Upload
lukman
View
456
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Islam dan Tradisi beberapa daerah di indonesia
Citation preview
4
II. PEMBAHASAN
A. Menyingkap Tradisi
Konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition)
adalah sepasang konsep yang pertama kali di perkenalkan oleh pakar antropologi
Amerika R. Redfield, yang kemudian banyak digunakan para antropolog dalam
studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai Negara di Asia, Afrika
dan di Amerika sendiri. Studi Geertz yakni The Religion of java yang kemudian
menjadi master piece diantara karya karya antropologi mengenai jawa juga
dilakukan adlam kerangka konsep great tradition dan little tradition.
Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat
dua macam tradisi yang dapat dikategorikan sebagai great tradition dan little
tradition. Great tradition adalah tradisi dari mereka yang suka berfikir dengan
sendirinya mencakup jumlah orang yang relative sedikit (the reflective few).
Sedangkan little tradition adalah tradisi dari sebagian besar orang yang tidak
pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para
filosof, ulama dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan
dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang
sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak
pernah di teliti atau disaring pengembangannya.
Seperti diketahui di sekitar abad ke-19 antropologi sangat diwarnai oleh
berbagai studi tentang masyarakat primitif yang digambarkan sebagai suatu
keutuhan terintegrasi, yang seolah-olah terbebas sama sekali dari pengaruh dunia
luar. Kembali dari lapangan para antropolog biasanya melaporkan tentang suatu
kehidupan sosial-budaya yang dianalisa sebagai suatu keutuhan (a whole) dan
dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang secara
fungsional saling berkaitan. Namun ketika antropolog mulai melakukan studi
tentang masyarakat petani dirasakan bahwa pendekatan tersebut diatas tidak
memadai lagi. Studi Redfield tentang masyarakat petani di Amerika Latin (1942)
membawa dia kepada masyarakat intermediate yang corak kehidupannya terletak
di antara masyarakat suku dan masyarakat kota modern.
5
Struktur sosial dari masyarakat petani dan yang sejenisnya karenanya
mencakup hubungan pengaruh mempengaruhi serta contoh mencontoh kultural
dari kalangan elite dan petani dalam konteksnya dengan sistem sosial yang lebih
luas. Oleh karenanya budaya masyarakat petani itu tidak bersifat otonom. Ia
adalah suatu aspek atau dimensi dari suatu peradaban dan merupakan bagian dari
dirinya. Keadaan ini menyarankan adanya pemisahan dari dua macam tradisi yang
hidup ditenah masyarakat, yakni the great tradition dan the little tradition.
Sebelum menyoroti lebih mendalam kedua konsep tersebut, kita lebih dulu akan
membahas konsep tradisi itu sendiri menginga istialh tersebut hingga kini selalu
lekat dengan pembicaraan mengenai tradisionalitas vs modernitas, Islam
tradisional vs Islam modernis dan semacamnya.
Tradisi: Antara Warisan dan Ciptaan
Secara terminologis perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud
dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi islam
atau tradisi Kristen secara tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau
doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan yang lalu tetapi masih hadir dan
malahan tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini.
Ajaran islam maupun Kristen tersebut masih berfungsi hingga saat ini, karena
adanya proses pewarisan sejak awal berdirinya, melewati berbagai kurun generasi
dan diterima oleh generasi sekarang. Oleh karena itulah tradisi dalam pengertian
yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransimisikan atau diwariskan dari
masa lalu ke masa kini.
Pengertian tersebut cukup menolong namun masih terlalu umum untuk
dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang
diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan ataukah
tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India, Spinx di Mesir,
atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monument-monumen tradisional. Namun
tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai
tradisi. Itu semua adalah prduk dari suatu tradisi, tetapi bukan tradisi itu sendiri.
6
Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian yang
lebih jelas, yakni “Kumpulan dari kebiasaan, Kepercayaan, Peradaban ,atau
Kelompok sosial dan karena itu membentuk pandangan hidupnya”.
Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah
sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik
kebiasaan, kerpercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal tersebut selalu
diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi karena justru
mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.
Dengan mempertimbangkan kemampuan suatu tradisi untuk memelihara
kontinuitasnya, tidaklah tepat menempatkan tradisi semata-mata sebagai lawan
dari modernisasi. Sebagaiamana acap kali terjadi, dibawah panji modernisasi,
orang cenderung meremehkan tradisi. Sikap demikian sesungguhnya merupakan
kelanjutan belaka dari pandangan yang meletakkan tradisi dan modernitas dalam
suatu posisi dikotomis. Di satu pihak modernitas dimana rasionalitas dan
kreatifitas merupakan elemennya yang terpenting dianggap sebagai serba baik;
sebaliknya apa yang tradisional dipandang sebagai hambatan bagi perubahan.
Dalam kehidupan masyarakat modern terdapat banyak sekali lembaga-
lembaga yang sudah begitu tua usianya yang aturan-aturannya berakar jauh di
masa lalu, misalnya saja lembaga perkawinan dan kehidupan keluarga. Tentu saja
tidak berarti bahwa tradisi-tradisi yang masih hidup itu tetap sama di sepanjang
waktu dan di semua tempat. Produk tradisi yang serupa baranmateriil seperti candi
atau lukisan tetap sama dengan bentuk awalnya. Teks-teks keagamaan juga akan
tetap sama meskipun mengalami cetak ulang yang berkali-kali. Namun demikian
interpretasi terhadap Bible maupun al-Qur‟an, tidak selalu sama sepanjang masa.
Kebiasaan, kepercayaan, aturan-aturan. Tingkah laku, tidak pernah luput dari
interpretasi, modifikasi bahkan perubahan. Elemen-elemen esensial dari suatu
tradisi mungkin tetap bertahan dalam suatu kombinasi dengan elemen lainnya.
Namun apa yang membuatnya sebagai suatu tradisi adalah bahwa apa
yang dianggap sebagai elemen esensial kurang lebih akan senantiasa tetap sama di
sepanjang proses transmisinya.
7
Hingga di sini kita masih terpaku pada pengertian tradisi sebagai “Warisan
dari masa lalu”, sebagai sesuatu yang diterima oleh generasi sekarang dari
pendahulu mereka. Para pemikir yang gagasan-gagasannya kita kutip di atas
belum memberi tempat kepada tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan. Adalah
Hobsbawn yang mengajukan argument cerdas bahwa tradisi-tradisi yang
tampaknya sudah tua atau di klaim sebagai telah tua seringkali adalah sesuatu
yang sesungguhnya baru dan kadang-kadang sengaja diciptakan. Ia menggunakan
terminology invented tradition untuk menunjukkan serangkaian tindakan yang
ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan
(repetition), yang secara otomatis mengacu pada kesinambungan dengan masa
lalu. Hobsbawn memberikan contoh yang sangat jelas. Misalnya pilihan yang
disengaja terhadpa Style Gothic bagi pembangunan kembali gedung parlemen
inggris, dan juga pilihan yang disengaja sesudah perang dunia kedua untuk
membangun kembali dewan parlemen dengan rencana dasar yang persis sama
dengan masa sebelumnya.
Hobsbawn dengan jeli menunjukkan bahwa apa yang seringkali
dianggapsebagai kesinambungan dengan sejarah masa lalu tidak lain adalah
sesuatu yang dibuat-buat dalam konteks invented tradition. Pendek kata ada
sejenis respon terhadap situasi baru yang mengambil bentuk acuan kepada suatu
situasi yang sudah sangat lama, atau malahan acuan itu sendiri sesungguhnya
adalah kreasi yang sama sekali baru namun dicarikan landasannya pada sesuatu
yang sudah lama. Penciptaan tradisi-tradisi tersebut pada dasarnya merupakan
proses formalisasi and ritualisasi yang ditandai denganacuan kepada masa lalu
untuk menekankan pentingnya tindakan tertentu itu diulang-ulang. Dalam konteks
Indonesia barangkali kita bisa menunjuk kepada usaha kalangan kepercayaan.
Mereka adalah sesuatu yang sudah tua dan sudah ada sejak zaman Majapahit dan
Sriwijaya.
Memang tidak jarang Motif dari penciptaan suatu tradisi pada dasarnya
bersifat politis. Di Perancis hari besar yang dikenal sebagai The Bastlle Day yang
berasal dari tahun 1990, dimaksudkan sebagai alat transformasi semangat revolusi
perancis yang diekspresikan dalam bentukpenegasan kekuasaan Negara
8
dikombinasikan dengan berbagai hiburan rakyat. Di Jerman terutama di
hubungkan dengan era William II dengan dua tujuan pokok; untuk membangun
kesinambungan antara kekaisaran Jerman II dengan kekaisaran Jerman I, serta
untuk menonjolkan pengalaman yang spesifik yang telah mengaitkan Prussi
dengan wilayah Jerman lainnya dalam pembangunan kekaisaran baru di tahun
1871.
Dengan menggaris bawahi tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan,
disamping sebagai „sesuatu yang diwarisi‟, memungkinkan kita meletakkan tradisi
dalam posisi yang sejajar dengan modernisasi. Pada gilirannya hal ini menuntut
kita untuk memperlakukan tradisi dan modernisasi dengan jarak yang sama. Cara
pandang demikian akan memungkinkan kita dapat menggali tradisi-tradisi uyang
ada dan berdaya guna serta layak dipakai bagi kehidupan sosial budaya masa kini
ada sesuatu yang dianggap perlu diwariskan kepada generasi mendatang, maka
sesuatu tersebut akan cenderung ditransimisikan atau dimanipulasi sebagai tradisi.
Lebih lanjut cara pandang demikian juga akan menghindarkan para pengamat dari
sikap tradisional kalangan modernis, yaitu penerimaan yang tidak kritis atas
segala sesuatu yang dipandang modern. Shils berpendapat, “Tradisi harus
dipertimbangkan tidak hanya sebagai penghambat atau kondisi yang tidak
terelakkan”. Pembuangan tradisi harus dianggap sebagai cost bagi suatu
keberangkatan menuju yang baru (a new departure) sebaliknya pemeliharaan
tradisi-tradisi haruslah dipandang sebagai benefit.
Great Tradition dan Little Tradition
Berangkat dari kajian kritis terhadap terminology tradisi kita melihat
betapa istilah tradisi tersebut dapat dipakai dalam maknanya yang begitu luas.
Dari sinilah kita barangkali dapat menangkap kegunaan konsep great tradition
dan little tradition yang dikembangkan oleh Redfield, yang telah mengawali
tulisan ini. Dengan konsep tersebut pada dasarnya kita diajak memahami
dinamika sosial budaya suatu kelompok masyarakat melalui penglihatan yang jeli
terhadap tarik-menarik, saling pengaruh, persaingan, konflik, integrasi, maupun
akomodasi antara dua arus utama tradisi. Andaikata Kita melakukan studi atas
agama orang cina, maka ketimbang membagi The Chinese Religion menjadi tiga,
9
yaitu Confucionism, Budhism, dan Taoism; akan lebih akurat jika dibagi menjadi
dua tingkatan: tingkatan masa dan tingkatan orang-orang terpelajar. Sedangkan
dalam hubungannya dengan Islam, Redfield menganjurkan untuk meniru cara
Von Grunebaum yang menggambarkan tarik-menarik antara the islam high
culture dan local culture. Dalam suatu dar al Islam, ungkap Von Grunebaum,
Pola-pola Islami adalah dalam posisi the great tradition sebaliknya the little
tradition senantiasa merupakan kecendrungan yang popular di bawah arus.
Sejarah mencatat bahwa banyak para wali menyebarkan Islam
menggunakan berbagai instrumen kesenian sehingga yang lahir kemudian adalah
agama Islam yang tercampur dengan tradisi lokal. Sama halnya seperti di daerah
Jawa, alur penyebaran Islam di Indramayu salah satunya yaitu berangkat dari
pesisir dan terus berlanjut memberikan pengaruhnya ke wilayah pedalaman.
Contohnya, Sunan Gunung Djati yang menyebarkan Islam melalui media
kesenian masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan terjadinya proses tarik
menarik antara budaya lokal dan budaya luar. Tak jarang, proses ini menghasilkan
dinamika budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
di dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik-praktik sinkretisme dan atau
akulturasi budaya, seperti menjalankan ritual di dalam ajaran Islam, namun masih
tetap mempercayai berbagai keyakinan lokal. Rritual-ritual tradisi setempat itu
diwariskan turun temurun dari leluhur, membakar kemenyan ,menggunakan jimat-
jimat tertentu untuk menguatkan fisik, menyajikan sesajen dan sebagainya
merupakan beberapa tradisi lokal yang diyakini oleh para masyarakat mampu
menambah berkah. Mereka mempercayai bahwa ada suatu kekuatan gaib yang
tidak terjelaskan oleh akal, tidak mampu mereka visualisasikan, tapi mereka
sungguh-sungguh meyakininya dalam hati.
Kenyataan demikian mengantarkan kami untuk meneliti lebih jauh
bagaimana komitmen beragama masyarakat indonesia yang berada di antara
persinggungan agama Islam dan tradisi setempat, Jika melihat kajian yang
dilakukan oleh para ahli, tampak adanya tipologi kajian Islam dalam konteks
lokal, yang dikategorikan sebagai kajian yang memandang hubungan antara
tradisi Islam dan lokal bercorak sinkretik dan bercorak akulturatif. Kajian yang
10
dilakukan oleh Geertz termasuk kajian yang bercorak Islam sinkretik. Sementara
itu, beberapa ahli lainnya, seperti Hefner, Woodward, Muhaimin, Budiwanti, dan
Hilmy mengkaji tentang Islam akulturatif.
Bagi kami, akhir penelitian haruslah berupa pemberdayaan. Oleh karena
itu, mencoba menyingkap penyelenggaraan tradisi lokal, seirama dengan semakin
intensifnya gerakan pemurnian Islam, fundamentalisme, dan pengembangan Islam
dewasa ini.
B. Tradisi Beberapa Daerah di Indonesia yang Bernafaskan Islam
Selawatan "Angguk Rame"
Selawatan "Angguk Rame" adalah nama sebuah kelompok seni yang
bernafaskan Islam dan spriritualitas kejawen. Kelompok selawatan ini, tentu saja
setelah menelusuri berbagai wilayah di Lereng Merapi, hanya ada di Desa Batur
Ngisor, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
Keberadaannya pun sampai saat ini belum tercium media. Keistimewaan
kelompok seni ini pun belum terpublikasi di media manapun.
Selawatan "Angguk Rame" sangat berbeda dengan kelompok seni
selawatan lain. Tampilan Selawatan Angguk Rame tetap k lasik dan - lebih
mengejutkan lagi - penggunaan tribahasa, yaitu: Belanda, Arab dan Jawa.
Selawatan memiliki kata dasar selawat yang berarti doa, permohonan
kepada Tuhan dan salat. Selawatan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai pembacaan selawat oleh sekumpulan orang secara
bersama-sama serta bersambut-sambutan dan biasanya diiringi pukulan rebana
dan alat musik setempat. Merujuk pada pengertian ini maka Selawatan "Angguk
Rame" terwakili. Meski demikian, Selawatan "Angguk Rame" tidak seperti
selawatan pada umumnya karena memiliki keistimewaan tersendiri.
Pertama, erat berkaitan dengan jenisnya. Selawatan pada umumnya
dibedakan menjadi Selawatan Janenan, Selawatan Jawi dan Selawatan Kompang.
Selawatan Janenan yaitu selawatan yang memakai bahasa setempat. Selawatan
Jawi yaitu selawatan yang memakai teks Bahasa Jawa dengan iringan rebana dan
11
beberapa alat musik setempat. Sedangkan Selawatan Kompang yaitu selawatan
yang memakai teks Bahasa Arab dengan iringan rebana.
Kedua, kostum yang tetap klasik. Jenis kostum ini jarang ditemukan di
kelompok-kelompok kesenian lainnya di wilayah Lereng Gunung Merapi.
Pakaian kostum yang mereka pakai menyerupai para prajurit keraton Yogyakarta.
Meski terkesan klasik, semangat modern muncul juga dalam bentuk kacamata
hitam dan sepatu. Mereka ini dulu tampil tanpa kacamata dan sepatu. Kata
"Angguk Rame" berarti mengangguk ramai, serempak dan dinamis.
Dugderan
Duderan adalah sebuah upacara yang menandai bahwa bulan puasa
telah datang, dulu dugderan merupakan sarana informasi Pemerintah Kota
Semarang kepada masyarakatnya tentang datangnya bulan Ramadhan. Dugderan
dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari
perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian
diasumsikan dengan derr.
Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum
dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband, pasukan
pakaian adat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” , meriam , warak ngendok dan
berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah
warak Ngendok sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga
kulit sisik emas, visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni.
Acara ini dimulai dari jam 08.00 sampai dengan maghrib di hari yang sama juga
diselenggarakan festival warak dan Jipin Blantenan.
Sejarah "Dugderan"
Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan hari
dimulainya bulan Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan
kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering menimbulkan beberapa
penentuan dimulainya puasa ini mendapat perhatian yang berwajib. Hal ini terjadi
pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupari RMTA
Purbaningrat.Beliaulah yang pertama kali memberanikan diri menentukan
12
mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Maeriam di halaman
Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug
dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten
Adanya upacara Dug Der tersebut makin lama makin menarik perhatian
masyarakat Semarang dan sekitarnya, menyebabkan datangnya para pedagang
dari berbagai daerah yang menjual bermacam0macam makanan, minuman dan
mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat ( Celengan, Gerabah),
mainan dari bambu ( Seruling, Gangsingan), mainan dari kerta (Warak Ngendog)
Jalannya Upacara
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah
dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan
dibunyikan
3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam
4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.
Upacara Dug Der dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul
15.30 WIB.Ki Lurah sebagai Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari
dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian
Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten
dibunyikan dengan irama MOGANG.
Prosesi"Dugder"
Meskipun jaman sudah berubah dan berkembang namun tradisi Dug Der
masih tetap dilestarikan. Walaupun pelaksanaan Upacara Tradisi ini sudah banyak
mengalami perubahan, namun tidak mengurangi makna Dug Der itu sendiri.
Penyebab perubahan pelaksanaan antara lain adalah pindahnya Pusat
Pemerintahan ke Balaikota di Jl Pemuda dan semakin menyempitnya lahan Pasar
Malam, karena berkembangnya bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar
Johar.Upacara Tradisi Dug Der sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota
dengan waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Puasa. Upacara dipimpin
langsung oleh Bapak Walikota Semarang yang berperan sebagai Adipati
13
Semarang.Setalah upacara selesai dilaksnakan, dilanjutkan dengan
Prosesi/Karnaval yang diikuti oleh Pasukan Merah Putih, Drum band, Pasukan
Pakaian Adat “ Bhinneka Tunggal Ika “, Meriam, Warak Ngendog dan berbagai
kesenian yang ada di kota Semarang.
Dengan bergemanya suara bedug dan meriam inilah masyarakat kota
Semarang dan sekitarnya mengetahui bahwa besok pagi dimulainya puasa tanpa
perasaan ragu-ragu.
Tabuik...Budaya Duka Dari Pariaman
Peristiwa pembantaian Hussain, cucu Nabi Muhammad di Padang
Karbala, oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti Ummayah, menorehkan
guratan sejarah yang mendalam bagi umat muslim di dunia. Di Pariaman,
Sumatera Barat, peristiwa ini diperingati dengan melaksanakan sebuah upacara,
Tabuik.
Berasal dari kata „tabut‟, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara
Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat,
yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura
yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Simbol Rasa Duka
Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke
Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol
dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di
Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan
keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan
upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.
Dua minggu menjelang pelaksanaanaan upacara Tabuik, warga
Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta
aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang
menjalankan ritual khusus, yakni puasa.
Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda
yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan
14
terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda,
berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat
Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di
punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian
dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa
di seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di
alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan
jalannya kirab Tabuik. Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun
turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di
belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat
musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan
berlangsung, seluruh peserta karnaval meneriakkan, “Hayya Hussain… Hayya
Hussain!!!” sebagai ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW
tersebut. Sesekali, arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat
khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa
ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada
kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di
samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit,
dengan membawa segala jenis arakannya.
Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun
lalu, upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat
oleh dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama
lain. Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga
dari kedua kubu tersebut.
15
Basunat, Simbol pengislaman anak di Banjarmasin
Basunat bagi masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merupakan
hal yang sangat penting. Bahkan, keislaman seseorang belum dianggap sempurna
apabila orang tersebut belum bersunat. Oleh karenanya, orang-orang Banjar sejak
masih anak-anak (laki- laki berumur antara 6 – 12 tahun, dan perempuan biasanya
lebih muda) telah disunat (Alfani Daud, 1997: 252). Asa bakalalangan haja kaalah
kita (terasa mengganggu perasaan kita), demikian biasanya orang-orang
mengomentari orang-orang Islam (bersyahadat) yang belum disunat. Selain
dilakukan oleh kalangan orang Islam untuk menyempurnakan keislamannya.
Sunat bagi laki- laki dan perempuan pada prakteknya tidak sama. Sunat
untuk laki- laki, adalah membuang kulit kemaluan (kulup) yang menutupi kepala
kemaluan laki- laki. Sedangkan bagi perempuan, sunat adalah pemotongan
sebagian jaringan clitoris. Di kalangan masyarakat Banjar, dikenal tiga metode
menyunat untuk laki- laki, yaitu: (1) basupit. Disebut basupit karena kulit zakar
yang harus dibuang dijepit dengan supitan yang terbuat dari kayu yang keras atau
bambu selama dua sampai tiga minggu. Pemotongan dilakukan setelah kulup yang
dijepit tersebut kering. Cara ini menimbulkan penderitaan yang luar biasa pada
orang yang disunat, baik sebelum disunat maupun setelahnya. Metode basupit ini
masih dijalankan oleh masyarakat Banjar sampai tahun 1940-an. 2) basunat.
Metode ini merupakan kelanjutan dari metode basupit. Jika pada basupit kulup
zakar harus dijepit dalam waktu 2-3 minggu, maka dalam basunat kulup dijepit
hanya pada saat dipotong. Dengan cara ini, penderitaan orang yang bersunat jauh
berkurang. (3) Penyunatan oleh dokter atau mantri kesehatan. Cara ini merupakan
metode penyunatan paling modern. Jika pada basupit dan basunat orang yang
melakukan adalah ahli sunat yang mendapat keahlian melalui pewarisan dari
orang tuanya, maka pada metode yang terakhir orang yang melakukan penyunatan
mendapat keahlian melalui pendidikan formal.
Jika pada laki- laki basunat identik dengan pemotongan kulup zakar, maka
pada perempuan lebih pada pengurangan jaringan clitoris dengan cara mengerik
dengan menggunakan silet (lebih lanjut akan dijelaskan pada prosesi penyunatan).
16
Oleh karena dengan cara mengerik, maka anak perempuan yang disunat tidak
akan mengalami penderitaan akibat rasa sakit sebagaimana pada anak laki- laki.
Bahkan, mereka dapat langsung bermain setelah prosesi penyunatan.
Makkarawa Bola (Menre’ Bola)
Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan
Bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau
membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan
maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan
keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan
waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan oleh
Panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada
Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan
petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.
Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua
ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk
pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –
kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga,
yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang, 2.
waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3.
waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.
Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang
telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa
yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan
yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama
rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–
baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam
itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung
dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko–
17
roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca‟ Beppa, Barongko dan Beppa loka,
dan lain – lainnya.
Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).
Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari
pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya.
Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai
bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa
orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang
dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru
itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.
Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas :
ayam ‟bakka‟ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil
untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan
agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu,
Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah
rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah
atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang
baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti
bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis),
dan buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam
kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu
dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan
serba cukup.
Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan –
bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m,
diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa),
saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa).
18
Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat
posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam
rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah
dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang – orang
yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf disajikan terdiri
atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan agar hidup dalam
rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara
Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)
Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga
dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai
upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi
dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua
ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti (pisang)
panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng
(nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara
resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di tempatnya
masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng
dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung disimpan di masing–masing
tiang sudut rumah.
Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami
membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh
seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan
dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan,
sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh
disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara
hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan / kue–kue seperti
suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–konde (umba–
umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada malam harinya diadakanlah
pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam itu
19
pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh
pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.
Tahap Upacara Maccera Bola.
Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara
yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada rumah
itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang dipakai
maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu
menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara
narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini
maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro
(dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.
Barasanji
Barasanji, sebutan orang Sulawesi Selatan terhadap barzanji, merupakan
tradisi Islam yang terus hidup dan dipertahankan oleh muslim Sulsel. Ia dibaca
dalam berbagai kegiatan keislaman atau dibaca pada malam Jum‟at di masjid-
masjid.
Biasanya warga membaca syair-syair barasanji yang meceritakan
keagungan rasulullah pada acara mauludan, khitanan, pernikahan, aqiqahan,
muharraman dan lainnya. Pembacaan Berzanji pada umumnya dilakukan di
berbagai kesempatan, sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang
lebih baik.“Barasanji dibaca pada moment apa saja. Sebagian masjid secara rutin
membacanya setiap malam Jum‟at,” tuturnya. Di masjid-masjid, biasanya orang-
orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan Berzanji, yang
pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan.
Nama Berzanji diambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja'far al-
Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Ia lahir di Madinah tahun 1690 dan
meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat d i Kurdistan,
Barzinj. Karya tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya
20
kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah
keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi
rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi
Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan,
seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-
arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru
Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan
kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat
malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-
lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil
berdoa).Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat
sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan
Sultan Agung (1613-1645 Masehi).Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti
sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu
umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender
Hijriah.Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan
Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1
Muharram sebagai tahun baru Jawa. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai
awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang
tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan
dengan Yang Maha Kuasa.Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk
berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun
Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta
Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat
kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking
Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap
21
keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana
Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat
Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro
dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti
oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk
berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah
tapa mbisu mubeng beteng. Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh
kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak
dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan
tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap
eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya
dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti
manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan
hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya
berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang
harus dijalani selama bulan Suro. Terlepas dari mitos yang beredar dalam
masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama
bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih
mawas diri.
Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian
tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya
makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini
masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
22
Tradisi Menyambut Bulan Suci Ramadhan
Menjelang bulan suci Ramadhan, setiap orang berupaya untuk melakuka
pembersihan diri, baik secara fisik maupun batin. Dari sisi batin, tentunya mereka
membersihkan diri dari dosa, berniat menjalankan ibadah dengan baik, saling
memaafkan, memperbanyak ibadah, dan berdoa lebih khusyuk.
Meugang
Meugang adalah sebuah tradisi yang merupakan ekpresi kegembiraan umat
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dalam menyambut Bulan Ramdahan. UMAT
Islam di beberapa daerah di Indonesia mempunyai tradisi tersendiri untuk
menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Masyarakat Islam di Riau dan
Sumatera Barat menyambutnya dengan mandi berlimau, di Aceh pula tradisi
meugang atau hari menyembelih haiwan. Di Jawa pula popular dengan tradisi
mandi menyucikan diri atau padusan manakala masyarakat Betawi masih kental
dengan tradisi mandi keramas (membasuh rambut) dan ziarah rumah keluarga
lebih tua serta makam keluarga terdekat.
Balimau
Pembersihan fisik dimaknai dengan melakukan wudhu atau mandi dengan
menggunakan air bersih. Di masyarakat, terdapat tradisi membersihkan diri,
seperti mandi khusus sebelum Ramadhan. Kegiatan tersebut dilakukan secara
turun-temurun. Salah satunya adalah tradisi pembersihan diri di suku adat
Minang, Sumatra Barat, yaitu Balimau.
"Mandi Balimau merupakan tradisi budaya Minang. Tradisi ini
berlangsung sejak masa sebelum Islam masuk di tanah Minang. Lalu, saat Islam
masuk.upacara itu diakomodasi dan dimanfaatkan untuk membersihkan d iri
sebelum menjalankan ibadah puasa.
Esensi utama Balimau adalah membersihkan diri disertai niat untuk
menjalankan ibadah puasa. Caranya adalah mandi di sungai-sungai besar. Syarat
sungai yang digunakan, selain ukurannya besar, airnya bersih dan juga mengalir.
"Air laut jarang digunakan. Pada umumnya, yang sering digunakan adalah sungai.
23
Di Sumatra Barat kan banyak sungai. Nah, masyarakat biasanya pergi ke sungai-
sungai itu."
Biasanya, dalam acara ini, dilakukan semacam upacara adat yang dipimpin
oleh para sesepuh adat atau disebut Ninik-Mamak. Sebagai contoh, beberapa hari
lalu, di daerah Lima Puluh Koto, Sumatra Barat, berlangsung mandi Balimau
yang cukup besar. Peserta Balimau di Payakumbuh bahkan menca-pai puluhan
ribu orang.
Balimau merupakan mandi air sungai menjelang Ramadhan. Mandinya
ditambahi dengan campuran air rendaman daun pandan dan bunga-bungaan
wangi. Airnya kemudian diusapkan ke kepala atau untuk membasuh badan. Mandi
Balimau sebenarnya bisa saja dilakukan di rumah, kata Edy, tetapi menurut tradisi
yang tak boleh ditinggalkan dalam Balimau adalah ramuan air wanginya.
Kita juga bias tidak ikut mandi di sungai tersebut tapi bias membawa
pulang air dari sungai tersebut dan kemudian memakainya mandi. Kekhasan
mandi Balimau adalah air rendaman wangi. Di dalam air itu. direndam bunga-
bungaan wangi (termasuk mawar), daun landep, irisan daun pandan, dan perasan
air dari sejenis jeruk purut besar. Untuk mandinya, dilakukan dengan cara
berendam di air sungai, lalu rendaman air wangi itu dipakai membasuh, seperti
halnya sabun mandi. Setelah itu, badan dibasuh lagi dengan air sungai. Setelah
mandi, mereka pun berwudhu.
Namun, muncul kontroversi dari para ulama. Sebagian ulama melarangnya
karena dianggap berdampak negatif. Dalam pernyataan ulama Sumatra Barat,
dampak negatif Balimau adalah penyalahgunaan kegiatan ini sebagai acara
melepaskan emosi, hasrat, dan sering lepas kontrol dalam kegiatan mandi
bersama. "Mereka mementingkan kegiatan ini pada bagian berkumpulnya,
bergembira, dan mandi-mandi.
24
Tradisi Setelah Bulan Puasa (Idul Fitri)
Iedul fitri adalah bagian dari syiar Islam dan kaum muslimin, karenanya
niatan awal dari menjalankan semua tradisi halal yang ada adalah untuk
mengagungkan syiar kaum muslimin. Agar bendera Islam tegak berdiri dan kokoh
menjulang di tengah masyarakat kita. Agar Lebaran menjadi momentum yang
berharga untuk memperkenalkan syiar dan ajaran Islam. Mari mengingat motivasi
ini langsung dari Al-Qur‟an, Allah SWT berfirman : “ Barang siapa yang
mengagungkan syiar agama Allah, maka itu adalah bukti ketakwaan dalam
hatinya “ (QS Al Hajj 32).
Tradisi Mudik atau Pulang Kampung
Kita melihat banyak orang rela berdesak-desakan, atau bermotoran jarak
jauh, dan juga mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mensukseskan
aktifitas pulang kampung tahunan. Sungguh hambar jika hanya dilakukan karena
sekedar adat dan ikut- ikutan, apalagi karena sekedar ingin nostalgia wisata kuliner
khas pedesaan. Begitu pula jika dilakukan untuk pamer kesuksesan dan
kesombongan, jumlah harta dan jumlah anak istri. Ini sama persis dengan
ungkapan Al-Quran : “ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak “ (QS Al-
Hadid 20).
Karenanya, hakikat mudik harus kita hayati sepenuhnya bahwa ia adalah
sarana kita untuk silaturahmi dalam arti sebenarnya: yaitu menyambung hubungan
kekerabatan secara umum, dan secara khusus ajang birrul walidain kepada orang
tua. Kita semua menyadari bahwa aktifitas setahun penuh terkadang menjadikan
kita tidak terlampau optimal dalam menjalankan hal ini (silaturahim dan birrul
walidain). Sehingga, momentum lebaran dan mudik hendaknya kita niatkan sejak
awal sebagai agenda birrul walidain dan silaturrahim kerabat yang efektif. Dengan
niatan ini, insya Allah terbuka seluruh janji kebaikan yang diisyaratkan Rasulullah
SAW : Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka
sambunglah silaturahim.”(HR Tirmidzi dan Ahmad)
25
Mudik secara khusus adalah birrul walidain kepada orang tua, memohon
keridhoannya khususnya setelah kita membersihkan diri di bulan suci. Apalah arti
bersih diri jika orang tua kita masih memendam benci dan belum sepenuh hati
meridhoi kita ? Sementara Rasulullah SAW bersabda : “ Keridhoan Tuhan ada
pada Ridho orang tua, dan kemurkaan Tuhan ada pada murka orang tua “ (HR
Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Tradisi Bermaafan dan Ungkapan Maaf Lahir Batin
Ini benar-benar khas Indonesia. Setiap lebaran ungkapan maaf lahir bathin
diobral dimana-mana. Sungguh ini adalah sesuatu yang indah berkesan jika
dilakukan dengan sepenuh keyakinan akan hina dan kesalahan diri. Sebaliknya, ia
tak lebih dari lipatan lidah tak bertulang jika hanya sekedar basa basi dan
menuruti tradisi. Karenanya, apa sesungguhnya niatan yang bisa kita munculkan
atau menjadi inspirasi pendahulu kita dalam mentradisikan hal ini ? setidaknya
ada dua hal.
Pertama, karena menjadi simbol dan ciri orang bertakwa. Bulan Ramadhan
dengan ibadah puasanya dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kita. Maka
menjadi sangat wajar jika selesai ramadhan kita harus mengimplementasikan
semangat dan ciri ketakwaan. Salah satunya yaitu menjadi insan yang pemaaf dan
mau menahan amarah. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang mulia : dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. (QS
Ali Imron 134).
Kedua, keinginan diri untuk bersih dari dosa secara sempurna. Dosa kita
senantiasa terbagi menjadi dua, dosa kepada syariat atau Allah SWT, dan dosa
kepada sesama manusia. Kita semua berhusnudhon bahwa Ramadhan -
sebagaimana yang dijanjikan- akan menggugurkan dosa-dosa kita kepada Allah
SWT. Karenanya, untuk mengoptimalkan kesucian diri kita harus meminta
keridhoan orang-orang disekitar kita. Karena dosa kepada manusia menjadi tidak
terampuni tanpa keridhoan orang yang kita zhalimi.
Pada titik inilah, sesungguhnya permintaan maaf harus dilaksanakan dengan
sepenuh penghayatan, dan juga harus fokus tertuju kepada orang-orang yang
memang senantiasa berinteraksi dengan kita, bukan kenalan biasa atau kenalan
26
dunia maya yang nyaris tak pernah bertemu muka !. Kepada mereka yang belum
kita kenal, cukuplah ucapan taqobbalallahu minna waminkum menghiasi lisan
dan menghujam dalam hati kita.
Tradisi Memakai Pakaian Bagus dan Baru
Salah satu ciri lebaran adalah banyaknya orang berbelanja di toko dan mall
untuk membeli pakaian. Bahkan terkadang bukan hanya pakaian, mereka yang
diberikan rezeki berlebih kadang melengkapinya dengan membeli sandal, tas,
peci, jilbab, bahkan mukena dan sajadah. Tanpa kita sadari , ini menjadi tradisi
yang berulang dengan sendirinya. Anggaran hari raya pun mungkin sebagian
besarnya digunakan untuk keperluan hal ini. Karenanya, sungguh kita perlu
memahami sepenuhnya tradisi ini agar tidak terjebak pada rutinitas atau bahkan
pemborosan tanpa makna.
Marilah kita maknai saat membeli baju lebaran untuk tampil terbaik di hari
raya nanti, agar indah saat menjalankan shalat ied, agar rapi saat bersilaturahmi.
Bukan karena sombong dan pamer diri, tapi mengagungkan syiar lebaran sebagai
hari kegembiraan. Tampil baik di hari raya adalah sunnah yang dianjurkan dan
dijalankan Rasulullah SAW. Dari Al-Hasan As-Sabt ra, ia berkata : Rasulullah
SAW memerintahkan pada dua hari raya, agar kami memakai pakaian yang
terbaik yang kami punya, dan memakai wewangian yang terbaik yang kami
punya, dan juga untuk berkurban dengan harga paling tinggi yang kami mampu”
(HR Ibnu Hakim).
Dengan demikian, sebenarnya yang penting dalam baju lebaran adalah
yang paling pantas untuk sholat dan silaturrahmi. Bukan baju-baju yang gaul atau
mengumbar aurat, yang tidak bisa dipakai untuk sholat idul fitri.
Tradisi Makanan Khas Lebaran dan Kue Lebaran
Tradisi berikutnya yang senantiasa ada di hari raya ada mempersiapkan
makanan khusus untuk kepentingan lebaran. Baik untuk makanan beratnya seperti
ketupat dan opor ayam, maupun kue-kue ringan untuk menyambut tamu yang
datang bersilaturrahmi. Para ibu rumah tangga sejak awal berkonsentrasi penuh
pada persiapan semacam ini. Ada yang membuat sendiri dan sibuk membeli
bahan-bahan, ada yang memesan ke rekan , atau membeli langsung di syawalan.
27
Urusan tampilan toples terkadang begitu menyibukkan. Kalau dulu cukup biskuit
khong guan dan nissin wafers setiap lebaran, sekarang muncul generasi kue
lebaran baru seperti : nastar, putri salju dan kastengel. Benar-benar menyibukkan
dan membutuhkan anggaran yang besar.
Karenanya, mari kita meniatkan dalam persiapan tersebut untuk berbagi
kebahagiaan di hari raya. Hakikat hari raya iedul fitri memang kembali berbuka,
bahkan tidak boleh kita berpuasa, karenanya sungguh wajar jika ada persiapan
untuk menyambut kembalinya kita berbuka dengan sepenuh kegembiraan yang
disyariatkan. Rasulullah SAW bersabda : " Bagi orang yang berpuasa ada dua
kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka ( buka puasa dan saat Idul Fitri) dan
kegembiraan saat bertemu Tuhan mereka " ( HR Bukhori &; Muslim).
Kita mempersiapkan banyak hal dengan niatan hari raya memang menjadi
hari untuk makan dan minum. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
tentang hari raya : Itu adalah hari-hari (untuk) makan dan minum. (Fiqh Sunnah :
I/598).
Selain itu, tentu saja kita niatkan semua persiapan di atas dalam rangkan
memuliakan tamu yang akan berkunjung ke rumah kita. Tidak setiap hari mereka
berkunjung, apalagi dalam suasana yang bahagia semacam ini. Tentu akan sangat
indah jika ada hidangan yang disiapkan untuk tamu yang mulia. Sebagai wujud
kesempurnaan iman kita. Insya Allah.
Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari).