13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998) Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000) Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ) Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003) Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringantubuh lainnya. Penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada masyarakat dinegara-negara berkembang dan menimbulkan dampak psikologis, social dan ekonomi. 2.2 Etiologi dan Klasifikasi 3

Bab II Kusta Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kusta

Citation preview

Page 1: Bab II Kusta Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiKusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta

(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)

Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )

Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringantubuh lainnya.

Penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Penyakit kusta adalah suatu penyakit  kronis menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada masyarakat dinegara-negara berkembang dan menimbulkan dampak psikologis, social dan ekonomi.

2.2 Etiologi dan Klasifikasi

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari hingga 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

Klasifikasi

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi:

3

Page 2: Bab II Kusta Fix

1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagimenjadiduakelompok, yaitu :

1. PansiBasiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, 

2.3 PatofisiologiMeskipun cara masuk M. Leprae ketubuh belum diketahui pasti, beberapa

penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae kekulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.

M. Leprae ( ParasisObligatIntraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuhan system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

4

Page 3: Bab II Kusta Fix

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtianlonghans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

2.4 Manifestasi Klinik

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

a) Mengenai kulit dan saraf.

b) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

c) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

d) Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

a) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

b) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

c) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

d) Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

a) Tipe paling tidakstabil, jarangdijumpai.

b) Lesidapatberbentukmacula infiltrate.

c) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.

5

Page 4: Bab II Kusta Fix

d) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

e) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

A. Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

B. Distribusi lesi khas :

a) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

b) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

C. Stadium lanjutan :

a) Penebalan kulit progresif

b) Cuping telinga menebal

c) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intisdan keratitis.

D. Lebih lanjut

a) Deformitas hidung

b) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

c) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glousesanestesi.

6

Page 5: Bab II Kusta Fix

d) Penyakit progresif, macula dan popul baru.

e) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

E. Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

a) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

b) Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

c) Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

d) Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

a) Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaanb) Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

c) Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

d) Lidah : ulkus, nodus

e) Larings : suara parau

f) Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

g) Kelenjarlimfe : limfadenitis

h) Rambut : alopesia, madarosis

i) Ginjal :glomerulonefritis, amilodosisginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

7

Page 6: Bab II Kusta Fix

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinalberikut: 1)Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan BakteriologisKetentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak

ditemukan lesi ditempat lain.3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu

ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium

leprae ialah:a) Cuping telinga kiri atau kananb) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain

5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:a) Tidak menyenangkan pasienb) Positif palsu karena ada mikobakterium lainc) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir

hidung apabila sedian apus kulit negatif.d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung

lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain. 6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a) Semua orang yang dicurigai menderita kustab) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkustac) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau

karenatersangka kuman resisten terhadap obatd) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali

7.  Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett

8.  Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

8

Page 7: Bab II Kusta Fix

Indeks Bakteri (IB) :Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.

IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

2.6 Pengobatan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

9

Page 8: Bab II Kusta Fix

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anakKlofazimin:

Umur, dibawah 10 tahun: /bln Harian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg /3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaruMetode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut

WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obatPada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis

dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

2.7 Komplikasi

1. Impairment, kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat patologik, fisiologik atau anatomic misalnya ulkus, claw hand, absorbs jari

2. Disability, keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan aktivitas.

3. Deformity atau kelainan struktur anatomis4. Osteomielitis5. Squamous cell6. Carcinoma

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

a) Kelompok cacat primer 10

Page 9: Bab II Kusta Fix

Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf

motorik, misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas berkurang, serta gangguan refleks vasodilatasi.

Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.

Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.

b) Kelompok cacat sekunder Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat

adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.

11