Upload
vuongdien
View
225
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
DESKRIPSI UMUM AUTISME
A. Pengenalan Autisme
1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang artinya diri
yang tidak berdaya. Menurut Kamus Lengkap Psikologi, sebagaimana
yang dikutip kenzweb.ugm. ic.id., menyebutkan J.P Chaplin (2001) bahwa
ada tiga pengertian autisme:
a) Cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri
sendiri.
b) Menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan
menolak realitas.
c) Keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Gangguan Jiwa (PPDGJ)
edisi III, autisme digolongkan dalam gangguan perkembangan pervasif
dengan kode F.84. Gangguan perkembangan pervasif adalah gangguan
yang ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal
balik dan dalam pola komunikasi, serta minat dan aktivitas terbatas,
stereotipik, berulang yang menunjukkan gambaran yang pervasif dari
fungsi-fungsi individu dalam semua situasi dengan derajat keparahan yang
berbeda-beda.1
Secara singkat autisme adalah gangguan pada sistem syaraf yang
biasanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun.2 Hal ini menyebabkan
gangguan pada bidang komunikasi, bahasa, kognitif, sosial dan fungsi
adaptif, sehingga menyebabkan anak-anak tersebut semakin lama semakin
1http://kenz.web.ugm.ac.id/151280/index.php?octaveerkat=psikologi&octaveergil=1, 12
Pebruari 2004 2http://www.medicastore.com/med/artikel.php?id=47&UID=2004052709564664.68.82.1
59, 15 Agustus 2005
12
jauh tertinggal dibandingkan anak seusia mereka ketika umur mereka
semakin bertambah.3
Dengan kata lain autisme ialah satu gangguan dalam
perkembangan mental kanak-kanak yang menyebabkan mereka
mengalami masalah pertuturan, komunikasi dan tingkah laku yang luar
biasa. Ia juga satu kekurangan seumur hidup yang mana komunikasi
pengidapnya terganggu dan mereka tidak dapat berhubungan secara
langsung. Individu autisme boleh mendengar dan melihat tetapi mereka
seolah-olah hidup di dalam dunia mereka sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian dr. Leo Keaner
(seorang dokter spesialis penyakit jiwa) pada tahun 1938 yang telah
mendiagnosis dan mengobati pasien dengan sindroma autisme yang
disebut infantil autisme. Kepedulian dengan autisme juga bertambah
banyak pada tahun 1950, para profesional di Amerika, Inggris dan Eropa
barat mulai mengadakan penelitian tentang autisme, psikopatologi, cara
pencegahan dan penanggulangannya, serta kelanjutan perkembangan anak
dengan autisme kemudian hari.4 Dengan kondisis anak autis yang seperti
itu tentu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak, baik fisik
maupun mental, dan apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dengan
tatalaksana yang tepat, perkembangan yang optimal pada anak tersebut
sulit diharapkan, mereka akan semakin terisolir dari dunia luar dan hidup
dalam dunianya sendiri dengan berbagai gangguan mental serta perilaku
yang semakin mengganggu.5
Lebih lanjut autisme adalah salah satu epidemik akhir abad XX
yang belum dapat ditemukan penangkalnya oleh lembaga kesehatan dunia
WHO dan lembaga peduli kesehatan lainnya. Autisme menjadi popular
3Rudy Sutadi, Autisme & Applied Behavior Anakysis (ABA)/ Metode Lovaas, Klinik
Intervensi Dini Autisme, Jakarta Medical Center, Jakarta Timur, 2002, hlm. 1 4Faisal Yatim, Autisme (Suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-Anak), Pustaka Populer Obor,
Jakarta, 2003, hlm. 9 5Y. Handojo, Autisma (Petunjuk Praktis & Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak
Normal, Autis & Perilaku Lain), PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 12
13
karena sejak digunakan istilah Autisme oleh Dr Leo Kanner tahun 1943
hingga kini belum ditemukan penangkalnya. Setahun kemudian Asperger
menerbitkan karya yang memuat himpunan gejala yang disebut sindroma
Asperger.
Penelitian mengenai kelainan pertumbuhan anak sudah dilakukan
oleh Dr Langdon Down hasil penelitiannya dipublikasikan pada 1866 dan
tahun 1887, yang memuat gejala umum kelainan pertumbuhan anak atau
sindroma Down. Usaha menyelidiki kelainan pertumbuhan anak tersebut
di atas dilanjutkan oleh Asperger, Heller, Tourette, Wiliam, Joubert,
Batten, Turner, dan Rett . Walaupun demikian hingga kini belum dapat
diungkapkan secara meyakinkan penyebab kelainan pertumbuhan anak
termaksud.6
2. Gejala-Gejala Autisme
Seorang anak autistik tidak mampu mengadakan interaksi sosial,
dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Ciri yang sangat menonjol
dari penderita autisme adalah tidak adanya atau sangat kurangnya kontak
mata dengan orang lain. Penyandang autisme bersikap acuh tak acuh bila
diajak bicara atau bergurau. la seakan-akan menolak semua usaha interaksi
dari orang lain, termasuk dari ibunya. la lebih suka dibiarkan main sendiri
dan melakukan sebuah perbuatan yang tidak lazirn secara berulang-ulang.
Sebagian kecil penyandang autisme berhasil berkembang normal, namun
sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangannya terhenti, kemudian
timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme.
Lebih lanjut gejala-gejala autisme dapat dilihat dari beberapa
indikator sebagai berikut:
1) Tingkah laku aktif yang keterlaluan atau sebaliknya.
2) Tidak menerima pelajaran biasa.
3) Tidak dapat mengawal keseimbangan fisikal.
6http://www.peduliautisme.org/Mainpage_Artikel2.htm as retrieved on Sep 26, 2004
00:43:54 GMT.
14
4) Tidak mau perbedaan dalam hidup sehari-hari.
5) Perasaan sayang yang keterlaluan kepada objek.
6) Perkataan yang diulang berkali-kali.
7) Menangis dan marah tanpa sebab.
8) Memutar barang.
9) Tidak adanya kontak mata apabila bercakap.
10) Berkelakuan seperti orang tuli dan bisu.
11) Menunjuk dengan jari apa yang diinginkannya.
12) Tidak mengenali bahaya hidup.
13) Kesulitan menyesuaikan diri dengan anak-anak lain.
14) Tidak mau didekap.
15) Hasrat bermain yang luar biasa.
16) Tidak dapat merasakan rasa sakit.
17) Ketawa dengan tiba-tiba.
18) Gangguan tidur.
Dari fakta tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa indikasi
seseorang yang mengidap gangguan autisme, yaitu:
1) Adanya gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan
dengan simpton sebagai berikut:
a) Tidak mau menatap mata orang yang dihadapannya sehingga ibu
dan gurunya harus selalu mengingatkan dia untuk menatap mata
lawan bicaranya.
b) Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik sangat kaku, tidak
ada timbal balik sosial atau emosional, tidak memiliki ekspresi
emosional terlihat bagaimana ekspresi wajahnya biasa saja ketika
bertemu ibunya ataupun ketika digendong oleh bapaknya.
c) Tidak bisa bergaul dengan teman sebayanya yang normal, lebih
asyik bermain sendiri. Misalnya lebih senang menghafal peta
daripada bergabung dengan anak – anak kelasnya.
2) Adanya gangguan kualitatif dalam komunikasi verbal dan non verbal,
antara lain:
15
a) Lambat dalam perkembangan bahasa ucapan, hanya sesekali
mengucapkan kata–kata, dan itupun tanpa disertai dengan ekspresi
wajah dan gerak–gerik yang sesuai.
b) Kadang sering mengulang–ulang dalam menggunakan bahasa,
seperti ketika ingin pulang ke rumah.
3) Adanya gangguan dalam pola perilaku, minat dan aktifitas yang
terbatas, berulang dan stereotipik, yaitu:
a) Adanya rutinitas atau ritual yang spesifik dan non fungsional
seperti ketika memencet bel rumah 5x, melewati pintu,
mengucapkan salam pada ibunya, mengambil gelas, mengaduknya
dan seterusnya.
b) Minat terbatas pada hal–hal tertentu seperti misalnya mengisi
puzzle.
c) Sering mengulang perilaku tertentu (manerisme motorik stereotipik
dan berulang), ini terlihat ketika penderita membentur-benturkan
kepalanya pada tembok, bermain dengan memutar–mutar ban
mobil mainan sampai dia merasa lelah.
4) Adanya gangguan emosi, yakni tidak ada atau kurangnya empati,
tertawa-tawa, menangis atau marah-marah sendiri, dan sering
mengamuk (temper tantrum). Penderita tidak peduli dengan keadaan di
sekitarnya, termasuk ketika orang tuanya tewas dibunuh. Dia juga
menunjukkan emosinya dengan mengamuk ketika di ambulan ataupun
jika merasa terancam.7
Stressor atau kejadian–kejadian tersebut yang membuat keadaan
penderita semakin parah, yaitu: ketika dipaksa oleh orang asing untuk
berbuat sesuatu, misalnya bersembunyi di lemari pakaian, ketika bersama
dengan orang asing atau tidak dikenalnya, ketika berada dalam ambulan
(situasi asing), ketika dibawa lari atau secara paksa di rumah sakit, ketika
dilarang untuk bermain sirene ambulan.
7Bonny Danuatmaja, Terapi Anak Autis di Rumah, Puspa Swara, Jakarta, 2003, hlm. 2-3
16
Karakter penderita, yaitu: penyendiri, asyik dengan dunianya
sendiri, senang bermain sendiri, pendiam, konsep diri yang kabur, taat
pada suatu kebiasaan, menghindari kontak mata dengan orang lain, tidak
respon terhadap lingkungan sekitarnya, senang bermain puzzle, mampu
menghapal jalan dan tempat dalam peta.8
Menurut kajian, kadar kejadian autisme adalah 5: 10,000 orang dan
lebih kerap terjadi kepada kanak-kanak lelaki berbanding dengan
perempuan sebanyak 4 kali ganda. Penyakit ini merambah di seluruh dunia
tanpa peduli bangsa, kaum, taraf sosial serta ekonomi. Permasalahan ini
memang menarik karena individu autisme mempunyai kelebihan intelek
yang luas dan tahapnya tidak sama seperti masalah gangguan mental yang
lain. Kira-kira 1/3 daripada mereka mempunyai kemahiran yang tertentu.
Walaupun menghadapi masalah bertutur, ada di kalangan mereka
mempunyai kemahiran yang menakjubkan dalam bidang prediksi,
melukis, musik dan menyelesaikan teka-teki dengan pantas.9
3. Faktor-Faktor Penyebab Autisme
Penyebab autisme sampai saat ini belum dapat diketahui secara
pasti, namun ada beberapa faktor predisposisi yang memungkinkan
terjadinya autisme, yaitu: faktor genetik, faktor hormonal, kelainan
pranatal, proses kelahiran yang kurang sempurna, serta penyakit tertentu
yang diderita sang ibu ketika mengandung atau melahirkan sehingga
menimbulkan gangguan pada perkembangan susunan saraf pusat yang
mengakibatkan fungsi otak terganggu.
Dari penelitian pakar autisme dapat diklasifikasikan penyebab
kelainan pertumbuhan anak ke dalam 4 (empat) arus pemikiran, yaitu:
8http://kenz.web.ugm.ac.id/151280/index.php?octaveerkat=psikologi&octaveergil=1, 12
Pebruari 2004 9Prof. Dr.Azizan Ismail dalam http://eraedar.tripod.com/autisme.html as retrieved on Jan
26, 2005, 02:40:49 GMT.
17
1) Kelainan perkembangan otak (brain development disorder) atau karena
kelainan perkembangan saraf (neuro developemt disorder).
2) Virus, jamur, rubella, herpes toksoplasma dan akibat vaksin mmr, atau
thimerosal.
3) Sistem pencernaan yang kurang baik sehingga rentan terhadap
makanan tertentu.
4) Karena faktor keturunan atau genetika misalnya kelainan kromosom.
Keempat alur pikir tersebut yang melandasi cara pendiagnosa dan
terapi anak autistik selama ini. Selain itu, kelainan perilaku dan
kepribadian anak autisme juga dapat disebabkan oleh kecelakaan,
misalnya karena benturan keras (jatuh dan terpukul), karena demam panas
tinggi, atau karena keracunan makanan, minuman dan atau obat-obatan.
Di samping keempat faktor tersebut keracunan logam berat juga
diduga sebagai penyebab autis. Hal tersebut didasarkan pada tes
laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan
logam berat dan beracun pada banyak anak autis.10
Keragaman pendapat pakar tersebut menandakan kompleksitas
kelainan autisme, sehingga penanganannya perlu dilakukan secara
komprehensif, terprogram dan berkelanjutan serta mendapat dukungan dan
peran serta luas masyarakat. Sebagai orang awam, tidak mudah memahami
ciri-ciri penyebab kelainan pertumbuhan anak tersebut di atas. Yang dapat
dilakukan orang tua secara mudah adalah mengamati pertumbuhan fisik
dan tingkat kemampuan gerak anak (merangkak, berdiri dan berjalan),
serta kemampuan anak bercakap-cakap dan berinteraksi dengan
lingkungan terdekat. Pada anak penyandang autisme, umumnya
pertumbuhan fisik anak terlihat wajar dan normal, hanya mengalami
beberapa keterbatasan dalam memfungsikan organ tubuhnya yang secara
medis dikenal sebagai:
1) Anak yang susah berbicara atau aphasia, umumnya pada usia 14 bulan
anak sudah lancar berbicara.
10Bonny Danuatmaja, op.cit., hlm. 6
18
2) Anak yang tidak dapat atau sulit menggerakkan badannya karena
gangguan saraf motorik atau apraxia.
3) Anak yang sulit menggerakan otot-ototnya atau ataxia.
4) Anak yang tangannya terus menerus bergerak secara tidak terkendali
atau athetoid.
5) Anak yang mengalami kesulitan membaca atau dyslexia.
6) Anak yang mengalami kesulitan mengucapkan kata yang sulit atau
kalimat rumit atau dysphasia.
7) Anak yang mengalami kesulitan menggerakkan kaki dan tangan atau
dyskinesia.
8) Anak yang mengalami kelainan perilaku atau kejiwaan yang berat atau
mental psikotik.
Dari uraian di atas diketahui bahwa kelainan pertumbuhan anak
sangat banyak ragamnya seperti, Down sindrom, kelompok sindroma
autisme yang terdiri dari sindroma Asperger, sindroma Rett, kelainan
karena rubella, toksoplasma, herpes dan lain sebagainya. Adalah sangat
ideal bila dapat merawat dan memulihkan kenormalan pertumbuhan anak
yang kadar keparahannya sangat lebar rentang spektrumnya.
Ditinjau dari aspek keparahan tingkat kelainannya, dapat
disimpulkan bahwa tingkat kelainan yang paling ringan adalah kelainan
perilaku yang umumnya disandang oleh anak autisme, karena secara kasat
mata keadaan pertumbuhan fisiknya dapat dikatakan normal. Kelainan
perilaku seperti suka menyendiri, selalu menghindar tatap mata, dan
terkesan sangat aktif sehingga suka menyentuh atau memegang yang ada
di sekitarnya. merupakan ciri utama penyandang. Kesulitan
mengembangkan kemampuan berbicara merupakan ciri lain penyandang
autisme yang perlu dicarikan solusi yang tepat.
Kelainan pertumbuhan anak yang tergolong berat adalah bila
anak tersebut yang mengalami kelainan pertumbuhan fisik yang serius
seperti mengalami kekakuan otot kaki dan atau otot tangan (spastic),
kelemasan otot kaki dan atau tangan (hypotonic) sehingga tidak bisa
19
menggerakkan kaki dan atau tangan. Dengan demikian anak mengalami
kesulitan untuk mengembangkan kemampuan duduk, berdiri dan berjalan
secara mandiri.
Kelainan fisik dapat juga terlihat pada kelainan tampilan raut
muka seperti yang terlihat pada penyandang Down sindrom. Ciri lain
penyandang Down sindrom misalnya, terlihat pada kelainan bentuk jari
kaki dan atau tangannya, biasanya jari telunjuk dan atau kelingking, yang
tidak sepadan dengan jari lainnya. Kelainan pertumbuhan fisik tersebut
sering mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan mental kejiwaan
dan tingkat kecerdasan anak. Kelainan pertumbuhan anak kategori ini
membutuhkan perhatian dan usaha yang lebih besar, terutama perawatan
dan rehabilitasi yang tepat, agar dapat mengatasi memulihkan kemampuan
yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak yang seusia.11
Di samping faktor tersebut, wanita hamil yang menderita stres
berat memiliki kemungkinan lebih besar anaknya menderita autisme.
Demikian diungkap oleh situs berita Satunet.
Para peneliti di Ohio mengatakan bahwa kehilangan harapan,
PHK, atau perjalanan jarak jauh dapat meningkatkan kemungkinan
tersebut. Stres kemungkinan mengubah bentuk perkembangan otak bayi.
Janin berusia 24 sampai 28 pekan tampaknya usia sangat rawan.
Studi tersebut dipimpin David Beversdorf, ilmuwan syaraf dari
RS Universitas Negeri Ohio. Ia melakukan penelitian terhadap 500 wanita
hamil yang memiliki pengalaman stres.
Tim tersebut menemukan 188 ibu dalam kelompok yang anak-
anaknya mengalami autisme ternyata pernah mengalami stres berat pada
usia kandungan 24 hingga 28 pekan ketimbang ibu-ibu yang memiliki
anak normal.
Tingkat stres selama kehamilan bagi ibu-ibu dengan anak-anak
penderita autisme mendekati dua kali ketimbang ibu-ibu lain. Hasil itu
11http://www.peduliautisme.org/Mainpage_Artikel2.htm as retrieved on Sep 26, 2004
00:43:54 GMT.
20
memperlihatkan, ungkap Beversdorf, tidak ada bukti autisme karena faktor
genetik.
Para peneliti sudah mengkaji komponen genetik penyakit
tersebut selama bertahun-tahun, tapi tidak ada bukti bahwa autisme
berkaitan dengan faktor luar, seperti stres sebelum hamil.12
Inilah keunikan dari kelainan penyandang autisme, karena
penyebabnya masih tanda tanya atau unpredictable, sehingga sudah
menjadi tanggung jawab bersama untuk saling membantu dan
berkonsultasi pada ahlinya jika ada anak kita yang mengalami hal tersebut.
B. Penanganan Autisme
1. Terapi dan Rehabilitasi Dini
Autisme masa kanak sebenarnya bukan penyakit baru di dunia.
Penyakit ini, yang lebih tepat disebut gangguan perkembangan pervasif,
sudah ditemukan sejak 1943. Hanya saja belum banyak masyarakat awam,
bahkan dokter, yang mengetahuinya karena orang tua atau dokter mengira
anak hanya mengalami keterlambatan perkembangan (terutama berbicara)
sementara saja.
Anggapan itu tentu saja membuat autisme yang diderita anak
semakin parah. Literatur menyatakan, 75 persen anak autisme yang tidak
tertangani, akhirnya menjadi tunagrahita. Saat ini jumlah penyandang
autisme terus meningkat. Diperkirakan, jumlah penyandang autisme 15-20
per 10.000,- kelahiran. Jadi dari kelahiran 4,6 juta bayi tiap tahun di
Indonesia, 9.200 dari mereka mungkin menyandang autisme. Autisme
infantil atau autisme masa kanak adalah gangguan perkembangan yang
muncul pertama kali pada anak-anak berusia enam bulan hingga tiga
tahun.
Menurut psikiater anak, baik yang tergabung dalam Yayasan
Autisme Indonesia yang berkedudukan di Jakarta maupun ahli psikiater
12http://www.glorianet.org/berita/b05078.html, 10 September 2005
21
anak di RSUD dr. Soetomo Surabaya-autisme dapat dikurangi
kelemahannya. "Walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, tetapi
penyandang autisme dapat dilatih melalui terapi, sehingga ia bisa tumbuh
normal seperti anak sehat lainnya," kata Dr. Rudy Sutadi, Wakil Ketua
Yayasan Autisma Indonesia. Bila sudah mendapatkan terapi penyandang
autisme dapat bersekolah di sekolah biasa. Bahkan, menurut Rudy, ada
penyandang autisme di Amerika yang bisa meraih gelar Ph.D. Di
Indonesia penyandang autisme sudah ada yang bersekolah di SMU biasa.
Walau mereka telah diterapi sehingga bisa bersekolah di sekolah umum,
kadangkala ciri autismenya masih muncul, seperti mengoleksi benda yang
tak lazirn, atau agak pendiam.
Menurut para psikiater, kunci keberhasilan penyembuhan autisme
adalah orangtua dan terapi tata laksana perilaku. Dyah Puspita, seorang ibu
yang mempunyai putra tunggal penyandang autisme juga mengakui bahwa
keberhasilan proses penyembuhan autisme sangat bergantung pada
orangtua dan terapi tata laksana perilaku. "Tidak cukup dan tidak akan
berhasil bila kita hanya bergantung pada ahli terapi saja. Orangtua juga
harus terjun. Kalau bisa 24 jam sehari. Kalau ahli terapi waktunya sangat
terbatas. Anak harus dilatih terus-menerus. Kedengarannya keji. Tetapi, ya
harus begitu itu," kata Dyah membagi pengalamannya.
Terapi yang dijalani anak harus terdiri dari medikamentosa
(pemberian obat), terapi wicara, terapi okupasi (motorik), terapi perilaku,
dan pendidikan khusus (satu guru satu murid). Menurut Dyah, metode
terapi yang paling efektif untuk anak autisme adalah terapi dengan metode
Lovaas. Metode Lovaas ini pula yang menuntut ikut sertanya orangtua
dalam melatih anak. Keikutsertaan orangtua menangani anak dapat
menjalin ikatan batin yang kuat antara si anak dengan orangtua. Bila sudah
ada ikatan batin anak akan semakin mudah mempelajari sesuatu.13
13http://www.google.com/search?q=cache:Z5bKwCx_YMMJ:lists.gnu.org/archive/html/
web-trans-coord-discuss/2004-11/msg00250.html+autisme+++dan+penanganan&hl=en&lr=lang_id, 20 September 2005
22
2. Metode Lovaas atau ABA
Metode Lovaas diperkenalkan pertama kali oleh Ivar Lovaas Ph.D.
Inti dari metode Lovaas ini sebenarnya bersumber pada modifikasi
perilaku (behavior modification) dan operant conditioning.
Perilaku atau behavior adalah semua tingkah laku atau tindakan
atau kelakuan seseorang yang dapat dilihat, didengar atau dirasakan oleh
orang lain atau diri sendiri. Timbulnya suatu perilaku selalau didahului
oleh suatu sebab atau antecedent. Kemudian suatu perilaku akan
memberikan suatu akibat atau consequence. Inilah yang disebut dengan
rumusan operant conditioning, yaitu:
Rumusan ini dapat menunjukkan bahwa suatu perilaku autisme
juga didahului oleh suatu penyebab. Apabila penyebab ini dapat
ditemukan dan dicegah, maka anak-anak tersebut tidak mempunyai
dorongan lagi untuk menampilkan perilaku-perilaku anehnya.
Di samping kaidah di atas, ada kaidah lain yang sejalan dalam tata
laksana terapi perilaku, yaitu respondent conditioning:
Artinya adalah suatu perilaku bila diberi reinforcement (imbalan
yang tepat) akan semakin sering dilakukan, dan sebaliknya bila suatu
perilaku tidak diberi imbalan maka perilaku tersebut akan terhenti.14
Prinsip dasar metode Lovaas adalah mengurangi perilaku yang
buruk atau berlebihan dengan cara memberikan feedback negatif (bisa
dengan kata "tidak", raut wajah kecewa, gelengan kepala, dll). Sementara
terhadap perilaku yang baik diberikan feedback positif, seperti kata
"bagus", hadiah, tepuk tangan, peluk cium, atau kata pujian lain. Pada
akhirnya perilaku yang baik akan menggantikan perbendaharaan perilaku
yang kurang pantas.
14Y. Handojo, Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar
AnakNormal, Autis dan Perilaku Lain, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 53
Antecedent Behavior Consequence
Perilaku + Imabalan Terus dilakukan
Perilaku - Imabalan Akan berhenti
23
Tata laksana perilaku menurut metode Lovaas adalah orangtua atau
terapis memberikan instruksi kepada anak. Bila anak langsung bisa
mengerjakan instruksi itu dia diberi imbalan. Jika tidak, ulangi kembali
instruksi itu. Bila sampai tiga kali anak masib belum bisa juga, orang tua
atau terapis harus memberikan bantuan. Misalnya, mengarahkan wajahnya
bila dipanggil. Begitu terus diulangi hingga anak mengerti bila dipanggil
dia harus melihat yang memanggil.
Tata laksana perilaku mempunyai teknik memecah perilaku atau
aktivitas yang kompleks menjadi bagian yang kecil-kecil. Bagian yang
kecil-kecil ini diajarkan sendiri-sendiri secara sistematik, terstruktur, dan
terukur. Untuk instruksi kompleks seperti, "Ambilkan baju cokelat di atas
meja, lalu lipat dengan baik, dan simpan di lemari," tentu tidak mungkin
dikerjakan anak. Apalagi bila ia belum menguasai konsep "ambil", "lipat",
dan "simpan". Selain itu, anak belum mengetahui konsep baju atau warna.
Para orangtua dan terapis harus mengajarkan satu per satu
pengetahuan itu, lalu digabungkan dalam rangkaian kecil-kecil.
Selanjutnya rangkaian-rangkaian kecil ini digabungkan menjadi satu
kesatuan yang kompleks. Cara pengajarannya antara orang tua dan terapis
harus sama. Ini untuk membantu anak lebih mudah mempelajarinya.
Pengajaran aktivitas baru dimulai dengan sistem satu guru satu
murid dalam satu ruangan yang bebas distraksi (pengalih perhatian).
Pengajaran dilakukan berulang-ulang sampai anak berespons sendiri tanpa
bantuan (prompt). Baik di rumah maupun di tempat terapi orang tua atau
terapis harus pula menyediakan gambar-gambar atau alat bantu lain yang
memudahkan anak belajar. Seperti untuk mengenalkan buah jeruk,
orangtua harus menyediakan buah jeruk dan gambar jeruk. Ini juga
membantu anak mengenal benda dengan dimensi yang berbeda.
Secara bertahap anak dibawa ke kelompok kecil, lalu ke kelompok
besar. Anak dicoba dimasukkan ke sekolah umum. Di kelas mulanya anak
didampingi oleh orang tua atau terapis (shadow), yang tugasnya
menjembatani instruksi dari guru ke anak, dan juga membantu respons
24
anak. Shadow mula-mula lekat dengan anak, secara bertahap jarak
semakin diperbesar bersamaan dengan semakin kurangnya intensitas dan
frekuensi prompt.
Setiap hari orangtua harus melakukan evaluasi terhadap apa yang
telah dicapai anak, sampai detail terkecil. Target perilaku yang bisa
dicapai anak harus ditetapkan secara realistis dan sesuai dengan
kemampuan anak. Jangan menargetkan terlalu tinggi, karena akhirnya
akan membuat anak frustrasi dan kecil hati.
Bila anak berhasil melakukan sesuatu tentu orangtua dan terapis
akan semakin termotivasi mengajarkan sesuatu yang lebih baru lagi. Anak
pun menjadi lebih senang beraktivitas, dan otomatis perilaku yang aneh
semakin berkurang, meski belum sepenuhnya menghilang.15
Dr Handoyo MPH, pendiri Yayasan Agca Centre, menjelaskan
terapi perilaku yang diterapkan di kliniknya menggunakan metode Lovaas
(Ivar Lovaas Ph.D). Handoyo yang putra bungsunya, Agil (kini 5 tahun)
mengidap autisme, terpacu untuk melakukan berbagai upaya
penyembuhan bagi anaknya. Agil sempat diupayakan di Yayasan Autisma
Asa Jakarta, lalu di Laboratorium Tumbuh-Kembang RS Kandang
Menjangan Jakarta.
Setelah membaca berbagai literatur dan metode mengenai autisme,
ia memutuskan melatih sendiri putranya dengan metode Lovaas, karena
terbukti efektif. Metode ini menuntut ketelatenan dan kesabaran terapis
(pelatih). Sistemnya one on one, bahkan untuk terapi pertama dibutuhkan
tiga pelatih untuk satu pasien. Selain itu diperlukan alat-alat peraga khusus
yang harus diciptakan dan dibuat sendiri.
Tahapan pertama pelatihan meliputi latihan kepatuhan serta kontak
mata. Kemudian disusul melatih inisiatif, kemampuan bahasa (kognitif)
atau berbicara. Lalu latihan kemampuan ekpresif, latihan kemampuan
yang disebut preakademik seperti menyangkut konsep warna, bentuk,
15http://www.google.com/search?q=cache:Z5bKwCx_YMMJ:lists.gnu.org/archive/html/web-trans-coord-discuss/2004-11/msg00250.html+autisme+++dan+penanganan&hl=en&lr=lang_id, 20 September 2005
25
angka, waktu. Dan terakhir melatih kemampuan bercerita (memory
recalling).
Tidak ada ukuran, berapa lama seorang anak autis harus menjalani
terapi perilaku, mengingat perbedaan kondisi masing-masing. "Terapi
terhadap penyandang autisme bisa dikatakan seumur hidup," tuturnya.
Seorang anak autis yang mengikuti terapi itu di Surabaya sekarang
bisa bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK) untuk anak biasa. Tetapi ia
harus tetap didampingi oleh orangtuanya, atau sistem shadowing.
Begitupun di waktu senggang, ia harus menjalani terapi termasuk oleh
orangtuanya.
Istilah "sembuh" bagi seorang autis adalah bila ia sudah mandiri,
bisa melakukan sesuatu (pekerjaan) sendiri. Pada kondisi autisme tertentu,
bila "tembok" (gangguan) di otak berhasil digempur, ia akan berlaku
seperti orang normal. Silakan heran, bila ada seorang penyandang autis
berhasil meraih gelar doktor (Ph. D) di UCLA, Amerika Serikat!16
3. Terapi Okupasi dan Wicara
Terapi Okupasi yaitu dengan melatih gerakan motorik otot-
ototnya, misalnya dengan melepas baju, atau menaruh tas. Misal Ibu Ana
melatih anaknya membuat minuman sendiri, yaitu membuka bungkus
minuman, lalu mengaduknya, walaupun Ana belum bisa mengambil
sendiri jenis minuman tersebut.
Terapi Wicara, yaitu pemberian stimulus tertentu yang
mendorong anak untuk berbicara. Contohnya Ana yang tiap kali pulang
dan masuk rumah selalu berkata “Mami, saya sudah pulang”, tidak peduli
ada atau tidak ibunya di tempat itu.17
16http://members.fortunecity.com/keluargaorg/autisme.html, 21 Oktober 2004 17http://kenz.web.ugm.ac.id/151280/index.php?octaveerkat=psikologi&octaveergil=1, 12
Pebruari 2004
26
4. Metode lainnya
Umumnya terapi–terapi yang digunakan disesuaikan dengan
tingkat keparahan gejalanya, beberapa jenis terapi yang biasa diberikan
pada penderita autisme yaitu:
1) Terapi obat-obatan, yaitu dengan memberikan obat yang menurunkan
hiperaktifitas, sterootipik, menarik diri, kegelisahan, dan afek yang
labil. Contohnya dalam kasus Simon, ketika ia berontak dengan hebat
maka ia diberi obat penenang di rumah sakit.
2) Terapi edukasi, dengan memberinya pendidikan kognitif secara
sederhana dan praktis seperti membaca, menulis atau mengenalkan
benda tertentu, contoh Simon diberi kumpulan kartu yang berisi
gambar dan nama–nama orang disekitarnya, serta hal-hal yang perlu
diperhatikan, misalnya gambar oven dengan tulisan hati- hati ini panas
atau jangan bicara dengan orang asing.
3) Terapi makanan, yaitu dengan memberikan gizi yang cukup pada
makanan-nya agar perkembangan sel tubuh tidak terganggu.18
Dari berbagai metode dalam penyembuhan atau rehabilitasi
terhadap penyandang autis, sampai saat ini memang belum ada yang
mengklaim bahwa metode inilah yang dapat menjamin akan kesembuhan
penderita autis.
Secara kongkrit program rehabilitasi mental anak autis
berpedoman kurikulum yang mermpunyai tiga tahap, yaitu:
A. Pedoman kurikulum awal, yang meliputi:
1. Kemampuan mengikuti tugas atau pelajaran
a). Duduk mandiri di kursi
b). Kontak mata saat dipanggil namanya
c). Kontak mata ketika diberi perintah “lihat ke sini”
d). Berespons terhadap instruksi “tangan ke bawah”.
18Loc. Cit.
27
2. Kemampuan imitasi (meniru)
a). Imitasi gerakan motorik kasar
b). Imitasi tindakan (aksi) terhadap benda
c). Imitasi gerakan motorik halus
d). Imitasi gerakan motorik mulut.
3. Kemampuan bahasa reseptif
a). Melakukan perintah sederhana (satu tahap)
b). Identifikasi bagian-bagian tubuh
c). Identifikasi benda-benda
d). Identifikasi gambar-gambar
e). Identifkasi orang-orang dekat (familier) atau anggota keluarga
f). Melakukan perintah kata kerja
g). Identifikasi kata-kata kerja pada gambar
h). Identifikasi benda-benda di lingkungan
i). Menunjuk gambar-gambar dalam buku
j). Identifikasi benda-benda menurut fungsinya
k). Identifikasi kepemilikan
l). Identifikasi suara-suara di lingkungan.
4. Kemampuan bahasa ekspresif
a). Menunjuk sesuatu yang diingini sebagai respons dari “mau
apa?”
b). Menunjuk secara spontan benda-benda yang diingini
c). Imitasi suara dan kata
d). Menyebutkan (melabel) benda-benda
e). Menyebutkan (melabel) gambar-gambar
f). Mengatakan (secara verbal) benda-benda yang diinginkan
g). Menyatakan atau dengan isyarat “ya” dan “tidak” untuk sesuatu
yang disukai (diingini) dan yang tidak disukai (tidak diingini)
h). Menyebutkan (melabel) orang-orang dekat (familier) atau
anggota keluarga
i). Membuat pilihan
28
j). Saling menyapa
k). Menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial
l). Menyebutkan (melabel) kata kerja di gambar orang lain, dan
diri sendiri
m). Menyebutkan (melabel) benda sesuai fungsinya
n). Menyebutkan (melabel) kepemelikan.
5. Kemampuan pre akademik
a). Mencocokkan
1. Benda-benda yang identik
2. Gambar-gambar yang identik
3. Benda dengan gambar
4. Warna, bentuk, huruf, angka
5. Benda-benda yang non-identik
6. Asosiasi (hubungan) antara berbagai benda
b). Menyelesaikan aktifitas sederhana secara mandiri
c). Identifikasi warna-warna
d). Identifikasi berbagai bentuk
e). Identifikasi huruf-huruf
f). Identifikasi angka-angka
g). Menyebut (menghafal) angka 1 sampai 10
h). Menghitung benda-benda.
6. Kemampuan bantu diri
a). Minum dari gelas
b). Makan dengan menggunakan sendok dan garpu
c). Melepas sepatu
d). Melepas kaos kaki
e). Melepas celana
f). Melepas baju
g). Menggunakan serbet atau tissue
h). Toilet training untuk buang air kecil
29
B. Pedoman kurikulum menengah, yang meliputi:
1. Kemampuan mengikuti tugas atau pelajaran
a). Mempertahankan kontak mata selama 5 detik saat dipanggil
namanya “abdul”
b). Menimbulkan kontak mata saat dipanggil namanya ketika
bermain
c). Menimbulkan kontak mata saat dipanggil namanya dari
kejauhan
d). Bertanya “apa ?“, “ya” ketika namnya dipanggil
2. Kemampuan imitasi (meniru)
a). Meniru gerakan motorik kasar dengan posisi berdiri
b). Meniru gerakan-gerakan motorik kasar secara berurutan
c). Meniru aksi-aksi berturutan dengan berbagai benda
d). Meniru aksi-aksi bersamaan dengan kata-kata
e). Meniru pola-pola (formasi atau susunan) balok
f). Menyalin gambar-gambar sederhana.
3. Kemampuan bahasa reseptif
a). Identifikasi kamar-kamar (ruangan)
b). Identifikasi emosi
c). Identifikasi tempat-tempat
d). Melakukan perintah dua tahap
e). Memberi dua benda
f). Menemukan benda-benda yang tak terlihat
g). Identifikasi atribut (kata sifat)
h). Identifkasi petugas-petugas di masyarakat
i). Berpura-pura
j). Identifikasi kategori (kelompok)
k). Identifikasi kata ganti
l). Melakukan instruksi dengan kaa depan
m). Identifikasi benda yang terlihat ketika diberikan gambaran atau
rinciannya
30
n). Menempatkan kartu-kartu sesuai urutannya
o). Identifikasi jenis kelamin
p). Identifikasi barang yang tidak nampak
q). Menjawab pertanyaan (apa, siapa, kenapa, di mana, kapan)
mengenal benda digambar
r). Menjawab ya atau tidak sebagai jawaban atas pertanyaan
mengenai benda dan perbuatan
s). Menyebutkan obyek (benda) dengan meraba.
4. Kemampuan bahasa ekspresif
a). Imitasi ungkapan dua atau tiga kata
b). Meminta benda yang diingini dengan menggunakan kalimat
sebagai jawaban: “mau apa ?”
c). Meminta benda yang diingini secara spontan dengan
menggunakan kalimat
d). Memanggil orang tua dari kejauhan
e). Menyebutkan nama benda berdasarkan fungsi
f). Menyebutkan fungsi dari benda
g). Menyebutkan nama serta menunjukkan bagian tubuh sesuai
fungsinya
h). Menyebutkan fungsi bagian-bagian tubuh
i). Menyebutkan nama tempat-tempat
j). Menyebutkan emosi
k). Menyebutkan kategori
l). Menggunakan kalimat sederhana
m). Saling berbalasan informasi
n). Menyatakan “saya tidak tahu” jika diminta untuk menyebutkan
nama benda yang tidak dikena;l
o). Menanyakan pertanyaan: “apa itu”
p). Menyebutkan kata depan
q). Menyebutkan kata ganti
r). Menjawab pertanyaan pengetahuan umum
31
s). Menyebutkan sesuai jenis
t). Menceritakan gambar dalam kalimat
u). Menceritakan benda-benda yang terlihat menggunakan atribut
(kata sifat)
v). Menceritakan kembali apa yang baru saja dikerjakan
w). Menjawab pertanyaan “di mana”
x). Menyebutkan nama benda-benda yang ada di kamar-kamar
(ruangan)
5. Kemampuan pre akademik
a). Mencocokkan benda-benda dari ketegori yang sama
b). Memberikan sejumlah tertentu dari benda-benda
c). Mencocokkan nomor dengan jumlah
d). Mencocokkan huruf besar dengan huruf kecil
e). Mencocokkan kata-kata yang sama
f). Identifikasi lebih dengan kurang
g). Mengurutkan angka atau huruf
h). Menyelesaikan lembar kerja sederhana
i). Menyalin huruf dan angka
j). Identifikasi nama yang tertulis
k). Menggambar sederhana
l). Menulis nama
m). Merekatkan atau me-lem
n). Mengunting
o). Mewarnai dalam suatu batas atau tepi
6. Kemampuan bantu diri
a). Memakai celana
b). Memakai baju
c). Memakai jas atau mantel atau jaket
d). Memakai sepatu
e). Memakai kaos kaki
f). Mencuci tangan
32
g). Toilet training untuk buang air besar
h). Inisiatif sendiri untuk ke kamar mandi.
C. Pedoman kurikulum lanjut, yang meliputi:
1. Kemampuan mengikuti tugas atau pelajaran
a). Melakukan kontak mata saat percakapan
b). Melakukan kontak mata saat instruksi kelompok
2. Kemampuan imitasi (meniru)
a). Imitasi aktifitas kompleks berurutan
b). Imitasi anak sebaya bermain
c). Imitasi respons verbal (lisan) anak sebaya
3. Kemampuan bahasa reseptif
a). Melakukan perintah tiga tahap
b). Melakukan instruksi kompleks dari kejauhan
c). Menyebutkan nama orang, tempat, atau benda saat diberikan
gambaran atau rinciannya
d). Menyebutkan nama benda ketika diperlihatkan sebagian
e). Identifikasi benda-benda yang sama
f). Identifikasi benda-benda yang berbeda
g). Identifikasi benda yang tidak termasuk dalam kelompok atribut
h). Identifikasi tunggal dan jamak
i). Menjawab pertanyaan apa, mengapa, kenapa, dimana, kapan,
siapa mengenai cerita pendek
j). Menjawab pertanyaan menyenai suatu topik
k). Melakukan instruksi “tanya…” atau “katakan atau bilang
ke…”
l). Menemukan benda yang tersembunyi saat diberikan gambaran
atau rincian lokasinya
m). Membedakan kapan saat bertanya dan kapan saat memberikan
informasi berbalasan (membalas informasi)
33
4. Kemampuan bahasa ekspresif
a). Menyatakan “saya tidak tahu” terhadap pertanyaan yang tidak
familier
b). Menyebutkan nama kategori suatu benda
c). Menyebutkan nama benda-benda pada suatu kategori
d). Menceritakan kembali suatu cerita
e). Memberikan gambaran atau rincian suatu benda yang tidak
terlihat dengan atribut-atributmua
f). Mengingat kembali kejadian-kejadian lampau
g). Memberikan gambaran berbagai topik
h). Bercerita
i). Menyatakan kebingunan atau ketidaktahuan
j). Menggunakan kata ganti kepemilikan lanjut
k). Menggunakan kata kerja dengan benar
l). Bertanya kemudian meneruskan informasi tersebut
m). Mendengarkan percakapan dan menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan percakapan
n). Menyatakan pengetahuannya
o). Menjawab pertanyaan-pertanyaan pengetahuan lanjut
p). Menerangkan rincian bagaimana cara mengerjakan sesuatu
q). Memperinci kesamaan dan perbedaan antar berbagai benda
r). Menjawab pertanyaan “…yang mana….”
s). Menanya pertanyaan apa, mengapa, kenapa, dimana, kapan,
siapa, ketika diberikan informasi yang tidak jelas.
5. Bahasa abstrak
a). Menjawab pertanyaan “mengapa atau kenapa”
b). Menjawab pertanyaan “jika atau kalau atau bila”
c). Melengkapi kalimat dengan logis (masuk akal)
d). Memperinci kesalahan pada gambar
e). Menjawab ya atau tidak (informasi nyata)
34
f). Menerangkan apa yang akan atau mungkin terjadi kemudian
atau berikutnya atau setelahnya
g). Menduga apa yang dipikirkan seseorang
h). Memberi penjelasan
i). Memisahkan suatu benda berdasarkan atribut dan kategorinya
j). Mengidentifikasi topik utama pada cerita dan percakapan.
6. Kemampuan akademik
a). Mendefinisikan orang, tempat, dan benda
b). Melengkapi suatu pola
c). Menyamakan kata tertulis dengan benda dan sebaliknya
d). Membaca kata-kata yang umum
e). Menyebutkan huruf-huruf
f). Menyebutkan kata yang diawali suatu huruf
g). Mengucapkan konsonan di awal, tengah, akhir
h). Mengeja kata-kata sederhana
i). Menjelaskan arti suatu kata
j). Identifikasi sinonim sederhan
k). Identifikasi hubungan-hubungan sementara
l). Identifikasi bilangan ordinal (bertingkat)
m). Identifikasi kata-kata yang berpantun atau bersajak
n). Menulis kata-kata sederhana dari ingatan
o). Menjumlahkan angka-angka satuan.
7. Kemampuan sosial
a). Meniru aksi anak sebaya
b). Melakukan instruksi dari anak sebaya
c). Menjawab pertanyaan-pertanyaan anak sebaya
d). Berespons pada ajakan main anak sebaya
e). Bermain permainan pada papan dengan anak sebaya
f). Mengajak main teman
35
g). Berbalasan informasi dengan anak sebaya
h). Berkomentar pada teman main sebaya saat bermain
i). Meminta bantuan pada teman sebaya
j). Menawarkan bantuan pada teman sebaya.
8. Kesiapan sekolah
a). Menunggu giliran
b). Memperlihatkan respons-respons baru sepanjang observasi
c). Melakukan instruksi dalam suatu kelompok
d). Berbalasan informasi sosial pada suatu kelompok
e). Menyanyikan lagu-lagu bualan pada suatu kelompok
f). Menjawab saat dipanggil
g). Mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan
h). Mendengarkan cerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang cerita tersebut
i). Mendemonstrasikan dan menceritakan.
9. Kemampuan bantu diri
a). Menggosok gigi
b). Menutup ritsluiting
c). Mengancing
d). Memasang kancing jepret19
Kurikulum di atas sudah digunakan di Yayasan Autisma
Indonesia sebagai metode pelaksanaan penanganan autisme, sehingga
diharapkan kurikulum tersebut juga dapat digunakan dalam penanganan
autisme dan bahan evaluasi terhadap keberhasilan metode di atas di
Yayasan Autisma Semarang.
19 Rudi Sutadi, Program Kurikulum di YAI, Jakarta, 1997