36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang meningkat (WHO, 2006). Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau (2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006). Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al., 2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008). 2.1.1 Etiologi Obesitas Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas - sinta.unud.ac.id II.pdf · koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan

  • Upload
    ngohanh

  • View
    233

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas

Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal

didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan

dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan

dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas

disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang

meningkat (WHO, 2006).

Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan

perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan

perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas

dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau

(2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan

peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).

Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah

serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat

sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas

sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena

berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al.,

2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).

2.1.1 Etiologi Obesitas

Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya

ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor

genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul

bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO,

2006).

Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh

perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan

utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi

pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot

skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang

dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et

al., 2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya

bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya

aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah

kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon

akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga

dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan

keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).

2.1.2 Epidemiologi Obesitas

Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih

dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta

orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi

perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,

namun belakangan secara dramatis obesitas juga mengalami peningkatan pada

negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di

daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan

Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai

kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen

populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir

dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada

beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014).

Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan

berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan

negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen

(Mokdad, et al. 2001).

2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan

Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak

masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki

berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa

obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa

penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit

kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon,

rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara

keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari

obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan

para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa

orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil lipoprotein-

lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya

dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor

resiko metabolik (Depres et al., 2006).

Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa

sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di

daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,

hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Despress dan Marette, 2008).

Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi

DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).

Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara

aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan

meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya

beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).

Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat

meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara

obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah

satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri

termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak

abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk

makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai

faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan

kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,

kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker

pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang

berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade

imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).

2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi

Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung

antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et

al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang

mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian

epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas

dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,

namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di

turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul

beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya

yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa

adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila

dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan

tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan

dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa

peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer

memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.

Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang

berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan

obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan

darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan

sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan

katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat.

Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam

proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan

aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi

natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan

jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal

keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan

insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang

mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan

hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta

merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).

2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik

Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian

mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.

Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian

mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil

penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap

terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat

obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan.

Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita

obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria

koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu

arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat

bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi

hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.

2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus

Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan

energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan

kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9

kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah

dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai

kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan

dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75

tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang

memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas

sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan

ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya

reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang

menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya

adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga

kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan

sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan

peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia

dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya

peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya

jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.

2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan

Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan

rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh

karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang

akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat

dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian

syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat

badannya.

2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi

Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban

yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung

menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi

osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015

dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata

grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung

lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa

mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi

seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan

sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah

sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan

kaki.

2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron

Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala

dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya

diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis

dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa;

menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan

kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ;

Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak

dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit

kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,

hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,

2011).

Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor

yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et

al., 2011 ; Wang et al., 2011).

Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose

mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free

Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada

perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen

(Traish et al., 2009).

Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory

tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor

proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,

vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al.,

2011).

Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan

disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA

mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα

mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage

chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag

dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi

molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi

sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang

merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron

terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat

memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,

2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan

komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)

2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas

Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas

adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan

berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter [berat/tinggi

badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas

di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang

tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra

abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur

dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik

yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis

(Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan

kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang

tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu

IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas

untuk orang dewasa (WHO, 2006).

Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di

wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda

berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk

overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan

dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil

penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di

Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang

lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT 32

kg/m2 (WHO, 2014).

Tabel 2.1

Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT

(WHO, 2014)

2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh

Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas

yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006).

Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh

manusia.

a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)

Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat

untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu

lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak

yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa

intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel

(slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral

(Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2

berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan

risiko rendah. Kedua cara ini memiliki ketepatan yang tinggi yang juga dapat

membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et

al., 2006).

b. Dual-energy X-ray scanning

Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy

X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat

mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya

memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak

tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan

banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih

diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan

jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).

c. Pengukuran subcutan fat

Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan

estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak

dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk

mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak

yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,

2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan supra-

iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak

tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari

30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang

sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang

sangat penting (Baum, 2004).

d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)

Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan

adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini

ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang

berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp

dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al.,

2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat

dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan

> 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal

(WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik

untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi

oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan

faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama

kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan

perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada

RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang

memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit

kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan

RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm

pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit

kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita

memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau

Lp > 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat badan.

Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm

untuk wanita (Lean et al., 1995).

2.2 Fungsi Jaringan Adiposa

Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari

jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama

penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan

adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan

energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari

sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel

imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak

ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi,

keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya

peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan

meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa

penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat

mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk

mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.

Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma

dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120

bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin

dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian

dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor

necrosis factor- (TNF-), interleukin-6 (IL-6), interleukin-8 (IL-8), interleukin-

1 (IL-1), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), transforming growth factor-

1 (TGF-1), adipsin, adiponektin, angiotensinogen, resistin, serum amiloid A3

(Mutch et al., 2001; Kirkland et al., 2003). Adipokin-adipokin tersebut berkorelasi

denngan imunitas dan respon inflamasi, dan produksinya secara umum meningkat

pada obesitas (Hotamisligil, 2006). Salah satu perkecualian adalah adiponektin,

yang bekerja sebagai anti-inflamasi dan perangsang pengeluaran insulin, ekspresi

dan sekresinya menurun pada obesitas (Ronti, et al. 2006). Mekanisme yang terjadi

pada obesitas sangat kompleks dan banyak melibatkan sitokin, hormon dan growth

factor. Kenyataan bahwa TNF a, Leptin, IL-6, insulin, PAI-1, TGF-B dan lainnya

meningkat pada obesitas dan peranan ini berhubungan dengan berbagai penyakit

yang sering dijumpai pada obesitas (Fruhbeck et al, 2001).

2.3 Hubungan Lemak Viseral dengan Sindroma Metabolik

Dibandingkan dengan lemak subkutan, lemak viseral lebih berhubungan

dengan hipertensi, hiperinsulinemia dan resistensi insulin, diabetes mellitus,

dislipidemia dan penurunan fungsi fibrinolisis membuktikan bahwa lemak viseral

lebih kuat hubungannya dengan tekanan darah sistolik dan diastolik, trigliserida,

kolesterol total, kolesterol-HDL, kolesterol-LDL dan resistensi insulin (Yamashita

et al., 1996; Kopelman, 2000; Wajchenberg et al., 2000; Despres et al., 2006).

Timbunan lemak viseral yang berlebihan juga berhubungan dengan variabel

hemostatik yang berperan terhadap meningkatnya risiko aterotrombosis (Alessi et

al., 1997).

Penelitian secara morfologi dari adiposit yang diambil dari berbagai bagian

tubuh menunjukkan bahwa metabolisme adiposit dari daerah abdominal berbeda

dengan metabolisme adiposit dari femuro-gluteal. Adiposit abdominal

menunjukkan bentuk hipertrofi, sedangkan adiposit femuro-gluteal adalah

hiperplastik (Van Gaal, 2006). Lemak abdominal memiliki respon lipolisis yang

lebih besar terhadap noradrenalin dan kurang sensitif terhadap antilipolisis dari

insulin sehingga mengakibatkan peningkatan masuknya asam lemak bebas (ALB)

ke dalam sirkulasi portal (Kopelman, 2000). Diperkirakan ALB yang berasal dari

lemak viseral melalui aliran portal mempengaruhi metabolisme hepar dan

menyebabkan peningkatan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), dan

selanjutnya low density lipoprotein (LDL). Disamping itu ALB dapat merangsang

glukoneogenesis dan meningkatkan kadar glukosa darah. Penelitian dengan cara

mengukur perfusi pada hepar tikus membuktikan bahwa ALB dapat menurunkan

kliren dari insulin dan menimbulkan hiperinsulinemia (Kopelman, 2000; Björntorp,

2003; British Nutrition Foundation, 2003). Data di atas hanya terbatas berdasar

hasil penelitian secara invitro.

Penelitian pada manusia masih menjumpai banyak kendala karena

pengukuran vena porta hampir tidak pernah dapat dikerjakan karena kesulitan

teknis. Secara tidak langsung pengukuran konsentrasi ALB pada vena hepatika

dapat menggambarkan produksi ALB dari depot lemak viseral, tetapi masih

dijumpai kendala karena terdapat juga aliran darah ke hepar melalui arteri hepatika

dari sirkulasi sistemik. Sehingga ALB yang diukur pada vena hepatika tidak hanya

berasal dari lipolisis jaringan lemak viseral, tetapi juga berasal dari lipolisis

jaringan lemak ditempat lainnya (Björntorp, 2003).

Disamping teori ALB dari lemak viseral, yang mendasari terjadinya berbagai

faktor risiko, penelitian pada tikus membuktikan terjadinya ekspresi berlebihan dari

-hydroxy steroid dehydrogenase1 pada jaringan adiposa. Enzim ini merubah

glukokortikoid inaktif menjadi kortikosteron aktif. Sebagai akibatnya terjadi

resistensi insulin dengan segala akibatnya. Pada manusia keadaan ini menyebabkan

terjadinya kelebihan kortisol, sehingga peran spesifik dari lemak viseral menjadi

tidak jelas (Björntorp, 2003).

2.4 Mekanisme Resistensi Insulin pada Obesitas Abdominal

Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek metabolik

insulin yang berakibat pada insensitivitas jaringan terhadap insulin (Hawkins &

Rossetti, 2005). Efek metabolik insulin mencakup efek penghambatan terhadap

produksi glukosa endogen, efek stimulasi pada pengambilan glukosa dan sintesis

glikogen pada jaringan, serta menghambat penguraian lemak pada jaringan

adiposa. Tanpa adanya defek pada fungsi sel beta pankreas, individu

mengkompensasi resistensi insulin dengan peningkatan jumlah sekresi insulin

(hiperinsulinemia) (Masharani et al., 2004).

RI tidak hanya menyangkut hubungan antara glukosa dengan insulin tetapi

juga kerja biologis lainnya dari insulin seperti pengaruhnya terhadap metabolisme

lemak dan protein, fungsi endotel, dan ekspresi gen (Cefalu, 2001). Berbagai faktor

genetik, lingkungan dan metabolik yang berperan terjadinya RI saat ini belum

sepenuhnya diketahui (Lewis et al., 2002). Ambilan dan metabolisme glukosa

melalui kerja insulin merupakan hasil akhir dari aktivasi tahapan signaling insulin.

Perubahan satu atau lebih dari proses ini akan menimbulkan gangguan terhadap

kerja insulin dan menimbulkan resistensi insulin (Tjokroprawiro, 2003). Resistensi

insulin juga sangat berkaitan dengan suatu kluster (kumpulan) kondisi yang disebut

sindroma metabolik (SM) (obesitas sentral, hipertensi, resistensi insulin, dan

dislipidemia) (Carr & Brunzell, 2004). Sindroma metabolik juga sangat

berhubungan dengan inflamasi sistemik akibat peningkatan sitokin proinflamasi

serta status protrombotik seiring dengan peningkatan kadar plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1) serta stres oksidatif (Kahn et al., 2005).

Secara garis besar terdapat 3 tahapan utama yang berperan terjadinya RI: 1)

ikatan insulin dengan reseptor, 2) fosforilasi dari reseptor insulin, dan 3) signaling

insulin intra seluler (Giannarelli et al., 2003; Tjokroprawiro, 2003). Reseptor

insulin merupakan protein heterotetrameric terdiri dari dua subunit- pada domain

ekstraseluler dan dua subunit- β pada domain intra seluler. Pada saat terjadi ikatan

antara insulin dengan subunit-, terjadi fosforilasi subunit- dari reseptor

insulin. Autofosforilasi dari subunit- akan mengakibatkan aktivasi insulin

receptor substrate (IRS-1;-2;-3;-4). Protein ini mengatur mediator lainnya seperti

phospho-inositol-3-kinase (PI3-kinase). Peran dari IRS-1 dan IRS-2 terhadap RI

telah dibuktikan secara eksperimental dengan tikus knock-out yang dibuat secara

genetik. Aktivasi PI3-kinase mengkatalisasi terbentuknya PI-3,4,5 –fosfat yang

akan menimbulkan aktivasi PKB/AKT dan phosphatidilinositol-3,4,5-phosphate

kinase-1 (PDK-1). Fosforilasi PKB/AKT akan mengatur tahapan kinase yang

berperan terhadap transduksi signal insulin yang berperan terhadap translokasi

GLUT-4 dari kompartemen membran intra seluler ke membran sel sehingga terjadi

transport glukosa transmembran secara aktif dan fosforilasi, anti lipolisis, sintesis

glikogen dan protein, dan ekspresi gen (Youngren et al., 1999; Cefalu, 2001).

Tabel 2.

Definisi Sindroma Metabolik menurut WHO, EGIR dan NCEP

(Eschwege, 2003)

WHO EGIR NCEP

Resistensi Insulin (ambilan glukosa dibawah

quartile terendah untuk

kelompok populasi yang

diteliti

Dan/atau

Gangguan glukosa darah

(GDP 110 dan/atau 2jam

pp 140 mg/dl)

Disertai 2 atau lebih

Hipertensi (sistolik

140 mmHg dan/atau

distolik 90 mmHg

Peningkatan

trigliserida, kol –HDL

rendah.Trigliserida

>150 mg/dl dan atau

kol-HDL <35 mg/dl

untuk pria atau < 39

mg/dl untuk wanita

Obesitas viseral (RPP

>0,90 untuk pria dan

>0,85 untuk wanita

Mikroalbuminuria

(UAE 20 mg/min atau

rasio albumin/kreatinin

>30mg/kg)

Hiperinsulinemia (insulin puasa diatas

upper quartile dari

populasi non diabetes.

Disertai dengan 2 atau

lebih:

Hiperglikemi (BSN

110 mg/dl.

Hipertensi (tekanan

darah sistolik 140

mmHg, dan/atau

diastolik 90

mmHg,dan/atau

mendapat

pengobatan

hipertensi.

Dislipidemia (trigliserida >180

mg/dl) dan/atau kol-

HDL <40 mg/dl dan

atau mendapat

pengobatan

dislipidemia.

Obesitas viseral

(Lp 94 cm untuk

pria dan 80 cm

untuk wanita

Apabila ditemukan paling

sedikit 3 dari 5 faktor risiko

dibawah ini:

Gula darah puasa 110

mg

Tekanan darah 130/85

mmHg

Trigliserida 150 mg/dl

Kol-HDL untuk pria <40

mg/dl, <50 mg/dl untuk

wanita

Obesitas viseral (Lp >102

cm untuk pria dan >88 cm

untuk wanita; beberapa pria

dengan Lp >94 cm akan

mengidap berbagai faktor

risiko metabolik melalui

predisposisi genetik untuk

resistensi insulin,dan akan

bermanfaat untuk merubah

pola hidup seperti pada pria

dengan Lp >102 cm.

Berbagai faktor diperkirakan berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas

dan diantaranya adalah TNF-α, leptin dan ALB (Despres dan Marette, 1999;

Frűhbeck et al., 2001). Banyak penelitian secara in vivo maupun in vitro

membuktikan bahwa TNF-α berperan terhadap timbulnya RI pada obesitas. Terjadi

peningkatan ekspresi dari TNF-α pada jaringan adiposa yang mengalami

pembesaran pada obesitas dan lebih jauh TNF-α dapat menurunkan ambilan

glukosa karena pengaruh insulin. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa

disamping TNF-α juga dijumpai faktor lainnya ikut berperan terjadinya RI pada

obesitas (Despres and Marette, 1999). Leptin yang dihasilkan oleh jaringan adiposa

ekspresi dan sekresinya mengalami peningkatan pada obesitas. Diperkirakan

hiperleptinemia berperan untuk terjadinya RI pada obesitas. Pemaparan sel adiposit

dengan leptin dalam jangka lama akan menimbulkan gangguan terhadap transport

glukosa karena pengaruh insulin, glycogen synthase, lipogenesis, antilipolisis dan

sintesis protein. Dilain pihak peranan leptin pada RI yang berhubungan dengan

obesitas sangat komplek mengingat leptin tidak dapat bekerja langsung pada otot

skeletal yang merupakan lokasi terpenting terjadinya RI pada obesitas (Despres and

Marette, 1999).

Pada obesitas terjadi pelepasan ALB berlebihan dari jaringan adiposa

kedalam sirkulasi. Lemak viseral lebih sensitif dibandingkan dengan lemak

subkutan terhadap pengaruh lipolisis dari katekolamin dan kurang sensitif terhadap

pengaruh antilipolisis dan re-esterifikasi asam lemak dari insulin (Lewis et al.,

2002; Mittelman et al., 2002). Pada lemak viseral terjadi peningkatan komponen β-

adrenoceptor (terutama β3-AR) sebagai komponen lipolisis dan menurunnya

komponen α2-adrenoceptor (α2-AR) sebagai komponen antilipolisis (Despres dan

Marette, 1999). Masuknya ALB melalui aliran vena porta mengakibatkan

peningkatan ALB mencapai hepar. Meskipun cadangan lemak viseral hanya 20%

dari total masa lemak tubuh pada pria dan 6 % pada wanita, tetapi hampir 80% dari

aliran darah hepatik berasal dari vena porta (Lewis et al., 2002). Pada obesitas

peningkatan masa lemak akan disertai peningkatan kadar ALB didalam sirkulasi.

Randle tahun 1963, pertama kali membuktikan bahwa ALB berkompetisi dengan

glukosa untuk oksidasi substrat pada jaringan otot. Peningkatan oksidasi ALB akan

menimbulkan peningkatan rasio acetyl-CoA/CoA dan NADH/NAD+ dan

menimbulkan inaktivasi piruvat dehydrogenase. Keadaan ini akan meningkatkan

konsentrasi sitrat yang selanjutnya akan menghambat phosphofructokinase dan

akumulasi glucose-6-phosphate. Peningkatan kadar glucose-6-phosphate akan

menghambat hexokinase II dan berakibat menurunnya ambilan glukosa (Roden et

al., 1996). ALB juga dapat merangsang peningkatan glukoneogenesis dan

menurunkan ambilan insulin oleh hepar (Boden et al., 2001). Hipotesis dari Randle

ini masih banyak dipertentangkan dan belum diterima sepenuhnya. Peneliti lainnya

membuat suatu unifying hypothesis, dimana peningkatan ALB akan meningkatkan

metabolit dari asam lemak intraseluler seperti diacylglycerol, fatty acyl CoA atau

ceramide yang akan mengaktifasi serine/threonine kinase cascade (mungkin

dimulai oleh protein kinase C), akan mengakibatkan fosforilasi dari

serine/threonine pada substrat reseptor insulin. Bentuk fosforilasi serin dari protein

ini tidak dapat mengaktifasi PI-3 kinase sehingga menurunkan aktifasi transport

glukosa dan aktifitas lain di bawahnya (Shulman, 2000; Boden and Laakso, 2004).

Bagaimanapun juga berbagai hipotesis yang ada masih perlu pembuktian

lebih lanjut mengenai peran ALB untuk menimbulkan resistensi insulin. ALB juga

dapat meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa (Shulman, 2000;

Frayn, 2001; Lewis, 2002).

2.5 Pengukuran Resistensi Insulin

Homeostasis Assessment Model (HOMA) merupakan model matematik yang

memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas insulin dan fungsi sel- (dinyatakan

sebagai persentase dari normal) apabila pada saat bersamaan diketahui kadar

glukosa puasa dan kadar insulin puasa. Karena sekresi insulin bersifat pulsatil,

sampel yang optimal sebaiknya berupa harga rerata dari 3 pengukuran dalam

interval 0; 5 dan 10 menit (Matthews et al., 1985)

Pengukuran RI dengan cara HOMA dihitung berdasar formula: [kadar insulin

puasa (µU/ml) x glukosa plasma puasa (mM)] 22,5. Untuk penelitian epidemiologi

sering dipergunakan sampel tunggal (Wallace dan Matthews, 2002). Sedangkan

untuk fungsi sekresi insulin dipergunakan Homeostasis Model Assessment -Cell

(HOMA-B). Pengukuran RI dengan HOMA berkorelasi kuat dengan metoda

euglycaemic hyperinsulinemic clamp (Matthews et al.,1985; Bonora et al., 2000).

Berbeda dengan metoda lainnya, HOMA mengukur resistensi insulin basal

sedangkan metoda lainnya mengukur resistensi insulin terstimulasi. Continuous

Infusion of Glucose with Model Assessment (CIGMA) merupakan model

matematik dengan menilai respon glukosa dan insulin terhadap infus glukosa

dalam dosis rendah. Infus glukosa dengan kecepatan 5 mg/kg berat badan ideal

selama 60 menit dan kadar glukosa dan insulin (atau C-peptida) diperiksa pada 50;

55 dan 60 menit (Wallace and Matthews, 2002).

Euglycaemic hyperinsulinemic clamp merupakan baku emas untuk

mengukur RI. Kadar glukosa sebelumnya dipatok dalam kadar tertentu (misalnya 5

mmol/l) dengan melakukan titrasi infus glukosa terhadap infus insulin dalam

kecepatan tetap. Kecepatan infus insulin harus diperhitungkan berdasar dosis per

unit dari luas tubuh daripada berdasarkan berat badan, untuk mencegah pemberian

insulin berlebihan pada individu dengan overweight. Kecepatan infus glukosa

dihitung berdasarkan kadar glukosa darah yang diukur setiap 3 sampai 5 menit

selama clamp. Apabila telah dicapai steady state, derajat RI berhubungan terbalik

dengan jumlah glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa

darah tertentu (Wallace and Matthews, 2002). Metode HOMA ternyata mempunyai

korelasi yang kuat dengan metode euglycaemic hyperinsulinemic clamp yang lebih

rumit dan mahal (Cefalu, 2001).

Timbunan lemak berlebih pada obesitas berhubungan dengan RI, demikian

juga sebaliknya pada lipodistrofi di mana terjadi difisiensi jaringan lemak, ternyata

juga diikuti dengan RI dan tingginya angka kejadian DM tipe-2. Tampaknya pada

kedua keadaan ini terdapat mekanisme sama yang mendasari terjadinya RI (Frayn,

2000).

2.6 Peranan Klasik Tulang dan Organ Endokrin

Telah lama diketahui bahwa peranan klasik tulang kerangka untuk

perlindungan organ vital seperti otak dan medula spinalis, stabilisasi tubuh dan

dukungan dalam bergerak, selain itu tulang juga dianggap sebagai tempat untuk

terjadinya hematopoesis dan sebagai organ penting dalam hemostasis kalsium dan

phosfor (Fukumoto and Martin, 2010). Pada beberapa penelitian dijelaskan selain

beberapa fungsi diatas, tulang juga memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai organ

endokrin. Bukti terbaru menjelaskan bahwa tulang setidaknya dapat menghasilkan

dua hormon yaitu faktor pertumbuhan Fibroblast growth factor 23 (FGF23) dan

OC. FGF23 merupakan hormon yang diproduksi oleh osteosit di dalam tulang,

hormon tersebut berperan dalam menghambat 1α-hidroksilase vitamin D dan juga

berfungsi untuk meningkatkan ekskresi phosphor oleh ginjal (Ferron et al., 2008;

Fukumoto dan Martin 2010). Studi genetika yang dilakukan pada tikus

mengungkapkan bahwa OC yang merupakan protein yang dihasilkan oleh

osteoblast dan memiliki peran pada sel-β pankreas dalam meningkatkan produksi

insulin dan metabolisme glukosa pada jaringan perifer sebagai hasil dari

peningkatan sensitivitas insulin dan berkurangnya lemak viseral. Penelitian

tersebut menyoroti bahwa hasil studi terbaru yang menunjukkan peran tulang

sebagai organ endokrin (Confavreux et al., 2011).

Gambar 2.1

Mekanisme undercarboxylated osteocalcin (ucOC) dan fibroblat growth factor 23

(FGF23) sebagai hormon pada tulang (Fukumoto and Martin, 2010)

2.6.1 Tulang dan Insulin

Hipotesis yang dijelaskan oleh Karsenty dkk yang pertama kali

menerangkan bahwa tulang memiliki hubungan timbal balik dalam metabolisme

insulin. Beberapa studi yang telah dilakukan tersebut menjelaskan juga bahwa

tulang merupakan organ yang sangat besar dan dalam memeliharanya diperlukan

pasokan energi yang juga besar, hal tersebut menegaskan tulang dan metabolisme

energi memiliki hubungan yang sangat erat (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Banyak

studi dilakukan untuk meneliti gen spesifik pada tulang, telah dilakukan juga

penelitian terhadap gen yang dihasilkan oleh tikus knockout untuk mempelajari

fenotipe metaboliknya, OC dan stem sel embrionik phosphatase (Esp) yang

merupakan kandidat gen yang berhubungan dengan metabolisme energi

(Confavreux et al., 2009; Wah Ng, 2011; Veldhuis-Vlug et al., 2013).

Gambar 2.2

Hubungan remodeling tulang, homeostasis glukosa, lipid dan metabolisme energi

(Wah Ng, 2011)

Beberapa penelitian menjelaskan gen spesifik yang dihasilkan oleh

osteoblast yakni Esp merupakan suatu gen yang mengkoding tyrosine phosphatase

intraseluler yang disebut OST-PTP, dimana Esp sendiri memiliki peran yang

berlawanan dengan kerja OC (Lee et al., 2007). Beberapa bukti genetik dan

biokimia menunjukkan bahwa kerja Esp tempatnya lebih diatas dari OC dalam

menghambat fungsi metabolik. Osteoblast mensekresi molekul OC ke dalam

sirkulasi sebagai petanda dari pergantian tulang dan dapat mempengaruhi

homeostasis glukosa (Confavreux et al., 2009; Schwetz et al., 2012). Sekresi OC

oleh osteoblast melalui beberapa tahapan modifikasi post-translational melalui

vitamin-K dependent dimana 3 glutamic acid residue mengalami carboxylated

sehingga memungkinkan protein ini berikatan dengan kalsium. Kadar OC dalam

sirkulasi terdiri dari carboxylated OC (cOC) dan undercarboxylated OC (ucOC)

dan dipergunakan sebagai biomarker pembentukan tulang (Shea et al., 2009; Ducy,

2011). Penelitian in vitro membuktikan bahwa cOC adalah bentuk osteocalcin yang

tidak aktif sedangkan bentuk yang aktif adalah ucOC (Ducy, 2011; Schwetz et al.,

2012). Gen Esp diekpresikan pada osteoblast dan penelitian pada mencit dengan

global (Esp-/-

) atau inaktivasi gen Esp, atau osteoblast-specific (Esposb-/-

) knockout

Esp akan mati segera setelah lahir karena mengalami hipoglikemia yang berat

(Ferron et al., 2011). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa mencit

mengalami peningkatan proliferasi sel-β pankreas, sekresi insulin dan peningkatan

kadar adiponektin. Disamping itu mencit Esp-/-

disertai peningkatan sensitifitas

insulin pada jaringan otot dan jaringan lemak. Mencit ini disertai kandungan lemak

viseral lebih sedikit, peningkatan area mitokondria jaringan otot, peningkatan kadar

protein yang berhubungan dengan biogenesis mitokondria yang memperlihatkan

peningkatan pemakaian energi. Penelitian pada mencit ini membuktikan bahwa

osteoblast adalah sel endokrin yang dapat mengatur metabolisme energi karena

mempengaruhi sekresi dan kepekaan jaringan terhadap insulin (Ferron et al.,

2010). Sebaliknya mencit dengan osteocalcin knockout (OC-/-

) memiliki fenotipe

metabolik yang berlawanan dengan mencit dengan Esp-/-

tidak dapat

mensekresikan osteocalcin (OC) suatu protein spesifik dihasilkan oleh osteoblast

akan mengalami penurunan sel-β pankreas, peningkatan kadar glukosa,

peningkatan masa lemak viseral, kadar trigliserida, resistensi insulin, penurunan

sekresi insulin dan toleransi glukosa, dan penurunan kadar adiponektin

dibandingkan dengan mencit wild-type (Lee et al., 2007; Garcia-Martin et al.,

2013).

Infus dengan rekombinant OC pada mencit wild-type memperbaiki toleransi

glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya mencit dengan diit tinggi

lemak penberian OC akan menurunkan berat badan dan resistensi insulin (Lee et

al., 2007; Wah Ng, 2011; Veldhuis et al., 2013). Berdasarkan hasil berbagai studi

pada mencit Lee dkk membuat hipotesa bahwa OST-PTP menginaktifasi OC

melalui proses - carboxylation. Ex-vivo OC dapat merangsang Cyclin D1 dan

ekspresi insulin pada sel- pankreas dan adiponektin pada jaringan adiposa (Lee et

al., 2007).

Dari hasil penelitian pada mencit dapat disimpulkan bahwa inaktifasi Esp

pada osteoblast akan meningkatkan sekresi ucOC dari tulang dan mengakibatkan

terjadinya hipoglikemi disertai menurunnya adipositas sebagai akibat dari

peningkatan proliferasi sel-β pankreas dan sekresi insulin dan memperbaiki

sensitifitas insulin. Metabolisme energi secara positif dikendalikan melalui

peningkatan metabolisme lemak dan peningkatan pemakaian energi (Wah Ng,

2009). ucOC diperkirakan berperan penting pada metabolisme energi seperti

proliferasi sel-β, sekresi insulin, sensitifitas insulin dan konsumsi energi sehingga

jaringan tulang berpengaruh langsung terhadap metabolisme energi (Schwetz et al.,

2012).

Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi OC total akan disertai

peningkatan masa lemak viseral, penurunan sekresi insulin, resistensi insulin dan

gangguan toleransi glukosa. Sebaliknya mencit dengan peningkatan kadar ucOC

karena delesi gen Esp, yang mengkode protein yang bertanggung jawab

terbentuknya cOC, memperlihatkan peningkatan sekresi insulin, proliferasi sel-β

pankreas, meningkatkan sensitifitas insulin dan menurunkan masa lemak (Ferron et

al., 2012; Magalhaes et al., 2013).

2.6.2 Osteocalcin sebagai Hormon pada Tulang yang Berpengaruh Pada

Metabolisme Energi

OC atau protein Y-carboxyglutamic acid tulang, merupakan protein spesifik

tulang dari 46-50 residu yang mengalami modifikasi post translasi oleh vitamin K

dependent g carboxylasi dari residu tiga glutamic acid. OC sendiri dihasilkan oleh

osteoblast matur yang berikatan kuat dengan hydroxyapatite. Protein OC tersebut

dapat ditemukan sebagian besar didalam matrix tulang, namun sebagian kecil juga

dapat ditemukan beredar didalam sirkulasi darah dan jumlah OC didalam serum

sendiri juga sering dikaitkan sebagai penanda pembentukan tulang (Lean et al.,

1989, Booth et al., 2012).

Gambar 2.3

Mekanisme kerja signal insulin dan OC. (Veldhuis-Vlug et al., 2013)

Penelitian selanjutnya dilakukan dalam usaha pengembangan hubungan

antara OC, OST-PTP dan metabolisme glukosa yang menunjukkan bahwa insulin,

setelah berikatan dengan reseptor insulin pada osteoblast, akan meningkatkan

ekspresi dari OC dan mengurangi ekspresi gen osteoprotregerin (OPG). OPG

biasanya menghambat deferensiasi osteoklast. Oleh karena itu sinyal insulin pada

osteoblast merangsang resorpsi tulang oleh osteoklast (Booth et al., 2012). Selama

terjadinya resorpsi tulang, osteoklast itu sendiri menciptakan lingkungan yang

asam untuk melarutkan matriks tulang. OC nantinya dilepaskan dari matriks tulang

oleh karena rendahnya PH, dan residu asam glutamat yang dihasilkan OC sendiri

akan menjadi terkarboksilasi dan juga meningkatkan konsentrasi ucOC dalam

sirkulasi. Pada akhirnya, pengikatan ucOC pada reseptor GPCR6a dalam sel-β

pankreas dapat menstimulasi sekresi insulin (Confavreux et al., 2009; Ducy 2009;

Motyl et al., 2010). Pada salah satu penelitian setelah pemberian infus rekombinant

OC kedalam tikus wild-type dikatakan tikus tersebut mengalami perbaikan dalam

toleransi glukosanya dan juga peningkatan sekresi insulin dan ketika tikus tersebut

diinfus diet tinggi lemak, infus rekombinant OC dikatakan dapat mengurangi berat

badan tikus dan resistensi insulin (Ducy, 2009; Wei et al., 2010).

Setelah beberapa penelitian dilakukan pada tikus telah dilakukan juga

penelitian yang dilakukan pada manusia, penelitian pada tikus diatas telah

menunjukkan kemungkinan juga terjadi pada manusia yang memiliki kadar OC

yang rendah dapat memiliki metabolisme yang lebih baik, seperti pada plasma

glukosa puasa, insulin dan index HOMA-IR (Movamed et al., 2011; Garcia-Martin

et al., 2013; Veldhuis-Vlug et al., 2013).

Beberapa penelitian juga menerangkan adanya peningkatan kompensasi OC

yang terjadi pada pasien prediabetes dan penurunan OC diprediksi akan

berkembang menjadi diabetes dalam kurun waktu 10 tahun follow up pada laki-laki

yang memiliki resiko diabetes (Veldhuis-Vlug et al., 2013). Studi tambahan

lainnya menjelaskan adanya hubungan terbalik antara OC dan sindroma metabolik,

aterosklerosis koroner, masa lemak dan ketebalan intima serta non-alcoholic fatty

liver disease. Pada salah satu penelitian mengenai metabolisme tulang yang pernah

dilakukan yakni meneliti intervensi tentang metabolisme tulang yang berdampak

pada konsentrasi OC ternyata dapat mempengaruhi metabolisme glukosa.

Penelitian ini beranggapan pemakaian biphosphonate dapat menurunkan ucOC

kemudian memiliki dampak efek negatif pada metabolisme glukosa (Wei et al.,

2010; Veldhuis-Vlug et al., 2013).

Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Zwakerberg et al 2015,

meneliti tentang hubungan antara total osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan

faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian tersebut mengikutsertakan 1.635 orang

sebagai subyek penelitian yang 833 subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek

nondiabetes. Umur subyek antara 21-70 tahun yang berasal dari penelitian EPIC-

NL kohort. Metode case control dengan mengambil data kohort retrospektif EPIC-

NL kohort selama 10 tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk

meneliti osteocalcin dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya.

Penelitian ini sebenarnya ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk

komponen osteocalcin dengan faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan

hasil yang berbeda dari tiga penelitian besar dengan metode kohort prospektif

sebelumnya tentang peran total osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang

hubungan antara kadar ucOC dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak

konsisten. Kemudian penelitian ini juga ingin mengetahui peran masing-masing

komponen osteocalcin tersebut secara tepat Karen pada penelitian sebelumnya

tidak memakai alat pemeriksaan dengan HAP. Penelitian ini menggunakan analisis

regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil tOC, ucOC dan

%ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran osteocalsin baik

cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktor-faktor resiko

penyebab DMT2.

Namun walaupun beberapa penelitian menyebutkan adanya korelasi antara

osteocalcin dengan metabolism energi, ada beberapa penelitian besar yang

memberikan hasil sebaliknya. Diperlihatkan oleh penelitian terbaru yang dilakukan

oleh Zwakerberg et al 2015, yang meneliti tentang hubungan antara total

osteocalcin, ucOC dan ucOC% dengan faktor-faktor resiko DMT2. Penelitian

tersebut mengikutsertakan 1.635 orang sebagai subyek penelitian yang 833

subyeknya menderita diabetes dan 802 subyek nondiabetes. Umur subyek antara

21-70 tahun yang berasal dari penelitian EPIC-NL kohort. Metode case control

dengan mengambil data kohort retrospektif EPIC-NL kohort dalam rentang 10

tahun digunakan sebagai rancangan penelitian tersebut untuk meneliti osteocalcin

dan hubungannya dengan faktor resiko DMT2 lainnya. Penelitian ini sebenarnya

ingin mengetahui hubungan antara berbagai bentuk komponen osteocalcin dengan

faktor-faktor resiko penyebab DMT2, dikarenakan hasil yang berbeda dari tiga

penelitian besar dengan metode kohort prospektif sebelumnya tentang peran total

osteocalcin itu sendiri, dan juga penelitian tentang hubungan antara kadar ucOC

dan faktor resiko DMT2 menunjukkan hasil tidak konsisten. Kemudian penelitian

ini juga ingin mengetahui peran masing-masing komponen osteocalcin tersebut

secara tepat karena pada penelitian-penelitian sebelumnya yang tidak memakai alat

pemeriksaan dengan metode HAP yang dikatakan merupakan pemeriksaan yang

paling valid untuk menentukan kadar osteocalcin dalam tubuh. Penelitian ini

menggunakan analisis regresi logistik untuk mencari odds rasio DMT2 pada kuartil

tOC, ucOC dan %ucOC dan membuktikan bahwa beberapa komponen pengukuran

osteocalsin baik cOC, ucOC, ucOC% tidak ada yang berhubungan dengan faktor-

faktor resiko penyebab DMT2.

Penelitian skala besar lainnya yang dilakukan di Korea oleh Hwang et al

2012, penelitian ini ingin meneliti hubungan antara kadar serum osteocalcin

dengan kemungkinan berkembang menjadi DMT2. Dengan menggunakan metode

studi kohort restropektif selama kurang lebih 8 tahun pada 1229 pasien laki-laki

bukan nondiabetes, dengan rentang umur 25-60 tahun. Penelitian ini ingin

membuktikan teori pada binatang yang menyebutkan adanya suatu hubungan

antara kadar serum osteocalcin dengan peningkatan sekresi insulin oleh sel β

pankreas, regulasi total lemak tubuh dan meningkatkan ekspresi adiponektin pada

mencit, juga terbukti pada manusia karena beberapa hasil sebelumnya pada

manusia inconclusive dan penelitian pada manusia yang mendapatkan korelasi

positif antara hubungan serum osteocalcin dengan faktor penyebab DMT2 yakni

memakai jumlah sampel yang kecil dan metode penelitian longitudinal. Penelitian

ini mengharapkan adanya hubungan positif jika dilakukan penelitian dengan

metode prospektif dan skala besar. Jika hasil tersebut juga ditemukan pada manusia

diharapkan osteocalcin sendiri akan memberikan nilai sebagai pencegahan

berkembangnya DMT2 dimasa depan dan potensial sebagai obat penyakit

metabolik lainnya. Analisis penelitian ini menggunakan analisis regresi

proporsional cox hazard. Pada penelitian ini menemukan bahwa kadar serum

osteocalcin tidak berhubungan dengan kejadian DMT2 pada laki-laki Korea usia

paruh baya di masa depan.

2.6.3 Bioaktivitas Osteocalcin

Penghapusan satu alel dari OC cukup untuk menyelamatkan tikus dengan

fenotipe Esp-/-

yang terbukti kuat bahwa gen Esp-/-

merupakan sesuatu yang dapat

mempengaruhi fungsi OC itu sendiri, namun belum jelas diterangkan bagaimana

OST-PTP berefek pada bioaktivitas dari OC (Confavreux et al., 2010). Pada OC, 3

residu glu dapat merubah bentuk uncarboxylated menjadi penuh carboxylated.

Kemampuan residu dari Gla berikatan dengan hidroxyapatite, serum diinkubasi

dengan hidroxyapatite untuk mengikat carboxylated OC. Pada Esp-/-

ada

peningkatan serum ucOC dibandingkan dengan tikus wild-type, masing-masing

26% dan 10% (Lee et al., 2007). Dalam sebuah percobaan tambahan, ketika jenis

tikus wild-type menerima warfarin akan terjadi gangguan proses karboksilasi

gamma, nantinya menyebabkan fraksi ucOC meningkat dan osteoblast sendiri akan

memicu ekspresi adiponektin lebih tinggi secara signifikan (Confavreux, et al.,

2009; Ferron et al., 2010; Veldhuid-Vlug et al., 2013). Penemuan tersebut

menyatakan bahwa setidaknya bahwa percobaan pada tikus yang dilakukan,

osteoblast merupakan organ endokrin yang mempengaruhi metabolisme energi

melalui suatu hormon yang baru yang dinamakan osteocalsin. Bentuk aktif OC

yakni ucOC merupakan fraksi aktif pada sirkulasi pada sel adiposit dan sel-β

pankreas. Penelitian baru juga telah menyebutkan produk dari Esp, OST-PTP

menstimulasi karboksilasi dari OC dan menyebabkan berkurangnya bioaktivasi

OC. Gagasan bahwa OC berhubungan dengan fungsi metabolik telah dikuatkan

dengan adanya beberapa penelitian pada manusia (Confavreux et al., 2011).

2.6.4 Sintesis dari Osteocalcin dan Undercarboxylated Osteocalcin

Studi sebelumnya menjelaskan bahwa OC normalnya berfungsi pada tulang

dalam menghambat mineralisasi, kemungkinan juga dapat menghambat osteosit

tertanam didalam mineral. Dijelaskan bahwa transkripsi gen OC terjadi pada

tingkat 1,25 dihydroxyvitamin D, modifikasi post-translasi dari OC akan berikatan

erat dengan ion kalsium hydroxyapatite (HA) (Karsenty et al., 2006; Ferron et al.,

2009; Motyl et al., 2009; Confavreux et al., 2010). Karboksilasi terjadi akibat

aktivitas vitamin K dependent karboksilase, namun mekanismenya belum

sepenuhnya dipahami (Lee et al., 2007; Confavreux et al., 2009). uoOC memiliki

kurang dari tiga residu karboksilasi dan memiliki afinitas yang rendah pada tulang.

OC yang terkarboksilasi penuh atau yang tidak mengalami karboksilasi keduanya

ditemukan di tulang dan serum. Meskipun ucOC lebih banyak ditemukan

disirkulasi, residu OC yang terkarboksilasi penuh dijelaskan bahwa proporsinya

lebih banyak ditemukan di matrik tulang (Confavreux et al., 2010; Motyl et al.,

2010; Wah Ng, 201

Gambar 2.4

Pengaruh OC pada metabolime energi

(Motyl et al.,2010)

Vitamin K merupakan ko faktor untuk enzim glutamat karboksilase yang

diperlukan untuk karboksilasi dari protein yang mengandung gla pada kaskade

koagulasi dan karboksilasi dari OC (Booth et al., 2010). Rendahnya diet vitamin K

berhubungan dengan peningkatan nilai ucOC dan suplementasi vitamin K pada

dosis tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dapat mengurangi kadar ucOC.

Metode yang dapat digunakan untuk dapat mengukur ucOC dalam sirkulasi, salah

satunya uji hydroxyapatite (HAP) dan uji langsung yang spesifik dengan ucOC

yaitu menggunakan metode ELISA. OC memiliki ritme circardian dengan

konsentrasi puncak pada sekitar pukul 4 dini hari dan memiliki konsentrasi

terendah pada siang hari (Motyl et al., 2010).

Studi menyebutkan terapi sistemik ucOC memiliki efek berkebalikan

dengan OC-/-

pada tikus. Uji metabolik menunjukkan dilakukannya infus kronik

ucOC (0,3-3,0 ng/ml/h) dapat mengurangi kadar glukosa, meningkatkan nilai

insulin serum, dan peningkatan toleransi glukosa. Dasar inilah yang dipakai

bawasannnya terapi dengan ucOC memiliki efek anti diabetes. Penelitian ini juga

menjelaskan pemberian terapi ucOC dapat meningkatkan kadar serum adiponektin

(adipokinase yang mempengaruhi sensitivitas insulin) (Feron et al., 2009; Motyl et

al., 2010).