26
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini. Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen. Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya. 9 9 Shidarta. 2000. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Grasindo. Jakarta. h. 43. 12 Universitas Sumatera Utara

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

A. Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen

Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang

mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen.

Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan

perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas

menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa

barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan

dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini.

Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen

sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali

urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen.

Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang

cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU)

yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International

(CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90

negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia yang berada di Jakarta dan di Semarang. Yang

mana tiap pada tanggal 15 maret C.I memperingati hari konsumen sedunia, dan

memberi tema yang berbeda untuk setiap-tiap tahunnya.9

9 Shidarta. 2000. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Grasindo. Jakarta. h. 43.

12

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga

gerakan konsumen di dunia Internasional mau tidak mau menembus batas-batas

Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang

sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin kuat, dan hal ini berarti

konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang

dikonsumsinya.

Gejala-gejala itu memberikan pengaruh kepada gerakan konsumen di

dunia khususnya di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari

sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan

universal. Perhatian konsumen dalam negeri sama dengan perhatian konsumen

diberbagai Negara, dan konsumen kita pun konsumen global.

Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi

diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi, yang berarti tidak ada produk

yang hanya di satu Negara. Faktor kedua, globalisasi financial dimana uang tidak

lagi mengenal bendera suatu Negara. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hali ini

tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu

pasar. Dan faktor keempat, yakni globalisasi teknologi. Yang antara lain

membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradisional mengarah

pada moderenisasi dan mekanisme.10

10 Gerakan Konsumen Global Tidak Bisa Dihentikan, Kompas, 6 April 1994, hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

B. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen”

sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat,

bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan

pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang

tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar

Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen

dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali

tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan

tersebut.

Diantara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dari Persingan Usaha Tidak Sehat

(diberlakukan 5 Maret 2000 ; satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang

ini memuat suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan pengguna

barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

orang lain. Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (kooper).

Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pengertian konsumen lebih jelas dan lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah

hukum konsumen di Belanda, Hindius sebagaimana dikutip oleh tim FH UI &

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat

mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau

jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan

pemakai terakhir, dan konsumen pemakai terakhir.

Pemahaman pengertian “konsumen” akan lebih jelas bila dilakukan studi

perbandingan atas beberapa Negara yang telah mengembangkan perlindungan

konsumen yang memadai dalam sistem hukumnya.

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang,

konsumen diartikan sebagai “The person who obtains goods and sevice for

personal or family purposes.11

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat

dalam Magnussom-MossWarranty, Ferderal Trade Commission Act 1975,

mengartikan persis sama dengan ketentuan di Perancis, demikian pula rumusan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI, Pasal

236), walaupun terkesan lebih umum (karena dimuat dalam bab tentang syarat-

syarat umum perjanjian), namun yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam

NBW itu konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika

mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi

dan perusahaan.

Dari defenisi ini terkandung dua unsur, yaitu (1)

konsumen hanya orang, (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan

pribadi atau keluarganya.

12

11 Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992. hal. 57.

12 AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 72.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Di Spanyol, konsumen diistilahkan tidak hanya individu (orang), tetapi

juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang

menarik disini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga

dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.13

Consumer Protection Act of 1986, No. 68 di Negara India mengatakan

Konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati,

menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang

mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil.

14

Di Australia, ketentuannya lebih jauh lebih moderat. Dalam Trade

Practies Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai :

seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harga

tidak melewati 40.000 Dollar Australia. Artinya, jauh tidak melewati jumlah uang

diatas, tujuan pembeli barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah

uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.

15

C. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif (ius constitutum) merupakan substansi hukum yang berlaku

pada waktu yang telah ditentukan. Waktu tertentu yang dimaksud disini ketika

suatu peristiwa hukum itu tertentu. Hukum positif dengan kata lain, hukum yang

sedang berlaku, bukan hukum dimasa lampau atau hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum).

13 Tim FH & Depdagri, Op.Cit, hal. 58. 14 AZ. Nasution, Op. Ch. 15 R. Steinwall&L.Layton, annoted Trade Opractises Act 1974, Sydney : Butterworths,

1996, hal. 33-36

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Dalam kaca mata aliran hukum positif (Positivisme Hukum) hukum yang

berlaku (hukum positif) itu harus memenuhi unsur keberlakuan (geltung) yuridis.

Ia boleh saja mengabaikan unsur folosifis dan sosiologis tetapi tidak dapat

meninggalkan unsur yuridis. Suatu peraturan dikatakan memenuhi unsur

keberlakuan yuridis bila peraturan itu dilahirkan oleh lembaga yang berwenang

dan melalui proses yang benar. Dengan demikian hukum positif semata-mata

mementingkan fomalitas, bukan isi (materi) dari peraturan itu. Disebur hukum

positif semata-mata karena ia masih berlaku sampai saat ini. Hukum positif

merupakan substansi hukum yang mempunyai 3 unsur, yaitu (1) struktur, (2)

substansi, (3) budaya hukum.16

Menurut norma hukum positif Indonesia landasan yuridis tertinggi

terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 27 ayat (1). Dalam

Struktur hukum mengacu kepada bentuk dan kedudukan pranata hukum

yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi Negara

contohnya, suatu penggambaran dari stuktur hukum. Adapun substansi hukumnya

merupakan kumpulan nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma hukum yang ada.

Inilah yang lazim dikenal dengan law in the books dalam suatu sistem hukum.

Tentu saja tidak sama dari aturan hukum itu berjalan sesuai dengan harapan

dilapangan. Ada aturan yang ditaati dan ada yang disampingi. Semua itu

terangkum dalam law in action atau living law. Unsur yang penting dalam

mempengaruhicorak hukum yang hidup itu adalah budaya hukum dari masyarakat

yang menjadi subjek hukum.

16 Lawrence. M. Friedman, American Law (New York : WW. Norton & Co. 1986), 5 et seq.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal tersebut pada dasarnya

memberi landasan konstitusional bagi perlindungan konsumen di indonesia.

Karena dalam ketentuan tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum

semua warga Negara adalah sama atau sederajat (equaly before the law). Sebagai

warga Negara, kedudukan hukum konsumen tidak boleh rendah dari pada

produsen atau pemasar produksi produsen. Mereka memilih hak-hak yang

seimbang satu sama lainnya.

Landasan konstitusional tersebut erat pula kaitannya dengan konsep bahwa

setiap orang adalah konsumen. Produksi (barang dan/atau jasa) tidak berarti apa-

apa tanpa dilanjutkan dengan konsumsi. Tidak ada orang yang tidak

mengkonsumsi barang dan jasa pihak lain. Tidak mungkin ada badan usaha yang

mempunyai produksi semua barang dan jasa secara mandiri. Perusahaan-

perusahaan yang berskala besar, yang lazim disebut konglomerat sekali pun dalam

era perdagangan bebas dan pasar global dewasa ini, justru cenderung membatasi

diversifikasi usahanya, dan mulai memusatkan perhatiannya pada core

businessnya. Kecendrungan demikian seharusnya dapat memperkuat komitmen

konstitusional sebagaimana diletakkan Pasal 27 UUD 1945.

Mengingat luasnya objek material (pokok bahasan) hukum perlindungan

konsumen itu, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Objek

material hukum perlindungan konsumen mencakup semua lapangan hukum pada

umumnya. Pembagian bidang-bidang hukum perlindungan konsumen dan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik

dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu

sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang

setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan

pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella

act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

(selanjutnya disingkat dengan UUPK, yang disahkan pada tanggal 20 april 1999,

tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 april 2000). Penundaan

ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diberlakukan.

UUPK sendiri dalam penjelasan umumnya menyebutkan sejumlah

Undang-Undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral.

Undang-Undang tersebut telah ada mendahului UUPK. Untuk memberikan

gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen secara komperhensif dalam

hukum positif indonesia, uraian berikut akan lebih diarahkan kepada pendekatan

objek formal (sudut pandang) nya, yang dikelompokan menjadi aspek hukum

keperdataan, hukum pidana, hukum administrasi Negara dan hukum internasional.

1. Hukum Keperdataan

Hukum keperdataan secara substansional merupakan area hukum yang

sangat luas dan dinamis. Keluasan hukum keperdataan sekilas segera tampak dari

judul-judul buku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan leg spesialis,

sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah leg generalisnya. Dalam

azas hukum dikatakan, jika terjadi perselisihan pengaturan antara undang-undang

khusus dan undan-undang lebih umum, maka yang khusus inilah yang digunakan

(leg spesialis deorgate lege generalis).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis

seorang manusia sejak lahir sampai setelah yang bersangkutan wafat. Dalam

hukum perdata itu antara lain dibicarakan bagaiman hubungan seorang dengan

keluarga, benda orang lain dalam lapangan harta kekayaan, dan ahli warisnya jika

meninggal.

Dalam KUHPerdata tidak pernah disebut kata “konsumen”. Istilah lain

yang sepadan dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang

(debitur). Pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1235 (Jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444, 1473, 1474, 1482,

1550, 1560, 1706, 1744) :

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si

berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk

merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat

penyerahan”.

2. Pasal 1236 (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480) ;

“ Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga

kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna

menyelamatkannya”.

3. Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang

yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang

dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama

sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatas jelas masih terlalu

umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat

dinamis itu. Dinamika yang diamati, misalnya, dari makin banyaknya bentuk-

bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak (individu dan individu, atau

lembaga-lembaga, atau individu dan lembaga). Dinamika hukum perdata ini

disadari pula oleh perancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada abad

ke-19, antara lain dengan mencantumkan kriteria perjanjian yang bernama

(beneomd, specified) dan tidak bernama (onbenoemd, unspecified).

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai sebutan tersendiri,

yakni yang diatur atau diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V

sampai dengan Bab XVIII (dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang). Diluar adalah perjanjian tidak bernama. Dapat dibayangkan, betapa

banyak jenis-jenis perjanjian yang belum diatur dalam ketiga belas bab itu.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Adapun azas kebebasan berkontrak mendorong pihak-pihak yang terlibat

dalam hubungan keperdataan melakukan inovasi jenis-jenis perjanjian baru.

Perjanjian sewa beli, misalnya, merupakan jenis perjanjian yang termasuk

perjanjian tidak bernama menurut versi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan

faktor sangat penting, walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada. Dalam

perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, pernah ada suatu kurun waktu

yang menganggap unsur perjanjian mutlak harus ada lebih dahulu, barulah

konsumen dapat memperoleh perlindungan yuridis dari lawan sengketa.

Pandangan prinsipil seperti itu saat ini perlu ditinjau kembali.

Adanya hubungan hukum berupa perjanjian tentu saja sangat membantu

memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan

hak-haknya. Perjankian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu

sumber lahirnya perikatan.

Perikatan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomis ini disebut

dengan “perutangan”. Kata perutangan ini menunjukan adanya hubungan hukum

yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam lapangan harta

kekayaan. Pengaturan perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

merupakan pengaturan secara umum saja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319

KUHPerdata “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun

yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum

yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Maksud kata-kata “dalam bab ini

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

dan bab yang lalu” adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari

perjanjian dan bab I tentang perikatan-perikatan pada umumnya.

Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengikat

perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khususnya yang diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang “Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini,

sekedar dari dalam Kitab Undang-Undang ini tidak diatur secara khusus

menyimpang. “Anak kalimat terakhir dari pasal tersebut mengisyaratkan

berlakunya asas “lex specialis derogate lege generalis” (peraturan yang khusus

mengeyampingkan peraturan yang umum).

Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian

dan karena adanya undang-undang (pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata). Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian

sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen didalamnya. Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menerima dan mengatur dua sumber perikatan

ini.

Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk

mengikatkan diri melaksanakan kewajiban masing-masing, dan untuk itu masing-

masing memperoleh hak-haknya. Kewajiban para pihak tersebut dinamakan

prestasi. Pihak yang menikmati prestasi disebut dengan kreditur, dan yang wajib

menunaikan prestasi dinamakan debitur. Dengan demikian, dalam transaksi

konsumen, baik produsen maupun konsumen, keduanya dapat saja berdiri dalam

posisi sebagai kreditur atau debitur, bergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu

memiliki iktikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab.

Hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang

dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai kesepakatan semula. Jika terjadi

pelanggaran dari kesepakatan itu, atau yang lazim disebut dengan wanprestasi,

maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian

tersebut. Penentuan ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang.

Perikatan yang timbul karena undang-undang ini dibedakan dalam pasal 1352

KUHPerdata menjadi : (1) perikatan yang memang ditentukan oleh Undang-

Undang, (2) perikatan yang timbul karena perbuatan orang. Kriteria perikatan

yang timbul karena perbuatan orang ini ada yang (1) memenuhi ketentuan hukum.

Disebut perbuatan menurut hukum, (2) pembayaran tanpa hutang. Yang diatur

dalam pasal 1359 sampai pasal 1364.

Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua,

yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut

karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar

yuridis penentuan terhadap pihak lawan sengketanya.

2. Hukum Pidana

Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerepannya

kitab diatas diunifikasikan sejak 1918, yakni sejak kali diberlakukannya wetboek

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

van strafrecht voor naderlandsch-Indie. Hukum pidana sendiri termasuk dalam

kategori hukum publik. Dalam kategori ini termasuk pula hukum administrasi

negara, hukum acara, dan hukum internasional. Diantara semua aspek hukum

publik itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah

hukum pidana dan hukum administrasi negara.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata

“konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain :

1. Pasal 204 “ Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-

bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan

mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara

paling lama lima belas tahun.

2. Pasal 205 “ Barang siapa karena kealpaannya menyabebkan bahwa barang-

barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan

atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli

atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga

ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah

dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling

lama satu tahun.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

3. Pasal 359 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling

lama satu tahun ( LN 11906 No.1).

4. Pasal 360 “ Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain

mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan kealpaannya

menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit

atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu

tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

5. Pasal 382 “ Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan,

minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan

menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat

tahun”.

6. Pasal 382 bis “ Barang siapa yang mendapatkan, melangsungkan atau

memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang

lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau

orang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkiren-

konkoren orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus

rupiah.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

7. Pasal 383 “ Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan, seorang penjual yang berbuat curang, terdapat pembeli : (1) karena

sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2)

mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan

menggunakan tipu muslihat”.

8. Pasal 390 “ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong

yang menyebabkan harga barang dagangan, dana-dana atau surat berharga

menjadi turun atau naik, diancam pidana pejara paling lama dua tahun

delapan bulan”.

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali

ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Tentu saja

konsekuensi lain adalah mengartikan perbuatan melawan hukum

(wederrechetlijke daad) dilapangan hukum pidana tidak seleluasa dilapangan

hukum perdata. Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan perluasan

penafsiran tentang perbuatan. Melawan hukum memang juga mempengaruhi

pemikiran para ahli hukum pidana. Vost, misalnya menganut pemikiran agar

dalam hukum pidana pun unsur perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara

luas. Sehingga menjadi perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan,

tidak sekedar yang oleh Undang-Undang dilarang. Cara berfikir Vost ini disebut

dengan pendirian material, sebagai lawan dari pendirian yang formal. Tindak

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

pidana dapat kehilangan sifat melawan hukumnya hanya jika ada peraturan

(minimal) setingkat dengan itu (misalnya sama-sama Undang-Undang).17

3. Hukum Administrasi Negara

Seperti halnya hukum pidana, hukum admministrasi Negara adalah

instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-

sanksi hukum secara pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi

administrative. Sanksi administrative tidak ditunjukan pada konsumen pada

umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik produsen maupun para penyalur

hasil-hasil produknya. Sanksi admninistrative berkaitan dengan perizinan yang

diberikan pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi

pelanggaran, izin-izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari

produsen/penyalur. Produksi ini diartikan secar luas, dapat berupa barang dan

jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi

konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan

administrative Negara idaelnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi

masyarakat luas dari bahaya.

Sanksi administrasi ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi

perdata atau sanksi pidana. Ada berupa alasan untuk mendukung pernyataan ini.

Pertama, sanksi administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak.

Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak izin tidak perlu meminta

17 Ibid, hal. 90-93

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalau itu dibutuhkan mungkin

dari instansi-instansi pemerintah terkait. Sanksi adminitratif juga tidak perlu

melalui proses pengadilan. Memang, banyak pihak yang tekena sanksi ini dibuka

kesempatan untuk membela diri, antara lain mengajukan kasus tersebut

kepengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu senidri dijatuhkan terlebih

dahulu, sehingga berlaku efektif. Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana

terkadang tidak membawa efek jera pada pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana

yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang

diraih dari perbuatan negatif produsen.

Dalam lapangan hukum adminitrasi Negara, perlindungan yang diberikan

biasanya lebih bersifat tidak langsung, prefentif dan proaktif. Pemerintah biasanya

mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku usaha dengan

kewajiban tertentu. Walaupun sasaran langsungnya kepada pelaku usaha, tetapi

dampak positif dari kebijakan itu sebenarnya ditujukan kepada konsumensebagai

warga masyarakat terbesar.

Karena pemerintah sebagai instansi pengeluar perizinan, maka dalam

bidang administrasi, pemerintah berwenang meninjau kembali setiap izin yang

dinilai disalahgunakan. Hal ini berarti, sanksi administrative juga dapat bersifat

represif, lazimnya berupa pencabutan izin usaha.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

D. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Prof. Hans W. Micklitz,18

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

dalam perlindungan konsumen secara

garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat

komplementer, yaitu kewajiban yang mewajibkan pelaku usaha memberikan

informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua,

kebijakan kompenstoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap

kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung

jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam

hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan

1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru

dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika unsur kesalahan

yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHperdata, yang lazim disebut sebagai pasal

tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur

pokok, yaitu (1). Adanya perbuatan, (2). Adanya unsur kesalahan, (3). Adanya

kerugian yang diderita, (4). Adanya hubungan kualitas dan kerugian.

18 Warta Konsumen, loc,cit.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan

hukum. Pengertia “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang,

tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,

yakni asas audi et alteram pertem atau asas kedudukan yang sama antara semua

pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang

seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama

untuk memenangkan perkara tersebut.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak

bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban

pembuktian terbalik (omkering van bewejslast) diterima dalam prinsip tersebut.

UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan

dalam pasal 19, 22, 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah

seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan azas hukum praduga tidak bersalah

(presumption of Inconcence) yang lazim dukenal dalam hukum. Namun, jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika

digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu

ada dipihak pihak pelaku usaha yang tergugat. Tergugat ini harus menghadirkan

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat

sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai Pengugat selalu

terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia tinggal menunjukan

kesalahan si Tergugat.

3. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk

tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) hanya

dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan

demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan

prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula

para ahli yang membedakan kedua termologi diatas. Ada pendapat yang

menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskannya dari tanggung jawab,

misalnya keadaan force majure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip

tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :

(1). Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya

kesalahan dalam suatu prosese produksi dan distribusi yang kompleks.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

(2). Waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau

menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya.

(3). Asas ini dapat memaksa produsen lain berhati-hati.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (lilmitation of liability

principle) sangat disenagi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak

film misalnya, ketentuan film yang dicuci cetak film misalnya, ditentukan bila

film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),

maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sepuluh kali harga satu rol film

baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan

secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku

usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada

pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.19

E. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen

Apabila kita mendengar kata melindungi, perlindungan maka biasanya

yang dilindungi itu adalah hak dan kepentingan, maksudnya adalah hal-hal atau

kepentingan mana saja dari konsumen yang dilindungi.

19 Sidarta, Op,cit. hal. 58-65

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

Mengenai kepentingan konsumen yang harus dilindungi ini lebih rinci

termuat dalam resolusi PBB Nomor 2111 tahun 1978. Kemudian pada 16 April

1985 dengan resolusi Nomor A / RES / 38 / 248, dimana diserukan penghormatan

terhadap hak-hak konsumen, dalam Guidelines for consume protection, bagian II

(General Principles) pada angka 3 digariskan kepentingan konsumen (legatimate

needs) itu adalah :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap keselamtan dan

keamanan.

b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat dan sesuai.

d. Pendidikan konsumen

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif

f. Kebiasaan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan bersama.

Untuk memudahkan dan mendasarkan diri pada pemahaman umum

masyarakat tentang kepentingan mereka yang harus dilindungi itu sebagai

konsumen maka bahan tentang kepentingan konsumen ini dilakukan dengan

mengunakan pengelompokan bentuk lain yaitu :

a. Kepentingan fisik

b. Kepentingan sosial ekonomi

c. Kepentingan perlindungan hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

ad.1. Kepentingan Fisik Konsumen

Maksud dari kepentingan fisik konsumen disini adalah kepentingan badan

konsumen yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan atau

jiwa mereka dalam menggunakan barang atau jasa konsumen, dan dalam setiap

perolehan barang dan atau jasa konsumen tersebut dan memberikan manfaat

baginya baik tubuh dan jiwanya.

Apabila perolehan barang dan atau jasa menimbulkan kerugian berupa

gangguan kesehatan badan atau ancaman pada keselamtan jiwanya maka

kepentingan fisik konsumen dapat terganggu. Misalnya : pembelian sebuah

kompor, dimaksidkan agar dengan alat tersebut dapat dimasak makanan yang

merupakan kebutuhan konsumen dan keluarganya, kepentingan fisik konsumen

akan terganggu kalau kompor tadi, karena tidak memenuhi standar dalam

penggunaanya mengakibatkan rumah terbakar dan atau cideranya fisik konsumen

yang bersangkutan.

ad.2. Kepentingan Sosial Ekonomi

Untuk kepentingan sosial ekonomi ini dimaksudkan agar setiap konsumen

dapat memperoleh hasil optimal dari penggunaan sumber ekonomi mereka dalam

mendapatkan barang dan atau jasa kebutuhan hidup mereka, oleh karena itu

tentunya konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung

jawab tentang produk konsumen tersebut yaitu informasi yang informative

tentang segala sesuatu kebutuhan hidup yang diperlukan. Untuk dapat mengerti

produk konsumen yang disediakan, tersedianya upaya penggantian kerugian

efektif apabila mereka dirugikan dalam saksi konsumen dan kebebasan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

membentuk organisasi atau kelompok-kelompok yang diikutsertakan dalam setiap

proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan

konsumen maka konsumen pun harus memperoleh pendidikan yang relevan.

ad.c. Kepentingan Perlindungan Hukum

Di dalam peraturan perundang-undangan positif kita secara tidak langsung

telah memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur dan/atau melindungi konsumen,

tetapi pada kenyataannya mengandung kendala tertentu yang menyulitkan

konsumen.

Kendala itu adalah :

1. Hambatan bagi konsumen terjadi karena peraturan perundang-undangan

dimaksud diterbitkan bukan untuk tujuan khusus mengatur dan atau

melindungi konsumen. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan

konsumen hanyalah sekedar sampiran saja dari pokok permasalahan yang

diatur, baik itu yang menyangkut masalah keperdataan, administrasi maupun

masalah pidana termasuk hukum-hukum acara yang berkaitan dengan itu.

Contoh dalam pasal 42 ayat 2 Sub b UU Penyiaran UU No.24 Tahun 1997,

mengatakan dilarang iklan niaga yang memuat promosi barang dan jasa yang

berlebih-lebihan dan menyesatkan, baik mengenai mutu, asal, isi, ukukran,

sifat, komposisi maupun keaslian, selanjutnya pasal 63 UU tersebut

menyatakan bahwa Pemerintah mengenakan sanksi administrasi atas

pelanggaran terhadap beberapa pasal dari UU tersebut termasuk pelanggaran

terhadap pasal 42 ayat 2 Sub b. Dari Pasal-pasal ini jelas bahwa UU

penyiaran itu bukan secara utama mengatur konsumen tetapi mengatur pelaku

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN A. Sejarah Lahirnya …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36041/4/Chapter... · 2013-04-17 · BAB II PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN . A. Sejarah

usaha, sedangkan dalam UU penyiaran ini tidak diatur bagaiman

perlindungan terhadap kepentingan konsumen, bila pelaku usaha melanggar

pasal 42 ayat 2 Sub b tersebut.

2. Bahwa hukum acara yang berlaku tidak mudah untuk dimafaatkan konsumen

untuk menyelesaikan masalahnya karena dirugikan pelaku usaha tersebut,

karena belum biasanya dilaksanakan proses pengadilan yang sederhana, cepat

dan biaya murah, sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 (Undang-Undang Pokok Kehakiman).

Berbagai kepentingan konsumen seperti yang disepakati bersama anggota

PBB, memerlukan prasarana dan sarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi

kepentingan rakyat.

Universitas Sumatera Utara