21
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur di Indonesia 3 tahun terakhir ini berjalan dengan pesat. Hal tersebut selalu membutuhkan informasi geospasial yang akurat dan harus dilakukan dengan waktu yang singkat untuk dapat mengimbangi pesatnya pembangunan infrastruktur. Salah satu metode akuisisi data spasial yang cepat adalah fotogrametri. Fotogrametri merupakan seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993). Pemetaan fotogrametri biasanya dilakukan menggunakan kamera metrik yang dipasang pada pesawat berawak. Pemetaan fotogrametri dengan teknologi tersebut memerlukan biaya yang sangat mahal dan resolusi foto yang didapatkan terbatas. Seiring dengan perkembangan teknologi, dikembangkan Wahana Udara Tanpa Awak (WUTA) untuk kegiatan pemetaan fotogrametri. Untuk luas area yang relatif lebih kecil (±100ha) pemotretan menggunakan wahana udara tanpa awak akan menjadi sangat efektif dan efisien jika dibandingkan dengan fotogrametri menggunakan pesawat berawak (Pérez dkk., 2013). Kamera yang dipasang pada WUTA adalah kamera non-metrik berformat kecil atau dikenal Foto Udara Format Kecil (FUFK). Meskipun kamera non-metrik tidak didesain untuk pemetaan, kamera non-metrik menjadi salah satu instrument penting pada sebuah misi pemotretan udara. Pemetaan fotogrametri menggunakan WUTA dapat diaplikasikan untuk menghasilkan peta kelurahan (Darpono dkk., 2017). Peta desa merupakan peta tematik yang berisi unsur alam maupun buatan dan informasi batas wilayah yang disajikan dalam peta citra, peta sarana dan prasarana, dll (Peraturan Kepala BIG nomor 3 Tahun 2016). Peta desa dapat disajikan pada skala 1:2.500 s.d. 1:10.000. Pemetaan fotogrametri menggunakan WUTA telah digunakan untuk membuat peta citra (ortofoto) skala 1:5.000 seperti pada Kelurahan Tanjungsekar (Darpono dkk., 2017).

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154162/potongan/S1-2018... · udara menggunakan kamera non metrik, sehingga disebut juga foto udara

  • Upload
    lykhanh

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pembangunan infrastruktur di Indonesia 3 tahun terakhir ini berjalan dengan

pesat. Hal tersebut selalu membutuhkan informasi geospasial yang akurat dan harus

dilakukan dengan waktu yang singkat untuk dapat mengimbangi pesatnya

pembangunan infrastruktur. Salah satu metode akuisisi data spasial yang cepat adalah

fotogrametri. Fotogrametri merupakan seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh

informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman,

pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga

elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993).

Pemetaan fotogrametri biasanya dilakukan menggunakan kamera metrik yang

dipasang pada pesawat berawak. Pemetaan fotogrametri dengan teknologi tersebut

memerlukan biaya yang sangat mahal dan resolusi foto yang didapatkan terbatas.

Seiring dengan perkembangan teknologi, dikembangkan Wahana Udara Tanpa Awak

(WUTA) untuk kegiatan pemetaan fotogrametri. Untuk luas area yang relatif lebih

kecil (±100ha) pemotretan menggunakan wahana udara tanpa awak akan menjadi

sangat efektif dan efisien jika dibandingkan dengan fotogrametri menggunakan

pesawat berawak (Pérez dkk., 2013). Kamera yang dipasang pada WUTA adalah

kamera non-metrik berformat kecil atau dikenal Foto Udara Format Kecil (FUFK).

Meskipun kamera non-metrik tidak didesain untuk pemetaan, kamera non-metrik

menjadi salah satu instrument penting pada sebuah misi pemotretan udara.

Pemetaan fotogrametri menggunakan WUTA dapat diaplikasikan untuk

menghasilkan peta kelurahan (Darpono dkk., 2017). Peta desa merupakan peta tematik

yang berisi unsur alam maupun buatan dan informasi batas wilayah yang disajikan

dalam peta citra, peta sarana dan prasarana, dll (Peraturan Kepala BIG nomor 3 Tahun

2016). Peta desa dapat disajikan pada skala 1:2.500 s.d. 1:10.000. Pemetaan

fotogrametri menggunakan WUTA telah digunakan untuk membuat peta citra

(ortofoto) skala 1:5.000 seperti pada Kelurahan Tanjungsekar (Darpono dkk., 2017).

2

Secara umum tahapan pemetaan fotogrametri menggunakan WUTA dimulai dari

tahap perencanaan dengan menentukan lokasi, tinggi terbang, rencana jalur terbang,

perakitan alat, ground test, kalibrasi kamera, pengambilan foto udara, dan pengolahan

citra hasil foto udara (Sirin dkk., 2015).

Metode fotogrametri menggunakan WUTA untuk menghasilkan peta ortofoto

skala besar merupakan metode yang dapat menghemat waktu dan biaya karena praktis

dan juga tidak memakan waktu yang lama serta memiliki keuntungan dalam hal temporal

waktu perekaman data karena yang direkam merupakan data terkini (Togatorop, 2016).

Waktu yang cepat dan hematnya biaya pada metode ini harus dilakukan kontrol kualitas

peta ortofoto yang dihasilkan dalam hal akurasi horisontal dan vertikal serta ketelitiannya

dengan mengacu pada standar peta ortofoto skala besar pada Peraturan Kepala BIG No.

15 Tahun 2014 tentang ketelitian geometri peta RBI.

I.2. Identifikasi Masalah

Sejak awal, kamera non metrik atau FUFK tidak didesain untuk kegiatan

pemetaan. Sistem lensa yang terdapat pada FUFK tidak sempurna dan akan

menurunkan kualitas geometri yang didapatkan (Pérez dkk., 2013). Oleh sebab itu,

perlu dilakukan uji ketelitian terhadap hasil ortofotonya untuk mengetahui ketelitian

horizontal dan vertikal hasil ortofoto yang diperoleh dari foto udara menggunakan

WUTA mengacu pada Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Foto udara menggunakan WUTA dilengkapi FUFK. Mengacu pada identifikasi

masalah yang telah dijelaskan, bahwa pada awalnya fungsi FUFK tidak didesain untuk

kegiatan pemetaan. Maka, perlu dilakukan kontrol kualitas dari hasil peta ortofoto

menggunakan WUTA. Sehingga pertanyaan penelitian ini adalah apakah peta ortofoto

yang dihasilkan dari foto udara menggunakan WUTA memenuhi ketelitian peta skala

besar (1:1000-1:5000)?

I.4. Cakupan Penelitian

Lokasi pemotretan udara menggunakan WUTA sebagai bahan penelitian

dilakukan di Desa Segoroyoso, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan WUTA bertipe fixed wing yang dilengkapi kamera

Sony RX-100.

3

Pengukuran Ground Control Point (GCP) dan Independent Control Point (ICP)

dilakukan menggunakan GPS metode radial, sedangkan pengukuran titik uji berupa

titik objek (post mark) menggunakan GPS metode RTK. Foto udara dari pengukuran

kemudian diolah menggunakan perangkat lunak Agisoft. Koordinat hasil peta ortofoto

dibandingkan dengan koordinat titik uji (ICP dan post mark).

I.5. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui akurasi horisontal dan vertikal peta ortofoto hasil foto udara

menggunakan WUTA yang dilengkapi kamera non metrik.

2. Mengetahui skala terbesar peta ortofoto yang dapat dihasilkan dari pemetaan

tersebut.

I.6. Manfaat

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

informasi akurasi horisontal dan vertikal dengan besar skala peta yang optimal dari

foto udara yang diperoleh menggunakan WUTA.

I.7. Tinjauan Pustaka

Permasalahan akurasi vertikal maupun horisontal pada ortofoto telah banyak

dikaji atau dibahas oleh peneliti dahulu. Akurasi ortofoto juga dipengaruhi kualitas

data foto udara mentahnya. Kualitas foto bergantung dari sistem yang digunakan untuk

akuisisi data (wahana, kamera, imu, gps, dll.). Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kualitas akurasi ortofoto yaitu overlap, sidelap, resolusi kamera, dan

tinggi terbang. Untuk membuktikan akurasi vertikal maupun horisontal pada ortofoto

berdasarkan faktor overlap dan sidelap, maka Pérez dkk. (2013) melakukan penelitian

dengan area cakupan 5000 m2. Perencanaan jalur terbang menggunakan modul

waypoint editor dengan overlap 60% dan sidelap 50%. Kalibrasi kamera dilakukan

dengan metode bundle adjustment menggunakan perangkat lunak Photomodeler

Scanner v.7. Ketelitian ortofoto diuji dengan membandingkan 40 titik ICP. ICP yang

digunakan dihasilkan dengan teknologi GPS metode Post Processing Kinematic. Hasil

yang diperoleh adalah RMSEx 6cm, RMSEy 4cm, dan RMSEz 7cm. Pérez

menyimpulkan pemotretan menggunakan kamera non metrik yang dipasang pada

4

WUTA dan diolah menggunakan perangkat lunak Photomodeler Scanner v.7 dapat

menghasilkan peta ortofoto dan DEM yang akurat untuk pekerjaan rekayasa dan

geomorfologi. Kecepatan dan resolusi yang dihasilkan oleh WUTA memungkinkan

untuk diaplikasikan pada permukaan yang datar.

Selain faktor overlap dan sidelap, tingkat akurasi ortofoto dari data WUTA juga

dipengaruhi oleh faktor resolusi kamera. Apabila resolusi kamera yang digunakan

untuk pemotretan udara memiliki resolusi yang baik, maka hasil ortofoto akan

memiliki hasil yang baik. Nafiah dkk. (2017) pernah melakukan penelitian tentang

akurasi ortofoto dari data WUTA yang dilengkapi kamera Sony ILCE-6000 dengan

resolusi 24 MP. Penelitian ini membahas tentang ketelitian ortofoto yang mengacu

pada Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) No 15 Tahun 2014. Uji

ketelitian dilakukan dengan cara membandingkan koordinat mosaik ortofoto udara

dengan koordinat hasil pengukuran GPS tipe geodetik. Nilai RMSE yang didapatkan

dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel I.1. dan nilai akurasi dari akurasi horisontal

dan vertikal ditampilkan pada Tabel I.2.

Tabel I. 1 Nilai RMSE

RMSE

Horisontal (m) Vertikal (m)

0,014 0,645

Tabel I. 2 Akurasi Horisontal dan Vertikal

Akurasi Horisontal CE90 1,5175 x RMSEr

0,022 m

Akurasi Vertikal LE90 1,6499 x RMSEz

1,064 m

Sehingga jika dilihat dari RMSE berdasarkan Peraturan Kepala BIG No 15 Tahun

2014 maka ortofoto dan DTM dapat digunakan untuk peta skala 1:1000 pada kelas 1

untuk ketelitian horisontal. Sedangkan untuk ketelitian vertikal maka dapat dibuat peta

skala 1:2500 pada kelas 3.

Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat akurasi ortofoto dari data

WUTA adalah tinggi terbang. Togatorop (2016) pernah melakukan uji ketelitian

horisontal dan vertikal hasil pemetaan menggunakan WUTA. Lokasi kegiatan

5

dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng dengan luas area 920 Ha.

Perencanaan tinggi terbang WUTA pada saat pemotretan adalah 250 m. Ortofoto dan

DTM yang dihasilkan diuji dengan membandingkan titik uji berupa objek yang diukur

dengan menggunakan GPS metode RTK. Hasil dari uji ketelitian tersebut dapat dilihat

pada Tabel I.3.

Tabel I. 3 Hasil uji ketelitian horisontal dan vertikal

Vertikal Horizontal

Total 3682,165 73,878

Rata-rata 1,872 0,037

RMSE 1,368 0,194

Akurasi 2,257 0,294

Tabel I.3 menunjukan akurasi vertikal yang didapatkan sebesar 2,257 m dan

akurasi horisontal sebesar 0,294 m. Berdasarkan hasil uji akurasi tersebut mengacu

pada Peraturan Kepala BIG No 15 Tahun 2014, peta ortofoto PPP Sadeng memenuhi

produksi kelas 2 peta planimetris pada skala 1:1000. Sedangkan berdasarkan nilai

akurasi vertikal peta ortofoto PPP Sadeng memenuhi produksi kelas 2 peta kontur pada

skala 1:10000.

Berdasarkan penelitian diatas, penelitian ini ditunjukan untuk mengkaji tingkat

akurasi peta ortofoto dan DTM yang dihasilkan dari pemetaan fotogrametri

menggunakan WUTA dengan tinggi terbang 312 m yang dilengkapi kamera Sony RX

100 dengan resolusi 20,1 MP. Lokasi penelitian adalah di Desa Segoroyoso,

Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Perangkat lunak yang digunakan untuk

pengolahan data foto adalah Agisoft Photoscan Professional.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Fotogrametri

American society of photogrammetry and Remote Sensing (ASPRS)

mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh

informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman,

pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik pada pola radiasi tenaga

elektromagnetik yang terekam. Berdasarkan definisi tersebut, fotogrametri dapat

6

mencakup dua bidang yaitu fotogrametri metrik dan fotogrametri interpretative (Wolf,

1993).

Tugas fundamental dari fotogrametri adalah untuk menemukan hubungan

geometri antara gambar dan objek yang terdapat pada foto saat pemotretan (restitusi

fotogrametri). Setelah hubungan geometri ini berhasil ditemukan maka berbagai

informasi mengenai objek yang difoto dapat diketahui. Hubungan geometri dapat

ditentukan dengan berbagai cara, yang secara umum terbagi menjadi dua yakni, analog

dan analitis. Cara analog dilakukan menggunakan komponen optic, mekanik, dan

elektronik. Sementara cara analitis dilakukan dengan menggunakan pemodelan

matematis dan digital processing. Berkembangnya teknologi komputer yang sangat

pesat, saat ini cara analog mulai tergantikan oleh cara analitis sehingga muncul

terminology fotogrametri digital. Kelebihan dari teknik fotogrametri digital adalah

banyak pekerjaan yang dahulu dikerjakan secara manual, dapat dikerjakan secara

otomatis oleh komputer dan perangkat lunak sehingga lebih hemat waktu dan biaya

(Linder, 2006).

Pada dasarnya prinsip teknik fotogrametri digital sama dengan teknik

fotogrametri analog, hanya saja perbedaannya terletak pada data masukan berupa foto

dalam format digital dan sebagian besar pekerjaan pengolahannya dilakukan secara

otomatis dengan bantuan komputer dan perangkat lunak. Perkembangan fotogrametri

digital sangat bergantung terhadap perkembangan perangkat keras komputer, sistem

pencitraan digital (kamera/sensor) dan perangkat lunak pengolahannya. Beberapa

contoh hasil teknik fotogrametri digital adalah ortofoto digital dan pembuatan DEM

secara otomatis (Ahmad, 2005).

I.8.1.1. Geometri Foto Udara. Sistem proyeksi pada foto udara adalah proyeksi sentral

(Warner dkk., 1996). Artinya garis-garis proyeksi dari objek ke bidang proyeksi

melalui suatu pusat titik proyeksi. Jika sumbu kamera pada saat pemotretan benar-

benar vertikal, bidang foto sejajar dengan bidang datum, maka foto yang dihasilkan

disebut foto udara vertikal. Secara geometri foto udara vertikal sempurna dapat dilihat

pada gambar I.1.

7

Gambar I. 1 Geometri Foto udara vertikal (Wolf, 1993)

Gambar tersebut menggambarkan geometri foto udara vertikal. Titik a’,b’,c’ dan

d’ berada pada bidang negatif yang mempunyai kedudukan yang terbalik dengan titik

a, b, c dan d. Sedangkan titik A, B, C dan D adalah titik yang berada di permukaan

tanah. O adalah titik pusat pada bidang positif dan O’ adalah titik pusat pada bidang

negatif. L adalah titik pemotretan (exposure).

I.8.1.2. Foto Udara Format Kecil (FUFK). FUFK merupakan hasil dari pemotretan

udara menggunakan kamera non metrik, sehingga disebut juga foto udara non metrik.

FUFK memiliki ukuran foto sekitar 24 mm x 36 mm, lebih kecil dari ukuran foto udara

standar 23 cm x 23cm (Warner dkk., 1996). FUFK biasanya memanfaatkan WUTA

sebagai wahananya pada saat pemotretan udara. FUFK mempunyai ciri tidak adanya

informasi tepi foto seperti jam terbang, panjang fokus dan nivo. Foto yang dihasilkan

tidak dilengkapi nilai orientasi dalamnya seperti koordinat fiducial mark, panjang

fokus terkalibrasi, lokasi titik utama tidak diketahui.

FUFK memiliki keunggulan antara lain mudah dalam pengoperasian karena

peralatan yang digunakan pada saat pemotretan udara lebih sederhana, hasil foto udara

dapat diperoleh dengan skala yang lebih besar karena menggunakan WUTA yang

8

dapat terbang rendah di bawah awan, biaya yang diperlukan lebih murah karena

wahana, alat, dan bahan untuk pemotretan udara lebih mudah didapatkan di pasaran

(Harintaka dkk., 2008). Namun, FUFK juga memiliki beberapa kekurangan, antara

lain mengalami penurunan kualitas geometri. Hal tersebut disebabkan karena sistem

lensa yang digunakan pada FUFK tidak sempurna, panjang fokus dan principle point

tidak diketahui, dan adanya pergerseran bayangan (Warner dkk., 1996).

I.8.2. WUTA (Wahana Udara Tanpa Awak)

WUTA dapat diartikan sebagai wahana udara tanpa awak. Penerbangan WUTA

dapat dikontrol secara autonomous oleh komputer di dalamnya (autopilot), semi-

autonomous, atau dikendalikan dengan remote control oleh seorang navigator atau

pilot di atas tanah atau kendaraan lain. Jika dibandingkan dengan pesawat berawak

maka sangat jelas bahwa perbedaan utama antara kedua system tersebut adalah pada

WUTA tidak ada pilot yang secara fisik berada di dalam pesawat (Eisenbeiβ, 2009)

Kelebihan utama dari WUTA dibandingkan dengan pesawat berawak adalah

bahwa WUTA dapat digunakan pada situasi dengan resiko tinggi tanpa perlu

membahayakan nyawa manusia, pada area yang tidak dapat diakses dan terbang pada

ketinggian rendah dibawah awan sehingga foto yang dihasilkan terbebas dari awan.

Selain itu, salah satu faktor lain kelebihan WUTA adalah biaya. Harga perangkat

WUTA dan biaya operasionalnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pesawat

berawak (Satyagama, 2013).

I.8.3. Pertampalan Foto

Pertampalan foto merupakan gabungan dari dua foto atau lebih yang saling

bertampalan dan membentuk paduan gambar yang berkesinambungan. Menurut Aber

dkk. (2010), pembentukan stereofoto memperhatikan rasio antara base dan height.

Perbandingan antara overlap dan panjang fokus kamera sekitar dua sampai enam kali.

Dalam blok jalur terbang yang banyak harus mampu menutup seluruh daerah

pemotretan dengan banyak stereofoto. Untuk menjamin stereofotonya, maka foto

harus bertampalan kesamping dan kedepan (Aber dkk., 2010).

Pertampalan kedepan merupakan pertampalan foto sepanjang arah jalur terbang.

Biasanya besar pertampalan kedepan sekitar 55-65%, namun pada prakteknya

9

biasanya digunakan 60% dari panjang jangkauan foto. Untuk pertampalan kedepan

dapat dihitung dengan persamaan (Falkner dan Morgan, 2002):

100/100** endpside owsg ……………………………………..………(I.1)

Dalam hal ini :

sideg : Jarak antara titik pengambilan foto (m)

ps : skala foto (m)

endo : pertampalan kedepan (%)

w : ukuran frame foto

I.8.3.1. Base-Height Ratio. Pada kondisi normal, skala vertikal stereomodel akan

tampak lebih besar dari pada skala horisontal. Sebagai contoh, sebuah benda dalam

stereomodel akan tampak terlalu tinggi. Perbedaan skala yang jelas ini disebut

perbesaran vertikal. Hal ini biasanya menjadi perhatian utama bagi para interpreter

foto, yang harus memperhitungkan kondisi ini saat memperkirakan ketinggian benda,

tingkat kemiringan, dll (Hasegawa dkk., 2000). Meskipun masih terdapat faktor-faktor

lain, perbesaran vertikal terutama disebabkan oleh tidak adanya ekuivalensi

photographic base-height ratio, B / H '. Istilah B / H 'adalah rasio jarak antara dua titik

exposure terhadap ketinggian terbang rata-rata di atas tanah (Wolf dkk., 2014).

Ilustrasi Base-height ratio dapat dilihat pada Gambar I.2.

Gambar I. 2 Ilustrasi base-height ratio (Wolf dkk., 2014)

Lambang untuk B/H’ rasio dapat dikembangkan dengan mengacu pada Gambar

I.2. Pada gambar ini, G melambangkan total cakupan tanah dari foto vertikal yang

10

diambil dengan ketinggian H’ diatas permukaan tanah. Air Base B adalah jarak antar

eksposur. Maka dapat dibuat persamaan I.2 (Wolf dkk., 2014):

𝐵 = 𝐺 − 𝐺𝑃𝐸

100= 𝐺 (1 −

𝑃𝐸

100)………………………………………………(I.2)

Pada persamaan I.2, PE adalah persentasi dari lap akhir, yang kemudian

memberikan jumlah overlap antara foto pertama dan foto kedua. Dengan

menggunakan segitiga yang sama dari gambar (Wolf dkk., 2014):

𝐻′ =𝑓𝐺

𝑑……………………………………………………..……………….(I.3)

Pada persamaan I.3, f adalah panjang fokus dan d adalah format dimensinya.

Dengan membagi persamaan I.2 dan I.3, maka akan didapatkan (Wolf dkk., 2014):

𝐵

𝐻′= (1 −

𝑃𝐸

100)

𝑑

𝑓………………………………………………………….….(I.4)

I.8.4. Bundle Adjusment

Bundle Adjusment adalah model hitungan matematis yang digunakan untuk

mencari parameter orientasi luar dan koordinat titik ikat (Habib, 2012). Gambar I.3.

menunjukan hubungan antara sistem koordinat foto dan sistem koordinat tanah. XL,

YL, ZL, ω, φ, dan κ merupakan parameter orientasi luar. Sedangkan xo, yo, dan f, adalah

parameter orientasi dalam kamera.

Gambar I. 3 Hubungan antara sistem koordinat tanah dan sistem koordinat foto

(Wolf, 1993)

11

Dengan :

xa’ , ya’ : koordinat foto untuk titik a

f : panjang fokus kamera

xo , yo : koordinat principle point

XL,YL,ZL : koordinat untuk posisi kamera

XA,YA,ZA : koordinat tanah untuk titik A

ω,φ,κ : rotasi pada bidang foto

Persamaan kolinear digunakan pada proses Bundle Adjustment untuk

menyatakan hubungan antara objek difoto dengan objek di tanah. Prinsip kesegarisan

digunakan pada persamaan kolinear dimana posisi objek di foto, pusat proyeksi, dan

objek di tanah dinyatakan dalam satu garis lurus. Dari Gambar I.3. dapat dicari vektor

penghubung dari pusat proyeksi ke titik objek di lapangan (vo) Persamaan I.5 dan

vektor penghubung dari pusat proyeksi ke titik objek pada foto (vi) Persamaan I.6

(Wolf dkk., 2014).

𝑉𝑜 = [𝑋𝐴

𝑌𝐴

𝑍𝐴

] − [𝑋𝐿

𝑌𝐿

𝑍𝐿

] = [𝑋𝐴 − 𝑋𝐿

𝑌𝐴 − 𝑌𝐿

𝑍𝐴 − 𝑍𝐿

] ………………………………...…………(I.5)

𝑣𝑖 = [𝑥𝑎

𝑦𝑎

0] − [

𝑥𝑜

𝑦𝑜

𝑓] = [

𝑥𝑜 − 𝑥𝑎

𝑦𝑜 − 𝑦𝑎

−𝑓]………………….........................................(I.6)

Dengan demikian hubungan antara sistem koordinat foto dan koordinat tanah

dapat ditulis sebagai (Wolf dkk., 2014):

𝑣𝑖 = λ 𝑀(ω, φ, κ)𝑉𝑜

[

𝑥𝑜 − 𝑥𝑎

𝑦𝑜 − 𝑦𝑎

−𝑓] = λ [

𝑚11 𝑚12 𝑚13

𝑚21 𝑚22 𝑚23

𝑚31 𝑚32 𝑚33

] [𝑋𝐴 − 𝑋𝐿

𝑌𝐴 − 𝑌𝐿

𝑍𝐴 − 𝑍𝐿

] ……………………………...(I.7)

Dimana komponen masing-masing pada matriks M adalah sebagai berikut :

𝑚11 = cos φ ∗ cos κ

𝑚12 = sin ω ∗ sin φ ∗ cos κ + cos ω ∗ sin κ

𝑚13 = − cos ω ∗ sin φ ∗ cos κ + sin ω ∗ sin κ

12

𝑚21 = − cos φ ∗ sin κ

𝑚22 = − sin ω ∗ sin φ ∗ sin κ + cos ω ∗ cos κ

𝑚23 = cos ω ∗ sin φ ∗ cos κ + sin ω ∗ cos κ

𝑚31 = sin φ

𝑚32 = − sin ω ∗ cos φ

𝑚33 = cos ω ∗ cos φ

Dalam hal ini :

λ : faktor skala

M : matriks rotasi sudut (𝜔, 𝜑, 𝜅)

m11 … m33 : komponen matriks rotasi

Untuk menyatakan bahwa posisi objek di foto, pusat proyeksi, dan di lapangan

berada pada satu garis maka dibentuk persamaan kolinear dengan cara membagi baris

pertama dan kedua dengan baris ketiga. Sehingga didapatkan Persamaan I.8 dan

Persamaan I.9 (Wolf dkk., 2014).

𝑥𝑎 = 𝑥𝑜 − 𝑓 [𝑚11(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚12(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚32(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)]………………….(I.8)

𝑦𝑎 = 𝑦𝑜 − 𝑓 [𝑚21(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚22(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚23(𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚32(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)]………………...….(I.9)

I.8.4.1. Bundle Adjustment with Self-calibration. Kamera non-metrik menggunakan

lensa low cost dan menyajikan fungsi autofocus. Oleh sebab itu, parameter orientasi

dalam pada kamera non-metrik lebih tidak stabil daripada kamera metrik (Li dkk.,

2012). Parameter orientasi dalam dan parameter orientasi luar pada FUFK ditentukan

secara bersamaan menggunakan metode bundle adjustment with self-calibration.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dari hasil self-calibration yaitu jumlah,

persebaran, dan tingkat presisi dari titik kontrol tanah yang diberikan (Aber dkk.,

2010). Menurut Jacky dkk. (2013), prinsip bundle adjustment dengan model kolinear

digunakan pada kalibrasi kamera dengan metode self-calibration. Persamaan yang

digunakan yaitu:

𝑥𝑎 = 𝑥𝑜 − 𝑓 [𝑚11(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚12(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚32(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)] + ∆𝑥…………(I.10)

𝑦𝑎 = 𝑦𝑜 − 𝑓 [𝑚21(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚22(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚23(𝑍𝐴−𝑍𝐿)

𝑚31(𝑋𝐴−𝑋𝐿)+𝑚32(𝑌𝐴−𝑌𝐿)+𝑚13(𝑍𝐴−𝑍𝐿)] + ∆𝑦…………(I.11)

13

Dalam hal ini ∆x dan ∆y merupakan koreksi untuk parameter kalibrasi kamera.

Berikut adalah persamaan dari ∆x dan ∆y (Jacky dkk., 2013):

∆𝑥 = 𝑥𝑎𝑙′ (𝑘1𝑟𝑎𝑙

2 + 𝑘2𝑟𝑎𝑙4 + 𝑘3𝑟𝑎𝑙

6 ) + 𝑝1(𝑟𝑎𝑙

2 + 2𝑥′𝑎𝑙

2) + 2𝑝

2𝑥′𝑎𝑙𝑦′

𝑎𝑙+

𝑎1𝑥′𝑎𝑙 + 𝑎2𝑦′𝑎𝑙

…………………………………………………….(I.12)

∆𝑦 = 𝑦𝑎𝑙′ (𝑘1𝑟𝑎𝑙

2 + 𝑘2𝑟𝑎𝑙4 + 𝑘3𝑟𝑎𝑙

6 ) + 𝑝2(𝑟𝑎𝑙

2 + 2𝑦′𝑎𝑙

2) + 2𝑝

1𝑥′𝑎𝑙𝑦′

𝑎𝑙…....(I.13)

Dalam hal ini:

x,y : koordinat objek pada foto

ki : koefisien koreksi distorsi radial

pi : koefisien distorsi pusat kamera

a1,a2 : koreksi perbedaan skala pada jarak horizontal dan vertikal antara

sumbu x dan y

I.8.5. Structure From Motion (SfM)

SfM adalah sebuah metode dari pengembangan yang pada intinya mempunyai

kesamaan dengan fotogrametri standar (Westoby dkk., 2015). Pada fotogrametri

standar, untuk menentukan titik-titik 3D dibutuhkan orientasi kamera atau koordinat

3D dari serangkaian GCP. GCP yang di identifikasi secara manual pada foto udara

kemudian digunakan pada proses resection untuk menentukan posisi kamera.

Sementara pada SfM, GCP tidak diperlukan untuk menentukan posisi kamera. Posisi

kamera dan point cloud 3D akan di rekonstruksi secara bersamaan melalui identifikasi

otomatis dengan menggunakan fitur pencocokan gambar (Snavely dkk., 2008).

Namun, point cloud yang dihasilkan dari SfM masih memiliki koordinat relatif

terhadap posisi kamera atau masih terorientasi relatif, sehingga masih harus di

sesuaikan dengan posisi dunia nyata. Oleh sebab itu, di perlukan transformasi

koordinat dengan menambahkan titik 3D GCP. Menurut Westoby dkk. (2012), cara

kerja SfM meliputi langkah-langkah seperti berikut:

1. Akuisisi foto dan Ekstraksi Keypoint

Titik 3D objek pada proses SfM didapatkan dari pertampalan foto yang banyak,

sehingga akuisisi foto terhadap objek harus diambil dari banyak sudut. Resolusi

14

spasial yang dihasilkan bergantung terhadap banyaknya foto yang diambil.

Kemudian langkah selanjutnya adalah Ekstraksi Keypoint. Keypoint diekstraksi

secara otomatis berdasarkan keunikan dari nilai pixel objek. Jumlah keypoint

bergantung pada tekstur dan resolusi foto, sehingga foto yang kompleks dan

memiliki resolusi tinggi akan menghasilkan lebih banyak keypoint. Demikian

juga dengan mendekatkan jarak kamera ke objek akan meningkatkan resolusi

dan keypoint yang dihasilkan. Keypoint ini akan digunakan untuk melakukan

penggabungan foto yang memiliki overlap.

2. Rekonstruksi 3D

Penggabungan keypoint dilakukan dengan algoritma approximate nearest

neighbor. Algoritma approximate nearest neighbor menggabungkan keypoint

berdasarkan jarak minimal antara dua keypoint berdekatan. Keypoint yang tidak

memenuhi kriteria atau tidak digabungkan akan terhapus secara otomatis.

Rekonstruksi 3D didapatkan dari proses bundle adjustment dari keypoint yang

telah digabung dan menghasilkan sparse point cloud. Proses bundle adjustment

pada sparse point cloud juga akan menghasilkan estimasi dari orientasi kamera.

3. Post-Processing

Sparse point cloud yang dihasilkan masih terorientasi relatif. Sehingga

diperlukan post-processing. Post-processing yang dilakukan yaitu transformasi

koordinat menggunakan data dari pengukuran GCP agar diperoleh koordinat

absolut pada sparse point cloud yang dihasilkan

I.8.6. Ground Control Point (GCP)

Kontrol fotogrametri terdiri dari beberapa titik di permukaan tanah yang

diketahui dalam suatu sistem koordinat referensi dan gambarnya dapat diidentifikasi

pada foto. Adanya GCP pada foto udara memberikan cara untuk melakukan orientasi

atau menemukan hubungan geometri antara foto udara dengan permukaan tanah

(Linder, 2006). Tingkat akurasi dari produk fotogrametri tidak dapat lebih baik

daripada akurasi GCP yang digunakan, sehingga akurasi GCP yang digunakan sangat

penting. Kualitas GCP yang baik akan menghasilkan produk fotogrametri yang baik.

15

GCP yang terdistribusi harus merata pada area yang akan dilakukan pemotretan,

karena fotogrametri menggunakan proyeksi sentral (Subroto, 2014). Pada umumnya

untuk mendapatkan hasil yang baik pada pengolahan fotogrametri digunakan GCP

yang jumlahnya berlebih (redundant). Selain itu, GCP perlu dilakukan pemasangan

pada daerah yang ekstrim, agar diperoleh GCP yang mewakili kondisi medan yang

sesungguhnya.

Pembuatan GCP pada umumnya dilakukan dengan dua cara yakni, post-marking

dan pre-marking. Pada post-marking, pengukuran koordinat GCP dilakukan setelah

kegiatan pemotretan udara. Pemilihan GCP dilakukan dengan mengamati foto udara

hasil pemotretan. Objek yang akan digunakan sebagai GCP harus mudah diidentifikasi

pada foto udara. Sedangkan pre-marking dilakukan sebelum pemotretan udara dengan

cara memasang tanda buatan dan mengukur koordinat dari tanda buatan tersebut.

Tanda buatan tersebut harus tampak pada foto udara yang akan dihasilkan nanti.

Bentuk tanda buatan yang digunakan sebaiknya simetris, agar memungkinkan titik

tengah tanda buatan tersebut dapat diidentifikasi. Ukuran dari tanda buatan tergantung

pada skala foto yang digunakan. Menurut Falker dan Morgan (2002), ukuran pre-mark

titik kontrol tanah dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

Lebar :

w = S*0,002………………………………………………………………..(I.14)

Panjang :

l = 10*w………………………………………………………………………(I.15)

Dimana :

w = Lebar pre-mark titik kontrol tanah

S = Skala Foto

l = Panjang pre-mark titik kontrol tanah

I.8.7. Digital Surface Model (DSM) dan Digital Terrain Model (DTM)

Digital Surface Model (DSM) merepresentasikan permukaan puncak pantulan

yang diterima dari sensor kamera seperti bangunan, pohon dan fitur objek ketinggian

16

diatas permukaan bumi (Hobi dan Ginzler, 2012). Digital Terrain Model (DTM)

adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi tanpa

adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (Rahman, 1994).

Perbedaan antara DSM dan DTM dapat dilihat pada Gambar I. 3.

Gambar I. 4 Perbedaan DSM dan DTM (Sander dan Hans-Gerd, 2000)

Pada umumnya model yang didapatkan dari metode fotogrametri merupakan

DSM, karena metode fotogrametri hanya bisa menerima puncak pantulan yang

diterima dari sensor kamera seperti bangunan, pohon, dan objek yang ada pada

permukaan bumi. Pembentukan stereomodel dari foto akan menampakkan seluruh

objek pada permukaan bumi. Oleh sebab itu, diperlukan proses filter dari DSM

menjadi DTM, terdapat 3 konsep utama dari proses filter yaitu pendefinisian titik-titik

DSM di permukaan bumi, membuang titik-titik DSM yang sudah terdefinisi, dan

pembentukan interpolasi DTM dari hasil pembuangan DSM (Perko dkk., 2015).

Pada penelitian ini metode filter yang digunakan adalah slope based filtering.

Prinsip dasar dari slope based filtering pada parameter kemiringan permukaan bumi

dan radius dari objek yang akan dibuang dari objek yang dianggap sebagai permukaan

bumi. Kedua parameter digunakan dalam mendefinisikan DSM. Gambar I.4

menunjukan prinsip kerja dari slope based filtering.

17

Gambar I. 5 Prinsip slope based filtering (Wichmann dkk, 2012)

Kekurangan dari metode slope based filtering yaitu nilai parameter yang

digunakan tidak bisa digunakan pada semua area permukaan. Permukaan yang berbeda

seperti pemukiman dan bukit memiliki kemiringan yang berbeda dan luasan objek

yang dibuang berbeda. Perbedaan permukaan mengakibatkan tidak adanya nilai unik

untuk kedua parameter dalam proses filter yang berbeda (Wichmann dkk, 2012).

I.8.8. Peta Ortofoto

Peta Ortofoto adalah peta foto yang menyajikan gambaran objek pada posisi

orthogonal. Peta ortofoto memperlihatkan gambar-gambar fotografis yang sebenarnya

tidak ada proses generalisasi. Peta ortofoto merupakan peta yang terbentuk dari

stereofoto yang diperoleh dari permukaan bumi dari ketingian tertentu dan sudah

terkoreksi dengan koordinat titik dibumi (Darpono, 2017). Simbolisasi pada peta

ortofoto merupakan tambahan untuk memperjelas objek yang dianggap penting untuk

ditampilkan. Gambar I.6. Menunjukan contoh peta foto lahan pertanian.

18

Gambar I. 6 Peta Foto Lahan Pertanian (Muryamto dkk., 2015)

Ortofoto diproduksi dari perspektif yang telah diolah pada proses rektifikasi

diferensial, dimana dilakukan penghapusan untuk perubahan posisi objek difoto

dibandingkan pada posisi objek dipermukaan bumi yang disebabkan oleh kemiringan

pesawat ketika pengambilan data serta bentuk permukaan bumi yang tidak datar

(Mertotaroeno, 2010). Foto yang telah dilakukan proses pengolahan untuk

mendapatkan ortofoto telah memiliki skala yang sama dan berada pada proyeksi

orthogonal.

Menurut Mertotaroeno (2010), data yang dibutuhkan untuk menghasilkan

ortofoto secara digital yaitu:

1. Foto digital, dapat diperoleh dari foto analog yang telah disiam maupun dari

sensor digital ketika pengambilan data.

2. Digital Elevation Model (DEM), digunakan untuk melakukan proses

rektifikasi diferensial. Pada proses tersebut dilakukan penghapusan

pergeseran relief pada objek di foto.

3. Parameter orientasi luar foto.

4. Data kalibrasi kamera.

19

I.8.9. Ketelitian Peta

Ketelitian peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang diatur dalam Peraturan Kepala

BIG No. 15 Tahun 2014 akan digunakan sebagai acuan untuk menguji ketelitian peta

ortofoto. Berdasarkan Peraturan Kepala BIG No 15 Tahun 2014 ketelitian geometri

peta RBI diperlihatkan pada Tabel I.4.

Tabel I. 4 Ketelitian Geometri Peta RBI (Peraturan Kepala BIG No 15 Tahun 2014)

No Skala

Interval

Kontur

(m)

Ketelitian Peta Rupa Bumi

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3

Horizontal

(CE90

dalam m)

Vertikal

(LE90

dalam m)

Horizontal

(CE90

dalam m)

Vertikal

(LE90

dalam m)

Horizontal

(CE90

dalam m)

Vertikal

(LE90

dalam m)

1 1;1.000.000 400 200 200 300 300 500 500

2 1;500.000 200 100 100 150 150 250 250

3 1;250.000 100 50 50 75 75 125 125

4 1;100.000 40 20 20 30 30 50 50

5 1;50.000 20 20 20 15 15 25 25

6 1;25.000 10 5 5 7,5 7,5 12,5 12,5

7 1;10.000 4 2 2 3 3 5 5

8 1;5.000 2 1 1 1,5 1,5 2,5 2,5

9 1;2.500 1 0,5 0,5 0,75 0,75 1,25 1,25

10 1;1.000 0,4 0,2 0,2 0,3 0,3 0,5 0,5

Nilai ketelitian setiap kelas ditentukan pada table dibawah.

Tabel I. 5 Ketelitian Geometri berdasarkan kelas (Peraturan Kepala BIG No 15

Tahun 2014)

Ketelitian Kelas 1 kelas 2 Kelas 3

Horizontal 0,2 mm x bilangan skala 0,3 mm x bilangan skala 0,5 mm x bilangan skala

Vertikal 0,5 x interval skala 1,5 x ketelitian kelas 1 2,5 x ketelitian kelas 1

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada tabel I.5. adalah nilai CE90 untuk

ketelitian horisontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa

kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat

kepercayaan 90%.

20

Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan persamaan yang mengacu pada

standar US NMAS (United States National Map Accuracy Standards) sebagai

berikut :

CE90 = 1,5175 x RMSEr…………………………………………….…….(I.16)

LE90 = 1,6499 x RMSEz………………………………………….....…….(I.17)

Dalam hal ini:

RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi horisontal (x,y)

RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi vertikal (z)

Uji ketelitian posisi dilakukan hingga mendapatkan tingkat kepercayaan peta

90% Circular Error dan Linear Error. Uji ketelitian posisi ditentukan dengan

menggunakan titik uji yang memenuhi ketentuan objek yang digunakan sebagai titik

uji, yaitu:

a. Dapat diidentifikasi dengan jelas di lapangan dan di peta yang akan

diuji.

b. Merupakan objek yang relatif tetap tidak berubah bentuk dalam jangka

waktu yang singkat.

c. Memiliki sebaran yang merata di seluruh area yang akan diuji.

Pengujian ketelitian posisi mengacu pada perbedaan koordinat (X,Y,Z) antara

titik uji pada gambar atau peta dengan lokasi sesungguhnya dari titik uji pada

permukaan tanah. Pengukuran akurasi menggunakan root mean square error (RMSE)

atau circular error.

Pada pemetaan dua dimensi yang perlu diperhitungkan adalah koordinat (X,Y)

titik uji dan posisi sebenarnya di lapangan. Analisis akurasi posisi menggunakan

RMSE, yang menggambarkan nilai perbedaan antara titik uji dengan titik sebenarnya.

RMSE digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan

sistematik. Nilai RMSE dipersamaankan sebagai berikut (Peraturan Kepala BIG No

15 Tahun 2014):

𝑅𝑀𝑆𝐸𝐻𝑜𝑟𝑖𝑠𝑜𝑛𝑡𝑎𝑙 = √𝐷2 𝑛⁄ ………………………………………..………(I.18)

21

𝐷2 = √𝑅𝑀𝑆𝐸𝑋2 + 𝑅𝑀𝑆𝐸𝑌

2………………………………………………...(I.19)

𝑅𝑀𝑆𝐸𝑉𝑒𝑟𝑡𝑖𝑘𝑎𝑙 = √Σ(𝑍𝐷𝑎𝑡𝑎+𝑍𝐶𝑒𝑘)2

𝑛…………………………………...……..(I.20)

Dalam hal ini:

n : Jumlah total pengecekan pada peta.

D : Selisih antara koordinat yang diukur dilapangan dengan koordinat di peta.

x : Nilai koordinat pada sumbu X

y : Nilai koordinat pada sumbu Y

z : nilai koordinat pada sumbu Z

Nilai CE90 dan LE90 kemudian dihitung berdasarkan persamaan

I.9. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dari hasil penelitian yang telah ada, penulis

mengemukakan bahwa pemotretan udara menggunakan WUTA dengan tinggi terbang

312 m yang dilengkapi kamera non metrik Sony RX 100 dengan resolusi 20.1 MP,

dapat memenuhi pembuatan peta ortofoto pada skala 1:1000 – 1:5000.