21
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turnover Intention 2.1.1 Pengertian Turnover Intention Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge (2009:38) adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan baik secara sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Culpepper (2011) menyebutkan turnover intention merupakan prediktor terbaik untuk mengindentifikasi perilaku turnover yang akan terjadi pada karyawan suatu organisasi. Keinginan berpindah kerja (turnover intention) pada karyawan dapat dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat kerja (Abdillah, 2012). Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor motivational yang akan dapat mengurangi niat karyawan untuk meningggalkan organisasi, karena niat buntuk pindah sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya. Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing (Carmeli dan Weisberg, 2006). Penelitian oleh Suliman dan Al-Junaibi (2010) mengeksplorasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turnover Intention II.pdf · Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge

  • Upload
    hahuong

  • View
    240

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Turnover Intention

2.1.1 Pengertian Turnover Intention

Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari

organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge (2009:38) adalah tindakan

pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh karyawan baik secara

sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover dapat berupa pengunduran diri,

perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi.

Culpepper (2011) menyebutkan turnover intention merupakan prediktor terbaik untuk

mengindentifikasi perilaku turnover yang akan terjadi pada karyawan suatu

organisasi.

Keinginan berpindah kerja (turnover intention) pada karyawan dapat

dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat kerja (Abdillah,

2012). Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor

motivational yang akan dapat mengurangi niat karyawan untuk meningggalkan

organisasi, karena niat buntuk pindah sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan

turnover yang sebenarnya. Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan

biaya yang besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin

juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing (Carmeli dan

Weisberg, 2006). Penelitian oleh Suliman dan Al-Junaibi (2010) mengeksplorasi

11

hubungan antara dua komponen komitmen organisasi afektif dan keberlangsungan

niat dan omset antara karyawan yang bekerja di industri minyak. Komitmen

organisasi secara keseluruhan terbukti berkorelasi negatif dengan niat omset yang

sebangun dengan penelitian sebelumnya. Berkenaan dengan dua komponen

komitmen organisasi, kedua komponen tersebut berhubungan negatif dengan

keinginan berpindah.

Robbins (2007) menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar dari suatu

organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela (voluntary turnover) maupun

secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan

keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan

oleh faktor seberapa manarik pekerjaan yang ada saat ini dan tersedianya alternative

pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecetan menggambarkan

keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat

uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup kompleks dan

saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor – faktor tersebut yang akan dibahas

antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007: 10-12):

1) Usia

Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda

disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan

atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui

12

cara coba-coba tersebut. Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008 :

272), bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa kerja yang

lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih muda daripada karyawan

yang lebih tua.

2) Lama Kerja

Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya. Turnover

lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi

dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang

memungkinkan turnover tersebut.

3) Tingkat pendidikan dan intellegensi

Menurut Handoyo, dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi

tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan

sumber kecemasan. Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan

padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat

intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-

pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan

baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan

intelegensinya yang terbatas pula.

4) Keterikatan terhadap perusahaan

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat

ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of

belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambarandiri positif.

13

Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah

pekerjaan dan perusahaan.

2.1.3 Jenis-Jenis Turnover

Turnover atau tingkat keluar masuk karyawan merupakan proses dimana

karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan. Banyak organisasi

menemukan bahwa turnover merupakan masalah yang merugikan. Jenis turnover

menurut Mathis dan Jackson (2000: 125-126):

1) Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela

(1). Turnover secara tidak sukarela

Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja.

Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan

kerja dan standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.

(2). Turnover secara sukarela

Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri. Turnover

secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier,

gaji, pengawasan, geografi dan alasan pribadi/keluarga.

2) Turnover fungsional dan Turnover disfungsional

(1). Turnover fungsional

Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu yang kurang dapat

diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi

14

(2). Turnover disfungsional

Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi meninggalkan organisasi pada

saat yang genting.

3) Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat dikendalikan

(1). Turnover yang tidak dapat dikendalikan

Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan

yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi contohnya sebagai

berikut:

Adanya perpindahan karyawan dari daerah geografis, karyawan memutuskan

untuk tinggal didaerah karena alasan keluarga, suami atau istri yang dipisahkan

dan karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.

(2). Turnover yang dapat dikendalikan

Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam

turnover yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara

karyawan apabila mereka menangani persoalan karyawan yang dapat

menimbulkan turnover.

2.1.4 Indikasi Terjadinya Turnover Intention

Menurut Harnoto (2002: 2): “Turnover intention ditandai oleh berbagai hal

yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi yang meningkat, mulai

malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian untuk

menentang atau protes kepada atasan, maupun keseriusan untuk menyelesaikan

semua tanggung jawab karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-

15

indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover

intention karyawan dalam sebuah perusahaan.

1) Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, biasanya ditandai

dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat tanggung jawab karyawan

dalam fase ini sangat kurang dibandingkan dengan sebelumnya.

2) Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan lebih malas

bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang

dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan karyawan yang bersangkutan.

3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering

dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering

meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai

bentuk pelanggaran lainnya

4) Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih sering

melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi

protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan yang

tidak sependapat dengan keinginan karyawan.

16

5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang memiliki karakteristik positif.

Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang

dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda

dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.

2.2 Organizational Commitment

2.2.1 Pengertian Organizational Commitment

Organizational Commitmemt menurut William dan Hazer (1986)

didefinisikan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap

organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik organisasional commitmen antara

lain loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha

atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi.

Menurut Blau dan Boal (1987) komitmen organisasional didefinisikan sebagai suatu

keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu (terhadap

tujuan, nilai, dan kepentingan organisasi) serta berniat memilihara keangotaan dalam

organisasi itu.

Susana (2011:139) mendefinisikan komitmen organisasional “An attitude

which can adopt different forms and join the individual with a relevant course of

action for a particular objective” yang bearti suatu pemikiran yang dapat menerima

perbedaan bentuk dan bergabung dengan individu untuk tujuan yang tertentu.

Definisi komitmen organisasional oleh Mowday (1982) dalam Alimohammadi (2013)

17

“Organizational commitment refers to accordance between the goals of the individual

and the organization whereby the individual identifies with and extends attempt on

representing the general goals of the organization”, artinya komitmen organisasional

mengacu sesuai tujuan individu dan organisasi, dimana individu mengenali dan

mengupayakan untuk mempresentasikan tujuan suatu organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyono dan Kompyurini (2008),

menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap

kinerja organisasi. Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap perilaku para

anggota organisasi, sehingga jika budaya organisasinya baik maka anggota

organisasinya adalah orang-orang yang baik dan berkualitas pula. Dan apabila

anggotanya baik dan berkualitas, maka kinerja organisasi akan menjadi baik dan

berkualitas juga.

Sedangkan berdasarkan Luthan (2006), Organizational commitment

didefinisikan sebagai:

1) Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu

2) Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi

3) Keyakinan terentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi

Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan

pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan

yang berkelanjutan.

18

Dapat disimpulkan bahwa organizational commitment adalah keadaan

psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan

penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat

untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi

anggota organisasi.

2.2.2 Dimensi Organizational Commitment

Ada tiga dimensi komponen dari organizational commitment menurut Mayer

dan Allen (1990), yaitu sebagai berikut:

1) Komitmen Afektif, yaitu keterikatan emosional karyawan, identifikasi dan

keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena

karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai organisasi tersebut, serta

mengerti untuk apa organisasi tersebut berdiri. Karyawan dengan derajat

komitmen afektif tinggi akan memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk

menyokong organisasi dalam mencapai misinya.

2) Komitmen kelanjutan, yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin

akan muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. semakin lama

seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak rela

kehilangan apa yang telah mereka ‘investasikan’ di organisasi tersebut

bertahun-tahun.

3) Komitmen normatif, yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi

karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang

19

harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi disebabkan

karena tekanan dari orang atau pihak lain.

Gambar 2.2 Dimensi Organizational Commitment

Sumber: Mayer dan Allen, 1991

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Pengertian Stres Kerja

Stres sebagai suatu istilah paying yang merangkumi tekanan beban, konflik,

keletihan, panik, perasaaan gemuruh, anxiety, kemurungan dan hilang daya. Stres

kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan

fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang

karyawan. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk

mengahadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri pada karyawan berbagai macam

gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Orang-orang yang

20

mengalami stres kerja bisa menjadi gugup dan merasakan kekhawatiran khronis.

Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks atau

menunjukkan sikap yan tidak kooperatif (Veithzal et al., 2009).

Siagian (2008) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi ketegangan yang

berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang

tidak bisa diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketikmampuan orang

beriteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan

maupun lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi

berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.

Gibson (1997:44) mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasi dari

beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres

sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang

menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu

kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor.

Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus

lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres

sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon

individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres

merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan

kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.

Kemunculan stres di tempat kerja akan mengarah pada meningkatnya ketidak

puasan kerja. Meskipun ada penelitian empiris yang memberikan banyak temuan

21

yang menunjukkan bahwa stres kerja terkait dengan hasil organisasi yang tidak

diinginkan, logika dasar di balik penelitian ini adalah bahwa saat karyawan merasa

tidak puas lagi terhadap pekerjaannya, maka karyawan akan cenderung memilih

untuk meninggalkan pekerjaannya saat itu atau absensi.

Stres di tempat kerja akhir-akhir ini telah menjadi masalah yang serius bagi

manajemen perusahaan di dalam dunia bisnis (Qureshi et al., 2013). Karyawan sering

dihadapkan dengan berbagi masalah dalam perusahaan sehingga sangat mungkin

untuk terkena stres. Studi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Paillé (2011)

menunjukkan hasil bahwa stres kerja mampu menurunkan kondisi fisik seseorang di

tempat kerja, meningkatkan tekanan psikologis di tempat kerja, mendorong kekerasan

antar rekan–rekan dan menyebabkan kelelahan yang berlebihan. Stres kerja akan

muncul apabila di suatu titik karyawan merasa tidak dapat lagi memenuhi tuntutan –

tuntutan pekerjaan. Dalam jangka panjang, karyawan yang tidak dapat menahan stres

kerja, karyawan tidak akan mampu lagi bekerja di perusahaan terkait. Pada tahap

yang semakin parah, stres bisa membuat karyawan menjadi sakit atau bahkan akan

mengundurkan diri (Manurung & Ratnawati, 2012).

Menurut Hasibun (2006), stres kerja adalah sejumlah aktifitas fisik dan mental

yang dilakukan seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan, maka dari itu bekerja

merupakan salah satu bentuk beraneka ragam dari segala aktivitas hidup manusia

dalam memenuhi kebutuhan, dimana setiap orang akan melakukan produktifitas

tinggi dengan mengharapkan pencapaian status, keadaan yang lebih baik serta

mencapai kondisi yang memuaskan.

22

Stres kerja dapat menimbulkan kosekuensi pada individu pekerja. Baik secara

fisiologis, psikologis, dan perilaku. Stres yang dialami secara terus menerus dan tidak

terkendali dapat menyebabkan terjadinya burnout yaitu kombinasi kelelahan secara

fisik, psikis dan emosi. Bagi organisasi stres di tempat kerja dapat berakibat pada

rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya

pembentukan emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk, rendahnya kinerja

dan tingginya turnover. Stres di tempat kerja pada akhirnya dapat menyebabkan

terjadinya kerugian finansial pada organisasi yang tidak sedikit jumlahnya (Saragih,

2010).

Handoko (2010) mengemukakan bahwa stres ialah suatu kondisi ketegangan

yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu

besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi kondisi

lingkungan. Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli,

kesimpulan stres kerja merupakan suatu gejala yang dapat mempengaruhi seseorang

dalam beraktivitas dalam bekerja.

Menurut Luthans (2006) secara tradisional bidang perilaku organisasi

membahas stres dan konflik secara terpisah. Secara konseptual stres dan konflik

adalah sama. Interaksi individu, kelompok dan organisasi lebih berhubungan dengan

konflik. Pada tingkat individu (intrapersonal), stres dan konflik dapat dibahas

bersama. Stres didefinisikan sebagai respons adaptif tarhadap situasi eksternal yang

menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota

organisasi. Penting juga untuk menunjukkan bahwa:

23

a. Stres bukan hanya masalah kecemasan

b. Stres bukan hanya ketegangan saraf

c. Stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk, atau dihindari

2.3.2 Faktor-Faktor Stres Kerja

Hani Handoko (2008) menyatakan karyawan yang mengalami stress bisa

menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah

marah, tidak dapat relaks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif, sehingga

dapat menggangu pelaksanaan kerja mereka. Hani Handoko (2008) juga menyatakan

ada beberapa kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para karyawan,

diantaranya:

a. Beban kerja yang berlebihan

b. Tekanan atau desakan waktu

c. Kualitas supervisi yang jelek

d. Iklim politis yang tidak aman

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai

f. Wewenang yg tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab

g. Kemenduaan peranan (role ambiguity)

h. Frustasi

i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan

k. Berbagai bentuk perubahan.

24

Mengenai penyebab stres, Robbins (2006) juga menyatakan bahwa ada

banyak faktor organisasi yang dapat menimbulkan stres, di antaranya:

a.Tuntutan Tugas

Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang. Faktor

ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas, tingkat

otomatisasi), kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik.

b. Tuntutan Peran

Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang

sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam organisasi itu. Konflik

peran menciptakan harapan-harapan yang barangkali sulit dipuaskan. Kelebihan

peran terjadi bila karyawan diharapkan untuk melakukan lebih daripada yang

dimungkinkan oleh waktu. Ambiguitas peran tercipta bila harapan peran tidak

dipahami dengan jelas dan karyawan tidak pasti mengenai apa yang harus

dikerjakan.

c. Tuntutan Antar Pribadi

Tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.

Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antar pribadi yang

buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para

karyawan yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi.

d. Struktur Organisasi

Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi, tingkat

aturan dan peraturan, dan di mana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan

25

kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada

karyawan merupakan contoh variabel struktural yang dapat merupakan potensi

sumber stres.

e. Kepemimpinan Organisasi

Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial eksekutif senior

organisasi. Beberapa manajer menciptakan budaya yang dicirikan oleh ketegangan,

rasa takut, dan kecemasan.mereka meberikan tekanan yang tidak realistis untuk

berkinerja dalam jangka pendek, memaksakan pengawasan yang sangat ketat, dan

secara rutin memecat karyawan yang tidak dapat mengikuti.

f. Tingkat Hidup Organisasi

Organisasi berjalan melalui siklus. Didirikan, tumbuh, menjadi dewasa, dan

akhirnya merosot. Tahap kehidupan organisasi, yaitu pada siklus empat tahap ini

menciptakan masalah dan tekanan yang berbeda bagi para karyawan. Tahap

pendirian dan kemerosotan sangat menimbulkan stres. Yang pertama dicirikan

oleh besarnya kegairahan dan ketidak pastian, sedangkan yang kedua lazimnya

menuntut pengurangan, pemberhentian, dan serangkaian ketidakpastian yang

berbeda. Stres cenderung paling kecil dalam tahap dewasa di mana ketidakpastian

berada pada titik terendah.

2.4 Kepuasan Kerja

2.4.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu

perusahaan, kepuasan kerja di ukur dari bagaimana perusahaan memperlakukan

26

setiap karyawannya. Kepuasan kerja karyawan merupakan masalah penting yang

diperhatikan dalam hubungannya dengan produktivitas kerja karyawan dan

ketidakpuasaan sering dikaitkan dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang

tinggi (Sutrisno, 2012).

Robbins dan Judge (2011) mendifinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan

positif pada suatu pekerjaan, yang merupakan dampak atau hasil evaluasi dari

berbagai aspek pekerjaan tersebut. Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh

Koesmono (2005), Kepuasan kerja merupakan penilaian, perasaan atau sikap

seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan

kerja, jenis pekerjaan, kompensasi, hubungan antar teman kerja, hubungan sosial

ditempat kerja dan sebagainya”. Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas bahwa

kepuasan kerja adalah merupakan suatu sikap dari seorang karyawan yang

menggambarkan sikap terpenuhinya beberapa keinginan dan kebutuhan mereka

melalui kegiatan kerja atau bekerja. Darmawan (2013), kepuasan kerja sebagai suatu

tanggapan secara kognisi dan afeksi dari seorang karyawan terhadap segala hasil

pekerjaan atau kondisi-kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti gaji,

lingkungan kerja, rekan kerja, dan atasan.

Jones dalam (Akehurst et al., 2009) bahwa seseorang dengan kepuasan kerja

tinggi akan menyukai (satisfaction) pekerjaannya secara umum, dimana seseorang

merasakan diperlakukan selayaknya dan percaya bahwa pekerjaan mempunyai

banyak segi yang diinginkan. Hal tersebut menunjukan bahwa pekerjaan merupakan

faktor yang sangat penting dalam menentukan kepuasan kerja seseorang. Sejalan

27

dengan hal tersebut George dan Jones (2008:82) menyatakan bahwa: the collection of

feelings and beliefs that people have about their current jobs. Kepuasan kerja adalah

kumpulan perasaan dan kepercayaan (anggapan) yang dimiliki setiap individu tentang

pekerjaannya saat ini. Dengan demikian, kepuasan kerja seseorang tergantung pada

selisih antara harapan, kebutuhan atau nilai dengan apa yang menurut pandangan atau

persepsinya yang telah dicapai melalui pekerjaannya. Jadi, seorang akan merasakan

kepuasan (satisfaction) jika tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan

apa yang sesungguhnya terjadi, sebaliknya, apabila terdapat perbedaan antara apa

yang diinginkan dengan kenyataan, maka seseorang akan merasakan ketidakpuasan

(dissatisfaction). Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan kerja

adalah kumpulan perasaan dan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang karyawan,

baik yang menyenangkan (emosi positif) dan tidak menyenangkan (emosi negatif)

tentang pekerjaannya.

2.4.2 Dimensi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan sikap seseorang dalam organisasi apapun terhadap

pekerjaannya. Dengan kata lain, bagaimana perasaan seseorang, berpikir, dan

bertindak dalam hidup adalah faktor penentu pertama dan bagaimana seseorang akan

berpikir serta merasakan tentang satu pekerjaan (Ghazawi, 2008:3). Luthans

(2008:142) bahwa terdapat lima dimensi kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri

(the work itself), gaji (pay), promosi (promotions), pengawasan (supervision),

kelompok kerja (work group), kondisi kerja (working conditions).

28

Robbins (2008:110) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor:

pekerjaan itu sendiri, gaji, kenaikan jabatan, pengawasan, dan rekan kerja. Wexley

dan Gary (2005:129) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: gaji atau

upah, kondisi kerja, pengawasan, rekan kerja, isi pekerjaan, jaminan kerja, serta

kesempatan promosi. George dan Jones (2008:82) memperkuat pendapat Wexley and

Gary (2005 : 67) yang mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan meliputi:

personaliti (personality), nilai (value), situasi pekerjaan (work situation), dan

lingkungan sosial (social influence). Penjelasannya sebagai berikut:

a. Personality: merupakan cara pandang seseorang yang terbentuk karena

perasaan, pikiran, dan keyakinan, meliputi: pemanfaatan kemampuan,

prestasi kerja, kemajuan, kreativitas kerja, dan kemandirian dalam

melaksanakan tugas.

b. Values: merupakan nilai-nilai kerja seseorang yang bersifat intrinsik maupun

ekstrinsik, terdiri dari: imbalan, pengakuan, tanggungjawab, jaminan kerja,

dan layanan sosial.

c. Value (nilai) adalah keyakinan tentang pekerjaan yang dihasilkan ketika

menjalani pekerjaan dan bagaimana seharusnya bertindak di tempat kerja

(George dan Jones, 2008:83). Temuan riset menunjukkan bahwa nilai adalah

secara positif dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan (Ghazzawi, 2008:3).

Seorang karyawan, nilai-nilai intrinsiknya kuat (tinggi) lebih merasakan

kepuasan kerja, tanpa memperhatikan tingkat penggajian, walaupun gaji

29

merupakan alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang

lebih tinggi dibandingkan seseorang dengan nilai intrinsiknya lemah George

dan Jones (2005). Ini berarti, walaupun gaji merupakan alasan yang nyata

seorang individu bekerja tetapi tidak berakibat negatif terhadap emosionalnya

apabila seseorang memiliki nilai intrinsik yang kuat.

d. Work Conditions: merupakan situasi kerja yang terbentuk karena pekerjaan itu

sendiri, rekan kerja, supervisor, bawahan dan kondisi fisik, terdiri dari:

wewenang, hubungan dengan atasan, pengawasan teknis, keberagaman tugas,

dan kondisi kerja.

e. Social Influence: merupakan pengaruh yang terbentuk karena rekan kerja,

kelompok dan budaya organisasi, meliputi: aktivitas atau kegiatan, kebijakan

perusahaan, rekan kerja, nilai moral dan status.

Menurut Sutrisno (2010) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia

mengemukakan pendapat Yulk dan Wexley, bahwa kepuasan kerja merupakan

sebagai perasahan seseorang terhadap pekerjaannya.

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Mengapa seseorang bisa puas terhadap pekerjaannya sementara orang lain

tidak puas dari pekerjaanya, walaupun pekerjaan yang mereka lakukan adalah sama.

Para ahli melihat banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Faktor-

30

faktor itu sendiri dalam peranannya memeberikan kepuasan kepada karyawan

tergantung kepada pribadi masing-masing karyawan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pada dasarnya dapat

menjadi dua bagian yaitu:

1. Faktor intrinsik, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan itu sendiri

seperti harapan dan kebutuhan individu tersebut.

2. Faktor ektrinsik, yaitu faktor yang berasal dari luar karayawan itu sendiri

seperti kebijakan perusahaan, kondisi fisik lingkunag kerja, interaksi dengan

karyawan lain, sistim pengajian dan sebagainya.

Secara teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak

jumlahnya. Salah satunya menurut Hasuban (2006) kepuasan kerja karyawan

dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Balas jasa yang layak dan adil

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian

3. Berat-ringannya pekerjaan

4. Suasana lingkunagn pekerjaan

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan

6. Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya

7. Sikap pekerjaan monoton atau tidak