52
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Kolestasis terjadi karena kegagalan formasi biliaris dan atau aliran empedu yang menyebabkan lemah, gatal- gatal dan gejala klinis yang paling sering terjadi, yaitu ikterik. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan 3

Bab II Edit

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab II Edit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam

jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral

hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Kolestasis

terjadi karena kegagalan formasi biliaris dan atau aliran empedu yang

menyebabkan lemah, gatal-gatal dan gejala klinis yang paling sering terjadi,

yaitu ikterik. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan

disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Dari segi klinis didefinisikan

sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin,

asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-

anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati

dan sistem bilier.1,4

B. Epidemiologi

Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden

hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,

defisiensi α-1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan

3

Page 2: Bab II Edit

anak laki-laki adalah 2:1, sedangkan pada hepatitis neonatal rasionya terbalik,

dimana anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan.1

Di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

selama periode Januari 1992 sampai November 1993 tercatat 34 kasus kolestasis,

terdiri dari 26 kasus atau 76,5% kasus kolestasis intrahepatik dan 8 kasus atau

23,5% kasus kolestasis ekstrahepatik. Berdasarkan jenis kelamin terdapat 22

kasus atau 64,7% kasus pada laki-laki dan 12 kasus atau 35,2% kasus

perempuan. Dari segi usia, usia kurang dari 3 bulan sebanyak 28 kasus atau

mencapai 82,4%. Usia 3-6 bulan sebanyak 4 kasus atau 11,8% dan usia lebih dari

6 bulan sebanyak 2 kasus atau 5,8%.5

Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun

1999-2004 dari 19.270 pasien rawat inap, didapatkan 96 penderita dengan

kolestasis neonatal. Dari 96 anak tersebut, 68 diantaranya karena neonatal

hepatitis (70,8%), 9 anak karena atresia bilier (9,4%), 5 anak karena kista duktus

koledokus (5,2%), 1 anak karena kista hepar (1,04%), dan 1 anak karena

inspissated-bile syndrome (1,04%).6

Penelitian Bachtiar dkk pada bulan Februari-Juni 2007 di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta mendapatkan angka kejadian kolestasis intrahepatik

pada pasien sepsis neonatorum sebesar 65,9% dari 138 subjek. Angka kematian

sepsis neonatorum dengan kolestasis intrahepatik mencapai 52,8%. Penyebab

mikrobial terbanyak adalah bakteri gram negatif (82,6%) dengan dominasi

4

Page 3: Bab II Edit

Acinetobacter calcoaceticus (41,3%) diikuti oleh Enterobacter aerogenes

(15,9%) dan Klebsiella pneumoniae (10,9%).7

C. Klasifikasi

Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Kolestasis Ekstrahepatik

Secara umum kelainan ini disebabkan oleh lesi kongenital atau didapat.

Kolestasis ekstrahepatik merupakan kelainan nekroinflamatori yang

menyebabkan kerusakan dan akhirnya terjadi pembuntuan saluran empedu

ekstrahepatik, yang kemudian diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.

Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi

virus terutama CMV10 dan Reovirus tipe 3, asam empedu yang toksik,

iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir

dengan berat badan lahir, aktivitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat

setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan

kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler.

Pada pemeriksaan ultrasonografi terlihat kandung empedu kecil dan atretik

disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran

empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang

normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu

ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresia

biliaris.1

5

Page 4: Bab II Edit

Atresia biliaris merupakan kelainan penyebab kolestasis paling sering

pada bayi, dengan angka kejadian sekitar 1:8000 kelahiran hidup di Asia dan

1:18000 kelahiran hidup di Eropa dengan predominasi oleh bayi perempuan.

Etiologi atresia biliaris sampai sekarang masih belum diketahui. Kelainan ini

ditandai oleh obliterasi fibrosis total lumen dari semua atau sebagian cabang

traktus biliaris ekstrahepatik dalam 3 bulan pertama kehidupan. Gambaran

histopatologis atresia biliaris juga dapat berupa kerusakan inflamatori pada

duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan sklerosis dan

penyempitan cabang traktus biliaris. Apabila tidak ditangani, kelainan ini

dapat menimbulkan sirosis hepatis dan kematian dalam tahun pertama

kehidupan.8,9

Trias manifestasi klinis atresia biliaris adalah ikterik (hiperbilirubinemia

terkonyugasi yang bertahan selama lebih dari 2 minggu kehidupan), tinja

akholis dan urin yang berwarna gelap, serta hepatomegali. Keadaan umum

anak biasanya baik. Tidak ada kegagalan pertumbuhan, setidaknya dalam

bulan pertama kehidupan. Selanjutnya mulai terjadi penurunan berat badan

dan iritabilitas, yang idsertai dengan peningkatan ikterik. Manifestasi klinis

lainnya seperti splenomegali, asites, dan perdarahan karena gangguan absorpsi

vitamin K.9

Setiap ikterik pada bayi yang bertahan selama 2 minggu atau lebih harus

diselidiki dan atresia biliaris harus dicurigai terlebih dahulu. Diagnosis dapat

ditegakkan melalui manifestasi klinis yang didukung oleh pemeriksaan

6

Page 5: Bab II Edit

penunjang berupa ultrasonografi (USG), kolangiografi, biopsi hepar,

skintigrafi hepatobilier, dan pemeriksaan biokimiawi fungsi hepar. Rumah

Sakit Universitas Nasional Taiwan berhasil mengembangkan metode skrining

yang sederhana dan efektif untuk diagnosis dan intervensi dini dari atresia

biliaris dengan menggunakan kartu warna tinja anak. Kartu warna tinja anak

ini mempunyai sensitivitas sebesar 89,7%, spesifisitas 99,9%, nilai prediksi

positif 28,6%, dan nilai prediksi negatif sebesar 99,9% pada bayi usia kurang

dari 60 hari.9,10

Gambar 1. Kartu warna tinja11

Gambaran histopatologis ditemukan adanya traktus portalis yang

edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya

trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif

7

Page 6: Bab II Edit

dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier

sebelum dilakukan operasi Kasai.1

Operasi Kasai merupakan terapi operatif sementara sebelum dilakukan

transplantasi hepar. Menurut penelitian Ohkochi dkk, 90% dari 92 anak

setelah menjalani portoenterostomi tidak mengalami ikterik dan mampu

bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun, sementara 70% dari 39 anak

dengan ikterik persisten setelah mengalami operasi meninggal dalam 6 bulan.

Mereka menekankan hanya bilirubin total yang berguna sebagai marker

terpercaya untuk kegagalan hepar pada tahap akhir atresia biliaris.12

Transplantasi hepar yang paling umum adalah prosedur orthotopic liver

transplantation (OLT), dimana bagian hepar yang rusak dibuang dan

digantikan dengan bagian yang baru (dikenal sebagai allograf), biasanya dari

donor yang baru saja meninggal, dan pembuluh darah besar serta duktus

biliaris dihubungkan ke organ yang baru.13

Ilustrasi transplantasi hepar ortotopik dapat dilihat pada gambar di

bawah ini.13

Gambar 2. Transplantasi Hepar Ortotopik14

8

Page 7: Bab II Edit

Transplantasi donor hidup merupakan alternatif lain dimana hepar yang

digunakan berasal dari donor yang masih hidup, biasanya dari seorang

keluarga (meskipun hepar tidak memerlukan kecocokan genetik yang sangat

dekat seperti pada organ lainnya). Prosedur ini kini mulai ditinggalkan karena

risiko komplikasinya, termasuk kematian untuk donor.13

Inhibitor kalsineurin, entah siklosporin atau takrolimus, menjadi pilihan

dalam terapi imunosupresi paska transplantasi hepar. Azatioprin atau

mikofenolat mofetil digunakan untuk meningkatkan efek imunosupresi, agen

pengganti steroid, atau agen pengganti inhibitor kalsineurin pada apabila

terdapat nefrotoksisitas. Efek samping inhibitor kalsineurin termasuk

gangguan fungsi ginjal, hipertensi sistemik, neurotoksisitas, hiperplasia gusi,

hirsutisme, dan toksisitas gastrointestinal. Imunosupresi yang berlebihan

dapat menimbulkan infeksi sitomegalovirus, penyakit limfoproliferatif karena

9

Page 8: Bab II Edit

infeksi virus Epstein-Barr, gagal ginjal, dan dalam jangka panjang, kanker

kulit.14

Pada atresia biliaris apabila intervensi bedah dilakukan dalam waktu

kurang dari 8 minggu (2 bulan) maka angka keberhasilannya adalah 86%,

sedangkan pembedahan yang dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu angka

keberhasilannya hanya 36% dan semakin menurun menjadi 20% apabila

pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 12 minggu. Tanpa intervensi

bedah, rata-rata usia kematian adalah 12 bulan.5

Tingkat keberhasilan transplantasi hepar di Eropa tergolong tinggi,

dengan survival rate 80% untuk 1 tahun pertama, 70% untuk 5 tahun, dan

62% untuk 10 tahun. Persentase ini makin meningkat tiap tahunnya, mencapai

83% untuk 1 tahun pada tahun 2001 dibandingkan dengan 76% pada tahun

1990 sampai 1994 dan hanya 35% pada tahun-tahun sebelum tahun 1985. Saat

ini, persentase ini mencapai 90% untuk 1 tahun paska operasi dan 85% untuk

3 tahun paska operasi.15,16

Sebuah studi observasional di University of Malaya Medical Centre,

Malaysia dari November 1996 sampai dengan Mei 2004 menunjukkan dari

146 pasien yang tercatat, penyebab terbanyak kolestasis neonatal adalah

atresia biliaris (29%) dan hepatitis neonatal idiopatik (38%). Dari 39 pasien

(27%) yang meninggal, 35 di antaranya mengalami end-stage liver disease.

Tiga dari 4 pasien (3 orang menderita atresia biliaris, 1 orang menderita

progressive familial intrahepatic cholestasis [PFIC]) yang menjalani

10

Page 9: Bab II Edit

transplantasi hepar dari living donor meninggal setelah operasi. Enam orang

dari 107 pasien yang bertahan hidup akhirnya mengalami sirosis hepatis.17

2. Kolestasis Intrahepatik

Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah

sindrom klinik yang timbul akibat hambatan ekskresi dan/atau aliran empedu

yang terjadi di dalam hepar. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi,

serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti

bilirubin, asam empedu, serta kolesterol ke dalam plasma dan selanjutnya

pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di

dalam hepatosit dan sistem biliaris di dalam hepar. Penumpukan bahan yang

harus diekskresikan oleh hepar tersebut akan merusak hepatosit dengan

berbagai tingkatan gejala klinis yang mungkin terjadi serta pengaruhnya

terhadap organ sistemik lainnya bergantung pada lamanya kolestasis

berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab

kolestasis tersebut.4

Kolestasis intrahepatik disebabkan oleh defek fungsional pada

hepatoseluler atau adanya lesi obstruktif traktus biliaris intrahepatik bagian

distal dari kanalikuli bilier. Kolestasis juga berhubungan dengan mekanisme

penyakit seperti limfoma. Dikatakan kolestasis kronik jika terjadi lebih dari 6

bulan. Sebagian besar dari kolestasis kronik bersifat murni intrahepatik.2

Tabel berikut menunjukkan faktor predisposisi terhadap kolestasis

intrahepatik.4

11

Page 10: Bab II Edit

Tabel 1. Faktor Predisposisi Terhadap Kolestasis Intrahepatik4

Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi

Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien

Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit

Adanya asam empedu abnormal

Ukuran bile acid pool kecil

Sekresi asam empedu kurang

Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah

Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit

Kolestasis intrahepatik biasanya disebabkan oleh karena kelainan pada

saluran empedu dan kelainan pada hepatosit.1

a. Saluran Empedu

Kelainan akibat saluran empedu digolongkan menjadi 2 bentuk, yaitu

pausitas saluran empedu dan disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara

embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari

saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat

mengenai saluran intrahepatik saja atau hanya saluran ekstrahepatik saja.

Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis

kongenital tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Di lain pihak, kelainan yang

disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, dan Caroli’s

12

Page 11: Bab II Edit

disease mengenai kedua saluran tersebut. Karena kelainan primer ini tidak

menyerang sel hati, maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi

hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas

normal. Alkali fosfatase serum dan GGT akan meningkat. Apabila proses

berlanjut terus menerus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat

timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi

portal. 1

Pausitas saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan

dibandingkan dengan disgenesis saluran empedu pada masa neonatus.

Pausitas saluran empedu intrahepatik dibagi lagi menjadi sindromik dan

nonsindromik berdasarkan keikutsertaan organ lainnya. Dinamakan pausitas

saluran empedu apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per traktus portalis.1

Contoh dari pausitas saluran empedu sindromik adalah sindrom

Alagille, suatu kelainan autosomal dominan yang disebabkan

haploinsufisiensi pada gen JAGGED 1 yang muncul kira-kira 1 dalam 70.000

kelahiran. Sindrom ini paling sering ditemukan bersamaan dengan hipoplasia

duktus biliaris intrahepatik. Kelainan organ yang sering menyertai sindrom ini

adalah kelainan okuler (embriotokson posterior), kelainan kardiovaskuler

(stenosis pulmonal perifer, kadang tetralogy of Fallot), defek arkus vertebra,

nefropati tubulointerstisial, dan wajah yang spesifik (facies triangularis, yaitu

frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit).1,18,19

13

Page 12: Bab II Edit

Penyakit Byler adalah bentuk kolestasis intrahepatik progresif familial

yang jarang terjadi, ditandai dengan kelainan struktur unik pada membran

kanalikuler biliaris. Penderita biasanya mengalami gagal tumbuh (failure to

thrive), steatore, pruritus, dan rakitis. Dalam waktu yang lama akan terjadi

sirosis hepatis pada penderita penyakit ini.18

Sindrom Aagenaes adalah bentuk kolestasis intrahepatik familial

idiopatik, bersifat kambuhan yang disertai oleh limfoedema ekstremitas

inferior. Limfoedema ini juga bisa terdapat di tangan, skrotum, dan jaringan

lunak periorbital. Pada beberapa kasus dapat terjadi sirosis hepatis, bahkan

kematian pada usia dini. Sirosis hepatis juga bisa berkembang pada saat

pasien sudah dewasa.18,20

Sindrom Zellweger adalah gangguan genetik resesif autosomal yang

jarang terjadi dan biasanya mematikan dalam waktu 6-12 bulan. Sindrom ini

ditandai dengan abnormalitas yang sangat beragam termasuk diantaranya

penyakit pada hepar dimana tidak ditemukannya peroksisom, sistem saraf

berupa retardasi psikomotorik, dan kista korteks ginjal. Penderita biasanya

memiliki abnormalitas kraniofasial yang khas berupa fontanela yang lebar,

dahi yang menonjol, lubang hidung yang menghadap ke depan, dan bibir atas

yang sempit.18,19

Pausitas saluran empedu nonsindromik berlawanan dengan tipe

sindromik, dimana tidak ditemukan adanya kelainan pada organ lain yang

menyertai gangguan pada saluran empedu. Contoh pausitas saluran empedu

14

Page 13: Bab II Edit

nonsindromik adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindrom hiper IgM, dan

sindrom imunodefisiensi spesifik yang menyebabkan kerusakan pada saluran

empedu.1

b. Kelainan Hepatosit

Kelainan primer pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan

dan aliran empedu. Hepatosit pada neonatus mempunyai cadangan asam

empedu yang sedikit, fungsi transport yang masih prematur, dan kemampuan

sintesis asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi

karena virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab utama. Salah satu

contoh adalah pada sepsis, dimana kolestasis terjadi akibat respon dari

hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan oleh mediator-mediator

proinflamasi.1,21

Hepatitis neonatal adalah deskripsi variatif yang luas dari gangguan

hepar neonatal, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan baik oleh

kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intrauterin. Hampir

seluruhnya mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya

bentukan sel raksasa berinti banyak dengan gangguan lobuler dan serbukan

sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli.

Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosis akhir,

hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik

spesifik tidak dapat ditemukan.1

15

Page 14: Bab II Edit

Kolestasis dapat juga dibagi dalam dua kelompok berdasarkan pola

histologik, yaitu kolestasis akut dan kolestasis kronik.22

1. Kolestasis akut

a. Kolestasis klasik. Karakteristik tipe ini dapat dilihat pada obstruksi duktus

biliaris besar, termasuk didalamnya duktus biliaris ekstrahepatik dan

duktus perihilar. Tipe ini memiliki pola yang terdiri dari kolestasis

parenkimal ditambah dengan trias perubahan traktus portalis, yaitu edema,

proliferasi struktur duktuli empedu, dan infiltrat neutrofil.

b. Kolestasis murni. Pada tipe ini ditemukan kolestasis sentrilobular di dalam

hepatosit dan kanalikuli empedu yang dominan, tanpa kelainan traktus

portalis yang signifikan. Tipe ini sering ditemukan pada kolestasis

intrahepatik karena sepsis, toksisitas obat, gangguan aliran empedu

fungsional karena iskemia, dan mutasi protein pengangkut garam empedu

perikanalikuler.

c. Penyakit duktus biliaris intrahepatik. Contoh tipe ini adalah sirosis biliaris

primer, karena sel imun (limfosit, sel plasma, eosinofil) menyerang duktus

biliaris interlobular dan septal sehingga terjadi apoptosis epitelial,

vakuolisasi dan degenerasi dengan stratifikasi reaktif.

d. Hepatitis dengan kolestasis. Pada tipe ini, biasanya dikenali karena adanya

perubahan dari parenkim hepar dan peradangan traktus portalis.

2. Kolestasis Kronik

16

Page 15: Bab II Edit

a. Klasik portal/fibrotik periportal. Penyebab utama dari obstruksi duktus

biliaris kronik adalah perluasan traktus portalis karena proses fibrosis.

Contoh dari tipe ini adalah obstruksi duktus biliaris yang terdapat pada

karsinoma pankreas, striktur biliaris, dan atresia biliaris ekstrahepatik.

b. Fibrosis periduktus. Pada pola ini, epitel duktus biliaris mengalami distrofi,

dengan komposisi duktus yang lebih sederhana karena kuantitas sel yang

lebih sedikit daripada duktus normal dan dismorfisme sel individual.

c. Tipe atipikal. Tipe ini memiliki karakteristik hilangnya duktus biliaris dari

berbagai traktus portalis dengan atau tanpa reaksi duktular dan fibrosis

yang menggambarkan pola tipe 1.

D. Etiologi

Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik,

endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis. Biasanya dalam klinik,

sukar untuk membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis atau sindrom

hepatitis neonatal sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dimasukkan ke

dalam golongan idiopatik. Penderita idiopatik ini makin berkurang dengan

kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang

canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya sitomegalovirus dan infeksi traktus

urinarius merupakan penyebab yang paling sering.4

Berikut ini adalah beberapa penyebab tersering kolestasis pada anak:23,24

17

Page 16: Bab II Edit

- Kolestasis obstruktif

Atresia biliaris Inspissated-bile syndrome

Kista koledokus Fibrosis kistik

Batu empedu Sklerosing kolangitis neonatal

Sindrom Alagille Penyakit Caroli

Stenosis biliaris Perforasi spontan duktus biliaris

Massa

- Kolestasis hepatoselular

Hepatitis neonatal idiopatik

Infeksi virus: HIV, sitomegalovirus

Infeksi bakteri: infeksi traktus urinarius, sifilis, sepsis

Kelainan metabolik turunan yang mencakup berbagai jenis, di

antaranya: defisiensi α1-antitripsin, hipotiroidisme, galaktosemia,

tirosinemia, PFIC (progressive familial intrahepatic cholestasis),

panhipopituarisme

Toksik: kolestasis yang berhubungan dengan nutrisi parenteral

Kista koledokus adalah suatu bentuk malformasi langka yang ditandai

dengan dilatasi traktus biliaris. Etiologi kista koledokus sendiri masih belum

diketahui sepenuhnya. Kelainan ini sebagian besar ditemui pada anak-anak dan

dewasa muda. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan

anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Trias klasik kista koledokus adalah

nyeri abdominal, massa di daerah abdominal, dan ikterik. Komplikasi tersering

18

Page 17: Bab II Edit

yang muncul adalah pembentukan batu, stasis empedu, ruptur kista, abses,

pankreatitis, sirosis biliaris, hipertensi portal, dan keganasan.25

Kista koledokus terbagi menjadi beberapa klasifikasi menurut Todani.

Kelompok pertama adalah yang paling sering ditemukan, sekitar 80-90% dari

kasus kista koledokus. Tipe 1A adalah dilatasi kistik, 1B adalah dilatasi fokal

segmental sementara tipe 1C adalah dilatasi fusiformis. Tipe kedua adalah

divertikulum koledokus yang sejati. Tipe ketiga merupakan dilatasi fokal bagian

intraduodenal dari koledokus dan disebut “koledokal”. Tipe keempat dibagi

menjadi 2 subkelompok. Tipe 4A melibatkan kista intra dan ekstrahepatik

multipel sedangkan tipe 4B melibatkan kista ekstrahepatik lebih sedikit dari tipe

4A. Tipe 5 dikenal juga sebagai penyakit Caroli.25

Penyakit Caroli adalah kelainan didapat yang langka, biasanya ditemukan

di Asia dan didiagnosis pada penderita berusia di bawah 22 tahun. Karakteristik

penyakit ini adalah ditemukannya dilatasi duktus biliaris intrahepatik. Penyakit

Caroli juga dihubungkan dengan gagal hepar dan penyakit ginjal polikistik.

Gejalanya antara lain mencakup demam, nyeri perut intermiten, dan

hepatomegali. Biasanya juga terjadi ikterik. Penyakit caroli biasanya juga disertai

dengan kelainan lain seperti kolangitis, batu empedu, abses biliaris, septikemia,

sirosis hepatis, gagal ginjal, dan kolangiokarsinoma.26

Ultrasonografi adalah pilihan diagnostik utama dalam mendiagnosis kista

koledokus. USG mampu menyediakan gambaran yang mendetail tentang dilatasi

duktus intrahepatik maupun ekstrahepatik dan mengidentifikasi adanya batu.

19

Page 18: Bab II Edit

Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) telah menggantikan

penggunaan Computed Tomography (CT) dan ERCP. Namun demikian,

penggunaan ERCP masih diperlukan apabila terdapat ketidakpastian diagnosis,

terutama pada kasus dengan dilatasi minimal dan keterlibatan pankreatitis.27

Operasi terbuka masih merupakan baku emas penatalaksanaan kista

koledokus. Operasi ini terdiri dari eksisi bagian cabang biliaris ekstrahepatik

yang berdilatasi, pembersihan batu dan debris dari duktus intrahepatik yang

berdilatasi, transduodenal sfinkteroplasti, dan rekonstruksi hepatikoyeyunostomi

menggunakan Roux loop yang panjang (40-50 cm).27

Inspissated-bile syndrome didefinisikan sebagai obstruksi parsial atau

keseluruhan dari sistem biliaris ekstrahepatik karena sumbatan empedu yang

kental atau cairan kental lainnya di dalam duktus biliaris komunikans distal

selama masa neonatal. Dari bulan Januari 2005 sampai dengan Desember 2009,

16 pasien di Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou Cina

didiagnosis menderita inspissated-bile syndrome dengan kolangiografi yang

menunjukkan traktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik yang berkembang

dengan baik dengan ekspansi duktus biliaris komunikans.28

Enam belas anak di atas lalu menjalani laparoskopik kolesistostomi dan

bilasan duktus biliaris. Satu minggu setelah operasi, bilasan duktus biliaris

dengan menggunakan normal saline diulang tiap 2-3 hari. Hasil prosedur ini

menunjukkan penurunan kadar bilirubin dan peningkatan fungsi hepar setelah

dilakukannya bilasan duktus biliaris. Kadar bilirubin direk, aspartat

20

Page 19: Bab II Edit

aminotransferase, dan γ-GT menurun secara signifikan dalam 1-2 bulan apabila

dibandingkan dengan kadar sebelum dilakukan operasi.28

Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus

dengan gambaran klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal

hepar akut. Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan

gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik terjadi pada

umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai kadar

aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga disertai

meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenovirus juga

dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa.4

E. Patofisiologi

Empedu adalah cairan yang disekresi oleh hati berwarna hijau

kekuningan yang merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan

kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, fosfolipid, toksin

yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi.

Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang

bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran

empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah

epitel terpolarisasi yang berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif

memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi

intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam empedu.1,29

21

Page 20: Bab II Edit

Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari

bilirubin terkonyugasi juga terganggu sehingga menyebabkan

hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi,

obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada

transporter hepatobilier sehingga menyebabkan penurunan aliran empedu dan

hiperbilirubinemia terkonyugasi.1

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan

struktural sebagai berikut:

Proses transpor hati

Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi

polaritas dari hepatosit sehingga eliminasi bahan seperti bilirubin

terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui membran

plasma permukaan sinusoid terganggu.1

Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik

Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan

menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi,

sulfasi dan konyugasi akan terganggu.1

Sintesis protein

Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT akan meningkat

sedangkan produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.1

Metabolisme asam empedu dan kolesterol

22

Page 21: Bab II Edit

Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam

empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi

menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase, menyebabkan

penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio

trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik

akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati

menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.30

Gangguan pada metabolisme logam

Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang

menurun. Bila kadar seruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan

hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak

bersifat toksik.1

Metabolisme leukotrien sistein

Leukotrien sistein adalah suatu zat yang bersifat proinflamatori dan

vasoaktif, dimetabolisme dan dieliminasi di hati. Pada kolestasis terjadi

kegagalan proses di atas sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan

edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena

diekskresikan di urin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada

ginjal.1

Mekanisme kerusakan hati sekunder

Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan

kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat

23

Page 22: Bab II Edit

ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga

integritas membran akan terganggu. Fungsi yang berhubungan dengan

membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan

fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan

bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistem transport

kalsium dalam hepatosit juga akan terganggu.1

F. Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, gejala klinis utama

adalah ikterus; tinja berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna

dempul (akholis) tergantung pada pola makan dan minum, lamanya kolestasis

berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi; serta urine yang

berwarna lebih gelap. Belakangan ini rasa lelah menjadi salah satu manifestasi

klinis penting yang muncul pada 81% penderita kolestasis dan merupakan

gejala yang paling sering muncul menurut studi demografi di Kanada.

Setengah di antaranya mengeluhkan rasa lelah sebagai salah satu atau bahkan

keluhan yang paling mengganggu, menunjukkan pentingnya gejala ini dalam

manifestasi klinis kolestasis. Kelelahan ini diduga karena perubahan pada axis

hipotalamo-hipofisis sehingga terjadi gangguan pada penyimpanan dan

pelepasan corticotrophine releasing hormone. Penyebab lainnya diduga

karena perubahan pada sistem neurotransmisi serotoninergik, abnormalitas

24

Page 23: Bab II Edit

pelepasan sitokin terutama interleukin-1, penurunan pembentukan nitrik

oksida hipotalamus, dan disfungsi otot perifer.4,31

Berkurangnya garam empedu yang masuk ke dalam usus

mengakibatkan malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya,

sehingga dapat terjadi steatore dan defisiensi vitamin A (kulit menebal, rabun

senja); D (osteopenia); E (degenerasi neuromuskular, anemia hemolitik); dan

K (hipoprotrombinemia). Pada keadaan kronis akan terjadi malnutrisi dan

retardasi pertumbuhan. Penumpukan komponen empedu dalam darah akan

mengakibatkan ikterus, gatal-gatal (pruritus), xantomatosis, dan

hiperkolesterolemia.4,3

Xantelasma merupakan deposit kolesterol lokal yang berada di bawah

kulit dan terutama di bawah kelopak mata, biasanya merupakan manifestasi

klinis yang umum dari hiperkolesterolemia. Xantelasma biasanya berupa plak

lembut berwarna kekuningan, tidak sakit dan berbatas tegas yang dapat

membesar dalam beberapa minggu. Penanganan xantelasma berupa

penatalaksanaan hiperkolesterolemia dengan agen penurun kadar kolesterol.

Belakangan ini terapi laser dan operasi eksisi menunjukkan efikasi yang baik

dalam penanganan xantelasma.32

G. Penegakkan diagnosis

Langkah diagnosis kolestasis dapat menggunakan bagan berikut ini:33

25

Page 24: Bab II Edit

Riwayat penyakit (anamnesis), pemeriksaan fisik, tes diagnostik (serologi, ANA,AMA, ASMA)

Ultrasonografi (endoskopi, MR kolangiografi)

Dilatasi duktus biliaris Tidak ada dilatasi

ERCP atau PTC Biopsi hepar

ANA = antinuclear antibody

AMA = antimitochondrial antibodies

ASMA = anti smooth-muscle antibody

ERCP = endoscopic retrograde cholangiography

PTC = percutaneous transhepatic cholangiography

Anamnesis dapat ditanyakan adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14

hari, tinja akholis yang persisten harus dicurigai adanya penyakit hepar dan

saluran bilier. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir

prematur atau berat badan lahir rendah. Sedangkan pada atresia bilier sering

terjadi pada anak perempuan dengan berat badan lahir normal, dan

menimbulkan gejala ikterus dan tinja akholis ya ng lebih awal. Sepsis diduga

sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang demam atau

disertai tanda-tanda infeksi. Adanya riwayat keluarga yang menderita

26

Page 25: Bab II Edit

kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik

metabolik.1

Anamnesis mengenai sejarah pasien dan pemeriksaan fisik merupakan

hal yang penting dalam penegakkan diagnosis pasien. Pemakaian obat dalam

6 minggu terakhir bisa jadi berkaitan dengan kolestasis, termasuk didalamnya

obat-obat herbal, vitamin dan substansi lainnya. Keluhan berupa demam,

terutama diikuti dengan sakit perut di kuadran atas mungkin bisa mengarah ke

kolangitis sampai ke penyakit obstruksi (terutama koledokolitiasis), namun

gejala inipun bisa terjadi pada penyakit akibat alkohol dan lebih jarang lagi

pada hepatitis virus.2

Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan

untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan

kriteria tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis

ekstrahepatik ± 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi

yaitu gambaran histopatologi hati.1

Tabel 2. Perbedaan Klinis Kolestasis Intra dan Ekstrahepatik1

27

Page 26: Bab II Edit

Berikut merupakan langkah-langkah yang direkomendasikan untuk

penegakkan diagnosis kolestasis dan mengetahui penyebabnya:2

1. Anamnesis yang mendetail mengenai riwayat dan pemeriksaan fisik.

2. USG merupakan prosedur non-invasif first line untuk membedakan

kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik.

3. Pemeriksaan ANA, AMA, ASMA.

4. MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) merupakan

langkah berikutnya untuk pasien dengan kolestasis yang tidak dapat

dijelaskan.

5. EUS (Endoskopik USG) merupakan alternatif dari MRCP untuk

mengevaluasi obstruksi dari duktus biliaris distal.

28

Page 27: Bab II Edit

6. ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography)

7. Biopsi hepar, dilakukan pada pasien dengan kolestasis intrahepatik yang

tidak dapat dijelaskan dengan tes AMA yang negatif.

8. Pemeriksaan genetik ABCB4.

Magnetic resonance (MR) kolangiografi saat ini dianggap sebagai

baku emas pencitraan untuk diagnosis kolestasis. Dulu ERCP dianggap

sebagai pencitraan yang terbaik, namun pada anak-anak penggunaannya yang

sulit bahkan di tangan para ahli sekali pun hanya menghasilkan tingkat

keberhasilan 90% dengan tingkat komplikasi 33%. Pencitraan yang non-

invasif dan non-radiatif sangat disarankan untuk pengelolaan pasien. Saat ini

sebagian besar pusat kesehatan di dunia menggunakan MR kolangiografi

sebagai sarana investigasi non-invasif pada pasien anak-anak. MR

kolangiografi tidak menggunakan kontras sehingga tidak bersifat radioaktif.

Proses algoritmik pencitraan dapat diatur sedemikian rupa sehingga gambaran

3 dimensi dari anatomi empedu dapat didapatkan untuk mempermudah

diagnosis.34,35

MRC memiliki tingkat akurasi 98%, sensitivitas 100%, dan spesifisitas

96% untuk mendiagnosis atresia biliaris sebagai penyebab kolestasis pada

anak. Tanda yang diamati antara lain hilangnya visualisasi duktus utama,

kandung empedu yang kecil, dan area bersinyal tinggi berbentuk segitiga pada

anterior porta hepatis yang nampak pada gambar T2. Sebagai tambahan,

29

Page 28: Bab II Edit

kadang penebalan periportal yang signifikan dapat dilihat pada beberapa

pasien. Berikut ini adalah contoh gambar MRC dari pasien atresia biliaris.34

Gambar 3. Hasil MRC pada pasien dengan atresia biliaris34

H. Penatalaksanaan

Tujuan tatalaksana pada kolestasis adalah:4

1. Memperbaiki aliran empedu. Apabila kolestasis disebabkan oleh etiologi

tertentu maka etiologi tersebut harus diterapi dengan tatalaksana yang

adekuat.

Aliran empedu dapat distimulasi dengan pemberian berbagai agen

medikamentosa:

a. Fenobarbital

Bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi ikterus. Pada

bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu

30

Page 29: Bab II Edit

metabolisme beberapa obat, di antaranya vitamin D sehingga dapat

mengeksaserbasi riketsia. Dosis fenobarbital 3-10 mg/kgBB/hari

dalam 2 dosis.4

Menurut penelitian Maldonado dkk pada tahun 2010, penggunaan

fenobarbital dengan dosis 3 mg/kgBB/hari tidak memiliki efek dalam

menurunkan konsentrasi bilirubin sehingga saat ini penggunaan

fenobarbital sudah ditinggalkan.36

b. Asam ursodeoksikolat

Merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik. Obat

ini juga berperan sebagai suplemen empedu untuk absorpsi lemak.

Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena dapat

menstabilkan dan melindungi membran hepatosit serta sebagai bile

flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas

transporter pada membran hepatosit. Dosis 10-20 mg/kgBB/hari.4,37

c. Kolestiramin

Menyerap asam empedu yang toksik sehingga menghilangkan gatal.

Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga

dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta

meningkatkan ekskresinya. Kolestiramin juga dapat menurunkan

umpan balik negarif ke hepar, memacu konversi kolesterol menjadi

bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik.

Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang

31

Page 30: Bab II Edit

kolestasis intrahepatik dan hiperkolesterolemia. Dosisnya adalah 0,25-

0,5 g/kgBB/hari.4

d. Rifampisin

Rifampisin dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta

menghambat ambilan asam empedu oleh sel hepar dan mengubah

metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50%

kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas

yang terjadi pada 5-10% kasus. Dosisnya adalah 5-10

mg/kgBB/hari.4,38

Tabel 3. Terapi Kolestasis pada Anak38

Agen farmakologi seperti asam ursodeoksikolat dan rifampisin

meningkatkan koleresis dengan menambah eksresi hepatosit asam empedu.

Semua obat ini meningkatkan koleresis dan mengurangi gatal-gatal serta

32

Page 31: Bab II Edit

kadar kolesterol. Antagonis opiod dapat mengobati pruritus; namun

pemakaiannya terbatas karena efek sampingnya. Nalokson dan nalmefene

adalah dua antagosis opioid pertama yang dicobakan pada pasien dengan

sirosis biliaris primer, digunakan untuk mengobati gatal-gatal. Mereka bekerja

berdasarkan jalur SSP pada pasien dengan pruritus karena kolestasis.

Pengurangan dosis diperlukan untuk pemberian anak-anak. Molekul non-

absorbable adalah molekul yang tidak diabsorbspi dari traktus gastrointestinal

dan melepaskan klorin dan mengikat asam empedu pada lumen intestinal.

Obat ini dapat menurunkan asam empedu sampai mendekati 40%.37,38

Untuk prosedur pembedahan diperkenalkan oleh Kasai pada tahun

1950an. Transplantasi hepar telah meningkatkan angka harapan hidup pada

anak dengan atresia biliaris dan kegagalan karena intervensi Kasai.

Keberhasilan terapi ini dapat memberikan angka harapan hidup sebesar 90%.38

2. Nutrisi

Pemberian formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih

larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi

dan menghindarkan makanan yang banyak mengandung tembaga. MCT

banyak ditemukan di dalam minyak kelapa. Sumber MCT lainnya adalah

minyak palm kernel, minyak pohon kampor, serta susu kuda. Kebutuhan

kalori pada umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi/anak normal

sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gram/kgBB/hari.4

33

Page 32: Bab II Edit

Pemberian vitamin larut lemak, yaitu vitamin A 5000-25000 IU/hari,

vitamin D3 0,05-0,2 ug/kgBB/hari, vitamin E 25-50 IU/kgBB/hari, dan

vitamin K1 2,5-5 mg/2-7 kali/minggu. Selain itu perlu pula diberikan

mineral dan substansi lain seperti Ca, P, Mn, Zn, Sn, dan Fe.4,39

3. Terapi komplikasi yang terjadi misalnya hiperlipidemia/xantelasma

dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi

adalah dengan transplantasi hati.4

4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga. Dukungan disini berupa

usaha agar keluarga menerima keadaan anak dan mengembangkan pola

pikir yang peduli dan tanggap terhadap keadaan anak. Edukasi keluarga

bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam terapi anak

seperti terapi nutrisi dan kesiapan keluarga apabila akan menjalani

prosedur pembedahan seperti operasi Kasai dan transplantasi hepar.

34