36
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen B. Etiologi Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam, Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul, dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan kepada otak Penyebab lain 1. kecelakaan lalulintas 2. Jatuh 3. Pukulan 4. Kejatuhan benda 5. Kecelakaan kerja / industry

Bab II Trauma Capitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab II Trauma Capitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi

Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada

kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak.

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer

maupun permanen

B. Etiologi

Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam,

Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul,

dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan

diteruskan kepada otak

Penyebab lain

1. kecelakaan lalulintas

2. Jatuh

3. Pukulan

4. Kejatuhan benda

5. Kecelakaan kerja / industry

6. Cidera lahir

7. luka tembak

Mekanisme cidera kepala :

1. Ekselerasi :Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam.Contoh : akibat pukulan lemparan.

2. Deselerasi :Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak.Contoh :

kepala membentur aspal.

Page 2: Bab II Trauma Capitis

3. Deforinitas :Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan

integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Berdasarkan berat ringannya :

1. Cidera kepala ringan → G C S : 13 – 15

2. Cidera kepala sedang → G C S : 9 – 12

3. Cidera kepala berat → G C S : 3 – 8

Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan

bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang utama

adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek

ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan

dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol.

Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus

(diffuse axonal injury) atau cedera coup-contra.coup.

C. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada

kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh

benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses

akselerasi-deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan

pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa

kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di

bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan

tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,

maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak

selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh

kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya

terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara

terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik

Page 3: Bab II Trauma Capitis

terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi

kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan

countercoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan

dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya

merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa

jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan

ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan

berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini

adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,

produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan

dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit

pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan

sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera

mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume

darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah

tertentu dalam otak.

D. Tanda dan Gejala

a. Commotio Cerebri

1. Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.

2. Mual dan muntah

3. Nyeri kepala (pusing)

Page 4: Bab II Trauma Capitis

4. Nadi, suhu, TD menurun atau normal

b. Contosio Cerebri

1. Tidak sadar lebih dari 10 menit

2. Amnesia anterograde

3. Mual dan muntah

4. Penurunan tingkat kesadaran

5. Gejala neurologi, seperti parese

6. LP berdarah

c. Laserasio Serebri

1. Jaringan robek akibat fragmen taham

2. Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan

3. Kelumpuhan anggota gerak

4. Kelumpuhan saraf otak

E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar

tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai

terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya

kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan

tidak ada.

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam

memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal

pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat

berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan

fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita

yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa

semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih

baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang

lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan

Page 5: Bab II Trauma Capitis

tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang

cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi

seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai

prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan batang

otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa

penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang

otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk

pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal

dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic

Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan

telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera

Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan

sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada

pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan

substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki

prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya

sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit

neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.

F. Komplikasi

1. Jangka pendek

a. Hematoma epidural

Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi

akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya.

Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau

hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya

tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat

Page 6: Bab II Trauma Capitis

progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi

melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-

mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap

refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi

tentorial. Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan

3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala

lateralisasi berupa hemiparese Pada pemeriksaan kepala mungkin pada

salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan

neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi

kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan

traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex tendon meninggi dan

refleks patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada

bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.

Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan

pengikatan pembuluh darah.

b. Hematom subdural

Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya

bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater

serta arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip epidural

hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3

minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan CT-

Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian

terdapat bagian hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula

interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan

bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian

isodens dari midline yang bergeser. Operasi sebaiknya segera

dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan

melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut

terdiri dari trepanasidekompresi.

c. Perdarahan Intraserebral

Page 7: Bab II Trauma Capitis

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,

terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat

trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-

kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari

kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan

gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi

neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

d. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh

darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang

hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ;

Hemiparese; Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk

e. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,

mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio

cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin

melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.

Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi dan

kesadaran menurun.

2. Jangka panjang

a. Kerusakan saraf cranial

a) Anosmia :Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan

gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan

anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada

pengobatan khusus bagi penderita anosmia.

b) Gangguan penglihatan :Gangguan pada nervus opticus timbul

segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai

hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan,

dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan

visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,

Page 8: Bab II Trauma Capitis

atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah

cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang

difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut

bersifat irreversible.

c) Oftalmoplegi :Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot

penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil

yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk

oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik

dini.

d) Paresis fasialis :Umumnya gejala klinik muncul saat cedera

berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan

dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada

sisi yang mengalami kerusakan.

e) Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya

disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat

antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya

cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga

menimbulkan kerusakan pada organ lain.

b. Disfasia

Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk

memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit

system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan

yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah

komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia

kecuali speech therapy.

c. Hemiparesis

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau

kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras

pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak.

Page 9: Bab II Trauma Capitis

Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan

otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.

d. Sindrom pasca cedera kepala

Sindrom pasca trauma kepala (postconcussional syndrome)

merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai

pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri

kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,

penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan

fungsi seksual.

e. Fistula karotiko-kavernosus

Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara

arteri k arotis interna dengan sinus k avernosus, umumnya

disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa

bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau

pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai

hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan

penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan

kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.

f. Epilepsi

Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam

minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan

epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late

posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun

pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi

setelah 4 tahun kemudian.

G. Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala

adalah sebagai berikut:

1. Observasi 24 jam

2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.

Page 10: Bab II Trauma Capitis

4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.

5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.

6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.

7. Pemberian obat-obat analgetik.

8. Pembedahan bila ada indikasi.

H. Prognosis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama

pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit

memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan

meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien

dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –

10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri

kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan

perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera

kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

Page 11: Bab II Trauma Capitis

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin

dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital

a.       Aktivitas/Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia,

ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera

(trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.

b.      Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)

Tanda : Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang

diselingi dengan bradikardia dan disritmia).

c.       Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau

dramatis).

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,

depresi dan impulsif.

d.      Eliminasi

Page 12: Bab II Trauma Capitis

Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami

gangguan fungsi.

f.       Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,

air liur keluar dan disfagia).

g.      Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar

kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal

pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,

diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan

pengecapan dan juga penciuman.

Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status

mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan

masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil

(respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan

mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,

penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah,

tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,

hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang,

sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi

sebagian tubuh.

h.      Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,

biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan

nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih

Page 13: Bab II Trauma Capitis

i.        Pernapasan

Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh

hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif

(kemungkinan karena aspirasi).

j.        Keamanan

Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda :Fraktur/dislokasi.

k.      Gangguan penglihatan

Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle

di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan

(drainase) dari telinga/hidung (CSS).

l.        Gangguan kognitif.

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum

mengalami paralysis.

Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara

berulang-ulang, disartria, anomia.

m.    Pemeriksaan Diagnostik

1)Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL,

hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark

mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.

Page 14: Bab II Trauma Capitis

2)MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.

3)Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

4)EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya

gelombang patologis.

5)Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),

pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) dan

adanya fragmen tulang.

6)BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks

dan batang otak.

7)PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas

metabolisme dalam otak.

8)Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya

perdarahan subarachnoid.

9)GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..

10)Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang

berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.

11)Pemeriksaan Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin

bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.

12)Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui

tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

Page 15: Bab II Trauma Capitis

B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk

yang kurang

2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

3. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran,

kerusakan lobus pariental, kerusakan nervus olfakttorius.

4. Nyeri b.d trauma dan sakit kepala

5. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.

6. Perubahan pola eliminasi urine inkontinential atau retensi urine b.d

terganggunya saraf kontrol berkemih

7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu

menelan

8. Gangguan citra tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya

proses berfikir, ketidakmampuan fisik.

9. Defisiti perawatan diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik

10. Kerusakan komunikasi verbal b.d aphasia.

11. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.

Page 16: Bab II Trauma Capitis

12. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan dan kelemahan

fisik.

Page 17: Bab II Trauma Capitis

C. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka masalah

perukaran gas teratasi dengan

Kriteria Hasil: · Tidak ada gangguan jalan napas · Lendir dapat batukkan/sekret

dapat keluar. · Pernapasan teratur.

Intervensi:

1. Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan

obat tambahan.

R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret ·

2. Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)

R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental ·

3. Anjurkan minum 2500cc/hari.

R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan ·

4. Beri posisi fowler

R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas ·

5. Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi

R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret

2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan : setelah diberikan tindakn keperawatan selama …x… perfusi jaringan

otak membaik dengan

Kriteria Hasil: · Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK, Terorientasi pada

tempat, waktu dan respon ,Tidak ada gangguan tingkat kesadaran ·

Intervensi

1. Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu

naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.

Page 18: Bab II Trauma Capitis

R/ :Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat

mengantisipasinya. ·

2. Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan

potensial terjadi peningkatan TIK.

R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.

3. Monitor suhu tubuh

R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya

kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.

·

4. Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang

lebih 30 derajat.

R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK ·

5. Kolaborasi Pemberikan obat diuretik seperti manitol, diamox

R/: Membantu mengurangi edema otak

3. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus

parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka persepsi

sensorik membaik dengan

Kriteria Hasil: · Kesadaran pasien kembali normal · Tidak terjadi peningkatan

TIK Intervensi :

1. Observasi keadaan umum serta Vital Sign

R/: Mengetahui keadaan umum pasien.

2. Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.

R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan

lingkungan pasien. ·

3. Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya: parfum R/:

Melatih kepekaan nervus olfaktorius. ·

4. Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa

R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.

Page 19: Bab II Trauma Capitis

4. Nyeri b.d trauma sakit kepala.

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka Nyeri

teratasi atau terkontrol dengan

Kriteria Hasil :Nyeri dapat berkurang sampai dengan hilang

Intervensi:

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,

karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

keparahan nyeri dan faktor presipitasinya

R/ :mengakji nyeri secara komprehensif bertujuan untuk mengetahui

tingkat keparahan nyeri yang dirasakan oleh klien

2. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya kepada mereka

yang tidak mampu berkomunikasi efektif

R/: dengan melakukan obsevasi isyarat nonverbal dapat menunjukkan

ringan ataupun berat suatu nyeri yang dirasakan klien

3. anjurkan klien mengunkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan

R/: menurunkan perasaan terisolasi, marah, dan cemas yang dapat

meningkatkan nyeri tersebut.

4. berikan kompres hangat/dingin, mandi air hangat, berikan masase atau

sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual.

R/:membantu pasien mendapatkan kontrol perasaaan tidak nyaman secara

konstan

5. lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal,

busa tau dengan selimut

R/:membantu menghilangkan ketegangan dan kelelahan otot

6. berikan latihan rentang gerakan secara pasif

R/: menurunkan kekakuan sendi

Page 20: Bab II Trauma Capitis

7. instuksikan/anjurkan untuk menggunakan teknik relaksasi seperti

visualisasi (menonton), latihan relaksasi yang berkembang, imanjinasi

terbimbing, biofeedback

R/: Memfokuskan kembali secara langsung dari perhatian/persepsi dan

meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri

8. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai kebutuhan, hindari penggunaan

narkotika

R/: berguna untuk menghilangkan nyeri ketika metode lain yang telah

dicoba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotika (kecuali

kodein yang memiliki efek lebih kecil) harus di hindari jika masih

mungkin karena obat-obat tersebut menekan pernapasan dan mempunyai

efek samping terhadap saluran pencernaan. kadang-kadang beramanfaat

untuk menghilangkan teganan otot

5. hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas hambatan

mobilisasi fisik teratasi dengan

Kriteria Hasil: · Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang

tunjukkan dengan tidak adanya kontraktur, Tidak terjadi peningkatan TIK

Intervensi: ·

1. Lakukan latihan pasif sedini mungkin

R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot. ·

2. Beri footboard/penyangga kaki

R/: Mempertahankan posisi ekstremitas ·

3. Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai

R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi ·

4. Kolaborasi fisioterapi

R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur

Page 21: Bab II Trauma Capitis

6. Perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia atau retensi urine b.d

terganggunya saraf kontrol.

Tujuan setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka pola

eleminasi kembali dalam keadaan normal dengan

Kriteria Hasil :Pasien dapat mengontrol pengeluaran urine

Intervensi:

1. Kaji pola berkemih

R/: Menentukan tindakan ·

2. Catat intake dan output

R/: Mengetahui balance cairan ·

3. Pasang kateter kondom

R/: Mencegah infeksi

7. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan …x… maka gangguan nutrisi

kurang dari kebutuhan teratasi dengan

Kriteria Hasil : Berat badan normal, Mengkonsumsi semua makanan yang

disajikan. · Terbebas dari malnutrisi.

Intervensi :

1. Kaji kemampuan makan dan menelan.

R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah

terjadinya aspirasi ·

2. Dengarkan suara peristaltik usus

R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan

adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus. ·

3. Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.

R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi ·

Page 22: Bab II Trauma Capitis

4. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan

hangat.

R/: Meningkatkan nafsu makan. ·

5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.

R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah

malnutrisi

8. Gangguan citra tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses

berpikir

Tujuan : setelah diberika tindakan keperawatan …x… maka gannguan citra tubuh

teratasi dengan

Kriteria Hasil :Membuat pernyataan tentang body image · Mengekspresikan

penerimaan body image · Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk

mendapatkan informasi dan dukungan.

Intervensi :

1. Kaji persamaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses

berfikir dan ketidakmampuan mobilitas fisik.

R/: Menentukan tindakan keperawatan yang tepat. ·

2. Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan bod image

R/: Meningkatkan proses penerimaan diri. ·

3. Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body

image.

R/: Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image. ·

4. Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa

penerimaan diri.

R/: Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.

9. . Defisit perawatan diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan

kognitif. Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas

defisist perawatan diri teratasi denan

Page 23: Bab II Trauma Capitis

Kriteria Hasil :Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi. · Pasien

dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.

Intervensi :

1. Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.

R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi. ·

2. Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.

R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat. ·

3. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah

sembuh.

R/: Meningkatkan peran keluarga

10. Gangguan komunikasi verbal b.d aphasia

Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka gangguan

komunikasi verbal teratasi dengan

Kriteria Hasil : mampu berkomunikasi secara verbal

Intervensi :

1. Kaji kemampuan pasien dalam komunikasi verbal

R/: Menentukan intervensi selanjutnya ·

2. Beri kesempatan pada pasien untuk menngungkapkan kebutuhannya

R/: Agar pasien terpenuhi kebutuhannya. ·

3. Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya dengan bahasa

isyarat.

R/: Kebutuhan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat. ·

4. Ajarkan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.

R/: Kalimat pendek dan singkat tidak membuat pasien lelah dan bingung.

j.

11 :Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik

Page 24: Bab II Trauma Capitis

Tujuan setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka tidak terjadi

kerusakan integritas kulit dengan

Kriteria Hasil :Tidak terjadi kerusakan kulit, decubitus

Intervensi :

1. Kaji keadaan kulit pasien.

R/: Menentukan askep yang tepat.

2. Beri posisi tidur miring kiri-terlentang kanan tiap 2 jam.

R/: Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan

menimbulkan nekrose

3. Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan

R/: Meningkatkan sirkulasi darah

4. Jaga alat tenun tempat tidur pasuen kering dan tidak terlipat.

R/: Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.

12. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka tidak injuri

tidak terjadi dengan

Kriteri Hasil : Trauma fisik tidak terjadi , Terjaganya batas kesadaran fungsi

motorik

Intervensi :

1. Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang

R/: Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan

keperawatan ·

2. Perhatikan lingkungan

R/: Cegah terjadinya trauma ·

3. Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.

R/: Memperlancar jalan napas. ·

4. Tidak boleh diikat selama kejang.

R/: Mengurangi ketegangan ·

Page 25: Bab II Trauma Capitis

5. Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan)

R/: Membantu pembukaan jalan napas. ·

6. Gunakan bantal tipis di kepala

R/: Membantu mengurangi tekanan intrakranial

7. Disorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.

R/: Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi

terhadap kenyataan.

Daftar Pustaka

Carpenito - Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC

Darwis, Aprisal. 2014. Konsep Dasar Trauma Kepala (Trauma Kapitis). (http://www.abcmedika.com/2014/02/konsep-dasar-trauma-kepala-trauma.html) di akses pada tangal 15 mei 2014

Dongues, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuah Keperawatan : Pedoman Untukperencanaan Dan Pendokumentasian Perawtan Pasie. Jakarta : EGC

Ilyas, Kamal Kharrazi 2011 Gambaran Glasgow Coma Scale Pada Pasien Trauma Kapitis Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2009 (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21501) diakses pada tanggal 15 mei 2014

Prince, Sylivia A & Wilson, Lorraine M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Peyakit. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C& Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Eperawtan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M, & Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC