48
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan ancaman bencana yang paling banyak di dunia. Ancaman bencana yang mengintai Indonesia di antaranya gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Dari deretan bencana itu, tsunami adalah bahaya yang paling mengancam dengan risiko tinggi. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa. Indonesia terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang aktif yaitu Lempeng Indo Australia di sebelah selatan, Lempeng Pasifik di sebelah timur dan Lempeng Eurasia. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai banyak zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Badan Metreologi Klimatologi dan Geologi (BMKG) menguraikan bahwa pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya mengakibatkan terjadinya gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa. Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi menimbulkan tsunami. Sebagian patahan dan gunung api juga berada di bawah laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya berpotensi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

  • Upload
    trandat

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan ancaman bencana yang paling

banyak di dunia. Ancaman bencana yang mengintai Indonesia di antaranya

gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.

Dari deretan bencana itu, tsunami adalah bahaya yang paling mengancam

dengan risiko tinggi. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi

Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy

for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia

yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena

bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa

membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa.

Indonesia terletak pada zona pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia

yang aktif yaitu Lempeng Indo Australia di sebelah selatan, Lempeng Pasifik di

sebelah timur dan Lempeng Eurasia. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai

banyak zona patahan aktif dan sebaran gunung api. Badan Metreologi

Klimatologi dan Geologi (BMKG) menguraikan bahwa pergerakan relatif ketiga

lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya mengakibatkan terjadinya

gempa-gempa bumi di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga

menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah

pusat sumber gempa. Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila

terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal, maka akan berpotensi

menimbulkan tsunami. Sebagian patahan dan gunung api juga berada di bawah

laut sehingga kejadian gempa dan letusan gunung apinya berpotensi

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

2

membangkitkan tsunami. Kondisi ini menjadikan Indonesia rawan tsunami,

terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng.

Selain itu, kota-kota besar di Indonesia merupakan kota pantai yang

terletak di garis pantai sepanjang 95.181 km yang rawan tsunami. Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 233 kabupaten

dan kota di Indonesia berada di daerah rawan ancaman tsunami. Wilayah

Indonesia yang rawan tsunami dapat dilihat pada gambar 1 yaitu bagian barat

Pulau Sumatera, bagian selatan Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, bagian utara

Papua, Sulawesi dan Maluku, serta bagian timur Pulau Kalimantan.

Gambar 1. Daerah Rawan Tsunami di Indonesia (inatews.bmkg.go.id)

Gambar 1 menunjukkan peta wilayah yang rawan tsunami. Garis berwarna

merah di sepanjang pantai Indonesia menunjukkan wilayah yang rawan tsunami,

yaitu bagian barat Pulau Sumatera (Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat,

Bengkulu, Lampung), bagian selatan Pulau Jawa (Banten, Jawa Tengah dan

Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan, serta Jawa Timur bagian selatan),

Bali, Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur),

Keterangan :

daerah rawan tsunami

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

3

Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan) dan Maluku

(Maluku Utara dan Maluku Selatan), Bagian Utara Papua (Biak, Yapen, dan Fak-

Fak), serta bagian timur Pulau Kalimantan.

Tsunami yang berasal dari bahasa Jepang terdiri dari kata tsu yang berarti

pelabuhan dan nami yang berarti gelombang. Tsunami merupakan gelombang

laut yang terjadi karena adanya gangguan impulsif pada laut sebagai akibat

adanya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba dalam arah vertikal (Pond &

Pickard, 1983) atau arah horizontal (Tanioka & Satake, 1996). Triatmadja (2010)

menyebutkan longsoran yang terjadi ke dasar laut, atau letusan gunung api

(Ward, 1982), serta jatuhnya benda angkasa dapat menyebabkan tsunami yang

sangat besar. Dari keempat penyebab tersebut, perubahan dasar laut vertikal

adalah penyebab utama tsunami.

Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia telah banyak mengalami kejadian

tsunami sejak dahulu. Tercatat beberapa kejadian tsunami yang cukup besar.

Jika diinventarisasi maka sepanjang tahun 1961 – 2011, kejadian tsunami

beserta daerah bencana dan dampak tsunami dapat dilihat pada tabel 1.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

4

Tabel 1.Kejadian Tsunami tahun 1961 – 2010 (modifikasi dari Diposaptono, 2008)

No. Tahun Daerah Bencana Jumlah korbantewas/luka

1 1961 NTT, Flores Tengah 2/62 1964 Sumatera 110/4793 1965 Maluku, Seram dan Sanana 71/04 1967 Tinambung (Sulsel) 58/1005 1968 Tambo (Sulteng) 392/06 1969 Majena (Sulsel) 64/977 1977 NTB dan Pulau Sumbawa 316/08 1977 NTT, Flores dan PulauAtauro 2/259 1979 NTB, Sumbawa, Bali dan Lombok 27/200

10 1982 NTT, Larantuka 13/40011 1987 NTT, Flores Timur, danPulau Pantar 83/10812 1989 NTT dan Pulau Alor 7/013 1992 NTT, Flores, dan Pulau Babi 1.952/2.12614 1994 Banyuwangi (Jatim) 38/40015 1996 Palu (sulteng) 3/6316 1996 P. Biak (Papua) 107/017 1998 Tabuna Maliabu (Maluku 34/018 2000 Banggai (Sulteng) 4/019 2004 Aceh dan Sumut >210.000/020 2005 Pulau Nias Tidak terdata21 2006 Jawa Barat, Jawa Tengah,dan DI Yogyakarta 668/022 2007 Bengkulu dan Sumatera Barat -23 2009 Kupang Nusa Tenggara Timur 300/40024 2010 Kepulauan Mentawai 286/0

Berdasarkan kejadian tsunami di Indonesia pada tabel 1, dapatlah

disimpulkan bahwa tsunami menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Triatmadja (2010) menguraikan tentang korban tsunami berdasarkan olahan data

dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Indonesia

memiliki jumlah dan frekuensi kejadian tsunami yang lebih sedikit jika

dibandingkan dengan Jepang. Namun Indonesia merupakan daerah paling

menderita akibat tsunami (gambar 2).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

5

Gambar 2. Negara dengan Jumlah Korban Meninggal Terbesar Akibat BencanaTsunami Berdasarkan Data Olahan NOAA 2010 (Triatmadja, 2010)

Gambar 2 menunjukkan negara-negara dengan jumlah korban meninggal akibat

tsunami. Indonesia berada di urutan pertama dengan korban meninggal melebihi

275.000 orang sedangkan Jepang berada di urutan kedua dengan korban

meninggal hingga sekitar 160.000 orang. Kejadian tsunami di Aceh pada tahun

2004 menelan korban jiwa 82% dari total korban meninggal akibat tsunami.

Korban jiwa bukan sepenuhnya disebabkan oleh kecepatan dan gaya

tsunami. Orang yang tidak bisa berenang akan tenggelam, sedangkan orang

yang bisa berenang dapat terhantam oleh benda-benda/debris yang terbawa

arus karena arus yang deras akan membawa manusia membentur benda-benda

tersebut, serta adukan pasir dan debu menyebabkan air sangat kotor dan

membuat manusia tidak dapat melihat dalam air.

Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang tidak bisa diprediksi

waktu dan tempat kejadiannya. Ini berarti bahwa tsunami dapat terjadi kapan

saja dan dimana saja serta mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Menurut

Triatmadja (2010), kerugian yang ditimbulkan oleh tsunami adalah kerugian yang

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

Indo

nesi

a

Jepa

ng

Portu

gal

Chi

li

Peru

Yuna

ni

Indi

a

Philip

ina

Paki

stan

Papu

a N

G

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

6

dapat diperhitungkan seperti kerusakan lingkungan dan infrastruktur (bangunan,

jembatan, jalan raya, tanah/tebing longsor) maupun kerugian yang tidak dapat

diperhitungkan seperti kehilangan nyawa manusia dan trauma psikologis bagi

mereka yang masih hidup.

Dampak psikologis yang muncul setelah terjadinya tsunami beraneka

ragam. Para korban yang masih hidup mengalami hantaman psikologis yang

berat karena menyaksikan dan mengalami langsung bencana. Reaksi psikologis

yang buruk tadi tidak hanya dialami oleh para penyintas (korban selamat) yang

mengalami kejadian langsung. Para pekerja kemanusiaan, sukarelawan, tenaga

medis juga akan merasakan gejalanya walaupun tidak mengalami kejadian

secara langsung (Kharismawan, t.t).

Kharismawan (t.t) mengemukakan bahwa para korban menunjukkan

beberapa gejala psikologis yang negatif pasca bencana tsunami. Jika keadaan

itu tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat

menjadi gangguan psikologis yang serius. Berdasarkan perspektif tahapan

penanganan bencana, gejala-gejala psikologis yang muncul pasca bencana akan

berbeda-beda pada setiap tahap, yaitu :

1. Tahap tanggap darurat

Tahap tanggap darurat adalah masa beberapa jam atau hari setelah

bencana. Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada

menyelamatkan korban dan usaha untuk menstabilkan situasi. Gejala-gejala

psikologis yang muncul pada tahap tanggap darurat adalah (1). kecemasan

yang berlebihan. Para korban menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah

terkejut oleh hal-hal yang sederhana, tidak mampu untuk bersantai atau tidak

mampu untuk membuat keputusan. (2). Rasa bersalah. Para korban yang

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

7

selamat tetapi anggota keluarganya meninggal, seringkali kemudian

menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu karena telah selamat ketika

orang yang dikasihinya meninggal. (3). Ketidakstabilan emosi dan pikiran.

Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan bertindak

agresif atau sebaliknya. Mereka menjadi apatis dan tidak peduli, mudah lupa

ataupun mudah menangis. Korban kadang-kadang muncul dalam keadaan

kebingungan maupun histeris.

2. Tahap pemulihan

Tahap pemulihan setelah situasi stabil dan perhatian beralih ke solusi jangka

panjang. Di sisi lain, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan

bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para korban mulai menghadapi

realitas. Jika pada minggu-minggu pertama setelah bencana para korban

memiliki perasaan yang aman dan optimisme tentang masa depan maka

pada tahap ini harus membuat penilaian yang lebih realistis tentang hidup

mereka. Pada fase ini kekecewaan dan kemarahan sering menjadi gejala

dominan yang sangat terasa. Pada tahap ini berbagai gejala pasca-trauma

muncul, seperti pasca traumatic stress disorder, generalized anxiety disorder,

dukacita yang berlebihan, dan post traumatic depression.

3. Tahap rekonstruksi

Tahap rekonstruksi terjadi satu tahun atau lebih setelah bencana. Pola

kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun

banyak korban mungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak

mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala gangguan

kepribadian yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko

bunuh diri dapat meningkat, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

8

bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan berpikir

dengan logis. Mereka menjadi pendendam dan mudah menyerang orang lain

termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak

hubungan korban dengan keluarga dan komunitasnya.

Idrus (2006) menguraikan bahwa peristiwa kehilangan merupakan suatu

fenomena umum pasca terjadinya tsunami yang dirasakan oleh para korban

bencana dan para sukarelawan tsunami Aceh. Perasaan ketidakberdayaan saat

menyaksikan banyaknya mayat bergelimpangan serta perasaan bersalah saat

tidak lagi mampu untuk menyelamatkan orang-orang yang seharusnya

diselamatkannya. Perasaan bersalah dan kehilangan itu pada akhirnya

menimbulkan banyak gangguan psikologis seperti stress, kehilangan orientasi,

rasa ketidakberdayaan, frustrasi, depresi, dan gangguan kejiwaan.

Ibrahim (2005) menguraikan bahwa trauma pasca tsunami berdampak

dalam kehidupan sehari-hari para korban selamat. Mereka mengalami stres yang

berkepanjangan dan bereaksi terhadap pengalaman traumatik dengan gejala

ketakutan, keputusasaan, ketidakberdayaan, kerap terbayang kembali peristiwa

traumatik, sampai perilaku menghindar dari ingatan traumatik. Para korban

selamat pasca tsunami yang menampilkan perilaku menghindar dari ingatan

traumatik yang mereka alami dengan cara antara lain menjerit-jerit setiap melihat

genangan air dan berusaha tidak tidur karena setiap memejamkan mata melihat

bayangan wajah keluarga yang meninggal.

Taufik (2005) melakukan penelitian untuk memaparkan tentang kehidupan

pasca bencana korban gempa bumi dan tsunami di Aceh. Jangka waktu muncul

dan lamanya gejala psikologi pada para korban dalam penelitian ini tidak

dijelaskan. Hasil penelitian terhadap para korban bencana tsunami di Aceh

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

9

menunjukkan bahwa gejala psikologis yang muncul setelah terjadi tsunami di

Aceh adalah (1). Rasa takut dan cemas yang muncul karena kekuatiran akan

berulangnya kejadian yang sama, tidak tahu arah untuk melangkah, dan rasa

kuatir pada keamanan dan masa depannya. (2). Duka cita yang mendalam (larut

dalam kesedihan) membuat emosi semakin meningkat, mudah tersinggung,

perubahan suasana hati yang cepat antara senang dan sedih, sangat cemas dan

tegang, atau bahkan menjadi depresi. (3). Tidak berdaya, putus asa, dan

kehilangan kontrol ditandai dengan teringat kembali kejadian traumatik yang

telah dialaminya secara berulang ulang. (4). Phobia. Tanggal dan hari terjadinya

peristiwa, suara keras, air, orang yang berkerumun, suara halilintar, laut, angin,

atau apapun yang terkait dengan peristiwa gempa tsunami akan memicu ingatan

yang menyakitkan dan menakutkan. (5). Frustrasi dan depresi. Kebingungan,

stress, dan ketidakberdayaan membuat korban kehilangan kesadaran (eksistensi

dirinya) sehingga hubungan interpersonal sering mengalami ketegangan. (6).

Psikosomatis dan somatopsikologis. Psikosomatis adalah gangguan psikis yang

berakibat secara fisik, sebaliknya somatopsikologis adalah sakit secara fisik

berakibat pada munculnya gangguan psikologis.

Selain dampak psikologis, banyak kekerasan (violence) terjadi pada anak

dan perempuan pasca bencana. Murtakhamah (2011) menguraikan bahwa

perempuan dapat mengalami kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan),

psikologis (ancaman, pembatasan kegiatan), seksual (pelecehan seksual,

perkosaan), maupun ekonomi (menjadi korban perdagangan perempuan dan

anak, dijadikan pelacur), karena keadaan sangat tidak stabil, tingkat stress tinggi,

dan keadaan terbatas. Kekerasan dapat dilakukan oleh suami, ayah, relawan

kemanusiaan, sesama pengungsi, maupun aparat pemerintahan. Penelitian yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

10

dilakukan di Selandia Baru menunjukkan bahwa pelaporan terjadinya kekerasan

meningkat secara signifikan setelah bencana (Houghton, 2009a, 2009b;

Houghton, Wilson, Smith & Johnston, 2010).

Pada tahun 2005, komite tetap antar lembaga untuk penanganan masalah

gender dan kemanusiaan yaitu Inter-Agency Standing Committee (IASC)

menguraikan laporan dari lapangan yang memperlihatkan adanya dampak sosial

termasuk kekerasan sesudah bencana alam. Bencana alam yang dimaksud

adalah banjir di Australia, meletusnya Gunung Pinatubo di Filipina, badai Mitch di

Amerika Tengah dan Utara, serta tsunami 2004 di beberapa negara. Setiap

tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh dunia terkena dampak

bencana. Anak-anak yang selamat dari bencana mengalami luka-luka,

kekerasan, dan trauma psikologis di samping kehilangan rumah dan orang yang

dicintai (www.international.kompas.com, 13 Oktober 2011).

Bencana akan berdampak pada individu dan masyarakat serta

mengganggu mekanisme masyarakat dan sosial. Kejadian tsunami di Indonesia

yang menimbulkan kerugian besar tersebut, membuat pemerintah dan

masyarakat mulai memperhatikan pentingnya kesiapsiagaan terhadap tsunami.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari kegiatan pra-bencana dalam

siklus penanggulangan bencana. Secara umum kegiatan manajemen bencana

dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama, yaitu (1). Kegiatan pra bencana yang

mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

(2). Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat

untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue

(SAR), bantuan darurat dan pengungsian; (3). Kegiatan pasca bencana yang

mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

11

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),

kesiapsiagaan (preparedness) merupakan upaya untuk mengantisipasi bencana,

melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga.

Kesiapsiagaan bertujuan untuk mengantisipasi masalah yang ditemui dalam

bencana sehingga dapat disusun suatu cara atau metode untuk mengatasi

masalah secara efektif dan menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan sebagai

suatu respon yang efektif yang sudah ada sebelumnya (Mileti, 1999). Menurut

Carter (1992), kesiapsiagaan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

individu atau suatu kelompok sebelum bencana terjadi untuk meminimalisir risiko

bencana.

LIPI-UNESCO/ISDR (2006) menyatakan kemampuan yang harus dimiliki

oleh individu sebagai wujud dari kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah (1).

memiliki pengetahuan mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana; (2).

adanya rencana tanggap darurat (menyediakan kotak P3K dan obat-obatan,

makanan siap saji dan minuman dalam kemasan, senter/lampu, baterai

cadangan, Hp/radio, nomor telepon penting); (3). memahami sistem peringatan

dini bencana; dan (4). mobilisasi sumber daya (adanya alokasi dana/tabungan,

adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan/simulasi kesiapsiagaan

menghadapi bencana, dan adanya kesepakatan keluarga untuk memantau

peralatan dan perlengkapan siaga bencana secara berkala).

Dengan demikian, kesiapsiagaan terhadap tsunami merupakan aktivitas

yang dilakukan sebelum tsunami terjadi. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat

memahami tindakan-tindakan untuk mempersiapkan diri sebelum tsunami terjadi,

sehingga dapat memberikan respon secara cepat, tepat, dan aman pada saat

terjadi tsunami. Selain itu, masyarakat juga dapat mengetahui tindakan yang

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

12

harus dilakukan setelah tsunami terjadi. Semua itu dilakukan agar kekacauan

yang timbul dapat dikurangi karena banyak korban jiwa yang timbul disebabkan

oleh kepanikan yang terjadi pada saat bencana dan bukan karena bencana itu

sendiri sehingga peringatan dini bencana menjadi kurang efektif.

Kesiapsiagaan terhadap bencana dipengaruhi oleh beberapa faktor. Anam,

Andarini, dan Kuswantoro (2013) menyebutkan bahwa faktor yang

mempengaruhi kesiapsiagaan terhadap bencana adalah (1). Pengetahuan,

Menurut Godwin (2007) pengetahuan yang dibutuhkan dalam kesiapsiagaan

adalah membuat dan memperbarui rencana penanggulangan bencana,

pengkajian risiko lingkungan, melakukan kegiatan pencegahan bencana,

program pendidikan masyarakat, program pelatihan dan simulasi bencana. (2).

Sikap. Smith (2007), menyatakan bahwa sikap positif individu untuk merespon

dalam mempersiapkan diri dan keadaan tanggap bencana sangat dibutuhkan

dalam penanggulangan bencana. (3). Kebijakan pemerintah. Kebijakan

pemerintah dalam penanggulangan bencana dapat mempengaruhi

kesiapsiagaan (Anam, Andarini, & Kuswantoro, 2013), dan (4). Sarana dan

prasarana, serta dana. Salah satu issue penting dalam kesiapsiagaan bencana

adalah faktor donasi atau anggaran dana disamping kebutuhan sukarelawan

bencana (Landesman, 2001).

Kesadaran tentang risiko yang meliputi persepsi dan pengetahuan tentang

risiko, konsekuensi dan cara mengatasinya merupakan faktor yang

mempengaruhi kesiapsiagaan (Johnston, Bebbington, Lai, Houghton, & Paton,

1999; Mileti & Fitzpatrick, 1992; Ronan, Johnston, Daly, & Fairley, 2001;

Weinstein & Sandman, 1992). Namun kesadaran tentang risiko tidak menjamin

peningkatan kesiapsiagaan (Chan, 1995; Johnston et al., 1999; Paton, 2003).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

13

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian, kesiapsiagaan dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu

1. Faktor personal

Pengalaman sebelumnya dengan bencana merupakan salah satu faktor

personal (Anderson-Berry, 2003; Johnston et al., 1999; Weinstein, 1989).

Hasil penelitian Takao (2003) dan Takao, Motovoshi, Sato, Fukuzono, Seo,

dan Ikeda (2004) menyimpulkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat

dalam menghadapi bahaya juga bergantung pada pengalaman dan dampak

yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini serupa dengan hasil penelitian. yang

diungkapkan oleh Jhonston, Bebbington, Lai, Houghton, dan Paton (1999),

bahwa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kesiapsiagaan antara lain

adalah pengalaman personal secara langsung. Pengalaman secara langsung

terhadap bencana di masa lalu dapat menstimulasi dorongan untuk mencari

informasi mengenai peristiwa tersebut. Faktor personal yang lain yaitu

ketersediaan sumber daya, seperti waktu, keterampilan dan sumber daya

keuangan dan fisik (Chan, 1995; Coppola, 2007); karakteristik demografi dan

sosial ekonomi seperti usia, kehadiran seorang anak di rumah tangga, jenis

tempat tinggal (misalnya sendiri/sewa) (Kirschenbaum, 2006; Larsson &

Enander, 1997; Takao, 2003). Individu yang memiliki rumah sendiri akan

lebih siaga dibandingkan yang menyewa rumah dan individu yang berusia

lanjut lebih mau melakukan tindakan kesiapsiagaan seperti menyiapkan tas

siaga (Takao, 2003). Menurut Kirschenbaum (2006), wanita yang memiliki

anak akan melakukan tindakan kesiapsiagaan dibandingkan laki-laki. Selain

itu, keyakinan individu seperti pengharapan hasil (Bajek, Matsuda, & Okada,

2008; Bennet & Murphy, 1997; Paton, Bajek, Okada, & McIcor 2010a; Paton

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

14

et al., 2005; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2008c; Sagala et al., 2009;

Vogt, Winter, & Fried. 2005) dan efikasi diri (Paton, 2003; Wimbarti &

Nurhayaty, 2011b) termasuk faktor personal yang berpengaruh terhadap

kesiapsiagaan.

2. Faktor sosial/masyarakat

Faktor sosial antara lain status sosial ekonomi, kelas sosial (Burningham,

Fielding, & Thrush, 2008); jaringan sosial (Anderson-Berry, 2003; Paton, et al

2001c); rasa kemasyarakatan (Bartkowski, 2003; Cantillon, Davidson, &

Schweitzer, 2003; Chavis & Wandersman, 1990; Colombo, Mosso, & De

Piccoli, 2001; Paton, 2003; Peterson & Reid, 2003; Speer, 2000; Speer &

Paterson, 2000; Wandersman & Florin, 2000); partisipasi masyarakat, efikasi

kolektif pemberdayaan, dan kepercayaan (Bajek, Matsuda, & Okada, 2008;

Paton et. al., 2008b; Paton et. al. 2008c; Paton, Sagala, Okada, et al 2010c;

Sagala, et al., 2009); dukungan sosial dan interaksi (Mileti & Fitzpatrick,

1992). Menurut Kirschenbaum (2006), individu yang memiliki jaringan sosial

yang luas, lebih ingin melakukan tindakan kesiapsiagaan.

3. Faktor institusional atau lingkungan.

Faktor institusional atau lingkungan berpengaruh terhadap kesiapsiagan.

Faktor institusional yang berpengaruh dalam keputusan individu untuk

melakukan kesiapsiagaan adalah pemberdayaan dan kepercayaan.

Pemberdayaan berpengaruh terhadap kepercayaan dan kepercayaan

berpengaruh terhadap niat (Bajek, Matsuda, dan Okada, 2008; Paton et. al.,

2008b; Paton et. al., 2008c; Paton et al., 2010c; dan Sagala, et al., 2009).

Kemudian niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

15

(Tatsuki, Hayashi, Zoleta-Nates, Banba, Hasegawa, & Tamura, 2004; Paton

et. al. 2008b; Wimbarti & Nurhayaty 2011b).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan adalah

karakteristik bahaya dan dampak bahaya seperti kecepatan, luas wilayah

yang terkena dampak bencana (Lindell, 1994) dan lokasi (Lindell & Prater,

2000a)

Tsunami telah memakan korban jiwa yang besar, karena penduduk di

daerah yang terkena bencana tersebut tidak siap dalam menghadapi bencana.

Peristiwa gempa bumi, yang disusul dengan tsunami di Aceh 2004 telah

memakan korban dalam jumlah yang besar dan kerugian yang sangat besar.

Tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 m ini menewaskan lebih dari

230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi

pantai (Paris, Lavigne, Wassimer & Sartohadi, 2007). Jumlah korban di Indonesia

126.000 jiwa, Sri Lanka 45.000 jiwa, India 12.000 jiwa, dan Thailand 4.500 jiwa

merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar (id.wikipedia.org, 2004).

Sementara itu, Pantai Parangtritis yang terletak di Desa Parangtritis, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu wilayah Indonesia yang rawan

bencana tsunami. Kejadian tsunami di Pantai Pangandaran, Jawa Barat tanggal

17 Juli 2006 menimbulkan efek sampai ke Pantai Parangtritis yang menimbulkan

korban jiwa dan kehilangan harta benda. Ratusan bangunan milik warga di

Pantai Parangtritis rusak karena tsunami. Tsunami Pangandaran menyebabkan

kurang lebih 664 korban jiwa (Wibowo, Mardiatno, & Sunarto, 2013).

Selain banyaknya korban jiwa, cara masyarakat melakukan evakuasi dapat

dijadikan indikator kesiapsiagaan terhadap tsunami. Penelitian Yun dan Hamada

(2012) menyimpulkan bahwa kepanikan saat terjadi tsunami karena kecepatan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

16

yang tinggi saat tsunami sudah di darat merupakan kejutan yang luar biasa.

Keadaan tersebut menyebabkan orang akan berusaha untuk menyelamatkan diri

dengan berlari ke segala arah tidak beraturan dalam kepanikan. Selain itu,

banyak penduduk yang menggunakan kendaraan sehingga terjebak dalam

kemacetan dan akhirnya tidak sempat menyelamatkan diri.

Ketidaktahuan masyarakat tentang bencana yang terjadi dapat

membahayakan jiwa, seperti fenomena penurunan permukaan air laut secara

dratis yang terjadi pada tsunami di Biak tahun 1996, Aceh tahun 2004, dan Jawa

Barat tahun 2006. Bagi masyarakat pesisir yang kurang mempunyai

pengetahuan tentang tsunami, saat air surut secara mendadak dimanfaatkan

masyarakat untuk menangkap ikan-ikan yang terjebak dalam air surut, padahal

air surut tersebut merupakan ujung atau bagian dari tsunami atau gelombang

besar di belakangnya.

Pengetahuan masyarakat yang rendah juga dapat mengakibatkan mereka

mudah terkena isu. Hal itu terjadi saat Yogyakarta dilanda gempa bumi pada

tahun 2006. Masyarakat yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat

jauh dari pantai panik dan berlari meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri

menghindari isu tsunami, walaupun daerah tempat tinggal mereka tidak akan

terkena tsunami. Keadaan masyarakat yang panik menyebabkan banyak korban

bukan karena bencana itu, melainkan korban terjadi karena banyak yang

mengalami kecelakaan akibat kekacauan lalu lintas saat melarikan diri dan

rumahnya dijarah oleh oknum yang memanfaatkan keadaan saat itu. Oleh sebab

itu, kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana menjadi hal yang penting pada

masyarakat rawan bencana. Hasil penelitian Kilman (2006) menunjukkan bahwa

pada saat tsunami di Samudra Hindia tahun 2004 jumlah korban jauh lebih

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

17

sedikit pada masyarakat yang memiliki pemahaman risiko tsunami. Oleh karena

itu, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan kesiapsiagaan terhadap

tsunami seperti mengikuti kegiatan pelatihan evakuasi, mengetahui jalur

evakuasi, membuat perencanaan evakuasi, mempersiapkan tas siaga, dan lain

sebagainya.

Hasil kajian kesiapsiagaan tsunami di beberapa wilayah Indonesia

menunjukkan tingkat kesiapsiagaan tsunami pada masyarakat di daerah rawan

tsunami. Tingkat kesiapsiagaan dibuat berdasarkan lima kategori yaitu sangat

siap, siap, hampir siap, kurang siap, dan belum siap. Tingkat kesiapsiagaan

masyarakat Bengkulu tergolong kurang siap (Irawan, Nurrochmad, & Triatmadja,

2009). Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Aceh besar tergolong kurang siap dan

masyarakat Padang tergolong hampir siap (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Menurut

kajian kesiapsiagaan tsunami di Nias Selatan tergolong hampir siap (Nugroho,

2007) sedangkan di Pelabuhan Ratu tergolong tidak siap (Paramesti, 2011).

Langkah-langkah kesiapsiagaan terhadap tsunami dilakukan tidak hanya

oleh individu tetapi juga oleh lembaga atau pemerintah, seperti membangun

sistem peringatan dini, membuat rencana evakuasi dan tanggap darurat,

membuat kerangka kerja hukum dan menspesifikasi jenis bantuan pemerintah

untuk kesiapsiagaan bencana, menyediakan perangkat-perangkat

kesiapsiagaan, dan mengadakan pelatihan evakuasi. Pada beberapa daerah

yang rawan tsunami di Indonesia seperti Aceh, Padang, Bengkulu, termasuk

Parangtritis telah disiapkan perangkat-perangkat petunjuk atau rambu evakuasi,

jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan tempat pengungsian akhir (TPA).

Namun keberadaan sarana dan prasarana tersebut tidak diimbangi dengan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

18

kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan tsunami sehingga dapat menambah

korban jiwa.

Wimbarti & Nurhayaty (2011b, 2012) melakukan penelitian untuk

mengetahui pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat

tentang tsunami di Parangtritis masih tergolong rendah. Tingkat pengetahuan

masyarakat tentang tsunami yang tergolong rendah mencapai 72% dari 50

responden (Wimbarti & Nurhayaty, 2012). Selain itu, tingkat kesiapsiagaan

masyarakat juga masih rendah (Wimbarti & Nurhayaty, 2011a, 2011b, 2012).

Tingkat kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami yang tergolong rendah

mencapai 52% dari 50 orang responden (Wimbarti & Nurhayaty, 2012).

Sejalan dengan hasil penelitian di atas, survei yang dilakukan oleh

Triatmadja (2010) untuk menjajagi pengetahuan, persepsi, dan sikap masyarakat

terhadap tsunami pada masyarakat di daerah Parangtritis menyimpulkan bahwa

pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat tentang tsunami masih tergolong

rendah. Mereka tidak merasa takut jika tsunami datang karena merasa aman

dengan tersedianya sarana dan prasarana evakuasi. Penelitian Wimbarti dan

Nurhayaty (2011b, 2011c) juga menunjukkan bahwa keterikatan mereka

terhadap tempat dan kedekatan dengan anggota masyarakat yang lain membuat

mereka merasa tidak sendiri jika tsunami datang. Mereka tidak ingin pindah dari

tempat tinggal mereka saat ini walaupun rawan tsunami dan menunjukkan sikap

menerima bencana tsunami sebagai takdir Tuhan.

Pemberitaan di media massa, pada saat terjadi gempa di Aceh yang

berkekuatan 8,9 SR dan berpotensi tsunami pada tanggal 11 April 2012,

membuat masyarakat sekitar lokasi gempa sangat panik akan datangnya

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

19

tsunami dan mengungsi ke daerah yang tinggi untuk mencari tempat berlindung.

Kepanikan dan kekacauan yang terjadi di jalur evakuasi pada saat gempa Aceh

menunjukkan bahwa jalur evakuasi belum mampu menampung orang dalam

jumlah banyak. Demikian pula dengan kemacetan arus kendaraan bermotor di

jalur evakuasi tsunami perlu mendapat perhatian. Selain kepanikan dan

kekacauan, penduduk masih belum memiliki pengetahuan yang tepat tentang

tsunami. (www.republika.co.id, 16 April 2012).

Selain itu, walaupun pemerintah telah melakukan simulasi pelatihan

evakuasi dan menyediakan perangkat-perangkat evakuasi, namun dirasakan

masih kurang memadai. Berdasarkan hasil survei Wimbarti dan Nurhayaty

(2011a) disimpulkan bahwa : (1). Jalur evakuasi telah tersedia di wilayah Pantai

Parangtritis. Akan tetapi petunjuk tersebut berukuran kecil dibandingkan oleh

papan promosi atau papan nama tempat dan tertutup oleh pepohonan. Petunjuk

jalur evakuasi juga tidak berada pada setiap simpang jalan sehingga individu

akan mengalami kebingungan untuk mengikuti jalur evakuasi ke arah Tempat

Pengungsian Akhir (TPA) ketika harus melakukan evakuasi. Selain itu, Jalur

menuju TPA terlalu kecil sehingga akan menimbulkan kecelakaan karena

kepadatan orang yang berlari ke TPA. (2). Pelaksanaan latihan atau simulasi

evakuasi melibatkan polisi, tim SAR, TNI, PMI, tenaga medis, dan masyarakat di

setiap pedukuhan, tetapi tidak semua anggota masyarakat. Hanya 10 orang dari

setiap pedukuhan dan biasanya simulasi menjadi bahan tontonan oleh

pengunjung atau orang yang berada di pantai.

Kesiapsiagaan terhadap tsunami bukan hanya mempersiapkan perangkat-

perangkat kesiapsiagaan tetapi juga individu atau anggota masyarakat yang

tinggal di daerah rawan tsunami. Masyarakat yang siaga akan mengetahui hal-

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

20

hal yang perlu dipersiapkan dan tindakan-tindakan yang diambil saat bencana

terjadi. Hal ini berarti mereka memiliki peralatan yang dibutuhkan saat terjadi

tsunami, seperti peta evakuasi, menyimpan air dan makanan, dan lain-lain.

Beberapa teori perubahan perilaku yang memiliki kredibilitas ilmiah

diterapkan untuk melihat efektivitasnya dalam mempengaruhi kesiapan individu

menghadapi bencana alam. Memberikan informasi tentang risiko atau bahaya

tertentu tidak akan cukup untuk membuat individu mempersiapkan diri untuk

menghadapi bahaya bahaya, terutama bahaya yang jarang terjadi, seperti

kebakaran hutan (Chaiken, 1980; Paton et. al., 2008c), gempa bumi (Bajek,

Okada, & Takeuchi, 2007; Paton, et al., 2010a), dan tsunami (Paton et. al.,

2008b; Paton, Houghton & Gregg, 2009). Oleh sebab itu, teori-teori utama yang

telah digunakan sebagai kerangka kerja untuk mengembangkan pemahaman

tentang kesiapsiagaan terhadap bencana khususnya tsunami adalah teori sosial

kognitif (social cognitive theory), teori perilaku terencana (theory planned

behaviour) dan theory of goal achievement.

Teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan achievement goal theory

dijadikan sebagai acuan untuk merancang model kesiapsiagaan tsunami. Teori

sosial kognitif adalah salah satu teori yang dipakai untuk mendasari penelitian ini.

Berdasarkan teori sosial kognitif, perilaku dapat berubah bila ada perubahan

kognitif dan sosial (Bandura, 1991). Pengaruh dari keluarga, teman, dan

lingkungan (misalnya lingkungan masyarakat) termasuk dalam pengaruh sosial.

Pengaruh kognitif berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan dalam diri

seseorang dalam melakukan suatu perilaku. Hal ini berarti bahwa faktor sosial

maupun faktor kognitif merupakan prediktor perilaku seperti kesimpulan hasil

penelitian Schwarzer dan Renner (2000). Efikasi diri, pengharapan hasil, dan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

21

efikasi kolektif sebagai prediktor perilaku kesiapsiagaan bencana seperti

bencana tsunami dapat dijelaskan dalam teori sosial kognitif.

Efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang dalam melakukan perilaku

yang dapat mengontrol seseorang dalam melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri

merupakan pertimbangan subyektif individu terhadap kemampuannya untuk

menyusun tindakan yang dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas

khusus yang dihadapi (Bandura, 1986). Selain bidang kesehatan, efikasi diri

merupakan salah satu prediktor dari kesiapsiagaan, antara lain penelitian yang

dilakukan oleh Major (1999) tentang respon terhadap bencana gempa bumi.

Hasilnya menunjukkan bahwa tindakan persiapan terhadap bencana

memberikan keyakinan pada individu untuk menghadapi bencana yang akan

datang. Godin dan Kok (1996) menyebutkan bahwa efikasi diri memiliki pengaruh

yang signifikan pada perilaku pada situasi yang tidak dapat diprediksi seperti

bencana. Hal ini sejalan dengan pendapat Bandura (1996) yang menyatakan

bahwa efikasi diri bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi serta

bersifat kontekstual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Individu

yang memiliki efikasi diri rendah, cenderung untuk tidak melakukan tindakan jika

menganggap dirinya tidak memiliki kompetensi untuk bertindak (Paton, Smith &

Jhonston, 2000a). Sementara itu, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi

cenderung lebih siap untuk menghadapi bencana (Duval & Mullis, 1999; Lindell &

Whitney, 2000; Paton, Smith & Violanti 2000b) karena efikasi diri meningkatkan

rencana tindakan kesiapsiagaan terhadap bencana yang dikembangkan oleh

individu dan mereka secara kontinyu dan tekun menerapkannya.

Menurut Duval dan Mulilis (1999), bersiap-siap terhadap bencana

merupakan suatu fungsi dari interaksi antara efikasi diri dan efikasi respon.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

22

Namun hasil penelitian Lindell dan Whitney (2000) menunjukkan bahwa efikasi

respon (persepsi terhadap efektivitas tindakan dalam melindungi diri dan

propertinya) merupakan prediktor kesiapsiagaan terhadap bencana yang lebih

kuat jika dibandingkan dengan efikasi diri (penilaian masyarakat terhadap

sumber daya mereka untuk memungkinkan tindakan).

Pengharapan hasil merupakan persepsi pada kemungkinan konsekuensi

dari tindakan seseorang. Pengharapan hasil bukan suatu perilaku tetapi

keyakinan tentang konskuensi yang diterima setelah seseorang melakukan suatu

tindakan tertentu (Bandura, 1986). Dalam kontek bencana, penelitian Farley,

Barlow, Finkelstein dan Riley (1993) serta Paton dan Johnston, (2001)

menyimpulkan bahwa persepsi individu terhadap kemungkinan terjadinya

bencana, parahnya dampak bencana yang dialami, dan keyakinan individu

terhadap kemampuannya melindungi diri untuk mengurangi atau menghilangkan

konsekuensi bencana yang merugikan, akan membuat individu melakukan

langkah-langkah kesiapsiagaan terhadap bencana. Hal ini menunjukkan bahwa

pengharapan hasil memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan

untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana.

Efikasi kolektif merupakan keyakinan bersama dalam kelompok terhadap

kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan program yang diperlukan untuk

menghasilkan pencapaian pada tingkat tertentu (Bandura, 1996). Keyakinan

masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat menghasilkan

perubahan sosial tertentu adalah efikasi kolektif (Zaccaro, Blair, Peterson &

Zazanis, 1995). Paton dan Tang (2009) menyebutkan bahwa efikasi kolektif

merupakan salah satu kompetensi sosial.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

23

Bencana seperti tsunami merupakan bencana yang jarang terjadi. Oleh

sebab itu, individu mencari tahu konsekuensi atau dampak bencana yang

mungkin terjadi berkaitan dengan identifikasi informasi yang dibutuhkan dalam

kesiapsiagaan terhadap bencana. Menilai kemampuan anggota masyarakat

untuk mengidentifikasi informasi, sumber daya, dan perencanaan untuk

meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami merupakan efikasi kolektif

(Zaccaro et al., 1995). Efikasi kolektif menekankan persepsi anggota kelompok

terhadap kemampuannya untuk memenuhi tuntutan lingkungan (Benight, 2004).

Teori perilaku terencana menyebutkan bahwa perilaku merupakan produk

niat yaitu keinginan untuk berperilaku (Ajzen 1991). Menurut Ajzen (1991), niat

memiliki 3 prediktor yaitu (1). sikap masyarakat terhadap perilaku sasaran, (2)

norma subjektif yang meliputi penilaian mereka tentang tekanan sosial untuk

melakukan suatu tindakan, dan (3) persepsi kendali perilaku atau efikasi diri,

yang mengacu pada persepsi individu tentang betapa sulitnya untuk melakukan

perilaku sasaran atau keyakinan mereka dalam kemampuan mereka untuk

mengatasi aktivitas baru. Teori ini mengklaim bahwa respon masyarakat untuk

situasi (misalnya, mempersiapkan diri untuk bahaya) dipengaruhi keyakinan

mereka tentang efektivitas perilaku tertentu (misalnya, apakah mereka percaya

itu benar-benar dapat membuat perbedaan).

Ajzen (1991) mengemukakan bahwa norma subjektif diasumsikan sebagai

suatu fungsi dari beliefs yang secara spesifik menunjukkan persetujuan

seseorang (setuju atau tidak setuju) untuk menampilkan suatu perilaku.

Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga

keyakinan normatif (normative beliefs). Seorang individu akan berniat

menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

24

yang penting, seperti pasangan, sahabat, atau tetangga berfikir bahwa ia

seharusnya melakukan hal itu.

Dalam kontek bencana, keyakinan normatif adalah faktor yang dapat

mencerminkan (1) pengalaman yang sebenarnya dan (2) persepsi dan keyakinan

yang dibentuk dari interaksinya dengan orang lain, berita media, dan sebagainya

(Paton, 2000). Kedua hal tersebut mengambarkan peran potensial dari faktor

normatif. Berkenaan dengan hal tersebut, partisipasi masyarakat,

pemberdayaan, dan kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton, 2003).

Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam

kegiatan kemasyarakatan (Eng & Parker, 2004). Penelitian-penelitian tentang

kesiapsiagaan terhadap bencana yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa

keterlibatan individu dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di

lingkungannya berpengaruh terhadap kesiapsiagaan. Pada saat individu

dihadapkan dengan keadaan yang tidak pasti dan situasi yang kompleks tetapi

informasi yang dibutuhkan kurang akan dipengaruhi oleh informasi dari orang lain

karena konsep masyarakat pada lingkungan yang berisiko dipengaruhi oleh

pandangan atau pendapat orang lain (Lion, Meertens, & Bot 2002; Poortinga &

Pidgeon, 2004).

Pemberdayaan menggambarkan evaluasi masyarakat tentang sejauh

mana mereka merasa bahwa pengalaman dengan sumber informasi telah

memfasilitasi kemampuan mereka untuk mencapai kebutuhan dan tujuan di

masa lalu (Earle, 2004; Paton & Bishop, 1996). Pemberdayaan terjadi melalui

hubungan kerja sama antara individu lain dan masyarakat. Pemberdayaan

mencerminkan kualitas hubungan timbal balik (keadilan sosial) antara anggota

masyarakat dan antara anggota masyarakat dan lembaga kemasyarakatan (Eng

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

25

& Parker, 1994; Paton & Bishop, 1996). Kualitas hubungan ini akan menentukan

sejauh mana tanggung jawab diserahkan kepada anggota masyarakat. Warga

lebih memahami kebutuhan mereka telah dipenuhi melalui hubungan mereka

dengan lembaga-lembaga sipil, semakin besar kemungkinan mereka untuk

mempercayai mereka dan informasi yang mereka berikan dan menggunakannya

untuk merumuskan dan bertindak pada rencana untuk mengurangi risiko.

Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan

orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan

tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada

kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya (Mayer et. al., 1995).

Menurut Kee dan Knox (1970) perilaku mempercayai atau mencurigai individu

dihasilkan dari evaluasi subyektif dari sifat bisa dipercaya orang lain. Paton

(2008) menguraikan bahwa tingkat kepercayaan akan tergantung pada

pengalaman sebelumnya (yang memiliki atau tidak memiliki apapun untuk

masalah bahaya), kemampuan masyarakat untuk merumuskan kebutuhan

mereka dan merasakan ketertarikan terhadap hasil, dan kemungkinan

merasakan hasil yang dicapai.

Berkenaan dengan bencana, hubungan kepercayaan ada di antara

anggota masyarakat dan perencana darurat dan masing-masing dengan sistem

sosial/kelembagaan di mana mereka berada. Kepercayaan akan mengurangi

ketidakpastian dan kompleksitas yang dihadapi ketika dihadapkan dengan situasi

yang bahaya dan jarang terjadi seperti kebakaran hutan maupun tsunami

(McGee & Russell, 2003; Vogt et al. 2005; Winter, Vogt, & McCaffrey, 2004).

Achievement goal theory berpendapat bahwa individu lebih mungkin

mencapai tujuan atau melakukan tindakan jika mengimplementasikan niat

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

26

(Gollwitzer, 1999). Strategi ini melibatkan tiga elemen yaitu kapan, dimana, dan

bagaimana mencapai tujuan. Teori ini menyatakan bahwa implementasi niat

meningkatkan pencapaian tujuan karena mendorong individu untuk

mengingatkan niat mereka dalam mencapai tujuan. Apabila individu tidak

mengimplementasikan niatnya, ia cenderung lupa tujuan. Teori mengakui bahwa

efektivitas niat tergantung pada kekuatan komitmen seseorang untuk tujuan

(misalnya, betapa pentingnya untuk mereka) (Gollwitzer, 1999).

Berdasarkan kerangka teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan

achievement goal theory, Paton et. al (2008b) menyusun suatu kerangka kerja

untuk model kesiapsiagaan tsunami. Kesiapsiagaan tidak hanya dalam tingkat

rumah tangga (household) tetapi juga tingkat masyarakat (community). Hal ini

berarti bahwa individu berada dalam jaringan masyarakat dan lingkungan

rumahnya (tetangga) yang juga mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana.

Dalam hal ini, Paton, Houghton, Gregg, et. al. (2008b) mengungkapkan bahwa

kesiapsiagaan tsunami dipengaruhi oleh interaksi antara tiga kelompok variabel

yaitu variabel personal, variabel masyarakat, dan variabel institusi. Variabel

personal merupakan persepsi individu terhadap kemampuan diri dalam

menghadapi bencana yaitu pengharapan hasil yang negatif dan pengharapan

hasil yang positif. Variabel masyarakat merupakan persepsi individu terhadap

kemampuan anggota masyarakat lain dan lingkungannya yaitu efikasi kolektif

dan partisipasi masyarakat. Variabel institusi merupakan persepsi individu

terhadap lembaga atau institusi yaitu kepercayaan dan pemberdayaan.

Beranjak dari penelitian tentang perilaku melindungi kesehatan dan literatur

psikologi komunitas tentang perubahan komunitas, Paton (2003) mengajukan

sebuah model tentang kesiapsiagaan bencana alam. Paton, Smith, dan Johnson

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

27

(2005) melakukan uji empiris untuk mengetahui kemampuan prediksi model

kesiapsiagaan gempa. Model tersebut menggambarkan tindakan kesiapsiagaan

sebagai proses penalaran yang terdiri dari serangkaian keputusan yang diambil

berkaitan dengan lingkungan yang berbahaya atau rawan bencana. Niat sebagai

mediasi merupakan elemen penting dalam model. Niat dalam model dipisahkan

menjadi niat untuk bersiap-siap yang mengarah kepada tindakan dan niat untuk

mencari informasi (Paton et al., 2005).

Berdasarkan pada penelitian sebelumnya tentang bagaimana keyakinan

seseorang terhadap bahaya mempengaruhi perilaku (Lindell & Whitney, 2000;

McLure, Walkey, & Allen, 1999; Paton, et al 2005, Paton, Bürgelt, & Prior 2008a;

Paton et al. 2008b; Paton, Smith, Daly & Johnston 2008c) mengungkapkan

bahwa interpretasi individu terhadap bahaya yang jarang terjadi dan kompleks

melibatkan keyakinan atas kemampuan diri, keyakinan individu dalam kontek

sosial, serta keyakinan terhadap ahli dan sumber-sumber informasi yang

dipercaya akan mempengaruhi individu untuk bersiap-siap terhadap bencana.

Tobin (1999) mengemukakan bahwa perilaku kesiapsiagaan lebih mungkin untuk

dipertahankan jika individu memiliki keyakinan terhadap kemampuan anggota

lain dalam lingkungan sosial dan keyakinan terhadap lembaga yang ada.

Pengharapan hasil adalah variabel personal. Pada individu yang tinggal di

daerah rawan bencana, terdapat interaksi antara keyakinan individu tentang

besarnya konsekuensi yang diterima sebagai dampak bencana dengan hasil

yang dicapai jika melakukan suatu tindakan tertentu. Pengharapan hasil

dibedakan menjadi pengharapan hasil yang positif dan pengharapan hasil yang

negatif oleh beberapa peneliti (Bennet & Murphy, 1997; Paton et al., 2005;

Sagala, Okada, & Paton, 2009; Vogt, Winter, & Fried 2005). Pengharapan hasil

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

28

berpengaruh terhadap (1). Partisipasi masyarakat (Bajek, Matsuda, & Okada,

2008; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2008c; Paton, Bajek, Okada, & McIcor

2010a; Sagala et al., 2009, (2). Efikasi kolektif (Paton et. al., 2008b; Sagala, et

al., 2009), dan (3). Niat (Bennet & Murphy, 1997; Paton et al., 2005; Paton et. al.,

2008b; Sagala, et al., 2009; Vogt, Winter, & Fried. 2005).

Hasil penelitian Paton (2008) mengungkapkan bahwa faktor sosial

(partisipasi masyarakat, efikasi kolektif) dan faktor institusi atau lingkungan

(pemberdayaan, dan kepercayaan) berpengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan

terhadap tsunami yang dimediasi oleh niat. Beberapa model tingkah laku

melindungi (protective behaviour) digambarkan dengan hubungan antara faktor

motivasi dan tingkah laku penurunan risiko yang dimediasi oleh niat (Abraham,

Sheeran, & Johnston, 1998; Ajzen, 1991; Bennett & Murphy, 1997; Godin & Kok,

1996; Gollwitzer, 1993).

Partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan kepercayaan

saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan yang

dimediasi oleh niat.. Partisipasi masyarakat berpengaruh terhadap (1)

pemberdayaan (Bajek, Matsuda, & Okada, 2008; Paton et. al., 2008b; Paton et.

al. 2008c; Paton, Sagala, Okada, Jang, Petra, Burgelt, &Gregg 2010c; Sagala, et

al., 2009). Efikasi kolektif berpengaruh terhadap pemberdayaan (Paton et. al.,

2008b; Paton, Frandsen, & Johnston. 2010b; Sagala, et al., 2009) dan

kepercayaan (Paton et. al., 2008b). Bajek, Matsuda, dan Okada, (2008); Paton

et. al., (2008b); Paton et. al., (2008c); Paton et al., (2010c); dan Sagala, et al.,,

(2009) mengemukakan bahwa pemberdayaan berpengaruh terhadap

kepercayaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap niat. Kemudian niat

berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami (Tatsuki, Hayashi,

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

29

Zoleta-Nates, Banba, Hasegawa, & Tamura, 2004; Paton et. al. 2008b; Wimbarti

& Nurhayaty 2011b).

Berangkat dari hasil penelitian sebelumnya, pemikiran logis yang muncul

adalah bahwa variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan

terhadap tsunami dapat disusun sesuai dengan keadaan masyarakat di

Indonesia. Beberapa model kesiapsiagaan khususnya kesiapsiagaan terhadap

tsunami telah diterapkan di beberapa negara berlatar belakang budaya

individualistik seperti Australia dan Amerika sedangkan Indonesia merupakan

negara yang memiliki latar belakang budaya kolektivistik. Perbedaan latar

belakang budaya ini menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan.

Selain itu, hasil penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2011a) tentang

kesiapsiagaan atau persiapan individu untuk menghadapi tsunami dalam rumah

tangga menyimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap terbentuknya

kesiapsiagaan individu terhadap bencana tsunami adalah persepsi risiko,

kesadaran kritis (critical awareness), pengharapan hasil (outcome expectancy),

efikasi diri, nilai budaya pasrah dan nrimo, dan rasa kemasyarakatan yang

dimediasi niat.

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan terhadap 93 orang

masyarakat Parangtritis dalam rangka penelitian kesiapsiagaan terhadap tsunami

pada warga di Parangtritis menyimpulkan bahwa keterikatan mereka dengan

tempat dimana mereka lahir dan tinggal tergolong tinggi. Sembilan puluh lima

persen (95%) dari responden menyatakan bahwa mereka tidak akan pergi dari

daerah itu karena mereka dilahirkan dan mencari nafkah secara turun temurun di

daerah tersebut. Selain itu, kekerabatan antar anggota paguyuban maupun

tetangga sangat akrab. Keterikatan dan keakraban antar anggota masyarakat

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

30

menyebabkan mereka mau terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan di

lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa rasa kemasyarakatan

memungkinkan mereka mau terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan

dengan kesiapsiagaan terhadap tsunami seperti mengikuti simulasi. Dengan

demikian rasa kemasyarakatan memiliki peran untuk meningkatkan

kesiapsiagaan terhadap tsunami (Wimbarti & Nurhayaty, 2011a). Rasa

kemasyarakatan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat (Bartkowski,

2003; Cantillon, Davidson, & Schweitzer, 2003; Chavis & Wandersman, 1990;

Colombo, Mosso, & De Piccoli, 2001; Peterson & Reid, 2003; Speer, 2000; Speer

& Paterson, 2000; Wandersman & Florin, 2000) dan pemberdayaan (Bishop,

Paton, Syme & Nancarrow, 2000; McIvor & Paton, 2006; Paton, Johnston, Smith,

& Millar, 2001).

Rasa kemasyarakatan merupakan salah satu faktor sosial yang

berpengaruh terhadap perilaku. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rasa

masyarakatan adalah salah satu faktor sosial (Bishop et al., 2000; Paton,

Johnston & Houghton, 2001a; Paton, Millar & Johnston, 2001c). Sejalan dengan

hal ini, Taylor (1999) serta Bennet dan Murphy (1997) menyatakan bahwa faktor

sosial berpengaruh terhadap perilaku individu. Rasa kemasyarakatan adalah

perasaan terikat pada orang lain dan tempat yang akan mempengaruhi

keputusan individu untuk melakukan tindakan persiapan terhadap bencana

(Bishop et al., 2000; Paton et al., 2000). Hubungan antara kesiapsiagaan dan

perasaan terikat dalam masyarakat meningkatkan investasi emosional individu

terhadap masyarakat (Hummon, 1992; Low & Altman, 1992), sehingga

memungkinkan individu termotivasi untuk bertindak meningkatkan keselamatan

mereka di dalam lingkungan tersebut.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

31

Beberapa wilayah Indonesia telah mengalami tsunami seperti Parangtritis

dan Aceh. Parangtritis adalah daerah rawan tsunami yang terkena dampak

tsunami Pengandaran pada tahun 2006. Parangtritis mengalami kerusakan

cukup parah walaupun tidak banyak menimbulkan korban jiwa. Triatmadja (2010)

dalam kajian tentang potensi tsunami Parangtritis menyimpulkan bahwa tsunami

di Parangtritis sangat spesifik. Ujung tsunami hanya akan mencapai jalan utama

sepanjang pantai apabila ketinggian tsunami di bawah 4 meter. Akan tetapi, jika

ketinggian tsunami mencapai 10 meter seperti tsunami Aceh pada tahun 2004,

maka tsunami akan mencapai bukit di sepanjang pantai dan dipantulkan kembali

ke laut. Jika kondisi tersebut terjadi, maka tsunami di daratan bisa mencapai 20

meter di atas permukaan laut dan akan menenggelamkan semua bangunan di

pantai Parangtritis sehingga evakuasi ke bukit merupakan alternatif utama.

Sementara itu, Aceh merupakan wilayah yang mengalami tsunami pada tahun

2004 dengan jumlah korban jiwa yang besar dan kerusakan yang parah

(Bappenas, 2005). Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menguji model

kesiapsiagaan terhadap tsunami di Indonesia dengan membandingkan antara

Parangtritis sebagai wilayah yang terkena dampak dari tsunami Pangandaran

dan Banda Aceh sebagai wilayah yang telah terkena tsunami secara langsung.

Penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2011c) mengembangkan model

kesiapsiagaan tsunami dengan memfokuskan pada keyakinan individu terhadap

kemampuan diri. Hasil penelitian tersebut menjadi dasar untuk menyusun modul

sebagai salah satu upaya pendidikan tentang tsunami untuk meningkatkan

pengetahuan masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan tentang

tsunami melalui modul dapat meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan

masyarakat terhadap tsunami (Wimbarti & Nurhayaty, 2012). Oleh sebab itu,

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

32

model kesiapsiagaan terhadap tsunami ini diharapkan dapat menjadi acuan

untuk menemukan saran bentuk intervensi yang tepat sebagai pendidikan

kesiapsiagaan bencana tsunami di Indonesia seperti pada Ketertarikan ini juga

telah mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan menguji model

kesiapsiagaan yang awalnya diterapkan di negara yang berlatar belakang

budaya individualistik dan mencoba untuk mengetahui apakah perbaikan atau

penyesuaian dapat dibuat dalam konteks negara berlatar belakang budaya

kolektivistik yang rentan tsunami seperti Indonesia.

B. Rumusan Permasalahan

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana, baik bencana yang

ditimbulkan karena perbuatan manusia atau alam. Berbagai bencana alam telah

menimpa Indonesia termasuk tsunami. Bencana terjadi dengan frekuensi yang

tidak menentu dan akibat yang ditimbulkannya meningkat bagi mereka yang tidak

mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya bencana.

Selain itu, Indonesia merupakan negara yang berada pada urutan pertama

korban meninggal akibat tsunami.

Rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan meningkatnya jumlah

penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana akan membuat dampak

bencana semakin parah. Korban disebabkan oleh bencana dan kekacauan yang

timbul akibat kepanikan yang terjadi saat bencana. Kondisi tersebut merupakan

akibat kurangnya kesiapsiagaan terhadap bencana. Oleh sebab itu,

kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana harus ditingkatkan karena

kesiapsiagaan membantu mengurangi kekacauan sehingga peringatan dini

bencana dapat lebih efektif dan korban dapat diminimalkan.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

33

Upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana

sangat penting, bukan saja pada pemerintah dari suatu negara atau suatu

daerah tetapi juga pada anggota masyarakat yang langsung merasakan dan

harus menghadapi bencana itu sendiri, terutama sebelum bantuan atau

pertolongan datang dari instansi atau badan-badan pertolongan atau

penanganan bencana yang resmi. Salah satu upaya peningkatan kesiapsiagaan

terhadap tsunami adalah melalui pendidikan mengingat rendahnya tingkat

kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana dan minimnya pengetahuan

masyarakat tentang tsunami sehingga akan membuat dampak bencana makin

parah. Penelitian Wimbarti dan Nurhayaty (2012) menggunakan modul yang

berisikan tentang informasi yang tepat tentang tsunami sehingga dapat

meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan nilai t sebesar 76,471 dengan p-value sebesar 0,000 yang berarti

bahwa ada pengaruh pendidikan tentang tsunami terhadap peningkatan

kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami. Rata-rata selisih skor pos-tes

dikurangi pre-tes bernilai positif yaitu 9,280 menunjukkan bahwa kesiapsiagaan

terhadap tsunami sesudah diberikan pendidikan tentang tsunami lebih baik

dibandingkan dengan kesiapsiagaan terhadap tsunami sebelum diberikan

pendidikan tentang tsunami.

Untuk kesiapsiagaan tsunami, tiga teori yang saling melengkapi digunakan

dalam penelitian ini yaitu teori sosial kognitif, teori perilaku terencana, dan

achievement goal theory. Teori sosial kognitif telah banyak digunakan untuk

menjelaskan perilaku bencana (Bishop et al, 2000; Paton, 2003; Paton et al,

2001a; 2001c). Menurut teori sosial kognitif, perilaku manusia adalah triadic,

dinamis, dan memiliki hubungan timbal balik antara faktor personal, faktor sosial,

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

34

dan faktor jaringan sosial/system (Bandura 1986, 1989). Bandura (1991)

mengungkapkan bahwa perilaku dapat berubah bila ada perubahan kognitif dan

sosial. Pengaruh sosial (seperti keluarga, teman, atau lingkungan tetangga) dan

pengaruh kognitif (keyakinan atau kepercayaan seseorang dalam menampilkan

perilaku tertentu merupakan prediktor perubahan perilaku. Efikasi diri,

pengharapan hasil, dan efikasi kolektif sebagai prediktor perilaku kesiapsiagaan

bencana seperti bencana tsunami dapat dijelaskan dalam teori sosial kognitif.

Menurut Bandura (1986), efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang

dalam melakukan perilaku tertentu. Efikasi diri memiliki pengaruh yang signifikan

pada perilaku yang berada dalam situasi yang tidak dapat diprediksi seperti

bencana (Godin & Kok, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa efikasi diri bersifat

spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi serta bersifat kontekstual, artinya

tergantung pada konteks yang dihadapi (Bandura, 1986). Efikasi diri

meningkatkan rencana tindakan kesiapsiagaan terhadap bencana yang

dikembangkan oleh individu (Bürgelt & Prior, 2008a; Paton et al., 2008b; Paton,

et. al., 2008c; Paton, et al., 2010c; Sagala, et. al., 2009).

Pengharapan hasil adalah keyakinan tentang konskuensi yang diterima

setelah seseorang melakukan suatu tindakan tertentu (Bandura, 1986). Konsep

ini dikembangkan oleh Bandura yang oleh peneliti lain disebut sebagai efikasi

respon (Beck & Frankel, 1981; Roger, 1983; Witte, 1992). Keyakinan merupakan

salah satu penentu perilaku dan mendahului penilaian individu (Bandura, 2002).

Artinya pada saat individu memikirkan bahaya dari bencana yang mengancam,

individu akan membuat penilaian tentang apakah tindakan yang dilakukan akan

mengurangi dampak bencana (Paton, 2003).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

35

Efikasi diri dan pengharapan hasil merupakan prediktor dari kesiapsiagaan

terhadap bencana (Paton, 2003), namun hasil penelitian Lindell dan Whitney

(2000) menunjukkan bahwa pengharapan hasil merupakan prediktor

kesiapsiagaan terhadap bencana yang lebih kuat jika dibandingkan dengan

efikasi diri. Oleh sebab itu, penelitian-penelitian tentang kesiapsiagaan banyak

yang lebih menggunakan pengharapan hasil dibandingkan efikasi diri seperti

penelitian yang dilakukan oleh Paton et al (2008b).

Efikasi kolektif adalah keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara

bersama-sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu (Bandura, 1986).

Efikasi kolektif merupakan salah satu kompetensi sosial (Paton & Tang, 2009).

Dalam kontek bencana, Zaccaro et al. (1995) menungkapkan bahwa menilai

kemampuan anggota masyarakat untuk mengidentifkasi informasi, sumber daya,

dan perencanaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami

merupakan efikasi kolektif.

Menurut teori perilaku terencana, perilaku adalah produk niat (Ajzen, 1991).

Niat berperilaku adalah keinginan untuk menampilkan suatu perilaku yang pasti

(Ajzen, 2005). Menurut Ajzen (2002), niat merupakan faktor motivasional yang

mempengaruhi suatu perilaku. Niat memiliki 3 prediktor yaitu (1). sikap

masyarakat terhadap perilaku sasaran, (2) norma subjektif dan (3) persepsi

kendali perilaku atau efikasi diri (Ajzen, 1991). Norma subjektif sebagai suatu

fungsi dari beliefs yang secara spesifik menunjukkan persetujuan seseorang

(setuju atau tidak setuju) untuk menampilkan suatu perilaku (Ajzen, 2005).

Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga

keyakinan normatif (normative beliefs). Dalam kontek bencana, keyakinan

normatif adalah faktor yang dapat mencerminkan pengalaman yang sebenarnya

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

36

dan persepsi dan keyakinan yang dibentuk dari interaksinya dengan orang lain,

berita media, dan sebagainya (Paton, 2000). Kedua hal tersebut mengambarkan

peran potensial dari faktor normatif. Berkenaan dengan hal tersebut, partisipasi

masyarakat, pemberdayaan, dan kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton,

2003).

Gollwitzer (1999) dalam achievement goal theory mengungkapkan bahwa

seseorang yang memiliki niat belum tentu melakukan tindakan. Individu lebih

mungkin mencapai tujuan atau melakukan tindakan jika mengimplementasikan

niat. Apabila individu tidak mengimplementasikan niatnya, ia cenderung lupa

tujuan yang dalam hal ini melakukan tindakan kesiapsiagaan bencana. Menurut

Gollwitzer (1999), efektivitas niat tergantung pada kekuatan komitmen seseorang

untuk tujuan (misalnya, betapa pentingnya untuk mereka).

Ketiga teori ini saling melengkapi menjadi kerangka teori kesiapsiagaan

tsunami. Berdasarkan pendekatan ketiga teori tersebut, Paton et al (2008b)

membuat kerangka kerja untuk mengembangkan model kesiapsiagaan tsunami.

Paton et al (2008b) mengembangkan model kesiapsiagaan terhadap bencana

dengan mengelompokkannya menjadi 3 yang disebutnya sebagai variabel

personal, variabel sosial, dan variabel institusi. Variabel personal merupakan

keyakinan individu atas kemampuan diri, variabel masyarakat merupakan

keyakinan individu dalam kontek sosial yang berkaitan dengan keyakinan tentang

risiko dan cara menguranginya, dan variabel institusi merupakan persepsi

individu terhadap suatu lembaga atau institusi. Semua variabel tersebut saling

berinteraksi terhadap keputusan seseorang untuk bersiap-siap terhadap tsunami.

Hal tersebut diasumsikan bahwa keyakinan-keyakinan tersebut saling

berhubungan dan mempengaruhi keputusan untuk melakukan tindakan

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

37

persiapan atau tidak. Keterkaitan variabel tersebut dikembangkan menjadi model

kesiapsiagaan terhadap bencana oleh beberapa peneliti, yaitu gunung berapi

(Paton et. al., 2010c, Sagala et al., 2009), kebakaran hutan (Paton et. al., 2008c),

gempa bumi (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007; Paton, et al., 2010a), dan tsunami

(Paton et. al., 2008b; Paton, Houghton, Gregg, 2009).

Jika dikaitkan dengan kerangka kerja Paton et al (2008b), berdasarkan

kerangka teori dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Teori sosial kognitif dengan pengharapan hasil sebagai variabel personal dan

efikasi kolektif sebagai variabel sosial sebagai prediktor perilaku

kesiapsiagaan.

2. Teori perilaku terencana. Partisipasi masyarakat, pemberdayaan, dan

kepercayaan merupakan faktor normatif (Paton, 2003). Individu akan berniat

menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang lain

berpikir ia harus melakukan hal tersebut. Hubungan antara kepercayaan dan

kesiapsiagaan dimediasi oleh niat untuk berperilaku. Partisipasi masyarakat

merupakan variabel masyarakat, pemberdayaan dan kepercayaan

merupakan variabel institsusi.

3. Achievement goal theory digunakan untuk menjelaskan implementasi niat

bersiap-siap untuk menghadapi tsunami menjadi kesiapsiagaan terhadap

tsunami.

Pengembangan model berdasarkan kerangka kerja Paton et al. (2008b)

terjadi pada masyarakat dimana model itu dikembangkan yaitu masyarakat

dengan latar belakang budaya tertentu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan

Paton, et al. (2010) dan Sagala, et. al., (2009) sudah memperhatikan perbedaan

budaya pada model yang dikembangkan pada model kesiapsiagaan bencana.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

38

Hal ini seperti dapat dilihat dari penelitian Paton et. al. (2010) yang

membandingkan model untuk bencana gunung berapi yang diterapkan di tiga

negara yang berbeda latar belakang budaya berdasarkan dimensi budaya

individualistik - kolektivistik, yaitu Australia mewakili negara yang memiliki budaya

individualistik, Jepang mewakili negara yang memiliki budaya yang berada di

tengah-tengah, dan Indonesia mewakili negara yang memiliki budaya

kolektivistik.

Walaupun Paton, et al (2010c) dan Sagala, et al (2009) telah

membandingkan kesiapsiagaan gunung berapi dalam budaya berbeda, namun

sepanjang pengetahuan peneliti, model kesiapsiagaan tsunami ini belum

dikembangkan pada masyarakat yang berlatar belakang budaya kolektivistik

seperti Indonesia. Model tersebut dikembangkan dalam budaya individualistik

yaitu Kodiak Alaska, Amerika Serikat, sedangkan model akan peneliti

kembangkan di Indonesia yang berlatar budaya kolektivistik. Amerika serikat

berlatar belakang budaya yang paling individualistis dengan skor 91 (Hofstede,

1997). Alaska menjadi salah satu negara bagian yang menduduki peringkat 24 di

antara 50 negara bagian Amerika Serikat (Vandello & Cohen, 1999). Ini

menandakan bahwa Alaska adalah salah satu budaya yang paling individualis di

Amerika Serikat. Masyarakat dalam budaya individualistik kurang terikat pada

kelompoknya dan mandiri. Budaya individualistik menekankan pada tanggung

jawab dan hak-hak pribadinya sehingga kebutuhan, keinginan, kepentingan, dan

tujuan individu lebih diutamakan. Sementara itu, Indonesia berlatar belakang

budaya kolektivistik. Hofstede (1997) mengungkapkan bahwa Indonesia berada

pada urutan ke 6 negara dengan budaya paling kolektivistik setelah Kolumbia.

Dalam budaya kolektivistik, keterikatan pada kelompok lebih kuat. Tingkat

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

39

ketergantungan dan keterikatan individu dengan orang lain dan kelompoknya

sangat tinggi sehingga perilaku individu dipengaruhi oleh kelompoknya. Individu

mengandalkan keputusan yang diambil oleh kelompoknya. Keadaan masyarakat

tersebut akan berpengaruh terhadap keputusan individu untuk bersiaga tsunami.

Perbedaan latar belakang budaya ini tentunya akan berdampak pada

pengembangan model kesiapsiagaan tsunami yang sesuai dengan keadaan

masyarakat Indonesia yang berlatar belakang budaya kolektivistik. Oleh sebab

itu, implementasi model Paton et al. (2008b) dipertanyakan akurasinya jika

diterapkan di Indonesia.

Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatan yang kuat

dengan tempat tinggal dan orang lain dalam lingkungannya. Rasa keterikatan

dengan tempat tinggal dan lingkungannya itu merupakan cerminan dari rasa

kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Hal ini telah dibuktikan

dari hasil penelitian Wimbarti & Nurhayaty (2011b) tentang kesiapsiagaan

tsunami yang menunjukkan bahwa warga Parangtritis memiliki rasa

kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami.

Model kesiapsiagaan terhadap tsunami yang dikembangkan oleh Wimbarti

& Nurhayaty (2011b) berdasarkan perspektif sosial kognitif untuk memprediksi

perilaku kesiapsiagaan terhadap tsunami yang dimediasi oleh niat. Pada model

ini, kesiapsiagaan digambarkan dengan 3 fase yaitu (1) fase motivasi sebagai

variabel pembentuk yaitu kesadaran kritis, persepsi resiko dan nilai budaya; (2)

fase pembentukan intensi yaitu pengharapan hasil, efikasi diri, dan kepercayaan;

dan (3) fase niat menjadi perilaku kesiapsiagaan tsunami dengan rasa

kemasyarakatan sebagai moderator. Model ini digunakan untuk memprediksi

perilaku kesiapsiagaan individu pada tingkat rumah tangga. Pada kenyataannya,

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

40

individu memiliki keterlibatan dalam suatu jaringan masyarakat (Heller,

Alexander, Gatz, Knight, & Rose, 2005; McGee & Russell, 2003; Paton, 2003;

Paton & Bishop, 1996; Turner, Nigg & Paz,1986). Individu berada dalam jaringan

masyarakat dan lingkungan rumahnya (tetangga) yang juga mempersiapkan diri

dalam menghadapi bencana. Oleh sebab itu, model ini kurang dapat

menjelaskan kesiapsiagaan individu yang tinggal dalam lingkungan

masyarakatnya. Dengan demikian, perlu pengembangan model yang lebih

komprehensif untuk menjelaskan kesiapsiagaan individu dalam masyarakat.

Selain pada model kesiapsiagaan terhadap tsunami Wimbarti & Nurhayaty

(2011b), rasa kemasyarakatan ini juga terdapat pada hasil suvei yang dilakukan

oleh Triatmadja (2010). Oleh karenanya, aplikasi untuk model serupa

membutuhkan beberapa variabel yang dapat mengakomodasi masyarakat

Indonesia. Oleh sebab itu, ada perbedaan dengan model yang digunakan Paton

et al. (2008b) tentang kesiapsiagaan tsunami. Perbedaannya terletak pada

penambahan sebuah variabel yaitu rasa kemasyarakatan.

Selain penambahan pada variabel rasa kemasyarakatan dalam model,

variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan hasil yang negatif

merupakan hal yang dicermati dalam penelitian ini. Pengharapan hasil yang

negatif dan pengharapan hasil yang positif terletak pada satu kontinum. Variabel

yang terletak dalam satu kontinum tidak perlu dipisahkan. Oleh sebab itu,

variabel pengharapan hasil yang negatif dan pengharapan hasil yang positif

dalam penelitian ini dijadikan satu variabel, yaitu pengharapan hasil.

Parangtritis dan Aceh merupakan dua wilayah yang rawan tsunami.

Pemilihan tempat ini juga sejalan dengan pendapat Lindell dan Prater (2000a)

yang menyebutkan bahwa posisi atau letak daerah berpengaruh terhadap

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

41

kesiapsiagaan. Parangtritis merupakan daerah pernah terkena dampak tsunami

Pangandaran sedangkan Aceh adalah daerah rawan tsunami yang mengalami

kejadian tsunami besar secara langsung. Pemilihan kedua wilayah yang rawan

tsunami tersebut terletak dalam wilayah Indonesia yang berlatar belakang

budaya kolektivistik. Beberapa penelitian kesiapsiagaan terhadap bencana

menggunakan suatu wilayah yang mewakili negara berlatar belakang budaya

individualistik – kolektivistik seperti kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dengan

subyek penelitian di kota Napier, Selandia Baru sebanyak 156 orang yang

mewakili negara dengan nilai individualistik tinggi (McIvor & Paton, 2007),

kesiapsiagaan terhadap gempa bumi yang melibatkan subyek penelitian dari kota

Shuhachi = 152 orang dan Jouson = 108 yang mewakili Jepang sebagai negara

dengan nilai individualistik sedang (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007), dan

kesiapsiagaan terhadap gunung berapi yang melibatkan subyek penelitian di

wilayah Gunung Merapi yang mewakili negara berlatar belakang budaya

kolektivisitik (Sagala, et. al., 2009). Oleh sebab itu, Parangtritis dan Aceh dapat

mewakili Indonesia yang berbudaya kolektivistik.

Lebih lanjut, hasil penelitian ini kemudian akan dibandingkan dengan hasil

penelitian Paton et al (2008b), baik hasil penelitian dari model kesiapsiagaan

tsunami di Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak

Alaska, Amerika Serikat. Kemudian data yang di peroleh dari Parangtritis dan

Aceh dijadikan satu menjadi model kesiapsiagaan tsunami Indonesia yang akan

dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika

Serikat. Menurut Craig dan Douglas (2000), penelitian yang dilakukan di satu

negara tertentu dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sejenis yang

dilakukan di negara lain. Penelitian ini merupakan penelitian model

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

42

kesiapsiagaan tsunami yang dilakukan di Indonesia dan dibandingkan dengan

model kesiapsiagaan tsunami Paton et al. (2008b) yang dilakukan di Alaska,

Amerika Serikat.

Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang permasalahan, maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Parangtritis dan Aceh?

2. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Parangtritis jika dibandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada

masyarakat Aceh?

3. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Parangtritis dan Aceh jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan

tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat?

4. Bagaimanakah model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Indonesia jika dibandingkan dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak

Alaska, Amerika Serikat?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menguji model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat di daerah

rawan bencana tsunami di Parangtritis dan Aceh.

2. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Parangtritis dengan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Aceh

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

43

3. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami pada masyarakat

Parangtritis dan Aceh dengan model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak

Alaska, Amerika Serikat.

4. Membandingkan model kesiapsiagaan terhadap tsunami Indonesia dengan

model kesiapsiagaan tsunami di Kodiak Alaska, Amerika Serikat.

5. Berdasarkan pengujian terhadap model tersebut diharapkan dapat ditemukan

saran bentuk intervensi yang sesuai pada masyarakat di daerah rawan

bencana tsunami.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan bukti ilmiah tentang

keterkaitan variabel-variabel yang membentuk model kesiapsiagaan terhadap

bencana pada umumnya dan kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami pada

khususnya. Melalui pengujian model akan diperoleh bukti-bukti empirik yang

dapat digunakan pada model-model kesiapsiagaan yang sama ataupun

pengembangan/penyesuaian dari model-model yang ada.

Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai dasar melakukan bentuk intervensi yang sesuai dengan keadaan

masyarakat di daerah rawan bencana pada umumnya dan keadaan masyarakat

di daerah rawan tsunami pada khususnya dalam rangka pengurangan risiko

bencana.

E. Keaslian Penelitian

Kesiapsiagaan merupakan hal yang penting mengingat letak Indonesia

yang rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, longsor, dan

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

44

lain-lain. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa penelitian tentang kesiapsiagaan khususnya

kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di beberapa negara termasuk

Indonesia. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah:

1. Penelitian kesiapsiagaan terhadap tsunami yang menggunakan variabel

pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi

masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan kepercayaan yang dimediasi

oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami telah dilakukan di Kodiak,

Alaska, Amerika Serikat (Paton et. al., 2008b) dan di Tasmania (Paton, et al.,

2010b). Perbedaan dengan penelitian ini adalah penambahan variabel rasa

kemasyarakatan. Variabel pengharapan hasil yang positif dan pengharapan

hasil yang negatif dijadikan menjadi satu variabel yaitu pengharapan hasil.

Selain itu, penelitian dilakukan di Parangtritis dan Aceh.

2. Penelitian tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami telah dilakukan di

Indonesia oleh Irawan, Nurrochmad, dan Triatmadja (2009) dan Wimbarti dan

Nurhayaty (2011b). Penelitian Irawan et. al. (2009) tidak menggunakan

variabel-variabel psikologis. Kesiapsiagaan ditinjau dari kesiapsiagaan

bencana tsunami di tingkat rumah tangga dan tingkat pemerintah yang diukur

menggunakan indeks kesiapsiagaan bencana. Penelitian Wimbarti dan

Nurhayaty (2011b) tentang kesiapsiagaan terhadap tsunami di Parangtritis

dengan menggunakan variabel kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,

efikasi diri, pengharapan hasil, niat, kepercayaan, rasa kemasyarakatan.

Sementara itu, penelitian ini melihat keterkaitan variabel-variabel yang

membentuk kesiapsiagaan terhadap tsunami yaitu pengharapan hasil, rasa

kemasyarakatan, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, dan

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

45

kepercayaan yang dimediasi oleh niat untuk bersiap-siap terhadap tsunami.

Oleh karenanya penelitian Irawan et. al. (2009) dan Wimbarti dan Nurhayaty

(2011b) dengan penelitian ini berbeda.

3. Penelitian yang menggunakan variabel pengharapan hasil yang positif,

pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,

pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi untuk

mengetahui niat untuk bersiap-siap terhadap bencana juga pernah dilakukan

di Indonesia (Sagala, Okada, & Paton, 2009). Penelitian Sagala et. al. (2009)

dilakukan untuk bencana Gunung Merapi dan niat untuk bersiap-siap

terhadap bencana sebagai variabel terikat. Penelitian ini dilakukan di

Indonesia tetapi variabel terikatnya adalah kesiapsiagaan dan jenis

bencananya adalah tsunami.

Perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa

penelitian ini belum pernah dilakukan sehingga dapat dinyatakan bahwa

penelitian ini asli.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

46

Tabel 2Penelitian-penelitian Terdahulu

No Peneliti Variabel terikat Variabel bebas, variabel moderator Lokasi, jumlahsubyek

Alatanalisis Hasil

1.Bajek, Okada,dan Takeuchi(2007)

Niat untuk bersiagaterhadap gempabumi

partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungansosial, collective action coping of interest,collective action coping of place, rasakemasyarakatan, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk bersiaga terhadap bencana

Shuhachi = 152orang,Jouson = 108orang

analisismultipleregresi,

SEM

Efikasi kolekif berpengaruh pada pemberdayaan dan niat.Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan dan kepercayaanberpengaruh pada niat. Partisipasi masyarakat, dukungan sosial,collective action coping of interest, collective action coping ofplace, & rasa kemasyarakatan tidak berpengaruh padapemberdayaan & kepercayaan. Pemberdayaan tidak berpengaruhpada niat

2.Irawan,Nurrochmad, danTriatmadja (2009)

Kesiapsiagaanbencana tsunami

kesiapsiagaan bencana tsunami di tingkat rumahtangga, kesiapsiagaan bencana tsunami ditingkat pemerintah

Bengkulu = 100orang IKB LIPI

Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Bengkulu tergolong kurangsiap

3. Kirschenbaum(2006)

Kesiapsiagaanterhadap bencana

struktur keluarga, jaringan sosial keluarga,gender, dan kehadiran anak

Israel =814orang

Analisisregresi

wanita yang memiliki anak akan melakukan tindakankesiapsiagaan dibandingkan laki-laki dan individu yang memilikijaringan sosial yang luas, lebih ingin melakukan tindakankesiapsiagaan

4. McIvor dan Paton(2007)

Kesiapsiagaanterhadap gempabumi

Sikap positif, norma sosial, persepsi terhadapbahaya, pengharapan hasil, dan action coping

Napier, SelandiaBaru = 156 orang SEM

Model fit 2 0,306, p 0,580, NFI 0,99, GFI 0,99. Sikap positifmemiliki pengaruh langsung dan tidak langsung pada niat. Sikappositif dan norma subjektif berpengaruh pada niat dimediasi olehharapan hasil. Action coping berpengaruh pada niat. Normasubjektif dimediasi oleh pengharapan hasil berpengaruh terhadapniat

5. Misra dan Suar(2007)

Kesiapsiagaanterhadap banjir

pengalaman terhadap bencana, pengetahuantentang bencana, dan persepsi terhadap risiko

Orissa = 300orang SEM

Pengalaman bencana dan pendidikan berpengaruh padakesiapan. Pengalaman bencana dan pendidikan dimediasi olehpersepsi risiko berpengaruh pada kesiapan. Persepsi risikoberpengaruh pada kesiapan.

6. Paton (2006)Kesiapsiagaanterhadap gunungberapi

pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana

Auckland = 400orang SEM

Model fit dengan GFI = 0.99,RMSEA =0.052, & NFI = 0.98. Pengharapan hasil yang positif,pengharapan hasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.

7. Paton, Bürgelt,dan Prior (2008a)

Kesiapsiagaanterhadap kebakaranhutan

pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, rasa kemasyarakatanterhadap tempat, rasa kemasyarakatan terhadaporang, penyelesaian masalah masyarakat, danpersiapan niat

Hobart = 482orang SEM

Model fit 2 = 8,30, df = 5, p=0,138; RMSEA = 0,037 RMSEA =0,628; NFI = 0,983, GFI =0,995, AGFI = 0,972. Pengharapan hasilyang positif berpengaruh terhadap niat dan persiapan. Rasakemasyarakatan pada tempat & orang berpengaruh terhadappenyelesaian masalah masyarakat, dan persiapan. Pengharapanhasil yang negatif menurunkan rasa kemasyarakatan pada tempat& orang berpengaruh terhadap penyelesaian masalah masyarakat,dan persiapan

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

47

8.Paton, Kelly,Burgelt, danDoherty (2006)

Kesiapsiagaanterhadap bencanakebakaran hutan

persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untuk mencariinformasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain

Canbera danHobart = 280orang

Analisismultipleregresi

persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping , pengharapanhasil, dan rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap niat untukbersiap-siap. Niat untuk bersiap-siap berpengaruh terhadapkesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran hutan

9.Paton, Frandsen,& Johnston,(2010b).

Niat untuk bersiagatsunami

pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukbersiaga terhadap bencana

Tasmania = 136orang SEM

Model fit 2=454,246, CMIN/DF =1,342, RMSEA = 0.052, CFI =0.942, IFI =0.943. partisipasi berpengaruh pada pemberdayaan.Partisipasi dimediasi pemberdayaan berpengaruh padakepercayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan.Kepercayaan tidak berpengaruh pada niat. Pengharapan hasilyang negatif berpengaruh pada partisipasi. Makin tinggipengharapan hasil yang negatif maka makin rendah partisipasi.Pengharapan hasil yang positif tidak berpengaruh pada partisipasidan niat.

10.

Paton, et. al.(2008b)

Kesiapsiagaanterhadap tsunami

pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk bersiaga terhadap bencana

Kodiak (Alaska)= 353 orang SEM

Model fit 2=19,19, df =13, p=0.117; RMSEA = 0.037,NFI = 0.99, GFI =0.99, AGFI = 0,96. Pengharapan hasil yangpositif berpengaruh pada partisipasi masyarakat, efikasi kolektif, &niat. Efikasi kolektif berpengaruh pada pemberdayaan &kepercayaan. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan & kesiapsiagaan. Pemberdayaan berpengaruhpada kepercayaan. Kepercayaan berpengaruh pada niat dan niatberpengaruh pada kesiapsiagaan.

11.

Sagala, et. al.(2009)

Niat untuk bersiagaterhadap bencanaGunung Merapi

pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat, efikasikolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niatuntuk mencari informasi

Yogyakarta =322 orang SEM

Model fit 2/df=0,98 p=0,614, RMSEA=0,00, CFI=0,99 NFI=0,93,GFI=0,94. Pengharapan hasil yang positif berpengaruh padaefikasi kolektif. Efikasi kolektif berpengaruh pada partisipasimasyarakat & niat. Partisipasi masyarakat berpengaruh padapemberdayaan. Pemberdayaan berpengaruh pada kepercayaan,dan kepercayaan berpengaruh pada niat. Pengharapan hasil yangnegatif tidak berpengaruh pada niat.

12.

Wimbarti &Nurhayaty(2011b)

Kesiapsiagaanterhadap tsunami

Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,efikasi diri, pengharapan hasil, niat, kepercayaan,rasa kemasyarakatan

Parangtritis =273 orang SEM

Model fit RMSEA = 0,002; GFI = 0,950, CMIN/DF = 0,967 AGFI =0,924. Rasa kemasyarakatan sebagai moderator β=0,.723 p =0,001 Rasa kemasyarakatan berpengaruh terhadap kesiapsiagaanterhadap tsunami

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/85794/potongan/S3-2015...Keterangan : daerah rawan tsunami. 3 Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

48

Gambar 3. Peta Penelitian yang diajukan dalam penelitian ini

KESIAPSIAGAAN

PERSONAL SOSIAL/MASYARAKAT INSTITUSI / LINGKUNGAN

Sikap positif, norma sosial, persepsi terhadapbahaya, pengharapan hasil, action coping, danniat (McIvor & Paton, 2007).

Partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungan sosial,collective action coping of interest, collective action coping ofplace, pemberdayaan, kepercayaan, niat (Bajek, Okada, &Takeuchi, 2007)

Desain rumah, posisi, bahan bangunan, dan pemeliharaan bangunan (Paton,et al 2008a). Kualitas lingkungan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan.

Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,penentuan masalah, action coping,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,2006).

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, penentuan masalah, actioncoping, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).

Karakteristik bahaya, dampak bahaya, konsekuensi yang dirasakan, reaksiefektif pada bahaya (Lindell, 1994). Karakteristik dan dampak bahaya sepertikecepatan, luas wilayah yang terkena dampak bencana, konsekuensi yangdirasakan, dan reaksi efektif pada bahaya berpengaruh pada kesiapsiagaan.

Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri,pengharapan hasil, niat untuk mencari informasi, niat untukbersiap-siap, rasa kemasyarakatan, kepercayaan, tanggungjawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain (Paton,Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)

Posisi/letak tempat tinggal, karakteristik demografi dan sosial ekonomi,pengalaman bencana (Lindell & Prater, 2000a). Posisi/letak tempat tinggalberpengaruh terhadap kesiapsiagaan.

Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping,efikasi diri, pengharapan hasil, niat untukmencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasakemasyarakatan, kepercayaan, tanggung jawabpribadi, persepsi terhadap kesiapan orang lain(Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi, efikasi kolektif, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat untuk bersiaga terhadap bencana(Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk mencari informasi(Sagala, et. al., 2009)

Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya, efikasi diri,pengharapan hasil, rasa kemasyarakatan, kepercayaan danniat (Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yangnegatif, partisipasi masyarakat, efikasi kolektif,pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton, et. al., 2008b)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat (Paton, et. al., 2008b)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapanhasil yang negatif, partisipasi masyarakat,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan,dan niat untuk mencari informasi (Sagala, et. al.,2009)

Variabel penelitian ini: Pengharapan hasil, efikasikolektif, rasa kemasyarakatan, partisipasimasyarakat, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat

Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya,efikasi diri, pengharapan hasil, rasakemasyarakatan, kepercayaan dan niat(Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)

Keterangan :Cetak tebal : variabel penelitian ini

Partisipasi masyarakat, efikasi kolekif, dukungan sosial, collective actioncoping of interest, collective action coping of place, pemberdayaan,kepercayaan, niat (Bajek, Okada, & Takeuchi, 2007)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, penentuan masalah, action coping, pemberdayaan,kepercayaan, dan niat (Paton, 2006).

Persepsi risiko, kesadaran kritis, action coping, efikasi diri, pengharapan hasil,niat untuk mencari informasi, niat untuk bersiap-siap, rasa kemasyarakatan,kepercayaan, tanggung jawab pribadi, persepsi terhadap kesiapan oranglain (Paton, Kelly, Burgelt, & Doherty, 2006)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasi,efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untuk bersiagaterhadap bencana (Paton, Frandsen, & Johnston, 2010b).

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat untukmencari informasi (Sagala, et. al., 2009)

Kesadaran kritis, persepsi risiko, nilai budaya, efikasi diri, pengharapan hasil,rasa kemasyarakatan, kepercayaan & niat (Wimbarti & Nurhayaty, 2011b)

Pengharapan hasil yang positif, pengharapan hasil yang negatif, partisipasimasyarakat, efikasi kolektif, pemberdayaan, kepercayaan, dan niat (Paton,et. al., 2008b)