BAB II mels

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EPIDEMIOLOGI Sebuah survei pada satu dekade terakhir yang meliputi semua bayi yang lahir di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar 3 persen dari semua bayi yang lahir di Amerika Serikat mengalami malformasi struktural saat lahir. Sekitar 7 persen dari semua anak usia satu tahun diidentifikasi mengalami kecacatan dan gangguan perkembangan fisik ataupun fungsi tubuh. Jumlah ini terus meningkat menjadi 14 persen pada usia 12 tahun saat anak-anak masuk sekolah menengah, dan menjadi 17 persen sebelum mereka mencapai usia 181. Berkaitan dengan fakta tersebut, dilakukan penelitian terhadap wanita hamil di Amerika Serikat. Penelitian Lacroix et al (2000) menyebutkan bahwa wanita hamil menerima sekitar 13 14 obat-obatan selama kehamilan, termasuk obat antiemetik, antasida, antihistamin, analgetika, antibiotika, antihipertensi, hipnotika, dan diuretika2. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak sedikit wanita yang mengkonsumsi narkoba selama kehamilan. Penelitian lainnya oleh Piper et al (1987) yang meliputi 9.000 wanita hamil di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa setiap wanita menerima sekitar 3 resep untuk obat selain vitamin selama kehamilan1. Tabel 2.1 Agen Teratogenik1 Alkohol ACE inhibitorsa Aminopterin Androgens A-II antagonistsb Busulfan Carbamazepine Chlorbiphenyls Cocaine Coumarins Cyclophosphamide Danazol Diethylstilbestrol (DES) Ethanol Etretinate Isotretinoin Kanamycin

Leflunomide Lithium Methimazole Methotrexate Misoprostol Penicillamine Phenytoin Radioactive iodine Streptomycin Tamoxifen Tetracycline Thalidomide Tretinoin Trimethadione Valproic acid Warfarin 2

3

a b

Angiotensin-converting enzyme inhibitors. Angiotensin II receptor antagonists.

2.2 DIAGNOSIS : EVALUASI TERATOGEN POTENSIAL Cacat lahir pada bayi pada umumnya disebabkan oleh agen teratogenik. Untuk mengidentifikasi efek teratogenisitas digunakan dua pendekatan, mencakup tindak lanjut studi kasus kontrol dan pengawasan (Mitchell, 2003). Kriteria efek teratogenisitas ditunjukkan pada tabel 2.1.

4

Tabel 2.2 Kriteria Efek Teratogenisitas 1 1 Deskripsi gejala klinis secara akurat 2 Bila paparan agen teratogenik jarang maka kemungkinan terjadinya defek pun kecil. Minimal dilaporkan 3 kasus apabila terdapat defek yang berat. 3 Terdapat bukti adanya hubungan antara paparan agen teratogen dengan defek pada janin. 4 Terdapat bukti adanya paparan agen teratogen pada perkembangan janin pralahir. 5 Hubungan tersebut harus logis secara biologis. 6 Pada penelitian epidemiologis, terdapat 2 atau lebih penemuan yang konsisten : a. Kontrol faktor bias (false positive) b. Jumlah kasus memadai c. Kasus false positive dan false negative tidak disertakan d. Studi bersifat prospektif e. Terdapat tiga atau lebih faktor risiko relatif 7 Sebelumnya dilakukan percobaan efek teratogenisitas pada binatang, khususnya primata. Modifikasi dari Shepard (2001), Czeizel dan Rockenbauer (1997), dan Yaffe dan Briggs (2003) Perhatian Khusus Pada Bayi Cacat Lahir Pemeriksaan bayi cacat lahir dilakukan oleh ahli genetika atau dismorfologist. Cacat lahir dapat disebabkan oleh pengaruh genetik dan faktor lingkungan. Cacat yang sama (identik) namun disebabkan oleh penyebab berbeda disebut dengan fenokopi. Menentukan penyebab cacat lahir dengan banyak fenokopi menjadi sulit. Salah satu cara untuk menentukan penyebab dari cacat lahir yang berat adalah dengan menemukan minimal tiga kasus yang mendapat paparan teratogen yang sama. Misalnya, isotretinoin merupakan senyawa retinoid, suatu agen teratogenik. Tidak sulit untuk mengetahui isotretinoin sebagai agen teratogenik karena sedikit wanita hamil yang mengkonsumsi isotretinoin dan bila terjadi cacat lahir maka pada janin dapat terjadi agenesis auricular. Cacat lahir akibat isotretinoin merupakan kasus yang langka dan berat3.

5

Kemampuan Agen Teratogenik Melewati Sawar Plasenta Selain harus mampu melewati sawar plasenta, agen teratogenik juga harus dalam jumlah yang cukup untuk dapat mempengaruhi perkembangan janin atau mengubah metabolisme plasenta ibu untuk kemudian berefek tidak langsung pada janin. Penyebaran melalui plasenta ini amat bergantung dari karakteristik agen teratogenik tersebut, seperti kemampuan mengikat protein, ukuran molekul, muatan listrik dan kelarutan lipid. Selain itu, jaringan plasenta mengandung enzim sitokrom P450, yang dapat memetabolisasi protein asing. Pada trimester pertama, plasenta juga memiliki membran yang relatif tebal yang dapat memperlambat difusi zat (Leppik dan Rask, 1988) 3. Paparan Agen Teratogenik Harus Terjadi Selama Periode Perkembangan Kritis Kehamilan terbagi menjadi tiga periode. Paparan agen teratogenik dalam 8 minggu pertama mengakibatkan embriopati, dan setelah 8 minggu mengakibatkan fetopati.1. Periode preimplantasi yaitu 2 minggu pertama, mulai dari proses fertilisasi

hingga implantasi dan disebut sebagai periode all or none. Zigot mengalami pembelahan menjadi lapisan dalam (inner cell mass) dan lapisan luar (outer cell mass). Kerusakan atas sebagian besar sel menyebabkan kematian embrio. Jika hanya sedikit sel yang mengalami kerusakan maka terjadi kompensasi (Clayton Smith dan Donnai, 1996).2. Periode embrionik, mulai dari minggu kedua hingga kedelapan setelah

konsepsi. Pada periode ini terjadi organogenesis, sehingga periode ini merupakan tahapan penting yang bila mengalami gangguan akan menyebabkan malformasi struktural.3. Periode fetus, mulai minggu kesembilan terjadi maturasi dan perkembangan

fungsi. Organ-organ tetap rentan terhadap gangguan, misalnya perubahan aliran

6

darah ke jantung dapat menyebabkan deformitas seperti hipoplasia jantung kiri atau koartasio aorta (Clark, 1984)4.

Gambar 2.1 Masa Organogenesis pada Periode Embrionik (Sumber : Hill M., 2006) Harus Terdapat Kaitan Biologis yang Logis Setelah mempertimbangkan faktor farmakologis dan metabolisme maternal dan fetal, perlu dipikirkan apakah logis bila agen teratogenik yang dicurigai menyebabkan cacat lahir? Karena baik cacat lahir maupun paparan obat atau lingkungan merupakan hal yang umum terjadi, selalu ada kemungkinan bahwa paparan dan cacat yang muncul bersifat sementara namun tidak ada kaitan. Misalnya wanita hamil yang sering khawatir saat mengkonsumsi makanan yang mengandung aspartam. Senyawa ini dimetabolisasi menjadi asam aspartat, yang tidak melewati sawar plasenta, menjadi fenilalanin yang dimetabolisasi, dan menjadi metanol yang dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Sehingga dengan

7

kata lain secara biologis, kecil kemungkinannya bahwa aspartam adalah agen teratogenik1,2. Penemuan Epidemiologis Harus Konsisten Penemuan berulang atas suatu abnormalitas tertentu dapat dikaitkan dengan paparan agen teratogenik tertentu pula. Misalnya, bila pada trimester pertama terjadi paparan dengan obat golongan statin yang lipofilik rendah kolesterol (Edison dan Muenke, 2004), maka abnormalitas yang terjadi umumnya berupa retardasi pertumbuhan janin, kelainan struktural dan perubahan fungsi neurologis (Hanson, 1996)1,3. Evaluasi awal terhadap kecurigaan paparan agen teratogenik biasanya bersifat retrospektif sehingga hambatan yang ditemui dapat berupa kesalahan pencatatan atau pelaporan yang tidak lengkap. Selain itu terdapat faktor lain yang menyulitkan penilaian seperti perbedaan dosis pemberian, kombinasi obat, dan penyakit ibu. Cacat lahir juga dipengaruhi oleh faktor herediter dan lingkungan. Oleh karena banyaknya faktor bias, maka efek teratogenisitas baru dapat dibuktikan melalui dua atau lebih penelitian yang memiliki penemuan serupa. Agen Teratogenik yang Dicurigai Juga Menyebabkan Cacat Pada Hewan Jika suatu agen teratogenik yang dicurigai ternyata menyebabkan cacat lahir pada hewan maka pastinya berbahaya untuk manusia (Brent, 2004). Namun tidak selamanya berbahaya untuk hewan akan berbahaya pula untuk manusia, contohnya obat Talidomid dan golongan Kortikosteroid. Talidomid merupakan agen teratogen yang paling poten, namun tidak segera disadari karena tidak menyebabkan cacat pada tikus (Shepard, 1998). Sebaliknya, golongan kortikosteroid tidak diberikan pada wanita hamil karena menyebabkan cacat labiopalatochisis pada tikus, namun ternyata tidak terbukti menyebabkan cacat lahir pada manusia (Czeizel dan Rockenbauer, 1997)1,4,5. 2.3 KATEGORI EFEK OBAT TERATOGENIK

8

Efek obat Teratogenik diklasifikasikan menjadi 5 kategori menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration), yaitu A, B, C, D, dan X. Kategori ini harus dicantumkan pada semua obat-obatan4,6. Obat-obatan yang telah terbukti bersifat teratogenik mayoritas dikategorikan D atau X oleh FDA. Beberapa obat teratogenik juga tedapat di kategori C. Tiap obat harus dipertimbangkan seberapa besar keuntungan dari obat tersebut dan seberapa besar risiko yang ditimbulkan obat pada janin, bila obat digunakan oleh wanita hamil. Obat digunakan bila benar-benar diperlukan misalnya kondisi mengancam jiwa atau penyakit berat. Komite Pengawasan Obat Australia (The Australian Drug Evaluation Committee ADEC) membagi kategori B pada FDA menjadi B1, B2, dan B36. Kategori ini sangat menolong konseling pasien.

9

Tabel 2.3 Kategori FDA untuk Wanita Hamil

10

Kategori A

Ringkasan Ringkasan : Risiko obat pada janin tidak terbukti pada penelitian yang dilakukan pada manusia Penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada wanita hamil gagal menunjukkan adanya risiko pada janin trimester pertama kehamilan (dan tidak ada bukti nyata munculnya risiko pada trimester selanjutnya). Label : Penelitian pada wanita hamil tidak menunjukkan bahwa obat dapat meningkatan risiko cacat lahir pada janin jika obat diberikan pada trimester pertama kehamilan (atau kedua, ketiga). Apabila obat ini digunakan pada masa kehamilan, kemungkinan munculnya bahaya pada janin sangat kecil. Obat dapat digunakan pada masa kehamilan jika benar diperlukan karena penelitian tidak dapat membuktikan adanya bahaya pada janin. Harus memaparkan penelitian pada manusia. Apabila penelitian pada binatang dapat dilakukan dan gagal menunjukkan risiko pada janin, penelitian pada binatang dengan dosis sekian dari dosis pada manusia menunjukkan tidak adanya cacat lahir pada janin Harus memaparkan hasil penelitian efek obat terhadap pertumbuhan anak selanjutnya.

11

B

Ringkasan : Risiko obat pada janin tidak terbukti pada penelitian yang dilakukan pada manusia, namun dapat terlihat adanya efek samping pada beberapa penelitian yang dilakukan pada binatang. Penelitian pada binatang gagal memaparkan risiko obat pada janin dan tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada wanita hamil. Label : Penelitian pada binatang dengan dosis sekian dari dosis pada manusia menunjukkan tidak adanya cacat lahir pada janin. Namun tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada wanita hamil. Obat dapat digunakan pada masa kehamilan hanya jika diperlukan karena penelitian pada binatang tidak selalu dapat memprediksikan respon pada manusia Apabila penelitian pada binatang menunjukkan adanya efek samping (selain penurunan fertilitas), namun penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada wanita hamil gagal memaparkan risiko obat pada janin trimester pertama kehamilan (atau kedua, ketiga), Penelitian pada binatang menunjukkan adanya efek samping pada dosis obat sekian dari dosis obat pada manusia. Penelitian pada wanita hamil tidak menunjukkan bahwa obat meningkatkan risiko cacat lahir pada janin bila diberikan pada trimester pertama kehamilan (atau kedua, ketiga). Obat dapat digunakan pada masa kehamilan hanya jika diperlukan karena penelitian pada manusia tidak dapat membuktikan kemungkinan bahaya obat pada janin. Paparkan juga penelitian pada manusia dan data efek samping obat pada pertumbuhan anak selanjutnya.

12

C

Ringkasan : Risiko obat pada janin terbukti pada penelitian terhadap binatang namun tidak terbukti pada penelitian terhadap manusia, obat dapat digunakan jika keuntungan lebih banyak dibandingkan risiko pada janin. Penelitian pada binatang menunjukkan adanya efek samping pada janin, tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada manusia, dan keuntungan obat untuk wanita hamil dapat diterima meskipun terdapat risiko yang potensial. Label : Obat ini menunjukkan efek teratogenik (atau efek embriosidal atau efek samping lainnya) pada binatang saat obat diberikan dengan dosis sekian dari dosis manusia. Tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada wanita hamil. Obat dapat diberikan hanya jika keuntungan dari obat ini sebanding dengan risiko pada janin. Harus memaparkan penelitian pada binatang. Apabila tidak ada penelitian pada binatang dan tidak ada penelitian yang memadai dan terkontrol baik pada manusia, Tidak ada penelitian pada binatang yang berkaitan dengan obat ini. Tidak diketahui apakah obat ini dapat menyebabkan cacat janin saat diberikan atau dapat mempengaruhi diperlukan. Harus dijelaskan efek samping obat pada pertumbuhan anak selanjutnya. fungsi reproduksi. Obat diberikan hanya jika

13

D

Ringkasan : Terdapat risiko cacat lahir pada manusia, hanya digunakan apabila keuntungan obat melebihi risiko pada janin. Terdapat bukti nyata bahwa obat memiliki risiko terhadap janin Penelitian pada manusia atau bukti lapangan menunjukkan adanya risiko obat pada janin, selain daripada keuntungan obat bagi wanita hamil (misalnya, jika obat diperlukan pada kondisi mengancam jiwa atau penyakit berat dimana obat lain yang lebih aman tidak efektif). Label : Lihat bagian Peringatan Obat Bagian Peringatan Obat, Obat dapat menyebabkan bahaya pada janin jika diberikan pada wanita hamil. Apabila obat digunakan oleh wanita hamil, pasien harus waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan pada janin.

14

X

Ringkasan : Kontraindikasi, keuntungan pemakaian obat tidak melebihi risiko yang ditimbulkan pada janin. Penelitian pada binatang atau manusia telah menunjukkan adanya bahaya cacat lahir pada janin atau bukti lapangan menunjukkan adanya risiko pada janin. Risiko penggunaan obat ini pada wanita hamil jauh melebihi keuntungan penggunaan obat (misalnya tersedia obat lain yang lebih aman). Label : Lihat bagian Kontraindikasi Bagian Kontraindikasi, Obat dapat menyebabkan

bahaya pada janin bila diberikan pada wanita hamil. Obat dikontraindikasikan bagi wanita hamil. Apabila obat digunakan oleh wanita hamil, pasien harus waspada terdapat bahaya potensial pada janin. (Sumber : Center for Devices and Radiological Health, FDA, 2007) Tabel 2.4 Subkategori B1, B2, dan B3 oleh ADEC untuk wanita hamil Subkategori Definisi B1 Obat digunakan oleh wanita hamil dalam jumlah terbatas tidak menyebabkan cacat lahir atau bahaya lainnya bagi janin Penelitian pada binatang tidak menunjukkan bukti adanya bahaya pada janin. B2 Obat digunakan oleh wanita hamil dalam jumlah terbatas tidak menyebabkan cacat lahir atau bahaya lainnya bagi janin Penelitian pada binatang kurang memadai, namun data yang ada menunjukkan bukti tidak adanya bahaya obat pada janin. B3 Obat digunakan oleh wanita hamil dalam jumlah terbatas tidak menyebabkan cacat lahir atau bahaya lainnya bagi janin

15

Penelitian pada binatang menunjukkan bukti adanya kemungkinan bahaya obat pada janin, namun masih belum dapat dipastikan pada manusia.

(Sumber : Therapeutic Goods Administration, ADEC, 1999)

2.4 AGEN TERATOGENIK YANG DIPAKAI PADA MASA KEHAMILAN Obat-obatan yang berpotensi teratogenik meliputi obat yang biasa dikonsumsi wanita hamil, antara lain antiemetik, antibiotika, analgetika, dan hormonal. Obat lainnya ditujukan untuk mengobati penyakit yang sudah ada sebelum hamil, misalnya epilepsi, asma, hipertensi, atau keganasan. Ansiolitika yang sudah tidak dikonsumsi lagi, yaitu Thalidomida jelas mengakibatkan cacat kongenital. Pemberian obat-obat pada wanita hamil sebaiknya dipilih yang relatif aman dan memiliki potensi teratogenik yang rendah. 2.4.1 Alkohol Etil alkohol merupakan salah satu agen teratogenik terkuat. Sebanyak 70 % penduduk Amerika meminum alkohol setiap harinya dalam jumlah bervariasi dan sebanyak 12,8 % wanita hamil meminum alkohol setiap harinya dalam jumlah bervariasi (Sidhu dan Floyd, 2002). Efek penyalahgunaan alkohol pada masa kehamilan dikenal dengan Sindrom alkohol janin1,8,9. Menurut data Birth Defects Monitoring Program, insiden sindrom alkohol janin meningkat dari 1 per 10.000 kelahiran pada tahun 1979 menjadi lebih dari 6 per 10.000 kelahiran pada tahun 1993 (Centers for Disease Control and Prevention, 1995)10. Sindrom alkohol janin menjadi salah satu penyebab tersering keterbelakangan mental di Amerika Serikat (Hanson, 1996). Sayangnya Sindrom alkohol janin tidak terdeteksi sebelum lahir, oleh karena itu diperlukan pembatasan alkohol selama masa kehamilan.

16

Dasar patofisiologi cacat janin akibat paparan alkohol adalah rusaknya sel tubuh janin akibat zat metabolit alkohol yang bersifat toksik. Kerusakan pada sel otak dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel neuron, dislokasi sel neuron (akibat interupsi migrasi sel neuron pada masa fetal), dan malformasi dari otak11. Karakteristik klinis Gambaran klinis Sindrom alkohol janin tergantung dari waktu pemaparan alkohol. Bila pemaparan alkohol terjadi pada masa fertilisasi dan implantasi, yaitu dalam waktu 7 hari maka zigot akan mati atau bertahan, tidak ada efek residual. Bila pemaparan alkohol terjadi pada masa embrionik, yaitu hari ke-7 sampai minggu ke-8 maka :-

Pemaparan alkohol pada hari ke-7 sampai 8 menyebabkan kelainan kraniofasial yaitu mikrognatia, low-set ear, philtrum memendek, labiopalatochisis, dan mikrosefal.

-

Pemaparan alkohol pada hari ke-9 sampai 10 menyebabkan cacat saluran urogenital dan ekstremitas. Pemaparan alkohol pada minggu ke-4 sampai 8 menyebabkan kerusakan organ spesifik.

Bila pemaparan alkohol terjadi pada masa fetal, yaitu minggu ke-9 sampai 40 maka terjadi kerusakan organ yang berat, misalnya penyakit jantung bawaan dan sistem neurologis. Kerusakan pada sistem neurologis menyebabkan retardasi mental dan gangguan kognitif11. Tabel 2.5 Sindrom Alkohol Janin

17

Gangguan Perilaku Cacat otak Cacat jantung Cacat tulang belakang Kelainan Tidak adanya atau hipoplasia dari philtrum kraniofasial Macroceilia Jembatan hidung merata Hipoplasia vermilion labium superior Micrognathia microphthalmia Hidung memendek Jaringan palpebra memendek

(Sumber : Brock University, 2006 ; Rauch D., 2006)

Pengaruh Dosis Alkohol terhadap Efek Teratogenisitas Ambang batas dosis yang aman untuk konsumsi alkohol selama kehamilan belum pernah ditetapkan. Namun konsumsi alkohol secara kronis dan dalam jumlah besar memiliki risiko lebih tinggi memiliki anak dengan Sindrom alkohol janin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa konsumsi 4-6 gelas alkohol per hari sudah dapat menyebabkan cacat janin. Risiko lebih tinggi yaitu sekitar 30-50 % terjadi pada wanita yang mengkonsumsi minimal 8 gelas alkohol per hari (Jacobson et al, 1993)1,9. Selain Sindrom alkohol janin, konsumsi alkohol pada masa kehamilan juga berisiko menimbulkan komplikasi perdarahan intraventrikular dan kerusakan substansia alba pada neonatus prematur (Holzman et al, 1995)1,10. Neonatus dengan riwayat ibu mengkonsumsi alkohol mayoritas mengalami kegagalan pertumbuhan

18

(American College of Obstetricians dan Gynecologist, 2000). Usia ibu juga turut mempengaruhi risiko cacat janin, bahkan Jacobson et al (1998) menambahkan usia berhubungan dengan ratio lemak tubuh terhadap cairan tubuh dan kecepatan metabolisme alkohol1. Pada penelitian prospektif atas 60 janin yang terpapar alkohol dalam jumlah besar, Autti Ramo et al (1992) menemukan tidak ada kelainan metal pada anak bila paparan alkohol terjadi pada trimester pertama, meskipun dikonsumsi dalam jumlah besar8. Bagaimanapun, konsumsi alkohol pada masa kehamilan tetap tidak dianjurkan. Tingkat risiko cacat lahir secara umum tergantung dari variasi ambang batas alkohol terendah, usia ibu, obat lain yang dikonsumsi, paparan agen teratogenik lain, dan komplikasi kehamilan. 2.4.2 Tembakau Asap rokok mengandung sejumlah besar agen teratogenik potensial, termasuk nikotin, kotinin, sianida, tiosianat, karbon monoksida, kadmium, dan hidrokarbon lainnya. Selain bersifat fetotoksik, substansi-substansi ini juga mengandung efek vasoaktif atau mereduksi kadar oksigen. Terdapat hubungan antara dosis merokok dengan tingkat risiko cacat lahir. Neonatus dari ibu yang merokok memiliki berat badan lahir 200 gram lebih rendah dibandingkan neonatus yang lahir dari ibu yang tidak merokok (DSouza et al, 1981). Merokok dapat meningkatkan risiko bayi dengan berat badan lahir rendah dan meningkatkan risiko kecil-untuk-masa-kehamilan sebanyak 2,5 kali (Werler, 1997)1,5. Wanita yang berhenti merokok lebih awal saat hamil dapat memiliki anak dengan berat lahir cukup (Cliver et al, 1995). Merokok juga dapat meningkatkan insidensi subfertilitas, abortus spontan, plasenta previa, dan kelahiran prematur3,12. Bukan hal aneh bila sifat-sifat vasoaktif tembakau dapat menyebabkan cacat lahir yang berhubungan dengan gangguan vaskular. Merokok minimal 20 rokok sehari ditambah dengan penggunaan obat vasokonstriktor seperti amfetamin dan dekongestan dapat meningkatkan risiko gastroschisis dan atresia usus sebanyak 4 kali (Werler et al, 2003)1,2. Patogenesis dari gastroschisis adalah kerusakan vaskular

19

karena involusi dini vena umbilicalis, atau oklusi arteri omphalomesenterica. Akibat proses iskemik ini terjadi defek fusi dinding abdomen sehingga dapat menyebabkan gastroschisis12.

Gambar 2.3 Gastroschisis (Sumber : Wikispaces, 2009) Selain berat badan lahir rendah dan gangguan vaskular, merokok juga dapat meningkatkan risiko labiopalatochisis sebanyak 2 kali, terutama pada individu yang memang memiliki kelainan genetik (Shaw et al, 1996) dan meningkatkan risiko labiochisis dan palatochisis sebanyak 4-7 kali bila ditemukan sebagai kelainan tunggal (Hwang et al, 1995 ; Shaw et al, 1996). Penelitian National Vital Statistics System Natality pada lebih dari 6 juta kelahiran hidup di Amerika Serikat menemukan hubungan antara ibu yang merokok dengan insidensi hidrosefal, mikrosefal, omphalokel, gastroschisis, labiochisis, palatochisis, dan abnormalitas lengan (amelia) (Honein et al, 2001)1,2,13. Dasar embryogenesis labiochisis, labiopalatochisis, dan palatochisis berbeda tergantung dari waktu intervensi agen teratogenik pada perkembangan janin. Pada morfogenesis wajah, sel bakal saraf bermigrasi ke area wajah dan membentuk tulang, jaringan ikat, endotel vaskuler, dan otot. Bibir atas dibentuk oleh prosesus

20

maksilaris dan medial nasal. Kegagalan penyatuan medial nasal dan prosesus maksilaris pada minggu ke-5 baik satu atau kedua sisi menghasilkan celah pada bibir (labiochisis). Celah dapat terjadi hanya pada bibir atas atau lebih dalam hingga palatum primer. Sementara celah pada palatum terjadi akibat kegagalan penyatuan palatum sekunder, atau ruptur lempeng setelah terjadi penyatuan. Palatum sekunder berasal dari prosesus palatum kiri dan kanan. Proses penyatuan ini terjadi pada minggu ke-8 hingga minggu ke-12. Penyatuan lempeng palatum, baik lapisan epitel maupun mesenkim memerlukan bantuan sinyal molekul, salah satu yang terpenting adalah Transforming Growth Factor- 3 (TGF- 3). Kerusakan gen TGF- 3 oleh zat aktif tembakau yang bersifat toksik dapat menyebabkan proliferasi sel epitel dan mesenkim terganggu dan meningkatkan apoptosis sel epitel. Akibatnya kedua lempeng gagal bersatu dan menimbulkan celah di pertengahan palatum13.

Gambar 2.4 Embryogenesis : Palatum Primer dan Palatum Sekunder (Sumber : OBFocus, 2011)

21

Gambar 2.5 Labiochisis dan Palatochisis (Sumber : Alliance for Smile, 2011) 2.4.3 Analgetika Salisilat dan Acetaminofen Hampir setengah dari wanita hamil menggunakan salisilat dan

asetaminofen. Ada beberapa bukti bahwa kasus aborsi spontan awal meningkat pada penggunaan analgetika ini (Nielsen et al, 2001). Terdapat dua studi kasus kontrol yang telah melaporkan hubungan antara penggunaan salisilat pada trimester pertama janin dengan terjadinya gastroschisis, namun sebagian besar peneliti tidak menemukan hubungan analgetika ini dengan anomali janin (Clasp Collaborative Group, 1994; Martinez-Frias et al, 1997). Karena aspirin adalah inhibitor prostaglandin yang potensial, secara teoritis ada kekhawatiran bahwa paparan aspirin pada janin dapat menyebabkan penutupan prematur ductus arteriosus. Meskipun demikian belum ada pelaporan kasus ini. DiSessa et al (1994) melakukan pemeriksaan echocardiography pada 63 janin berusia 15-40 minggu yang terpapar aspirin hingga 60 mg setiap hari untuk

22

mencegah preeklamsia. Mereka secara konsisten menemukan kecepatan aliran duktus dan cardiac output yang normal. Acetaminophen juga tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko anomali (Pastore et al, 1999; Thulstrup et al, 1999). Obat Antiinflamasi Nonsteroid lainnya (AINS) Berbagai AINS memiliki efek analgetika dan yang paling sering digunakan adalah ibuprofen, naproxen, dan ketoprofen. Indometasin telah digunakan sebagai agen tokolitik. Hal ini disebabkan Indometasin dapat mencegah produksi prostaglandin, sementara prostaglandin berefek ganda yaitu agen inhibisi kontraksi myometrium dan agen penguat kontraksi myometrium pada akhir kehamilan. Pemberian Indometasin pada akhir kehamilan dapat mencegah kontraksi myometrium14. Kontraksi myometrium sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh keseimbangan agen penghambat kontraksi (progesterone, prostaglandin I2 (PgI2), relaxin, peptida parathyroid, dan nitrid oksida (NO)) serta agen penguat kontraksi (estrogen, oksitosin, dan prostaglandin di akhir kehamilan). Indometasin dianggap tidak memiliki efek teratogenik tetapi sebagian besar dapat menyebabkan efek samping yang reversibel pada janin bila digunakan jangka pendek pada trimester ketiga (Parilla, 2004)1,5. Berbeda dengan salisilat, indometasin dapat mengakibatkan penyempitan duktus arteriosus janin dan hipertensi pulmonal pada neonatus (Marpeau et al, 1994; Rasanen dan Jouppila, 1995)1,2,5. Hal ini disebabkan Indometasin menghambat produksi prostaglandin, sedangkan prostaglandin sendiri berfungsi menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Pemberian Indometasin pada kehamilan dapat menyebabkan penutupan dini duktus arteriosus, padahal duktus arteriosus berfungsi menyeimbangkan aliran darah pulmonal yang pada masa janin masih terdapat resistensi pulmonal14. Indometasin juga menyebabkan urin janin dan volume cairan amnion berkurang setelah penggunaan jangka panjang. Hal ini disebabkan Indometasin menghambat produksi prostaglandin I2 (PgI2 / prostasiklin) yang berfungsi sebagai vasodilator. Pemberian Indometasin akan menyebabkan efek sebaliknya dari

23

prostasiklin, yaitu menyebabkan vasokonstriksi (van der Heijden et al, 1994; Walker et al, 1994)1,14. Untuk alasan ini, maka indometasin digunakan untuk mengobati Hidroamnion. Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa efek ini bersifat reversibel jika obat dihentikan setelah 34 minggu (Niebyl, 1991). Laporan kasus terkait indometasin juga dapat menyebabkan perdarahan intraventricular, bronkopulmonalis displasia, dan necrotizing enterocolitis. Belum ada penelitian yang menganjurkan terapi surfaktan setelah neonatus (Gardner et al, 1996)1,2.

Gambar 2.6 Metabolisme Prostaglandin Thromboxan (TXA2) : agonis platelet poten dan vasokonstriktor, inhibisi selektif dengan aspirin dosis rendah (