Upload
susandy-oetama
View
101
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Kolestasis
terjadi karena kegagalan formasi biliaris dan atau aliran empedu yang
menyebabkan lemah, gatal-gatal dan gejala klinis yang paling sering terjadi,
yaitu ikterik. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan
disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Dari segi klinis didefinisikan
sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin,
asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-
anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati
dan sistem bilier.1,4
B. Epidemiologi
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden
hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,
defisiensi α-1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan
3
anak laki-laki adalah 2:1, sedangkan pada hepatitis neonatal rasionya terbalik,
dimana anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan.1
Di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
selama periode Januari 1992 sampai November 1993 tercatat 34 kasus kolestasis,
terdiri dari 26 kasus atau 76,5% kasus kolestasis intrahepatik dan 8 kasus atau
23,5% kasus kolestasis ekstrahepatik. Berdasarkan jenis kelamin terdapat 22
kasus atau 64,7% kasus pada laki-laki dan 12 kasus atau 35,2% kasus
perempuan. Dari segi usia, usia kurang dari 3 bulan sebanyak 28 kasus atau
mencapai 82,4%. Usia 3-6 bulan sebanyak 4 kasus atau 11,8% dan usia lebih dari
6 bulan sebanyak 2 kasus atau 5,8%.5
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun
1999-2004 dari 19.270 pasien rawat inap, didapatkan 96 penderita dengan
kolestasis neonatal. Dari 96 anak tersebut, 68 diantaranya karena neonatal
hepatitis (70,8%), 9 anak karena atresia bilier (9,4%), 5 anak karena kista duktus
koledokus (5,2%), 1 anak karena kista hepar (1,04%), dan 1 anak karena
inspissated-bile syndrome (1,04%).6
Penelitian Bachtiar dkk pada bulan Februari-Juni 2007 di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta mendapatkan angka kejadian kolestasis intrahepatik
pada pasien sepsis neonatorum sebesar 65,9% dari 138 subjek. Angka kematian
sepsis neonatorum dengan kolestasis intrahepatik mencapai 52,8%. Penyebab
mikrobial terbanyak adalah bakteri gram negatif (82,6%) dengan dominasi
4
Acinetobacter calcoaceticus (41,3%) diikuti oleh Enterobacter aerogenes
(15,9%) dan Klebsiella pneumoniae (10,9%).7
C. Klasifikasi
Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis Ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan oleh lesi kongenital atau didapat.
Kolestasis ekstrahepatik merupakan kelainan nekroinflamatori yang
menyebabkan kerusakan dan akhirnya terjadi pembuntuan saluran empedu
ekstrahepatik, yang kemudian diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi
virus terutama CMV10 dan Reovirus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktivitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat
setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan
kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler.
Pada pemeriksaan ultrasonografi terlihat kandung empedu kecil dan atretik
disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran
empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang
normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu
ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresia
biliaris.1
5
Atresia biliaris merupakan kelainan penyebab kolestasis paling sering
pada bayi, dengan angka kejadian sekitar 1:8000 kelahiran hidup di Asia dan
1:18000 kelahiran hidup di Eropa dengan predominasi oleh bayi perempuan.
Etiologi atresia biliaris sampai sekarang masih belum diketahui. Kelainan ini
ditandai oleh obliterasi fibrosis total lumen dari semua atau sebagian cabang
traktus biliaris ekstrahepatik dalam 3 bulan pertama kehidupan. Gambaran
histopatologis atresia biliaris juga dapat berupa kerusakan inflamatori pada
duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan sklerosis dan
penyempitan cabang traktus biliaris. Apabila tidak ditangani, kelainan ini
dapat menimbulkan sirosis hepatis dan kematian dalam tahun pertama
kehidupan.8,9
Trias manifestasi klinis atresia biliaris adalah ikterik (hiperbilirubinemia
terkonyugasi yang bertahan selama lebih dari 2 minggu kehidupan), tinja
akholis dan urin yang berwarna gelap, serta hepatomegali. Keadaan umum
anak biasanya baik. Tidak ada kegagalan pertumbuhan, setidaknya dalam
bulan pertama kehidupan. Selanjutnya mulai terjadi penurunan berat badan
dan iritabilitas, yang idsertai dengan peningkatan ikterik. Manifestasi klinis
lainnya seperti splenomegali, asites, dan perdarahan karena gangguan absorpsi
vitamin K.9
Setiap ikterik pada bayi yang bertahan selama 2 minggu atau lebih harus
diselidiki dan atresia biliaris harus dicurigai terlebih dahulu. Diagnosis dapat
ditegakkan melalui manifestasi klinis yang didukung oleh pemeriksaan
6
penunjang berupa ultrasonografi (USG), kolangiografi, biopsi hepar,
skintigrafi hepatobilier, dan pemeriksaan biokimiawi fungsi hepar. Rumah
Sakit Universitas Nasional Taiwan berhasil mengembangkan metode skrining
yang sederhana dan efektif untuk diagnosis dan intervensi dini dari atresia
biliaris dengan menggunakan kartu warna tinja anak. Kartu warna tinja anak
ini mempunyai sensitivitas sebesar 89,7%, spesifisitas 99,9%, nilai prediksi
positif 28,6%, dan nilai prediksi negatif sebesar 99,9% pada bayi usia kurang
dari 60 hari.9,10
Gambar 1. Kartu warna tinja11
Gambaran histopatologis ditemukan adanya traktus portalis yang
edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya
trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif
7
dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier
sebelum dilakukan operasi Kasai.1
Operasi Kasai merupakan terapi operatif sementara sebelum dilakukan
transplantasi hepar. Menurut penelitian Ohkochi dkk, 90% dari 92 anak
setelah menjalani portoenterostomi tidak mengalami ikterik dan mampu
bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun, sementara 70% dari 39 anak
dengan ikterik persisten setelah mengalami operasi meninggal dalam 6 bulan.
Mereka menekankan hanya bilirubin total yang berguna sebagai marker
terpercaya untuk kegagalan hepar pada tahap akhir atresia biliaris.12
Transplantasi hepar yang paling umum adalah prosedur orthotopic liver
transplantation (OLT), dimana bagian hepar yang rusak dibuang dan
digantikan dengan bagian yang baru (dikenal sebagai allograf), biasanya dari
donor yang baru saja meninggal, dan pembuluh darah besar serta duktus
biliaris dihubungkan ke organ yang baru.13
Ilustrasi transplantasi hepar ortotopik dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.13
Gambar 2. Transplantasi Hepar Ortotopik14
8
Transplantasi donor hidup merupakan alternatif lain dimana hepar yang
digunakan berasal dari donor yang masih hidup, biasanya dari seorang
keluarga (meskipun hepar tidak memerlukan kecocokan genetik yang sangat
dekat seperti pada organ lainnya). Prosedur ini kini mulai ditinggalkan karena
risiko komplikasinya, termasuk kematian untuk donor.13
Inhibitor kalsineurin, entah siklosporin atau takrolimus, menjadi pilihan
dalam terapi imunosupresi paska transplantasi hepar. Azatioprin atau
mikofenolat mofetil digunakan untuk meningkatkan efek imunosupresi, agen
pengganti steroid, atau agen pengganti inhibitor kalsineurin pada apabila
terdapat nefrotoksisitas. Efek samping inhibitor kalsineurin termasuk
gangguan fungsi ginjal, hipertensi sistemik, neurotoksisitas, hiperplasia gusi,
hirsutisme, dan toksisitas gastrointestinal. Imunosupresi yang berlebihan
dapat menimbulkan infeksi sitomegalovirus, penyakit limfoproliferatif karena
9
infeksi virus Epstein-Barr, gagal ginjal, dan dalam jangka panjang, kanker
kulit.14
Pada atresia biliaris apabila intervensi bedah dilakukan dalam waktu
kurang dari 8 minggu (2 bulan) maka angka keberhasilannya adalah 86%,
sedangkan pembedahan yang dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu angka
keberhasilannya hanya 36% dan semakin menurun menjadi 20% apabila
pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 12 minggu. Tanpa intervensi
bedah, rata-rata usia kematian adalah 12 bulan.5
Tingkat keberhasilan transplantasi hepar di Eropa tergolong tinggi,
dengan survival rate 80% untuk 1 tahun pertama, 70% untuk 5 tahun, dan
62% untuk 10 tahun. Persentase ini makin meningkat tiap tahunnya, mencapai
83% untuk 1 tahun pada tahun 2001 dibandingkan dengan 76% pada tahun
1990 sampai 1994 dan hanya 35% pada tahun-tahun sebelum tahun 1985. Saat
ini, persentase ini mencapai 90% untuk 1 tahun paska operasi dan 85% untuk
3 tahun paska operasi.15,16
Sebuah studi observasional di University of Malaya Medical Centre,
Malaysia dari November 1996 sampai dengan Mei 2004 menunjukkan dari
146 pasien yang tercatat, penyebab terbanyak kolestasis neonatal adalah
atresia biliaris (29%) dan hepatitis neonatal idiopatik (38%). Dari 39 pasien
(27%) yang meninggal, 35 di antaranya mengalami end-stage liver disease.
Tiga dari 4 pasien (3 orang menderita atresia biliaris, 1 orang menderita
progressive familial intrahepatic cholestasis [PFIC]) yang menjalani
10
transplantasi hepar dari living donor meninggal setelah operasi. Enam orang
dari 107 pasien yang bertahan hidup akhirnya mengalami sirosis hepatis.17
2. Kolestasis Intrahepatik
Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah
sindrom klinik yang timbul akibat hambatan ekskresi dan/atau aliran empedu
yang terjadi di dalam hepar. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi,
serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti
bilirubin, asam empedu, serta kolesterol ke dalam plasma dan selanjutnya
pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di
dalam hepatosit dan sistem biliaris di dalam hepar. Penumpukan bahan yang
harus diekskresikan oleh hepar tersebut akan merusak hepatosit dengan
berbagai tingkatan gejala klinis yang mungkin terjadi serta pengaruhnya
terhadap organ sistemik lainnya bergantung pada lamanya kolestasis
berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab
kolestasis tersebut.4
Kolestasis intrahepatik disebabkan oleh defek fungsional pada
hepatoseluler atau adanya lesi obstruktif traktus biliaris intrahepatik bagian
distal dari kanalikuli bilier. Kolestasis juga berhubungan dengan mekanisme
penyakit seperti limfoma. Dikatakan kolestasis kronik jika terjadi lebih dari 6
bulan. Sebagian besar dari kolestasis kronik bersifat murni intrahepatik.2
Tabel berikut menunjukkan faktor predisposisi terhadap kolestasis
intrahepatik.4
11
Tabel 1. Faktor Predisposisi Terhadap Kolestasis Intrahepatik4
Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi
Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien
Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit
Adanya asam empedu abnormal
Ukuran bile acid pool kecil
Sekresi asam empedu kurang
Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah
Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit
Kolestasis intrahepatik biasanya disebabkan oleh karena kelainan pada
saluran empedu dan kelainan pada hepatosit.1
a. Saluran Empedu
Kelainan akibat saluran empedu digolongkan menjadi 2 bentuk, yaitu
pausitas saluran empedu dan disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara
embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari
saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat
mengenai saluran intrahepatik saja atau hanya saluran ekstrahepatik saja.
Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis
kongenital tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Di lain pihak, kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, dan Caroli’s
12
disease mengenai kedua saluran tersebut. Karena kelainan primer ini tidak
menyerang sel hati, maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi
hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas
normal. Alkali fosfatase serum dan GGT akan meningkat. Apabila proses
berlanjut terus menerus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat
timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi
portal. 1
Pausitas saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan
dibandingkan dengan disgenesis saluran empedu pada masa neonatus.
Pausitas saluran empedu intrahepatik dibagi lagi menjadi sindromik dan
nonsindromik berdasarkan keikutsertaan organ lainnya. Dinamakan pausitas
saluran empedu apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per traktus portalis.1
Contoh dari pausitas saluran empedu sindromik adalah sindrom
Alagille, suatu kelainan autosomal dominan yang disebabkan
haploinsufisiensi pada gen JAGGED 1 yang muncul kira-kira 1 dalam 70.000
kelahiran. Sindrom ini paling sering ditemukan bersamaan dengan hipoplasia
duktus biliaris intrahepatik. Kelainan organ yang sering menyertai sindrom ini
adalah kelainan okuler (embriotokson posterior), kelainan kardiovaskuler
(stenosis pulmonal perifer, kadang tetralogy of Fallot), defek arkus vertebra,
nefropati tubulointerstisial, dan wajah yang spesifik (facies triangularis, yaitu
frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit).1,18,19
13
Penyakit Byler adalah bentuk kolestasis intrahepatik progresif familial
yang jarang terjadi, ditandai dengan kelainan struktur unik pada membran
kanalikuler biliaris. Penderita biasanya mengalami gagal tumbuh (failure to
thrive), steatore, pruritus, dan rakitis. Dalam waktu yang lama akan terjadi
sirosis hepatis pada penderita penyakit ini.18
Sindrom Aagenaes adalah bentuk kolestasis intrahepatik familial
idiopatik, bersifat kambuhan yang disertai oleh limfoedema ekstremitas
inferior. Limfoedema ini juga bisa terdapat di tangan, skrotum, dan jaringan
lunak periorbital. Pada beberapa kasus dapat terjadi sirosis hepatis, bahkan
kematian pada usia dini. Sirosis hepatis juga bisa berkembang pada saat
pasien sudah dewasa.18,20
Sindrom Zellweger adalah gangguan genetik resesif autosomal yang
jarang terjadi dan biasanya mematikan dalam waktu 6-12 bulan. Sindrom ini
ditandai dengan abnormalitas yang sangat beragam termasuk diantaranya
penyakit pada hepar dimana tidak ditemukannya peroksisom, sistem saraf
berupa retardasi psikomotorik, dan kista korteks ginjal. Penderita biasanya
memiliki abnormalitas kraniofasial yang khas berupa fontanela yang lebar,
dahi yang menonjol, lubang hidung yang menghadap ke depan, dan bibir atas
yang sempit.18,19
Pausitas saluran empedu nonsindromik berlawanan dengan tipe
sindromik, dimana tidak ditemukan adanya kelainan pada organ lain yang
menyertai gangguan pada saluran empedu. Contoh pausitas saluran empedu
14
nonsindromik adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindrom hiper IgM, dan
sindrom imunodefisiensi spesifik yang menyebabkan kerusakan pada saluran
empedu.1
b. Kelainan Hepatosit
Kelainan primer pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan
dan aliran empedu. Hepatosit pada neonatus mempunyai cadangan asam
empedu yang sedikit, fungsi transport yang masih prematur, dan kemampuan
sintesis asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi
karena virus, bakteri, dan parasit merupakan penyebab utama. Salah satu
contoh adalah pada sepsis, dimana kolestasis terjadi akibat respon dari
hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan oleh mediator-mediator
proinflamasi.1,21
Hepatitis neonatal adalah deskripsi variatif yang luas dari gangguan
hepar neonatal, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan baik oleh
kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intrauterin. Hampir
seluruhnya mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya
bentukan sel raksasa berinti banyak dengan gangguan lobuler dan serbukan
sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli.
Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosis akhir,
hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik
spesifik tidak dapat ditemukan.1
15
Kolestasis dapat juga dibagi dalam dua kelompok berdasarkan pola
histologik, yaitu kolestasis akut dan kolestasis kronik.22
1. Kolestasis akut
a. Kolestasis klasik. Karakteristik tipe ini dapat dilihat pada obstruksi duktus
biliaris besar, termasuk didalamnya duktus biliaris ekstrahepatik dan
duktus perihilar. Tipe ini memiliki pola yang terdiri dari kolestasis
parenkimal ditambah dengan trias perubahan traktus portalis, yaitu edema,
proliferasi struktur duktuli empedu, dan infiltrat neutrofil.
b. Kolestasis murni. Pada tipe ini ditemukan kolestasis sentrilobular di dalam
hepatosit dan kanalikuli empedu yang dominan, tanpa kelainan traktus
portalis yang signifikan. Tipe ini sering ditemukan pada kolestasis
intrahepatik karena sepsis, toksisitas obat, gangguan aliran empedu
fungsional karena iskemia, dan mutasi protein pengangkut garam empedu
perikanalikuler.
c. Penyakit duktus biliaris intrahepatik. Contoh tipe ini adalah sirosis biliaris
primer, karena sel imun (limfosit, sel plasma, eosinofil) menyerang duktus
biliaris interlobular dan septal sehingga terjadi apoptosis epitelial,
vakuolisasi dan degenerasi dengan stratifikasi reaktif.
d. Hepatitis dengan kolestasis. Pada tipe ini, biasanya dikenali karena adanya
perubahan dari parenkim hepar dan peradangan traktus portalis.
2. Kolestasis Kronik
16
a. Klasik portal/fibrotik periportal. Penyebab utama dari obstruksi duktus
biliaris kronik adalah perluasan traktus portalis karena proses fibrosis.
Contoh dari tipe ini adalah obstruksi duktus biliaris yang terdapat pada
karsinoma pankreas, striktur biliaris, dan atresia biliaris ekstrahepatik.
b. Fibrosis periduktus. Pada pola ini, epitel duktus biliaris mengalami distrofi,
dengan komposisi duktus yang lebih sederhana karena kuantitas sel yang
lebih sedikit daripada duktus normal dan dismorfisme sel individual.
c. Tipe atipikal. Tipe ini memiliki karakteristik hilangnya duktus biliaris dari
berbagai traktus portalis dengan atau tanpa reaksi duktular dan fibrosis
yang menggambarkan pola tipe 1.
D. Etiologi
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik,
endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis. Biasanya dalam klinik,
sukar untuk membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis atau sindrom
hepatitis neonatal sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dimasukkan ke
dalam golongan idiopatik. Penderita idiopatik ini makin berkurang dengan
kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang
canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya sitomegalovirus dan infeksi traktus
urinarius merupakan penyebab yang paling sering.4
Berikut ini adalah beberapa penyebab tersering kolestasis pada anak:23,24
17
- Kolestasis obstruktif
Atresia biliaris Inspissated-bile syndrome
Kista koledokus Fibrosis kistik
Batu empedu Sklerosing kolangitis neonatal
Sindrom Alagille Penyakit Caroli
Stenosis biliaris Perforasi spontan duktus biliaris
Massa
- Kolestasis hepatoselular
Hepatitis neonatal idiopatik
Infeksi virus: HIV, sitomegalovirus
Infeksi bakteri: infeksi traktus urinarius, sifilis, sepsis
Kelainan metabolik turunan yang mencakup berbagai jenis, di
antaranya: defisiensi α1-antitripsin, hipotiroidisme, galaktosemia,
tirosinemia, PFIC (progressive familial intrahepatic cholestasis),
panhipopituarisme
Toksik: kolestasis yang berhubungan dengan nutrisi parenteral
Kista koledokus adalah suatu bentuk malformasi langka yang ditandai
dengan dilatasi traktus biliaris. Etiologi kista koledokus sendiri masih belum
diketahui sepenuhnya. Kelainan ini sebagian besar ditemui pada anak-anak dan
dewasa muda. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan
anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Trias klasik kista koledokus adalah
nyeri abdominal, massa di daerah abdominal, dan ikterik. Komplikasi tersering
18
yang muncul adalah pembentukan batu, stasis empedu, ruptur kista, abses,
pankreatitis, sirosis biliaris, hipertensi portal, dan keganasan.25
Kista koledokus terbagi menjadi beberapa klasifikasi menurut Todani.
Kelompok pertama adalah yang paling sering ditemukan, sekitar 80-90% dari
kasus kista koledokus. Tipe 1A adalah dilatasi kistik, 1B adalah dilatasi fokal
segmental sementara tipe 1C adalah dilatasi fusiformis. Tipe kedua adalah
divertikulum koledokus yang sejati. Tipe ketiga merupakan dilatasi fokal bagian
intraduodenal dari koledokus dan disebut “koledokal”. Tipe keempat dibagi
menjadi 2 subkelompok. Tipe 4A melibatkan kista intra dan ekstrahepatik
multipel sedangkan tipe 4B melibatkan kista ekstrahepatik lebih sedikit dari tipe
4A. Tipe 5 dikenal juga sebagai penyakit Caroli.25
Penyakit Caroli adalah kelainan didapat yang langka, biasanya ditemukan
di Asia dan didiagnosis pada penderita berusia di bawah 22 tahun. Karakteristik
penyakit ini adalah ditemukannya dilatasi duktus biliaris intrahepatik. Penyakit
Caroli juga dihubungkan dengan gagal hepar dan penyakit ginjal polikistik.
Gejalanya antara lain mencakup demam, nyeri perut intermiten, dan
hepatomegali. Biasanya juga terjadi ikterik. Penyakit caroli biasanya juga disertai
dengan kelainan lain seperti kolangitis, batu empedu, abses biliaris, septikemia,
sirosis hepatis, gagal ginjal, dan kolangiokarsinoma.26
Ultrasonografi adalah pilihan diagnostik utama dalam mendiagnosis kista
koledokus. USG mampu menyediakan gambaran yang mendetail tentang dilatasi
duktus intrahepatik maupun ekstrahepatik dan mengidentifikasi adanya batu.
19
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) telah menggantikan
penggunaan Computed Tomography (CT) dan ERCP. Namun demikian,
penggunaan ERCP masih diperlukan apabila terdapat ketidakpastian diagnosis,
terutama pada kasus dengan dilatasi minimal dan keterlibatan pankreatitis.27
Operasi terbuka masih merupakan baku emas penatalaksanaan kista
koledokus. Operasi ini terdiri dari eksisi bagian cabang biliaris ekstrahepatik
yang berdilatasi, pembersihan batu dan debris dari duktus intrahepatik yang
berdilatasi, transduodenal sfinkteroplasti, dan rekonstruksi hepatikoyeyunostomi
menggunakan Roux loop yang panjang (40-50 cm).27
Inspissated-bile syndrome didefinisikan sebagai obstruksi parsial atau
keseluruhan dari sistem biliaris ekstrahepatik karena sumbatan empedu yang
kental atau cairan kental lainnya di dalam duktus biliaris komunikans distal
selama masa neonatal. Dari bulan Januari 2005 sampai dengan Desember 2009,
16 pasien di Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou Cina
didiagnosis menderita inspissated-bile syndrome dengan kolangiografi yang
menunjukkan traktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik yang berkembang
dengan baik dengan ekspansi duktus biliaris komunikans.28
Enam belas anak di atas lalu menjalani laparoskopik kolesistostomi dan
bilasan duktus biliaris. Satu minggu setelah operasi, bilasan duktus biliaris
dengan menggunakan normal saline diulang tiap 2-3 hari. Hasil prosedur ini
menunjukkan penurunan kadar bilirubin dan peningkatan fungsi hepar setelah
dilakukannya bilasan duktus biliaris. Kadar bilirubin direk, aspartat
20
aminotransferase, dan γ-GT menurun secara signifikan dalam 1-2 bulan apabila
dibandingkan dengan kadar sebelum dilakukan operasi.28
Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus
dengan gambaran klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal
hepar akut. Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan
gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik terjadi pada
umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai kadar
aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga disertai
meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenovirus juga
dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa.4
E. Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi oleh hati berwarna hijau
kekuningan yang merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan
kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, fosfolipid, toksin
yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi.
Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran
empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah
epitel terpolarisasi yang berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif
memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi
intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam empedu.1,29
21
Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari
bilirubin terkonyugasi juga terganggu sehingga menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi,
obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier sehingga menyebabkan penurunan aliran empedu dan
hiperbilirubinemia terkonyugasi.1
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural sebagai berikut:
Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi
polaritas dari hepatosit sehingga eliminasi bahan seperti bilirubin
terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui membran
plasma permukaan sinusoid terganggu.1
Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi,
sulfasi dan konyugasi akan terganggu.1
Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT akan meningkat
sedangkan produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.1
Metabolisme asam empedu dan kolesterol
22
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase, menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio
trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik
akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati
menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.30
Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar seruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan
hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak
bersifat toksik.1
Metabolisme leukotrien sistein
Leukotrien sistein adalah suatu zat yang bersifat proinflamatori dan
vasoaktif, dimetabolisme dan dieliminasi di hati. Pada kolestasis terjadi
kegagalan proses di atas sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan
edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena
diekskresikan di urin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada
ginjal.1
Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan
kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat
23
ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga
integritas membran akan terganggu. Fungsi yang berhubungan dengan
membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan
fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan
bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistem transport
kalsium dalam hepatosit juga akan terganggu.1
F. Manifestasi Klinis
Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, gejala klinis utama
adalah ikterus; tinja berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna
dempul (akholis) tergantung pada pola makan dan minum, lamanya kolestasis
berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi; serta urine yang
berwarna lebih gelap. Belakangan ini rasa lelah menjadi salah satu manifestasi
klinis penting yang muncul pada 81% penderita kolestasis dan merupakan
gejala yang paling sering muncul menurut studi demografi di Kanada.
Setengah di antaranya mengeluhkan rasa lelah sebagai salah satu atau bahkan
keluhan yang paling mengganggu, menunjukkan pentingnya gejala ini dalam
manifestasi klinis kolestasis. Kelelahan ini diduga karena perubahan pada axis
hipotalamo-hipofisis sehingga terjadi gangguan pada penyimpanan dan
pelepasan corticotrophine releasing hormone. Penyebab lainnya diduga
karena perubahan pada sistem neurotransmisi serotoninergik, abnormalitas
24
pelepasan sitokin terutama interleukin-1, penurunan pembentukan nitrik
oksida hipotalamus, dan disfungsi otot perifer.4,31
Berkurangnya garam empedu yang masuk ke dalam usus
mengakibatkan malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya,
sehingga dapat terjadi steatore dan defisiensi vitamin A (kulit menebal, rabun
senja); D (osteopenia); E (degenerasi neuromuskular, anemia hemolitik); dan
K (hipoprotrombinemia). Pada keadaan kronis akan terjadi malnutrisi dan
retardasi pertumbuhan. Penumpukan komponen empedu dalam darah akan
mengakibatkan ikterus, gatal-gatal (pruritus), xantomatosis, dan
hiperkolesterolemia.4,3
Xantelasma merupakan deposit kolesterol lokal yang berada di bawah
kulit dan terutama di bawah kelopak mata, biasanya merupakan manifestasi
klinis yang umum dari hiperkolesterolemia. Xantelasma biasanya berupa plak
lembut berwarna kekuningan, tidak sakit dan berbatas tegas yang dapat
membesar dalam beberapa minggu. Penanganan xantelasma berupa
penatalaksanaan hiperkolesterolemia dengan agen penurun kadar kolesterol.
Belakangan ini terapi laser dan operasi eksisi menunjukkan efikasi yang baik
dalam penanganan xantelasma.32
G. Penegakkan diagnosis
Langkah diagnosis kolestasis dapat menggunakan bagan berikut ini:33
25
Riwayat penyakit (anamnesis), pemeriksaan fisik, tes diagnostik (serologi, ANA,AMA, ASMA)
Ultrasonografi (endoskopi, MR kolangiografi)
Dilatasi duktus biliaris Tidak ada dilatasi
ERCP atau PTC Biopsi hepar
ANA = antinuclear antibody
AMA = antimitochondrial antibodies
ASMA = anti smooth-muscle antibody
ERCP = endoscopic retrograde cholangiography
PTC = percutaneous transhepatic cholangiography
Anamnesis dapat ditanyakan adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14
hari, tinja akholis yang persisten harus dicurigai adanya penyakit hepar dan
saluran bilier. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir
prematur atau berat badan lahir rendah. Sedangkan pada atresia bilier sering
terjadi pada anak perempuan dengan berat badan lahir normal, dan
menimbulkan gejala ikterus dan tinja akholis ya ng lebih awal. Sepsis diduga
sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang demam atau
disertai tanda-tanda infeksi. Adanya riwayat keluarga yang menderita
26
kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik
metabolik.1
Anamnesis mengenai sejarah pasien dan pemeriksaan fisik merupakan
hal yang penting dalam penegakkan diagnosis pasien. Pemakaian obat dalam
6 minggu terakhir bisa jadi berkaitan dengan kolestasis, termasuk didalamnya
obat-obat herbal, vitamin dan substansi lainnya. Keluhan berupa demam,
terutama diikuti dengan sakit perut di kuadran atas mungkin bisa mengarah ke
kolangitis sampai ke penyakit obstruksi (terutama koledokolitiasis), namun
gejala inipun bisa terjadi pada penyakit akibat alkohol dan lebih jarang lagi
pada hepatitis virus.2
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan
untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan
kriteria tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis
ekstrahepatik ± 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi
yaitu gambaran histopatologi hati.1
Tabel 2. Perbedaan Klinis Kolestasis Intra dan Ekstrahepatik1
27
Berikut merupakan langkah-langkah yang direkomendasikan untuk
penegakkan diagnosis kolestasis dan mengetahui penyebabnya:2
1. Anamnesis yang mendetail mengenai riwayat dan pemeriksaan fisik.
2. USG merupakan prosedur non-invasif first line untuk membedakan
kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik.
3. Pemeriksaan ANA, AMA, ASMA.
4. MRCP (magnetic resonance cholangiopancreatography) merupakan
langkah berikutnya untuk pasien dengan kolestasis yang tidak dapat
dijelaskan.
5. EUS (Endoskopik USG) merupakan alternatif dari MRCP untuk
mengevaluasi obstruksi dari duktus biliaris distal.
28
6. ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography)
7. Biopsi hepar, dilakukan pada pasien dengan kolestasis intrahepatik yang
tidak dapat dijelaskan dengan tes AMA yang negatif.
8. Pemeriksaan genetik ABCB4.
Magnetic resonance (MR) kolangiografi saat ini dianggap sebagai
baku emas pencitraan untuk diagnosis kolestasis. Dulu ERCP dianggap
sebagai pencitraan yang terbaik, namun pada anak-anak penggunaannya yang
sulit bahkan di tangan para ahli sekali pun hanya menghasilkan tingkat
keberhasilan 90% dengan tingkat komplikasi 33%. Pencitraan yang non-
invasif dan non-radiatif sangat disarankan untuk pengelolaan pasien. Saat ini
sebagian besar pusat kesehatan di dunia menggunakan MR kolangiografi
sebagai sarana investigasi non-invasif pada pasien anak-anak. MR
kolangiografi tidak menggunakan kontras sehingga tidak bersifat radioaktif.
Proses algoritmik pencitraan dapat diatur sedemikian rupa sehingga gambaran
3 dimensi dari anatomi empedu dapat didapatkan untuk mempermudah
diagnosis.34,35
MRC memiliki tingkat akurasi 98%, sensitivitas 100%, dan spesifisitas
96% untuk mendiagnosis atresia biliaris sebagai penyebab kolestasis pada
anak. Tanda yang diamati antara lain hilangnya visualisasi duktus utama,
kandung empedu yang kecil, dan area bersinyal tinggi berbentuk segitiga pada
anterior porta hepatis yang nampak pada gambar T2. Sebagai tambahan,
29
kadang penebalan periportal yang signifikan dapat dilihat pada beberapa
pasien. Berikut ini adalah contoh gambar MRC dari pasien atresia biliaris.34
Gambar 3. Hasil MRC pada pasien dengan atresia biliaris34
H. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana pada kolestasis adalah:4
1. Memperbaiki aliran empedu. Apabila kolestasis disebabkan oleh etiologi
tertentu maka etiologi tersebut harus diterapi dengan tatalaksana yang
adekuat.
Aliran empedu dapat distimulasi dengan pemberian berbagai agen
medikamentosa:
a. Fenobarbital
Bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi ikterus. Pada
bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu
30
metabolisme beberapa obat, di antaranya vitamin D sehingga dapat
mengeksaserbasi riketsia. Dosis fenobarbital 3-10 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis.4
Menurut penelitian Maldonado dkk pada tahun 2010, penggunaan
fenobarbital dengan dosis 3 mg/kgBB/hari tidak memiliki efek dalam
menurunkan konsentrasi bilirubin sehingga saat ini penggunaan
fenobarbital sudah ditinggalkan.36
b. Asam ursodeoksikolat
Merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik. Obat
ini juga berperan sebagai suplemen empedu untuk absorpsi lemak.
Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena dapat
menstabilkan dan melindungi membran hepatosit serta sebagai bile
flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas
transporter pada membran hepatosit. Dosis 10-20 mg/kgBB/hari.4,37
c. Kolestiramin
Menyerap asam empedu yang toksik sehingga menghilangkan gatal.
Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga
dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta
meningkatkan ekskresinya. Kolestiramin juga dapat menurunkan
umpan balik negarif ke hepar, memacu konversi kolesterol menjadi
bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik.
Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang
31
kolestasis intrahepatik dan hiperkolesterolemia. Dosisnya adalah 0,25-
0,5 g/kgBB/hari.4
d. Rifampisin
Rifampisin dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta
menghambat ambilan asam empedu oleh sel hepar dan mengubah
metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50%
kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas
yang terjadi pada 5-10% kasus. Dosisnya adalah 5-10
mg/kgBB/hari.4,38
Tabel 3. Terapi Kolestasis pada Anak38
Agen farmakologi seperti asam ursodeoksikolat dan rifampisin
meningkatkan koleresis dengan menambah eksresi hepatosit asam empedu.
Semua obat ini meningkatkan koleresis dan mengurangi gatal-gatal serta
32
kadar kolesterol. Antagonis opiod dapat mengobati pruritus; namun
pemakaiannya terbatas karena efek sampingnya. Nalokson dan nalmefene
adalah dua antagosis opioid pertama yang dicobakan pada pasien dengan
sirosis biliaris primer, digunakan untuk mengobati gatal-gatal. Mereka bekerja
berdasarkan jalur SSP pada pasien dengan pruritus karena kolestasis.
Pengurangan dosis diperlukan untuk pemberian anak-anak. Molekul non-
absorbable adalah molekul yang tidak diabsorbspi dari traktus gastrointestinal
dan melepaskan klorin dan mengikat asam empedu pada lumen intestinal.
Obat ini dapat menurunkan asam empedu sampai mendekati 40%.37,38
Untuk prosedur pembedahan diperkenalkan oleh Kasai pada tahun
1950an. Transplantasi hepar telah meningkatkan angka harapan hidup pada
anak dengan atresia biliaris dan kegagalan karena intervensi Kasai.
Keberhasilan terapi ini dapat memberikan angka harapan hidup sebesar 90%.38
2. Nutrisi
Pemberian formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih
larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi
dan menghindarkan makanan yang banyak mengandung tembaga. MCT
banyak ditemukan di dalam minyak kelapa. Sumber MCT lainnya adalah
minyak palm kernel, minyak pohon kampor, serta susu kuda. Kebutuhan
kalori pada umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi/anak normal
sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gram/kgBB/hari.4
33
Pemberian vitamin larut lemak, yaitu vitamin A 5000-25000 IU/hari,
vitamin D3 0,05-0,2 ug/kgBB/hari, vitamin E 25-50 IU/kgBB/hari, dan
vitamin K1 2,5-5 mg/2-7 kali/minggu. Selain itu perlu pula diberikan
mineral dan substansi lain seperti Ca, P, Mn, Zn, Sn, dan Fe.4,39
3. Terapi komplikasi yang terjadi misalnya hiperlipidemia/xantelasma
dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi
adalah dengan transplantasi hati.4
4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga. Dukungan disini berupa
usaha agar keluarga menerima keadaan anak dan mengembangkan pola
pikir yang peduli dan tanggap terhadap keadaan anak. Edukasi keluarga
bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam terapi anak
seperti terapi nutrisi dan kesiapan keluarga apabila akan menjalani
prosedur pembedahan seperti operasi Kasai dan transplantasi hepar.
34