26
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Religiusitas a. Pengertian Religiusitas Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya. Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu memberi dorongan terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119). Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. ReligiusitasBAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Religiusitas a. Pengertian Religiusitas Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 11

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Kajian Teori

    1. Religiusitas

    a. Pengertian Religiusitas

    Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion

    (Inggris), religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut

    Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa

    latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat.

    Maksudnya adalah suatu kewajiban kewajiban atau aturan-aturan yang

    harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan

    mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam

    hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam

    sekitarnya.

    Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan

    Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu

    memberi dorongan terhadap jiwa manusia yang berakal agar

    berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri,

    tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

    kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).

    Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti

    ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang

  • 12

    dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada

    manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan

    panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap

    kehidupan manusia sehari-hari. Agama sangat mendorong pemeluknya

    untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya

    serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

    Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76)

    mendefinisikan agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan,

    sistem nilai dan system perilaku yang terlambangkan yang semuanya

    itu berpusat pada persoalan persoalan yang dihayati sebagai yang paling

    maknawi (ultimate meaning. Hawari (dalam Ancok, 1995: 76)

    menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan

    atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan

    ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas

    diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas yang

    tampak dan dapat dilihat oleh mata, serta aktivitas yang tidak tampak

    yang terjadi dalam hati seseorang.

    Religiusitas perlu dibedakan dengan agama, karena konotasi

    agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam

    aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih

    pada aspek ’lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut

    ( Shadily,1986: 16 ).

  • 13

    Senada dengan Shadily, Ansori (dalam Ghufron, 2010: 167)

    membedakan istilah religi atau agama dengan religiusitas. Jika agama

    menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan urutan dan

    kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah

    dihayati oleh seseorang dalam hati.

    Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang

    tidak dapat dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti &

    Ritandiyono 2008: 172) bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih

    menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang mengatur tata

    penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih

    menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih

    menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama

    dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena

    keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang

    mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub

    kebersamaannya di tengah masyarakat.

    Religiusitas pada umumnya terdapat sesuatu yang dirasakan

    sangat dalam dan bersentuhan dengan keinginan seseorang,

    membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat

    seseorang dalam suatu masyarakat (Nashori , 2002: 69).

    Menurut Jalaluddin (2001: 89) mendefinisikan religiusitas

    merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang

    mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya

  • 14

    terhadap agama. Religiusitas merupakan perilaku yang bersumber

    langsung atau tidak langsung kepada Nash.

    Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas

    adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang

    mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun

    tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama

    yang dianutnya

    b. Dimensi Religiusitas

    Glock dan Stark (dalam Ancok 1995: 77) membagi dimensi atau

    aspek religiusitas menjadi lima, kelima aspek atau dimensi tersebut

    yaitu :

    1) Religious Belief (The Ideological Dimension)

    Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga

    dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang

    menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya

    kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun

    harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan

    yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan

    untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan

    tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga

    menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya.

    Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang

    terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku

  • 15

    dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih

    bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi

    keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan

    (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat

    syahadat, Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi

    Muhammad itu utusan allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan

    ini menuntut dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang

    sesuai dengan nilai-nilai Islam.

    2) Religious Practice (The Ritual Dimension)

    Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh

    mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam

    agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan,

    kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang

    dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah

    prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan

    ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam

    agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat,

    puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.

    3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)

    Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut

    dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman

    yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan

    Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan,

  • 16

    diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso

    (1995) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud

    dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan

    bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah.

    Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa,

    perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al

    Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat

    peringatan atau pertolongan dari Allah.

    4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)

    Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi

    pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa

    jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya,

    terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi

    pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa

    jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya,

    terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya.

    paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal

    pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritusritus, kitab suci dan

    tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat

    pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran

    agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya,

    sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya.

  • 17

    5) Religious Effect (The Consequential Dimension)

    Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang

    mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-

    ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia

    mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan,

    mendermakan hartanya, dan sebagainya.

    c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

    Thouless (1971: 34) membedakan faktor-faktor yang

    mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu:

    1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

    Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

    keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi

    sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

    dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan

    itu.

    2) Faktor pengalaman

    Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap

    keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik

    moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya

    berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi

    perilaku individu.

  • 18

    3) Faktor kehidupan

    Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat,

    yaitu:

    a) Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan,

    b) Kebutuhan akan cinta kasih,

    c) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan

    d) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

    4) Faktor intelektual

    Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau

    rasionalisasi.

    Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa setiap

    individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh

    dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan eksternal.

    Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas seperti adanya

    pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan individu

    yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman,

    harga diri, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan pengaruh

    eksternalnya seperti pendidikan formal, pendidikan agama dalam

    keluarga, tradisi-tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai

    keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan

    individu.

  • 19

    2. Kecemasan

    a. Pengertian

    Salah satu dari bentuk simtom neurotis yang paling umum adalah

    keadaan takut terus-menerus, meliputi ketakutan biasa yaitu respon

    terhadap rangsang menakutkan yang terjadi sekarang dan ketakutan

    neurotis yaitu respon terhadap kesukaran-kesukaran yang belum terjadi.

    Ketakutan neurotis inilah yang seringkali disebut dengan kecemasan

    atau anxietas (Mahmud, 1990: 235).

    Hal ini sesuai dengan pendapat Nevid (2003: 163) yang

    menyatakan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan aprehensi atau

    keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan

    terjadi.

    Sobur (2003: 345) mengatakan bahwa kecemasan adalah

    ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai

    tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam.

    Daradjat (1996: 17) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan

    manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang

    terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan

    pertentangan batin (konflik). Daradjat menyebutkan bahwa kecemasan

    mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya,

    rasa berdosa atau bersalah, terancam, dan sebagainya, juga segi-segi

    yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang

    tidak menyenangkan itu.

  • 20

    Ghufron (2010: 142) menyatakan bahwa kecemasan merupakan

    pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan mengenai

    kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan

    emosi yang dialami oleh seseorang. Kecemasan ada ketika seseorang

    tidak dapat meramalkan atau menguasai (mengendalikan) suatu

    situasi/objek sehingga terdapat ketakutan terhadap objek itu.

    Kecemasan berkaitan dengan kesiapan pengantisipasian terhadap suatu

    objek tertentu.

    Berdasarkan uraian pendapat para tokoh di atas, maka dapat

    disimpulkan bahwa kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang

    ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam

    dan berkelanjutan ketika seseorang tidak dapat meramalkan atau

    menguasai (mengendalikan) suatu situasi/objek sehingga terdapat

    ketakutan atau kekhawatiran terhadap situasi/objek tersebut.

    b. Gejala-gejala Kecemasan

    Daradjat (1996: 28) mengklasifikasikan gejala kecemasan

    sebagai berikut:

    1) Gejala fisik (fisiologis)

    Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-

    gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, ciri-cirinya: ujung

    jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat,

    keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak,

    nafsu makan menghilang, kepala pusing dan sesak nafas.

  • 21

    2) Gejala mental (psikologis)

    Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan, ciri-cirinya; takut,

    tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak

    berdaya, rendah diri, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan hidup,

    perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri dan tidak mempunyai

    motivasi.

    c. Jenis-jenis Kecemasan

    Freud (dalam Alwisol 2006: 26) membedakan tiga macam

    kecemasan berdasarkan sumbernya, yaitu:

    1) Kecemasan realistik (realistic anxiety)

    Kecemasan realistik adalah rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di

    dunia luar, kecemasan realistik menjadi asal mula timbulnya

    kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

    2) Kecemasan neurotik (neurotic anxiety)

    Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang akan

    diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya jika individu

    memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakini akan

    mendapat hukuman. Hukuman dan figur pemberi hukuman dalam

    kecemasan neurotik bersifat khayalan.

    3) Kecemasan moral (moral anxiety)

    Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul ketika individu

    melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan moral dan kecemasan

    neurotik tampak mirip, tetapi memiliki perbedaan prinsip, yakni

  • 22

    pada tingkat kontrol ego. Pada kecemasan moral, individu tetap

    rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi superego,

    sedangkan pada kecemasan neurotik individu dalam keadaan distres-

    terkadang panik sehingga individu tidak dapat berpikir jelas dan

    energi id menghambat penderita kecemasan neurotik untuk

    membedakan antara khayalan dengan kenyataan.

    Freud (dalam Notowidagdo, 2002: 203) membagi kecemasan

    dalam tiga macam, yaitu:

    1) Kecemasan obyektif (objective anxiety) adalah reaksi terhadap

    pengenalan akan adanya bahaya dari luar atau adanya kemungkinan

    bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya yang

    disangkanya akan terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan

    ini timbul akibat melihat dan mengetahui adanya bahaya yang

    mengancam dirinya. Kecemasan jenis ini dapat disebut sebagai

    reality anxiety (kecemasan nyata), true anxiety (kecemasan

    sebenarnya), atau normal anxiety (kecemasan yang wajar).

    2) Kecemasan penyakit (neurotic anxiety) adalah suatu ketakutan

    yang mungkin terjadi. Kecemasan neurotik ini sudah merupakan

    penyakit. Terdapat tiga bentuk dalam kecemasan neurotik, antara

    lain:

    a) Kecemasan secara umum, kecemasan ini merupakan yang

    paling sederhana, karena tidak berhubungan dengan sesuatu hal

  • 23

    tertentu. Individu merasa takut yang samar dan umum serta

    tidak menentu.

    b) Kecemasan neurotik yang obyeknya benda-benda atau hal-hal

    tertentu, misalnya takut melihat darah, atau serangga.

    c) Kecemasan dalam bentuk ancaman, kecemasan ini adalah

    dalam bentuk cemas yang menyertai gejala gangguan kejiwaan

    seperti histeria. Individu yang menderita gejala tersebut

    kadang-kadang merasa cemas, yang akhirnya menjadikan

    adanya perasaan takut.

    3) Kecemasan moral (moral anxiety) adalah kecemasan yang timbul

    akibat dari dorongan perasaan, rasa dosa, dan kecemasan yang

    berhubungan dengan gejala gangguan kekecewaan itu sendiri

    Kecemasan dalam pengertian yang lebih mendalam seringkali

    digolongkan ke dalam beberapa pengertian.

    Sinambela (dalam Marsal, 2008: 13) membagi kecemasan menjadi:

    1) Manifest Anxiety, yaitu suatu tingkat kecemasan yang merupakan

    suatu pengungkapan seseorang pada saat-saat tertentu.

    2) Test anxiety, yaitu kecemasan yang dihubungkan dengan

    pengambilan keputusan dengan melalui proses evaluasi.

    3) State anxiety, yaitu suatu predisposisi untuk kecemasan.

    Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bentuk

    kecemasan ada tiga, yaitu kecemasan obyektif (objective anxiety),

  • 24

    kecemasan penyakit (neurotic anxiety), kecemasan moral (moral

    anxiety), manifest anxiety, test anxiety, dan state anxiety.

    Berdasarkan jenis-jenis kecemasan tersebut, kecemasan

    menghadapi dunia kerja termasuk ke dalam kelompok kecemasan

    realitas karena kecemasan menghadapi dunia kerja bersumber dari

    peristiwa yang terjadi dalam menghadapi dunia kerja. Selain dari

    sumbernya, kecemasan menghadapi dunia kerja dapat digolongkan

    sebagai state anxiety berdasarkan respon yang muncul. Kecemasan

    menghadapi dunia kerja adalah kecemasan yang sifatnya sementara,

    karena kecemasan hanya muncul pada situasi tertentu.

    d. Tingkat Kecemasan

    Kecemasan diidentifikasi menjadi 4 tingkat (level) yaitu;

    ringan, sedang, berat, dan panik (Frisch, Stuart & Laraia, 1998,

    disadur dari Peplau, 1963).

    1) Kecemasan Ringan

    Kecemasan ringan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan

    menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan

    lapang persepsinya. Individu melihat, mendengar, dan memegang

    secara lebih dibanding sebelumnya. Kecemasan jenis ini dapat

    memotivasi belajar dan menghasilkan perkembangan dan

    kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah

    kelelahan, iritabel, lapang presepsi meningkat, kesadaran tinggi,

  • 25

    mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai

    situasi.

    2) Kecemasan Sedang

    Kecemasan sedang memungkinkan seseorang hanya berfokus pada

    persoalan yang sedang, melibatkan penyempitan dari lapangan

    persepsi sehingga individu kurang melihat, mendengar dan

    menggenggam. Individu menahan beberapa area terpilih tetapi

    dapat menyelesaikan jika diarahkan. Manifestasi yang terjadi pada

    tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung

    dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat

    dengan volume tinggi, lahan presepsi menyempit, mampu belajar

    tapi tidak maksimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian

    selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah

    kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah

    dan menangis.

    3) Kecemasan Berat

    Kecemasan berat ditandai oleh penurunan lapang persepsi. Individu

    cenderung berfokus pada sesuatu yang khusus dan detail dan tidak

    berfikir tentang hal-hal lain. Semua tingkahlaku pada pengurangan

    kecemasan, dan memerlukan banyak bimbingan untuk berfokus

    pada area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini

    adalah mengeluh pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur, sering

    kencing, diare, palpilasi, lahan presepsi menyempit, tidak mau

  • 26

    belajar secara efektif, berfokus pada diri sendiri dan keinginan

    untuk menghilangkan kecemasan sangat tinggi, perasaan tidak

    berdaya, binggung dan disorientasi.

    4) Panik

    Panik berhubungan dengan perasaan takut, ketakutan, dan teror.

    Karena kehilangan kontrol/kendali secara lengkap, individu tidak

    dapat melakukan sesuatu, walaupun dengan bimbingan. Panik

    melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi peningkatan aktivitas

    motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang

    lain, persepsinya menyimpang, dan kehilangan pikiran yang

    rasional. Panik adalah pengalaman yang menakutkan dan

    melemahkan. Seseorang yang panik tidak dapat berfungsi atau

    berkomunikasi secara efektif. Manifestasi pada orang yang panik

    adalah susah bernafas, dilantasi pupil, palpilasi, pucat, diaphoresis,

    pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah

    yang sederhana, berteriak, menjerit mengalami halusinasi dan

    delusi. Tingkat kecemasan ini tidak dapat berlangsung dalam

    jangka waktu yang tidak terbatas sebab pertentangan dengan

    kehidupan. Panik dalam jangka waktu yang lama dapat

    menyebabkan kelelahan dan kematian.

  • 27

    3. Kecemasan menghadapi dunia kerja

    Kerja adalah dunia yang akan segera dimasuki oleh mahasiswa

    semester akhir yang sudah menyelesaikan studinya di sebuah perguruan

    tinggi. Dunia kerja memiliki banyak bidang dan cakupan dunia kerja

    sangatlah luas. Disetiap bidang dunia kerja dituntut adanya kemampuan,

    keahlian, ketrampilan khusus profesionalisme dan usaha untuk terus maju

    berkembang. Mengatasi permasalahan dan tuntutan tersebut, maka

    diperlukan kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan kemampuan yang

    dimiliki.

    Mahasiswa semester akhir dituntut memiliki kesiapan mental

    dalam masa persiapan untuk memasuki dunia kerja. Apabila ia merasa

    tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik, ia cenderung akan

    memiliki kecemasan untuk memasuki dunia kerja. Kecemasan menghadapi

    dunia kerja adalah perasaan khawatir yang dialami seseorang ketika

    memasuki dunia kerja. Kecemasan itu dapat disebabkan oleh banyak

    faktor yaitu lemahnya keimanan atau kepercayaan mereka terhadap Allah

    SWT , Selalu bergantung pada diri sendiri dan sesama manusia dalam

    urusan rezeki sehingga lupa menggantungkan hidupnya kepada Allah,

    Tuhan yang telah menciptakan dan memberinya rezeki dan konsepsi

    mereka bahwa, rezeki itu juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan

    ijazah seseorang, artinya bila seseorang berijazah tinggi setinggi itu pula

    rezekinya (Aziz : 22).

  • 28

    Muchlas (dalam Megawati, 1999: 12) menyebutkan faktor yang

    mempengaruhi kecemasan, yaitu : diantaranya Pendidikan dan Agama,

    kurangnya ilmu yang didapat dari perguruan tinggi dirasa sangat

    berpengaruh karena membuat mahasiswa kurang percaya diri dalam

    bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif dan sempit. Selain itu

    kurangnya keyakinan bahwa Allah telah mengatur tentang semua rezeki

    kepada hambanya juga membuat mahasiswa semakin cemas dalam

    menghadapi fenomena dunia kerja saat ini.

    Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam

    proses mengerjakan tugas akhir (skripsi) di perguruan tinggi atau

    universitas. Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon lulusan yang

    selanjutnya akan melanjutkan masa depannya ke dunia kerja.

    Bagi mahasiswa semester akhir dunia kerja adalah dunia yang

    belum pernah mereka masuki, namun itu adalah dunia yang sudah sangat

    dekat dengan mereka. Karena setelah lulus nanti mereka pasti akan masuk

    ke dalam dunia kerja. Bagi mereka hal ini belum bisa dipahami

    sepenuhnya karena mereka belum bisa merasakan bagaimana kehidupan di

    dunia kerja sesungguhnya. Namun inilah kenyataan yang harus mereka

    alami setelah mereka lulus nanti. Jadi, dalam hal ini dapat dilihat bahwa

    kecemasan mahasiswa semester akhir bisa diakibatkan oleh permasalahan

    akademis dan permasalahan ketika mereka dihadapkan pada permasalahan

    tentang dunia kerja yang segera akan mereka masuki. Ketika gejala

    kecemasan itu muncul, perasaan tidak mengenakkan menyertai rutinitas

  • 29

    mereka dan disertai perubahan fisik, perilaku serta gejala-gejala lainnya

    yang dapat dikatakan sebagai gejala kecemasan.

    4. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Menghadapi Dunia

    Kerja

    Kecemasan menghadapi dunia kerja adalah perasaan khawatir yang

    dialami seseorang ketika menghadapi atau memasuki dunia kerja.

    Kecemasan dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya peluang kerja

    yang semakin sempit, persaingan yang semakin ketat, pengalaman yang

    sedikit dan dibutuhkannya kompetensi seperti pengetahuan, keterampilan

    serta sikap atau perilaku. Biasanya kecemasan ini dialami oleh mereka

    yang baru saja menyelesaikan studinya (pendidikan) atau fresh graduate

    dan adanya keinginan untuk mencari pekerjaan sesuai dengan latar

    belakang pendidikan yang dimiliki.

    Kecemasan terjadi karena tidak terpenuhinya rasa aman dalam diri

    individu. Rasa aman tersebut dapat diperoleh melalui beberapa kegiatan

    yang berhubugan dengan agama, karena didalam individu, baik krisis fisik

    maupun krisis psikologi membuat mencari jalan atau terapis masalah

    yang dihadapi dan disinilah agama berperan (Yusuf, 2002 : 107).

    Hambaly (dalam Marsal. 2008: 210) mengatakan salah satu faktor yang

    dapat menurunkan atau mengurangi kecemasan adalah religiusitas.

    Kedekatan individu dengan sang pencipta dapat membuat seseoang aman

  • 30

    sehingga rasa cemas dapat dihindari. Makin religius seseorang,

    kemungkinan mengalami kecemasan makin rendah.

    Ghufron (2010: 167) mengemukakan bahwa religiusitas menunjuk

    pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukan

    bahwa individu telah menghayati dan menjalankan ajaran agamanya

    sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.

    Latar belakang kehidupan keagamaan mahasiswa dan ajaran agama

    memainkan peran penting dalam menentukan ketenangan dan kemantapan

    hati mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Jalaludin (2005: 234)

    mengatakan bahwa pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah

    memberikan kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses

    dan rasa puas. Perasaan positif ini selanjutnya akan memotivasi dalam

    mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan

    yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai

    mempunyai unsur kesucian serta ketaatan.

    Religiusitas yang tinggi pada mahasiswa menjadikan mahasiswa

    memiliki kesiapan dalam menghadapi dunia kerja. Keinginan dalam

    mendapatkan pekerjaan bagi mahasiswa yang religius, selalu di ikuti

    dengan kesiapan untuk gagal. Keberhasilan atau kegagalan adalah bagian

    dari cinta Allah kepada umatNya dan tergantung dari bagaimana

    mahasiswa mampu menyiapkan atau tidak. Selain berusaha

    mempersiapkan dengan baik, hendaknya mahasiswa juga bersungguh

    sungguh dan berikhtiar.

  • 31

    Peranan kehidupan religius berpengaruh dalam mengurangi

    kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Kecemasan dengan

    religiusitas menjadi dua faktor penting yang berpengaruh pada efek

    psikologi mahasiswa yang akan menghadapi dunia kerja. Agama dapat

    memantapkan kembali jiwa mahasiswa yang mengalami kebimbangan

    kebimbangan. Jesild (dalam Subandi. 1998: 2) mengatakan bahwa agama

    akan memberikan kepastian dan kepercayaan diri pada mahasiswa, agama

    juga dapat meningkatkan rasa aman dan mencegah rasa cemas atau panik

    pada mahasiswa.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan jika mahasiswa memiliki

    tingkat religiusitas tinggi maka kecemasan dalam menghadapi dunia kerja

    akan berkurang, sehingga diduga religiusitas mempengaruhi kecemasan

    mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja.

    B. Hasil Penelitian yang Relevan

    Hasil penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang dilakukan

    oleh Ernia Yunita Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

    Tahun 2014, Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Menghadapi

    Dunia Kerja Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah

    Surakarta. Hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan negatif yang

    sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi

    dunia kerja. Hal ini ditunjukkan dari analisis korelasi product moment sebesar

    - 0.434 dengan p = 0,000 (p < 0,01) dan didapatkan sumbangan efektif

  • 32

    kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja sebesar 18,8%.

    Hipotesis dalam penelitian ini diterima.

    Selanjutnya penelitian dari Rizki Larinta Program Studi Psikologi

    Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

    Jogjakarta Tahun 2006 dengan judul Hubungan Religiusitas dengan

    Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) 2006 pada

    Siswa SMU. Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan diperoleh nilai

    korelasi antara religiusitas dan kecemasan menghadapi UAN adalah sebesar -

    0,391 dengan tingkat signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil

    analisis korelasi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ada

    hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi

    UAN pada siswa SMA, dimana semakin tinggi religiusitas pada siswa maka

    semakin rendah kecemasan menghadapi UAN dan sebaliknya semakin rendah

    religiusitas pada siswa semakin tinggi kecemasan menghadapi UAN.

    Selanjutnya penelitian dari Hasna Amania Program Studi Psikologi

    Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Tahun 2013 dengan judul

    Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Efikasi Diri dengan Kecemasan

    Menghadapi Dunia Kerja pada Penyandang Tuna Daksa Dari hasil analisis

    regresi linier berganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,648;

    p=0,000 (p Ftabel 3,148. Hasil tersebut

    menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

    sosial dan efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada

    penyandang tuna daksa. Secara parsial menunjukkan terdapat hubungan

  • 33

    negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan

    menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa dengan koefisien

    korelasi (r) sebesar -0,183; serta terdapat hubungan negatif yang signifikan

    antara efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada

    penyandang tuna daksa yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r)

    sebesar -0,518.

    Selanjutnya penelitian Widhi Nugrahaningtyas Program Studi Psikologi

    Fakultas Kedokteran Universitas Sebalas Maret Tahun 2014 dengan judul

    Hubungan antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan

    Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada Siswa Kelas XII SMK

    Muhammadiyah 1 Wedi Klaten Hasil analisis regresi ganda menunjukkan

    bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial keluarga

    dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK

    Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan Fhitung 42,911 > Ftabel 3,126 (p

  • 34

    pengaruh sebesar 54,7% terhadap kecemasan menghadapi dunia kerja,

    dengan sumbangan efektif (SE) masing-masing 25,38% untuk efikasi diri,

    dan 29,32% untuk dukungan sosial keluarga.

    Selanjutnya penelitian Rahmat Sukoco mahasiswa Jurusan Tasawuf

    dan Psikoterapi (TP) Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan

    Kecemasan Moral Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo

    Semarang Tahun 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada

    hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan kecemasan moral dengan

    nilai r hitung sebesar 0,505 dan Nilai signifikansi sebesar 0,01.

    C. Kerangka Berfikir

    Berikut gambaran dari kerangka berfikir penelitian mengenai hubungan

    antara Religiusitas dengan kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa

    tingkat akhir Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan

    Dakwah IAIN Surakarta:

    Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

    Religiusitas Kecemasan

    Menghadapi

    Dunia Kerja

    1. Religious Belief/keyakinan 2. Religious Practice/praktek

    ibadah

    3. Religious Feeling/pengalaman

    4. Religious Knowledge/pengetahuan

    5. Religious Effect/ konsekuensi

    1. Reaksi Fisik

    2. Reaksi Mental/

    psikologis

  • 35

    Dari gambar kerangka berfikir tersebut dapat dijelaskan bahwa:

    Religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang

    mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun tak

    tampak), bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang

    dianutnya. Dimensi dimensinya adalah religious belief / keyakinan, religious

    practice / praktik ibadah, religious feeling / pengalaman, religious knowledge

    / pengetahuan, religious effect / konsekuensi.

    Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan

    mengenai kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan

    emosi yang dialami oleh seseorang. Gejalanya terdiri dari reaksi fisik dan

    mental /kognitif.

    Tingkat religiusitas mahasiswa berpengaruh terhadap kecemasan

    menghadapi dunia kerja mahasiswa akhir. Apabila Tingkat religiusitas

    mahasiswa tinggi maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa

    rendah. Begitu pula sebaliknya, apabila Tingkat religiusitas mahasiswa

    rendah maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa akan tinggi.

    D. Hipotesis

    Arikunto (2006: 71) menyatakan bahwa hipotesis dapat diartikan

    sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan

    penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul

    Bungin (2005: 85) yang dimaksud dengan hipotesis adalah kesimpulan

    penelitian yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan

  • 36

    membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian. Pembuktian itu

    hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan data di

    lapangan.

    Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dirumuskan hipotesis

    sebagai berikut:

    Ho = tidak ada hubungan antara religiusitas dengan kecemasan

    menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan

    Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta.

    Ha= ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecemasan

    menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan

    Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Semakin

    tinggi religiusitas mahasiswa maka semakin rendah kecemasan menghadapi

    dunia kerja. Begitu sebaliknya, semakin rendah religiusitas mahasiswa maka

    semakin tinggi kecemasan menghadapi dunia kerja.