14
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada diabetes mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam jangka waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Non proliferative diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari retinopati diabetik yang terdiri dari mild, moderate, severe dan very severe NPDR. Proliferative diabetic retinopathy yang merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri atas early, high risk dan advanced PDR (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew dan Ferris III, 2006). Kondisi hiperglikemia yang lama menjadi awal dari perubahan patologis pada retinopati diabetik yang terjadi melalui berapa jalur biokimia. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs) yang merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide, prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang memperburuk kerusakan. Kedua, hiperglikemia yang lama juga dapat mengaktivasi polyol pathway yang meningkatkan glikosilasi dari membran sel dan matriks ekstraseluler serta akumulasi sorbitol akibat peningkatan ekspresi aldose reduktase yang berakibat pada kerusakan endotel serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada diabetes

mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam jangka

waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non proliferative diabetic

retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Non proliferative

diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari retinopati diabetik yang terdiri dari

mild, moderate, severe dan very severe NPDR. Proliferative diabetic retinopathy

yang merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri atas early, high risk dan

advanced PDR (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew

dan Ferris III, 2006).

Kondisi hiperglikemia yang lama menjadi awal dari perubahan patologis pada

retinopati diabetik yang terjadi melalui berapa jalur biokimia. Pertama, hiperglikemia

memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation

endproducts (AGEs) yang merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta

merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide, prostasiklin, insulin-like

growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang memperburuk kerusakan. Kedua,

hiperglikemia yang lama juga dapat mengaktivasi polyol pathway yang meningkatkan

glikosilasi dari membran sel dan matriks ekstraseluler serta akumulasi sorbitol akibat

peningkatan ekspresi aldose reduktase yang berakibat pada kerusakan endotel serta

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

8

disfungsi enzim endotel. Jalur ketiga adalah jalur dimana hiperglikemia mengaktivasi

transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC) yang kemudian mengaktivasi

vascular endothelial growth factor (VEGF). VEGF merangsang ekspresi

intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya adhesi

antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Adhesi ini dapat menyebabkan

kerusakan blood-retinal barrier, trombosis dan oklusi kapiler retina. Jalur keempat

adalah jalur hexosamine yang berakibat pada neurodegenerasi retina. Seluruh jalur ini

menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia dan inflamasi pada retina (Ola dan

Nawaz, 2012; Westerfeld dan Miller, 2010; Frank, 2006).

Semakin lama seseorang menderita DM akan semakin besar kemungkinan

untuk menderita retinopati diabetik. Dua puluh lima hingga lima puluh persen pasien

DM tipe 1 akan mengalami retinopati diabetik dalam jangka waktu 10-15 tahun,

meningkat menjadi 75-95% setelah 15 tahun dan mencapai 100% setelah 30 tahun.

Enam puluh persen pasien DM tipe 2 akan menunjukkan tanda-tanda NPDR setelah

16 tahun (Dutta, 2005; Willard dan Herman, 2012).

Manifestasi klinis yang dapat dilihat pada pasien dengan retinopati diabetik

yaitu adanya mikroaneurisma, perdarahan intraretina berupa dot dan blot, hard

exudates, venous beading, infark pada nerve fiber layer dan area nonperfusi. Pada

pasien PDR akan ditemukan adanya neovaskularisasi dan suatu proliferasi jaringan

fibrovaskuler yang melewati lapisan internal limiting membrane (ILM) pada retina

(American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

9

Faktor risiko terjadinya retinopati diabetik digolongkan atas tiga kelompok

besar yaitu, faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, faktor risiko yang dapat

dimodifikasi, dan faktor tambahan lain (penyakit arteri karotis, kehamilan, gangguan

ginjal dan merokok). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah

faktor genetik, jenis kelamin dan durasi DM. Sementara faktor risiko yang dapat

dimodifikasi yaitu kadar gula darah, tekanan darah dan kadar lipid dalam darah

(InaDRS, 2013).

Kadar gula darah yang tidak terkontrol akan menyebabkan penderita DM

lebih cepat mengalami retinopati diabetik. The Diabetes Control and Complication

Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)

menunjukkan bahwa kadar gula darah yang terkontrol akan menurunkan resiko

terjadinya retinopati diabetik. DCCT juga menunjukkan bahwa pengendalian gula

darah secara intensif akan mengurangi progresifitas retinopati diabetik ke arah NPDR

berat, PDR dan edema makula (American Academy of Ophthalmology and Staff,

2011-2012a). Hemoglobin terglikasi (HbA1c) adalah indikator yang digunakan dalam

melihat kontrol kadar gula darah. Setelah durasi follow up rata-rata 10 tahun pada

studi UKPDS, pengurangan HbA1c dari 7,9% menjadi 7% dihubungkan dengan

berkurangnya risiko komplikasi mikrovaskular sebesar 25%. Target HbA1c secara

personal biasanya antara 6,5% - 7,5% (InaDRS, 2013; Dutta, 2005).

Pasien dengan DM seringkali disertai dengan hipertensi. Kontrol tekanan darah

memainkan peran penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan retinopati diabetik.

UKPDS menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sistolik rata-rata sebesar 154-

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

10

144 mmHg mengurangi jumlah mikroaneurisma dalam follow up 4,5 tahun,

mengurangi jumlah hard exudate dan cotton wool spot pada follow up 7,5 tahun dan

juga mengurangi kebutuhan untuk fotokoagulasi. Studi yang sama juga menyebutkan

kontrol ketat tekanan darah dapat menurunkan risiko progresifitas retinopati diabetik

sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47%

(InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010).

Merokok terbukti memiliki hubungan dengan terjadinya komplikasi

mikroangiopati lebih awal pada pasien DM tipe 1 (InaDRS, 2013). Marshall, dkk.,

(1993) dalam studinya menemukan bahwa terdapat hubungan antara jumlah dan

lamanya merokok dengan kejadian PDR. Moss, dkk., (1996) menemukan hasil yang

berbeda, dimana disimpulkan bahwa merokok bukanlah suatu faktor risiko dari

progresifitas retinopati diabetik dalam jangka waktu lama. Disebutkan juga bahwa

tidak terdapat hubungan antara status merokok dengan insiden Diabetic Macular

Edema (DME).

Obesitas juga dikatakan merupakan faktor risiko yang memperberat retinopati

diabetik (InaDRS, 2013). Beberapa penelitian menemukan peningkatan indeks massa

tubuh secara signifikan berhubungan dengan penurunan visus dan peningkatan

keparahan retinopati diabetik. Mekanisme patofisiologi yang mendasari hubungan

antara peningkatan IMT dengan retinopati diabetik belum jelas (Dirani, dkk., 2011).

Dislipidemia sering dijumpai pada pasien DM, yang ditandai dengan adanya

peningkatan kadar plasma trigliserida (TG), penurunan high density lipoprotein

cholesterol (HDL-C), peningkatan small dense low density lipoprotein (sd LDL), dan

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

11

peningkatan kadar apolipoprotein B (Gnaneswaran, dkk., 2013). Dalam studi

komplikasi diabetes, diketahui bahwa peningkatan kadar TG dan LDL berhubungan

dengan progresifitas retinopati setelah 2 tahun (Vinodhini, dkk., 2013). Studi ETDRS

menyimpulkan bahwa peningkatan kadar serum lipid berhubungan dengan

peningkatan risiko adanya hard exudate di retina, dan penurunan kadar lipid dapat

menurunkan risiko pembentukan hard exudate serta mencegah penurunan tajam

penglihatan pada pasien retinopati diabetik (Chew, dkk., 1996).

2.2 Diabetic Macular Edema (DME) dan Clinically Significant Macular Edema

(CSME)

Diabetic macular edema (DME) adalah edema retina yang mengancam atau

melibatkan makula akibat dari abnormalitas pembuluh darah retina pada retinopati

diabetik (American Academy of Ophthalmology and Staff, 20111-2012). DME

merupakan penyebab paling sering hilangnya tajam penglihatan pada pasien dengan

retinopati diabetik (Kern dan Huang, 2010).

Suatu studi di universitas Malaya, Malaysia menunjukkan tingginya

prevalensi makulopati diabetik, yaitu sebesar 26,7 % dari 51,6% prevalensi retinopati

diabetik. Ini berarti setengah dari pasien dengan retinopati diabetik, dapat disertai

adanya makulopati diabetik (Jew, dkk., 2012).

Diagnosis DME dibuat berdasarkan evaluasi segmen posterior dengan slit-

lamp biomicroscopy menggunakan lensa kontak, dengan hal-hal yang menjadi fokus

perhatian adalah lokasi penebalan retina dan jaraknya terhadap fovea, adanya eksudat

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

12

dan lokasinya, serta ada atau tidaknya cystoid macular edema (CME) (American

Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Modalitas lain yang digunakan

untuk menegakkan diagnosa DME adalah foto fundus, fluorescein angiography, time

domain atau spectral domain optical coherence tomography (OCT) (Massin, dkk.,

2010).

Pemeriksaan OCT digunakan sebagai pencitraan resolusi tinggi pada retina

serta untuk mendeteksi peningkatan ketebalan retina. Pada kasus DME, OCT

menunjukkan adanya peningkatan ketebalan retina dan terdapat area intraretinal

dengan reflektivitas yang rendah, terutama pada lapisan retina luar (Massin, dkk.,

2010). Studi oleh Otani, dkk (1999) menyebutkan bahwa ketebalan retina di fovea

sentral pada kasus DME adalah 250 – 1000 µm (mean 470 ± 180 µm), sementara

ketebalan retina fovea sentral normal adalah 182 ± 3 µm. Beberapa studi

membandingkan peran OCT dengan foto fundus dalam menegakkan diagnosa DME,

dan dilaporkan bahwa OCT lebih sensitif dalam mengukur perubahan ketebalan

retina dari waktu ke waktu, khususnya pada kasus DME pasca terapi (Davis, dkk.,

2008).

Gambar 2.1 OCT pada DME. Tampak adanya penebalan retina dan area cystoid

(Kanski, 2011)

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

13

Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) mengklasifikasikan

kembali DME berdasarkan pada prognosis tajam penglihatan dan pertimbangan

terapinya (Raman, dkk., 2010). Clinically significant macular edema (CSME)

didefinisikan sebagai adanya edema retina yang terletak di sentral makula atau dalam

radius 500 µm dari sentral makula (Gambar 2.2a), atau terdapat hard exudate yang

terletak di sentral makula atau dalam radius 500 µm dari sentral makula dihubungkan

dengan adanya penebalan retina di sekitarnya (Gambar 2.2b). Kriteria lainnya adalah

terdapat zona retina yang menebal lebih besar dari 1 area diskus dan berada dalam

jarak 1 diameter diskus dari sentral makula (Gambar 2.2c) (American Academy of

Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew dan Ferris III, 2006).

Gambar 2.2a-c. Clinically significant macular edema (CSME) (American Academy of

Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).

Clinically significant macular edema lebih lanjut diklasifikasikan atas CSME

fokal dan difus, sesuai dengan gambaran kebocoran pada pemeriksaan fluorescein

angiogram (FA). Pada CSME fokal, tampak adanya area kebocoran fluorescein fokal

dengan batas yang tegas sementara pada edema makula difus dicirikan oleh adanya

kebocoran yang luas dalam area sentralis (Gambar 2.3a-b). Laser fotokoagulasi fokal

2a 2b 2c

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

14

merupakan tindakan yang dipilih pada kasus CSME fokal, dan pada kondisi CSME

difus digunakan laser grid sebagai pilihan (American Academy of Ophthalmology and

Staff, 2011-2012a; Bhagat, dkk., 2009).

Gambar 2.3 a. CSME fokal, FA menunjukkan lesi punctate hiperfluorescen; b. CSME difus,

tampak area kebocoran yang difus pada FA (Bhagat, dkk., 2009).

Patogenesis DME/ CSME sangat kompleks dan multifaktorial. Pada

prinsipnya DME dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan blood-retinal barrier

(BRB), sehingga menyebabkan akumulasi cairan di dalam lapisan intraretinal dari

makula, yang kemudian diikuti oleh adanya ekstravasasi lipid plasma dari

intravascular lumen. Ekstravasasi lipid ini dapat mencapai lapisan retina dalam yang

terdiri atas fotoreseptor, sehingga menimbulkan hilangnya tajam penglihatan. Studi

lain menyatakan bahwa interaksi antara sitokin dan growth factor (VEGF) juga turut

berperan dalam patogenesis DME (Schmidt-Erfurth, 2010; Bhagat, dkk., 2009).

a b

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

15

Gambar 2.4 Mekanisme DME, akibat gangguan pada permeabilitas pembuluh darah

retina (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).

Serupa dengan retinopati diabetik, kontrol glikemik yang buruk, durasi DM,

hipertensi, merokok, dislipidemia dan kehamilan juga berpengaruh pada DME. The

Epidemiology of Diabetes Interventions and Control Study (EDIC) menunjukkan

bahwa angka kejadian DME yang memerlukan terapi laser pada pasien DM tipe 1

lebih rendah pada pasien dengan kontrol glikemik yang baik dibandingkan dengan

yang kontrol glikemiknya buruk. Hasil yang sama diperoleh oleh The United

Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada pasien dengan DM tipe 2

(Danis, 2008). Menurut Moss, dkk., (1996) dalam studinya tidak menemukan adanya

hubungan antara merokok dengan insiden DME. Belum terdapat studi yang

menghubungkan antara obesitas dengan kejadian DME.

Dislipidemia merupakan faktor risiko yang independen pada DME dan

turunnya tajam penglihatan pada pasien retinopati diabetik. Hal ini diakibatkan oleh

peningkatan jumlah hard exudate pada pasien DM yang mengalami hiperlipidemia

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

16

(Danis, 2008). Eksudasi lipid pada DME disebabkan karena adanya peningkatan

permeabilitas pembuluh darah dan gangguan fungsi pada blood-retinal barrier

(Raman, dkk., 2010). Hiperlipidemia diketahui menyebabkan disfungsi endothelial

akibat penurunan bioavailabilitas nitric oxide dan berakibat pada pembentukan

eksudat pada retinopati diabetik (Cetin, dkk., 2013).

Diabetic macular edema (DME) tergolong penyakit yang kronis, dan resolusi

spontan jarang terjadi. Hilangnya tajam penglihatan (≥15 huruf pada ETDRS chart)

dalam waktu 3 tahun dapat dialami oleh 24% pasien dengan CSME yang tidak

mendapatkan penanganan. Insiden edema makula ini secara signifikan meningkat

seiring dengan peningkatan tingkat keparahan diabetes (Bhagat, dkk., 2009).

2.3 Apolipoprotein B

Lipoprotein yang terdiri atas fosfolipid, protein (apolipoprotein), kolesterol dan

trigliserida, memiliki peranan dalam transpor molekul hidrofobik dalam plasma

darah. Lipoprotein berfungsi untuk transfer lipid dari tempat produksi menuju

jaringan tubuh untuk menghasilkan energi, penyimpanan atau sintesis hormon.

Sistem transpor lipid ini diatur oleh enzim (lipase, dsb), reseptor sel dan

apolipoprotein (Marcovina dan Packard, 2006).

Apolipoprotein adalah komponen dari partikel lipoprotein, yang bekerja

sebagai cofactors bagi lipid-metabolizing enzyme dan sebagai ligand bagi reseptor

lipoprotein (Wojczynski dkk, 2010). Apolipoprotein A1 (ApoA1) merupakan bagian

dari high density lipoprotein (HDL), sementara apolipoprotein B (ApoB) adalah

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

17

bagian dari chylomicrons, very low density lipoprotein (VLDL), intermediate density

lipoprotein (IDL), low density lipoprotein (LDL) dan lipoprotein(a) [Lp(a)]. Masing-

masing memiliki peranan dalam metabolisme lipid, dimana ApoA1 berperan untuk

transport kolesterol berlebih dari jaringan perifer menuju liver untuk diekskresi dan

ApoB berperan dalam transport lipid dari liver dan usus menuju jaringan perifer

(Marcovina dan Packard, 2006). Terdapat 2 bentuk dari apolipoprotein B, yaitu

ApoB48 dan ApoB100. Apolipoprotein B100 (ApoB100) merupakan kelompok

ApoB yang terdiri atas 4563 asam amino, sementara ApoB48 merupakan protein

yang bersifat unik karena setelah sebagian besar lipid di dalam chylomicrons

terabsorbsi, ApoB48 akan kembali ke liver sebagai bagian dari chylomicrons untuk

mengalami endositosis dan degradasi (Elhomsy, dkk., 2012).

Gambar 2.5 Subkelas lipoprotein dan apolipoprotein B yang terdapat dalam

lipoprotein (Harper, dkk., 2010)

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

18

Apolipoprotein B merupakan satu-satunya lipoprotein yang dapat meningkat

pada pasien normolipidemi, sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah

total partikel atherogenik sekalipun pasien tidak dalam kondisi hiperlipidemia (Rizk,

dkk., 2013; Iwai, dkk., 1990).

Peningkatan kadar ApoB dapat terjadi pada DM, hipotiroid, sindroma

nefrotik, dan kehamilan. Sementara penurunan kadar ApoB dapat disebabkan oleh

kondisi-kondisi yang mempengaruhi produksi atau sintesisnya di dalam hati, seperti

hipertiroid, sirosis hepatis dan malnutrisi (Elhomsy, dkk., 2012).

2.4 Kadar Apolipoprotein B pada Retinopati Diabetik dan Clinically Significant

Macular Edema

Penggunaan ApoB sebagai marker hiperlipidemia didukung oleh berbagai

kepustakaan, diantaranya oleh Iwai, dkk., (1990) yang menyebutkan bahwa ApoB

merupakan partikel yang meningkat pada pasien DM walaupun pasien dalam kondisi

normolipidemik. Seperti disebutkan sebelumnya, ApoB terdapat pada chylomicrons,

VLDL, IDL, LDL dan Lp(a). Masing-masing partikel tersebut mengandung satu

molekul ApoB tunggal, sehingga pengukuran total ApoB dapat menggambarkan

keseluruhan partikel yang bersifat atherogenik (Brunzell, dkk., 2008).

Hubungan antara lipid dan apolipoprotein dengan penyakit kardiovaskular

atherosklerotik dapat memberikan petunjuk yang penting terhadap hubungan antara

apolipoprotein dan retinopati (Vinodhini, dkk., 2013). Suatu studi di bagian

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

19

kardiologi menyatakan non-HDL cholesterol (kolesterol total – kolesterol HDL) dan

ApoB adalah prediktor penyakit kardiovaskular (CVD) yang lebih baik, dibandingkan

dengan LDL (Davidson, 2009). Berdasarkan hal ini, maka saat kadar kolesterol LDL

normal atau rendah pemeriksaan kadar ApoB merupakan pemeriksaan yang efektif

untuk mengevaluasi risiko residual CVD, demikian juga halnya untuk mengevaluasi

risiko perubahan biofisiologis yang berhubungan dengan retinopati diabetik

(Vinodhini, 2013; Brunzell, dkk., 2008).

Apabila konsentrasi LDL kolesterol rendah, normal atau hanya sedikit

meningkat, namun kadar ApoB mengalami peningkatan secara signifikan, yang

mungkin terjadi adalah jumlah partikel LDL yang berukuran kecil, padat dan bersifat

lebih atherogenik meningkat (Jayalakshmi, dkk., 2012). Low Density Lipoprotein

(LDL) berukuran kecil bersifat lebih atherogenik karena mudah melewati

endothelium dan mudah teroksidasi, sehingga turut berkontribusi pada retinal

capillary injury. Pada kapiler retina, LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap perisit

dan sel endotel, serta memiliki efek protrombotik yang disebabkan oleh aktivasi

protein kinase C (PKC) (Lyons, dkk., 2004).

Sasongko, dkk., (2011) menunjukkan bahwa ApoA1, ApoB dan rasio ApoB

terhadap ApoA1 berhubungan secara signifikan dengan retinopati diabetik dan

tingkat keparahannya. Tingginya kadar lipoprotein yang berikatan dengan toksin,

yang bersifat destruktif terhadap pembuluh darah retina digambarkan oleh adanya

peningkatan kadar ApoB (Wu, dkk., 2008). Deguchi, dkk (2011) dalam studinya

menyebutkan bahwa kadar ApoB dan rasio ApoB terhadap ApoA1 (ApoB/ApoA1)

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Retinopati Diabetik II.pdf · sebesar 34% dan juga menurunkan risiko perburukan tajam penglihatan sebesar 47% (InaDRS, 2013; Kern dan Huang, 2010). Merokok

20

yang tinggi turut berkontribusi dalam perkembangan PDR. Hal yang sama juga

disampaikan oleh Hu, dkk (2012) dalam studinya di Guangzhou terhadap 50 pasien

retinopati diabetik, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara rendahnya rasio

ApoA1 terhadap ApoB (ApoA1/ApoB) dengan PDR pada pasien yang menderita DM

tipe 2 selama lebih dari 15 tahun.

Salah satu tanda dari retinopati diabetik yaitu hard exudate pada retina sangat

berhubungan dengan kadar lipoprotein plasma karena diketahui bahwa eksudat ini

kaya akan lipid. Peningkatan lipid akan menyebabkan peningkatan risiko munculnya

hard exudate yang apabila berada di makula atau sekitar makula (CSME) akan

berakibat pada perburukan tajam penglihatan (Jayalakshmi, dkk., 2012).