40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa suatu sistem simbol yang terdiri dari urutan bunyi-bunyi, namun mengandung makna sebagai sarana pengungkapan pikiran dan gagasan seseorang. Di dalam karya sastra, bahasa merupakan sarana yang digunakan pengarang untuk menyampaikan buah pikiran dan imajinasi dalam proses penciptaan karya sastra (Supriyanto, 2014:1). Bahasa dalam karya sastra memiliki unsur estetis, sehingga berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam suatu karya ilmiah. Pemanfaatan bahasa dalam karya sastra khususnya pada syair lagu dapat menimbulkan imajinasi dan mengungkapkan pesan tersembunyi. Bahasa dalam lirik lagu merupakan implementasi bahasa dalam karya sastra yang dapat dikaji dengan pendekatan stilistika. Pengkajian stilistika pada lirik lagu dimaksudkan untuk menemukan keestetikan bahasa. Analisis stilistika memaparkan latar belakang penggunaan bahasa pengarang yang bersifat khas pada setiap karyanya. Selain itu, dapat digunakan untuk mengungkapkan sikap pengarang terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan ialah salah satu karya sastra yang memanfaatkan keindahan bahasa. Di dalam lirik lagu tersebut ditemukan pemanfaatan bunyi, menampilkan pengulangan-pengulangan kata, frasa, dan kalimat. Pemanfaatan bahasa dapat menggambarkan ekspresi manusia. Lirik lagu karya Nur Bayan ini memiliki kekhasan tersendiri yakni

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

  • Upload
    others

  • View
    59

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa suatu sistem

simbol yang terdiri dari urutan bunyi-bunyi, namun mengandung makna

sebagai sarana pengungkapan pikiran dan gagasan seseorang. Di dalam karya

sastra, bahasa merupakan sarana yang digunakan pengarang untuk

menyampaikan buah pikiran dan imajinasi dalam proses penciptaan karya

sastra (Supriyanto, 2014:1).

Bahasa dalam karya sastra memiliki unsur estetis, sehingga berbeda

dengan bahasa yang dipakai dalam suatu karya ilmiah. Pemanfaatan bahasa

dalam karya sastra khususnya pada syair lagu dapat menimbulkan imajinasi

dan mengungkapkan pesan tersembunyi. Bahasa dalam lirik lagu merupakan

implementasi bahasa dalam karya sastra yang dapat dikaji dengan

pendekatan stilistika.

Pengkajian stilistika pada lirik lagu dimaksudkan untuk menemukan

keestetikan bahasa. Analisis stilistika memaparkan latar belakang

penggunaan bahasa pengarang yang bersifat khas pada setiap karyanya.

Selain itu, dapat digunakan untuk mengungkapkan sikap pengarang terhadap

fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya.

Lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan ialah salah satu karya

sastra yang memanfaatkan keindahan bahasa. Di dalam lirik lagu tersebut

ditemukan pemanfaatan bunyi, menampilkan pengulangan-pengulangan kata,

frasa, dan kalimat. Pemanfaatan bahasa dapat menggambarkan ekspresi

manusia. Lirik lagu karya Nur Bayan ini memiliki kekhasan tersendiri yakni

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

2

berupa pemilihan kata (diksi) yang menggambarkan potret kehidupan kaum

marginal. Kata-kata yang digunakan sederhana, akan tetapi menimbulkan

makna yang mendalam. Pada lirik lagu terdapat adanya purwakanthi guru

swara, purwakanthi guru sastra dan purwakanthi lumaksita yang mampu

menumbuhkan imajinasi pembaca. Pemakaian bahasa oleh Nur Bayan dalam

menciptakan lagu mengandung sinonimi, antonimi, tembung saroja, tembung

kawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung

garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa kosakata dialek

Jawa Timuran. Selain itu, diksi yang digunakan dalam lirik lagu Nur Bayan

menyiratkan realita yang terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya setiap pengarang lagu memiliki originalitas dan style

masing-masing. „Style‟ atau gaya yaitu cara yang khas dipergunakan

seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan gaya pribadi. Cara

pengungkapan tersebut terdapat pada setiap aspek kebahasaan meliputi:

diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figurative, struktur kalimat, bentuk-

bentuk wacana, dan sasaran retorika lain (Satoto, 2012:35). Berikut adalah

kutipan data yang mengandung asonansi.

(1) Dikelumpukne kancane (TO/I/1) „Dikumpulkan temannya‟

Dibukak oplosane (TO/I/2) „Dibuka oplosannya‟

Diombe rame-rame (TO/I/3) „Diminum bersama-sama‟

Ya pancèn enak rasane (TO/I/4) „Ya memang enak rasanya‟

Data (1) merupakan salah satu bait dari lirik lagu Nur Bayan yang

dikutip dari lagu berjudul Tobat Oplosan. Data (1), menunjukkan adanya

pemanfaatan aspek bunyi purwakanthi guru swara. Asonansi ditunjukkan

pada suku kata terakhir pada setiap baris. Pengulangan bunyi yang terdapat

pada data (1) yaitu pengulangan vokal /e/ terbuka.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

3

Selain aspek penanda bunyi yang ditunjukkan melalui asonansi vokal

/e/ pada data di atas, dalam lirik lagu Nur Bayan terdapat adanya aspek

penanda diksi, gaya bahasa, dan pencitraan yang dapat dilihat pada kutipan-

kutipan data berikut.

(2) Ra nyana ra ngira yen prahara bakal teka (PM/II/4)

„Tidak menyangka tidak mengira jika bencana akan datang‟

Pada data (2), terdapat adanya aspek penanda diksi yang ditunjukkan oleh

kata ra „tidak‟ di kata pertama dan ketiga. Kata ra pada data di atas merupakan

aferesis dari kata ora „tidak‟ yang mengalami pelesapan suku kata di ruas kiri

dengan menghilangkan vokal /o/. Kemudian pada data (3) mengandung aspek

penanda gaya bahasa perumpamaan (simile).

(3) Aku kêpengin dadi (BK/I/2) „Saya ingin menjadi‟

Kêrlip-kêrlip lintang (BK/I/3) „Kerlap-kerlip bintang‟

Sing bisa ngancani (BK/I/4) „Yang dapat menemani‟

Ing sabên wêngimu (BK/I/5) „Di setiap malammu‟

Pada akhir baris pertama data di atas, kata kêpengin dadi „ingin menjadi‟

ialah penanda dari gaya bahasa simile, dimana pengarang menggambarkan

keinginan seorang istri simpanan yang berandai-andai menjadi bintang agar dapat

menemani suaminya di setiap malam. Selanjutnya cuplikan data di bawah ini

dapat mewakili dari aspek pencitraan pada lirik lagu Nur Bayan.

(4) Mlaku nèng kuthamu (PIL/I/1) „Berjalan menuju kotamu‟

Abot rasane atiku (PIL/I/2) „Terasa berat di hatiku‟

Kata mlaku „berjalan‟ pada awal baris pertama, menunjukkan adanya

citraan gerak. Citraan gerak berhubungan dengan transformasi pengalaman

terhadap bagian tubuh manusia terutama alat gerak yaitu kaki untuk

menciptakan imaji pendengar terhadap syair lagu tersebut.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

4

Lagu-lagu Nur Bayan mulai dikenal masyarakat Indonesia setelah

melejitnya lagu oplosan miliknya yang dinyanyikan oleh Soimah di acara

YKS (Yuk Kita Sahur, yang kemudian berganti nama dengan Yuk Keep

Smile). Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis lagu-lagu berbahasa

Jawa karya Nur Bayan yang belum pernah dipergunakan sebagai sampel

dalam penelitian sebelumnya. Terlepas dari musikalitas dan genre musik

yang di gunakan oleh pengarang, penulis hanya menganalisis lirik-lirik lagu

berdasarkan gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.

Pemilihan lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan menjadi objek

penelitian untuk dikaji secara stilistika mempunyai beberapa pertimbangan.

Pertama, lirik-lirik lagu tersebut mengandung pemanfaatan aspek bunyi

bahasa, pilihan kata (diksi), dan gaya bahasa yang menarik untuk diteliti.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa keseharian yang komunikatif dan

mudah dipahami, sehingga pendengar tidak harus berpikir keras untuk

mendalami makna lagu tersebut.

Kedua, lagu-lagu karya Nur Bayan sangat merakyat karena selalu

menonjolkan tema-tema bernuansa cinta, kesedihan, keprihatinan, dan

penggambaran kisah hidup kaum marginal atau wong cilik sebagai wujud

kritik sosial secara tidak langsung melalui lagu.

Ketiga, dalam lirik lagu ini terdapat jenis-jenis pelanggaran

kesusilaan terkait norma-norma masyarakat seperti perselingkuhan, judi,

minum minuman keras (miras), Wanita Tuna Susila (WTS) yang ditemukan

dalam judul lagu Bojo Simpenan (BS), Bojo Ketelu (BK), doremi (D),

Oplosan (O), Cupet Ati 1 (CA 1), dan Cupet Ati 2 (CA 2). Dari beberapa

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

5

lagu tersebut semuanya mengandung aspek stilistika yaitu aspek penanda

bunyi, aspek penanda diksi, aspek gaya bahasa, dan aspek pencitraan.

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan lagu-lagu

berbahasa Jawa dengan pendekatan stilistika antara lain:

1. Kajian Stilistika Bahasa Jawa dalam Lagu Karya Koes Ploes oleh Rani

Gutami (2005). Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk lirik lagu

karya Koes Ploes berupa parikan, wangsalan, bentuk morfologi dan pola

rima. Deskripsi makna dalam penelitian tersebut berupa repetisi, aliterasi,

asonansi yang disesuaiakan dengan konteks. Adapun fungsi lirik lagu

dalam lagu-lagu karya Koes Ploes antara lain fungsi pendidikan, nilai-

nilai kepemimpinan, dan nilai moral.

2. Kajian Stilistika Lirik Lagu Bahasa Jawa Karya Sujiwo Tejo oleh Dewi

Arum Sari (2009). Penelitian oleh Dewi Arum Sari memaparkan

pemanfaatan aspek bunyi, kekhasan morfologi yang bersifat literer serta

reduplikasi, diksi, dan gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu

berbahasa Jawa karya Sujiwo Tejo.

3. Kajian Stilistika Kidung Wêcatantular Karya Syekh Maulana Lawu Warta

oleh Winda Prasetya Ningrum (2014). Penelitian ini mendeskripsikan

adanya pemanfaatan aspek bunyi bahasa, diksi atau pilihan kata, serta

gaya bahasa yang pada setiap larik kidung tersebut memanifestasi nilai -

nilai budaya Jawa.

4. Kajian Stilistika Lirik Lagu Komunitas Jogja Hip-Hop Foundation oleh

Ema Andriyani (2014). Penelitian oleh Ema Andriyani tersebut

mendeskripsikan adanya pemanfaatan aspek bunyi bahasa, diksi atau

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

6

pilihan kata, gaya bahasa serta pencitraan yang tedapat pada lirik lagu

Komunitas Jogja Hip Hop Foundation.

5. Telaah Stilistika Syi‟ir Mitra Sejati Karya Kiai Bisri Mustofa oleh Nur

Hamidah Fitriyani (2015). Penelitian tersebut memaarkan adanya

pemanfaatan gaya bahasa, diksi, aspek bunyi yang ditemukan pada teks

Syi‟ir Mitra Sejati. Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam syi‟ir yang

diteliti yaitu nilai moral, sosial, budaya, dan pendidikan (edukatif).

Berdasarkan kajian yang terdahulu, maka penelitian stilistika lirik

lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan belum pernah dilakukan. Di samping

itu, lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan menggunakan bahasa yang

unik dan khas yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Bahasa yang

komunikatif sesuai dengan perkembangan selera musik generasi muda,

terlebih adanya aksen pelanggaran kesusilaan terkait norma-norma

masyarakat yang disampaikan melalui lirik lagu, sampai sekarang ini belum

ada pengarang yang mampu mengangkat hal tersebut secara gamblang

(blaka) seperti Nur Bayan. Berdasarkan asumsi di atas, penulis mengambil

judul penelitian kajian stilistika lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.

Selanjutnya disingkat dengan LLBJKNB.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah diperlukan untuk menghindari meluasnya suatu

permasalahan dalam penelitian, maka dalam kesempatan ini penulis menekankan

batasan mengenai objek kajian yang akan diteliti, sehingga akan dapat

memperjelas dan mempertegas pembatasan masalah tersebut.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

7

Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi pada kajian stilistika lirik lagu

berbahasa Jawa karya Nur Bayan. Lirik lagu akan dianalisis atau dikaji dari segi

pemanfaatan pola bunyi khusus yang menonjol, adanya proses afiksasi,

perulangan pola frasa, kata, dan kalimat, pemilihan dan pemakaian kosakata atau

diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang akan diteliti dengan kajian stilistika.

C. Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih jelas dan terarah, maka peneliti

memfokuskan penelitian dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam

lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan?

2. Bagaimanakah diksi dan pemilihan kosakata dalam lirik lagu berbahasa Jawa

karya Nur Bayan?

3. Bagaimanakah penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu berbahasa Jawa

karya Nur Bayan?

4. Bagaimanakah pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa

karya Nur Bayan?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian mengenai telaah stilistika lirik lagu

berbahasa Jawa karya Nur Bayan yaitu mendeskripsikan secara jelas mengenai:

1. Pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek bunyi bahasa dalam lirik lagu

berbahasa Jawa karya Nur Bayan

2. Diksi dan pemilihan kosakata dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur

Bayan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

8

3. Penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.

4. Pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoretis

dan praktis.

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat

bagi teori-teori linguistik, khususnya teori stilistika bahasa Jawa.

b. Manfaat Praktis

1. Bisa digunakan untuk memberi informasi kepada para pemerhati bahasa

dan sastra Jawa mengenai Lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan

yang secara garis besar memuat pelanggaran kesusilaan terkait norma-

norma masyarakat yang perlu untuk dijadikan bahan koreksi bersama.

2. Bisa memberi pengetahuan tentang pemanfaatan potensi bahasa

seorang pengarang dengan mengangkat musikalitas kaum marginal.

3. Bisa dijadikan sebagai bahan motivasi kepada para pengarang lagu

agar dapat berkarya lebih baik.

4. Bisa dijadikan sebagai bahan materi ajar stilistika di tingkat SLTA maupun

Perguruan Tinggi.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

9

F. Landasan Teoretis

Linguistik merupakan ilmu yang berupaya menelaah bahasa dan

menjadikan bahasa sebagai objeknya, sedangkan stilistika merupakan bagian dari

linguistik yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa terutama dalam

karya sastra. Penelitian bahasa terhadap lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur

Bayan ini menggunakan kajian stilistika.

Landasan teoretis merupakan arahan penalaran untuk sampai pada

pemberian jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Kajian teori yang

digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang telah

ditetapkan, yaitu mengenai stilistika, unsur perulangan bunyi, diksi, gaya bahasa,

dan pencitraan.

1. Stilistika

Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam

karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa serta gaya bunyi,

pilihan kata, kalimat wacana, citraan, hingga bahasa figuratif (Al-Ma‟ruf,

2009:12). Satoto (2012:6), mendefinisikan stilistika sebagai bidang linguistik

yang mengemukakan teori dan metodologi pengkajian atau penganalisisan formal

sebuah teks sastra, termasuk dalam pengertian extended. Extended yang dimaksud

adalah suatu kajian yang menggunakan bahasa sebagai unsur penting, dan

menerima teori lingusitik sebagai sesuatu yang amat relevan.

Menurut Kridalaksana, pengertian stilistika (stylistics) adalah 1. ilmu yang

menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; interdisipliner antara

linguistik dan kesusastraan; 2. Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa

(2008:227). Pendapat tersebut sepihak dengan pendapat Sujiman (dalam Sujono,

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

10

1988:1) yang mendefinisikan stilistika ialah ilmu yang meneliti penggunaan

bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra.

Nyoman Kutha Ratna (2014:10) berpendapat bahwa stilistika merupakan:

1) Ilmu tentang gaya bahasa.

2) Ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra.

3) Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya

bahasa.

4) Ilmu yang menyelidiki pemakaiana bahasa dalam karya sastra.

5) Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan

mempertimbangkan aspek-aspek keindahan-keindahannya sekaligus latar

belakang sosialnya.

Junus (1989:xvii) dalam buku Stililistik Satu Pengantar, melengkapi

beberapa definisi linguistik di atas dengan menyimpulkan bahwa stilistik (dari

stylistic) atau stilistika mungkin lebih tepat dipahami sebagai linguistik yang

digunakan untuk mempengkaji pemakaian bahasa dalam karya sastra karena

adanya keistimewaan di dalamnya.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa stilistika

merupakan suatu kajian yang dapat diterapkan dalam karya sastra baik itu

berupa prosa atau puisi yang termasuk di dalamnya lirik lagu dan

berorientasi pada bidang linguistik dengan menggunakan parameter bahasa.

Stilistika menurut hemat penulis berfungsi untuk menunjukkan pemanfaatan

potensi bahasa untuk menciptakan efek-efek yang berkesan estetis melalui

gaya kepengarangan (style).

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

11

2. Pemanfaatan Aspek Bunyi (Purwakanthi)

Purwakanthi berasal dari kata purwa „wiwitan‟ dan kanthi yang berarti

gandhèng „menggandeng‟; kanca „teman‟, nganggo „memakai‟, migunaakên

„menggunakan‟. Berdasarkan etimologi tersebut Padmosoekotjo (1960:85)

memberikan definisi bahwa purwakanthi atêgês: nggandhèng kang wis kasêbut

ana ing purwa utawa wiwitan. Maksudte: perangan kang buri nggandhèng kang

wis kasêbut ana ing perangan wiwitan utawa purwa, utawa kang wis kasêbut ana

ing perangan ngarêp. Wondene sing digandhèng iku swara utawa aksarane,

tarkadang tembunge „Purwakanthi artinya, menggandeng yang sudah disebut di

awal. Maksudnya, bagian belakang menggandeng yang sudah disebutkan pada

bagian awal, atau yang disebut pada bagian awal. Adapun yang digabungkan yaitu

suara atau huruf, terkadang katanya.‟

a. Asonansi (Purwakanthi Swara)

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi

vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam

prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan (Keraf,

2002:130).

Contoh:

(5) Dorèmi dadhu karo rèmi (D/I/1) „Doremi dadu dan remi‟

Wiwit iki mbok ya dilèrèni (D/I/2) „Mulai sekarang sebaiknya dihentikan‟

Asonansi yang ditunjukkan pada data (5) adalah asonansi vokal /i/ jêjêg

yang mengalami perulangan bunyi vokal pada suku kata terakhir dari kata dorèmi

„doremi‟, rèmi „remi‟, wiwit iki „mulai sekarang‟, dan dilèrèni „dihentikan‟.

Khusus untuk vokal /a/ miring pada bahasa Jawa dengan distribusi di

belakang hanya ditemukan pada tiga kata berdasarkan pendapat Sasangka

(2013:3), vokal /a/ miring iku bisa dumunung ing ngarêp, ing têngah, lan ing

buri tembung, nanging kang dumunung ing buri tembung mung ana telu, yaiku

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

12

ora, boya lan kroya „vokal /a/ miring itu bisa berada di depan, di tengah, dan di

belakang kata, tetapi yang di belakang kata hanya ada tiga yaitu ora, boya lan

kroya.

b. Aliterasi (Purwakanthi Sastra)

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi

konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam

prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan (Keraf, 2002:130).

Contoh:

(6) Nèng kene kabeh kanca (PJ/VI/1) „Di sini semua teman‟

Aliterasi yang ditunjukkan pada data (6) adalah aliterasi konsonan /k/

yang mengalami perulangan bunyi pada suku kata pertama dari kata nèng kene „di

sini‟, kabeh „semua‟, dan kanca ‟teman‟.

c. Purwakanthi Lumaksita/ Purwakanthi Basa

Purwakanthi basa yaitu pengulangan bunyi atau suku kata secara

beruntun. Misalnya dalam lagu anak: tanggal siji-jiman tholo-lobak lopis-pista

raja-jaka bagus-Gusti kula (Kridalaksana, 2008:204).

3. Diksi dan Aspek Penanda Morfologis

a. Diksi

Diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek

tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang

(Kridalaksana, 2008:50). Panuti Sujiman (dalam Sujono dan Endang Siti

Saparinah, 1988:63) menjelaskan bahwa diksi adalah pemilihan kata untuk

mengungkapkan gagasan. Diksi yang berarti pilihan kata, di dalam karang-

mengarang mengingat bahwa kata memiliki beberapa muatan antara lain: bunyi,

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

13

arti lugas atau kias, tersurat atau tersirat, nilai simbolik atau metaforis, dan irama.

Keunikan diksi yang dipakai Nur Bayan antara lain.

1) Sinonimi

Sinonimi berasal dari kata shy „sama‟ dan onoma „nama‟. Berdasarkan

etimologi tersebut, Keraf (2002:34) menjelaskan bahwa sinonimi adalah suatu

istilah yang dapat dibatasi sebagai, (1) Telaah mengenai bermacam-macam kata

yang memiliki makna yang sama, atau (2) Keadaan dimana dua kata atau lebih

memiliki makna yang sama.

Contoh:

(7) Tansah tak trima (CA 2/I/4) „Selalu saya terima‟

Tak tampa kanti ikhlas ati (CA 2/I/5) „Saya terima dengan ikhlas hati‟

Sinonimi pada data di atas terletak pada akhir baris pertama, dan pada

awal baris kedua data (7). Kata yang bersinonim yaitu kata tak trima „saya terima‟

dan tak tampa „saya terima‟ yang memiliki padanan arti.

2) Antonimi

Antonim yaiku tembung, frasa, utawa ukara kang duwe têgês walikan karo

têmbung, frasa, utawa ukara liyane. „Antonim yaitu kata, frasa atau kalimat yang

mempunyai arti berlawanan dengan kata, frasa atau kalimat lainnnya. Antonim

basa Jawa dibedakake dadi papat yaiku (a) antonim mutlak, ing antarane yaiku:

mati „mati‟>< urip‟hidup‟, lanang „laki-laki‟>< wadon „perempuan‟, swarga

„surga‟>< neraka „neraka‟, (b) antonim tingkatan (berjenjang), kayata: dawa

‟panjang‟>< cendhak „pendek‟, enom „muda‟>< tuwa” tua, endhek „pendek‟ ><

dhuwur ‟tinggi‟ (c) antonim arah, antarane: lor „utara‟ >< kidul ‟selatan‟, wetan

„timur‟ >< kulon „barat‟, ngarep „depan‟ >< buri „belakang‟ (d) antonim walikan

antarane yaiku: dokter >< pasien, kaki „kakek‟>< nini „nenek‟ (Sasangka,

2013:205-207). Menurut Keraf (2002:39), istilah antonimi dipakai untuk

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

14

menyatakan “lawan makna” sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim.

Antonimi adalah relasi antar makna yang wujud logisnya sangat berbeda atau

bertentangan.

Antonimi dapat diartikan sebagai satuan lingual yang

berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual lain, sehingga antonimi disebut juga

oposisi makna. Berdasarkan sifatnya opsisi makna dapat dibedakan menjadi lima

macam yaitu: (1) oposisi mutlak, misalnya: hidup><mati, diam><bergerak, (2)

oposisi kutub, misalnya: panjang><pendek, lebar><sempit, (3) oposisi hubungan:

dosen><mahasiswa, jual><beli, (4) oposisi hirarkial, misalnya: detik><

minggu>< jam>< hari>< minggu>< bulan>< tahun, (5) oposisi majemuk,

misalnya: berdiri>< jongkok>< duduk>< berbaring (Sumarlam, 2013:63-67).

3) Kosakata Asing

Kosakata asing dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan terdiri

dari kosakata bahasa Indonesia dan kosakata bahasa Inggris. Penggunaan kosakata

bahasa asing tersebut mempermudah penyampaian dan penerimaan makna.

Berikut kutipan contoh pemakaian kosakata bahasa Indonesia yang terdapat pada

LLBJKNB.

(8) Lagu sing sêring diputêr sabên dina (GA/II/6)

„Lagu yang sering diputar setiap hari‟

Kosakata bahasa Indonesia pada data di atas adalah kata lagu di awal

baris. Kata lagu dalam bahasa Jawa memiliki penamaan tersendiri yaitu tembang.

4) Kata Sapaan

Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk bertegur sapa kepada

lawan bicara, berbentuk kata atau frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan

menurut sifat dan hubungan di antara pembicara itu seperti anda, ibu, saudara.

Contoh:

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

15

(9) Dhuh Kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA 2/II/1)

„Duh Kakanda memang lapang benar hatimu‟

Kata sapaan yang ditunjukkan data (9) tersebut, berdistribusi pada kata

kedua. Kata Kangmas „Kakanda‟ ditujukan untuk bertegur sapa dengan lawan

bicara yang sangat akrab dengan pembicara.

5) Tembung Saroja

Tembung sarodja “ateges rangkep”. Teges liya yaiku kembang terate

padma, kumuda, pangkadja. Dadi tembung saroja yaiku tembung rangkep. Yaiku

tembung loro kang padha utawa mèh pada tegese dianggo bebarengan. Mesti bae

sawise tembung loro iku dirangkep tegese rada beda katimbang karo yen mandeg

dhewe-dhewe. „Tembung sarodja “berarti rangkap”. Arti lain yaitu kembang

terate padma, kumuda, pangkadja. Jadi tembung sarodja yaitu kata rangkap.

Yaitu dua kata yang sama atau hampir sama artinya dipakai bersamaan. Tentu saja

setelah kedua kata yang sama itu dirangkap maksudnya akan sedikit berbeda

daripada ketika berdiri sendiri-sendiri (Subalidinata, 1968:23).

Contoh:

(10) Bulane bundêr sêsêr (SS/VII/1) „Bulannya bulat melingkar‟

Data (10), menunjukkan adanya tembung saroja yaitu pada kata bundêr

sêsêr „bulat melingkar‟ yang berdistribusi pada akhir baris.

6) Kosakata Kawi (Tembung Kawi)

Istilah Kawi berasal dari kavi yang berarti „pujangga, penyair‟ dan kata

kawya atau kavya yang berarti „sajak, syair, puisi (Mardiwarsoto dalam Abdullah,

2007:13). Istilah Kawi dipakai untuk pengertian bahasa yang yang dipakai oleh

para pujangga, baik kuna maupun baru, karena kawi berarti „penyair‟ (Zoetmulder

dalam Abdullah, 2007:13). Kosakata Kawi dalam syair lagu dipergunakan agar

memunculkan efek keindahan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

16

Contoh:

(11) Gunung Merapi mbledhos ngêtokne dahana (PM/I/2)

„Gunung Merapi meletus mengeluarkan api‟

Pada data (11) menunjukkan adanya kosakata Kawi pada kata terakhir dari

baris tersebut. Kata dahana dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan arti

dengan kata api.

7) Tembung Garba

Tembung garba tegesè tembung rerangkèn, tembung sesambungan,

tembung kang kadadèan saka gandènge tembung loro utawa luwih. Tembung

garba artinya kata yang dirangkai, kata gabungan, kata yang terbentuk dari

penggabungan dua kata atau lebih‟.

Contoh:

sinom garbane tembung : si + enom (jênêng têmbang)

wirotama garbane tembung: wira + utama (linuwih ing kaprawirane)

sireku saka tembung: sira + iku (Padmosoekotjo, 1960:29)

Pada LLBJKNB, di temukan tembung garba yaitu kata anèng. Kata anèng

merupakan gabungan dari kata ana + ing yang mengalami persandian. Di dalam

data, kata anèng tidak ditemukan secara utuh akan tetapi mengalami penghilangan

vokal di awal.

8) Tembung Panyeru

Tembung panyeru utawa kata seru (interjeksi) yaiku tembung kang

ngambarake wedharing rasa seneng, rasa keget, rasa kuciwa, rasa kagêlan, rasa

susah, lan rasa gumun. Tembung panyeru uga ana sing ngarani tembung lok.

Kata seru yaitu kata yang menggambarkan rasa senang, kaget, kecewa, sedih, dan

heran. Kata seru juga disebut dengan tembung lok (Sasangka, 2013:137-138).

Kata seru dalam bahasa Jawa yaitu adhuh, ah, he, o, oh, nah, wah,

hah, heh, hus, huh, hi, sokur, hore, iyung, walah, tobat, eman, halo, yahud.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

17

Contoh:

(12) Dhuh kangmas pancèn jêmbar têmênan atimu (CA2/II/1)

Isih nrima apa anane awakku (CA2/II/2)

„Duh Kakanda memang lapang betul hatimu‟

„Masih menerima apa adanya diriku‟

Kata dhuh pada data di atas merupakan têmbung panyeru yang

diaferesis pada awal katanya. Kata dhuh berasal dari ungkapan adhuh yang

menggambarkan rasa sedih.

9) Penambahan dan pengurangan bunyi pada kata

Menurut Sasangka (2013:19), obah-owahe swara iku jalaran katambah

swarane, kasuda swarane, lan ana uga kang swarane pindhah panggonan.

Perubahan bunyi yang dimaksud yaitu perubahan yang diakibatkan bertambahnya

bunyi, berkurangnya bunyi, dan bunyi yang mengalami perpindahan posisi.

a. Penambahan bunyi

Penambahan bunyi atau panambahing swara dibedakan menjadi tiga yaitu

protesis, epentesis, dan paragog.

1. Protesis

Protesis merupakan penambahan vokal atau konsonan pada awal untuk

memudahkan lafal; misalnya penambahan [e] pada enyah, elang dsb.

(Kridalaksana, 2008:203).

Protesis yaiku tambahe swara ing wiwitane tembung kang ora nganti

ngowah surasane tembung. Protesis yaitu bertambahnya bunyi di awal kata yang

tidak sampai merubah makna kata (Sasangka, 2013:19).

Contoh:

nanging → ananging „tetapi‟

jare → ujare „katanya‟

ana → nana „ada‟

ing → ning „di‟

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

18

2. Epentesis

Epentesis ialah penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata, terutama

kata pinjama untuk menyesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam;

misalnya penyisipan /e/ dalam kata kelas (Kridalaksana, 2008:58).

Epentesis yaiku tambahe swara ing tengah tembung. Sanadyan ing

tengah tembung tinambahan utawa sineselan swara surasaning tembung ora

nganti owah. Epentensis adalah bertambahnya bunyi di tengah kata. Meskipun

mendapat penambahan di tengah kata atau mendapat sisipan bunyi tidak

mengubah arti kata tersebut (Sasangka, 2013:20).

Contoh:

Kambil → krambil „kelapa‟

Akasa → angkasa „angkasa‟

Ngipi → ngimpi „bermimpi‟

3. Paragog

Paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata untuk keindahan

bunyi atau kemudahan lafal; misalnya penambahan bunyi [u] pada kata bangku,

lampu dsb. (Kridalaksana, 2008:173).

Paragog yaiku tambahe swara ing pungkasane tembung nanging

surasane tembung ora ganti owah. Paragog yaitu bertambahnya suara di akhir

kata tetapi tidak merubah makna kata (Sasangka, 2013:20).

Contoh:

Dudu → duduk „bukan‟

Ora → orak „tidak‟

Ibu → ibuk „ibu‟

b. Pengurangan bunyi

Panyudaning swara utawa abreviasi ing sawijining tembung bisa

dibedaake dadi telu, yaiku aferesis, sinkop, lan apokop. Abreviasi iki uga ana

kang ngarani plutan (tembung plutan). Pengurangan bunyi atau abreviasi pada

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

19

suatu kata dibedakan menjadi tiga yaitu aferesis, sinkop, dan apokop. Abreviasi

disebut juga dengan tembung plutan (sasangka, 2013:20).

Pluta atêgês: rangkêp, dipluta atêgês: dirangkêp, têmbung pluta

têgêse: ana wandane têmbung iku loro (rong wanda, rong kêcap) sing dirangkêp

didadekake siji, didadekake sawanda (sakêcap) marga ana wandane loro sing

dirangkêp didadekake siji mesthi bae cacahe wandane têmbung iku banjur suda

akèhe. Pluta berarti: rangkap, dipluta berarti: dirangkap. Kata pluta berarti: ada

dua suku kata dalam kata tersebut yang dirangkap (dua suku kata, dua ucap)

dijadikan satu atau dijadikan satu suku kata (satu ucap) oleh karena ada dua suku

kata yang dirangkap dijadikan satu maka jumlah suku katanya akan berkurang

(Padmosoekotjo, 1960:46).

1. Aferesis

Aferesis adalah penanggalan bunyi atau kata dari awal sebuah ujaran;

misalnya Selamat pagi! menjadi Pagi! (Kridalaksana, 2008:3).

Aferesis yaiku sudane swara ing wiwitane tembung. Sanadyan

mengkono, surasane tembung ora nganti owah. Aferesis yaitu berkurangnya

bunyi di awal kata. Meskipun demikian, makna kata tidak sampai berubah

(Sasangka, 2013:20).

Contoh:

Kakang → kang „Kakanda‟

Uwong → wong „orang‟

Bapak → pak „bapak‟

Bisa → isa „dapat‟

Simbah → mbah (sebutan untuk

kakek atau nenek)

Contoh aferesis yang ditemukan dalam LLBJKNB:

(13) Ra kenal penyanyine (PJ/VIII/1) „Tidak kenal penyanyinya‟

Ra ngerti penciptane (PJ/VIII/2) „Tidak tahu penciptanya‟

Aferesis pada data (13), menunjukkan adanya penghilangan atau

penanggalan suku kata pertama pada kata ora „tidak‟. Berdasarkan data tersebut

aferesis ra „tidak‟ berdistribusi di awal kalimat.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

20

2. Sinkop

Sinkop yaitu hilangnya bunyi atau huruf dari tengah-tengah kata;

misalnya L. domina menjadi Sp. donna (Kridalaksana, 2008:222).

Sinkop yaiku sudane swara ing tengah tembung. Sanadyan ana

sesudan swara ing tengah tembung, surasane ing tembung ora owah. Sinkop

yaitu pengurangan bunyi di tengah kata. Meskipun mengalami pengurangan bunyi

di tengah kata, tidak mengubah makna kata (Sasangka, 2013:21)

Contoh:

Sethithik → sithik

Temenan → tenan

Njaluk → njuk

Dhuwit → dhit

Weneh → weh

3. Apokop

Apokop adalah pemenggalan satu bunyi atau lebih dari ujung kata

(Kridalaksana, 2008:18).

Apokop yaiku sudane swara ing pungkasaning tembung. Sanadyan ana

sesudan ing pungkasaning tembung, surasane tembung babar blas ora owah.

Apokop yaitu pengurangan bunyi di akhir kata. Meskipun terdapat pengurangan

di akhir kata, makna kata sama sekali tidak berubah (Sasangka, 2013:21)

Contoh:

Temenan → temen

Kuluban → kulub

Kangmas → mas

Pada penelitian ini hanya ditemukan penambahan bunyi berupa epentensis

dan pengurangan bunyi berupa aferesis.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

21

b. Aspek Penanda Morfologis

1) Reduplikasi (Tembung Rangkep)

Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik

secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi.

Oleh karena itu, lazim dibedakan adanya reduplikasi penuh, seperti meja-meja

(dari dasar meja), reduplikasi sebagian seperti lelaki (dari dasar laki), dan

reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik (dari dasar balik) (Abdul

Chaer, 2012: 182-183)

Reduplikasi atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah tembung

rangkep. Kata ulang terbagi menjadi beberapa jenis antara lain: 1) Reduplikasi

Penuh (r), 2) Reduplikasi Bervariasi Bunyi/ Dwilingga Salin Swara (rv), 3)

Reduplikasi Parsial (rp), 4) Reduplikasi Parsial Bervariasi Bunyi (rpv).

Reduplikasi penuh (r) merupakan reduplikasi yang wujud fonemis sebagai

kata ulangannya sama dengan betuk dasar contoh: rêsik-rêsik „bersih-bersih‟, ayu-

ayu „cantik-cantik‟, dhuwur-dhuwur‟tinggi-tinggi‟; Reduplikasi bervariasi bunyi/

dwilingga salin swara (rv) adalah morfem ulang dengan bentuk perulangan yaitu

fonemisnya mirip dengan fonemis bentuk dasar yang dikenai proses pengulangan

contoh: sêlang-sêling „selang-seling‟, wira-wiri „mondar-mandir‟, wêrna-wêrni

„warna-warni‟; Reduplikasi parsial (rp) yaitu reduplikai dengan perulangan

sebagian morfem yang wujud fonemisnya sama dengan wujud fonemis penggalan

bentuk dasar yang dikenai proses pengulangan contoh: têtanduran „tetanaman‟,

lung-tinulung „bantu-membantu‟, disêlak-sêlakake „didahulu-dahulukan‟;

Reduplikasi parsial bervariasi bunyi (rpv) yaitu reduplikasi dengan morfem ulang

sebagai ulangan mirip dengan wujud fonemis penggalan bentuk dasar yang

dikenai proses pengulangan contoh: diwêrna-wêrni „diwarna-warni‟ (Perkuliahan

Morfologi pada tanggal 11 Oktober 2013).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

22

Reduplikasi dalam bahasa Jawa menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu

Sasangka (2013:97) ada tiga yaitu dwipurwa, dwilingga, dan dwiwasana.

Dwipurwa iku têmbung kang dumadi saka pangrangkêpe purwane têmbung

lingga utawa pangrangkêpe wanda kawitaning têmbung. „Dwipurwa itu kata yang

berasal dari reduplikasi awal kata dasar atau reduplikasi suku kata awalan kata‟

(Sasangka, 2013:97). Kata ulang dwipurwa ialah pengulangan suatu kata atas

suku kata awal dengan mengalami pelemahan vokal dari posisi tengah menjadi

pêpêt (Rohmadi dkk, 2012:100).

Contoh dwipurwa

bungah → bubungah→ bêbungah (Sasangka, 2013:97)

Dwilingga yaiku têmbung lingga kang karangkêp. Pangrangkêpe têmbung

lingga iku ana kang karangkêp wutuh lan mawa owah-owahan swara „dwilingga

yaitu kata dasar yang diulang. „Pengulangan/reduplikasi kata dasar tersebut ada

yang diulang utuh/penuh dan dengan perubahan suara‟ (Sasangka, 2013:100).

Contoh dwilingga wutuh

bagus → bagus-bagus (Sasangka, 2013:100)

Contoh dwilingga salin swara

Takon → takon-takon → tokan-takon (Sasangka, 2013:103)

Dwiwasana iku têmbung kang ngrangkêp wanda wêkasan utawa

ngrangkêp wasanane têmbung „Dwiwasana itu kata yang merangkap suku kata

terakhir atau mengulang akhir kata (Sasangka, 2013:104-105).

Contoh dwiwasana

Cêngês → cêngêsngês → cêngêngês

Dalam penelitian ini hanya ditemukan dwipurwa yaitu proses perulangan

dengan mengulang morfem terikat.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

23

2) Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan cara membubuhkan

afiks terhadap bentuk dasar baik yang berupa pokok kata, kata asal, maupun

bentuk-bentuk kata yang lainnya (Mulyono, 2013:75). Afiksasi sebagai penanda

aspek stilistika menurut pendapat penulis yaitu proses pembentukan kata dengan

menambahkan prefiks, infiks, sufiks, maupun konfiks.

a) Prefiks (awalan)/ ater-ater, yaitu afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar

meliputi {ka-}, {a(N)} atau {a-}, {ma-}, {pa-}.

Contoh: (ka-) + serat → kaserat „ditulis‟

b) Infiks (sisipan)/ seselan, yaitu afiks yang diletakkan di tengah bentuk dasar

meliputi {-in-}, {-um-}.

Contoh: singkir + (-um-) → sumingkir „menyingkir‟

c) Sufiks (akhiran) / panambang, yaitu afiks yang diletakkan di belakang bentuk

dasar meliputi {-ing} atau {-ning}, {-ira}, {-nira}, dan {-nya}.

Contoh: mantep + (-ing) → manteping „keteguhan‟

d) Konfiks / imbuhan sesarengan, yaitu afiks yang terdiri atas dua unsur yaitu di

depan dan di belakang bentuk dasar meliputi {ka-an} dan {pa-an}.

Contoh: ka-an + pinter → kapinteran „kepandaian‟

Pada LLBJKNB hanya ditemukan bentuk afiksasi berupa infiks. Berikut contoh

infiks yang terdapat dalam LLBJNB.

(14) Awune mubal lahar panas dha sumêbar (PM/I/3)

„Abunya keluar membuat lahar panas menyebar‟

Kata sumêbar pada data (14), mengalami penambahan infiks (seselan)

{-um-}dari yang semula berasal dari kata sêbar menjadi sumêbar.

sêbar + (-um-) → sumêbar „menyebar‟

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

24

4. Gaya Bahasa (Majas)

Gaya bahasa menurut Edgar Dale [et al] (dalam Tarigan,1985:5) adalah

bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan

memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan

benda atau hal lain yang lebih umum.

Gaya bahasa menurut penulis merupakan suatu cara mengeksplorasi dan

mengekspresikan bahasa dengan menumbuhkan imajinasi yang tersalurkan

kepada pembaca melalui medium bahasa yang indah dan khas.

a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

a) Epizeuksis

Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang

dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut (Keraf, 2002:127).

Contoh:

(15) Saya suwe saya nêlangsa rasane (SLNJ/I/1)

„Semakin lama semakin sedih rasanya‟

Kata yang diulang pada data (15) adalah kata saya „semakin‟ yang diulang

sebanyak dua kali dalam satu baris di kata pertama dan kata ketiga.

b) Anafora

Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada

setiap baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2002:127).

Contoh:

(16) Mêndême... (O/VI/4) „Mabuknya‟

Mêndême... (O/VI/5) „Mabuknya‟

Mêndême mandheg wae (O/VI/6) „Mabuknya dihentikan saja‟

Repetisi yang ada pada data (16) terdapat di awal baris. Kata yang

direpetisi adalah kata mêndême.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

25

c) Epistrofa

Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada

akhir baris atau kalimat berurutan (Keraf, 2002:128).

Contoh:

(17) Arêp sambat sapa (BS/IV/2)

Têrus aku kudu sambat sapa (BS/IV/3)

„Akan mengeluh pada siapa‟

„Terus saya harus mengeluh pada siapa‟

Perulangan pada data (17) terjadi di akhir baris yaitu dengan mengulang

kata-kata sambat sapa.

d) Mesodiplosis

Mesodiplosis, adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat

berurutan (Keraf, 2002:128).

(18) Bên dina sambat mumêt sambat ngêlu (D/V/5)

„Setiap hari mengeluh pusing mengeluh pening‟

Kata yang diulang pada data tersebut ialah kata sambat „mengeluh‟ yang

diulang sebanyak dua kali sebelum dan sesudah kata ketiga dan kelima.

e) Anadiplosis

Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat

menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya (Keraf,

2002:128). Menurut Tarigan (1985:203), anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa

repetisi di mana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi

kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

Contoh:

(19) Atiku kangên, kangênku marang kowe (SLNJ/I/2)

„Hatiku rindu, rinduku kepada dirimu‟

Data (19) menunjukkan adanya perulangan pada kata kangên „rindu‟ yang

menjadi awal tuturan setelahnya.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

26

f) Repetisi Utuh (Penuh)

Repetisi utuh (penuh) yaitu pengulangan satuan lingual secara utuh atau

penuh. Satuan lingual yang diulang ini dapat berupa satu baris, atau satu kalimat

secara utuh, atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh (Sumarlam,

2013:60).

Contoh:

(20) Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/1)

Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/2)

Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/3)

Pokoke joget... pokoke joget (PJ/I/4)

„Yang penting joget... yang penting joget‟

„Yang penting joget... yang penting joget‟

„Yang penting joget... yang penting joget‟

„Yang penting joget... yang penting joget‟

Data (20) menunjukkan adanya perulangan pada kata-kata pokoke joget

yang diulang secara penuh pada baris-baris berikutnya.

b. Gaya Bahasa Kiasan

a) Metonimia

Metonimia (berasal dari bahasa Yunani meta „bertukar‟ + onym „nama‟)

adalah sejenis gaya bahasa yang mempergunakan nama sesuatu barang bagi

sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonimia sesuatu barang

disebutkan tetapi yang dimaksud barang lain (Dale [et al] dalam Tarigan,

1985:122).

Metonimia ialah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang

ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya. Kita dapat

menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang kita maksudkan ciptaan atau

buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang dimaksud brangnya

(Moeliono dalam Tarigan, 1985:123)

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

27

Metonimia adalah salah satu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah

kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat

dekat (Keraf, 2002:142). Gaya bahasa ini berupa penggunaan sebuah objek

sebagai atribut atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya untuk

menggantikan suatu objek (Sutejo, 2010:30).

Contoh:

(21) Tutupen oplosanmu (O/III/2) „Tutup oplosanmu‟

Emanên nyawamu (O/III/3) „Sayangi nyawamu‟

Gaya bahasa yang ada pada akhir baris pertama data (21) merupakan

majas metonimia dengan menggunakan istilah oplosan sebagai atribut

menggantikan istilah minuman keras dari berbagai komposisi bahan yang

dicampur menjadi satu.

b) Sinisme

Sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk

kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.

Sinisme menurut Tarigan (1985:91), adalah ironi yang lebih kasar sifatnya, namun

terkadang sukar ditarik batas tegas antara keduanaya. Sinisme menurut

pemahaman penulis, ialah suatu acuan yang diartikan sebagai sindiran yang

mengandung ejekan.

(22) Pama biyèn kowe manut kandhane wong tuwa (D/IV/1)

Ra mungkin uripmu tansah rêkasa (D/IV/2)

Bandha lan donya (D/IV/3)

Kabèh ilang musna (D/IV/4)

Sing ana kari raga karo nyawa uwa..wa..wa..wa... (D/IV/5)

„Seumpama dahulu Kamu menurut nasehat orang tua‟

„Tidak mungkin hidupmu akan susah‟

„Harta benda‟

„Semua hilang musna‟

„Yang ada tinggal raga dengan nyawa‟

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

28

Baris terakhir dalam kutiapan data (22) memuat majas sinisme dengan

mengejek orang yang tidak menurut nasehat orang tua akan kehilangan harta

benda dan yang tersisa hanyalah raga dan nyawanya.

c) Sarkasme

Sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata

kerja sakasein yang berarti „merobek-robek daging seperti anjing‟, „menggigit

bibir karena marah‟ atau‟bicara dengan kepahitan‟ (Keraf dalam Tarigan,

1985:92). Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme ini lebih kasar.

Sarkasme adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran

pedas dan menyakiti hati‟ (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1985:92). Ciri utama

gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan getir,

menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92).

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar yang mengandung

kepahitan dan celaan yang getir sehingga menyakiti hati dan kurang enak

didengar (Keraf, 2002:143-144).

Contoh:

(23) Judhine mbok aja diterusne (D/III/2)

Mbok dipikir tuwèke (D/III/2)

Timbang sara uripe (D/III/2)

„Judinya sebaiknya jangan diteruskan‟

„Sebaiknya dipikirkan masa tuanya‟

„Daripada susah hidupnya‟

Kata sara uripe di akhir baris data (23), mengandung majas sarkasme

dengan mengecap orang yang senang berjudi dan tidak mau untuk menghentikan

kebiasaan buruknya akan susah hidupnya karena tidak memikirkan masa tuanya.

Penggunaan kata sara uripe „susah hidupnya‟ dapat membuat orang yang

bersangkutan menjadi tersinggung bahkan marah ketika mendengarkan tuturan

secara frontal seperti itu.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

29

d) Perumpamaan (Simile)

Simile berasal dari bahasa latin yang bermakna „seperti‟. Perumpamaan

adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja

kita anggap sama. Itulah sebabnya kata „perumpamaan‟ disamakan denga kata

„persamaan‟. Gaya bahasa perumpamaan secara eksplisit dijelaskan oleh

pemakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa

(Tarigan, 1985:9-10). Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, dengan

kata lain langsung menyatakan sasuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2002:138).

Contoh:

(24) Umpama bisa aku gayuh lintang (GA/III/1)

„Seumpama saya bisa meraih bintang‟

Data (24) menunjukkan adanya majas simile dengan memperumakan bisa

meraih bintang dengan diksi yang lebih eksplisit dijelaskan dengan kata umpama

„seumpama‟ di awal baris.

e) Personifikasi

Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona („orang, pelaku, aktor, atau

topeng yang dipakai dalam drama‟) + fic („membuat‟). Karena itulah apabila

mempergunakan gaya bahasa personifikasi, kita memberikan ciri-ciri atau

kualitas, yaitu kualitas pribadi orang-orang kepada benda-benda yang tidak

bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan (Dale [et al] dalam Tarigan, 1985:17).

Dengan kata lain penginsanan atau personifikasi, ialah jenis majas yang

melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang

abstrak (Tarigan, 1985:17).

Personifikasi atau prosopopoeia menurut Keraf (2002:140) adalah

semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau

barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

30

kemanuasiaan. Sedangkan Sutejo (2010:103) menambahkan bahwa gaya bahasa

ini lebih banyak dan lebih intensif untuk melukiskan sesuatu benda, barang,

organ, atau apapun yang dianggap dapat berprilaku sebagai manusia.

Contoh:

(25) Nèng simpang lima iki sing nyêksèni sumpahe ati (SLNJ/IV/3)

„Simpang lima ini yang menyaksikan sumpah hati‟

Pada data (25) terdapat majas personifikasi dengan menggambarkan

bahwa sebuah lokasi yaitu simpang lima, dalam tuturan ini seakan-akan memiliki

mata dan telinga untuk menyaksikan sumpah seseorang.

c. Gaya Bahasa Penegasan

a) Enumerasia

Enumerasia merupakan gaya bahasa penegasan dengan melukiskan suatu

peristiwa agar keseluruhan maksud kalimat lebih jelas dan lugas (Sutejo,

2010:29).

Contoh:

(26) Lêwat gêlombang radio (GA/I/1) „Lewat gelombang radio‟

Aku krungu swaramu (GA/I/2) „Saya dengar suaramu‟

Banjur kênal-kênalan (GA/I/3) „Kemudian saling berkenalan‟

Baris pertama data (26) menunjukkan adanya gaya bahasa enumerasia

yang dipertegas dengan tuturan lêwat gêlombang radio yang menceritakan suatu

peristiwa awal mula perkenalan sepasang kekasih melalui gelombang radio.

b) Hiperbola

Hiperbola menunjukkan gaya pengungkapan yang melebih-lebihkan dalam

menggambarkan sesuatu (Sutejo, 2010: 93). Hiperbola adalah semacam gaya

bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih-lebihan, dengan

membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 2002:135). Menurut Tarigan (1985:55),

hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-

lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

31

pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan

pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase, atau kalimat.

Contoh:

(27) Nangis sabên dina aku nganti asat êluhku (ARK/III/1)

„Setiap hari saya menangis hingga kering air mata saya‟

Data (27) menunjukkan adanya ungkapan yang melebih-lebihkan tuturan

dengan menggambarkan orang yang menangis sampai kering air matanya.

5. Pencitraan

Pencitraan atau pengimajian adalah transformasi gambaran pengalaman

panca indera melalui bahasa.

a. Citra Penglihatan (Visual Imegery)

Citraan penglihatan ialah jenis citraan yang sering yang menekankan

pengalaman visual (penglihatan) yang dialami pengarang kemudian

diformulasikan ke dalam rangkain kata yang seringkali metaforis dan simbolis

(Sutejo, 2010:21). Berdasarkan penegertian tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena rangsangan indera

penglihatan.

Contoh:

(28) Nganti omah-omah ajur mumur padha bubrah (PM/I/4)

„Hingga rumah-rumah hancur lebur menjadi rusak‟

Citraan yang ada pada data di atas menunjukkan hasil transformasi indera

penglihatan dengan menekankan pada tuturan ajur mumur untuk menunjukkan

bahwa untuk melihat kenyataan rumah-rumah hancur lebur karena bencana alam

yakni dengan mata.

b. Citra Pendengaran (Auditory Imagery)

Citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang

merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio) (Sutejo, 2010:22).

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

32

Penulis berpendapat bahwa citraan pendengaran adalah citraan yang erat

hubungannya dengan gambaran atau kesan diperoleh melalui indera pendengaran

yang ditandai dengan munculnya diksi bunyi suara yang dapat ditangkap oleh

indera pendengaran (telinga).

Contoh:

(29) Krungu swarane suling (PJ/III/1) „Dengar suara suling‟

Kêpènak ana nèng kuping (PJ/III/2) „Enak terdengar di telinga‟

Kata swarane pada data (29) menunjukkan adanya pencitraan pendengaran

pada kata kedua tuturan tersebut. Kata swara dikategorikan dalam citraan

pendengaran karena erat hubungannya dengan indera pendengaran yaitu telinga.

c. Citra Penciuman (Olfactory)

Citraan penciuman ialah penggambaran yang diperoleh melalui

pengalaman indera penciuman (Sutejo, 2010:23). Citraan penciuman menurut

versi penulis ialah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang

dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini ditandai dengan kata-kata yang

seolah-olah membuat kita seperti mencium sesuatu.

Contoh:

(30) Arume kêmbang mêkar ing wayah bêngi (SLNJ/III/4)

„Harumnya bunga mekar di waktu malam‟

Kata arume „harumnya‟ pada awal kalimat data (30) menunjukkan adanya

citraan penciuman. Kata arume „harumnya‟ erat hubungannya dengan indera

penciuman yaitu hidung.

d. Citra Perabaan (Tactile Imagery)

Citraan perabaan ialah penggambaran atau pembayangan dalam cerita

yang diperoleh melalui pengalaman indera perabaan (Sutejo, 2010:24). Menurut

hemat penulis, Citraan perabaan adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indera

peraba (kulit). Adanya citra perabaan diidentifikasi dengan menemukan diksi

yang dapat dirasakan kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, dan sebagainya.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

33

Untuk memperjelas citraan perabaan dapat diilustrasikan dengan contoh berikut.

Lembut wajahnya menyudutkan aku dalam kelap sepi. Sesekali jerawatnya,

semakin menyentakkan imajinasiku untuk menyentuhnya. Aku terkejut, ketika di

ujung mimpi kurasakan dingin bibirnya yang merah (dikutip dari Sutejo,

2010:24).

e. Citra Gerak (Kinaesthetic Imagery)

Citraan ini, menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak,

tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya

(Sutejo,2010:24). Citraan gerak menurut asumsi penulis ialah citraan yang

berhubungan dengan indera penggerak atau menimbulkan imajinasi pembaca

bahwa sesuatu yang tidak bergerak seolah-olah bergerak.

Contoh:

(31) Mêndhung mêntiyung langit Tulungagung (MMLT/III/1)

Mayungi tresnaku sing wurung (MMLT/III/2)

„Awan menggelayut di langit Tulungagung‟

„Memayungi cintaku yang kandas‟

Kata mayungi „memayungi‟ pada awal baris kedua data di atas,

dikategorikan dalam citraan gerak karena menimbulkan imajinasi pembaca bahwa

awan gelap dapat seolah-olah bergerak mengikuti seseorang yang sedang patah

hati.

6. Nur Bayan dan Karyanya

Nur Bayan adalah seorang seniman yang lahir di Kediri, Jawa Timur, 14

Juni 1983; ia adalah pencipta lagu sekaligus penyanyi campursari dan dangdut.

Dialah pencipta lagu “Oplosan” dan “Pokoke Joget” yang mana kedua lagu

tersebut mampu menghipnotis masyarakat pencinta musik koplo. Pria asal Kediri,

Jawa Timur ini kerap membawakan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Sempat ramai

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

34

dengan kasus hak cipta lagunya, sekarang Nur Bayan masih mencoba tetap eksis

di blantika musik Indonesia.

Pada awal tahun 90-an, Nur Bayan telah berkecimpung di dunia tarik

suara, namun hanya di lingkup Provinsi Jawa Timur saja. Tahun 2007, ia mulai

memberanikan diri untuk lebih giat di dunia musik dengan tidak hanya bernyanyi

tetapi juga menciptakan lagu. Di tahun ini pula Nur Bayan menciptakan lagu

dangdut koplo berjudul “Oplosan”. Lagu oplosan sendiri baru mulai dikenal

masyarakat luas sekitar tahun 2013 setelah dibawakan oleh penyanyi Pantura

yaitu Wiwik Sagita. Lagu ini semakin terkenal setelah sering ditampilkan di acara

YKS Trans TV dan dinyanyikan oleh Soimah Pancawati. Berkat lagu inilah, nama

Nur Bayan terkenal. Kini lagu-lagu ciptaannya didaulat untuk dinyanyikan

penyanyi-penyanyi pendatang baru jebolan dari Audisi Dangdut Academy (DA) di

Indosiar. Salah satu lagu ciptaannya yaitu Kejora yang dibawakan oleh Lesti juara

DA 1, dan Muara Hati yang dibawakan oleh Evi juara DA 2.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan

menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2008:153). Dalam metode

penelitian akan dipaparkan mengenai jenis penelitian, data dan sumber data, alat

penelitian, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data

dan metode penyajian analisis data.

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian mengarah pada tingkat penelitian atau berkisar pada kadar

penelitian. Penelitian ini dalam tingkatan deskriptif kualitatif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

35

secara rinci, mendalam, dan benar-benar potret kondisi apa yang sebenarnya

terjadi menurut apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002:111).

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang penentuan sampelnya

dengan cara cuplikan atau nukilan yang juga disebut purposive sampling, artinya

sampel ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan kepada sumber data

yang menghasilkan data secara produktif, penting sesuai dengan permasalahan

yang ditentukan tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36).

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mendeskripsikan

kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan dengan penetuan sampelnya

menggunakan cara cuplikan atau nukilan yang disebut purposive sampling.

Penelitian deskriptif kualitatif tingkatannya berada di antara penelitian

eksploratif dan eksplanatif.

Maksud dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah mendeskripsikan

dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data

beserta hasilnya berbentuk deskriptif. Fenomena yang dikaji tidak berupa angka

atau koefisien tentang hubungan antara variabel. Penelitian ini berusaha

mendeskripsikan data-data kebahasaan yang berwujud kata-kata.

b. Data dan Sumber Data

Data adalah semua informasi yang dicari, dikumpulkan, dipilih, serta

dipilah menjadi bahan penelitian, yang selanjutnya akan dianalisis (Sudaryanto,

1993:3). Penelitian ini menggunakan jenis data lisan dan tulis. Data lisan berupa

tuturan yang berasal dari rekaman suara/MP3 lagu-lagu Nur Bayan berbahasa

Jawa yang di dalamnya mengandung pemanfaatan pola bunyi, adanya proses

afiksasi, pengulangan pola kalimat, frasa, atau kata, pemakaian kosakata atau

diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa. Data tulis berupa transkrip lirik lagu yang di

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

36

dalamnya mengandung aspek pemanfaatan pola bunyi, adanya proses afiksasi,

pengulangan kata, frasa, atau kalimat, pemakaian kosakata atau diksi, dan

pemanfaatan gaya bahasa dari MP3.

Sumber data berasal dari rekaman dalam bentuk MP3 berjumlah 57 lagu

pada website dengan menetapkan 15 lagu sebagai sampel dalam penelitian. MP3

diakses pada tanggal 23 Maret 2014 pada pukul 15.35 dari website:

http://lagudjawaasli.blogspot.co.id/2014/01/koleksi-lagu-NurBayanterlengkap.html.

c. Alat Penelitian

Alat dalam penelitian ini meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama

dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti

mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002:35-

36). Peneliti merupakan komponen yang harus ada dalam penelitian. Dengan

ketajaman intuisi kebahasaan (lingual), peneliti mampu membagi data secara

baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993:31-32). Alat bantu berupa alat

elektronik dan alat tulis menulis. Alat bantu elektronik berupa laptop (untuk

mengetik dan menyimpan hasil data), handphone, headset (untuk mendengarkan

MP3 lagu Nur Bayan), printer (untuk mencetak hasil penelitian). Alat tulis

berupa pena, kertas, spidol (perlengkapan mentranskrip data-data serta menandai

data yang sudah ditemukan).

d. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian

langsung yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan.

Populasi adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto,

2007:36). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian lirik lagu yang

mengandung unsur perulangan bunyi, diksi, gaya bahasa, dan pencitraan pada

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

37

lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel

ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan pada sumber data yang

menghasilkan data secara produktif, sesuai dengan permasalahan yang ditentukan

dalam tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002:36). Adapun

sampel yang dimaksud adalah lirik lagu Nur Bayan yang berjudul:

1. Amung Rasa Kangen

2. Bojo Ketelu

3. Bojo Simpenan

4. Cupet Ati 1

5. Cupet Ati 2

6. Doremi

7. Gelombang Asmara

8. Mêndhung Mêntiyung Langit Tulungangung

9. Oplosan

10. Pare In Love

11. Pokoke Joget

12. Prahara Merapi

13. Simpang Lima Ninggal Janji

14. Sujud Syukur

15. Tobat Oplosan

(ARK)

(BK)

(BS)

(CA1)

(CA2)

(D)

(GA)

(MMLT)

(O)

(PIL)

(PJ)

(PM)

(SLNJ)

(SS)

(TO)

e. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode dan teknik adalah cara dalam upaya, metode adalah cara yang

harus dilaksanakan dan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto,

1993:9). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode simak.

Kemudian dilanjutkan dengan teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar

yang digunakan adalah teknik sadap yakni dengan cara penyadapan lirik-lirik

dari 15 lagu karya Nur Bayan. Teknik lanjutannya adalah teknik catat yakni

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

38

mentranskripsi hasil sadapan. Hasil transkripsi merupakan transkripsi ortografis

yakni pengalihan data yang berbentuk lisan (tuturan) ke dalam bentuk tulisan

dengan memperhatikan sistem ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Adapun

prosedural yang dilakukan peneliti antara lain: menyiapkan data, menyimak 15

lirik lagu dengan menggunakan teknik sadap, kemudian dengan mengaplikasikan

teknik catat data yang berupa tuturan ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan

untuk dianalisis berdasarkan aspek bunyi, pilihan kata, gaya bahasa, dan

pencitraan yang ada di dalamnya.

f. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

padan dan agih.

1. Metode Padan

Dalam hal ini objek sasaran dengan metode padan yaitu kesejatian atau

identitasnya ditentukan berdasarkan tinggi kadar kesepadanannya,

keselarasannya, kesesuaiannya, kecocokannya atau kesamaannya dengan alat

penentu yang bersangkutan yang sekaligus sebagai standar atau pembakuannya

(Sudaryanto, 1993:13). Dalam metode padan teknik yang digunakan adalah

teknik dasar yang disebut teknik pilah unsur penentu (PUP). Adapun alatnya

yakni daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto,

1993:21). Teknik ini digunakan untuk menganalisis unsur langsung pada majas

dan pencitraan. Penerapan metode padan dapat dilihat pada data berikut.

(32) Ana sing egol-egolan (PJ/V/1)

Ana sing punji-punjian (PJ/V/2)

„Ada yang menggoyang-goyangkan pinggul‟

„Ada yang saling memanggul (mengangkat di bahu)‟

Data di atas terdiri dari dua tuturan yaitu ana sing egol-egolan dan ana

sing punji-punjian dengan daya pilah pembeda referen pelaku dan tindakan

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

39

(agentif-aktif) dari kata ana „ada‟ yang menunjuk pada referen pelaku sebagai

subjek dan kata egol-egolan „menggoyang-goyangkan pinggul‟ serta punji-

punjian „memanggul‟ sebagai kata kerja. Unsur langsung di atas menunjukkan

adanya penggunaan citraan penglihatan karena menunjuk pada orang lain yang

sedang melakukan gerakan menggoyangkan pinggul, dan memanggul temannya.

Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena adanya rangsangan indera

penglihatan. Citraan penglihatan tersebut memiliki nilai fungsi menumbuhkan

imajinasi pendengar untuk membayangkan seolah-olah melihat orkes dangdut

dengan ada orang-orang yang melakukan kegiatan menggoyangkan pinggul dan

memanggul temannya.

2. Metode Distribusional (Agih)

Metode distribusional didasarkan pada prilaku satuan lingual tertentu

dengan satuan lingual lainnya. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah

teknik bagi unsur langsung (BUL), cara kerja teknik ini dengan membagi satuan

lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang

bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsungmembentuk satuan lingual

yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:31). Dengan kata lain, metode ini

mempermudah peneliti dalam menganalisis dengan membentuk konstruksi yang

lebih mendetail. Metode ini digunakan untuk menganalisis aspek bunyi, pilihan

kata, dan penanda morfologis. Adapun penerapan metode ini dapat dilihat pada

data berikut.

(33) Sêjatine aku trêsna têmenan (BS/IV/5)

„Sesungguhnya saya benar-benar cinta‟

Dari data di atas, terbagi menjadi dua unsur bawahan langsung yaitu

sêjatine „sesungguhnya‟ dan aku trêsna têmenan „saya benar-benar cinta‟. Kedua

unsur langsung tersebut menunjukkan adanya purwakanthi guru sastra (aliterasi)

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filekawi, kosakata bahasa Indonesia, kosakata bahasa Iggris, kata sapaan, tembung garba, tembung panyeru, aferesis, epentensis, dan beberapa

40

/t/. Dapat dilihat pada kalimat, sêjatine aku trêsna têmenan. Aliterasi /t/

berdistribusi pada suku kata kedua dari belakang (paenultima) kata sêjatine

„sebenarnya‟; awal suku kata pertama dari kata trêsna „cinta‟, dan têmenan

„sungguhan‟. Perulangan konsonan /t/ tersebut memiliki nilai fungsi

memperindah lirik lagu.

g. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal

dan informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil analisis dengan

menggunakan lambang atau tanda-tanda, sedangkan metode informal yatu

metode penyajian hasil analisis data dengan menggunkan kata-kata biasa atau

sederhana agar mudah dipahami (Sudaryanto, 1993:144-145). Penelitian ini

menggunakan metode penyajian hasil analisis data secara informal. Penerapan

metode tersebut dapat mempermudah peneliti dalam penyampaian dan

pemahaman terhadap hasil penelitian.

h. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan untuk skripsi ini adalah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teoretis, data dan sumber data,

metode dan teknik penelitian, sistematika penulisan.

Bab II Analisis Data, terdiri dari pemanfaatan dan pemilihan aspek-aspek

bunyi bahasa, diksi dan pemilihan kosakata, penggunaan gaya bahasa , serta

pencitraan yang terdapat dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan.

Bab III Penutup, terdiri dari simpulan dan saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN