31
BAB III PENGHENTIAN VENTILASI MEKANIK UNTUK PERAWATAN PASIEN KANKER STADIUM TERMINAL DI ICU DITINJAU DARI ISLAM 3.1 Hidup dan Mati dalam Terminologi Islam Pembahasan tentang penghentian ventilasi mekanik merupakan bagian euthanasia pasif dan barkaitan erat dengan definisi dan batasan hidup, mati serta tentang hukum berobat dalam Islam. Hidup dan mati sebagai “sesuatu yang jika tidak hidup maka ia mati, demikian pula sebaliknya”. Hakikat mati, menurut dalil-dalil dalam syariat Islam, didefinisikan ‘pisahnya ruh dari jasad (Zuhroni 2012) . Pernyataan tersebut merujuk pada sejumlah dalil dalam Alquran, di antaranya adalah: Artinya : 39

Bab III. Dara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

free

Citation preview

Page 1: Bab III. Dara

BAB III

PENGHENTIAN VENTILASI MEKANIK UNTUK PERAWATAN

PASIEN KANKER STADIUM TERMINAL DI ICU

DITINJAU DARI ISLAM

3.1 Hidup dan Mati dalam Terminologi Islam

Pembahasan tentang penghentian ventilasi mekanik merupakan bagian

euthanasia pasif dan barkaitan erat dengan definisi dan batasan hidup, mati serta

tentang hukum berobat dalam Islam. Hidup dan mati sebagai “sesuatu yang jika

tidak hidup maka ia mati, demikian pula sebaliknya”. Hakikat mati, menurut dalil-

dalil dalam syariat Islam, didefinisikan ‘pisahnya ruh dari jasad (Zuhroni 2012) .

Pernyataan tersebut merujuk pada sejumlah dalil dalam Alquran, di

antaranya adalah:

Artinya : “lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami” (Q.s.Al-Anbiya(21):91).

Artinya: maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; (Q.s.Al-Tahrim (66):12).

39

Page 2: Bab III. Dara

Berdasarkan dua ayat di atas, kehidupan ada karena adanya tiupan ruh, hal

ini menunjukan dan disimpulkan bahwa mati terjadi dengan adanya perpisahan

antara ruh dan jasad.

Hakikat roh itu sendiri tidak diketahui oleh manusia, merupakan urusan dan

rahasia Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Q.s.Al-Isra’(17):85).

Definisi hidup menurut syarak jika atau karena ia memiliki roh,

sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:

Artinya: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (Q.s.As-Sajdah (32):9).

Kata ‘hidup’ kadang digunakan dalam berbagai maksud, diantaranya, untuk

‘potensi/daya tumbuh yang ada pada tumbuhan dan hewan’, seperti terdapat

dalam ayat:

Artinya: Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Q.s.Al-Anbiya’(21):30).

40

Page 3: Bab III. Dara

Kadang-kadang adanya roh ditunjukkan karena adanya potensi rasa, seperti

yang dimiliki oleh hewan. Kadang-kadang adanya pada potensi intelekstual

sebagaimana dimiliki oleh manusia, seperti terdapat dalam ayat:

Artinya: Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan” (Q.s.Al-An’am (6):122).

Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak,

penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan makanan. Hidup

merupakan kebalikan dari mati. Dalam Islam atau hukum apapun, masalah

kematian sebagai suatu keniscayaan (Zuhroni 2012).

Dalam akidah Islam, yang menentukannya adalah Allah semata,

sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:

Artinya: Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya)” (Q.s. Yunus (10):49).

Pihak yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah.

Manusia tidak diberi hak atau wewenang memberi hidup dan mematikannya,

sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

41

Page 4: Bab III. Dara

Artinya: Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Q.s.Yunus (10):56).

Ada beberapa ayat menjelaskan, bahwa manusia akan mati ketika ruhnya ditahan

dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT:

Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”(Q.s. Az-Zumar (39):42).

Adapun HR. Muslim tentang indikasi meninggal menyatakan bahwa :

�ص�ر�٠٠٠ �ب �ع�هال �ب ت �ض� �ذ�قب إ �نالروح� ا ﴿رواهومسلم ﴾Artinya: “Sesungguhnya jika ruh dicabut, maka mata akan mengikutinya…” (HR. Muslim).

Pada saat akan dicabut ruhnya, seseorang akan mengalami sakaratul maut,

seperti dinyatakan dalam ayat Alquran:

Artinya: “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya” (Q.s.Qaf (50):19).

42

Page 5: Bab III. Dara

Kendati banyak ayat Alquran dan hadits Nabi menyebutkan masalah kematian,

namun tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan

jiwa, dan berhentinya kehidupan. Hadits hanya menjelaskan indikasi mati,

misalnya, hanya disebutkan terjadi pada saat ruh dicabut yang akan diikuti oleh

pandangan mata.

3.2 Kedudukan Jiwa dalam Islam

Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak

ayat al-Qur’an maupun hadits nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan

memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang tidak diperkenankan

melenyapkan tanpa ada alasan syar’i yang kuat. Manusia dilarang memperlakukan

jiwa manusia dengan tidak hormat, Allah memberikan ancaman tegas bagi mereka

yang meremehkannya (Zuhroni, Nur, Nirwan 2003).

Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan

sesuai dengan aturan Pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara

dan melindungi manusia secara keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam

penegasan Allah dalam Alquran:

Artinya: … dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa (Q.s.Al-Baqarah (2):179).

Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syar’i yang

dibenarkan sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat

seluruhnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat Alquran:

43

Page 6: Bab III. Dara

Artinya:Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu Hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (Q.s.Al-Maidah (5)-32).

Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala

perbuatan yang dapat merusak atau menghilangkan jiwa manusia diancam dengan

hukuman yang berat dan setimpal dalam bentuk qishash atau diyat. Dampak dari

kerusakan social sebagai akibat dari pembunuhan seperti digambarkan dalam ayat

diatas, menurut para ahli tafsir, tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja tetapi

juga bagi manusia seluruhnya (Zuhroni, Nur, Nirwan 2003).

3.3 Tanda-tanda Kematian Manusia

Kalangan ahli medis telah menetapkan bahwa matinya seseorang ditandai

dengan matinnya batang otak. Pendapat tersebut berdasarkan kesimpulan

ketetapan dari organisasi dokter di Prerancis pada tahun 1959. Selanjutnya diikuti

oleh Universitas Harvad di Amerika.

Pada saat membahas tentang jenazah, fukaha menyebutkan sejumlah tanda-

tanda telah matinya seseorang yang didasarkan pada pantauan lahiriah, visual

jasad orang, terdapat sejumlah indikasi telah terjadi perpisahan jasad dan rohnya.

44

Page 7: Bab III. Dara

Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, seseorang dianggap telah mati dan

diberlakukan semua hukum syarak yang berkenaan dengan kematian apabila telah

nyata adanya salah satu dari dua indikasi berikut ini: (Zuhroni 2012)

1. Jika denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan para

dokter telah menetapkan bahwa keberhentian tersebut tidak akan pulih

kembali.

2. Jika seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter

ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak

berfungsi.

Dalam kondisi seperti itu, jika pasien menggunakan berbagai alat bantu, seperti

ventilasi mekanik, dan yang lain diperbolehkan melepasnya, meskipun sebagian

organnya, seperti jantungnya masih berdenyut karena kerja alat bantu tersebut.

3.4 Penghentian Ventilasi Mekanik Ditinjau dari Islam

Dengan pertimbangan dan uraian diatas, Islam memperbolehkan bagi pasien

yang telah lama menggunakan peralatan untuk membantu keberlangsungan

hidupnya, seperti ventilasi mekanik dan berbagai alat bantu lainnya yang tidak

membawa kemajuan sama sekali, bahkan jika para dokter yang merawatnya

menetapkan kesembuhannya tidak lagi dapat diharapkan, meneruskan penggunaan

peralatan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, dan menjadikannya tampak hidup

adalah ketergantungan pada peralatan tersebut jika dilepas tidak lama lagi akan

meninggal, maka keluarganya diperbolehkan melepas peralatan tersebut dari

pasien dan membiarkannya menurut kemampuannya sendiri tanpa campur tangan

45

Page 8: Bab III. Dara

orang lain. Disebutkan keluarganya bukan pasien atau dokter, karena biasanya

pasien sudah sulit diajak komunikasi, dan dokter terikat oleh sumpah dan etika

komunikasi, dan dokter terikat oleh sumpah dan etika kedokteran yang harus

menghormati kehidupan insani sejak terjadi pembuahan hingga mati. Di samping

itu, karena hukum berobat ditujukan kepada pasien dan keluarganya, bukan

dokter. Tindakan ini tidak termasuk kategori eutanasia, sejauh tidak diniati agar

cepat mati. Disini tidak ada tindakan membunuhnya, yang dilakukan hanya

menghentikan pengobatan melalui peralatan buatan dan harus diniati dan

dialihkan menggunakan metode pengobatan yang lain, termasuk melalui doa,

sabar, tawakkal dan lain-lain. Tindakan menghentikan penggunaan peralatan itu

dari pasien yang keadaannya sudah demikian tidak lebih kecuali hanya sekedar

meninggalkan hal yang mubah. Bahkan sebagian ulama ada yang mewajibkannya

(Zuhroni 2012).

Untuk memperkuat pernyataan di atas, berdasarkan Komplikasi Hukum

Islam pada Muktamar Omman disebutkan: ‘ Seorang dinyatakan telah meninggal

dunia menurut hukum Islam dan berlaku segala hukum yang berlaku bagi

kematian di kala itu, bilama telah nyata adanya dua tanda, yaitu:

1. Apabila jantungnya telah berhenti dan tidak bernafas lagi secara sempurna

dan para dokter ahli telah memastikan bahwa berhentinya pernafasan itu

tidak dapat kembali lagi (irreversible).

2. Apabila seluruh organ otak telah tidak berfungsi lagi secara total (mati

batang otak) dan para dokter ahli telah memastikan tidak dapat kembali lagi

(irreversible).

46

Page 9: Bab III. Dara

Dalam keadaan demikian patut mengangkat (melepaskan) atau mencabut

ventilasi mekanik atau alat bantu medis lainnya dari pasien, meskipun sebagian

organnya, seperti jantung masih dapat bekerja dengan bantuan alat tersebut.

Dalam kondisi seperti digambarkan di atas, otak tidak berfungsi lagi tetapi

nafas masih ada. Nampaknya, pertimbangan adanya nafas, oleh sebagian kecil

ulama tetap dilarang mencabut alat bantu pernafasan yang dipasang meskipun

batang otaknya telah mati, yaitu pendapat Syeikh Abdul Aziz bin Baz yang

menyatakan tidak boleh melepas alat bantu yang dipasang pada pasien meski

dokter telah menyatakan organ otak telah mati. Tindakan itu masih dianggap

sebagai salah satu bentuk tidak menjaga kehidupan insani. Dalil yang digunakan

mengacu pada keharusan menjaga nyawa, Islam menekankan menjaga

dharuriyyah, sesuai firman Allah:

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seseorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah, padahal

47

Page 10: Bab III. Dara

ia mukmin, maka (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba-hamba yang mukmin. Dan jika ia (yang terbunuh) kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.s. An-nisa (4):92).

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (Q.s. Al-An’am (6):151).

Sementara ulama yang lain membolehkannya. Menurut mereka, pada saat

pasien bernafas menggunakan, alat bantu tersebut bukan dalam arti bernafas

menurut arti sebenarnya, nafas tersebut dianggap sebagai nafas buatan. Dalam

kondisi demikian dianggap pasien tersebut sebagai mayat yang bernafas, dengan

alat bernafas buatan. Mereka menilai alat tersebut hanya sebagai alat untuk

memperpanjang sakit (Zuhroni 2012).

Lebih lanjut Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa ulama menetapkan

diperbolehkan melepas seluruh instrumen yang dipasang pada seseorang

meskipun sebagian organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja alat

bantu pernafasan tersebut. Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ

dan pernapasan dari pasien, karena tidak berguna lagi. Bahkan, sebagian ulama

mewajibkannya menghentikan penggunaan alat-alat itu, karena menggunakannya

bertentangan dengan syariah Islam dengan alasan tindakan itu berarti menunda

pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian

warisan, menunda masa ‘iddah bagi istrinya (jika dengan seorang suami), dan

hukum-hukum lain yang terkait dengan kematian.

48

Page 11: Bab III. Dara

Juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang

tidak ada gunanya. Juga, memberi mudarat kepada orang lain dengan

menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang

yang telah mati batang otak dan sarafnya itu. Dalam ketentuan hukum Islam,

memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain dilarang, sesuai

dengan hadits Nabi :

ار� �ض�ر� و�ال ر� �ض�ر� ﴿رواهابنماجهواحمد،مالكال ﴾

Artinya: Dari ‘Ubadah bin al-Shamit, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan agar tidak memberi mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain “ (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).

3.5 Euthanasia Pasif

Eutanasia pasif atau memudahkan proses kematian dengan cara pasif

dengan cara penghentian pengobatan atau tidak memberikan pengobatan yang

didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan atau obat-obatan yang

dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada pasien,

sesuai dengan sunnatullah dan hukum kausalitas (Jusuf dan Amri 2009, Zuhroni

2012).

Ada perbedaan pandangan tentang hukum euthanasia pasif dari perspektif

etika kedokteran dengan hukum Islam. Dari perspektif etika kedokteran,

nampaknya masih menimbulkan kontroversial. Merujuk pada isi Deklarasi

Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak

49

Page 12: Bab III. Dara

bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam

praktisnya, dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.

Pertama, dokter terkait dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu

meringankan penderitaan pasien, tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa

orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,

tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara

manapun (Jusuf dan Amri 2009, Zuhroni 2012).

Untuk menentukan hukum euthanasia pasif dari perspektif hukum Islam,

terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Hukum

berobat dalam perspektif Islam dapat dikategorikan dalam dua kondisi, hukum

asal (dasar) dan hukum situsional serta kondisional. Hukum asal berobat,

menurut para ulama berkisar antara sunah dan mubah. Sedangkan berdasarkan

situasi dan kondisinya, hukumnya dapat sunnah, wajib, mubah, makruh, atau

haram.

Jika tidak ada harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah dan hukum

kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan hanya

menyusahkan berbagai pihak yang terkait maka tidak seorang pun yang

mengatakan sunnah apalagi wajib ( Zuhroni 2012).

Karena itu apabila pasien diberi berbagai macam cara pengobatan dengan

cara minum obat, suntikan, dan sebagainya atau menggunakan ventilasi mekanik

dan lainnya sesuai dengan teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama

tetapi penyakitnya tetap saja tidak berubah maka melanjutkan pengobatan seperti

50

Page 13: Bab III. Dara

itu tidak wajib dan tidak pula sunnah, bahkan mungkin kebalikannya, tidak

mengobatinya adalah wajib atau sunnah.

Pelepasan berbagai alat bantu medis disini tidak ada tindakan aktif dokter,

dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan bisa juga tidak sunnah,

sehingga tidak dikenai sanksi. Penghentian pengobatan secara medis dalam

kondisi seperti di atas dinilai sebagai jaiz dan dibenarkan syarak, dokter

diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya

dan beralih pada pengobatan alternatif, seperti dengan cara doa, sabar, tawwakal,

ridha dan sebagainya atau mengobatinya dengan cara pengobatan non-medis

sepanjang dalam pelaksanaannya tidak berbenturan denfan akidah Islam

( Zuhroni 2012).

Tindakan menghentikan ventilasi mekanik atau alat bantu lainnya dari

pasien, yang menurut penilaian dokter pasien sudah dianggap mati atau mati

karena jaringan otak yang dengan itu seseorang dapat hidup dan merasakan

sesuatu yang telah rusak, dinilai tidak menyalahi syarak.

Tindakan yang dilakukan dokter hanya semata-mata menghentikan

pengggunaan alat bantu pengobatan, hal itu sama dengan hukum tidak

memberikan pengobatan. Cara seperti ini, menurut Yusuf al-Qaradhawi, berada di

luar wilayah batasan memudahkan kematian dengan cara aktif. Tindakan tersebut

dibenarkan oleh syarak, dan hukumnya tidak terlarang. Lebih-lebih jika dilihat

dari segi fungsinya, peralatan bantu medis tersebut hanya sekedar untuk

kehidupan lahiriah, yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah dengan

denyut nadi saja, padahal dilihat dari segi aktivitas pasien, sudah seperti orang

51

Page 14: Bab III. Dara

mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan

apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu sudah rusak

( Zuhroni 2012).

Membiarkan pasien dalam kondisi demikian hanya akan menghabiskan

dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi

orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat

tersebut. Di sisi lain, pasien yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya

menjadikan keluarganya dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin

memakan waktu relatif lama (Zuhroni 2012).

3.6 Larangan Euthanasia

Secara normatif, memudahkan proses kematian (euthanasia) tidak

dibenarkan secara syarak. Sebab, berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan

tujuan membunuh pasien dan mempercepat kematiannya.

Ulama sepakat mengharamkan euthanasia baik pasif maupun aktif, karena

termasuk tindakan mempercepat kematian, termasuk bentuk pembunuhan. Banyak

nash agama mengharamkan tindakan pembunuhan, diantaranya:

1. Bahwa urusan hidup dan mati hanya ada di tangan Allah SWT, seperti

disebutkan dalam ayat alquran, Q.s. Al-Mulk (67):1-2)

52

Page 15: Bab III. Dara

Artinya: “… dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (Q.s. Al-Mulk (67):1-2).

2. Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali yang hak,

seperti disebutkan dalam ayat, Q.s. Al-An’am (6):151) yang sudah dikutip

di atas.

3. Nabi SAW memerintahkan berobat dan melarang putus asa. Sabda

Rasulullah SAW.:

، �اد�ا ب �اع� �و� هللاي �ض�عد�اء�اال ي �م� ل و�ج�ل� ع�ز �د�او�و�اف�إنا ت هللاد�اء� �ر� ف�اء�غ�ي �هش� و�ح�د� ض�ع�ل

ام اله�ر� و�م�اهو�؟ق�ال� �نا׃ق�ال �ف�ظ�إ هللا�ف�ىل د�اء�  �ز�ل �ن ي �م� ل�م�ه� ع�ل �م�هم�ن� ف�اءع�ل �هش� ل �ز�ل� ن

� �أ �ال ارواهمسلم �ه� ج�ه�ل �هم�ن� ﴿و�ج�ه�ل ﴾

Artinya : Nabi bersabda: “Hai hamba-hamba Allah! berobatlah ! Sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit, kecuali diciptakannya pula obat penyembuhannya, kecuali satu, apakah itu ya Rasulallah, Nabi menjawab: pikun/tua (HR. Al-Turmudzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Berdasarkan dalil-dalil diatas, bahwa bunuh diri, melakukan sesuatu agar

mati atau membunuh seseorang sangat dilarang dalam syariat Islam, bagi

pelakunya diancam dengan sanksi berat, baik dilakukan secara sengaja dan

berencana atau tidak sengaja, sebagaimana dijelaskan dalam ayat, Q.s. Annisa

(4):29) yang sudah dikutip di atas.

Sanksi azab di akhirat bagi pelaku tindak bunuh diri, antara lain, disebutkan

dalam hadits Nabi:

53

Page 16: Bab III. Dara

� ك �مو�ت ي �الالرجل� هإ �غ�ف�ر� ي �ن� ا ع�س�ىا Dب� لذ�ن ك هللا� �ع�مGدFا Fامت مؤ�م�ن ل �ق�ت �و�الرجل� ي ا Fاف�ر

Artinya: “ Semua dosa itu kemungkinan masih dapat diampuni oleh Allah, kecuali dosa-dosa orang kafir atau yang membunuh mukmin yang sengaja” (H.R An-Nasai dan Al- Hakim).

Alquran tidak merinci hukuman bagi pelaku bunuh diri, berbeda dengan

sanksi hukuman yang diberikan kepada pelaku pembunuhan tanpa hak yang lain.

Sanksi azab terhadap pembunuh orang mukmin tanpa hak di akhirat, dijelskan

dalam sejumlah nash, akan dimasukkan dalam neraka Jahannam, seperti

disebutkan dalam ayat al-Quran:

Artinya: Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya (Q.s. Annisa (4):93).

Sedangkan sanksi di dunia adalah qishash, seperti dijelakan dalam Alquran:

Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya …(Q.s. Al-Maidah (5):45).

54

Page 17: Bab III. Dara

Menggunakan dalil maslahah untuk membenarkan tindakan euthanasia

tidak tepat, karena diantaranya syarat penggunaan maslahah sebagai dalil Syar’I

tidak boleh bertentangan dengan nash.

3.7 Pandangan Ulama Indonesia tentang Euthanasia

Euthanasia termasuk isu penting, termasuk di kalangan ulama Indonesia.

Namun demikian, meski termasuk isu penting, isu ini tidak cukup mendapatkan

respons dari kalangan lembaga fatwa di Indonesia. Respon ulama Indonesia,

antara lain dating dari Bahtsul Masail NU, diuputuskan pada Muktamar XXII

tahun 1989 yang mendapatkan pertanyaan tentang tindakan medis terhadap pasien

yang dinilai sudah sulit diharapkan hidupnya, dengan tujuan untuk berakibat

meninggalnya pasien secara perlahan-lahan. Dalam menjawab permasalahan

tersebut, tanpa menyebutkan alasan, Bahtsul Masail NU menjawabnya dengan

kalimat yang sangat pendek, bahwa tindakan medis demikian hukumnya haram

( Zuhroni 2012).

Fatwa tentang euthanasia pernah dikeluarkan oleh MUI Propinsi DKI

Jakarta pada tahun 2001, yang menetapkan bahwa menurut hukum Islam, hukum

euthanasia adalah haram, karena hak untuk menghidupkan dan mematikan

manusia hanya berada di tangan Allah SWT. Ditegaskan pula, bahwa euthanasia

merupakan suatu tindakan bunuh diri yang diharamkan. Pelakunya, akan menjadi

penghuni neraka.

55

Page 18: Bab III. Dara

Dasarnya, sejumlah ayat alquran yang menegaskan bahwa Allah sebagai

pemilik hak menghidupkan dan mematikan, diantaranya ayat:

Artinya: …Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan (Q.s. Ali-Imran (3):156).

Larangan melakukan tindakan bunuh diri, dalam Q.s.An-Nisa (4):29), dan

Q.s. Al-Anam (6):151, yang telah dikutip di atas. Juga berdasarkan Hadis riwayat

Al-Bukhari dari Abi Hurairah tentang balasan neraka bagi pelaku bunuh diri.

Dari fatwa-fatwa di atas, permasalahan utama yang dipersoalkan yang

menimbulkan pandangan berbeda, adalah adanya penghentian pengobatan atau

menghentikan penggunaan alat-alat bantu yang sesungguhnya tidak banyak

membantu. Jika tindakan tersebut dimaknai sebagai upaya pengobatan,

dikembalikan pada hukum berobat, dan memilih beralih menggunakan metode

alternatif, bukan hukum euthanasia yang konotasinya melakukan tindakan

mempercepat kematian, maka hukumnya sangat tergantung dari efektivitas usaha

pengobatan itu sendiri. Kepastian hukumnya tergantung pada hukum taklifi dapat

berlaku di sini, sejalan dengan situasi dan kondisi, serta niatnya, baik dari sisi

pasien maupun keluarganya. Jika dinilai agar cepat mati, maka termasuk yang

diharamkan, sama dengan pembunuhan dengan sengaja, namun jika maksudnya

hanya menghentikan pengobatan secara medis dan beralih kepada pengobatan

alternatif, termasuk dengan doa, sabar, atau tawakkal maka tidak termasuk yang

diharamkan, meskipun berdampak matinya pasien ( Zuhroni 2012).

56

Page 19: Bab III. Dara

Menghentikan penggunaan ventilasi mekanik dan alat-alat bantu lainnya

yang tidak membantu secara medis dapat dianggap sebagai tindakan

menghentikan pengobatan. Dilanjutkan atau dihentikannya proses pengobatan

dengan memperhatikan kondisi obyektif pasien, jika ternyata dapat diobati dan

semuanya serba memungkinkan, maka seharusnya diobati. Sementara jika sudah

dipastikan secara medis tak dapat disembuhkan atau diupayakan lebih baik, maka

lebih baik pengobatan dihentikan. Dengan demikian, hukum euthanasia

tergantung pada situasi dan kondisi dari pasien, di samping masalah kemampuan

finansial untuk pembeayaan pengobatan ( Zuhroni 2012).

Namun demikian, sekali lagi dalam kasus ini tidak dapat diterapkan

argumen atau dalil maslahah, meskipun unsur itu ada di dalamnya, sesuai dengan

ayat Alquran yang menyatakan bahwa hidup dan mati manusia berada di tangan

Allah (Q.s.Al-Mulk (68):2), larangan bunuh diri dan membunuh orang lain

kecuali dengan hak (Q.s. An-Nisa (4):29), perintah untuk berobat dengan

melarang putus asa (Q.s.al-A’nam (6):151) dan anjuran berobat dalam Hadis,

perintah agar sabar dan tawakkal menghadapi musibah (Q.s. Yusuf (12):17), Al-

Imran (3):135). Demikian pula tidak dibenarkan menggunakan qiyas (analogi

dengan nash Alquran atau hadits untuk membenarkan euthanasia karena belum

memenuhi keadaan darurat.

Terlepas dari masalah pro dan kontra dalam melakukan penghentian

ventilasi mekanik, dalam pandangan Islam di sini tidak ada tindakan

membunuhnya, jika niat melakukan tindakan tersebut hanya menghentikan

pengobatan melalui peralatan buatan dan harus diniati dan dialihkan

57

Page 20: Bab III. Dara

menggunakan metode atau mencari pengobatan yang lain, termasuk melalui doa,

sabar, tawakkal dan lain-lain. Tindakan menghentikan penggunaan ventilasi

mekanik dari pasien yang keadaannya sudah terminal berubah menjadi haram jika

niat seseorang melakukan tindakan tersebut untuk mempercepat proses kematian

pasien.

58