Upload
trandat
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan ancaman bencana yang paling
banyak di dunia. Ancaman bencana yang mengintai Indonesia di antaranya
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Dari deretan bencana itu, tsunami adalah bahaya yang paling mengancam
dengan risiko tinggi. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi
Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy
for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia
yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena
bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa
membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa.
Indonesia terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia
yang aktif yaitu Lempeng Indo Australia di sebelah selatan, Lempeng Pasifik di
sebelah timur dan Lempeng Eurasia. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai
banyak zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Badan Metreologi
Klimatologi dan Geologi (BMKG) menguraikan bahwa pergerakan relatif ketiga
lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya mengakibatkan terjadinya
gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga
menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah
pusat sumber gempa. Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila
terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi
menimbulkan tsunami. Sebagian patahan dan gunung api juga berada di bawah
laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya berpotensi
2
membangkitkan tsunami. Kondisi ini menjadikan Indonesia rawan tsunami,
terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng.
Selain itu, kota-kota besar di Indonesia merupakan kota pantai yang
terletak di garis pantai sepanjang 95.181 km yang rawan tsunami. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 233 kabupaten
dan kota di Indonesia berada di daerah rawan ancaman tsunami. Wilayah
Indonesia yang rawan tsunami dapat dilihat pada gambar 1 yaitu bagian barat
Pulau Sumatera, bagian selatan Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, bagian utara
Papua, Sulawesi dan Maluku, serta bagian timur Pulau Kalimantan.
Gambar 1. Daerah Rawan Tsunami di Indonesia (inatews.bmkg.go.id)
Gambar 1 menunjukkan peta wilayah yang rawan tsunami. Garis berwarna
merah di sepanjang pantai Indonesia menunjukkan wilayah yang rawan tsunami,
yaitu bagian barat Pulau Sumatera (Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat,
Bengkulu, Lampung), bagian selatan Pulau Jawa (Banten, Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan, serta Jawa Timur bagian selatan),
Bali, Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur),
Keterangan :
daerah rawan tsunami
3
Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan) dan Maluku
(Maluku Utara dan Maluku Selatan), Bagian Utara Papua (Biak, Yapen, dan Fak-
Fak), serta bagian timur Pulau Kalimantan.
Tsunami yang berasal dari bahasa Jepang terdiri dari kata tsu yang berarti
pelabuhan dan nami yang berarti gelombang. Tsunami merupakan gelombang
laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif pada laut sebagai akibat
adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba dalam arah vertikal (Pond &
Pickard, 1983) atau arah horizontal (Tanioka & Satake, 1996). Triatmadja (2010)
menyebutkan longsoran yang terjadi ke dasar laut, atau letusan gunung api
(Ward, 1982), serta jatuhnya benda angkasa dapat menyebabkan tsunami yang
sangat besar. Dari keempat penyebab tersebut, perubahan dasar laut vertikal
adalah penyebab utama tsunami.
Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia telah banyak mengalami kejadian
tsunami sejak dahulu. Tercatat beberapa kejadian tsunami yang cukup besar.
Jika diinventarisasi maka sepanjang tahun 1961 – 2011, kejadian tsunami
beserta daerah bencana dan dampak tsunami dapat dilihat pada tabel 1.
4
Tabel 1.Kejadian Tsunami tahun 1961 – 2010 (modifikasi dari Diposaptono, 2008)
No. Tahun Daerah Bencana Jumlah korbantewas/luka
1 1961 NTT, Flores Tengah 2/62 1964 Sumatera 110/4793 1965 Maluku, Seram dan Sanana 71/04 1967 Tinambung (Sulsel) 58/1005 1968 Tambo (Sulteng) 392/06 1969 Majena (Sulsel) 64/977 1977 NTB dan Pulau Sumbawa 316/08 1977 NTT, Flores dan PulauAtauro 2/259 1979 NTB, Sumbawa, Bali dan Lombok 27/200
10 1982 NTT, Larantuka 13/40011 1987 NTT, Flores Timur, danPulau Pantar 83/10812 1989 NTT dan Pulau Alor 7/013 1992 NTT, Flores, dan Pulau Babi 1.952/2.12614 1994 Banyuwangi (Jatim) 38/40015 1996 Palu (sulteng) 3/6316 1996 P. Biak (Papua) 107/017 1998 Tabuna Maliabu (Maluku 34/018 2000 Banggai (Sulteng) 4/019 2004 Aceh dan Sumut >210.000/020 2005 Pulau Nias Tidak terdata21 2006 Jawa Barat, Jawa Tengah,dan DI Yogyakarta 668/022 2007 Bengkulu dan Sumatera Barat -23 2009 Kupang Nusa Tenggara Timur 300/40024 2010 Kepulauan Mentawai 286/0
Berdasarkan kejadian tsunami di Indonesia pada tabel 1, dapatlah
disimpulkan bahwa tsunami menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.
Triatmadja (2010) menguraikan tentang korban tsunami berdasarkan olahan data
dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Indonesia
memiliki jumlah dan frekuensi kejadian tsunami yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan Jepang. Namun Indonesia merupakan daerah paling
menderita akibat tsunami (gambar 2).
5
Gambar 2. Negara dengan Jumlah Korban Meninggal Terbesar Akibat BencanaTsunami Berdasarkan Data Olahan NOAA 2010 (Triatmadja, 2010)
Gambar 2 menunjukkan negara-negara dengan jumlah korban meninggal akibat
tsunami. Indonesia berada di urutan pertama dengan korban meninggal melebihi
275.000 orang sedangkan Jepang berada di urutan kedua dengan korban
meninggal hingga sekitar 160.000 orang. Kejadian tsunami di Aceh pada tahun
2004 menelan korban jiwa 82% dari total korban meninggal akibat tsunami.
Korban jiwa bukan sepenuhnya disebabkan oleh kecepatan dan gaya
tsunami. Orang yang tidak bisa berenang akan tenggelam, sedangkan orang
yang bisa berenang dapat terhantam oleh benda-benda/debris yang terbawa
arus karena arus yang deras akan membawa manusia membentur benda-benda
tersebut, serta adukan pasir dan debu menyebabkan air sangat kotor dan
membuat manusia tidak dapat melihat dalam air.
Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang tidak bisa diprediksi
waktu dan tempat kejadiannya. Ini berarti bahwa tsunami dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja serta mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Menurut
Triatmadja (2010), kerugian yang ditimbulkan oleh tsunami adalah kerugian yang
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
Indo
nesi
a
Jepa
ng
Portu
gal
Chi
li
Peru
Yuna
ni
Indi
a
Philip
ina
Paki
stan
Papu
a N
G
6
dapat diperhitungkan seperti kerusakan lingkungan dan infrastruktur (bangunan,
jembatan, jalan raya, tanah/tebing longsor) maupun kerugian yang tidak dapat
diperhitungkan seperti kehilangan nyawa manusia dan trauma psikologis bagi
mereka yang masih hidup.
Dampak psikologis yang muncul setelah terjadinya tsunami beraneka
ragam. Para korban yang masih hidup mengalami hantaman psikologis yang
berat karena menyaksikan dan mengalami langsung bencana. Reaksi psikologis
yang buruk tadi tidak hanya dialami oleh para penyintas (korban selamat) yang
mengalami kejadian langsung. Para pekerja kemanusiaan, sukarelawan, tenaga
medis juga akan merasakan gejalanya walaupun tidak mengalami kejadian
secara langsung (Kharismawan, t.t).
Kharismawan (t.t) mengemukakan bahwa para korban menunjukkan
beberapa gejala psikologis yang negatif pasca bencana tsunami. Jika keadaan
itu tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat
menjadi gangguan psikologis yang serius. Berdasarkan perspektif tahapan
penanganan bencana, gejala-gejala psikologis yang muncul pasca bencana akan
berbeda-beda pada setiap tahap, yaitu :
1. Tahap tanggap darurat
Tahap tanggap darurat adalah masa beberapa jam atau hari setelah
bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada
menyelamatkan korban dan usaha untuk menstabilkan situasi. Gejala-gejala
psikologis yang muncul pada tahap tanggap darurat adalah (1). kecemasan
yang berlebihan. Para korban menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah
terkejut oleh hal-hal yang sederhana, tidak mampu untuk bersantai atau tidak
mampu untuk membuat keputusan. (2). Rasa bersalah. Para korban yang
7
selamat tetapi anggota keluarganya meninggal, seringkali kemudian
menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah selamat ketika
orang yang dikasihinya meninggal. (3). Ketidakstabilan emosi dan pikiran.
Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan bertindak
agresif atau sebaliknya. Mereka menjadi apatis dan tidak peduli, mudah lupa
ataupun mudah menangis. Korban kadang-kadang muncul dalam keadaan
kebingungan maupun histeris.
2. Tahap pemulihan
Tahap pemulihan setelah situasi stabil dan perhatian beralih ke solusi jangka
panjang. Di sisi lain, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan
bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para korban mulai menghadapi
realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana para korban
memiliki perasaan yang aman dan optimisme tentang masa depan maka
pada tahap ini harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup
mereka. Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala
dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai gejala pasca-trauma
muncul, seperti pasca traumatic stress disorder, generalized anxiety disorder,
dukacita yang berlebihan, dan post traumatic depression.
3. Tahap rekonstruksi
Tahap rekonstruksi terjadi satu tahun atau lebih setelah bencana. Pola
kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun
banyak korban mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala gangguan
kepribadian yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko
bunuh diri dapat meningkat, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk
8
bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir
dengan logis. Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain
termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak
hubungan korban dengan keluarga dan komunitasnya.
Idrus (2006) menguraikan bahwa peristiwa kehilangan merupakan suatu
fenomena umum pasca terjadinya tsunami yang dirasakan oleh para korban
bencana dan para sukarelawan tsunami Aceh. Perasaan ketidakberdayaan saat
menyaksikan banyaknya mayat bergelimpangan serta perasaan bersalah saat
tidak lagi mampu untuk menyelamatkan orang-orang yang seharusnya
diselamatkannya. Perasaan bersalah dan kehilangan itu pada akhirnya
menimbulkan banyak gangguan psikologis seperti stress, kehilangan orientasi,
rasa ketidakberdayaan, frustrasi, depresi, dan gangguan kejiwaan.
Ibrahim (2005) menguraikan bahwa trauma pasca tsunami berdampak
dalam kehidupan sehari-hari para korban selamat. Mereka mengalami stres yang
berkepanjangan dan bereaksi terhadap pengalaman traumatik dengan gejala
ketakutan, keputusasaan, ketidakberdayaan, kerap terbayang kembali peristiwa
traumatik, sampai perilaku menghindar dari ingatan traumatik. Para korban
selamat pasca tsunami yang menampilkan perilaku menghindar dari ingatan
traumatik yang mereka alami dengan cara antara lain menjerit-jerit setiap melihat
genangan air dan berusaha tidak tidur karena setiap memejamkan mata melihat
bayangan wajah keluarga yang meninggal.
Taufik (2005) melakukan penelitian untuk memaparkan tentang kehidupan
pasca bencana korban gempa bumi dan tsunami di Aceh. Jangka waktu muncul
dan lamanya gejala psikologi pada para korban dalam penelitian ini tidak
dijelaskan. Hasil penelitian terhadap para korban bencana tsunami di Aceh
9
menunjukkan bahwa gejala psikologis yang muncul setelah terjadi tsunami di
Aceh adalah (1). Rasa takut dan cemas yang muncul karena kekuatiran akan
berulangnya kejadian yang sama, tidak tahu arah untuk melangkah, dan rasa
kuatir pada keamanan dan masa depannya. (2). Duka cita yang mendalam (larut
dalam kesedihan) membuat emosi semakin meningkat, mudah tersinggung,
perubahan suasana hati yang cepat antara senang dan sedih, sangat cemas dan
tegang, atau bahkan menjadi depresi. (3). Tidak berdaya, putus asa, dan
kehilangan kontrol ditandai dengan teringat kembali kejadian traumatik yang
telah dialaminya secara berulang ulang. (4). Phobia. Tanggal dan hari terjadinya
peristiwa, suara keras, air, orang yang berkerumun, suara halilintar, laut, angin,
atau apapun yang terkait dengan peristiwa gempa tsunami akan memicu ingatan
yang menyakitkan dan menakutkan. (5). Frustrasi dan depresi. Kebingungan,
stress, dan ketidakberdayaan membuat korban kehilangan kesadaran (eksistensi
dirinya) sehingga hubungan interpersonal sering mengalami ketegangan. (6).
Psikosomatis dan somatopsikologis. Psikosomatis adalah gangguan psikis yang
berakibat secara fisik, sebaliknya somatopsikologis adalah sakit secara fisik
berakibat pada munculnya gangguan psikologis.
Selain dampak psikologis, banyak kekerasan (violence) terjadi pada anak
dan perempuan pasca bencana. Murtakhamah (2011) menguraikan bahwa
perempuan dapat mengalami kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan),
psikologis (ancaman, pembatasan kegiatan), seksual (pelecehan seksual,
perkosaan), maupun ekonomi (menjadi korban perdagangan perempuan dan
anak, dijadikan pelacur), karena keadaan sangat tidak stabil, tingkat stress tinggi,
dan keadaan terbatas. Kekerasan dapat dilakukan oleh suami, ayah, relawan
kemanusiaan, sesama pengungsi, maupun aparat pemerintahan. Penelitian yang
10
dilakukan di Selandia Baru menunjukkan bahwa pelaporan terjadinya kekerasan
meningkat secara signifikan setelah bencana (Houghton, 2009a, 2009b;
Houghton, Wilson, Smith & Johnston, 2010).
Pada tahun 2005, komite tetap antar lembaga untuk penanganan masalah
gender dan kemanusiaan yaitu Inter-Agency Standing Committee (IASC)
menguraikan laporan dari lapangan yang memperlihatkan adanya dampak sosial
termasuk kekerasan sesudah bencana alam. Bencana alam yang dimaksud
adalah banjir di Australia, meletusnya Gunung Pinatubo di Filipina, badai Mitch di
Amerika Tengah dan Utara, serta tsunami 2004 di beberapa negara. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh dunia terkena dampak
bencana. Anak-anak yang selamat dari bencana mengalami luka-luka,
kekerasan, dan trauma psikologis di samping kehilangan rumah dan orang yang
dicintai (www.international.kompas.com, 13 Oktober 2011).
Bencana akan berdampak pada individu dan masyarakat serta
mengganggu mekanisme masyarakat dan sosial. Kejadian tsunami di Indonesia
yang menimbulkan kerugian besar tersebut, membuat pemerintah dan
masyarakat mulai memperhatikan pentingnya kesiapsiagaan terhadap tsunami.
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pra-bencana dalam
siklus penanggulangan bencana. Secara umum kegiatan manajemen bencana
dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama, yaitu (1). Kegiatan pra bencana yang
mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
(2). Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat
untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue
(SAR), bantuan darurat dan pengungsian; (3). Kegiatan pasca bencana yang
mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
11
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
kesiapsiagaan (preparedness) merupakan upaya untuk mengantisipasi bencana,
melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga.
Kesiapsiagaan bertujuan untuk mengantisipasi masalah yang ditemui dalam
bencana sehingga dapat disusun suatu cara atau metode untuk mengatasi
masalah secara efektif dan menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan sebagai
suatu respon yang efektif yang sudah ada sebelumnya (Mileti, 1999). Menurut
Carter (1992), kesiapsiagaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu atau suatu kelompok sebelum bencana terjadi untuk meminimalisir risiko
bencana.
LIPI-UNESCO/ISDR (2006) menyatakan kemampuan yang harus dimiliki
oleh individu sebagai wujud dari kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah (1).
memiliki pengetahuan mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana; (2).
adanya rencana tanggap darurat (menyediakan kotak P3K dan obat-obatan,
makanan siap saji dan minuman dalam kemasan, senter/lampu, baterai
cadangan, Hp/radio, nomor telepon penting); (3). memahami sistem peringatan
dini bencana; dan (4). mobilisasi sumber daya (adanya alokasi dana/tabungan,
adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan/simulasi kesiapsiagaan
menghadapi bencana, dan adanya kesepakatan keluarga untuk memantau
peralatan dan perlengkapan siaga bencana secara berkala).
Dengan demikian, kesiapsiagaan terhadap tsunami merupakan aktivitas
yang dilakukan sebelum tsunami terjadi. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat
memahami tindakan-tindakan untuk mempersiapkan diri sebelum tsunami terjadi,
sehingga dapat memberikan respon secara cepat, tepat, dan aman pada saat
terjadi tsunami. Selain itu, masyarakat juga dapat mengetahui tindakan yang
12
harus dilakukan setelah tsunami terjadi. Semua itu dilakukan agar kekacauan
yang timbul dapat dikurangi karena banyak korban jiwa yang timbul disebabkan
oleh kepanikan yang terjadi pada saat bencana dan bukan karena bencana itu
sendiri sehingga peringatan dini bencana menjadi kurang efektif.
Kesiapsiagaan terhadap bencana dipengaruhi oleh beberapa faktor. Anam,
Andarini, dan Kuswantoro (2013) menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah (1). Pengetahuan,
Menurut Godwin (2007) pengetahuan yang dibutuhkan dalam kesiapsiagaan
adalah membuat dan memperbarui rencana penanggulangan bencana,
pengkajian risiko lingkungan, melakukan kegiatan pencegahan bencana,
program pendidikan masyarakat, program pelatihan dan simulasi bencana. (2).
Sikap. Smith (2007), menyatakan bahwa sikap positif individu untuk merespon
dalam mempersiapkan diri dan keadaan tanggap bencana sangat dibutuhkan
dalam penanggulangan bencana. (3). Kebijakan pemerintah. Kebijakan
pemerintah dalam penanggulangan bencana dapat mempengaruhi
kesiapsiagaan (Anam, Andarini, & Kuswantoro, 2013), dan (4). Sarana dan
prasarana, serta dana. Salah satu issue penting dalam kesiapsiagaan bencana
adalah faktor donasi atau anggaran dana disamping kebutuhan sukarelawan
bencana (Landesman, 2001).
Kesadaran tentang risiko yang meliputi persepsi dan pengetahuan tentang
risiko, konsekuensi dan cara mengatasinya merupakan faktor yang
mempengaruhi kesiapsiagaan (Johnston, Bebbington, Lai, Houghton, & Paton,
1999; Mileti & Fitzpatrick, 1992; Ronan, Johnston, Daly, & Fairley, 2001;
Weinstein & Sandman, 1992). Namun kesadaran tentang risiko tidak menjamin
peningkatan kesiapsiagaan (Chan, 1995; Johnston et al., 1999; Paton, 2003).
13
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian, kesiapsiagaan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu
1. Faktor personal
Pengalaman sebelumnya dengan bencana merupakan salah satu faktor
personal (Anderson-Berry, 2003; Johnston et al., 1999; Weinstein, 1989).
Hasil penelitian Takao (2003) dan Takao, Motovoshi, Sato, Fukuzono, Seo,
dan Ikeda (2004) menyimpulkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi bahaya juga bergantung pada pengalaman dan dampak
yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini serupa dengan hasil penelitian. yang
diungkapkan oleh Jhonston, Bebbington, Lai, Houghton, dan Paton (1999),
bahwa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesiapsiagaan antara lain
adalah pengalaman personal secara langsung. Pengalaman secara langsung
terhadap bencana di masa lalu dapat menstimulasi dorongan untuk mencari
informasi mengenai peristiwa tersebut. Faktor personal yang lain yaitu
ketersediaan sumber daya, seperti waktu, keterampilan dan sumber daya
keuangan dan fisik (Chan, 1995; Coppola, 2007); karakteristik demografi dan
sosial ekonomi seperti usia, kehadiran seorang anak di rumah tangga, jenis
tempat tinggal (misalnya sendiri/sewa) (Kirschenbaum, 2006; Larsson &
Enander, 1997; Takao, 2003). Individu yang memiliki rumah sendiri akan
lebih siaga dibandingkan yang menyewa rumah dan individu yang berusia
lanjut lebih mau melakukan tindakan kesiapsiagaan seperti menyiapkan tas
siaga (Takao, 2003). Menurut Kirschenbaum (2006), wanita yang memiliki
anak akan melakukan tindakan kesiapsiagaan dibandingkan laki-laki. Selain
itu, keyakinan individu seperti pengharapan hasil (Bajek, Matsuda, & Okada,
2008; Bennet & Murphy, 1997; Paton, Bajek, Okada, & McIcor 2010a; Paton
14
et al., 2005; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2008c; Sagala et al., 2009;
Vogt, Winter, & Fried. 2005) dan efikasi diri (Paton, 2003; Wimbarti &
Nurhayaty, 2011b) termasuk faktor personal yang berpengaruh terhadap
kesiapsiagaan.
2. Faktor sosial/masyarakat
Faktor sosial antara lain status sosial ekonomi, kelas sosial (Burningham,
Fielding, & Thrush, 2008); jaringan sosial (Anderson-Berry, 2003; Paton, et al
2001c); rasa kemasyarakatan (Bartkowski, 2003; Cantillon, Davidson, &
Schweitzer, 2003; Chavis & Wandersman, 1990; Colombo, Mosso, & De
Piccoli, 2001; Paton, 2003; Peterson & Reid, 2003; Speer, 2000; Speer &
Paterson, 2000; Wandersman & Florin, 2000); partisipasi masyarakat, efikasi
kolektif pemberdayaan, dan kepercayaan (Bajek, Matsuda, & Okada, 2008;
Paton et. al., 2008b; Paton et. al. 2008c; Paton, Sagala, Okada, et al 2010c;
Sagala, et al., 2009); dukungan sosial dan interaksi (Mileti & Fitzpatrick,
1992). Menurut Kirschenbaum (2006), individu yang memiliki jaringan sosial
yang luas, lebih ingin melakukan tindakan kesiapsiagaan.
3. Faktor institusional atau lingkungan.
Faktor institusional atau lingkungan berpengaruh terhadap kesiapsiagan.
Faktor institusional yang berpengaruh dalam keputusan individu untuk
melakukan kesiapsiagaan adalah pemberdayaan dan kepercayaan.
Pemberdayaan berpengaruh terhadap kepercayaan dan kepercayaan
berpengaruh terhadap niat (Bajek, Matsuda, dan Okada, 2008; Paton et. al.,
2008b; Paton et. al., 2008c; Paton et al., 2010c; dan Sagala, et al., 2009).
Kemudian niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami
15
(Tatsuki, Hayashi, Zoleta-Nates, Banba, Hasegawa, & Tamura, 2004; Paton
et. al. 2008b; Wimbarti & Nurhayaty 2011b).
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan adalah
karakteristik bahaya dan dampak bahaya seperti kecepatan, luas wilayah
yang terkena dampak bencana (Lindell, 1994) dan lokasi (Lindell & Prater,
2000a)
Tsunami telah memakan korban jiwa yang besar, karena penduduk di
daerah yang terkena bencana tersebut tidak siap dalam menghadapi bencana.
Peristiwa gempa bumi, yang disusul dengan tsunami di Aceh 2004 telah
memakan korban dalam jumlah yang besar dan kerugian yang sangat besar.
Tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 m ini menewaskan lebih dari
230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi
pantai (Paris, Lavigne, Wassimer & Sartohadi, 2007). Jumlah korban di Indonesia
126.000 jiwa, Sri Lanka 45.000 jiwa, India 12.000 jiwa, dan Thailand 4.500 jiwa
merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar (id.wikipedia.org, 2004).
Sementara itu, Pantai Parangtritis yang terletak di Desa Parangtritis, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu wilayah Indonesia yang rawan
bencana tsunami. Kejadian tsunami di Pantai Pangandaran, Jawa Barat tanggal
17 Juli 2006 menimbulkan efek sampai ke Pantai Parangtritis yang menimbulkan
korban jiwa dan kehilangan harta benda. Ratusan bangunan milik warga di
Pantai Parangtritis rusak karena tsunami. Tsunami Pangandaran menyebabkan
kurang lebih 664 korban jiwa (Wibowo, Mardiatno, & Sunarto, 2013).
Selain banyaknya korban jiwa, cara masyarakat melakukan evakuasi dapat
dijadikan indikator kesiapsiagaan terhadap tsunami. Penelitian Yun dan Hamada
(2012) menyimpulkan bahwa kepanikan saat terjadi tsunami karena kecepatan
16
yang tinggi saat tsunami sudah di darat merupakan kejutan yang luar biasa.
Keadaan tersebut menyebabkan orang akan berusaha untuk menyelamatkan diri
dengan berlari ke segala arah tidak beraturan dalam kepanikan. Selain itu,
banyak penduduk yang menggunakan kendaraan sehingga terjebak dalam
kemacetan dan akhirnya tidak sempat menyelamatkan diri.
Ketidaktahuan masyarakat tentang bencana yang terjadi dapat
membahayakan jiwa, seperti fenomena penurunan permukaan air laut secara
dratis yang terjadi pada tsunami di Biak tahun 1996, Aceh tahun 2004, dan Jawa
Barat tahun 2006. Bagi masyarakat pesisir yang kurang mempunyai
pengetahuan tentang tsunami, saat air surut secara mendadak dimanfaatkan
masyarakat untuk menangkap ikan-ikan yang terjebak dalam air surut, padahal
air surut tersebut merupakan ujung atau bagian dari tsunami atau gelombang
besar di belakangnya.
Pengetahuan masyarakat yang rendah juga dapat mengakibatkan mereka
mudah terkena isu. Hal itu terjadi saat Yogyakarta dilanda gempa bumi pada
tahun 2006. Masyarakat yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat
jauh dari pantai panik dan berlari meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri
menghindari isu tsunami, walaupun daerah tempat tinggal mereka tidak akan
terkena tsunami. Keadaan masyarakat yang panik menyebabkan banyak korban
bukan karena bencana itu, melainkan korban terjadi karena banyak yang
mengalami kecelakaan akibat kekacauan lalu lintas saat melarikan diri dan
rumahnya dijarah oleh oknum yang memanfaatkan keadaan saat itu. Oleh sebab
itu, kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana menjadi hal yang penting pada
masyarakat rawan bencana. Hasil penelitian Kilman (2006) menunjukkan bahwa
pada saat tsunami di Samudra Hindia tahun 2004 jumlah korban jauh lebih
17
sedikit pada masyarakat yang memiliki pemahaman risiko tsunami. Oleh karena
itu, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan kesiapsiagaan terhadap
tsunami seperti mengikuti kegiatan pelatihan evakuasi, mengetahui jalur
evakuasi, membuat perencanaan evakuasi, mempersiapkan tas siaga, dan lain
sebagainya.
Hasil kajian kesiapsiagaan tsunami di beberapa wilayah Indonesia
menunjukkan tingkat kesiapsiagaan tsunami pada masyarakat di daerah rawan
tsunami. Tingkat kesiapsiagaan dibuat berdasarkan lima kategori yaitu sangat
siap, siap, hampir siap, kurang siap, dan belum siap. Tingkat kesiapsiagaan
masyarakat Bengkulu tergolong kurang siap (Irawan, Nurrochmad, & Triatmadja,
2009). Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Aceh besar tergolong kurang siap dan
masyarakat Padang tergolong hampir siap (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Menurut
kajian kesiapsiagaan tsunami di Nias Selatan tergolong hampir siap (Nugroho,
2007) sedangkan di Pelabuhan Ratu tergolong tidak siap (Paramesti, 2011).
Langkah-langkah kesiapsiagaan terhadap tsunami dilakukan tidak hanya
oleh individu tetapi juga oleh lembaga atau pemerintah, seperti membangun
sistem peringatan dini, membuat rencana evakuasi dan tanggap darurat,
membuat kerangka kerja hukum dan menspesifikasi jenis bantuan pemerintah
untuk kesiapsiagaan bencana, menyediakan perangkat-perangkat
kesiapsiagaan, dan mengadakan pelatihan evakuasi. Pada beberapa daerah
yang rawan tsunami di Indonesia seperti Aceh, Padang, Bengkulu, termasuk
Parangtritis telah disiapkan perangkat-perangkat petunjuk atau rambu evakuasi,
jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan tempat pengungsian akhir (TPA).
Namun keberadaan sarana dan prasarana tersebut tidak diimbangi dengan
18
kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan tsunami sehingga dapat menambah
korban jiwa.
Wimbarti & Nurhayaty (2011b, 2012) melakukan penelitian untuk
mengetahui pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat
tentang tsunami di Parangtritis masih tergolong rendah. Tingkat pengetahuan
masyarakat tentang tsunami yang tergolong rendah mencapai 72% dari 50
responden (Wimbarti & Nurhayaty, 2012). Selain itu, tingkat kesiapsiagaan
masyarakat juga masih rendah (Wimbarti & Nurhayaty, 2011a, 2011b, 2012).
Tingkat kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami yang tergolong rendah
mencapai 52% dari 50 orang responden (Wimbarti & Nurhayaty, 2012).
Sejalan dengan hasil penelitian di atas, survei yang dilakukan oleh
Triatmadja (2010) untuk menjajagi pengetahuan, persepsi, dan sikap masyarakat
terhadap tsunami pada masyarakat di daerah Parangtritis menyimpulkan bahwa
pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat tentang tsunami masih tergolong
rendah. Mereka tidak merasa takut jika tsunami datang karena merasa aman
dengan tersedianya sarana dan prasarana evakuasi. Penelitian Wimbarti dan
Nurhayaty (2011b, 2011c) juga menunjukkan bahwa keterikatan mereka
terhadap tempat dan kedekatan dengan anggota masyarakat yang lain membuat
mereka merasa tidak sendiri jika tsunami datang. Mereka tidak ingin pindah dari
tempat tinggal mereka saat ini walaupun rawan tsunami dan menunjukkan sikap
menerima bencana tsunami sebagai takdir Tuhan.
Pemberitaan di media massa, pada saat terjadi gempa di Aceh yang
berkekuatan 8,9 SR dan berpotensi tsunami pada tanggal 11 April 2012,
membuat masyarakat sekitar lokasi gempa sangat panik akan datangnya
19
tsunami dan mengungsi ke daerah yang tinggi untuk mencari tempat berlindung.
Kepanikan dan kekacauan yang terjadi di jalur evakuasi pada saat gempa Aceh
menunjukkan bahwa jalur evakuasi belum mampu menampung orang dalam
jumlah banyak. Demikian pula dengan kemacetan arus kendaraan bermotor di
jalur evakuasi tsunami perlu mendapat perhatian. Selain kepanikan dan
kekacauan, penduduk masih belum memiliki pengetahuan yang tepat tentang
tsunami. (www.republika.co.id, 16 April 2012).
Selain itu, walaupun pemerintah telah melakukan simulasi pelatihan
evakuasi dan menyediakan perangkat-perangkat evakuasi, namun dirasakan
masih kurang memadai. Berdasarkan hasil survei Wimbarti dan Nurhayaty
(2011a) disimpulkan bahwa : (1). Jalur evakuasi telah tersedia di wilayah Pantai
Parangtritis. Akan tetapi petunjuk tersebut berukuran kecil dibandingkan oleh
papan promosi atau papan nama tempat dan tertutup oleh pepohonan. Petunjuk
jalur evakuasi juga tidak berada pada setiap simpang jalan sehingga individu
akan mengalami kebingungan untuk mengikuti jalur evakuasi ke arah Tempat
Pengungsian Akhir (TPA) ketika harus melakukan evakuasi. Selain itu, Jalur
menuju TPA terlalu kecil sehingga akan menimbulkan kecelakaan karena
kepadatan orang yang berlari ke TPA. (2). Pelaksanaan latihan atau simulasi
evakuasi melibatkan polisi, tim SAR, TNI, PMI, tenaga medis, dan masyarakat di
setiap pedukuhan, tetapi tidak semua anggota masyarakat. Hanya 10 orang dari
setiap pedukuhan dan biasanya simulasi menjadi bahan tontonan oleh
pengunjung atau orang yang berada di pantai.
Kesiapsiagaan terhadap tsunami bukan hanya mempersiapkan perangkat-
perangkat kesiapsiagaan tetapi juga individu atau anggota masyarakat yang
tinggal di daerah rawan tsunami. Masyarakat yang siaga akan mengetahui hal-
20
hal yang perlu dipersiapkan dan tindakan-tindakan yang diambil saat bencana
terjadi. Hal ini berarti mereka memiliki peralatan yang dibutuhkan saat terjadi
tsunami, seperti peta evakuasi, menyimpan air dan makanan, dan lain-lain.
Beberapa teori perubahan perilaku yang memiliki kredibilitas ilmiah
diterapkan untuk melihat efektivitasnya dalam mempengaruhi kesiapan individu
menghadapi bencana alam. Memberikan informasi tentang risiko atau bahaya
tertentu tidak akan cukup untuk membuat individu mempersiapkan diri untuk
menghadapi bahaya bahaya, terutama bahaya yang jarang terjadi, seperti
kebakaran hutan (Chaiken, 1980; Paton et. al., 2008c), gempa bumi (Bajek,
Okada, & Takeuchi, 2007; Paton, et al., 2010a), dan tsunami (Paton et. al.,
2008b; Paton, Houghton & Gregg, 2009). Oleh sebab itu, teori-teori utama yang
telah digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengembangkan pemahaman
tentang kesiapsiagaan terhadap bencana khususnya tsunami adalah teori sosial
kognitif (social cognitive theory), teori perilaku terencana (theory planned
behaviour) dan theory of goal achievement.
Teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan achievement goal theory
dijadikan sebagai acuan untuk merancang model kesiapsiagaan tsunami. Teori
sosial kognitif adalah salah satu teori yang dipakai untuk mendasari penelitian ini.
Berdasarkan teori sosial kognitif, perilaku dapat berubah bila ada perubahan
kognitif dan sosial (Bandura, 1991). Pengaruh dari keluarga, teman, dan
lingkungan (misalnya lingkungan masyarakat) termasuk dalam pengaruh sosial.
Pengaruh kognitif berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan dalam diri
seseorang dalam melakukan suatu perilaku. Hal ini berarti bahwa faktor sosial
maupun faktor kognitif merupakan prediktor perilaku seperti kesimpulan hasil
penelitian Schwarzer dan Renner (2000). Efikasi diri, pengharapan hasil, dan
21
efikasi kolektif sebagai prediktor perilaku kesiapsiagaan bencana seperti
bencana tsunami dapat dijelaskan dalam teori sosial kognitif.
Efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang dalam melakukan perilaku
yang dapat mengontrol seseorang dalam melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri
merupakan pertimbangan subyektif individu terhadap kemampuannya untuk
menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas
khusus yang dihadapi (Bandura, 1986). Selain bidang kesehatan, efikasi diri
merupakan salah satu prediktor dari kesiapsiagaan, antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Major (1999) tentang respon terhadap bencana gempa bumi.
Hasilnya menunjukkan bahwa tindakan persiapan terhadap bencana
memberikan keyakinan pada individu untuk menghadapi bencana yang akan
datang. Godin dan Kok (1996) menyebutkan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh
yang signifikan pada perilaku pada situasi yang tidak dapat diprediksi seperti
bencana. Hal ini sejalan dengan pendapat Bandura (1996) yang menyatakan
bahwa efikasi diri bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi serta
bersifat kontekstual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Individu
yang memiliki efikasi diri rendah, cenderung untuk tidak melakukan tindakan jika
menganggap dirinya tidak memiliki kompetensi untuk bertindak (Paton, Smith &
Jhonston, 2000a). Sementara itu, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi
cenderung lebih siap untuk menghadapi bencana (Duval & Mullis, 1999; Lindell &
Whitney, 2000; Paton, Smith & Violanti 2000b) karena efikasi diri meningkatkan
rencana tindakan kesiapsiagaan terhadap bencana yang dikembangkan oleh
individu dan mereka secara kontinyu dan tekun menerapkannya.
Menurut Duval dan Mulilis (1999), bersiap-siap terhadap bencana
merupakan suatu fungsi dari interaksi antara efikasi diri dan efikasi respon.
22
Namun hasil penelitian Lindell dan Whitney (2000) menunjukkan bahwa efikasi
respon (persepsi terhadap efektivitas tindakan dalam melindungi diri dan
propertinya) merupakan prediktor kesiapsiagaan terhadap bencana yang lebih
kuat jika dibandingkan dengan efikasi diri (penilaian masyarakat terhadap
sumber daya mereka untuk memungkinkan tindakan).
Pengharapan hasil merupakan persepsi pada kemungkinan konsekuensi
dari tindakan seseorang. Pengharapan hasil bukan suatu perilaku tetapi
keyakinan tentang konskuensi yang diterima setelah seseorang melakukan suatu
tindakan tertentu (Bandura, 1986). Dalam kontek bencana, penelitian Farley,
Barlow, Finkelstein dan Riley (1993) serta Paton dan Johnston, (2001)
menyimpulkan bahwa persepsi individu terhadap kemungkinan terjadinya
bencana, parahnya dampak bencana yang dialami, dan keyakinan individu
terhadap kemampuannya melindungi diri untuk mengurangi atau menghilangkan
konsekuensi bencana yang merugikan, akan membuat individu melakukan
langkah-langkah kesiapsiagaan terhadap bencana. Hal ini menunjukkan bahwa
pengharapan hasil memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan
untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Efikasi kolektif merupakan keyakinan bersama dalam kelompok terhadap
kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan program yang diperlukan untuk
menghasilkan pencapaian pada tingkat tertentu (Bandura, 1996). Keyakinan
masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan
perubahan sosial tertentu adalah efikasi kolektif (Zaccaro, Blair, Peterson &
Zazanis, 1995). Paton dan Tang (2009) menyebutkan bahwa efikasi kolektif
merupakan salah satu kompetensi sosial.
23
Bencana seperti tsunami merupakan bencana yang jarang terjadi. Oleh
sebab itu, individu mencari tahu konsekuensi atau dampak bencana yang
mungkin terjadi berkaitan dengan identifikasi informasi yang dibutuhkan dalam
kesiapsiagaan terhadap bencana. Menilai kemampuan anggota masyarakat
untuk mengidentifikasi informasi, sumber daya, dan perencanaan untuk
meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami merupakan efikasi kolektif
(Zaccaro et al., 1995). Efikasi kolektif menekankan persepsi anggota kelompok
terhadap kemampuannya untuk memenuhi tuntutan lingkungan (Benight, 2004).
Teori perilaku terencana menyebutkan bahwa perilaku merupakan produk
niat yaitu keinginan untuk berperilaku (Ajzen 1991). Menurut Ajzen (1991), niat
memiliki 3 prediktor yaitu (1). sikap masyarakat terhadap perilaku sasaran, (2)
norma subjektif yang meliputi penilaian mereka tentang tekanan sosial untuk
melakukan suatu tindakan, dan (3) persepsi kendali perilaku atau efikasi diri,
yang mengacu pada persepsi individu tentang betapa sulitnya untuk melakukan
perilaku sasaran atau keyakinan mereka dalam kemampuan mereka untuk
mengatasi aktivitas baru. Teori ini mengklaim bahwa respon masyarakat untuk
situasi (misalnya, mempersiapkan diri untuk bahaya) dipengaruhi keyakinan
mereka tentang efektivitas perilaku tertentu (misalnya, apakah mereka percaya
itu benar-benar dapat membuat perbedaan).
Ajzen (1991) mengemukakan bahwa norma subjektif diasumsikan sebagai
suatu fungsi dari beliefs yang secara spesifik menunjukkan persetujuan
seseorang (setuju atau tidak setuju) untuk menampilkan suatu perilaku.
Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga
keyakinan normatif (normative beliefs). Seorang individu akan berniat
menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain
24
yang penting, seperti pasangan, sahabat, atau tetangga berfikir bahwa ia
seharusnya melakukan hal itu.
Dalam kontek bencana, keyakinan normatif adalah faktor yang dapat
mencerminkan (1) pengalaman yang sebenarnya dan (2) persepsi dan keyakinan
yang dibentuk dari interaksinya dengan orang lain, berita media, dan sebagainya
(Paton, 2000). Kedua hal tersebut mengambarkan peran potensial dari faktor
normatif. Berkenaan dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat,
pemberdayaan, dan kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton, 2003).
Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam
kegiatan kemasyarakatan (Eng & Parker, 2004). Penelitian-penelitian tentang
kesiapsiagaan terhadap bencana yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa
keterlibatan individu dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di
lingkungannya berpengaruh terhadap kesiapsiagaan. Pada saat individu
dihadapkan dengan keadaan yang tidak pasti dan situasi yang kompleks tetapi
informasi yang dibutuhkan kurang akan dipengaruhi oleh informasi dari orang lain
karena konsep masyarakat pada lingkungan yang berisiko dipengaruhi oleh
pandangan atau pendapat orang lain (Lion, Meertens, & Bot 2002; Poortinga &
Pidgeon, 2004).
Pemberdayaan menggambarkan evaluasi masyarakat tentang sejauh
mana mereka merasa bahwa pengalaman dengan sumber informasi telah
memfasilitasi kemampuan mereka untuk mencapai kebutuhan dan tujuan di
masa lalu (Earle, 2004; Paton & Bishop, 1996). Pemberdayaan terjadi melalui
hubungan kerja sama antara individu lain dan masyarakat. Pemberdayaan
mencerminkan kualitas hubungan timbal balik (keadilan sosial) antara anggota
masyarakat dan antara anggota masyarakat dan lembaga kemasyarakatan (Eng
25
& Parker, 1994; Paton & Bishop, 1996). Kualitas hubungan ini akan menentukan
sejauh mana tanggung jawab diserahkan kepada anggota masyarakat. Warga
lebih memahami kebutuhan mereka telah dipenuhi melalui hubungan mereka
dengan lembaga-lembaga sipil, semakin besar kemungkinan mereka untuk
mempercayai mereka dan informasi yang mereka berikan dan menggunakannya
untuk merumuskan dan bertindak pada rencana untuk mengurangi risiko.
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan
orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan
tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada
kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya (Mayer et. al., 1995).
Menurut Kee dan Knox (1970) perilaku mempercayai atau mencurigai individu
dihasilkan dari evaluasi subyektif dari sifat bisa dipercaya orang lain. Paton
(2008) menguraikan bahwa tingkat kepercayaan akan tergantung pada
pengalaman sebelumnya (yang memiliki atau tidak memiliki apapun untuk
masalah bahaya), kemampuan masyarakat untuk merumuskan kebutuhan
mereka dan merasakan ketertarikan terhadap hasil, dan kemungkinan
merasakan hasil yang dicapai.
Berkenaan dengan bencana, hubungan kepercayaan ada di antara
anggota masyarakat dan perencana darurat dan masing-masing dengan sistem
sosial/kelembagaan di mana mereka berada. Kepercayaan akan mengurangi
ketidakpastian dan kompleksitas yang dihadapi ketika dihadapkan dengan situasi
yang bahaya dan jarang terjadi seperti kebakaran hutan maupun tsunami
(McGee & Russell, 2003; Vogt et al. 2005; Winter, Vogt, & McCaffrey, 2004).
Achievement goal theory berpendapat bahwa individu lebih mungkin
mencapai tujuan atau melakukan tindakan jika mengimplementasikan niat
26
(Gollwitzer, 1999). Strategi ini melibatkan tiga elemen yaitu kapan, dimana, dan
bagaimana mencapai tujuan. Teori ini menyatakan bahwa implementasi niat
meningkatkan pencapaian tujuan karena mendorong individu untuk
mengingatkan niat mereka dalam mencapai tujuan. Apabila individu tidak
mengimplementasikan niatnya, ia cenderung lupa tujuan. Teori mengakui bahwa
efektivitas niat tergantung pada kekuatan komitmen seseorang untuk tujuan
(misalnya, betapa pentingnya untuk mereka) (Gollwitzer, 1999).
Berdasarkan kerangka teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan
achievement goal theory, Paton et. al (2008b) menyusun suatu kerangka kerja
untuk model kesiapsiagaan tsunami. Kesiapsiagaan tidak hanya dalam tingkat
rumah tangga (household) tetapi juga tingkat masyarakat (community). Hal ini
berarti bahwa individu berada dalam jaringan masyarakat dan lingkungan
rumahnya (tetangga) yang juga mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana.
Dalam hal ini, Paton, Houghton, Gregg, et. al. (2008b) mengungkapkan bahwa
kesiapsiagaan tsunami dipengaruhi oleh interaksi antara tiga kelompok variabel
yaitu variabel personal, variabel masyarakat, dan variabel institusi. Variabel
personal merupakan persepsi individu terhadap kemampuan diri dalam
menghadapi bencana yaitu pengharapan hasil yang negatif dan pengharapan
hasil yang positif. Variabel masyarakat merupakan persepsi individu terhadap
kemampuan anggota masyarakat lain dan lingkungannya yaitu efikasi kolektif
dan partisipasi masyarakat. Variabel institusi merupakan persepsi individu
terhadap lembaga atau institusi yaitu kepercayaan dan pemberdayaan.
Beranjak dari penelitian tentang perilaku melindungi kesehatan dan literatur
psikologi komunitas tentang perubahan komunitas, Paton (2003) mengajukan
sebuah model tentang kesiapsiagaan bencana alam. Paton, Smith, dan Johnson
27
(2005) melakukan uji empiris untuk mengetahui kemampuan prediksi model
kesiapsiagaan gempa. Model tersebut menggambarkan tindakan kesiapsiagaan
sebagai proses penalaran yang terdiri dari serangkaian keputusan yang diambil
berkaitan dengan lingkungan yang berbahaya atau rawan bencana. Niat sebagai
mediasi merupakan elemen penting dalam model. Niat dalam model dipisahkan
menjadi niat untuk bersiap-siap yang mengarah kepada tindakan dan niat untuk
mencari informasi (Paton et al., 2005).
Berdasarkan pada penelitian sebelumnya tentang bagaimana keyakinan
seseorang terhadap bahaya mempengaruhi perilaku (Lindell & Whitney, 2000;
McLure, Walkey, & Allen, 1999; Paton, et al 2005, Paton, Bürgelt, & Prior 2008a;
Paton et al. 2008b; Paton, Smith, Daly & Johnston 2008c) mengungkapkan
bahwa interpretasi individu terhadap bahaya yang jarang terjadi dan kompleks
melibatkan keyakinan atas kemampuan diri, keyakinan individu dalam kontek
sosial, serta keyakinan terhadap ahli dan sumber-sumber informasi yang
dipercaya akan mempengaruhi individu untuk bersiap-siap terhadap bencana.
Tobin (1999) mengemukakan bahwa perilaku kesiapsiagaan lebih mungkin untuk
dipertahankan jika individu memiliki keyakinan terhadap kemampuan anggota
lain dalam lingkungan sosial dan keyakinan terhadap lembaga yang ada.
Pengharapan hasil adalah variabel personal. Pada individu yang tinggal di
daerah rawan bencana, terdapat interaksi antara keyakinan individu tentang
besarnya konsekuensi yang diterima sebagai dampak bencana dengan hasil
yang dicapai jika melakukan suatu tindakan tertentu. Pengharapan hasil
dibedakan menjadi pengharapan hasil yang positif dan pengharapan hasil yang
negatif oleh beberapa peneliti (Bennet & Murphy, 1997; Paton et al., 2005;
Sagala, Okada, & Paton, 2009; Vogt, Winter, & Fried 2005). Pengharapan hasil
28
berpengaruh terhadap (1). Partisipasi masyarakat (Bajek, Matsuda, & Okada,
2008; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2008c; Paton, Bajek, Okada, & McIcor
2010a; Sagala et al., 2009, (2). Efikasi kolektif (Paton et. al., 2008b; Sagala, et
al., 2009), dan (3). Niat (Bennet & Murphy, 1997; Paton et al., 2005; Paton et. al.,
2008b; Sagala, et al., 2009; Vogt, Winter, & Fried. 2005).
Hasil penelitian Paton (2008) mengungkapkan bahwa faktor sosial
(partisipasi masyarakat, efikasi kolektif) dan faktor institusi atau lingkungan
(pemberdayaan, dan kepercayaan) berpengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan
terhadap tsunami yang dimediasi oleh niat. Beberapa model tingkah laku
melindungi (protective behaviour) digambarkan dengan hubungan antara faktor
motivasi dan tingkah laku penurunan risiko yang dimediasi oleh niat (Abraham,
Sheeran, & Johnston, 1998; Ajzen, 1991; Bennett & Murphy, 1997; Godin & Kok,
1996; Gollwitzer, 1993).
Partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan kepercayaan
saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan yang
dimediasi oleh niat.. Partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap (1)
pemberdayaan (Bajek, Matsuda, & Okada, 2008; Paton et. al., 2008b; Paton et.
al. 2008c; Paton, Sagala, Okada, Jang, Petra, Burgelt, &Gregg 2010c; Sagala, et
al., 2009). Efikasi kolektif berpengaruh terhadap pemberdayaan (Paton et. al.,
2008b; Paton, Frandsen, & Johnston. 2010b; Sagala, et al., 2009) dan
kepercayaan (Paton et. al., 2008b). Bajek, Matsuda, dan Okada, (2008); Paton
et. al., (2008b); Paton et. al., (2008c); Paton et al., (2010c); dan Sagala, et al.,,
(2009) mengemukakan bahwa pemberdayaan berpengaruh terhadap
kepercayaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap niat. Kemudian niat
berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami (Tatsuki, Hayashi,
29
Zoleta-Nates, Banba, Hasegawa, & Tamura, 2004; Paton et. al. 2008b; Wimbarti
& Nurhayaty 2011b).
Berangkat dari hasil penelitian sebelumnya, pemikiran logis yang muncul
adalah bahwa variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan
terhadap tsunami dapat disusun sesuai dengan keadaan masyarakat di
Indonesia. Beberapa model kesiapsiagaan khususnya kesiapsiagaan terhadap
tsunami telah diterapkan di beberapa negara berlatar belakang budaya
individualistik seperti Australia dan Amerika sedangkan Indonesia merupakan
negara yang memiliki latar belakang budaya kolektivistik. Perbedaan latar
belakang budaya ini menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan.
Selain itu, hasil penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2011a) tentang
kesiapsiagaan atau persiapan individu untuk menghadapi tsunami dalam rumah
tangga menyimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap terbentuknya
kesiapsiagaan individu terhadap bencana tsunami adalah persepsi risiko,
kesadaran kritis (critical awareness), pengharapan hasil (outcome expectancy),
efikasi diri, nilai budaya pasrah dan nrimo, dan rasa kemasyarakatan yang
dimediasi niat.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan terhadap 93 orang
masyarakat Parangtritis dalam rangka penelitian kesiapsiagaan terhadap tsunami
pada warga di Parangtritis menyimpulkan bahwa keterikatan mereka dengan
tempat dimana mereka lahir dan tinggal tergolong tinggi. Sembilan puluh lima
persen (95%) dari responden menyatakan bahwa mereka tidak akan pergi dari
daerah itu karena mereka dilahirkan dan mencari nafkah secara turun temurun di
daerah tersebut. Selain itu, kekerabatan antar anggota paguyuban maupun
tetangga sangat akrab. Keterikatan dan keakraban antar anggota masyarakat
30
menyebabkan mereka mau terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan di
lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kemasyarakatan
memungkinkan mereka mau terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan terhadap tsunami seperti mengikuti simulasi. Dengan
demikian rasa kemasyarakatan memiliki peran untuk meningkatkan
kesiapsiagaan terhadap tsunami (Wimbarti & Nurhayaty, 2011a). Rasa
kemasyarakatan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat (Bartkowski,
2003; Cantillon, Davidson, & Schweitzer, 2003; Chavis & Wandersman, 1990;
Colombo, Mosso, & De Piccoli, 2001; Peterson & Reid, 2003; Speer, 2000; Speer
& Paterson, 2000; Wandersman & Florin, 2000) dan pemberdayaan (Bishop,
Paton, Syme & Nancarrow, 2000; McIvor & Paton, 2006; Paton, Johnston, Smith,
& Millar, 2001).
Rasa kemasyarakatan merupakan salah satu faktor sosial yang
berpengaruh terhadap perilaku. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rasa
masyarakatan adalah salah satu faktor sosial (Bishop et al., 2000; Paton,
Johnston & Houghton, 2001a; Paton, Millar & Johnston, 2001c). Sejalan dengan
hal ini, Taylor (1999) serta Bennet dan Murphy (1997) menyatakan bahwa faktor
sosial berpengaruh terhadap perilaku individu. Rasa kemasyarakatan adalah
perasaan terikat pada orang lain dan tempat yang akan mempengaruhi
keputusan individu untuk melakukan tindakan persiapan terhadap bencana
(Bishop et al., 2000; Paton et al., 2000). Hubungan antara kesiapsiagaan dan
perasaan terikat dalam masyarakat meningkatkan investasi emosional individu
terhadap masyarakat (Hummon, 1992; Low & Altman, 1992), sehingga
memungkinkan individu termotivasi untuk bertindak meningkatkan keselamatan
mereka di dalam lingkungan tersebut.
31
Beberapa wilayah Indonesia telah mengalami tsunami seperti Parangtritis
dan Aceh. Parangtritis adalah daerah rawan tsunami yang terkena dampak
tsunami Pengandaran pada tahun 2006. Parangtritis mengalami kerusakan
cukup parah walaupun tidak banyak menimbulkan korban jiwa. Triatmadja (2010)
dalam kajian tentang potensi tsunami Parangtritis menyimpulkan bahwa tsunami
di Parangtritis sangat spesifik. Ujung tsunami hanya akan mencapai jalan utama
sepanjang pantai apabila ketinggian tsunami di bawah 4 meter. Akan tetapi, jika
ketinggian tsunami mencapai 10 meter seperti tsunami Aceh pada tahun 2004,
maka tsunami akan mencapai bukit di sepanjang pantai dan dipantulkan kembali
ke laut. Jika kondisi tersebut terjadi, maka tsunami di daratan bisa mencapai 20
meter di atas permukaan laut dan akan menenggelamkan semua bangunan di
pantai Parangtritis sehingga evakuasi ke bukit merupakan alternatif utama.
Sementara itu, Aceh merupakan wilayah yang mengalami tsunami pada tahun
2004 dengan jumlah korban jiwa yang besar dan kerusakan yang parah
(Bappenas, 2005). Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menguji model
kesiapsiagaan terhadap tsunami di Indonesia dengan membandingkan antara
Parangtritis sebagai wilayah yang terkena dampak dari tsunami Pangandaran
dan Banda Aceh sebagai wilayah yang telah terkena tsunami secara langsung.
Penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2011c) mengembangkan model
kesiapsiagaan tsunami dengan memfokuskan pada keyakinan individu terhadap
kemampuan diri. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar untuk menyusun modul
sebagai salah satu upaya pendidikan tentang tsunami untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan tentang
tsunami melalui modul dapat meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan
masyarakat terhadap tsunami (Wimbarti & Nurhayaty, 2012). Oleh sebab itu,
32
model kesiapsiagaan terhadap tsunami ini diharapkan dapat menjadi acuan
untuk menemukan saran bentuk intervensi yang tepat sebagai pendidikan
kesiapsiagaan bencana tsunami di Indonesia seperti pada Ketertarikan ini juga
telah mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan menguji model
kesiapsiagaan yang awalnya diterapkan di negara yang berlatar belakang
budaya individualistik dan mencoba untuk mengetahui apakah perbaikan atau
penyesuaian dapat dibuat dalam konteks negara berlatar belakang budaya
kolektivistik yang rentan tsunami seperti Indonesia.
B. Rumusan Permasalahan
Indonesia merupakan negara yang rawan bencana, baik bencana yang
ditimbulkan karena perbuatan manusia atau alam. Berbagai bencana alam telah
menimpa Indonesia termasuk tsunami. Bencana terjadi dengan frekuensi yang
tidak menentu dan akibat yang ditimbulkannya meningkat bagi mereka yang tidak
mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya bencana.
Selain itu, Indonesia merupakan negara yang berada pada urutan pertama
korban meninggal akibat tsunami.
Rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan meningkatnya jumlah
penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana akan membuat dampak
bencana semakin parah. Korban disebabkan oleh bencana dan kekacauan yang
timbul akibat kepanikan yang terjadi saat bencana. Kondisi tersebut merupakan
akibat kurangnya kesiapsiagaan terhadap bencana. Oleh sebab itu,
kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana harus ditingkatkan karena
kesiapsiagaan membantu mengurangi kekacauan sehingga peringatan dini
bencana dapat lebih efektif dan korban dapat diminimalkan.
33
Upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana
sangat penting, bukan saja pada pemerintah dari suatu negara atau suatu
daerah tetapi juga pada anggota masyarakat yang langsung merasakan dan
harus menghadapi bencana itu sendiri, terutama sebelum bantuan atau
pertolongan datang dari instansi atau badan-badan pertolongan atau
penanganan bencana yang resmi. Salah satu upaya peningkatan kesiapsiagaan
terhadap tsunami adalah melalui pendidikan mengingat rendahnya tingkat
kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana dan minimnya pengetahuan
masyarakat tentang tsunami sehingga akan membuat dampak bencana makin
parah. Penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2012) menggunakan modul yang
berisikan tentang informasi yang tepat tentang tsunami sehingga dapat
meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan nilai t sebesar 76,471 dengan p-value sebesar 0,000 yang berarti
bahwa ada pengaruh pendidikan tentang tsunami terhadap peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami. Rata-rata selisih skor pos-tes
dikurangi pre-tes bernilai positif yaitu 9,280 menunjukkan bahwa kesiapsiagaan
terhadap tsunami sesudah diberikan pendidikan tentang tsunami lebih baik
dibandingkan dengan kesiapsiagaan terhadap tsunami sebelum diberikan
pendidikan tentang tsunami.
Untuk kesiapsiagaan tsunami, tiga teori yang saling melengkapi digunakan
dalam penelitian ini yaitu teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan
achievement goal theory. Teori sosial kognitif telah banyak digunakan untuk
menjelaskan perilaku bencana (Bishop et al, 2000; Paton, 2003; Paton et al,
2001a; 2001c). Menurut teori sosial kognitif, perilaku manusia adalah triadic,
dinamis, dan memiliki hubungan timbal balik antara faktor personal, faktor sosial,
34
dan faktor jaringan sosial/system (Bandura 1986, 1989). Bandura (1991)
mengungkapkan bahwa perilaku dapat berubah bila ada perubahan kognitif dan
sosial. Pengaruh sosial (seperti keluarga, teman, atau lingkungan tetangga) dan
pengaruh kognitif (keyakinan atau kepercayaan seseorang dalam menampilkan
perilaku tertentu merupakan prediktor perubahan perilaku. Efikasi diri,
pengharapan hasil, dan efikasi kolektif sebagai prediktor perilaku kesiapsiagaan
bencana seperti bencana tsunami dapat dijelaskan dalam teori sosial kognitif.
Menurut Bandura (1986), efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang
dalam melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri memiliki pengaruh yang signifikan
pada perilaku yang berada dalam situasi yang tidak dapat diprediksi seperti
bencana (Godin & Kok, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa efikasi diri bersifat
spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi serta bersifat kontekstual, artinya
tergantung pada konteks yang dihadapi (Bandura, 1986). Efikasi diri
meningkatkan rencana tindakan kesiapsiagaan terhadap bencana yang
dikembangkan oleh individu (Bürgelt & Prior, 2008a; Paton et al., 2008b; Paton,
et. al., 2008c; Paton, et al., 2010c; Sagala, et. al., 2009).
Pengharapan hasil adalah keyakinan tentang konskuensi yang diterima
setelah seseorang melakukan suatu tindakan tertentu (Bandura, 1986). Konsep
ini dikembangkan oleh Bandura yang oleh peneliti lain disebut sebagai efikasi
respon (Beck & Frankel, 1981; Roger, 1983; Witte, 1992). Keyakinan merupakan
salah satu penentu perilaku dan mendahului penilaian individu (Bandura, 2002).
Artinya pada saat individu memikirkan bahaya dari bencana yang mengancam,
individu akan membuat penilaian tentang apakah tindakan yang dilakukan akan
mengurangi dampak bencana (Paton, 2003).
35
Efikasi diri dan pengharapan hasil merupakan prediktor dari kesiapsiagaan
terhadap bencana (Paton, 2003), namun hasil penelitian Lindell dan Whitney
(2000) menunjukkan bahwa pengharapan hasil merupakan prediktor
kesiapsiagaan terhadap bencana yang lebih kuat jika dibandingkan dengan
efikasi diri. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian tentang kesiapsiagaan banyak
yang lebih menggunakan pengharapan hasil dibandingkan efikasi diri seperti
penelitian yang dilakukan oleh Paton et al (2008b).
Efikasi kolektif adalah keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara
bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu (Bandura, 1986).
Efikasi kolektif merupakan salah satu kompetensi sosial (Paton & Tang, 2009).
Dalam kontek bencana, Zaccaro et al. (1995) menungkapkan bahwa menilai
kemampuan anggota masyarakat untuk mengidentifkasi informasi, sumber daya,
dan perencanaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami
merupakan efikasi kolektif.
Menurut teori perilaku terencana, perilaku adalah produk niat (Ajzen, 1991).
Niat berperilaku adalah keinginan untuk menampilkan suatu perilaku yang pasti
(Ajzen, 2005). Menurut Ajzen (2002), niat merupakan faktor motivasional yang
mempengaruhi suatu perilaku. Niat memiliki 3 prediktor yaitu (1). sikap
masyarakat terhadap perilaku sasaran, (2) norma subjektif dan (3) persepsi
kendali perilaku atau efikasi diri (Ajzen, 1991). Norma subjektif sebagai suatu
fungsi dari beliefs yang secara spesifik menunjukkan persetujuan seseorang
(setuju atau tidak setuju) untuk menampilkan suatu perilaku (Ajzen, 2005).
Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga
keyakinan normatif (normative beliefs). Dalam kontek bencana, keyakinan
normatif adalah faktor yang dapat mencerminkan pengalaman yang sebenarnya
36
dan persepsi dan keyakinan yang dibentuk dari interaksinya dengan orang lain,
berita media, dan sebagainya (Paton, 2000). Kedua hal tersebut mengambarkan
peran potensial dari faktor normatif. Berkenaan dengan hal tersebut, partisipasi
masyarakat, pemberdayaan, dan kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton,
2003).
Gollwitzer (1999) dalam achievement goal theory mengungkapkan bahwa
seseorang yang memiliki niat belum tentu melakukan tindakan. Individu lebih
mungkin mencapai tujuan atau melakukan tindakan jika mengimplementasikan
niat. Apabila individu tidak mengimplementasikan niatnya, ia cenderung lupa
tujuan yang dalam hal ini melakukan tindakan kesiapsiagaan bencana. Menurut
Gollwitzer (1999), efektivitas niat tergantung pada kekuatan komitmen seseorang
untuk tujuan (misalnya, betapa pentingnya untuk mereka).
Ketiga teori ini saling melengkapi menjadi kerangka teori kesiapsiagaan
tsunami. Berdasarkan pendekatan ketiga teori tersebut, Paton et al (2008b)
membuat kerangka kerja untuk mengembangkan model kesiapsiagaan tsunami.
Paton et al (2008b) mengembangkan model kesiapsiagaan terhadap bencana
dengan mengelompokkannya menjadi 3 yang disebutnya sebagai variabel
personal, variabel sosial, dan variabel institusi. Variabel personal merupakan
keyakinan individu atas kemampuan diri, variabel masyarakat merupakan
keyakinan individu dalam kontek sosial yang berkaitan dengan keyakinan tentang
risiko dan cara menguranginya, dan variabel institusi merupakan persepsi
individu terhadap suatu lembaga atau institusi. Semua variabel tersebut saling
berinteraksi terhadap keputusan seseorang untuk bersiap-siap terhadap tsunami.
Hal tersebut diasumsikan bahwa keyakinan-keyakinan tersebut saling
berhubungan dan mempengaruhi keputusan untuk melakukan tindakan
37
persiapan atau tidak. Keterkaitan variabel tersebut dikembangkan menjadi model
kesiapsiagaan terhadap bencana oleh beberapa peneliti, yaitu gunung berapi
(Paton et. al., 2010c, Sagala et al., 2009), kebakaran hutan (Paton et. al., 2008c),
gempa bumi (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007; Paton, et al., 2010a), dan tsunami
(Paton et. al., 2008b; Paton, Houghton, Gregg, 2009).
Jika dikaitkan dengan kerangka kerja Paton et al (2008b), berdasarkan
kerangka teori dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Teori sosial kognitif dengan pengharapan hasil sebagai variabel personal dan
efikasi kolektif sebagai variabel sosial sebagai prediktor perilaku
kesiapsiagaan.
2. Teori perilaku terencana. Partisipasi masyarakat, pemberdayaan, dan
kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton, 2003). Individu akan berniat
menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang lain
berpikir ia harus melakukan hal tersebut. Hubungan antara kepercayaan dan
kesiapsiagaan dimediasi oleh niat untuk berperilaku. Partisipasi masyarakat
merupakan variabel masyarakat, pemberdayaan dan kepercayaan
merupakan variabel institsusi.
3. Achievement goal theory digunakan untuk menjelaskan implementasi niat
bersiap-siap untuk menghadapi tsunami menjadi kesiapsiagaan terhadap
tsunami.
Pengembangan model berdasarkan kerangka kerja Paton et al. (2008b)
terjadi pada masyarakat dimana model itu dikembangkan yaitu masyarakat
dengan latar belakang budaya tertentu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan
Paton, et al. (2010) dan Sagala, et. al., (2009) sudah memperhatikan perbedaan
budaya pada model yang dikembangkan pada model kesiapsiagaan bencana.
38
Hal ini seperti dapat dilihat dari penelitian Paton et. al. (2010) yang
membandingkan model untuk bencana gunung berapi yang diterapkan di tiga
negara yang berbeda latar belakang budaya berdasarkan dimensi budaya
individualistik - kolektivistik, yaitu Australia mewakili negara yang memiliki budaya
individualistik, Jepang mewakili negara yang memiliki budaya yang berada di
tengah-tengah, dan Indonesia mewakili negara yang memiliki budaya
kolektivistik.
Walaupun Paton, et al (2010c) dan Sagala, et al (2009) telah
membandingkan kesiapsiagaan gunung berapi dalam budaya berbeda, namun
sepanjang pengetahuan peneliti, model kesiapsiagaan tsunami ini belum
dikembangkan pada masyarakat yang berlatar belakang budaya kolektivistik
seperti Indonesia. Model tersebut dikembangkan dalam budaya individualistik
yaitu Kodiak Alaska, Amerika Serikat, sedangkan model akan peneliti
kembangkan di Indonesia yang berlatar budaya kolektivistik. Amerika serikat
berlatar belakang budaya yang paling individualistis dengan skor 91 (Hofstede,
1997). Alaska menjadi salah satu negara bagian yang menduduki peringkat 24 di
antara 50 negara bagian Amerika Serikat (Vandello & Cohen, 1999). Ini
menandakan bahwa Alaska adalah salah satu budaya yang paling individualis di
Amerika Serikat. Masyarakat dalam budaya individualistik kurang terikat pada
kelompoknya dan mandiri. Budaya individualistik menekankan pada tanggung
jawab dan hak-hak pribadinya sehingga kebutuhan, keinginan, kepentingan, dan
tujuan individu lebih diutamakan. Sementara itu, Indonesia berlatar belakang
budaya kolektivistik. Hofstede (1997) mengungkapkan bahwa Indonesia berada
pada urutan ke 6 negara dengan budaya paling kolektivistik setelah Kolumbia.
Dalam budaya kolektivistik, keterikatan pada kelompok lebih kuat. Tingkat
39
ketergantungan dan keterikatan individu dengan orang lain dan kelompoknya
sangat tinggi sehingga perilaku individu dipengaruhi oleh kelompoknya. Individu
mengandalkan keputusan yang diambil oleh kelompoknya. Keadaan masyarakat
tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan individu untuk bersiaga tsunami.
Perbedaan latar belakang budaya ini tentunya akan berdampak pada
pengembangan model kesiapsiagaan tsunami yang sesuai dengan keadaan
masyarakat Indonesia yang berlatar belakang budaya kolektivistik. Oleh sebab
itu, implementasi model Paton et al. (2008b) dipertanyakan akurasinya jika
diterapkan di Indonesia.
Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatan yang kuat
dengan tempat tinggal dan orang lain dalam lingkungannya. Rasa keterikatan
dengan tempat tinggal dan lingkungannya itu merupakan cerminan dari rasa
kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini telah dibuktikan
dari hasil penelitian Wimbarti & Nurhayaty (2011b) tentang kesiapsiagaan
tsunami yang menunjukkan bahwa warga Parangtritis memiliki rasa
kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami.
Model kesiapsiagaan terhadap tsunami yang dikembangkan oleh Wimbarti
& Nurhayaty (2011b) berdasarkan perspektif sosial kognitif untuk memprediksi
perilaku kesiapsiagaan terhadap tsunami yang dimediasi oleh niat. Pada model
ini, kesiapsiagaan digambarkan dengan 3 fase yaitu (1) fase motivasi sebagai
variabel pembentuk yaitu kesadaran kritis, persepsi resiko dan nilai budaya; (2)
fase pembentukan intensi yaitu pengharapan hasil, efikasi diri, dan kepercayaan;
dan (3) fase niat menjadi perilaku kesiapsiagaan tsunami dengan rasa
kemasyarakatan sebagai moderator. Model ini digunakan untuk memprediksi
perilaku kesiapsiagaan individu pada tingkat rumah tangga. Pada kenyataannya,
40
individu memiliki keterlibatan dalam suatu jaringan masyarakat (Heller,
Alexander, Gatz, Knight, & Rose, 2005; McGee & Russell, 2003; Paton, 2003;
Paton & Bishop, 1996; Turner, Nigg & Paz,1986). Individu berada dalam jaringan
masyarakat dan lingkungan rumahnya (tetangga) yang juga mempersiapkan diri
dalam menghadapi bencana. Oleh sebab itu, model ini kurang dapat
menjelaskan kesiapsiagaan individu yang tinggal dalam lingkungan
masyarakatnya. Dengan demikian, perlu pengembangan model yang lebih
komprehensif untuk menjelaskan kesiapsiagaan individu dalam masyarakat.
Selain pada model kesiapsiagaan terhadap tsunami Wimbarti & Nurhayaty
(2011b), rasa kemasyarakatan ini juga terdapat pada hasil suvei yang dilakukan
oleh Triatmadja (2010). Oleh karenanya, aplikasi untuk model serupa
membutuhkan beberapa variabel yang dapat mengakomodasi masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, ada perbedaan dengan model yang digunakan Paton
et al. (2008b) tentang kesiapsiagaan tsunami. Perbedaannya terletak pada
penambahan sebuah variabel yaitu rasa kemasyarakatan.
Selain penambahan pada variabel rasa kemasyarakatan dalam model,
variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan hasil yang negatif
merupakan hal yang dicermati dalam penelitian ini. Pengharapan hasil yang
negatif dan pengharapan hasil yang positif terletak pada satu kontinum. Variabel
yang terletak dalam satu kontinum tidak perlu dipisahkan. Oleh sebab itu,
variabel pengharapan hasil yang negatif dan pengharapan hasil yang positif
dalam penelitian ini dijadikan satu variabel, yaitu pengharapan hasil.
Parangtritis dan Aceh merupakan dua wilayah yang rawan tsunami.
Pemilihan tempat ini juga sejalan dengan pendapat Lindell dan Prater (2000a)
yang menyebutkan bahwa posisi atau letak daerah berpengaruh terhadap
41
kesiapsiagaan. Parangtritis merupakan daerah pernah terkena dampak tsunami
Pangandaran sedangkan Aceh adalah daerah rawan tsunami yang mengalami
kejadian tsunami besar secara langsung. Pemilihan kedua wilayah yang rawan
tsunami tersebut terletak dalam wilayah Indonesia yang berlatar belakang
budaya kolektivistik. Beberapa penelitian kesiapsiagaan terhadap bencana
menggunakan suatu wilayah yang mewakili negara berlatar belakang budaya
individualistik – kolektivistik seperti kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dengan
subyek penelitian di kota Napier, Selandia Baru sebanyak 156 orang yang
mewakili negara dengan nilai individualistik tinggi (McIvor & Paton, 2007),
kesiapsiagaan terhadap gempa bumi yang melibatkan subyek penelitian dari kota
Shuhachi = 152 orang dan Jouson = 108 yang mewakili Jepang sebagai negara
dengan nilai individualistik sedang (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007), dan
kesiapsiagaan terhadap gunung berapi yang melibatkan subyek penelitian di
wilayah Gunung Merapi yang mewakili negara berlatar belakang budaya
kolektivisitik (Sagala, et. al., 2009). Oleh sebab itu, Parangtritis dan Aceh dapat
mewakili Indonesia yang berbudaya kolektivistik.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini kemudian akan dibandingkan dengan hasil
penelitian Paton et al (2008b), baik hasil penelitian dari model kesiapsiagaan
tsunami di Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat. Kemudian data yang di peroleh dari Parangtritis dan
Aceh dijadikan satu menjadi model kesiapsiagaan tsunami Indonesia yang akan
dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika
Serikat. Menurut Craig dan Douglas (2000), penelitian yang dilakukan di satu
negara tertentu dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sejenis yang
dilakukan di negara lain. Penelitian ini merupakan penelitian model
42
kesiapsiagaan tsunami yang dilakukan di Indonesia dan dibandingkan dengan
model kesiapsiagaan tsunami Paton et al. (2008b) yang dilakukan di Alaska,
Amerika Serikat.
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang permasalahan, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh?
2. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis jika dibandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada
masyarakat Aceh?
3. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan
tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat?
4. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Indonesia jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menguji model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat di daerah
rawan bencana tsunami di Parangtritis dan Aceh.
2. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dengan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Aceh
43
3. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat
Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak
Alaska, Amerika Serikat.
4. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami Indonesia dengan
model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat.
5. Berdasarkan pengujian terhadap model tersebut diharapkan dapat ditemukan
saran bentuk intervensi yang sesuai pada masyarakat di daerah rawan
bencana tsunami.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan bukti ilmiah tentang
keterkaitan variabel-variabel yang membentuk model kesiapsiagaan terhadap
bencana pada umumnya dan kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami pada
khususnya. Melalui pengujian model akan diperoleh bukti-bukti empirik yang
dapat digunakan pada model-model kesiapsiagaan yang sama ataupun
pengembangan/penyesuaian dari model-model yang ada.
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai dasar melakukan bentuk intervensi yang sesuai dengan keadaan
masyarakat di daerah rawan bencana pada umumnya dan keadaan masyarakat
di daerah rawan tsunami pada khususnya dalam rangka pengurangan risiko
bencana.
E. Keaslian Penelitian
Kesiapsiagaan merupakan hal yang penting mengingat letak Indonesia
yang rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, longsor, dan
44
lain-lain. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa penelitian tentang kesiapsiagaan khususnya
kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di beberapa negara termasuk
Indonesia. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah:
1. Penelitian kesiapsiagaan terhadap tsunami yang menggunakan variabel
pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi
masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan kepercayaan yang dimediasi
oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami telah dilakukan di Kodiak,
Alaska, Amerika Serikat (Paton et. al., 2008b) dan di Tasmania (Paton, et al.,
2010b). Perbedaan dengan penelitian ini adalah penambahan variabel rasa
kemasyarakatan. Variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan
hasil yang negatif dijadikan menjadi satu variabel yaitu pengharapan hasil.
Selain itu, penelitian dilakukan di Parangtritis dan Aceh.
2. Penelitian tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di
Indonesia oleh Irawan, Nurrochmad, dan Triatmadja (2009) dan Wimbarti dan
Nurhayaty (2011b). Penelitian Irawan et. al. (2009) tidak menggunakan
variabel-variabel psikologis. Kesiapsiagaan ditinjau dari kesiapsiagaan
bencana tsunami di tingkat rumah tangga dan tingkat pemerintah yang diukur
menggunakan indeks kesiapsiagaan bencana. Penelitian Wimbarti dan
Nurhayaty (2011b) tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami di Parangtritis
dengan menggunakan variabel kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,
efikasi diri, pengharapan hasil, niat, kepercayaan, rasa kemasyarakatan.
Sementara itu, penelitian ini melihat keterkaitan variabel-variabel yang
membentuk kesiapsiagaan terhadap tsunami yaitu pengharapan hasil, rasa
kemasyarakatan, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan
45
kepercayaan yang dimediasi oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami.
Oleh karenanya penelitian Irawan et. al. (2009) dan Wimbarti dan Nurhayaty
(2011b) dengan penelitian ini berbeda.
3. Penelitian yang menggunakan variabel pengharapan hasil yang positif,
pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,
pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi untuk
mengetahui niat untuk bersiap-siap terhadap bencana juga pernah dilakukan
di Indonesia (Sagala, Okada, & Paton, 2009). Penelitian Sagala et. al. (2009)
dilakukan untuk bencana Gunung Merapi dan niat untuk bersiap-siap
terhadap bencana sebagai variabel terikat. Penelitian ini dilakukan di
Indonesia tetapi variabel terikatnya adalah kesiapsiagaan dan jenis
bencananya adalah tsunami.
Perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa
penelitian ini belum pernah dilakukan sehingga dapat dinyatakan bahwa
penelitian ini asli.
46
Tabel 2Penelitian-penelitian Terdahulu
No Peneliti Variabel terikat Variabel bebas, variabel moderator Lokasi, jumlahsubyek
Alatanalisis Hasil
1.Bajek, Okada,dan Takeuchi(2007)
Niat untuk bersiagaterhadap gempabumi
partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungansosial, collective action coping of interest,collective action coping of place, rasakemasyarakatan, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk bersiaga terhadap bencana
Shuhachi = 152orang,Jouson = 108orang
analisismultipleregresi,
SEM
Efikasi kolekif berpengaruh pada pemberdayaan dan niat.Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan dan kepercayaanberpengaruh pada niat. Partisipasi masyarakat, dukungan sosial,collective action coping of interest, collective action coping ofplace, & rasa kemasyarakatan tidak berpengaruh padapemberdayaan & kepercayaan. Pemberdayaan tidak berpengaruhpada niat
2.Irawan,Nurrochmad, danTriatmadja (2009)
Kesiapsiagaanbencana tsunami
kesiapsiagaan bencana tsunami di tingkat rumahtangga, kesiapsiagaan bencana tsunami ditingkat pemerintah
Bengkulu = 100orang IKB LIPI
Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Bengkulu tergolong kurangsiap
3. Kirschenbaum(2006)
Kesiapsiagaanterhadap bencana
struktur keluarga, jaringan sosial keluarga,gender, dan kehadiran anak
Israel =814orang
Analisisregresi
wanita yang memiliki anak akan melakukan tindakankesiapsiagaan dibandingkan laki-laki dan individu yang memilikijaringan sosial yang luas, lebih ingin melakukan tindakankesiapsiagaan
4. McIvor dan Paton(2007)
Kesiapsiagaanterhadap gempabumi
Sikap positif, norma sosial, persepsi terhadapbahaya, pengharapan hasil, dan action coping
Napier, SelandiaBaru = 156 orang SEM
Model fit 2 0,306, p 0,580, NFI 0,99, GFI 0,99. Sikap positifmemiliki pengaruh langsung dan tidak langsung pada niat. Sikappositif dan norma subjektif berpengaruh pada niat dimediasi olehharapan hasil. Action coping berpengaruh pada niat. Normasubjektif dimediasi oleh pengharapan hasil berpengaruh terhadapniat
5. Misra dan Suar(2007)
Kesiapsiagaanterhadap banjir
pengalaman terhadap bencana, pengetahuantentang bencana, dan persepsi terhadap risiko
Orissa = 300orang SEM
Pengalaman bencana dan pendidikan berpengaruh padakesiapan. Pengalaman bencana dan pendidikan dimediasi olehpersepsi risiko berpengaruh pada kesiapan. Persepsi risikoberpengaruh pada kesiapan.
6. Paton (2006)Kesiapsiagaanterhadap gunungberapi
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana
Auckland = 400orang SEM
Model fit dengan GFI = 0.99,RMSEA =0.052, & NFI = 0.98. Pengharapan hasil yang positif,pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
7. Paton, Bürgelt,dan Prior (2008a)
Kesiapsiagaanterhadap kebakaranhutan
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, rasa kemasyarakatanterhadap tempat, rasa kemasyarakatan terhadaporang, penyelesaian masalah masyarakat, danpersiapan niat
Hobart = 482orang SEM
Model fit 2 = 8,30, df = 5, p=0,138; RMSEA = 0,037 RMSEA =0,628; NFI = 0,983, GFI =0,995, AGFI = 0,972. Pengharapan hasilyang positif berpengaruh terhadap niat dan persiapan. Rasakemasyarakatan pada tempat & orang berpengaruh terhadappenyelesaian masalah masyarakat, dan persiapan. Pengharapanhasil yang negatif menurunkan rasa kemasyarakatan pada tempat& orang berpengaruh terhadap penyelesaian masalah masyarakat,dan persiapan
47
8.Paton, Kelly,Burgelt, danDoherty (2006)
Kesiapsiagaanterhadap bencanakebakaran hutan
persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untuk mencariinformasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain
Canbera danHobart = 280orang
Analisismultipleregresi
persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping , pengharapanhasil, dan rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap niat untukbersiap-siap. Niat untuk bersiap-siap berpengaruh terhadapkesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran hutan
9.Paton, Frandsen,& Johnston,(2010b).
Niat untuk bersiagatsunami
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana
Tasmania = 136orang SEM
Model fit 2=454,246, CMIN/DF =1,342, RMSEA = 0.052, CFI =0.942, IFI =0.943. partisipasi berpengaruh pada pemberdayaan.Partisipasi dimediasi pemberdayaan berpengaruh padakepercayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan.Kepercayaan tidak berpengaruh pada niat. Pengharapan hasilyang negatif berpengaruh pada partisipasi. Makin tinggipengharapan hasil yang negatif maka makin rendah partisipasi.Pengharapan hasil yang positif tidak berpengaruh pada partisipasidan niat.
10.
Paton, et. al.(2008b)
Kesiapsiagaanterhadap tsunami
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk bersiaga terhadap bencana
Kodiak (Alaska)= 353 orang SEM
Model fit 2=19,19, df =13, p=0.117; RMSEA = 0.037,NFI = 0.99, GFI =0.99, AGFI = 0,96. Pengharapan hasil yangpositif berpengaruh pada partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, &niat. Efikasi kolektif berpengaruh pada pemberdayaan &kepercayaan. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan & kesiapsiagaan. Pemberdayaan berpengaruhpada kepercayaan. Kepercayaan berpengaruh pada niat dan niatberpengaruh pada kesiapsiagaan.
11.
Sagala, et. al.(2009)
Niat untuk bersiagaterhadap bencanaGunung Merapi
pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk mencari informasi
Yogyakarta =322 orang SEM
Model fit 2/df=0,98 p=0,614, RMSEA=0,00, CFI=0,99 NFI=0,93,GFI=0,94. Pengharapan hasil yang positif berpengaruh padaefikasi kolektif. Efikasi kolektif berpengaruh pada partisipasimasyarakat & niat. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan,dan kepercayaan berpengaruh pada niat. Pengharapan hasil yangnegatif tidak berpengaruh pada niat.
12.
Wimbarti &Nurhayaty(2011b)
Kesiapsiagaanterhadap tsunami
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,efikasi diri, pengharapan hasil, niat, kepercayaan,rasa kemasyarakatan
Parangtritis =273 orang SEM
Model fit RMSEA = 0,002; GFI = 0,950, CMIN/DF = 0,967 AGFI =0,924. Rasa kemasyarakatan sebagai moderator β=0,.723 p =0,001 Rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap kesiapsiagaanterhadap tsunami
48
Gambar 3. Peta Penelitian yang diajukan dalam penelitian ini
KESIAPSIAGAAN
PERSONAL SOSIAL/MASYARAKAT INSTITUSI / LINGKUNGAN
Sikap positif, norma sosial, persepsi terhadapbahaya, pengharapan hasil, action coping, danniat (McIvor & Paton, 2007).
Partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungan sosial,collective action coping of interest, collective action coping ofplace, pemberdayaan, kepercayaan, niat (Bajek, Okada, &Takeuchi, 2007)
Desain rumah, posisi, bahan bangunan, dan pemeliharaan bangunan (Paton,et al 2008a). Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,2006).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, penentuan masalah, actioncoping, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).
Karakteristik bahaya, dampak bahaya, konsekuensi yang dirasakan, reaksiefektif pada bahaya (Lindell, 1994). Karakteristik dan dampak bahaya sepertikecepatan, luas wilayah yang terkena dampak bencana, konsekuensi yangdirasakan, dan reaksi efektif pada bahaya berpengaruh pada kesiapsiagaan.
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri,pengharapan hasil, niat untuk mencari informasi, niat untukbersiap-siap, rasa kemasyarakatan, kepercayaan, tanggungjawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain (Paton,Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Posisi/letak tempat tinggal, karakteristik demografi dan sosial ekonomi,pengalaman bencana (Lindell & Prater, 2000a). Posisi/letak tempat tinggalberpengaruh terhadap kesiapsiagaan.
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untukmencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain(Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi, efikasi kolektif, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat untuk bersiaga terhadap bencana(Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi(Sagala, et. al., 2009)
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya, efikasi diri,pengharapan hasil, rasa kemasyarakatan, kepercayaan danniat (Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, et. al., 2008b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat (Paton, et. al., 2008b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk mencari informasi (Sagala, et. al.,2009)
Variabel penelitian ini: Pengharapan hasil, efikasikolektif, rasa kemasyarakatan, partisipasimasyarakat, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,efikasi diri, pengharapan hasil, rasakemasyarakatan, kepercayaan dan niat(Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)
Keterangan :Cetak tebal : variabel penelitian ini
Partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungan sosial, collective actioncoping of interest, collective action coping of place, pemberdayaan,kepercayaan, niat (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, penentuan masalah, action coping, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).
Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri, pengharapan hasil,niat untuk mencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasa kemasyarakatan,kepercayaan, tanggung jawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan oranglain (Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk bersiagaterhadap bencana (Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukmencari informasi (Sagala, et. al., 2009)
Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya, efikasi diri, pengharapan hasil,rasa kemasyarakatan, kepercayaan & niat (Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)
Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,et. al., 2008b)