Bab i Konsep Bermain Anak

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Autisme atau gangguan pervasif pada anak mungkin menjadi sebuah beban bagi para orang tua yang belum mengerti dan memahami apa itu Autis dan bagaimana solusi menghadapi anak Autis. Autisme ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, prilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Dengan adanya metode diagnosis yang semakin berkembang jumlah anak penyandang autis akan semakin meningkat. Jumlah penderita autisme semakin mengkhawatirkan, karena sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di seluruh dunia. Di Indonesia jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat, hal tersebut dikuatkan dengan statemen yang diungkapkan oleh pembawa acara Mengenal Anak Autisme yang ditayangkan oleh Elsinta TV, pada tanggal 22 juli 2010 sekitar pukul 20.15 WIB. Dia menyatakan bahwa saat ini satu dari seribu anak Indonesia terkena gangguan autisme, mengenai kebenaran pernyataan tersebut, belum pasti, mungkin saja hanya spekulasi dan tidak berdasarkan pada riset atau sensus penderita autis di setiap wilayah. Namun coba kita telusuri, dari pernyataan tersebut jika diibaratkan bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia sekitar 20% saja, berarti jumlah anak Indonesia 65 juta jiwa dari sekitar 280 juta total penduduk indonesia, berarti jika perseribu anak salah satunya adalah autis, jumlah anak dengan gangguan autis berjumlah sekitar 65.000 anak. Dan bisa bertambah jika jumlah anak angkanya ternyata lebih besar dari perkiraan diatas. Angka 65.000 anak dengan gangguan autis adalah jumlah yang besar, jika mengingat minimnya tenaga profesional yang fokus dalam melakukan penanganan anak dengan gangguan perkembangan dan mempertimbangkan bahwa penanganan anak autis adalah one on one/ satu anak satu orang terapis. Jika mereview dari beberapa hasil penelitian yang dikeluarkan oleh para ahli, tentu saja angka tersebut sangat mendekati kebenaran, lihat saja sejak 1980 di Kanada dan Jepang pertambahan jumlah anak yang terkena gangguan autis mencapai 40 persen. Di California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Di Inggris pada awal 1

tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autisme. ( 04/09/2006, Dr. Widodo Judarwanto SpA). Angka kejadian autisme di dunia telah mencapai 15-20 per 10.000 anak (0,150,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Jumlah anak autis di seluruh dunia pada tahun 2007 sebanyak 35 juta dan pada tahun 2008 mencapai 60 juta. Setiap tahun, angka kejadian autisme meningkat pesat. Data dari Centre for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebutkan, kini 1 dari 110 anak di sana menderita autis. Angka ini naik 57 persen dari data tahun 2002 yang memperkirakan angkanya 1 dibanding 150 anak. Sedangkan di Indonesia sendiri data menunjukkan penderita autisme telah mencapai 1 dari 150 anak yang lahir dan diperkirakan meningkat secara drastis. Namun menurut Dr. Widodo pada tahun 2008, menyatakan bahwa diperkirakan jumlah anak autis di Indonesia dapat mencapai150-200ribu orang. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto mengatakan, di Jatim tahun 2009 terdapat 388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang. Selain itu, terdapat 93 sekolah inklusi dengan siswa berkebutuhan khusus 1.476 anak dan 15% diantaranya adalah anak autis (http://auitis.blogspot.com/). Ada beberapa terapi yang diberikan kepada anak autis dalam upaya peningkatan kecerdasan dan memperkaya kemampuan anak autis. Salah satunya adalah dengan menggunakan metode terapi bermain. Bagi anak bermain merupakan seluruh aktivitas anak termasuk bekerja, kesenangannya, dan merupakan metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain lain. Anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental, dan perkembangan emosinya. Melalui bermain, anak tidak hanya menstimulasi pertumbuhan otot-ototnya, tetapi lebih dari itu. Anak tidak sekedar melompat, melempar atau berlari. Tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosinya, perasaannya dan pikirannya. Kesenangan merupakan salah satu elemen pokok dalam bermain. Melalui bermain mereka mendapat pengalaman hidup yang nyata. Dengan bermain anak akan menemukan kekuatan serta kelemahannya sendiri, minatnya, cara menyelesaikan tugas-tugas dalam bermain dan lain lain. Bermain adalah unsur yang penting untuk perkembangan anak baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas dan social (Soetjiningsih,1995). Anak yang mendapat kesempatan cukup untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah berteman, kreatif dan cerdas, bila dibandingkan dengan mereka yang masa kecilnya kurang mendapat 2

kesempatan bermain. Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreativitasnya dan beradaptasi lebih efektif terhadap berbagai sumber stress. Dengan bermain anak dapat belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata, anak belajar dan mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang dan orang. Selain itu, dengan aktivitas bermain anak juga akan memperoleh stimulasi mental yang merupakan cikal bakal dari proses belajar pada anak untuk pengembangan, kecerdasan, ketrampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral, etika, dan sebagainya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat kita ambil rumusan masalahnya adalah Apakah ada Pengaruh Terapi Bermain terhadap Perkembangan Anak Autis 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 1.3.2 Tujuan Umum Tujuan Khusus Untuk mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap perkembangan anak autis.1. Untuk mengetahui apa itu Autisme. 2. Untuk mengetahui apa itu Terapi Bermain

3. Untuk mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap perkembangan anak autis. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat dari Segi Teoritis Memberikan gambaran tentang terapi bermain untuk anak autis kepada teman-teman mahasiswa untuk dapat mengetahui lebih dalam tentang terapi bermain untuk anak autis.

1.4.2

Manfaat dari Segi Praktis

Dengan mengetahui pengaruh terapi bermain terhadap perkembangan anak autis diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para orang tua dan klinik autis untuk mencoba menggunakan terapi bermain sebagai alternative dalam upaya peningkatan kemampuan sang anak. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Autisme2.1.1

Pengertian Autisme 4

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yg berarti self (diri sendiri). Berarti, autisme merupakan suatu paham yang tertarik pada dirinya sendiri. Autisme atau gangguan hingga autistik merupakan sesudahnya. sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem saraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak masa-masa Autisme mengakibatkan gangguan/keterlambatan pada bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Kondisi seperti itu tentu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak, baik fisik maupun mentalnya, sehingga perkembangan yang optimal pada anak tersebut sulit diharapkan (http://kulwith-ifitimut.blogspot.com/2009/01/terapibermain-bagi-penyandang-autisme.html). Sedikit berbeda dengan pernyataan diatas, menurut (A.Azis Halimul Hidayat, 2005) Autisme atau yang dikenal dengan sindroma keanner adalah suatu ketidakmampuan pada anak untuk bersosialisasi, mengalami kesulitan menggunakan bahasa, berprilaku berulang-ulang serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya dengan kata lain pada anak autisme dapat terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan atau gangguan pervasive. Dapat secara singkat dikatakan bahwa autism merupakan suatu keadaan anak dapat berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir atau berprilaku. Sedangkan menurut Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri. Yuniar (2002) menambahkan bahwa Autisma/Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Dari keempat pengertian yang telah dijabarkan diatas, nampaknya pendapat Yuniar (2000) yang paling operasional, sehingga pengertian Autisme adalah gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. 5

2.1.2A.

Jenis Autisme Menurut Faisal Yatim (2003), Autisme terdiri dari tiga jenis yaitu: Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan

gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat menimbulkan kecemasan.B.

Autisme reaktif ditandai dengan gejala penderita melakukan gerakan-

gerakan tertentu secara berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada usia 6-7 tahun, memiliki sifat rapuh, mudah terpengaruh dunia luar. C. Autisme yang timbul kemudian, jenis ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat atau ditambah adanya pengalaman yang baru. 2.1.3 Gajala Autisme Menurut Dr. Suriviana (2005), Gejala autisme berbeda beda dalam kuantitas dan kualitas, penyandang autisme infantil klasik mungkin memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat , tetapi kelainan ringan hanya memperlihatkan sebagian gejala saja. Kesulitan yang timbul, sebagian dari gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda (http://www.infoibu.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=67). Adapun beberapa gejala yang biasa timbul antara lain:A.

Gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal :1) Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara 2) Mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain

yang sering disebut sebagai bahasa planet3) Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang

sesuai4) Bicara tidak digunakan untuk komunikasi 5) Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian

, nada , maupun kata-katanya tanpa mengerti artinya6) Kadang bicara monoton seperti robot

7) Mimik muka datar 6

8) Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan

bereaksi dengan cepat.B.

Gangguan pada bidang interaksi sosial1) Menolak atau menghindar untuk bertatap muka 2) Anak mengalami ketulian 3) Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk 4) Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang 5) Bila menginginkan sesuatu dia akan menarik tangan orang yang terdekat

dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.6) Bila didekati untuk bermain justru menjauh 7) Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain 8) Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk

dipangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun9) Keengganan

untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya

dibandingkan terhadap orang tuanyaC.

Gangguan pada bidang perilaku dan bermain1) Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan

melakukan gerakan yang sama berulang-ulang sampai berjam-jam2) Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara

bermainnya juga aneh3) Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil-mobilan terus

menerus untuk waktu lama) atau sesuatu yang berputar4) Terdapat kelekatan dengan benda-benda tertentu, seperti sepotong tali,

kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana5) Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air

yang bergerak6) Perilaku ritualistik sering terjadi 7) Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana

sini, melompat-lompat, berputar-putar, memukul benda berulang-ulang 8) Dapat juga anak terlalu diam 7

D.

Gangguan pada bidang perasaan dan emosi1) Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis

tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya2) Tertawa-tawa sendiri , menangis atau marah-marah tanpa sebab yang

nyata3) Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak

mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktifE.

Gangguan dalam persepsi sensoris1) Mencium-cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja 2) Bila mendengar suara keras langsung menutup mata 3) Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot

untuk melepaskan diri dari pelukan 4) Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu 2.1.4 Penyebab Autisme

Penyebab Autisme belum diketahui secara pasti, beberapa hasil penelitian dari para ahli menyebutkan penyebab autisme antara lain: (Retno Sintowati, 2007) A. Faktor Psikososial Leo Kanner menduga autisme disebabkan oleh pola asuh yang salah. Kanner berpendapat bahwa sikap orang tua yang dingin dan kaku kurang bisa memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak dan menghambat kemampuan interaksi sosial pada anak. Namun dalam penelitian-penelitian berikutnya disimpulkan bahwa autisme tidak disebabkan oleh pola asuh orang tua yang salah. B. Faktor Genetik Sekitar tahun 2002 para ilmuwan telah berhasil menemukan gen penyebab autisme. Gen tersebut bernama neurexin 11. Neuriexin ini merupakan bagian 8

dari kumpulan gen yang membantu komunikasi sel saraf. Menurut para ilmuwan, neurexin berperan dalam terbentuknya sindrom autisme. C. Kelainan Otak Seorang peneliti (Minshew) menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil daripada anak normal. Peneliti ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembnagan otak telah terjadi pada trimester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran. Sedangkan pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein di dalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autisme sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan. D. Kelainan Neurotransmitter Neurotransmitter merupakan cairan kimiawi yang berfungsi menghantarkan impuls dan menterjemahkan respon yang dirterima. Jumlah neurotransmitter pada anak autis lebih rendah dari anak normal, yaitu sekitar 30-50%. Selain tiu, pada anak autis kedar serotonin dalam darahnya sangat tinggi, sedang dopaminnya sedikit. E. Kelainan Peptida di Otak Dalam keadaan normal, gluten (protein gandum) dan kasein (protein susu) dipecah dalam usus menjadi peptide dan asam amino. Peptide tersebut dalam jumlah kecil diserap di usus dan beredar dalam darah. Apabila peptide yang diserap usus berlebih, maka akan dikeluarkan melalui urin dan ada pula yang disaring kembali saat melewati sawar darah otak. Hal ini menyebabkan peptide yang masuk ke dalam otak hanya sedikit terutama gliadorphin (turunan peptide gluten) dan casomordophin (turunan peptide kasein), kedua zat ini berperan meningkatkan jumlah endorphin dan enkefalin untuk mengaktifkan otak.akan tetapi apabila kadar endorphin pdan enkefalin melebihi kebutuhan dapat menyebabkan gangguan prilaku, persepsi, intelegensia, emosi dan perasaan. 9

F. Kondisi Lingkungan Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia atau logam dapat mengakibatkan munculnya autisme. Zat-zat yang termasuk beracun seperti timah (Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik, dan cat tembok; cadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan raksa (Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (amalgam). 2.1.5 Terapi Autisme Menurut situs informasi seputar autisme ada 10

(http://www.autis.info/index.php/terapi-autisme/10-jenis-terapi-autisme), terapi yang dapat diberikan kepada anak penderita Autisme, yaitu: A. Applied Behavioral Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didesain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

B.

Terapi Bicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistik yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadangkadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi bicara dan berbahasa akan sangat menolong. C. Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi 10

okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar. D. Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya. E. Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya. F. Terapi Bermain

Meskipun terdengara aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu. G. Terapi Perilaku.

Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya. 11

H.

Terapi Perkembangan

Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik. I. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.

J.

Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejalagejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis). 2.1.6 Sikap Orang Tua dalam Menghadapi Anak Autisme Sering terjadi ketakutan-ketakutan yang dirasakan para orang tua ketika anaknya menyandang autis. Mereka terus menerus merasa bersalah karena tidak mampu berinteraksi dengan buah hati mereka. Oleh karena itu berikut akan 12

dipaparkan beberapa sikap dan tindakan apabila salah satu anggota keluarga mengalami autisme (Retno Sintowati, 2007). A. Menemui Dokter Ketika menemui dokter para orang tua harus bersikap kritis, dengan menanyakan segala informasi yang perlu ditanyakan. Informasi yang tepat tentang autisme dapat berguna untuk menghapus rasa bersalah anda kepada anak. Selanjutnya anda bisa memperbaiki sikap agar tidak menuntut anak secara berlebihan. B. Melatih Kefokusannya Kefokusan anak harus dilatih secara bertahap. Latihan harus dilakukan dengan hangat, sabar, tetapi konsisten dan tegas dalam menerapkan norma dan tugas. Memberi arahan kepada anak sangat penting untuk melatih disiplin dan berkonsentrasi pada suatu aktivitas. Saat meminta anak untuk melakukan sesuatu sebaiknya jangan memberikan ancaman tetapi berilah pengertian agar anak tahu apa alasan dari perintah tersebut. C. Tidak Memaksa Suatu Aktivitas Kepada Anak Penderita autis biasanya menolak perubahan terhadap aktivitas yang telah rutin. Apabila memaksa anak untuk melakukan sesuatu bisa jadi akan muncul masalah. Sebaiknya diberikan pilihan aktivitas kepada anak untuk melatih indra kontrol dan stabilitas diri.D. Tidak memberi Informasi atau Kata-kata yang Terlalu Banyak

Sebaiknya orang tua menggunakan kalimat-kalimat pendek dan bahasa yang sederhana dan jelas maknanya untuk menyampaikan maksud kepada mereka. Sebaiknya dihindari untuk menggunakan kata-kata ejekan, kalimat bermakna ganda, atau idiom. E. Mengatur Sikapnya Sikap anak dapat dilatih dengan melakukan perubahan sikap sosial yang positif dilakukan secara rutin. Contoh, setiap bertemu dengan sanak saudara atau teman, anak dibiasakan untuk mengucapkan salam atau bersalaman. Tetapi orang tua harus tetap konsisten dan tetep berusaha mengurangi stress pada anak. 13

F. Membangkitkan Rasa Percaya Dirinya Rasa percaya diri anak dapat dibangkitkan melalui teknik-teknik pengelolaan prilaku, seperti menggunakan kalimat penguat yang positif. Misalnya, memberikan pujian jika anak melakukan hal yang baik dan benar.G. Mengenali Bakat dan Minatnya

Mengenali bakat dan minat anak merupakan poin penting guna melatih kemampuannya. Kita bisa mengenali bakat anak dengan memperhatikan kecenderungan gerak-gerik anak sejak dini. Jika kita telah mengetahui bakat si anak, ada baiknya kita member ruang gerak yang cukup bagi anak untuk menyalurkan minatnya. Misalnya, mengikutkan anak pada klub sepak bola atau renang. Selain untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, hal ini juga bertujuan untuk melatih anak belajar bergaul dan disiplin serta bersosialisasi karena anak harus terlibat dalam tata cara atau peraturan yang berlaku di kelompoknya.H. Bekerja Sama

Orang tua perlu bekerja sama mengondisikan perkembangan anak. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan seluruh anggota keluarga, guru, teman dan lingkungan sekitar anak, sehingga perlakuan seperti membentak, menganggap anak badung, atau mengucilkannya tidak akan terjadi karena tindakan-tindakan tersebut dapat memperburuk kesehatan mentalnya.2.2 Terapi Bermain

2.2.1

Pengertian Bermain Menurut Miller B.F (1983), bermain merupakan cara ilmiah bagi seorang

anak untuk mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya yang pada awalnya anak belum sadar bahwa dirinya sedang mengalami konflik. Pengertian lain mengenai bermain disampaikan oleh Foster dan Pearden yang didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang anak secara sungguh-sungguh sesuai dengan keinginannya sediri/tanpa paksaan dari orang tua 14

maupun lingkungan dimana dimaksudkan semata hanya untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan. Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa (Azis Halimul Hidayat, 2005). Dari ketiga pengertian diatas yang paling operasional adalah menurut Azis Halimul Hidayat (2005), jadi yang dimaksud dengan bermain adalah suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berprilaku dewasa.

2.2.2

Fungsi Bermain Bermain bukan hanya menyenangkan bagi anak-anak karena dengan

bermain anak-anak bisa mengekspresikan dirinya dan meluangkan kreativitasnya dengan bebas, tapi ternyata bermain memiliki beberapa fungsi penting bagi perkembangan anak-anak. Menurut Wong (1995) dalam Nursalam (2005), bermain pada anak-anak mempunyai fungsi sebagai berikut: A. Perkembangan Sensori Motor Aktivitas sensori motor merupakan bagian yang berkembang paling dominan pada masa bayi. Perkembangan sensori motor ini didukung oleh stimulasi visual, stimulasi pendengaran, stimulasi taktil (sentuhan), dan stimulasi kinetik. Stimulus sensorik yang diberikan oleh lingkungan anak dan direspon dengan memperlihatkan aktivitas-aktivitas motoriknya. Stimulasi visual merupakan stimulasi awal yang penting pada tahap permulaan perkembangan anak. Anak akan meningkatkan perhatiannya pada lingkungan sekitar melalui penglihatannya. Oleh karena itu, orang tua disarankan untuk memberikan mainan berwarna-warni pada usia 3 bulan pertama. Stimulasi pendengaran (stimulasi auditif) adalah sangat penting untuk perkembangan bahasanya (verbal), terutama pada tahun pertama kehidupannya. 15

Memberikan sentuhan (stimulus taktil) yang mencukupi pada anak berarti memberikan perhatian dan kasih sayang yang diperlukan oleh anak. Stimulus semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan percaya diri pada anak sehingga anak akan lebih responsive dan berkembang. Stimulasi kinetik akan membantu anak untuk mengenal lingkungan yang berbeda. B. Perkembangan Kognitif (Intelektual) Anak belajar mengenal warna, bentuk/ukuran, tekstur dari berbagai macam obyek, angka, dan benda. Anak belajar untuk merangkai kata, berpikir abstrak, dan memahami hubungan ruang seperti naik, turun, dibawah, dan terbuka. Aktivitas bermain juga dapat membantu perkembangan ketrampilan dan mengenal dunia nyata atau fantasi. C. Sosialisasi Sejak awal masa anak-anak, bayi telah menunjukkan ketertarikan dan kesenangan terhadap orang lain, terutama terhadap ibu. Dengan bermain, anak akan mengembangkan dan memperluas sosialisasi, belajar untuk mengatasi persoalan yang timbul, mengenal nilai-nilai moral dan etika, belajar mengenai apa yang salah dan benar, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu yang diperbuatnya. Pada tahun pertama, anak hanya mengamati obyek disekitarnya. Pada usia 2-3 tahun, biasanya anak suka bermain peran seperti peran sebagai ayah, ibu, dan lain-lain. Pada usia sekolah, anak lebih banyak bergabung dengan kelompok sebayanya (peer group) dan mempunyai teman favorit. D. Kreativitas Tidak ada situasi yang lebih menguntungkan/menyenangkan untuk berkreasi daripada bermain. Anak-anak dapat bereksperimen dan mencoba ideidenya. Sekali anak merasa puas untuk mencoba sesuatu yang baru dan berbeda, dia akan memindahkan kreasinya ke situasi yang lain. Namun demikian, orang tua yang bercerai, orang tua yang sibuk, atau orang tua tunggal (single parent) dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk bermain secara spontan dan perkembangan imajinasinya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan kreasi anak dipelukan lingkungan yang mendukung. 16

E.

Kesadaran Diri Dengan bermain, anak dapat belajar menyadari kemampuannya sendiri,

kelemahannya dan tingkah laku terhadap orang lain. Jika anak tadi berperan sebagai seorang pemimpin dan dia merasa tidak mampu untuk memimpin, maka dengan senang hati dia akan memberikan peran pemimpin tadi pada teman yang lainnya. F. Perkembangan Moral Dapat diperoleh dari orang tua, orang lain yang ada disekitar anak. Untuk itu tugas orang tua untuk mengajari anak agar mempunyai moral yang baik. G. Komunikasi Bermain merupakan alat komunikasi terutama pada anak yang masih belum dapat menyatakan perasaanya secara verbal. Misalnya: anak menggambar dua anak kecil perempuan (mungkin dia ingin punya adik perempuan), anak melempar sendok/garpu saat makan (mungkin dia tidak suka sama laukpauknya), dan sebagainya. 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Bermain pada Anak

Menurut Sujono Riyadi (2009), ada beberapa faktor yang mempengaruhi Pola Bermain pada Anak antara lain: A. Tahap Perkembangan, setiap perkembangan mempunyai potensi/keterbatasan dalam permainan. Anak umur 3 tahun alat permainannya berbeda dengan anak yang berumur 5 tahun B. Status Kesehatan, pada anak yang sedang sakit kemampuan psikomotor/kognitif terganggu. Sehingga ada saat-saat anak sangat ambisius pada permainannya dan ada saat-saat dimana anak sama sekali tidak punya keinginan untuk bermain.C. Jenis Kelamin, pada saat usia sekolah biasanya anak laki-laki enggan bermain

dengan anak perempuan, mereka sudah bisa membentuk komunitas tersendiri, dimana anak wanita bermain sesame wanita dan anak laki-laki bermain sesame laki-laki. Tipe dan alat permainannya pun akan berbeda, misalnya anak laki-laki suka main bola, dan anak perempuan suka main boneka. 17

D. Lingkungan, lokasi dimana anak berada sangat mempengaruhi pola permainan anak. Di kota-kota besar anak jarang sekali yang bermain layang-layangan, paling-paling mereka bermain game karena tidak ada/jarang ada tanah lapangan untuk bermain, berbeda dengan di desa yang masih banyak terdapat tanah-tanah kosong.E. Alat Permainan yang Cocok, disesuaikan dengan tahap perkembangannya

sehingga anak menjadi senang untuk menggunakannya.

2.2.4

Karakteristik dan Klasifikasi dari Bermain

Menurut Sujono Riyadi (2009), ada beberapa Karakteristik dan Klasifikasi dari Bermain antara lain: A. Solitary Play Bermain sendiri walaupun disekitarnya ada yang lain. Misalnya pada bayi dan toddler, dia akan asik dengan mainannya sendiri tanpa menghiraukan orangorang yang ada disekitarnya. B. Pararel Play Bermain sejenis, anak bermain dengan kelompoknya, pada masing-masing anak mempunyai mainan yang sama tetapi tidak ada interaksi diantara mereka, tidak ada ketergantungan antara satu dengan yang lainya. C. Associated Play Bermain dalam kelompok, dalam suatu aktivitas yang sama tetapi masih belum terorganisir, tidak ada pembagian tugas, mereka bermain sesuai keinginannya. Misalnya: anak bermain hujan-hujanan bersama (hal ini banyak dialami pada anak preschool). D. Cooperatif Play Anak bermain secara bersama-sama, permainan sudah terorganisir dan terencana, didalamnya sudah ada atuaran main, misalnya: anak bermain kartu, petak umpet, dll (terjadi pada usia school dan adolescent). 18

E. Social Efective Play Anak mulai belajar memberikan respon melalui orang dewasa dengan cara merajuk/berbicara sehingga anak menjadi senang dan tertawa. F. Sense of Pleasure Play Anak mendapatkan kesenangan dari suatu obyek disekelilingnya. Misalnya: anak bermain pasir, air sehingga anak tertawa bahagia. G. Skill Play Memperoleh ketrampilan sehingga anak akan melaksanakanya secara berulangulang, misalnya: anak bermain sepeda-sepedaan dan dia sedikit mulai merasa bisa, maka dia aka berusaha untuk mencobanya lagi. H. Dramatic Play Melakukan peran sesuai keinginannya atau dengan apa yang dia lihat dan dia dengar, sehingga anak akan membuat fantasy dari permainan itu. Misalnya: anak pernah berkunjung kerumah sakit, dia melihat perawat dan dokter, sesampainya dirumah dia berusaha untuk memerankan dirinya sebagi seorang perawat maupun dokter, sesuai dengan apa yang dia lihat dan dia terima tentang peran tersebut. 2.2.5 Macam-macam Alat Permainan untuk Anak Balita Menurut Padmono S, yang dikutip oleh Sutjiningsih dalam Sujono Riyadi (2009), untuk anak balita bayi usia di bawah lima tahun adalah sebagai berikut: A. Umur 0-12 bulan 1) Melatih reflex (untuk anak berumur satu bulan), misalnya: menghisap, menggenggam 2) Melatih kerja sama mata dan tangan. 3) Melatih kerja sama mata dan telinga4) Melatih mencari obyek yang ada tetapi tidak terlihat

Tujuan:

5) Melatih mengenal sumber hasil suara 19

6) Melatih kepekaan perabaan 7) Melatih keterampilan dengan gerakan yang berulang-ulang Alat permainan yang dianjurkan: a) Benda-benda yang aman untuk dimasukkan ke dalam mulut atau dipegang b) Alat permainan yang berbentuk gambar atau muka c) Alat permainan lunak berupa boneka atau binatang d) Alat permainan yang dapat digoyangkan dan keluar suara e) Alat permainan berupa selimut dan boneka f) Giring-giring B. Umur 12-24 bulan 1) Mencari sumber suara atau mengikuti sumber suara 2) Memperkenalkan sumber suara 3) Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik 4) Melatih imajinasi anak 5) Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari dalam bentuk yang menarik Alat permainan yang dianjurkan: a) Gendering, bola dengan giring-giring di dalamnya b) Alat permainan yang dapat didorong atau ditarik c) Alat permainan yang terdiri dari alat rumah tangga, misalnya cangkir yang tidak mudah pecaah, sendok, botol plastic, ember, Waskom, aor, balokbalok yang besar, kardus besar, buku bergambar, kertas-kertas untuk dicoret, pensil berwarna. C. Usia 25-36 bulan 1) Menyalurkan emosi/perasaan 2) Mengembangkan keterampilan berbahasa 3) Melatih motorik halus dan kasar 20

Tujuan:

Tujuan:

4) Mengembangkan keverdasan (memasangkan, menghitung, mengenal dan membedakan warna.) 5) Melatih kerja sama mata dan tangan 6) Melatih daya imajinasi 7) Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda Alat permainan yang dianjurkan: a) Lilin yang dapat dibentuk b) Alat-alat uhtuk menggambar c) Pasel (puzzle) sederhanad) Manik-manik ukuran besar

e) Bola f) Berbagai benda yang mempunyai permukaan dan warna yang berbeda D. Umur 37-72 bulan 1) Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan 2) Mengembangkan kemampuan berbahasa 3) Mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah dan mengurangi 4) Merangsang daya imajinasi dengan berbagai cara bermain pura-pura (sandiwara) 5) Membedakan benda dengan perabaan 6) Menumbuhkan sportifitas 7) Mengembangkan kepercayaan diri 8) Mengambangkan kretifitas 9) Mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat, lari) 10) Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan motorik kasar 11) Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak-anak dan orang diluar rumahnya 12) Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan, misalnya pengertian mengenai terapung dan tenggelam 13) Memperkenalkan suasana kompetisi, gotong royong 21

Tujuan:

Alat permainan yang dianjurkan:a. Berbagai benda disekitar rumah, buku bergambar, majalah anak-anak,

alat gambar dan tulis, kertsa untuk belajar melipa, gunting air dan sebagainya b. Teman teman bermain, anak sebaya,orang tua,orang lain di luar rumah. 2.3 Terapi Bermain dan Anak Autis Terapi bermain diberikan pada anak autis untuk memperkaya kemampuan mereka (Retno Sintowati, 2007). Terapi ini banyak mengandung unsur bersenang-senang. Akan tetapi cara bermain untuk anak autis berbeda dengan cara bermain pada anak normal. Permainan yang diberikan harus memperhatikan tingkat kecerdasan anak. Bermain memang merupakan bagian yang amat penting dalam tumbuh kembang anak. Dengan bermain anak bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Hal ini Karena bermain merupakan kegiatan spontan anak yang tidak terikat pada aturan sehingga member peluang anak untuk tumbuh dan berkembang tanpa harus terikat dengan aturan yang ketat. Bermain bagi anak merupakan kegiatan yang menyenangkan tanpa pernah memikirkan hasil akhir. Dengan bermain anak bisa mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial. Selain itu, secara tidak langsung anak bisa melatih kekuatan, keseimbangan, dan melatih kemampuan motoriknya. Terapi bermain untuk anak autis merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan kemampuan fisik, intelektual, emosi dan sosial anak. Selain itu juga bertujuan untuk mengembangkan kekuatan otot motorik, meningkatkan ketahanan organ tubuh bagian dalam, serta mencegah dan memeperbaiki sikap tubuh yang kurang pada anak. Terapi bermain ini juga dapat sebagai wahana melepaskan anak dari energi yang berlebih yang dapat merugikan diri sendiri. Tarapi bermain untuk anak autis dapat dilakukan dengan mengacu pada karakteristik anak, sasaran maupu tujuan yang akan dicapai. Secara umum, terapi bermain mempunyai batasan sebagai berikut: A. Melatih Sensori Motor Latihan ini untuk mengembangkan fungsi mata, telinga dan latihan otot. Misalnya dengan beberapa latihan berikut:1) Melatih kemampuan anak untuk bereaksi terhadap bunyi

2) Mengikuti benda dengan mata 22

3) Bereaksi jika dipanggil namanya 4) Dapat membedakan benda, baik bentuk maupun warnanya 5) Menyusun balok atau kubus dari kayu 6) Mengatur gambar 7) Menggambar 8) Menggunting 9) Menempel 10) Menyebutkan nama buah-buahan atau hewan11)Mengangkat dan meletakkan benda

12) Membedakan berat, ringan, keras, dan lunak suatu benda 13) Bergerak, berlari, berjalan 14) Menarik dan mendorong 15) Naik turun tangga B. Melatih Daya Kreasi, Memecahkan Masalah, dan Memupuk Rasa Percaya Diri mengendarai sepeda, menarik atau mendorong kereta.2) Latihan ini juga menerapi olah pikir agar mau memecahkan masalah, misalnya

1) Latihan ini untuk mengembangkan otot besar, misalnya mendaki gunung,

dengan bermain petak umpet, tebak-tebakan, menyusun dan membongkar balok kayu, serta mendengar dan menceritakan kembali.3) Menimbulkan rasa percaya diri, misalnya bermain masak-masakan, berkebun,

menyusun pakaian, dan bermain peran.4) Melatih daya kreasi, imajinasi, dan ekspresi, misalnya melukis atau menggambar

baik dengan jari maupun pensil warna, cat air atau crayon. Jenis permainan untuk terapi anak autis sebenarnya tidak berbeda dengan anak normal. Menurut Retno Sintowati (2007) beberapa jenis permainan untuk melatih perkembangan sensori, intelektual, emosi dan bersosialisasi sebagai berikut: A. Bermain Puzzle Bermain puzzle untuk keperluan anak autis tidak serumit dengan puzzle yang digunakan untuk anak normal. Puzzle yang digunakan berbentuk sederhana hanya terdiri dari 2-3 bentuk. Permainan dimulai hanya satu bentuk, sementara dua bentuk 23

yang lain tidak dikeluarkan. Jika anak dapat melakukannya, lanjutkan pada bentuk berikutnya. Setelah itu anak diminta membongkar dan mengacak puzzle sendiri lalu memasangnya. Anda bisa menggunakan stopwatch untuk menghitung waktu yang diperlukan anak untuk menyususn puzzle secara sempurna. Semakin cepat anak menyususn puzzle semakin baik tingkat kemajuan anak. Permainan ini dapat dilakukan dengan menggunakan puzzle yang berbeda.

B. Bermain Bola Melatih bermain bola pada anak autis tentu berbeda dengan melatih bermain bola pada anak normal. Cara melatihnya adalah sebagai berikut: Anak diberikan bola dan diletakkan tepat di depan kaki sebelah kanan, kemudian anak diminta menendang bola itu. Jika anak belum mampu menendang, bombing anak untuk menendang dengan memegang kaki kanannya dan menyentuhkan kakinya ke bola terlebih dahulu. Setelah itu baru minta anak untuk menendang. Latihan ini terus dilakukan sampai anak benar-benar mampu mengendalikan otot dan fungsi kakinya. Setelah anak terbiasa melakukan gerakan ini, latihan ditingkatkan dengan meletakkan bola dengan jarak 1-11/2 meter dari kakinya. Letakkan botol-botol plastik di kejauhan, lalu minta anak menendang bola ke arah botol-botol tersebut. Latihan berikutnya yaitu melempar bola, baik dengan satu ataupun dua tangan. Anak diminta memegang bola tenis dan memperhatikan jajaran botol plastic yang ada di depannya. Kemudian anak diminat melempar sejauh kemampuannya tanpa memfokuskan pada titik tertentu. Jika anak sudah mampu melempar dengan baik, lalu arahkan untuk mengenai sasaran botol yang sudah disediakan.C. Titian Tali dan Titian Balok

Bahan yang diperlukan hanya seutas tali yang diletakkan di lantai memanjang. Anak diminta untuk berdiri dengan baik di depan seutas tali, kemudian anak diminta berjalan diatas tali dengan cara menginjak tali. Pada latihan ini diusahakan anak bisa berjalan lurus diatas tali, dan jika anak mampu melakukannya, anda bisa mengubah bentuk tali. Misalnya membentuk lingkaran atau meliuk-liuk (zig-zag). Pada tahap selanjutnya, anda bisa mengganti tali dengan dengan lembar papan atau balok kayu di atas susunan empat buahbatu bata merah 24

sehingga membentuk sebuah titian. Setelah itu anak diminta berjalan di atas titian balok kayu. Mula-mula anak perlu dibantu dengan digandeng, kemudian usahakan untuk berjakan sendiri tanpa bantuan.

D. Melukis dengan Jari Pada umumnya anak autis tidak sepandai anak normal dalam melukis, tetapi kegiatan ini sebenarnya sangat menyenangkan dan anak bisa lebih bebas mengekspresikan jiwa ke dalam lukisan meskipun hanya dengan coretan jari. Bahan yang digunakan sebagai cat adalah pewarna kue. Bahan ini tidak mengandung racun. Selain itu, anda perlu menyediakan air, mangkuk, koran, dan kertas putih. Buatlah beberapa warna cat dari bahan pewarna kue di mangkuk. Anak mencelupkan satu ujung atau semua jarinya ke dalam mangkuk yang berisi cat. Setelah itu. Setelah itu, anak diminta untuk menggoreskan jarinya pada kertas yang telah anda sediakan. Biarkan anak menggores sesuka hati sesuai dengan pikiran dan hatinya. E. Menyebutkan Nama-Nama Benda Permainan ini merupakan permainan yang cukup sederhana. Anda perlu menyediakan beberapa gambar dan di bawah gambar diberi nama sesuai yang anda sebut. Setelah anak mampu menunjukkan benda-benda yang anda sebut, kemudian anda yang memegang dan mengangkat gambar, lalu anak diminta untuk menyebutkan benda yang anda pegang tersebut. F. Memasukkan Benda-Benda ke Kotak Kegiatan ini cukup sederhana, hanya memasukkan benda-benda yang mempunyai bentuk dan warna bermacam-macamke dslsm kotak. Pertama-tama anak diminta memasukkan benda dan warna apapun ke dalam hingga habis. Jika dapat melakukannya anak diminta menyusun benda-benda tersebut secar teratur ke dalam kotak. G. Bermain Pasir 25

Bermain pasir di bak merupakan kegiatan yang menyenangkan, sekalipun anak itu menderita gangguan autis. Anak bisa bebas bermain di bak pasir membuat gununggunungan, rumah, atau istana yang megah.

H. Menyusun Benda Bundar Menyusun benda bundar ke sebuah menara, bagi anak autis merupakan permainan yang sangat sulit. Hal ini karena dia harus mampu mengendalikan gerakan tangan, dan perlu kehati-hatian agar tidak roboh. Pada permainan ini anak memegang benda seperti kue donat yang bagian tengahnya berlubang. Anak memasukkan benda itu pada tiang yang disediakan. Jika anak dapat melakukannya, latihan ditingkatkan dengan benda yang berwarna-warni, sehingga saat memasukkan anak dapat diminta memasukkan warna tertentu. I. Membentuk Benda Membentuk sesuatu dar bahan platisin sangat mengasyikkan dan anak bisa berlama-lama dengan permainan ini. Anak dibarkan mebentuk apa saja sesuai keinginannya. Untuk pertam kali anda perlu membuat satu contoh agar ana bisa mengikuti. Setelah anak bisa membentuk sesuai contoh, anak bisa diminta untuk membentuk benda apa saja yang dikenalnya. J. Menggunting dan Menempel Kegiatan ini tidak jauh beda untuk anak-anak normal. Tetapi anda harus membimbing mereka tentang cara memegang dan menggunting. Untuk pertama kali anda memberi contoh menggunting benda-benda dan anak yang menempel pada kertas yang telah disediakan. Anak menempel benda-benda tersebut berdasarkan bentuk dan warna.

26

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep dijelaskan dalam Gambar. 1

Gejala Autisme

Terapi Bermain

Perkembangan Anak Autis

Ket : : Variable yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Alur pikir

Gambar 1. Kerangka Konsep

3.2 Definisi Operasional VariabelA. Variabel Penelitian

Soeparto dan Haryanto dalam Nursalam (2003), menyatakan variabel adalah prilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dll)1) Variabel Bebas

27

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, (2003). Dalam penelitian ini vairabel yang diduga sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak autis adalah terapi bermain, jadi yang merupakan variable bebas dari penelitian ini adalah Terapi Bermain.2) Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain ( Nursalam, 2003). Variabel terikat dari penelitian ini adalah Perkembangan Anak Autis. B. Definisis Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasar karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinsikan (Nursalam, 2003). Tabel. 3.1 Definisi Operasional Variabel Jenis Variabel 1. Tera pi Bermain Definisi Operasional Beberapa jenis permainan yang diberikan peneliti kepada anak autis ( puzzle, bola, tali, benda, titian membuat menyebutkan nama-nama benda) Cara / Alat Ukur Puzzle Bola Tali Plastisin Kuas Buku gambar Cat air Pensil Penggaris Topi MobilSendok Sepatu Baju Celana Buah Hasil Ukur Seberapa yang Skala Ordinal

puzzle mampu

diselesaikan oleh anak Seberapa jauh bola tendangan anak Sampai mana berhasil titian apa anak tali Benda yang dibuat oleh anak menggunakan plastisin 28

mengikuti

mobilan

Kemampuan anak untuk menjalankan2.

Gelas dll

-

Benda

apa yang oleh Ordinal

saja disebutkan anak

Perk

perintah

sesuai

-

Cepat anak-

em bangan Anak Autis

dengan apa yang diperintahkan oleh peneliti

lambatnya

merespon perintah yang diberikan. Kefokusan anak menjalankan perintah. Kemampuan fisik anak dalam melakukan perintah Kamampuan untuk yang oleh anak informasi diberikan peneliti. Kemampuan anak berinteraksi sekitar

Penilaian dibagi

akan

dalam 3 kategori untuk setiap item yang akan dinilai. Dengan jenjang nilai dari 3 untuk skala terbaik, 2 untuk untuk terburuk.-

skala skala

menengah dan 1

mengingat segala

Dengan skor dan skor

maksimal adalah 75 minimal 25.

dengan lingkungan

3.3 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada Pengaruh Terapi Bermain terhadap Perkembangan Anak Autis

29

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian jenis korelasional dimana menurut Notoatmodjo (2002). Penelitian ini mencoba melakukan analisis korelasi antara faktor risiko dengan faktor efek. Metode ini menggunakan pendekatan Cohort. Penelitian cohort sering disebut penelitian prospektif adalah suatu penelitian survei (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara faktor risiko dengan efek (penyakit). Artinya, faktor risiko yang akan dipelajari diidentifikasi dahulu, kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek, yaitu penyakit atau salah satu indikator status kesehatan. (http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/metode-penelitian-survei-analitik.html) 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011 di Perhimpunan Peduli Autisme Bali (Bp. Achmad Amara Putra & Ibu Ayu) Jl. A. Yani no. 237, Denpasar 80115. Tlp 0361-422990. HP: 0818 05400 108. 4.3 Populasi dan Sample PenelitianA. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti. Pada penelitian ini populasi adalah seluruh anak autis yang menjalani terapi di Klinik Terapi Perhimpunan Peduli Autisme Bali. B. Sample dan Sampling Penelitian Sample adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti atau dianggap mewaliki seluruh populasi (Notoatmodjo, 1993). Besarnya sample tergantung jumlah anak penyandang autis yang memenuhi kriteria inklusi. 30

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2001).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:a. Anak autis yang dirawat di klinik

Perhimpunan Peduli Autisme Bali (Bp.

Achmad Amara Putra & Ibu Ayu ) Jl. A. Yani no. 237, Denpasar 80115. Tlp 0361-422990. HP: 0818 05400 108. b. Anak autis yang berumur 3-7 tahun c. Anak autis yang telah disetujui oleh orang tuanya untuk diteliti Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang tidak mmenuhi criteria inklusi karena berbagai sebab (Nursalam, 2001). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: a. b. Anak autis yang menderita penyakit lain selain autis itu sendiri Anak autis yang

C. Teknik Sampling Teknik sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2001). Teknik sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sample dari populasi (Arikunto, 1998). Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Setiadi (2007), teknik purposive sampling adalah mengambil orang-orang terpilih yang menurut peneliti memiliki cirri atau sifat-sifat yang sesuai dengan criteria inklusi sehingga sample dapat mewakili karakteristik populasi. 4.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dimana data tersebut langsung didapat dari pengukuran klinis dengan alat ukur (kemampuan anak autis dalam menjalankan perintah peneliti). Semua subyek yang ada dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi. 31

2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Arikunto, 2006). Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi. Langkah awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan responden atau subjek yang akan diteliti. Berdasarkan teknik sampling yang digunakan, subjek penelitian diambil dengan cara mengambil orang-orang terpilih yang menurut penelitian memiliki ciri atau sifat-sifat sesuai dengan kriteria inklusi sehingga sampel dapat mewakili karakteristik populasi. Dengan langkah-langkah pengumpulan data yaitu diawali pendekatan formal kepada pihak Klinik Perhimpunan Peduli Autisme Bali (Bp. Achmad Amara Putra & Ibu Ayu ) dalam menapatkan izin melaksanakan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan secara formal kepada orang tua anak autis yang menjalani terapi di klinik tersebut dalam mencari sampel penelitian dengan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, memberikan lembar persetujuan dan jika orang tua bersedia untuk anaknya diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika orang tua menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati hak klien. Kemudian terakhir melakukan penelitian kriteria inklusi dan eksklusi kepada sampel yang akan diteliti. 3. Instrumen Pengumpulan Data Pengukuran pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala yang dibuat oleh peneliti (dapat dilihat pada table 4.1) Table 4.1 Skala Pengukuran Perkembangan Anak Autis Jenis Permainan Bermain Puzzle Item yang Akan Dinilai puzzle terpasang sempurna dalam waktu maks 5 menit kefokusan anak dalam menyusun puzzle Skor Kurang Buruk Baik 2 2 1 1

No 1

Langkah-langkahnya Puzzle yang digunakan berbentuk sederhana hanya terdiri dari 2-3 bentuk. Permainan dimulai hanya satu bentuk, sementara

Baik 3 3

32

kemampuan fisik anak dalam menyusun puzzle kemampuan anak untuk mengingat letak bagian-bagian puzzle kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sekitar anak segera menjalankan petunjuk yang diberikan peneliti kefokusan anak untuk menendang bola ke arah sasaran

3

2

1

dua bentuk yang lain tidak dikeluarkan. Jika anak dapat melakukannya, lanjutkan pada bentuk berikutnya.

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

2

Bermain Bola

Anak diminta menendang bola ke kemampuan fisik arah botol yang anak untuk berada pada jarak 1m menendang bola didepannya kemampuan anak untuk mengingat intruksi peneliti kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sekitar

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

Bermain Titian Tali

Anak diminta untuk berdiri diatas seutas tali dan berjalan mengikuti arah tali dengan menginjak talinya

anak mampu berjalan sampai tujuan diatas titan tali dengan waktu maks 5 menit kefokusan anak berjalan di atas titian tali kemampuan fisik anak untuk berjalan di atas titian tali kemampuan anak untuk mengingat instruksi peneliti

3

2

1

3

2

1

3 3

2 2

1 1

33

4

Membentuk Benda

kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sekitar anak dapat membentuk benda yang dicontohkan dengan waktu maks 5 menit kefokusan anak Anak diminta dalam membentuk membuat benda yang benda dengan dicontohkan oleh plastisin peneliti dengan plastisin, lalu anak kemampuan fisik diminta membentuk anak untuk benda yang iya ingini membentuk benda dengan menggunakan kemampuan anak plastisin untuk mengingat bentuk suatu benda kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sekitar anak dapet menyebutkan nama benda yang dipegang oleh peneliti dalam waktu maks10 detik Anak diminta untuk mengambil benda yang disebutkan oleh peneliti lalu anak diminta menyebutkan nama-nama benda yang dipegang oleh peneliti kefokusan anak uuntuk mengingat nama-nama benda kemampuan fisik anak untuk menyebutkan namanama benda kemampuan anak untuk mengingatnamanama benda kemampuan anak untuk berinteraksi dengan sekitar

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

3

2

1

5

Menyebutkan Nama-nama Benda

3

2

1

3

2

1

3

2

1

4.5 Pengolahan Dan Analisa Data 34

1. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Ada beberapa kegiatan yang dilakukan peneliti dalam pengolahan data yaitua.

Editing : Sebelum data diolah lebih lanjut, sangat perlu dilakukan pemeriksaan

(editing) data untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan data. Pada tahap ini dilakukan pemilihan terhadap data yang penting atau diperlukan saja, data yang obyektif serta mengumpulkan data ulang untuk melengkapi data yang kurang (Sukawana, 2008). Memeriksa data terlebih dahulu, mengecek kelengkapan identitas subyek penelitian, mengecek kelengkapan dan isi data.b.

Coding : Coding merupakan proses mengklasifikasi data sesuai dengan

klasifikasinya dengan cara memberikan kode tertentu. Kalsifikasi data dilakukan atas pertimbangna peneliti sendiri. Semua data akan diberikan kode untuk memudahkan proses pengolahan data. (Sukawana, 2008). Data yang telah terkumpul diolah dengan memakai kode-kode tertentu untuk memudahkan interpretasi dari data.c.

Entry Data yang telah diberikan kode akan dipindahkan ke komputer untuk

dianalisis ( Sukawana, 2008 ) kemudian disimpan dalam bentuk CD/Flash disc.d.

Cleaning/Tabulasi : Menyajikan data dalam bentuk table atau grafik.

2. Teknik Analisa Data Analisa yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah dengan menggunakan uji statistik non parametrik. Uji yang digunakan adalah Uji Chi Square dengan = 5%. Data disajikan dalam Tabel 4.2 Tabel. 4.2 Tabel Analisa Data 35

Perkembangan Anak Autis Ada Tidak Ada Peningkatan Peningkatan Mendapatkan Terapi Bermain Tidak Mendapatkan Terapi Bermain Total a b Total

a+b

c

d

c+d

a+c

b+d

a+b+c+d

Rumus Uji Chi Square:

Ket: n = a+b+c+d

36