39
1 BAB I PENDAHULUAN Kondrosarkoma merupakan bentukan tumor ganas dari kartilago hialin dengan pembesaran yang lambat 1,2 . Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau kartilago 2 . Kondrosarkoma merupakan tumor ganas primer ke-3 pada tulang setelah multiple myeloma dan osteosarkoma. Kejadian kondrosakoma 20% - 27% dari semua neoplasma primer ganas pada tulang dan 3,5 % dari semua tumor primer pada tulang yang perlu biopsi 3 . Kondrosarkoma ini biasa terjadi pada dewasa dekade 3-6 dengan laki-laki lebih banyak daripada perempuan 3 . Istilah kondrosarkoma menggambarkan kelompok lesi heterogen dengan ciri morfologi dan perilaku klinis yang bermacam-macam 1 . Kondrosarkoma dapat terjadi sebagai tumor primer maupun tumor sekunder dari perubahan lesi di kartilago sebelumnya 4 . Kondrosarkoma primer terdiri atas konvensional intramedular, clear cell, mesenkimal, juxtakortikal, dedifferentiated, mixoid dan ekstraskeletal. Kondrosarkoma konvensional intrameduler merupakan tipe yang paling sering (sampai 65% kasus) 3 . Berdasar lokasi, kondrosarkoma di kategorikan sebagai sentral dan perifer. Kondrosarkoma sentral berasal dari intrameduler, meskipun tumornya besar, mengerosi kortex dan menginvasi jaringan lunak di sekitarnya. Kondrosarkoma perifer termasuk kondrosarkoma sekunder yang sebelumnya berupa lesi osteokondroma dengan lesi yang berkembang dari permukaan tulang (jukstakortikal).

BAB I PENDAHULUAN - xa.yimg.com · PDF filePENDAHULUAN Kondrosarkoma merupakan bentukan tumor ganas dari kartilago hialin dengan ... oleh tibia dan humerus. Tulang aksial juga merupakan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

Kondrosarkoma merupakan bentukan tumor ganas dari kartilago hialin

dengan pembesaran yang lambat1,2. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif

yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan

pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau kartilago2.

Kondrosarkoma merupakan tumor ganas primer ke-3 pada tulang setelah

multiple myeloma dan osteosarkoma. Kejadian kondrosakoma 20% - 27% dari semua

neoplasma primer ganas pada tulang dan 3,5 % dari semua tumor primer pada tulang

yang perlu biopsi3. Kondrosarkoma ini biasa terjadi pada dewasa dekade 3-6 dengan

laki-laki lebih banyak daripada perempuan3.

Istilah kondrosarkoma menggambarkan kelompok lesi heterogen dengan ciri

morfologi dan perilaku klinis yang bermacam-macam1. Kondrosarkoma dapat terjadi

sebagai tumor primer maupun tumor sekunder dari perubahan lesi di kartilago

sebelumnya4. Kondrosarkoma primer terdiri atas konvensional intramedular, clear

cell, mesenkimal, juxtakortikal, dedifferentiated, mixoid dan ekstraskeletal.

Kondrosarkoma konvensional intrameduler merupakan tipe yang paling sering

(sampai 65% kasus)3. Berdasar lokasi, kondrosarkoma di kategorikan sebagai sentral

dan perifer. Kondrosarkoma sentral berasal dari intrameduler, meskipun tumornya

besar, mengerosi kortex dan menginvasi jaringan lunak di sekitarnya. Kondrosarkoma

perifer termasuk kondrosarkoma sekunder yang sebelumnya berupa lesi

osteokondroma dengan lesi yang berkembang dari permukaan tulang (jukstakortikal).

2

Kebanyakan lokasi skeletal yang sering terjadi kondrosarkoma adalah tulang

panjang tubuler, kira-kira 45%. Femur merupakan tempat yang paling sering diikuti

oleh tibia dan humerus. Tulang aksial juga merupakan tempat yang sering terjadi

kondrosarkoma, dengan tempat yang paling sering adalah tulang inominata (os ilium,

os ischium dan os pubis) kira-kira 25 %. Pernah dilaporkan juga kejadian

kondrosarkoma di tulang iga, tulang vertebra, tulang scapula dan sternum3.

Diagnosis kondrosarkoma sering kali ditegakkan berdasarkan temuan pada

foto polos adanya lesi dengan tipikal matriks kondroit ring and arc pattern dengan

ciri pertumbuhan yang agresif. Tambahan modal pencitraan lainnya meliputi CT,

MR, dan bone scintigraphy diperlukan untuk evaluasi, staging dan sebagai guiding

reseksi bedah.

Alasan pemilihan kasus ini adalah karena kasus kondrosarkoma pada pelvis

merupakan kasus yang sangat sering, namun selama penulis stase di CT scan maupun

di stase polos, penulis hanya menemui sedikit kasus kondrosarkoma. Selain itu

kondrosarkoma pada kasus ini merupakan tumor yang besar dan unresektabel

sehingga kasus ini pernah didiskusikan bersama antara bagian ortopedi, patologi dan

radiologi untuk membahas diagnosis dan terapi yang tepat untuk pasien ini.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran dari

kondrosarkoma dan membedakan kondrosarkoma dengan lesi lain yang merupakan

diagnosis pembandingnya.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas kondrosit

anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral.

Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim,

memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari

tulang atau kartilago2,5.

Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder.

Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri (de novo) disebut

kondrosarkoma primer. Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan

dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut

kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas dibandingkan

kondrosarkoma primer. Berdasar lokasi kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi

tumor sentral atau perifer6.

Sarkoma primer pada tulang pelvis dianggap mempunyai prognosis lebih

jelek dibandingkan lokasi lain di tulang panjang7.

B. Anatomi pelvis

Pelvis adalah sebuah tulang bentuk cincin yang terdiri dari sepasang tulang

innominata, sakrum dan tulang ekor (gambar 1). Tulang-tulang inominata bersendi

dengan sakrum di posterior pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang

inominata lainnya di anterior di simfisis pubis. Setiap tulang innominata terdiri dari

4

tiga bagian yaitu ilium, iskium dan pubis. Ketiganya bergabung di acetabulum

(gambar 2 dan 3). Ilium adalah tulang datar melengkung dan menahan krista iliaka di

superior. Anterior dan posterior spina iliaka superior berada di kedua ujung krista

iliaka, dengan anterior dan posterior spina iliaka inferior di bawahnya. Permukaan

bagian dalam tulang halus dan memiliki garis iliopectineal yang berjalan dari depan

ke belakang, yang merupakan garis demarkasi pelvis8.

Tulang pubis terdiri dari corpus, ramus superior dan inferior. Tulang pubis

bergabung satu sama lain di simfisis pubis. Tulang pubis menahan rongga di aspek

superomedialnya. Permukaan artikular simfisis pubis terdiri dari kartilago hialin

dengan diskus fibrokartilago di antaranya. Tulang pubis diperkuat oleh ligamen.

Ischium terdiri dari corpus dan ramus inferior yang bergabung dengan ramus inferior

tulang pubis. Foramen obturatorium dikelilingi oleh corpus dan ramus tulang pubis

dan corpus dan ramus tulang ischium8.

Sendi-sendi sakroiliaca merupakan sendi kartilaginosa tipe simfisis. Sendi ini

mempunyai hubungan fibrokartilago dan ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh

tulang rawan / kartilago hialin, dilapisi oleh sinovium dan di sokong oleh ligament

dan hanya sedikit bergerak. Permukaan sendi datar dan tidak merata.

Ketidakteraturan ini membantu mengunci sakrum ke tulang iliaka 5,8.

Kartilago tersusun dari sel (kondrosit dan kondroblast) dan matriks.

Kondroblas dan kondrosit memproduksi dan mempertahankan matriks. Matriks

terdiri dari elemen fibrosa dan substansi dasar. Matriks ini kuat dan padat tetapi

lentur. Matriks organik terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel semi padat yang

5

kaya mukopolisakarida yang disebut juga substansi dasar. Kartilago memegang

peranan penting dalam pertumbuhan panjang tulang dan membagi beban tubuh.

Tulang bertambah panjang akibat proliferasi sel kartilago di lempeng epifisis. Selama

pertumbuhan dihasilkan sel-sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel

di batas luar lempeng yang berdekatan dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang

dibentuk di batas epifisis, sel-sel kartilago lama ke arah batas diafisis membesar.

Kombinasi proliferasi sel kartilago baru dan hipertrofi kondrosit matang

menyebabkan peningkatan ketebalan (lebar) tulang untuk sementara. Penebalan

lempeng tulang ini menyebabkan epifisis terdorong menjauhi diafisis. Matriks yang

mengelilingi kartilago tua yang hipertrofi dengan segera mengalami kalsifikasi5.

Pada orang dewasa, kartilago tidak mendapat aliran darah, limfe atau

persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme dibawa oleh cairan sendi yang

membasahi kartilago. Proses ini dihambat dengan adanya endapan garam-garam

kalsium. Akibatnya sel-sel kartilago tua yang terletak di batas diafisis mengalami

kekurangan nutrien dan mati. Osteoklas kemudian membersihkan kondrosit yang

mati dan matriks terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian diinvasi

oleh osteoblas-osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik

jaringan kapiler bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar

bekas sisa-sisa kartilago yang terpisah-pisah sampai bagian dalam kartilago di sisi

diafisis lempeng seluruhnya diganti oleh tulang. Apabila proses osifikasi telah selesai,

tulang di sisi diafisis telah bertambah panjang dan lempeng epifisis telah kembali ke

ketebalan semula. Kartilago yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng

6

memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis

lempeng5.

C. Epidemiologi

Kondrosarkoma bisa mengenai semua orang dengan berbagai umur, meskipun

sering terjadi pada dekade 5 atau 6 dengan perbandingan laki-laki : perempuan (1,5-2:

1). Kondrosaroma jarang terjadi pada anak, dan seandainya terjadi kejadiannya

agresif. Meskipun semua tulang bisa terkena namun lokasi paling sering terkena

adalah pelvis (40-50% dari semua kondrosarkoma)7, pergelangan bahu, tulang

panjang bagian proksimal, iga, scapula, dan sternum. Kondrosarkoma primer jarang

terjadi di tulang punggung (<1%) dan tulang kraniofasial dan juga jarang terjadi di

tulang kecil tangan dan kaki (kira-kira 1%) 6. Kejadian kondrosarkoma di femur kira-

kira 20%-35% diikuti di tibia 5%. Ekstremitas atas kejadiannya sekitar 10%-20%

dengan humerus bagian proksimal merupakan tempat yang paling sering terjadi.

Kerangka aksial juga paling sering terkena dengan kejadian pada tulang innominata

25% kasus dan kejadian pada tulang iga 8%. Lokasi yang jarang terjadi antara lain di

scapula (5%) dan di sternum (2%)3.

Pada tulang panjang lesi umumnya terletak di metafisis (49%) diikuti di

diafisis (36%). Kondrosarkoma konvensional yang terpusat di diafisis tidak banyak

terjadi, hanya 16% kasus3.

D. Gejala klinis

Gejala klinis kondrosarkoma tergantung derajat tumor. Pada kebanyakan

kasus, gejalanya ringan dengan waktu yang lama, berkisar dari beberapa bulan

7

sampai tahun, dan biasanya nyeri tumpul dengan teraba adanya masa. Pada derajat

yang tinggi tumor dapat tumbuh cepat dengan nyeri yang menyiksa. Tumor di pelvis

biasanya disertai dengan keluhan kencing yang sering atau sumbatan kencing6.

Fraktur patologis terkadang menjadi gejala yang tampak lebih dulu (3-17 % kasus)

pada pasien dengan kondrosaroma konvensional3.

E. Klasifikasi

Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer (90%) jika

lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal dari defek kartilago

jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma. Selanjutnya diklasifikasikan sebagai

kondrosarkoma sentral (jika letak lesi di kanal intramedular), kondrosarkoma perifer

(jika letak lesi di permukaan tulang) dan kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal

dengan kejadian jarang (2%). Secara patologi kondrosarkoma diklasifikasikan

menjadi kondrosarkoma konvensional (80-85%), dan kondrosarkoma dengan subtipe

tergantung lokasi, tampilan, terapi dan prognosis. Subtipe tersebut antara lain

kondrosarkoma clear cell (1%-2%), kondrosarkoma miksoid (8%-10%),

kondrosarkoma mesenkimal (3%-10%) dan kondrosarkoma dedifferentiated (5%-

10%)6.

Secara histologi berdasar ukuran lesi dan staining inti (hiperkromasia) dan

seluleritasnya derajat kondrosarkoma dibagi dalam skala 1-3 (gambar 3). Derajat

kondrosarkoma tersebut mencerminkan agresifitas lesi, derajat 1 merupakan tumor

derajat rendah, derajat 2 merupakan derajat sedang dan derajat 3 merupakan derajat

tinggi6. Tumor derajat 1 mempunyai kondrosit dengan inti tebal, meskipun beberapa

8

inti membesar (ukuran > 8 mikro) dan sedikit sel dengan multinucleated (kebanyakan

binucleated). Stroma lebih dominan dengan area miksoid sedikit atau bahkan tidak

ada. Kondrosarkoma derajat 1 ini sulit dibedakan dengan enkondroma.

Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai matriks kondroid yang sedikit dan lebih banyak

mengandung sel. Peningkatan sel lebih dominan di tumor perifer dengan matriks

kondroit yang hampir tidak ada dan jarang ditemukan gambaran mitosis.

Kondrosarkoma derajat 3, menampilkan sel-sel yang lebih besar dan inti lebih

pleomorfisme dibandingkan derajat 2. Matriks kondroit jarang bahkan hampir tidak

ada dengan material interseluler sedikit dan sering berupa mixoid. Selnya umumya

bentuk stellat atau ireguler. Fokus nekrosis sering tampak dan sering meluas. Inti sel

sering berbentuk spindle dengan ukuran bisa lebih besar 5-10 kali dibandingkan

dengan ukuran normal3.

F. Etiologi

Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi

etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Beberapa zat-zat fisika dan kimia,

seperti radiasi, beryllium, dan isotop radioaktif, telah menunjukkan faktor resiko

potensial terhadap perkembangan tumor kondroid. Namun berdasarkan penelitian

yang terus berkembang didapatkan bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan

tumor-tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar

kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga

terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk

9

kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier

disease dan Maffucci syndrom, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma9.

G. Patogenesis

Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya

kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya

memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang

dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas

kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan

proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan

lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti

oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan

pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma

proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan

abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi5.

Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi

awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan kondrosarkoma

sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan tulang seperti

kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks

sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue.

Penelitian baru-baru ini berkesimpulan patogenesis dari kondrosarkoma bisa

melibatkan inaktifasi mutasional dari gen supresor tumor terdahulu. Telah dilaporkan

terjadinya inaktifasi mutasional tumor supresor p16, Rb, dan p53 pada contoh

10

kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi, inaktifasi p53 berhubungan dengan tumor tingkat

yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih jelek10.

H. Diagnosis

Diagnosis kondrosarkoma dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan

radiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan foto

polos, CT scan, MRI dan PET scan. Foto polos atau foto konvensional merupakan

pemeriksaan penting yang dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Foto

polos bisa menggambaran lokasi lesi, identifikasi sifat kartilago dan agresifitasnya.

Tampilan khas dari lesi tulang rawan pada radiografi polos adalah kalsifikasi diskrit.

Lesi dapat berupa radiolusen atau sklerotik pada foto polos, dengan disertai adanya

kalsifikas. Tampilan lesi tergantung jumlah mineralisasi yang terjadi15.

Kondrosarkoma dimulai di metafisis dan meluas ke diafisis10. Baik kondrosarkoma

primer atau sentral memberikan gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks

dan muncul scallop erosion pada kortex endosteal atau disebut endosteal scalloping,

dan penipisan atau penebalan korteks. Endosteal scalloping terjadi akibat

pertumbuhan tumor yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada

kondrosarkoma, endosteal scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, hal ini

dapat membedakan kondrosarkoma dengan enkondroma9.

Ketika tumor meluas ke jaringan lunak massa sering besar dan teraba. Bentuk

destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada formasi

tulang baru. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar tumor yang

11

dapat mengakibatkan fraktur patologis. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif

disertai destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan

dengan enkondroma9. Tumor high grade menunjukkan tepi yang tidak teratur.

Kalsifikasi dari matriks tumor bisa berupa stippled, punctata, flocculent, atau ring

and arc like pattern. Kalsifikasi bisa kecil, tersebar, padat maupun halus. Tidak ada

kriteria absolut untuk penentuan malignansi. Namun, pada lesi maligna, terdapat

kecenderungan penetrasi korteks tampak lebih jelas dan tampak massa jaringan

dengan kalsifikasi yang ireguler. Namun, sering pula tampak area yang luas dengan

sedikit kalsifikasi bahkan tanpa kalsifikasi sama sekali3,10,11,12. Destruksi korteks dan

soft tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi

destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal

tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi

kondrosarkoma10.

Komponen radiolusen dari kondrosarkoma biasanya menunjukkan adanya

lisis tulang tipe geografik dan lesi multilobulated berhubungan langsung dengan pola

pertumbuhan lesi kartilago hialin. Pola lisis tulang yang lebih agresif (moth eaten dan

permeative) bisa terlihat pada kondrosarkoma derajat tinggi tetapi lebih sering

berhubungan dengan kondrosarkoma tipe mesenkimal, miksoid, dan dedifferentiated3.

CT scan memiliki peran diagnostik untuk menunjukkan destruksi tulang,

kalsifikasi kecil, dan batas intra dan ekstra tulang. Pada CT scan, 90% kasus

ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi matriks kartilago.

Pemeriksaan CT scan memberikan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi

12

kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal scalloping pada tumor

intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan dibandingkan dengan foto

konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan

melihat adanya proses metastase di tempat lain9.

MRI dapat menunjukkan lesi lobulated dengan sinyal rendah atau menengah

pada T1W1 dan intensitas sinyal tinggi pada T2W1. MRI bisa menunjukkan staging

yang tepat terhadap adanya keterlibatan meduler dan massa jaringan lunak.

Kondrosarkoma derajat rendah menunjukkan lesi dengan pola lobulated dan adanya

peningkatan septasi setelah dilakukan injeksi media kontras intravena. Tumor derajat

tinggi tidak memiliki septasi dan menunjukkan peningkatan penyangatan heterogen

yang difus. Tumor jinak dan kondrosakoma derajat rendah tidak dapat dibedakan

dengan MRI dari matriks saja10.

Kondrosarkoma secara khas menunjukkan peningkatan penyerapan

radioisotop pada bone scan, namun belum bisa digunakan untuk membedakan antara

osteokondroma dan enkondroma. Peningkatan penyerapan menunjukkan adanya

aktifitas metabolik pada kondroma atau pada tranformasi ke ganas. Namun demikian

tidak adanya peningkatan penyerapan, curiga keganasan bisa disingkirkan6.

I. Diagnosis Banding

1. Enkondroma

Enkondroma merupakan tumor intrameduler yang dikarakteristikkan oleh

adanya bentukan kartilago hialin yang berbatas tegas. Enkondrama sebagai diagnosis

banding terutama jika dibandingkan dengan kondrosarkoma derajat rendah9.

13

Enkondroma biasanya mempunyai gejala berupa nyeri ringan karena pertumbuhan

yang lambat. Terdapat reaksi peritumoral minimal, dan avaskuler. Tumor ini sering

ditemukan eksidental karena fraktur patologis. Pada foto polos, enkondroma tampak

lesi bentuk panjang atau oval dengan tepi yang berbatas tegas. Pada lesi yang besar,

tampak defek lusen yang merupakan endosteal scalloping dan korteks yang meluas

dan tipis. Kalsifikasi pada lesi bisa berupa bercak atau cincin. CT berguna untuk

mendeteksi mineralisasi matriks dan integritas korteks. MRI membantu

mendeskripsikan bagian non mineral dari lesi dan dapat memvisualisasikan

agresifitas dan destruksi di sekitar lesi. Gambaran radiologi enkondroma perlu di

waspadai karena mempunyai potensial menjadi ganas diantaranya ukuran yang besar,

komponen bukan mineral yang besar, korteks menipis secara signifikan, dan jika pada

bone scan aktifitas lesi lebih besar dibanding spina iliaca anterior superior. Gambaran

enkondroma yang sangat kuat mengarah ke transformasi ganas antara lain adanya

destruksi yang progresif dari matriks kondroit, komponen non mineralisasi, dan lesi

yang membesar yang menyebabkan nyeri atau massa jaringan lunak yang ekspansil13.

2. Osteosarkoma

Osteosarkoma merupakan tumor tulang primer paling banyak dengan kejadian

sekitar 25% dari semua tumor tulang primer. Osteosarkoma mempunyai karakteristik

histologi pleomorfik, namun ada dua ciri untuk penegakan diagnostik secara histologi

yaitu adanya kemampuan menghasilkan jaringan osteoid tanpa adanya perkembangan

dari kartilago dan adanya alkalin phospatase didalam sel tumor. Berdasar derajat

ossifikasi jaringan osteoid, osteosarkoma dibagi menjadi beberapa jenis: osteoblastik,

14

kondroblastik, fibroblastik, anaplastik atau telangiektasis. Masing-masing tipe ini

mempunyai sedikit perbedaan secara radiologis11. Diferensial diagnosis dari

kondrosarkoma adalah osteosarkoma tipe kondroblastik. Insiden terjadinya

osteosarkoma pada umur 10-25 tahun dengan predileksi di sekitar lutut. Biasanya

mengenai metadiafisis dari bagian distal tulang femur dan bagian proksimal dari

tulang tibia. Osteosarkoma jarang terjadi di pelvis, tulang belakang, clavicula,

scapula, iga, dan tulang-tulang kecil. Sepuluh persen terjadi di diafisis. Terlibatnya

epifisis biasanya terjadi pada kasus yang sangat kronis. Kartilago di metafisis barlaku

sebagai barrier sementara bagi perluasan tumor11. Gambaran khas foto polos

osteosarkoma adalah adanya area eksentrik dengan destruksi tulang tipe permeatif di

metadiafisis sekitar lutut disertai adanya erosi korteks dan adanya massa jaringan

lunak yang berbatas tegas. Tampak adanya elevasi periosteum yang disebabkan

adanya bentukan baru dari tulang yang dikenal sebagai codman’s triangle. Epifisis

biasanya tampak normal. Tampak adanya kalsifikasi bentuk spikula amorf di massa

jaringan lunak. Sklerosis dan destruksi tulang biasanya tampak didalam lesi tulang,

namun kadang-kadang lesi berupa lesi litik11.

3. Fibrous Displasia

Fibrous displasia adalah lesi jinak di skeletal yang sering terjadi dengan

melibatkan satu tulang (monostotic) atau banyak tulang (polyostotic) dengan

predileksi di tulang panjang, tulang iga, dan tulang kraniofasial, tulang belakang,

pelvis dan biasanya unilateral. Bentuk monoostotik kira-kira 70-80% dari kasus

fibrous displasia, selebihnya adalah tipe poliostotik. Derajat deformitas tulang relatif

15

lebih banyak pada tipe poliostotik. Tipe poliostotik paling banyak mengenai kepala,

tulang fasial, pelvis dan tulang belakang dan biasanya mempunyai sifat unilateral.

Kejadian fibrous displasia ini mirip proses kongenital. Fibrous displasia banyak

mengenai anak dan dewasa muda, 75 % pasien berumur kurang dari 30 tahun dengan

insiden tertinggi pada usia 3-15 tahun. Gejala awal fibrous displasia adalah nyeri

disekitar lesi diikuti pincang dan fraktur spontan. Lesi pada pelvis sering

menunjukkan tanda sheperd’s crook deformity dan deformitas coxa vara jika

kasusnya sudah berat14. Secara klasik fibrous displasia berupa lesi di intrameduler,

ekspansil, dan berbatas tegas. Meskipun terdapat endosteal scalloping, namun masih

tampak kontur korteks yag halus. Lesi menunjukkan berbagai macam derajat densitas

opasitas dengan tampak gambaran ground glass appearance, meskipun beberapa

kasus hanya tampak hanya rodiolusen atau sklerotik. Lesi biasa menunjukkan

peningkatan yang tidak spesifik terhadap radiotracer pada bone scan. CT dan MRI

berguna membantu mengevaluasi komponen jaringan lunak dan perluasan lesi14.

16

BAB III

LAPORAN KASUS

Dilaporkan sebuah kasus pasien wanita 24 tahun dengan keluhan utama nyeri

dan bengkak di pinggul kanan. Empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit pasien

mulai merasakan nyei di pinggul kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul namun sering.

Pasien tidak merasakan ada benjolan. Tidak ada keluhan lain selain rasa nyeri. Dua

tahun kemudian pasien merasakan nyeri bertambah berat sehingga jalan pasien

pincang. Pasien harus menggunakan tongkat untuk menyeimbangkan dan menahan

rasa sakit saat berjalan. Pasien mulai merasakan adanya benjolan di pinggul kanan.

Pasien juga merasakan berat badan sangat menurun, kira-kira berat badan turun 25

kg. Dua tahun kemudian, kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien

mengeluhkan menstruasi tidak teratur. Buang air kecil dan buang air besar kadang-

kadang tidak lancar. Nyeri di pinggul dirasakan bertambah, khususnya saat berbaring

sehingga pasien tidak bisa berbaring dengan nyaman. Pasien juga tidak bisa

menggerakkan paha kanan dengan bebas karena nyeri. Tidak ada anggota keluarga

lain yang terkena keluhan serupa.

Pada pemeriksaan saat masuk rumah sakit (16 februari 2011) keadaan umum

pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/mnt, rata-rata respirasi 20

x/mnt dan suhu tubuh 36oC. Pemeriksaan kepala dan leher normal, tak teraba

pembesaran limfonodi. Pemeriksaan dada dan perut dalam batas normal. Status

lokalis region hip kanan, inspeksi tampak bengkak di regio pelvis kanan, tak tampak

tanda radang. Palpasi di regio pelvis kanan teraba masa dengan konsistensi kenyal,

17

keras dan berbatas tegas, dirasakan nyeri tekan (+), tak tampak adanya neurovascular

disturbance. Fleksi dan ekstensi hip joint kanan terbatas karena nyeri.

Foto polos dada dan pelvis (saat masuk rumah sakit, 16-2-2011) didapatkan

kesan foto dada: thorax dan jantung dalam batas normal, tak tampak gambaran

metastase ke paru maupun tulang di regio dada (gambar 8-9), sedangkan kesan pada

foto pelvis tampak masa jaringan lunak di regio pelvis dextra dengan lesi densitas

campuran yang berasal dari os ischium dan os ilium dextra batas tidak dengan

kalsifikasi (+) menyebar, tak tampak adanya periostel reaction dengan hip joint dextra

lebih sempit dibanding sinistra dan dikesankan suspek kondrosaroma DD

osteosarkoma, saran CT scan untuk melihat perluasan lesi dan memastikan diagnosis.

Satu hari setelah masuk rumah sakit (17 februari 2013) dilakukan USG perut

atas dan bawah untuk melihat apakah ada penyebaran ke organ lain dan dilakukan

pemeriksaan laboratorium. Hasil USG perut didapatkan tak tampak kelainan maupun

metastasis pada organ hepar, vesica felea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urianaria

dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta bilateral dan di para iliaka bilateral

(gambar 12). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin rendah 8,3 g/dl.

Sedangkan yang lain dalam batas normal.

Pasien menjalani aspirasi jarum halus (AJH) dua hari setelah masuk rumah sakit (18-

2-2011) dan diambil di 2 tempat, pinggul kanan dan kiri dengan hasil: ditemukan

beberapa sel agak besar, polimorfi, inti bulat atau ovoid hiperkromatis, didapatkan

pula fragmen-fragmen kecil tulang, dikesankan adanya sel atipi curiga keganasan

dengan jenis sel tidak dapat ditetapkan. Karena tidak dapat ditentukan jenis selnya

18

maka direncanakan AJH ulang dengan panduan USG. AJH ulang (10 maret 2011)

didapatkan hasil adanya sel-sel berkelompok yang tersebar dengan ukuran besar dan

sitoplasma sedikit disertai inti yang besar, oval dan spindel, kromatin inti kasar,

sebagian anak inti terlihat jelas. Didapatkan massa amorf miksoid (matriks kondroid).

Latar belakang eritrosit merata, lekosit polimorfonuklear, limfosit, debris sel nekrotik

dengan didapatkan sel ganas. Kesan dari sitologi AJH regio gluteus dextra

menyokong kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas.

Sepuluh hari setelah masuk rumah sakit (26 februari 2011) dilakukan

pemeriksaan CT scan untuk melihat perluasan lesi (gambar 10-11), didapatkan hasil

tampak massa di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra,

dan sampai ke os sacrum aspek dextra batas tegas, bentuk amorf cenderung oval,

dengan kalsifikasi tersebar bentuk flokulen, ukuran terbesar 15 cm x 13 cm yang

mendestruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra

dan VU ke anterosinistra. Tampak lesi hipodens dengan tepi ireguler di m. gluteus

minimus dan medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra.

Kesan dari CT scan massa dengan kalsifikasi tersebar di os ischium dextra meluas ke

os pubis dan os ilium dexta yang menginfiltrasi m. gluteus minimus dan medius

dextra, m. obturator internus dextra, dan m. iliopsoas dextra dengan ukuran terbesar

15 cm x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum aspek dextra dextra

serta mendesak rektum ke sinistra dan kandung kencing ke anterosinistra sangat

mungkin kondrosarkoma.

19

Diagnosis kerja pada pasien ini adalah kondrosarkoma regio pelvis kanan

yang telah meluas ke jaringan sekitarnya dengan anemia. Pasien direncanakan

kemoterapi.

20

BAB IV

PEMBAHASAN

Kondrosarkoma di pelvis merupakan kasus yang paling sering di banding

kondrosarkoma ditempat lain. Kira-kira kejadiannya 40-50% dari semua kasus

kondrosarkoma. Sarkoma tulang primer di pelvis dianggap mempunyai prognosis

yang lebih jelek di banding sarkoma di lokasi lain di tulang panjang. Hal itu

disebabkan karena secara anatomi tidak ada barier di pelvis yang bisa melawan tumor

sehingga sebagian besar sarkoma di pelvis menghasilkan massa yang besar sehingga

bisa menyebabkan ekstrakompartemental. Kondrosarkoma pelvis sering mengenai

ilium dengan predileksi yang sering adalah daerah sekitar kartilago tri radiata.

Meskipun lesi kondrosarkoma sering merupakan lesi yang besar, namun secara klinis

sering kali terdapat keterlambatan munculnya gejala. Selain itu pemeriksaan

radiografi sering kali menemukan kelainan yang minimal karena kompleknya

anatomi pelvis. CT dan MR dapat menampilkan ciri agresif, destruksi kortek dan

pembesaran massa jaringanya. Daerah mineralisasi matriksnya sering hanya bisa

terdeteksi dengan CT scan, hal itu juga disebabkan karena anatomi pelvis sangat

komplek. Beberapa kasus kondrosarkoma di pelvis sering invasi ke hip joint dan

terjadi adenopati di daerah iliaca3,15,16,17,18.

Tampilan radiografi kondrosarkoma mempunyai karakteristik berupa lesi

campuran litik dan sklerotik. Lesi sklerotik merupakan matrik mineral berupa

kalsifikasi bentuk ring arc, flokulen, stippled, punctata maupun popcorn. Adanya

matrik mineral yang luas cenderung menunjukkan kondrosarkoma tipe agresif.

21

Namun pada kondrosarkoma mesenkimal dan kondrosarkoma terdiferensiasi, daerah

matrik mineral sering menunjukkan kondroit yang relatif kurang luas dibanding

kondrosarkoma konvensional, dan biasanya batasnya tidak tegas. Komponen

radiolusen biasanya menunjukkan adanya lesi litik tipe geografik dengan bentuk

multi lobuler. Lesi litik pada tulang tipe geografik ini menunjukkan pola

pertumbuhan lesi pada kartilago hialin. Pada yang agresif atau tipe high grade,

menunjukkan pola moth eaten dan permeatif. Pola moth eaten dan permeatif sering

terdapat pada kondrosarkoma tipe mesenkimal dan tipe differentiated. Tanda

kondrosarkoma yang lain adalah jika kedalaman endosteal scalloping, yaitu resorbsi

fokal di tepi kortek tulang (khususnya tulang panjang), lebih dari 2/3 tebal kortek

tulang panjang normal atau jika perluasan lesinya longitudinal lebih dari 2/3 panjang

lesi. Hal ini yang membedakan antara kondrosarkoma tipe low grade dengan

enkondroma. Endosteal scalloping menyebabkan pertumbuhan tulang melambat

sehingga kortek merespon dengan memelihara tumor dikanal intrameduler. Usaha

untuk memelihara tumor di kanal intrameduler pada kondrosarkoma menyebabkan

remodeling korteks, penebalan korteks dan reaksi periosteal3,15,16,17,19,20. Ukuran

jaringan lunak dan komponen yang terkena berhubungan dengan histologi. Semakin

besar ukuran jaringan lunak cenderung pada kondrosarkoma tipe high grade.

CT scan lebih baik dibanding radiografi konvensional terutama untuk

menampilkan adanya kalsifikasi yang halus yang tidak terlihat pada radiografi

konvensional. Selain itu pada lokasi dengan anatomi yang komplek seperti pada

pelvis, CT scan dapat lebih menampilkan lesi dimana pada radiografi konvensional

22

hanya menemukan lesi abnormal yang minimal. CT scan dapat mengevaluasi

kedalaman dan perluasan endosteal scalloping, destruksi dan penebalan korteks serta

reaksi periosteal lebih baik dibanding radiografi konvensional18.

Pada pasien ini penderita adalah wanita dengan usia 24 tahun. Berdasar

beberapa kepustakaan, kondrosakoma sering mengenai laki-laki dibanding wanita

dengan usia paling sering terjadi pada dekade 5-6. Kejadian kondrosarkoma pada

pasien ini terjadi di pelvis. Kejadian kondrosarkoma di pelvis paling sering dari

tulang inominata (os pubis, os ilium dan os ischium). Pasien mengeluh ada benjolan

sudah 4 tahun dengan rasa nyeri dan terasa adanya masa. Pada pasien ini tumor

sangat besar ukuran 15 cm x 13 dan menekan VU, colon rektosigmoid. Ukuran tumor

kondrosarkoma lebih dari 11 cm cenderung tipe high grade.

Pada foto polos pasien ini, tampak adanya lesi litik sklerotik dengan

kalsifikasi menyebar, dan pada CT scan tampak kalsifikasi tipe arc dan ring yang

menyatu membentuk flokulen. Pada CT tampak lebih jelas adanya destruksi kortek,

endosteal scalloping, reaksi periosteal berupa multilobuler dan juga tepi soft tissue

mass ireguler. Terdapat destruksi korteks tipe permeatif yang tampak jelas pada

gambara CT scan. Tanda-tanda tersebut mendukung adanya gambaran

kondrosarkoma tipe high grade. Pada pemeriksaan patologi didapatkan sel-sel

berkelompok tersebar, ukuran besar, sitoplasma sedikit, inti besar, oval, spindle,

kromatin inti kasar, sebagian anak inti terlihat jelas. Didapatkan massa amorf miksoid

(matrix kondroid). Latar belakang eritrosit merata, lekosit PMN, limfosit, debris sel

nekrotik. Didapatkan sel ganas. Hasil tersebut sesuai dengan gambaran histologi

23

kondrosarkoma tipe high grade (tipe 3). Lesi kondrosarkoma pada pasien ini

merupakan lesi yang besar dan unresektabel. Dan tumor telah infiltrasi ke daerah

sekitarnya. Namun tumor belum metastase ke organ-organ lain seperti paru, hepar

dan otak.

Stadium kondrosarkoma didasarkan pada Enneking staging system yang

merupakan sistem pembagian yang biasa di terapkan pada sarkoma muskuloskeletal,

dan bisa diterapkan pada kasus kondrosarkoma. Sistem tingkat menurut Enneking ini

membagi tumor menjadi : Stadium 1 (tumor low grade) dengan IA tumor

intrakompartmental dan IB tumor ekstrakompartmental, stadium II (tumor high

grade) dengan IIA tumor intrakompartmental dan IIB tumor ekstrakompartmental,

dan stadium III (tumor sudah metastasi jauh)15. Metastasis jauh pada kasus

kondrosarkoma paling sering ke paru, limfonodi regional, dan hepar. Pada kasus ini

masuk dalam stadium III.

Sebagian besar kondrosarkoma tumbuh lambat dan jarang bermetastasis.

Kondrosarkoma memiliki prognosis baik setelah operasi yang adekuat. Eksisi bedah

secara luas tetap merupakan terapi terbaik pada tumor derajat sedang sampai tinggi.

Namun, sebagian kecil pasien mengalami kekambuhan dengan metastasis sampai

13% kasus. Kasus yang sering mengalami kekambuhan adalah kondrosarkoma tipe

high grade dan tipe primer19.

Menurut Murphey et al, ada dua pilihan terapi pembedahan pada

kondrosarkoma tipe low grade, yaitu pertama kuretase intra lesi, dengan ablasi termal

atau kimia dan diberikan semen atau bone graft pada defeknya. Pilihan kedua yaitu

24

pembedahan dengan eksisi luas disertai rekonstruksi metal atau struktur graft.

Kondrosarkoma konvensional yang menunjukkan adanya fokus destruksi kortek dan

endosteal scalloping yang dalam atau lesi dengan histologi derajat 2-3 pada spesimen

biopsi dianjurkan untuk dilakukan eksisi luas sampai mencapai daerah bebas tumor.

Pembedahan secara agresif diperlukan untuk mengontrol tumor lokal secara optimal

dan mengurangi frekuensi penyebaran tumor3.

Kondrosarkoma relatif resisten terhadap kemo dan radioterapi. Penyebabnya

antara lain karena kondrosarkoma banyak mengandung matriks ekstraselular,

prosentase sel dalam membelah diri rendah, dan miskinnya vaskularisasi19. Sedang

menurut Schrage YM et al, mekanisme resisten kondrosarkoma karena adanya

ekspresi P-glykoprotein pada kondrosarkoma yang merupakan penyebab resisten

kemoterapi. P-glycoprotein merupakan produk gen yang resisten terhadap multiple

drug1.

Tantangan bagi klinisi untuk mencegah terulangnya kekambuhan dan

menemukan pilihan pengobatan yang lebih baik untuk kondrosarkoma yang tidak

dapat dioperasi atau yang telah mengalami metastasis. Klasifikasi secara radiologi

dan histopatologi yang berhubungan dengan gejala klinis, riwayat penyakit penting

untuk mengambil keputusan terapi yang harus dilakukan oleh tim yang terdiri ahli

patologi yang berpengalaman, ahli radiologi, medis onkologi, radioterapi, dan ahli

bedah ortopedi19.

25

KESIMPULAN

Dilaporkan kasus wanita 24 tahun dengan keluhan keluhan nyeri dan bengkak

di pinggul kanan selama empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit, perlahan dan

memberat sampai terjadi gangguan BAK, BAB dan menstruasi serta gangguan gerak.

Pada pemeriksaan didapatkan benjolan di regio pelvis kanan dengan konsistensi

kenyal dan keras. Pasien mengalami anemia. Diagnosis ditegakkan dengan foto

polos, CT scan dan diperkuat dengan PA sebagai kondrosarkoma. Foto thoraks dan

USG perut atas dan bawah tidak didapatkan metastasis.

Gambaran foto polos pelvis dikesankan suspek kondrosaroma dengan

diagnosis banding osteosarkoma. Gambaran CT scan dikesankan sangat mungkin

kondrosarkoma di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra,

dan sampai ke os sacrum yang telah mengalami infiltrasi ke m. gluteus minimus dan

medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra. Hasil

pemeriksaan USG tak tampak metastasis ke organ hepar, vesica felea, lien, pankreas,

kedua ren, vesica urianaria dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta

bilateral dan di para iliaka bilateral. Pemeriksan patologi anatomi dengan AJH I tidak

dapat menyimpulkan adanya sel ganas sedang AJH ke 2 didapatkan hasil menyokong

kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas. Pasien didiagnosis kerja dengan

kondrosarkoma dan diterapi dengan adjuvant kemoterapi.

26

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Gambar 2

Gb.2. Diagram tulang inominata (kiri) dan skema oblik menampilkan kartilago triradiata (kiri). Kartilago acetabulum terdiri atas kartilago hemisfer (HC) dan kartilgo triradiata (TC)

www.doctorline.com

http://teachmeanatomy.info/pelvis/bones/the-hip-

27

Gambar 5. Axial CT menunjukkan deep endosteal Scalloping, destruksi kortek, perluasan soft tissue (M) dan kalsifikasi bentuk flocculent (C). Komponen non mineralisasi tampak area dengan atenuasi redah (RadioGraphics 2003; 23:1245–1278).

Gambar 4. Kondrosarkoma di tibia AP/lateral: menunjukkan lesi dominan litik didiafisis yang meluas. Area mineralisasi matrik kondroit terlihat di superior (panah besar) dan fokus deep scalloping (panah kecil), remodeling kortek dan reaksi periosteal (kepala panah) posisi lateral (RadioGraphics 2003; 23:1245–1278).

Gambar 4

Gambar 5

Gambar 6

Gb 3. Histologi kondrosarcoma. Seluleritas rendah pada grade I chondrosarcoma (A) dg matrik kondroit dan absennya mitosis. Grade II chondrosarcoma (B) mitoses ditemukan (inset). Grade III chondrosarcoma (C) seluleritas tinggi dengan matrik mucomiksoid yg berubah terlihat cytonuclear yg atypia (hematoxylin and eosin staining). www.TheOncologist.com

Gambar 3

28

Gambar 6. Radiografi shoulder AP, tampak di proksimal humerus, lesi campuran litik sklerotik dengan remodeling ekspansil. Komponen sklerotik menampilkan tipikal kondroit berupa kalsifikasi bentuk ring and arc (panah putih). Fokus litik terlihat di inferior (panah hitam) menunjukkan tipikal endosteal scalloping pada kondrosarkoma (RadioGraphics 2003; 23:1245–1278).

Gambar 7

Gb.7. Pasien wanita 24 tahun dengan benjolan di pelvis kanan

Gambar 8

29

Gambar 9

Gb.8. Foto pelvis AP tanggal 16-2-2011. Lesi dengan densitas campuran yang berasal dari os ischium dan os pubis dextra dengan destruksi os ischium, dan os pubis dextra, batas tak tegas, dengan kalsifikasi berbentuk popcorn. Susp chondrosarcoma, DD osteosarcoma Saran : CT Scan

Foto thorax tanggal 16-2-2011 Pulmo dan besar cor dalam batas normal

30

Gambar 10

31

32

33

34

Gb. 10.CT scan tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra, ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma

35

Gambar 11

36

Gb. 11.CT scan 3D tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra, ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma

Gambar 12

Gb 12. Foto USG tanggal 17-2-2011 Tak tampak kelainan maupun metastasis pada : hepar, vesica felea, lien, pancreas, kedua ren, vesica urinaria. Tak tampak limfadenopati paraaortici

37

TINJAUAN PUSTAKA

1. Schrage YM, Bovee JVMG, Hogendoorn PCW. Towards new therapeutic

strategies in chondrosarcoma. Netherlands Organisation for Scientific

Research; 2009.

2. Kundu S, Mousumi P, Ranjan R, Paul. Clinicopathologic correlation of

chondrosarcoma of mandible with a case report. Contemporary Clinical

Dentistry. Oct-Dec 2011;2: 390-93.

3. Murphey MD, Walker EA, Wilson AJ, Kransdorf MJ, Temple TH, Gannon

FH. Imaging of primary chondrosaroma : Radiologic-pathologic correlation.

Radiographics. 2003; 23: 1245-78.

4. Solomon L, editor, Apley’s system of orthopedics and fractures. 8 th ed. New

York. Oxford University Press Inc; 2011.

5. Wijaya C, editor. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4.

Jakarta EGC; 1995

6. Mavrogenis AF, Gambarotti M, Angelini A, Palmerini E, Staals EL, Ruggieri

P, et al. Chondrosarcomas Revisited. Orthopedics; 2012 March (35);2.

Available from http://www.ORTHOSuperSite.com.Search:20120222-30

7. Wirbel RJ, Schulte M, Maier B, Koschnik M, Mutschler W. Chondrosarcoma

of the pelvis: oncologic and functional outcome. Sarcoma. 2000; 4: 161-68.

8. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for diagnostic imaging. 2nd ed.

Elsivier limited; 2004.

9. Murphey MD, Flemming DJ, Boyea SR, Bojescul JA, Sweet D, Temple HT.

Enchondroma versus chondrosarcoma in the appendicular skeleton:

differentiating feature. Radiographics. 1998; 18:1213-37.

10. Ollivier L, Vanel D, Lecl`ere J. Imaging of chondrosarcomas. Cancer

imaging. Paris; International Cancer Imaging Society; 2003; 4. Available

from: http://www.e-med.org.uk

38

11. Sutton D, editor. Text book of radiology and imaging. 7th ed. Churchill

livingstones. Elsevier science Ltd; 2003.

12. Riddle NMD, Yamauchi H, Caracciolo JT, Johnson D, Letson GD, Hakam A,

et al. Dedifferentiated chondrosarcoma arising in fibrous dysplasia: A case

report and re iew of the current literature. Pathology and Laboratory Medicine

International 2009; (1):1–6.

13. Muller PE, Durr HR, Nerlich A, Pellengahr C, Maier M, Jansson V.

Malignant transformation of benign enchondroma of the hand to secondary

chondrosarcoma with isolated pulmonary metastasis. Acta chir belg, 2004;

104: 341-344

14. Fitzpatrick1 KA, Taljanovic1 MS, Speer DP, Graham AR, Jacobson JA,

Barnes GR, Hunter TB. Imaging findings of fibrous dysplasia with

histopathologic and intraoperative correlation. American Journal Radiology.

2004; 182: 1389-98. Available from http://www.ajronline.org

by175.111.89.175 on 08/22/13 from IP address 175.111.89.175.

15. Gelmann H, editor. Chondrosarcoma. eMedicine world medical library. 1994

(update 2013 july 15). Available from:

http://www.emedicine.medscape.com/article/1258236-overview.

16. Hong P, Trites JR, Taylor M, Nasser JG, Hart RD. Chondrosarcoma of the

head and neck: Report of 11 cases and literature review. Journal of

Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2009; 38(2): 279-85.

17. Hide G. Chondrosarcoma. Diunduh dari http://www.flyingpig.ws, tanggal 8

Oktober 2011.

18. Bergh P, Gunterberg B, Kindblom JM, Kindblom LG. Prognostic factor and

outcome of pelvic sacral and spinal chondrosarcoma : a center-based study of

69 cases. American cancer society. 2001; 91(7): 1201-12.

19. Gelderblom H, Hagendoorn PCW, Dijkstra SD, Rijswijk CS, Krol AD,

Taminiau AHM, et al. The clinical approach towards chondrosarcoma. The

39

oncologist: sarcoma research series. 2008; 13: 320-329. Available from

www.TheOncologist.com.

20. Akpolat N, Yildirim H, Poyraz K. Sacral chondroblastic osteosarcoma

misdiagnosed as chondrosarcoma and cordoma. Turk J Med Sci. 2007; 37(4):

243-49. A