menaikkan kepekaan tubuh terhadap

insulin dan menurunkan kadar

glukosa dalam tubuh.

d) Efek samping : Gangguan pencernaan

e) Kontra indikasi : Gangguan fungsi hati, infeksi berat,

alkoholisme, wanita hamil dan

menyusui

b.2. Golongan Sekretagok Insulin

a) Contoh obat : Klorpropamid

b) Dosis : 500 mg, 1x sehari, lama kerja 24

jam

c) Mekanisme : Menurunkan kadar glukosa dan

merangsang keluar insulin

d) Efek : Hipoglikemia

e) Konta indikasi : DM tipe 1, pasien yang gemuk (hati-

hati dalam pemakaiannya)

b.3. Golongan Penghambat Alfa Glukosa

a) Contoh obat : Acarbose

b) Dosis : 100-300 mg/hari

c) Mekanisme : Memperlambat proses pencernaan

karbohidrat jadi glukosa

d) Efek : Gangguan pencernaan

e) Kontra indikasi : Obstruksi saluran cerna, sirosis hati,

gangguan fungsi ginjal (Soegondo,

2009).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat.

b.1. Terapi dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan secara

bertahap.

b.2. Perhatikan cara kerja, lama kerja dan efek samping obat.

b.3. Pikirkan adanya interaksi obat bila digunakkan dengan obat

lain.

b.4. Harga obat yang terjangkau pasien (Soegondo, 2009).

9. Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut maupun

menahun, diantaranya adalah:

a. Penyulit akut

Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan

yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan

cara itulah angka kematianya dapat ditekan serendah mungkin.

1. Ketoasidosis diabetik

2. Hiperosmoar nonketotik

3. Hipoglikemia

b. Penyulit menahun

Makroangiopati yang melibatkan :

1. Pembuluh darah jantung dan otak

2. Pembuluh darah tepi

Mikroangiopati

1. Retinopati diabetik

2. Nefropati diabetik (Fauci, 2008)

B. Kerangka Konsep

C. Hipotesis