21
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi, dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan testis (Kumar dan Dogra, 2010). 2.1.2 Epidemiologi kusta Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121 negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun 2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah 154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064 kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi kusta

Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan

oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer

Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae

berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi,

dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam

tubuh dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran

pernafasan atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan

testis (Kumar dan Dogra, 2010).

2.1.2 Epidemiologi kusta

Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121

negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun

2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah

154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus

kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064

kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha

tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di

Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025

8

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

9

kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak

sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015).

Diantara negara-negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus

kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,

serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3%

(Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan

prevalensi namun tidak dapat mencegah timbulnya kasus kusta baru di

masyarakat. Kondisi ini dihubungkan dengan fenomena gunung es dimana MDT

hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai

kandidat kasus kusta baru tidak terjamah (Desikan et al, 2003).

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit kusta dapat terjadi pada

semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan

jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun

laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada

laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial

ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial

ekonomi yang tinggi (Hando et al, 2011).

2.1.3 Etiologi kusta

Mycobacterium leprae merupakan mikobakteri berbentuk batang tahan

asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil,

aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron

hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang

membulat. Seperti mikobakteri yang lain M. leprae membelah secara biner.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

10

Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula

pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga

13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33

o C. Pemeriksaan

mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil

menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi)

yang terletak intraseluler dan ekstraseluler (Rees dan Young, 1994).

Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan

arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon

imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar.

Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol

dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap

respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae

yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat

memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M (IgM) yang ditemukan pada

60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008).

2.1.4 Mekanisme penularan kusta

Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit

dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang

panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak

diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama

dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus

dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial.

Saluran pernafasan

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

11

terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga

inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting.

Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang

lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko

(Thorat et al, 2010).

Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen

non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum

maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam

mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan

lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB

(Thorat et al, 2010).

Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode

transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air

susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena

adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi

melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun

hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga

dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010).

2.1.5 Imunopatogenesis kusta

Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor

patogen (M. leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik),

lingkungan (kelembaban, daerah endemis), dan sosial (lingkungan padat,

pendidikan rendah, kebersihan diri rendah, dan ventilasi yang kurang). Faktor

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

12

patogen adalah M. leprae yang bersifat obligat intraseluler dengan afinitas tinggi

terutama pada sel Schwann, dan sel dalam sistem retikuloendothelial. Kondisi

jaringan yang dingin merupakan tempat pertumbuhan paling baik untuk M. leprae

seperti saraf tepi, kulit, saluran pernafasan atas, dan testis (Sekar, 2010).

Komponen imunogenik M. leprae yaitu polisakarida yang menginduksi respon

imun humoral, dan protein yang menginduksi baik respon humoral maupun imun

seluler. Komponen imunogen M. leprae ini berasal dari antigen sitoplasma dan

antigen yang disekresikan oleh sel mikobakteri (Bryceson, 1990).

Penyakit kusta ditandai dengan spektrum klinis luas yang didasarkan atas

respon imunitas seluler host. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan

adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh sel Thelper 1 (Th1) pada kulit

dan saraf, menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap

antigen M. leprae. Hal ini mengakibatkan gambaran klinis adanya gangguan saraf

tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe

lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 yang

tidak responsif terhadap antigen M. leprae (Modlin, 2010).

Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae diawali masuknya

patogen menembus barier fisik mukosa hidung, kemudian menuju ke kulit dan

saraf tepi melalui sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae menembus barier fisik,

kemudian direspon oleh sistem seluler yang diperankan oleh makrofag, sehingga

sistem fagositosis makrofag merupakan barier pertama untuk melawan M. leprae

(Modlin, 2010).

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

13

Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang

melibatkan aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang

diperantarai oleh VDR seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 (Lastoria,

2014). Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding

sel M. leprae yang dikenali oleh complement receptor atau CR1(CD35), CR3

(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18), serta diregulasi oleh protein kinase.

Sistem fagositosis makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs

pada permukaan makrofag. Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini

menimbulkan aktivasi sel Tnaive melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10.

Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan sel Tnaive menjadi sel Th1 maupun sel

Th2. Masing-masing sel limfosit T teraktivasi ini akan mempromosikan sel respon

imun seluler dan humoral terhadap M. leprae, sehingga muncul perkembangan

penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau lepromatosa.

Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1--

hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba

katelisidin untuk membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu

aktivasi nuclear transcription factor (NF) yang berperan dalam proses

transkripsi berbagai gen pada respon imun (Lastoria, 2014; Spierings et al, 2000).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

14

Sitokin proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF- yang

berperan mempertahankan toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi,

diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit. Aktivasi TGF- ini mengontrol

inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi respon imun terhadap

patogen. Aktivasi TGF- memicu protein SMAD3 yang berfungsi sebagai

koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti (Lastoria, 2014). Makrofag

teraktivasi akibat stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF- yang dapat

menginduksi inducible nitric oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang

berperan untuk membunuh M. leprae (Lastoria, 2014).

Gambar 2.1

Jalur metabolik respon imun pada kusta (Lastoria, 2014)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

15

2.1.6 Penegakan diagnosis dan klasifikasi kusta

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis

dan didukung dengan pemeriksaan slit skin smear. Diagnosis kusta ditegakkan

bila memenuhi satu atau lebih dari tanda kardinal sebagai berikut: (WHO,1997).

1. Lesi kulit disertai anestesi.

Lesi kulit dapat berupa makula, atau plak eritema berwarna seperti tembaga,

hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dapat juga berupa infiltrasi atau edema. Jumlah

lesi dapat tunggal atau multipel. Hilangnya fungsi kelenjar menyebabkan

permukaan lesi tampak kering, kasar, berkeringat atau berkilap. Folikel rambut

dapat menghilang. Anestesi atau gangguan hingga hilangnya fungsi sensorik

terhadap rasa raba, nyeri, dan suhu dapat ditemukan pada lesi dan area yang

dipersarafi oleh saraf perifer. Pada kusta tipe lepromatosa dapat juga mengenai

area di luar persarafan yang terlibat.

2. Penebalan saraf tepi

Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit, paling

sering mengenai nervus ulnaris dan nervus peroneus komunis. Pembesaran saraf

multipel umumnya lebih sering ditemukan pada kusta tipe MB. Pemeriksaan saraf

meliputi pemeriksaan nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus

ulnaris, nervus radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus

peroneus, dan nervus tibialis posterior (WHO, 1997).

3. Pemeriksaan slit skin smear ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan slit skin smear memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas lebih

rendah sekitar 10-50%. Hapusan kulit dapat diambil dari kedua lobus telinga, lesi

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

16

kulit, bagian dorsum interfalang digiti III manus, dan bagian dorsum digiti I pedis.

Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen. Berdasarkan pemeriksaan

slit skin smear dapat ditentukan IB dan indeks morfologis (IM) yang membantu

dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi. Indeks bakteriologi merupakan

ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus yang dihitung

menurut skala logaritma Ridley. Nilai IB berkisar dari terendah +1 yang

mengandung jumlah bakteri paling sedikit, hingga +6 yang mengandung jumlah

bakteri paling banyak pada setiap lapangan pandang (WHO,1997).

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen pengobatan,

prognosis, komplikasi, perencanaan operasional, dan untuk identifikasi pasien

yang kemungkinan besar akan menderita cacat. Klasifikasi kusta yang sering

digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley dan Jopling (1966) yang

membagi kusta menjadi lima spektrum berdasarkan pada kriteria klinis,

bakteriologis, imunologis dan histopatologis seperti yang ditunjukkan pada Tabel

2.1. Lima spektrum kusta tersebut yaitu kusta tipe tuberkuloid atau tuberculoid

tuberculoid (TT), kusta tipe lepromatosa atau lepromatous lepromatous (LL), dan

kusta tipe borderline. Kusta tipe borderline terdiri atas tiga tipe yaitu kusta

borderline-borderline (BB), borderline tuberculoid (BT), dan borderline

lepromatous atau BL. Pada fase awal perjalanan alamiah penyakit kusta dapat

terbentuk tipe inderterminate (Suzuki et al, 2012).

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

17

Tabel 2.1

Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Suzuki et al, 2012)

Lesi TT BT BB BL LL

Jumlah biasanya

tunggal

(sampai

dengan 3

lesi)

sedikit

(sampai

dengan 10

lesi)

beberapa

(10-30

lesi)

banyak

asimetris

(>30 lesi)

tidak

terhitung,

simetris

Ukuran bervariasi,

umumnya

besar

bervariasi,

beberapa

besar

Bervariasi kecil,

beberapa

dapat besar

kecil

Permukaan kering,

dengan

skuama

kering,

dengan

skuama,

terlihat

cerah,

infiltrasi

kusam atau

sediki

mengkilap

mengkilap mengkilap

Sensasi absen menurun

dengan

jelas

menurun

sedang

sedikit

menurun

menurun

minimal,

atau

normal

Pertumbuhan

rambut

absen menurun

dengan

jelas

menurun

sedang

sedikit

menurun

normal

pada tahap

awal

BTA negatif negatif

atau sedikit

jumlah

sedang

banyak banyak

sekali

termasuk

globi

Reaktivitas

lepromin

positif kuat

(+++)

positif

lemah (+

atau ++)

negatif

atau positif

lemah

negatif negatif

Berdasarkan kepentingan pengobatan dan untuk memudahkan petugas

lapangan, WHO mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe berdasarkan jumlah

lesi kulit yaitu kusta tipe MB terdiri atas lebih dari 5 lesi kulit, dan PB lesi tunggal

(single lession paucibacillary atau SLPB), dan PB dua hingga lima lesi kulit.

Apabila didapatkan hasil IB yang positif diklasifikasikan menjadi tipe MB tanpa

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

18

memandang jumlah lesi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 (Northern

Territory Government, 2010).

Tabel 2.2

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO

(Northern Territory Government, 2010)

Klasifikasi klinis SLPB PB MB

Jumlah lesi kulit Hanya 1 lesi 2- 5 lesi 6 atau lebih lesi

DAN

Sediaan hapusan Negatif pada

semua area

Negatif pada

semua area

Positif pada semua

area

Distribusi - Asimetris Lebih simetris

Hilangnya

sensasi

Terbatas Terbatas Luas

Kerusakan saraf Saraf dibadan

tidak terlibat

Hanya 1 saraf

dibadan yang

terlibat

Banyak saraf

dibadan yang

terlibat

Korelasi dengan

Ridley dan Jopling

I, TT, BT TT, kebanyakan

BT

Beberapa BT, BB,

BL, LL

2.1.7 Pengobatan kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan

penggunaan MDT yang terdiri dari rifampisin, dapson dan klofasimin untuk

pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk menurunkan insiden

relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping serta menurunkan durasi

pengobatan sehingga menurunkan biaya. Untuk kepentingan terapi, WHO

mengklasifikasi penderita kusta menjadi tiga kelompok yaitu kusta PB dengan lesi

tunggal, kusta PB dengan lesi kulit dua hingga lima, dan kusta MB dengan lesi

kulit lebih dari lima, atau semua pasien dengan BTA positif. Regimen PB dengan

lesi kulit dua hingga lima terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah

dapson 100mg/hari selama enam bulan. Regimen MB dengan lesi kulit lebih dari

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

19

lima, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali, klofazimin

300mg/sebulan sekali dan 50mg/hari, dapson 100mg/hari dengan lama

pengobatan 12 bulan. Regimen PB lesi tunggal terdiri atas rifampisin 600mg

ditambah dengan ofloksasin 400mg dan minosiklin 100mg (ROM) dosis tunggal.

Regimen PB 2-5 lesi terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dapson 100

mg setiap hari selama 6 bulan (Worobec, 2009; Desikan et al, 2003).

2.2 Vitamin D

2.2.1 Definisi vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin larut dalam lemak yang berperan sebagai

hormon sekosteroid yaitu hormon steroid dengan cincin B yang hilang. Terdapat

dua bentuk vitamin D yang belum aktif yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol), dan

vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 bersumber dari tumbuhan seperti ragi

dan jamur. Vitamin D3 (kolekalsiferol) yang disintesis di kulit manusia dengan

bantuan sinar matahari dan dikonsumsi dari diet makanan berbahan hewan seperti

ikan salmon, tuna, makarel, sarden, kuning telur, hati, keju. Kedua jenis vitamin

dapat disintesis secara komersial dan didapatkan dalam suplemen diet dan

makanan yang difortifikasi. Struktur vitamin D2 dan D3 hanya berbeda pada rantai

samping (Norman, 2008).

Sumber utama vitamin D adalah produksi endogen oleh kulit saat terpapar

radiasi sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 nm. Pada

kondisi normal kulit dapat memenuhi 80-100% kebutuhan vitamin D. Paparan

tubuh dari sinar matahari langsung bersifat terbatas, sehingga suplai tergantung

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

20

juga pada asupan vitamin D yang akan diolah menjadi vitamin D yang

sebenarnya. Walaupun individu banyak mengkonsumsi makanan mengandung

vitamin D, tanpa paparan sinar matahari tidak akan cukup memenuhi kebutuhan

tubuh terhadap vitamin D. Sehingga paparan sinar matahari yang terbatas, tanpa

disertai asupan vitamin D dengan dosis 800-1000 IU atau 20-25 mcg per hari,

maka akan meningkatkan risiko menderita defisiensi vitamin D (DeLuca, 2013).

2.2.2 Sejarah penemuan vitamin D

Penemuan vitamin D berawal dari penelitian oleh Sir Edward Mellanby

dari Inggris pada tahun 1914 mengamati tingginya insiden riketsia di Inggris,

berpendapat vitamin A dalam minyak dari hati ikan kod yang berhasil

menyembuhkan penyakit riketsia. Rekan Mellanby yaitu McCollum di

Universitas Johns Hopkins pada tahun 1922 menguji kembali hipotesis apakah

vitamin A yang bertanggung jawab pada penyembuhan riketsia. McCollum dan

rekan-rekan akhirnya menyimpulkan bahwa yang menyembuhkan riketsia adalah

vitamin baru, yaitu vitamin D. Sementara itu Huldsshinky seorang fisikawan dari

Vienna, Chick et al menemukan bahwa paparan sinar matahari selama musim

panas atau sinar ultraviolet artifisial dapat menyembuhkan riketsia.

Profesor Steenbock pada tahun 1916 melakukan pengamatan pada

kambing yang berada di luar kandang saat musim panas memiliki kalsium yang

seimbang dibandingkan kambing saat berada di dalam kandang pada musim

dingin. Steenbock menyimpulkan bahwa lemak yang belum aktif dalam diet dan

pada kulit diubah oleh sinar ultraviolet menjadi substansi aktif sebagai anti

riketsia (DeLuca, 2013).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

21

Isolasi dan identifikasi vitamin D2 pertama kali dilakukan oleh Askew et

al. Windaus dan Linsert membuktikan bahwa vitamin D1 hanya merupakan

artefak tambahan diantara vitamin D2 dan lamisterol. Pada tahun 1935, 7-

dehydocholecalceferol diisolasi oleh Windaus et al, sedangkan vitamin D3 oleh

Windaus dan Bock pada tahun 1937. Esvelt et al mengisolasi dan

mengidentifikasi vitamin D3 melalui mass spectrometry (DeLuca, 2013).

Sejarah penemuan vitamin D berkembang dengan penemuan 41 metabolit,

diantaranya 25-OHD dan 1,25-(OH)2D. 1,25-dihydroxyvitamin D merupakan

produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi ginjal dan berperan sebagai

hormon steroid. Selanjutnya pengangkutan metabolit vitamin D ekstra sel oleh

lipoprotein, albumin, dan vitamin D binding protein (DBP), sedangkan intra sel

oleh VDR. Vitamin D receptor kemudian diidentifikasi sebagai faktor transkripsi

nukleus yang mengatur sejumlah gen target. Hal ini menegaskan bahwa 1,25-

(OH)2D sebagai hormon klasik. Vitamin D receptor ini terdapat di berbagai

tempat, dan VDR ekstra renal memproduksi metabolit vitamin D, meregulasi

berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium (DeLuca, 2013).

2.2.3 Metabolisme vitamin D

Metabolisme vitamin D3/D2 bersifat identik, dapat melalui proses

bioaktivasi melalui jalur klasik yang melibatkan renal dan jalur non klasik atau

ekstra renal. Vitamin D3 disintesis di kulit dengan perubahan 7-

dehydrocholesterol melalui proses fotolitik menjadi pre vitamin D3, selanjutnya

melalui isomerisasi termal menjadi vitamin D3. Proses berikutnya vitamin D3

dikeluarkan melalui membran plasma keratinosit dan vitamin D2 yang berasal

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

22

dari intestin ditarik oleh DBP ke dalam plasma, kemudian ke dalam sistem

limfatik, memasuki darah vena, diikat oleh DBP dan lipoprotein, yang akhirnya

diangkut menuju hepar. Proses hidroksilasi vitamin D2/D3 di hepar pada rantai C-

25 oleh enzim 25-hydroxilase vitamin D (CYP2R1) akan menghasilkan 25-OHD.

Vitamin 25-OHD ditransport oleh DBP dan disimpan dalam lemak. Kadarnya

meningkat secara proporsional dalam serum dengan asupan vitamin D, memiliki

waktu paruh sekitar tiga minggu, sehingga kadar 25-OHD merupakan marker

yang baik untuk mengukur kandungan vitamin D dalam tubuh (Bilke, 2014).

Proses metabolisme yang kedua adalah bioaktivasi vitamin D yang terjadi

di renal. Enzim vitamin D 1-hydroxylase (CYP27B1) menghidrolisis 25-OHD

pada posisi C1 rantai A menjadi 1,25-(OH)2D. Regulasi di ginjal ini sangat ketat,

dan dilakukan oleh hormon paratiroid. Penurunan kadar kalsium atau peningkatan

kadar fosfat akan segera memicu produksi hormon paratiroid oleh kelenjar

paratiroid yang meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D. Hidroksilasi 1,25-(OH)2D

ditekan oleh peningkatan kalsium atau oleh 1,25-(OH)2D sendiri. 1,25-

dihydroxyvitamin D kemudian ditransport menuju usus halus, dan berinteraksi

dengan reseptor VDR spesifik, yang akan meningkatkan efisiensi absorpsi

kalsium intestinal.

Aktivitas biologi 1,25-(OH)2D 500 kali hingga 1000 kali lebih tinggi

dibandingkan 25-OHD, namun konsentrasi serum 25-OHD yang normal sekitar

100 kali lebih tinggi dibandingkan 1,25-(OH)2D. Setelah beberapa kali proses

hidroksilasi dan oksidasi, dihasilkan produk degradasi yaitu asam kalsitroik yang

diekskresikan melalui urin. Sebagian metabolit vitamin D juga masuk ke sirkulasi

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

23

intra hepatik, dan sebagian dari simpanan vitamin D menghilang melalui saluran

empedu (Bilke, 2014).

Enzim CYP27B1 yang berperan penting dalam bioaktivasi vitamin D

dominan diekspresikan pada renal, namun belakangan sebagai dampak dari

genome wide analysis, telah dibuktikan bahwa enzim ini juga dieskpresikan pada

berbagai sel atau jaringan ekstra renal seperti sel imunitas alamiah

(monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T), sel beta pankreas, plasenta, sel

paratiroid, kolon, payudara, dan paru. Enzim CYP27B1 dan VDR akan berperan

dalam sintesis vitamin D intrakrin melalui mekanisme yang berbeda dengan

sintesis di renal sesuai dengan target sel yang spesifik. Hal ini mengungkapkan

berbagai fungsi vitamin D ekstra skeletal seperti peran pada sistem imun,

endokrin, muskuler, kardiovaskuler, kanker, neurogeneratif, renal, dan pulmonal

(Christakos, 2010; Gupta, 2015)

2.2.4 Peranan vitamin D sebagai anti bakteri

Penelitian epidemiologi terkini telah mengamati adanya peran ekstra

skeletal (peran non klasik) vitamin D sebagai imunomodulator dalam sistem

imunitas. Terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan

berbagai penyakit autoimun maupun infeksi. Vitamin D dikatakan memiliki efek

anti mikroba dan memodulasi imunitas serta mempengaruhi kadar sitokin

(Viswewaran dan Lekha, 2015; Bartley dan Camargo, 2013). Respon

imunomodulator vitamin D bentuk aktif 1,25-(OH)2D telah diketahui sejak

beberapa tahun yang lalu, namun baru sejak 5 tahun terakhir diketahui peranan

penting vitamin D pada fungsi imunitas normal manusia. Hal ini merupakan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

24

dampak dari wide genome analysis yang mendefinisikan kembali perspektif

mengenai vitamin D dan imunitas (Pike, 2011).

Dari berbagai laporan mengenai efek imunomodulator vitamin D, yang

paling menarik perhatian adalah kemampuan vitamin D untuk meregulasi sistem

imunitas alamiah dan adaptif. Berawal dari penelitian seorang ilmuwan peraih

nobel, Dr. Finsen pada tahun 1903 yang mampu menyembuhkan epidermis dari

infeksi tuberkulosis dan lupus vulgaris dengan menggunakan iradiasi sinar

terkonsentrasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa paparan sinar UV

dapat memicu sintesis vitamin D epidermis dan mendorong penelitian lebih lanjut

yang menunjukkan keberhasilan suplementasi vitamin D oral dalam pengobatan

lupus vulgaris dan infeksi mikroba seperti kusta. Pada tahun 2006, wide genome

analysis menemukan bukti bahwa aktivasi sistem vitamin D intrakrin pada

monosit/makrofag oleh patogen berhubungan dengan mekanisme anti mikroba

vitamin D. Talat et al. (2010) melaporkan hubungan antara defisiensi vitamin D

dengan progresifitas tuberkulosis.

Pengungkapan mengenai respon anti bakteri vitamin D berawal dari dua

pengamatan. Pengamatan pertama melaporkan sebagian besar sel-sel yang

berproliferasi dalam sistem imunitas mengekspresikan VDR untuk 1,25-(OH)2D

seperti ikatan 1,25-(OH)2D dengan sel dalam sistem imunitas adaptif (sel limfosit

T dan B), dan ikatan spesifik 1,25-(OH)2D dengan sel-sel dalam sistem imunitas

seluler (monosit, makrofag, sel dendritik, neutrofil, dan derivat sel monositik).

Pengamatan kedua melaporkan metabolisme vitamin D oleh sel-sel dalam sistem

imunitas. Berdasarkan dua pengamatan ini disimpulkan bahwa sel imun yang

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

25

mengekspresikan VDR ini dapat merespon vitamin D aktif sirkulasi sama halnya

dengan jaringan target vitamin D klasik seperti intestinal, renal dan tulang (Chun

et al, 2014). Secara garis besar vitamin D berperan penting pada imunoregulasi

sistem imunitas alamiah seperti induksi peptida anti mikroba katelisidin dan

defensin 2 pada berbagai jenis sel, sedangkan pada sistem imunitas adaptif seperti

supresi aktivasi sel T, induksi sel T regulator, regulasi pola sekresi sitokin,

regulasi maturasi dan diferensiasi APC (Chun et al, 2014).

Respon anti mikroba yang diperantarai vitamin D, diawali dengan

pengenalan patogen oleh pattern recognition receptor TLR2/1 yang menginduksi

ekspresi 1--hydroxylase (CYP27B1) dan VDR. Induksi ekspresi CYP27B1 pada

sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif 1,25-

(OH)2D, yang kemudian berikatan dengan VDR dan mendorong regulasi

transkripsi gen dari sel target. Respon penting dari aktivasi vitamin D intrakrin

meliputi, pertama induksi cathelicidin antimicrobial peptide (CAMP) dan -

defensin-4 (DEFB4), kedua menekan iron-regulatory hepcidin (HAMP), ketiga

mendorong autofagosom, keempat menginduksi ekspresi protein nucleotide-

binding oligomerization domain containing 2 (NOD2), dan kelima memberikan

umpan balik regulasi ekspresi TLR2/1 yang pada akhirnya akan meningkatkan

pembunuhan bakteri. Respon induksi DEFB4 juga memerlukan sinyal imun

asesoris seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan NOD2,

dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK, seperti yang ditunjukkan pada

gambar 2.2 (Jo et al, 2013).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

26

2.2.5 Peranan vitamin D pada penyakit kusta

Genome wide analysis berperan penting dalam mengungkapkan

mekanisme utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas

terkait dalam sel monosit/makrofag dan sel dendritik. Penelitian tersebut

menggunakan baik sel imun yang diisolasi secara langsung dari subyek penelitian

maupun yang dikultur, telah membuktikan adanya respon vitamin D yang

diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit imun yang

sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas (Chun et al, 2014).

Seperti halnya pada tuberkulosis, vitamin D pernah dipertimbangkan

sebagai terapi putatif pada kusta. Berbeda dengan tuberkulosis, penyakit kusta

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kusta tipe lerpomatosa dan kusta tipe

tuberkuloid. Kedua tipe kusta ini memiliki profil imunitas serta prognosis yang

Gambar 2.2

Mekanisme induksi respon anti bakteri yang diperantarai oleh vitamin D

pada makrofag (Chun et al, 2014)

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

27

berbeda. Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada

kusta tuberkuloid menunjukkan adanya peningkatan ekspresi CYP27B1,

CYP24A1, dan VDR yang signifikan, sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa

didapatkan ekspresi yang lebih rendah (Montoya et al, 2009). Disimpulkan dari

penelitian ini bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih

intak atau tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri

dari vitamin D. Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa

yang terganggu, khas ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. leprae

(Chun et al, 2014).

Terdapat beberapa mekanisme yang diduga meyebabkan sistem vitamin D

intrakrin terganggu pada kusta lepromatosa seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Mekanisme sistem vitamin D yang terganggu pada makrofag

(Chun et al, 2014)

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang

28

Mekanisme pertama adanya gangguan sistem vitamin D intrakin yang

diinduksi TLR2/1 oleh adanya peningkatan IL4, IL-10, IFN/. Sitokin IFN

melalui IL-10 berperan menekan ekspresi CYP27B1 (Teles et al, 2013).

Sedangkan sitokin IFN- pada kusta tuberkuloid berperan meningkatkan aktivasi

vitamin D yang diinduksi TLR2/1 (Edelfelt et al, 2010; Fabri et al, 2011).