24
4 II. PEMBAHASAN A. Menyingkap Tradisi Konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) adalah sepasang konsep yang pertama kali di perkenalkan oleh pakar antropologi Amerika R. Redfield, yang kemudian banyak digunakan para antropolog dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai Negara di Asia, Afrika dan di Amerika sendiri. Studi Geertz yakni The Religion of java yang kemudian menjadi master piece diantara karya karya antropologi mengenai jawa juga dilakukan adlam kerangka konsep great tradition dan little tradition. Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat dua macam tradisi yang dapat dikategorikan sebagai great tradition dan little tradition. Great tradition adalah tradisi dari mereka yang suka berfikir dengan sendirinya mencakup jumlah orang yang relative sedikit ( the reflective few). Sedangkan little tradition adalah tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filosof, ulama dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah di teliti atau disaring pengembangannya. Seperti diketahui di sekitar abad ke-19 antropologi sangat diwarnai oleh berbagai studi tentang masyarakat primitif yang digambarkan sebagai suatu keutuhan terintegrasi, yang seolah-olah terbebas sama sekali dari pengaruh dunia luar. Kembali dari lapangan para antropolog biasanya melaporkan tentang suatu kehidupan sosial-budaya yang dianalisa sebagai suatu keutuhan (a whole) dan dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang secara fungsional saling berkaitan. Namun ketika antropolog mulai melakukan studi tentang masyarakat petani dirasakan bahwa pendekatan tersebut diatas tidak memadai lagi. Studi Redfield tentang masyarakat petani di Amerika Latin (1942) membawa dia kepada masyarakat intermediate yang corak kehidupannya terletak di antara masyarakat suku dan masyarakat kota modern.

Bab II Pembahasan

  • Upload
    lukman

  • View
    456

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Islam dan Tradisi beberapa daerah di indonesia

Citation preview

Page 1: Bab II Pembahasan

4

II. PEMBAHASAN

A. Menyingkap Tradisi

Konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition)

adalah sepasang konsep yang pertama kali di perkenalkan oleh pakar antropologi

Amerika R. Redfield, yang kemudian banyak digunakan para antropolog dalam

studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai Negara di Asia, Afrika

dan di Amerika sendiri. Studi Geertz yakni The Religion of java yang kemudian

menjadi master piece diantara karya karya antropologi mengenai jawa juga

dilakukan adlam kerangka konsep great tradition dan little tradition.

Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat

dua macam tradisi yang dapat dikategorikan sebagai great tradition dan little

tradition. Great tradition adalah tradisi dari mereka yang suka berfikir dengan

sendirinya mencakup jumlah orang yang relative sedikit (the reflective few).

Sedangkan little tradition adalah tradisi dari sebagian besar orang yang tidak

pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para

filosof, ulama dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan

dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang

sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak

pernah di teliti atau disaring pengembangannya.

Seperti diketahui di sekitar abad ke-19 antropologi sangat diwarnai oleh

berbagai studi tentang masyarakat primitif yang digambarkan sebagai suatu

keutuhan terintegrasi, yang seolah-olah terbebas sama sekali dari pengaruh dunia

luar. Kembali dari lapangan para antropolog biasanya melaporkan tentang suatu

kehidupan sosial-budaya yang dianalisa sebagai suatu keutuhan (a whole) dan

dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang secara

fungsional saling berkaitan. Namun ketika antropolog mulai melakukan studi

tentang masyarakat petani dirasakan bahwa pendekatan tersebut diatas tidak

memadai lagi. Studi Redfield tentang masyarakat petani di Amerika Latin (1942)

membawa dia kepada masyarakat intermediate yang corak kehidupannya terletak

di antara masyarakat suku dan masyarakat kota modern.

Page 2: Bab II Pembahasan

5

Struktur sosial dari masyarakat petani dan yang sejenisnya karenanya

mencakup hubungan pengaruh mempengaruhi serta contoh mencontoh kultural

dari kalangan elite dan petani dalam konteksnya dengan sistem sosial yang lebih

luas. Oleh karenanya budaya masyarakat petani itu tidak bersifat otonom. Ia

adalah suatu aspek atau dimensi dari suatu peradaban dan merupakan bagian dari

dirinya. Keadaan ini menyarankan adanya pemisahan dari dua macam tradisi yang

hidup ditenah masyarakat, yakni the great tradition dan the little tradition.

Sebelum menyoroti lebih mendalam kedua konsep tersebut, kita lebih dulu akan

membahas konsep tradisi itu sendiri menginga istialh tersebut hingga kini selalu

lekat dengan pembicaraan mengenai tradisionalitas vs modernitas, Islam

tradisional vs Islam modernis dan semacamnya.

Tradisi: Antara Warisan dan Ciptaan

Secara terminologis perkataan tradisi mengandung suatu pengertian

tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Ia

menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud

dan berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang tradisi islam

atau tradisi Kristen secara tidak sadar ia sedang menyebut serangkaian ajaran atau

doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan yang lalu tetapi masih hadir dan

malahan tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini.

Ajaran islam maupun Kristen tersebut masih berfungsi hingga saat ini, karena

adanya proses pewarisan sejak awal berdirinya, melewati berbagai kurun generasi

dan diterima oleh generasi sekarang. Oleh karena itulah tradisi dalam pengertian

yang paling elementer adalah sesuatu yang ditransimisikan atau diwariskan dari

masa lalu ke masa kini.

Pengertian tersebut cukup menolong namun masih terlalu umum untuk

dipakai sebagai alat analisa. Tidak terungkap dari pengertian tersebut apa yang

diwariskan, sudah berapa lama diwarisi, dengan cara bagaimana, lisan ataukah

tulisan. Tentunya kita dapat menerima bahwa Taj Mahal di India, Spinx di Mesir,

atau Borobudur di Jawa Tengah adalah monument-monumen tradisional. Namun

tentunya sulit diterima kalau bangunan-bangunan tersebut dikatakan sebagai

tradisi. Itu semua adalah prduk dari suatu tradisi, tetapi bukan tradisi itu sendiri.

Page 3: Bab II Pembahasan

6

Dalam hal ini definisi dalam Ensiklopedi Britanica memberikan pengertian yang

lebih jelas, yakni “Kumpulan dari kebiasaan, Kepercayaan, Peradaban ,atau

Kelompok sosial dan karena itu membentuk pandangan hidupnya”.

Berangkat dari uraian tersebut kiranya cukup jelas bahwa tradisi adalah

sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini berupa non-materi, baik

kebiasaan, kerpercayaan atau tindakan-tindakan. Semua hal tersebut selalu

diberlakukan kembali, tetapi pemberlakuan itu sendiri bukan tradisi karena justru

mencakup pola yang membimbing proses pemberlakuan kembali tersebut.

Dengan mempertimbangkan kemampuan suatu tradisi untuk memelihara

kontinuitasnya, tidaklah tepat menempatkan tradisi semata-mata sebagai lawan

dari modernisasi. Sebagaiamana acap kali terjadi, dibawah panji modernisasi,

orang cenderung meremehkan tradisi. Sikap demikian sesungguhnya merupakan

kelanjutan belaka dari pandangan yang meletakkan tradisi dan modernitas dalam

suatu posisi dikotomis. Di satu pihak modernitas dimana rasionalitas dan

kreatifitas merupakan elemennya yang terpenting dianggap sebagai serba baik;

sebaliknya apa yang tradisional dipandang sebagai hambatan bagi perubahan.

Dalam kehidupan masyarakat modern terdapat banyak sekali lembaga-

lembaga yang sudah begitu tua usianya yang aturan-aturannya berakar jauh di

masa lalu, misalnya saja lembaga perkawinan dan kehidupan keluarga. Tentu saja

tidak berarti bahwa tradisi-tradisi yang masih hidup itu tetap sama di sepanjang

waktu dan di semua tempat. Produk tradisi yang serupa baranmateriil seperti candi

atau lukisan tetap sama dengan bentuk awalnya. Teks-teks keagamaan juga akan

tetap sama meskipun mengalami cetak ulang yang berkali-kali. Namun demikian

interpretasi terhadap Bible maupun al-Qur‟an, tidak selalu sama sepanjang masa.

Kebiasaan, kepercayaan, aturan-aturan. Tingkah laku, tidak pernah luput dari

interpretasi, modifikasi bahkan perubahan. Elemen-elemen esensial dari suatu

tradisi mungkin tetap bertahan dalam suatu kombinasi dengan elemen lainnya.

Namun apa yang membuatnya sebagai suatu tradisi adalah bahwa apa

yang dianggap sebagai elemen esensial kurang lebih akan senantiasa tetap sama di

sepanjang proses transmisinya.

Page 4: Bab II Pembahasan

7

Hingga di sini kita masih terpaku pada pengertian tradisi sebagai “Warisan

dari masa lalu”, sebagai sesuatu yang diterima oleh generasi sekarang dari

pendahulu mereka. Para pemikir yang gagasan-gagasannya kita kutip di atas

belum memberi tempat kepada tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan. Adalah

Hobsbawn yang mengajukan argument cerdas bahwa tradisi-tradisi yang

tampaknya sudah tua atau di klaim sebagai telah tua seringkali adalah sesuatu

yang sesungguhnya baru dan kadang-kadang sengaja diciptakan. Ia menggunakan

terminology invented tradition untuk menunjukkan serangkaian tindakan yang

ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan

(repetition), yang secara otomatis mengacu pada kesinambungan dengan masa

lalu. Hobsbawn memberikan contoh yang sangat jelas. Misalnya pilihan yang

disengaja terhadpa Style Gothic bagi pembangunan kembali gedung parlemen

inggris, dan juga pilihan yang disengaja sesudah perang dunia kedua untuk

membangun kembali dewan parlemen dengan rencana dasar yang persis sama

dengan masa sebelumnya.

Hobsbawn dengan jeli menunjukkan bahwa apa yang seringkali

dianggapsebagai kesinambungan dengan sejarah masa lalu tidak lain adalah

sesuatu yang dibuat-buat dalam konteks invented tradition. Pendek kata ada

sejenis respon terhadap situasi baru yang mengambil bentuk acuan kepada suatu

situasi yang sudah sangat lama, atau malahan acuan itu sendiri sesungguhnya

adalah kreasi yang sama sekali baru namun dicarikan landasannya pada sesuatu

yang sudah lama. Penciptaan tradisi-tradisi tersebut pada dasarnya merupakan

proses formalisasi and ritualisasi yang ditandai denganacuan kepada masa lalu

untuk menekankan pentingnya tindakan tertentu itu diulang-ulang. Dalam konteks

Indonesia barangkali kita bisa menunjuk kepada usaha kalangan kepercayaan.

Mereka adalah sesuatu yang sudah tua dan sudah ada sejak zaman Majapahit dan

Sriwijaya.

Memang tidak jarang Motif dari penciptaan suatu tradisi pada dasarnya

bersifat politis. Di Perancis hari besar yang dikenal sebagai The Bastlle Day yang

berasal dari tahun 1990, dimaksudkan sebagai alat transformasi semangat revolusi

perancis yang diekspresikan dalam bentukpenegasan kekuasaan Negara

Page 5: Bab II Pembahasan

8

dikombinasikan dengan berbagai hiburan rakyat. Di Jerman terutama di

hubungkan dengan era William II dengan dua tujuan pokok; untuk membangun

kesinambungan antara kekaisaran Jerman II dengan kekaisaran Jerman I, serta

untuk menonjolkan pengalaman yang spesifik yang telah mengaitkan Prussi

dengan wilayah Jerman lainnya dalam pembangunan kekaisaran baru di tahun

1871.

Dengan menggaris bawahi tradisi sebagai sesuatu yang diciptakan,

disamping sebagai „sesuatu yang diwarisi‟, memungkinkan kita meletakkan tradisi

dalam posisi yang sejajar dengan modernisasi. Pada gilirannya hal ini menuntut

kita untuk memperlakukan tradisi dan modernisasi dengan jarak yang sama. Cara

pandang demikian akan memungkinkan kita dapat menggali tradisi-tradisi uyang

ada dan berdaya guna serta layak dipakai bagi kehidupan sosial budaya masa kini

ada sesuatu yang dianggap perlu diwariskan kepada generasi mendatang, maka

sesuatu tersebut akan cenderung ditransimisikan atau dimanipulasi sebagai tradisi.

Lebih lanjut cara pandang demikian juga akan menghindarkan para pengamat dari

sikap tradisional kalangan modernis, yaitu penerimaan yang tidak kritis atas

segala sesuatu yang dipandang modern. Shils berpendapat, “Tradisi harus

dipertimbangkan tidak hanya sebagai penghambat atau kondisi yang tidak

terelakkan”. Pembuangan tradisi harus dianggap sebagai cost bagi suatu

keberangkatan menuju yang baru (a new departure) sebaliknya pemeliharaan

tradisi-tradisi haruslah dipandang sebagai benefit.

Great Tradition dan Little Tradition

Berangkat dari kajian kritis terhadap terminology tradisi kita melihat

betapa istilah tradisi tersebut dapat dipakai dalam maknanya yang begitu luas.

Dari sinilah kita barangkali dapat menangkap kegunaan konsep great tradition

dan little tradition yang dikembangkan oleh Redfield, yang telah mengawali

tulisan ini. Dengan konsep tersebut pada dasarnya kita diajak memahami

dinamika sosial budaya suatu kelompok masyarakat melalui penglihatan yang jeli

terhadap tarik-menarik, saling pengaruh, persaingan, konflik, integrasi, maupun

akomodasi antara dua arus utama tradisi. Andaikata Kita melakukan studi atas

agama orang cina, maka ketimbang membagi The Chinese Religion menjadi tiga,

Page 6: Bab II Pembahasan

9

yaitu Confucionism, Budhism, dan Taoism; akan lebih akurat jika dibagi menjadi

dua tingkatan: tingkatan masa dan tingkatan orang-orang terpelajar. Sedangkan

dalam hubungannya dengan Islam, Redfield menganjurkan untuk meniru cara

Von Grunebaum yang menggambarkan tarik-menarik antara the islam high

culture dan local culture. Dalam suatu dar al Islam, ungkap Von Grunebaum,

Pola-pola Islami adalah dalam posisi the great tradition sebaliknya the little

tradition senantiasa merupakan kecendrungan yang popular di bawah arus.

Sejarah mencatat bahwa banyak para wali menyebarkan Islam

menggunakan berbagai instrumen kesenian sehingga yang lahir kemudian adalah

agama Islam yang tercampur dengan tradisi lokal. Sama halnya seperti di daerah

Jawa, alur penyebaran Islam di Indramayu salah satunya yaitu berangkat dari

pesisir dan terus berlanjut memberikan pengaruhnya ke wilayah pedalaman.

Contohnya, Sunan Gunung Djati yang menyebarkan Islam melalui media

kesenian masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan terjadinya proses tarik

menarik antara budaya lokal dan budaya luar. Tak jarang, proses ini menghasilkan

dinamika budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika

di dalam kehidupan masyarakat terdapat praktik-praktik sinkretisme dan atau

akulturasi budaya, seperti menjalankan ritual di dalam ajaran Islam, namun masih

tetap mempercayai berbagai keyakinan lokal. Rritual-ritual tradisi setempat itu

diwariskan turun temurun dari leluhur, membakar kemenyan ,menggunakan jimat-

jimat tertentu untuk menguatkan fisik, menyajikan sesajen dan sebagainya

merupakan beberapa tradisi lokal yang diyakini oleh para masyarakat mampu

menambah berkah. Mereka mempercayai bahwa ada suatu kekuatan gaib yang

tidak terjelaskan oleh akal, tidak mampu mereka visualisasikan, tapi mereka

sungguh-sungguh meyakininya dalam hati.

Kenyataan demikian mengantarkan kami untuk meneliti lebih jauh

bagaimana komitmen beragama masyarakat indonesia yang berada di antara

persinggungan agama Islam dan tradisi setempat, Jika melihat kajian yang

dilakukan oleh para ahli, tampak adanya tipologi kajian Islam dalam konteks

lokal, yang dikategorikan sebagai kajian yang memandang hubungan antara

tradisi Islam dan lokal bercorak sinkretik dan bercorak akulturatif. Kajian yang

Page 7: Bab II Pembahasan

10

dilakukan oleh Geertz termasuk kajian yang bercorak Islam sinkretik. Sementara

itu, beberapa ahli lainnya, seperti Hefner, Woodward, Muhaimin, Budiwanti, dan

Hilmy mengkaji tentang Islam akulturatif.

Bagi kami, akhir penelitian haruslah berupa pemberdayaan. Oleh karena

itu, mencoba menyingkap penyelenggaraan tradisi lokal, seirama dengan semakin

intensifnya gerakan pemurnian Islam, fundamentalisme, dan pengembangan Islam

dewasa ini.

B. Tradisi Beberapa Daerah di Indonesia yang Bernafaskan Islam

Selawatan "Angguk Rame"

Selawatan "Angguk Rame" adalah nama sebuah kelompok seni yang

bernafaskan Islam dan spriritualitas kejawen. Kelompok selawatan ini, tentu saja

setelah menelusuri berbagai wilayah di Lereng Merapi, hanya ada di Desa Batur

Ngisor, Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.

Keberadaannya pun sampai saat ini belum tercium media. Keistimewaan

kelompok seni ini pun belum terpublikasi di media manapun.

Selawatan "Angguk Rame" sangat berbeda dengan kelompok seni

selawatan lain. Tampilan Selawatan Angguk Rame tetap k lasik dan - lebih

mengejutkan lagi - penggunaan tribahasa, yaitu: Belanda, Arab dan Jawa.

Selawatan memiliki kata dasar selawat yang berarti doa, permohonan

kepada Tuhan dan salat. Selawatan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan sebagai pembacaan selawat oleh sekumpulan orang secara

bersama-sama serta bersambut-sambutan dan biasanya diiringi pukulan rebana

dan alat musik setempat. Merujuk pada pengertian ini maka Selawatan "Angguk

Rame" terwakili. Meski demikian, Selawatan "Angguk Rame" tidak seperti

selawatan pada umumnya karena memiliki keistimewaan tersendiri.

Pertama, erat berkaitan dengan jenisnya. Selawatan pada umumnya

dibedakan menjadi Selawatan Janenan, Selawatan Jawi dan Selawatan Kompang.

Selawatan Janenan yaitu selawatan yang memakai bahasa setempat. Selawatan

Jawi yaitu selawatan yang memakai teks Bahasa Jawa dengan iringan rebana dan

Page 8: Bab II Pembahasan

11

beberapa alat musik setempat. Sedangkan Selawatan Kompang yaitu selawatan

yang memakai teks Bahasa Arab dengan iringan rebana.

Kedua, kostum yang tetap klasik. Jenis kostum ini jarang ditemukan di

kelompok-kelompok kesenian lainnya di wilayah Lereng Gunung Merapi.

Pakaian kostum yang mereka pakai menyerupai para prajurit keraton Yogyakarta.

Meski terkesan klasik, semangat modern muncul juga dalam bentuk kacamata

hitam dan sepatu. Mereka ini dulu tampil tanpa kacamata dan sepatu. Kata

"Angguk Rame" berarti mengangguk ramai, serempak dan dinamis.

Dugderan

Duderan adalah sebuah upacara yang menandai bahwa bulan puasa

telah datang, dulu dugderan merupakan sarana informasi Pemerintah Kota

Semarang kepada masyarakatnya tentang datangnya bulan Ramadhan. Dugderan

dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari

perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian

diasumsikan dengan derr.

Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum

dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband, pasukan

pakaian adat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” , meriam , warak ngendok dan

berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah

warak Ngendok sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga

kulit sisik emas, visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni.

Acara ini dimulai dari jam 08.00 sampai dengan maghrib di hari yang sama juga

diselenggarakan festival warak dan Jipin Blantenan.

Sejarah "Dugderan"

Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan hari

dimulainya bulan Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan

kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering menimbulkan beberapa

penentuan dimulainya puasa ini mendapat perhatian yang berwajib. Hal ini terjadi

pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupari RMTA

Purbaningrat.Beliaulah yang pertama kali memberanikan diri menentukan

Page 9: Bab II Pembahasan

12

mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Maeriam di halaman

Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug

dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten

Adanya upacara Dug Der tersebut makin lama makin menarik perhatian

masyarakat Semarang dan sekitarnya, menyebabkan datangnya para pedagang

dari berbagai daerah yang menjual bermacam0macam makanan, minuman dan

mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat ( Celengan, Gerabah),

mainan dari bambu ( Seruling, Gangsingan), mainan dari kerta (Warak Ngendog)

Jalannya Upacara

Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah

dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :

1. Bendera

2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan

dibunyikan

3. Obat Inggris (Mesiu) dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam

4. Gamelan disiapkan di pendopo Kabupaten.

Upacara Dug Der dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul

15.30 WIB.Ki Lurah sebagai Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari

dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian

Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten

dibunyikan dengan irama MOGANG.

Prosesi"Dugder"

Meskipun jaman sudah berubah dan berkembang namun tradisi Dug Der

masih tetap dilestarikan. Walaupun pelaksanaan Upacara Tradisi ini sudah banyak

mengalami perubahan, namun tidak mengurangi makna Dug Der itu sendiri.

Penyebab perubahan pelaksanaan antara lain adalah pindahnya Pusat

Pemerintahan ke Balaikota di Jl Pemuda dan semakin menyempitnya lahan Pasar

Malam, karena berkembangnya bangunan-bangunan pertokoan di seputar Pasar

Johar.Upacara Tradisi Dug Der sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota

dengan waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Puasa. Upacara dipimpin

langsung oleh Bapak Walikota Semarang yang berperan sebagai Adipati

Page 10: Bab II Pembahasan

13

Semarang.Setalah upacara selesai dilaksnakan, dilanjutkan dengan

Prosesi/Karnaval yang diikuti oleh Pasukan Merah Putih, Drum band, Pasukan

Pakaian Adat “ Bhinneka Tunggal Ika “, Meriam, Warak Ngendog dan berbagai

kesenian yang ada di kota Semarang.

Dengan bergemanya suara bedug dan meriam inilah masyarakat kota

Semarang dan sekitarnya mengetahui bahwa besok pagi dimulainya puasa tanpa

perasaan ragu-ragu.

Tabuik...Budaya Duka Dari Pariaman

Peristiwa pembantaian Hussain, cucu Nabi Muhammad di Padang

Karbala, oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti Ummayah, menorehkan

guratan sejarah yang mendalam bagi umat muslim di dunia. Di Pariaman,

Sumatera Barat, peristiwa ini diperingati dengan melaksanakan sebuah upacara,

Tabuik.

Berasal dari kata „tabut‟, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara

Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat,

yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura

yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.

Simbol Rasa Duka

Konon, Tabuik dibawa oleh penganut Syiah dari timur tengah ke

Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol

dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di

Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Karena kemeriahan dan

keunikan dalam setiap pagelarannya, Pemda setempat pun kemudian memasukkan

upacara Tabuik dalam agenda wisata Sumatera Barat dan digelar setiap tahun.

Dua minggu menjelang pelaksanaanaan upacara Tabuik, warga

Pariaman sudah sibuk melakukan berbagai persiapan. Mereka membuat serta

aneka penganan, kue-kue khas dan Tabuik. Dalam masa ini, ada pula warga yang

menjalankan ritual khusus, yakni puasa.

Selain sebagai nama upacara, Tabuik juga disematkan untuk nama benda

yang menjadi komponen penting dalam ritual ini. Tabuik berjumlah dua buah dan

Page 11: Bab II Pembahasan

14

terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya berupa binatang berbadan kuda,

berkepala manusia, yang tegap dan bersayap. Oleh umat

Islam, binatang ini disebut Buraq dan dianggap sebagai binatang gaib. Di

punggung Tabuik, dibuat sebuah tonggak setinggi sekitar 15 m. Tabuik kemudian

dihiasi dengan warna merah dan warna lainnya dan akan di arak nantinya.

Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, keramaian sudah terasa

di seantero Kota Pariaman. Seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di

alun-alun kota. Para warga lainnya berkerumun di tepi jalan untuk menyaksikan

jalannya kirab Tabuik. Tak hanya warga biasa, para pejabat pemerintahan pun

turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Tepat pada waktunya, Tabuik mulai diangkat dan karnaval pun dimulai.

Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di

belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat

musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Selama arak-arakan

berlangsung, seluruh peserta karnaval meneriakkan, “Hayya Hussain… Hayya

Hussain!!!” sebagai ungkapan hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW

tersebut. Sesekali, arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat

khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.

Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa

ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada

kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di

samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit,

dengan membawa segala jenis arakannya.

Bila dibandingkan dengan upacara Tabuik yang digelar sepuluh tahun

lalu, upacara Tabuik yang ada sekarang memang berbeda. Kala itu, Tabuik dibuat

oleh dua kelompok warga dari kubu yang berbeda dan kemudian diadu satu sama

lain. Dalam prosesnya, tak jarang diikuti pula dengan baku hantam para warga

dari kedua kubu tersebut.

Page 12: Bab II Pembahasan

15

Basunat, Simbol pengislaman anak di Banjarmasin

Basunat bagi masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merupakan

hal yang sangat penting. Bahkan, keislaman seseorang belum dianggap sempurna

apabila orang tersebut belum bersunat. Oleh karenanya, orang-orang Banjar sejak

masih anak-anak (laki- laki berumur antara 6 – 12 tahun, dan perempuan biasanya

lebih muda) telah disunat (Alfani Daud, 1997: 252). Asa bakalalangan haja kaalah

kita (terasa mengganggu perasaan kita), demikian biasanya orang-orang

mengomentari orang-orang Islam (bersyahadat) yang belum disunat. Selain

dilakukan oleh kalangan orang Islam untuk menyempurnakan keislamannya.

Sunat bagi laki- laki dan perempuan pada prakteknya tidak sama. Sunat

untuk laki- laki, adalah membuang kulit kemaluan (kulup) yang menutupi kepala

kemaluan laki- laki. Sedangkan bagi perempuan, sunat adalah pemotongan

sebagian jaringan clitoris. Di kalangan masyarakat Banjar, dikenal tiga metode

menyunat untuk laki- laki, yaitu: (1) basupit. Disebut basupit karena kulit zakar

yang harus dibuang dijepit dengan supitan yang terbuat dari kayu yang keras atau

bambu selama dua sampai tiga minggu. Pemotongan dilakukan setelah kulup yang

dijepit tersebut kering. Cara ini menimbulkan penderitaan yang luar biasa pada

orang yang disunat, baik sebelum disunat maupun setelahnya. Metode basupit ini

masih dijalankan oleh masyarakat Banjar sampai tahun 1940-an. 2) basunat.

Metode ini merupakan kelanjutan dari metode basupit. Jika pada basupit kulup

zakar harus dijepit dalam waktu 2-3 minggu, maka dalam basunat kulup dijepit

hanya pada saat dipotong. Dengan cara ini, penderitaan orang yang bersunat jauh

berkurang. (3) Penyunatan oleh dokter atau mantri kesehatan. Cara ini merupakan

metode penyunatan paling modern. Jika pada basupit dan basunat orang yang

melakukan adalah ahli sunat yang mendapat keahlian melalui pewarisan dari

orang tuanya, maka pada metode yang terakhir orang yang melakukan penyunatan

mendapat keahlian melalui pendidikan formal.

Jika pada laki- laki basunat identik dengan pemotongan kulup zakar, maka

pada perempuan lebih pada pengurangan jaringan clitoris dengan cara mengerik

dengan menggunakan silet (lebih lanjut akan dijelaskan pada prosesi penyunatan).

Page 13: Bab II Pembahasan

16

Oleh karena dengan cara mengerik, maka anak perempuan yang disunat tidak

akan mengalami penderitaan akibat rasa sakit sebagaimana pada anak laki- laki.

Bahkan, mereka dapat langsung bermain setelah prosesi penyunatan.

Makkarawa Bola (Menre’ Bola)

Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu Makkarawa (memegang) dan

Bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau

membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan

maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan

keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan

waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan–bahan itu dikerjakan oleh

Panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada

Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan

petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.

Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua

ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk

pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang –

kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga,

yaitu 1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang, 2.

waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3.

waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang

telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa

yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan

yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama

rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–

baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam

itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung

dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko–

Page 14: Bab II Pembahasan

17

roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca‟ Beppa, Barongko dan Beppa loka,

dan lain – lainnya.

Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).

Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari

pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya.

Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai

bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa

orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang

dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru

itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.

Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas :

ayam ‟bakka‟ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil

untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan

agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu,

Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah

rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah

atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang

baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti

bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis),

dan buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam

kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu

dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan

serba cukup.

Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan –

bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m,

diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa),

saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa).

Page 15: Bab II Pembahasan

18

Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat

posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam

rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah

dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang – orang

yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf disajikan terdiri

atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan agar hidup dalam

rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara

Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)

Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga

dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai

upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi

dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua

ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti (pisang)

panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng

(nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara

resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di tempatnya

masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng

dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung disimpan di masing–masing

tiang sudut rumah.

Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami

membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh

seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan

dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan,

sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh

disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara

hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan / kue–kue seperti

suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–konde (umba–

umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada malam harinya diadakanlah

pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam itu

Page 16: Bab II Pembahasan

19

pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh

pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.

Tahap Upacara Maccera Bola.

Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara

yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada rumah

itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang dipakai

maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu

menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara

narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini

maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro

(dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.

Barasanji

Barasanji, sebutan orang Sulawesi Selatan terhadap barzanji, merupakan

tradisi Islam yang terus hidup dan dipertahankan oleh muslim Sulsel. Ia dibaca

dalam berbagai kegiatan keislaman atau dibaca pada malam Jum‟at di masjid-

masjid.

Biasanya warga membaca syair-syair barasanji yang meceritakan

keagungan rasulullah pada acara mauludan, khitanan, pernikahan, aqiqahan,

muharraman dan lainnya. Pembacaan Berzanji pada umumnya dilakukan di

berbagai kesempatan, sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang

lebih baik.“Barasanji dibaca pada moment apa saja. Sebagian masjid secara rutin

membacanya setiap malam Jum‟at,” tuturnya. Di masjid-masjid, biasanya orang-

orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan Berzanji, yang

pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan.

Nama Berzanji diambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja'far al-

Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Ia lahir di Madinah tahun 1690 dan

meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat d i Kurdistan,

Barzinj. Karya tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya

Page 17: Bab II Pembahasan

20

kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi

Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.

Barzanji bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah

keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi

rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi

Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan,

seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-

arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru

Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan

kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat

malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-

lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil

berdoa).Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat

sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan

Sultan Agung (1613-1645 Masehi).Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti

sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu

umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender

Hijriah.Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan

Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1

Muharram sebagai tahun baru Jawa. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai

awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang

tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan

dengan Yang Maha Kuasa.Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk

berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun

Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta

Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat

kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking

Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap

Page 18: Bab II Pembahasan

21

keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana

Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat

Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro

dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti

oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk

berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah

tapa mbisu mubeng beteng. Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh

kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak

dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan

tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap

eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya

dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti

manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan

hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya

berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang

harus dijalani selama bulan Suro. Terlepas dari mitos yang beredar dalam

masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama

bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih

mawas diri.

Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian

tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya

makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini

masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

Page 19: Bab II Pembahasan

22

Tradisi Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Menjelang bulan suci Ramadhan, setiap orang berupaya untuk melakuka

pembersihan diri, baik secara fisik maupun batin. Dari sisi batin, tentunya mereka

membersihkan diri dari dosa, berniat menjalankan ibadah dengan baik, saling

memaafkan, memperbanyak ibadah, dan berdoa lebih khusyuk.

Meugang

Meugang adalah sebuah tradisi yang merupakan ekpresi kegembiraan umat

Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dalam menyambut Bulan Ramdahan. UMAT

Islam di beberapa daerah di Indonesia mempunyai tradisi tersendiri untuk

menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Masyarakat Islam di Riau dan

Sumatera Barat menyambutnya dengan mandi berlimau, di Aceh pula tradisi

meugang atau hari menyembelih haiwan. Di Jawa pula popular dengan tradisi

mandi menyucikan diri atau padusan manakala masyarakat Betawi masih kental

dengan tradisi mandi keramas (membasuh rambut) dan ziarah rumah keluarga

lebih tua serta makam keluarga terdekat.

Balimau

Pembersihan fisik dimaknai dengan melakukan wudhu atau mandi dengan

menggunakan air bersih. Di masyarakat, terdapat tradisi membersihkan diri,

seperti mandi khusus sebelum Ramadhan. Kegiatan tersebut dilakukan secara

turun-temurun. Salah satunya adalah tradisi pembersihan diri di suku adat

Minang, Sumatra Barat, yaitu Balimau.

"Mandi Balimau merupakan tradisi budaya Minang. Tradisi ini

berlangsung sejak masa sebelum Islam masuk di tanah Minang. Lalu, saat Islam

masuk.upacara itu diakomodasi dan dimanfaatkan untuk membersihkan d iri

sebelum menjalankan ibadah puasa.

Esensi utama Balimau adalah membersihkan diri disertai niat untuk

menjalankan ibadah puasa. Caranya adalah mandi di sungai-sungai besar. Syarat

sungai yang digunakan, selain ukurannya besar, airnya bersih dan juga mengalir.

"Air laut jarang digunakan. Pada umumnya, yang sering digunakan adalah sungai.

Page 20: Bab II Pembahasan

23

Di Sumatra Barat kan banyak sungai. Nah, masyarakat biasanya pergi ke sungai-

sungai itu."

Biasanya, dalam acara ini, dilakukan semacam upacara adat yang dipimpin

oleh para sesepuh adat atau disebut Ninik-Mamak. Sebagai contoh, beberapa hari

lalu, di daerah Lima Puluh Koto, Sumatra Barat, berlangsung mandi Balimau

yang cukup besar. Peserta Balimau di Payakumbuh bahkan menca-pai puluhan

ribu orang.

Balimau merupakan mandi air sungai menjelang Ramadhan. Mandinya

ditambahi dengan campuran air rendaman daun pandan dan bunga-bungaan

wangi. Airnya kemudian diusapkan ke kepala atau untuk membasuh badan. Mandi

Balimau sebenarnya bisa saja dilakukan di rumah, kata Edy, tetapi menurut tradisi

yang tak boleh ditinggalkan dalam Balimau adalah ramuan air wanginya.

Kita juga bias tidak ikut mandi di sungai tersebut tapi bias membawa

pulang air dari sungai tersebut dan kemudian memakainya mandi. Kekhasan

mandi Balimau adalah air rendaman wangi. Di dalam air itu. direndam bunga-

bungaan wangi (termasuk mawar), daun landep, irisan daun pandan, dan perasan

air dari sejenis jeruk purut besar. Untuk mandinya, dilakukan dengan cara

berendam di air sungai, lalu rendaman air wangi itu dipakai membasuh, seperti

halnya sabun mandi. Setelah itu, badan dibasuh lagi dengan air sungai. Setelah

mandi, mereka pun berwudhu.

Namun, muncul kontroversi dari para ulama. Sebagian ulama melarangnya

karena dianggap berdampak negatif. Dalam pernyataan ulama Sumatra Barat,

dampak negatif Balimau adalah penyalahgunaan kegiatan ini sebagai acara

melepaskan emosi, hasrat, dan sering lepas kontrol dalam kegiatan mandi

bersama. "Mereka mementingkan kegiatan ini pada bagian berkumpulnya,

bergembira, dan mandi-mandi.

Page 21: Bab II Pembahasan

24

Tradisi Setelah Bulan Puasa (Idul Fitri)

Iedul fitri adalah bagian dari syiar Islam dan kaum muslimin, karenanya

niatan awal dari menjalankan semua tradisi halal yang ada adalah untuk

mengagungkan syiar kaum muslimin. Agar bendera Islam tegak berdiri dan kokoh

menjulang di tengah masyarakat kita. Agar Lebaran menjadi momentum yang

berharga untuk memperkenalkan syiar dan ajaran Islam. Mari mengingat motivasi

ini langsung dari Al-Qur‟an, Allah SWT berfirman : “ Barang siapa yang

mengagungkan syiar agama Allah, maka itu adalah bukti ketakwaan dalam

hatinya “ (QS Al Hajj 32).

Tradisi Mudik atau Pulang Kampung

Kita melihat banyak orang rela berdesak-desakan, atau bermotoran jarak

jauh, dan juga mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mensukseskan

aktifitas pulang kampung tahunan. Sungguh hambar jika hanya dilakukan karena

sekedar adat dan ikut- ikutan, apalagi karena sekedar ingin nostalgia wisata kuliner

khas pedesaan. Begitu pula jika dilakukan untuk pamer kesuksesan dan

kesombongan, jumlah harta dan jumlah anak istri. Ini sama persis dengan

ungkapan Al-Quran : “ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu

hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah

antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak “ (QS Al-

Hadid 20).

Karenanya, hakikat mudik harus kita hayati sepenuhnya bahwa ia adalah

sarana kita untuk silaturahmi dalam arti sebenarnya: yaitu menyambung hubungan

kekerabatan secara umum, dan secara khusus ajang birrul walidain kepada orang

tua. Kita semua menyadari bahwa aktifitas setahun penuh terkadang menjadikan

kita tidak terlampau optimal dalam menjalankan hal ini (silaturahim dan birrul

walidain). Sehingga, momentum lebaran dan mudik hendaknya kita niatkan sejak

awal sebagai agenda birrul walidain dan silaturrahim kerabat yang efektif. Dengan

niatan ini, insya Allah terbuka seluruh janji kebaikan yang diisyaratkan Rasulullah

SAW : Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka

sambunglah silaturahim.”(HR Tirmidzi dan Ahmad)

Page 22: Bab II Pembahasan

25

Mudik secara khusus adalah birrul walidain kepada orang tua, memohon

keridhoannya khususnya setelah kita membersihkan diri di bulan suci. Apalah arti

bersih diri jika orang tua kita masih memendam benci dan belum sepenuh hati

meridhoi kita ? Sementara Rasulullah SAW bersabda : “ Keridhoan Tuhan ada

pada Ridho orang tua, dan kemurkaan Tuhan ada pada murka orang tua “ (HR

Tirmidzi dari Ibnu Umar).

Tradisi Bermaafan dan Ungkapan Maaf Lahir Batin

Ini benar-benar khas Indonesia. Setiap lebaran ungkapan maaf lahir bathin

diobral dimana-mana. Sungguh ini adalah sesuatu yang indah berkesan jika

dilakukan dengan sepenuh keyakinan akan hina dan kesalahan diri. Sebaliknya, ia

tak lebih dari lipatan lidah tak bertulang jika hanya sekedar basa basi dan

menuruti tradisi. Karenanya, apa sesungguhnya niatan yang bisa kita munculkan

atau menjadi inspirasi pendahulu kita dalam mentradisikan hal ini ? setidaknya

ada dua hal.

Pertama, karena menjadi simbol dan ciri orang bertakwa. Bulan Ramadhan

dengan ibadah puasanya dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kita. Maka

menjadi sangat wajar jika selesai ramadhan kita harus mengimplementasikan

semangat dan ciri ketakwaan. Salah satunya yaitu menjadi insan yang pemaaf dan

mau menahan amarah. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang mulia : dan

orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. (QS

Ali Imron 134).

Kedua, keinginan diri untuk bersih dari dosa secara sempurna. Dosa kita

senantiasa terbagi menjadi dua, dosa kepada syariat atau Allah SWT, dan dosa

kepada sesama manusia. Kita semua berhusnudhon bahwa Ramadhan -

sebagaimana yang dijanjikan- akan menggugurkan dosa-dosa kita kepada Allah

SWT. Karenanya, untuk mengoptimalkan kesucian diri kita harus meminta

keridhoan orang-orang disekitar kita. Karena dosa kepada manusia menjadi tidak

terampuni tanpa keridhoan orang yang kita zhalimi.

Pada titik inilah, sesungguhnya permintaan maaf harus dilaksanakan dengan

sepenuh penghayatan, dan juga harus fokus tertuju kepada orang-orang yang

memang senantiasa berinteraksi dengan kita, bukan kenalan biasa atau kenalan

Page 23: Bab II Pembahasan

26

dunia maya yang nyaris tak pernah bertemu muka !. Kepada mereka yang belum

kita kenal, cukuplah ucapan taqobbalallahu minna waminkum menghiasi lisan

dan menghujam dalam hati kita.

Tradisi Memakai Pakaian Bagus dan Baru

Salah satu ciri lebaran adalah banyaknya orang berbelanja di toko dan mall

untuk membeli pakaian. Bahkan terkadang bukan hanya pakaian, mereka yang

diberikan rezeki berlebih kadang melengkapinya dengan membeli sandal, tas,

peci, jilbab, bahkan mukena dan sajadah. Tanpa kita sadari , ini menjadi tradisi

yang berulang dengan sendirinya. Anggaran hari raya pun mungkin sebagian

besarnya digunakan untuk keperluan hal ini. Karenanya, sungguh kita perlu

memahami sepenuhnya tradisi ini agar tidak terjebak pada rutinitas atau bahkan

pemborosan tanpa makna.

Marilah kita maknai saat membeli baju lebaran untuk tampil terbaik di hari

raya nanti, agar indah saat menjalankan shalat ied, agar rapi saat bersilaturahmi.

Bukan karena sombong dan pamer diri, tapi mengagungkan syiar lebaran sebagai

hari kegembiraan. Tampil baik di hari raya adalah sunnah yang dianjurkan dan

dijalankan Rasulullah SAW. Dari Al-Hasan As-Sabt ra, ia berkata : Rasulullah

SAW memerintahkan pada dua hari raya, agar kami memakai pakaian yang

terbaik yang kami punya, dan memakai wewangian yang terbaik yang kami

punya, dan juga untuk berkurban dengan harga paling tinggi yang kami mampu”

(HR Ibnu Hakim).

Dengan demikian, sebenarnya yang penting dalam baju lebaran adalah

yang paling pantas untuk sholat dan silaturrahmi. Bukan baju-baju yang gaul atau

mengumbar aurat, yang tidak bisa dipakai untuk sholat idul fitri.

Tradisi Makanan Khas Lebaran dan Kue Lebaran

Tradisi berikutnya yang senantiasa ada di hari raya ada mempersiapkan

makanan khusus untuk kepentingan lebaran. Baik untuk makanan beratnya seperti

ketupat dan opor ayam, maupun kue-kue ringan untuk menyambut tamu yang

datang bersilaturrahmi. Para ibu rumah tangga sejak awal berkonsentrasi penuh

pada persiapan semacam ini. Ada yang membuat sendiri dan sibuk membeli

bahan-bahan, ada yang memesan ke rekan , atau membeli langsung di syawalan.

Page 24: Bab II Pembahasan

27

Urusan tampilan toples terkadang begitu menyibukkan. Kalau dulu cukup biskuit

khong guan dan nissin wafers setiap lebaran, sekarang muncul generasi kue

lebaran baru seperti : nastar, putri salju dan kastengel. Benar-benar menyibukkan

dan membutuhkan anggaran yang besar.

Karenanya, mari kita meniatkan dalam persiapan tersebut untuk berbagi

kebahagiaan di hari raya. Hakikat hari raya iedul fitri memang kembali berbuka,

bahkan tidak boleh kita berpuasa, karenanya sungguh wajar jika ada persiapan

untuk menyambut kembalinya kita berbuka dengan sepenuh kegembiraan yang

disyariatkan. Rasulullah SAW bersabda : " Bagi orang yang berpuasa ada dua

kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka ( buka puasa dan saat Idul Fitri) dan

kegembiraan saat bertemu Tuhan mereka " ( HR Bukhori &; Muslim).

Kita mempersiapkan banyak hal dengan niatan hari raya memang menjadi

hari untuk makan dan minum. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda

tentang hari raya : Itu adalah hari-hari (untuk) makan dan minum. (Fiqh Sunnah :

I/598).

Selain itu, tentu saja kita niatkan semua persiapan di atas dalam rangkan

memuliakan tamu yang akan berkunjung ke rumah kita. Tidak setiap hari mereka

berkunjung, apalagi dalam suasana yang bahagia semacam ini. Tentu akan sangat

indah jika ada hidangan yang disiapkan untuk tamu yang mulia. Sebagai wujud

kesempurnaan iman kita. Insya Allah.

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari

akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari).