21
63 BAB IV ANALISIS DO’A, ZIKIR DAN TERAPI MEDIK-PSIKIATRIK A. Analisis Hubungan Antara Do’a dan Zikir dengan terapi Medik-Psikiatrik Terapi terpadu Dadang Hawari (2002:26) dibangun atas empat dimensi yaitu pertama, terapi fisik/biologik, yaitu dengan obat-obatan psikofarmaka. Kedua, terapi psikologik, yaitu dengan pendekatan konseling/psikiatrik. Ketiga, terapi psikososial, yaitu terapi re-adaptasi. Keempat, terapi psikospiritual atau psikoreligius, yaitu terapi keimanan dengan menggunakan do’a dan zikir. Berbeda dengan terapi tersebut WF. Maramis (1990:450) membangun terapi holistik atas tiga golongan besar ; Pertama, somatoterapi, yaitu terapi dengan cara farmakoterapi dan fisioterapi. Kedua, psikoterapi yaitu terapi psikologis dengan cara psikoterapi suportif dan psikoterapi genetik-dinamik (atau psikoterapi wawasan / pengertian). Ketiga, manipulasi lingkungan (environmental manipulation) dan sosioterapi. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa somatoterapi secara langsung digunakan untuk mempengaruhi badan (soma) dengan harapan agar manusia sebagai keseluruhan dapat ditolong yaitu dengan cara pemberian obat (farmakoterapi) atau dengan fisioterapi (masasi latihan, UKG, Xray dan sebagainya). Demikian halnya psikoterapi yang merupakan usaha untuk langsung mempengaruhi jiwa manusia supaya secara keseluruhan pasien itu dapat ditolong (W.F. Maramis,1990:452)

BAB IV 1198011 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/1/jtptiain-gdl-s1-2005... · menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan ... menyangkut kekuatan

Embed Size (px)

Citation preview

63

BAB IV

ANALISIS DO’A, ZIKIR DAN TERAPI MEDIK-PSIKIATRIK

A. Analisis Hubungan Antara Do’a dan Zikir dengan terapi Medik-Psikiatrik

Terapi terpadu Dadang Hawari (2002:26) dibangun atas empat dimensi

yaitu pertama, terapi fisik/biologik, yaitu dengan obat-obatan psikofarmaka.

Kedua, terapi psikologik, yaitu dengan pendekatan konseling/psikiatrik. Ketiga,

terapi psikososial, yaitu terapi re-adaptasi. Keempat, terapi psikospiritual atau

psikoreligius, yaitu terapi keimanan dengan menggunakan do’a dan zikir.

Berbeda dengan terapi tersebut WF. Maramis (1990:450) membangun

terapi holistik atas tiga golongan besar ; Pertama, somatoterapi, yaitu terapi

dengan cara farmakoterapi dan fisioterapi. Kedua, psikoterapi yaitu terapi

psikologis dengan cara psikoterapi suportif dan psikoterapi genetik-dinamik (atau

psikoterapi wawasan / pengertian). Ketiga, manipulasi lingkungan (environmental

manipulation) dan sosioterapi.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa somatoterapi secara langsung

digunakan untuk mempengaruhi badan (soma) dengan harapan agar manusia

sebagai keseluruhan dapat ditolong yaitu dengan cara pemberian obat

(farmakoterapi) atau dengan fisioterapi (masasi latihan, UKG, Xray dan

sebagainya). Demikian halnya psikoterapi yang merupakan usaha untuk langsung

mempengaruhi jiwa manusia supaya secara keseluruhan pasien itu dapat ditolong

(W.F. Maramis,1990:452)

64

Sementara itu, manipulasi lingkungan (yang tidak sakit) merupakan usaha

dokter untuk secara langsung mempengaruhi lingkungan penderita, yaitu

lingkungan fisiknya (perumahan, cara berpakaian, makanan, pekerjaan dan

sebagainya). Pembagian ini menurutnya hanya artifisial saja, sebab pengobatan

holistik manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial tidak dapat dipisah-pisahkan

(W.F. Maramis,1990:452).

Pendapat diatas berbeda dengan pendapatnya Dadang Hawari yang

melihat manusia secara keseluruhan sebagai makluk bio-psiko-sosio-spiritual,

karena itu selain terapi-terapi sebagaimana yang diberikan WF. Maramis di atas,

perlu kiranya memberikan terapi psikoreligius yaitu dengan terapi do’a dan zikir.

Hal ini menurutnya merupakan kebutuhan untuk efektifitas terapi medik-

psikiatrik (Dadang Hawari,2002:37)

Pendapat Dadang Hawari tersebut, menunjukkan adanya hubungan antara

spiritualitas dan ilmu kedokteran jiwa. Kowalski J.A (1998) telah lama

menganjurkan agama dan psikiatri bekerja sama sebagai mitra dalam

permasalahan kesehatan jiwa individual maupun keluarga. Menurut dia konselor

agama maupun konselor psikiatri hendaknya bahu-membahu dalam meningkatkan

derajat kesehatan individual keluarga maupun masyarakat. Karena itu dari pihak

konselor agama hendaknya memahami dasar-dasar psikiatri, demikian pula

sebaliknya dari pihak konselor psikiatri hendaknya memahami prinsip-prinsip

dasar agama (Dadang Hawari,2002:62). Prosedur terapi medik-psikiatrik Dadang

Hawari tampaknya terpengaruh oleh pendapat tersebut.

65

Terapi medik-psikiatrik Dadang Hawari (2004) mempunyai prosedur.

Pertama,memberikan terapi medik dengan cara pasien diberikan obat-obatan

yang ditujukan pada kondisi fisik pasien, disebut juga sebagai terapi somatik.

Kemudian dilanjutkan langkah kedua, memberikan terapi psikiatrik dengan cara

pemberian obat-obatan yang ditujukan pada kondisi psikologik pasien, yaitu

dengan jenis obat-obatan yang disebut psikofarmaka; misalnya obat anti-cemas,

anti-depresi, anti-psikotik (skizofrenia) dan lain sebagainya. Selain dengan obat-

obatan jenis psikofarmaka juga diberikan psikoterapi dengan cara membantu

pasien untuk mengeluarkan semua gangguan jiwa yang ada dalam diri pasien,

termasuk psikoreligius terapi dengan menggunakan do’a dan zikir.

Sepintas prosedur terapi yang diberikan Dadang Hawari dianggap tepat

guna. Namun, apabila dilihat dari prosedur penyembuhan ilmu kedokteran akan

terasa ada kekurangannya. Prosedur penyembuhan menurut ilmu kedokteran

disamping memberikan terapi yang dilakukan oleh Dadang Hawari (jika tidak ada

terapi do’a dan zikir), juga memberikan (1) Terapi untuk melakukan kebiasaan

hidup sehat seperti makan, tidur, olah raga dan penyaluran hobi secara teratur.

(2) Melakukan re-edukasi yaitu mengubah pendapat-pendapat pasien yang salah

atau kurang tepat dan memberi pengertian tentang sebab-sebab penyakit yang

diderita. (3) Pengobatan pendukung berupa pengobatan sosio-kultural, menolong

menunjukkan jalan keluar masalah yang dialami pasien, dengan saran dan

pandangan yang sesuai kemampuan pasien, serta meningkatkan kemampuan

penyesuaian diri terhadap lingkungan. (4) Memberikan pengertian kepada

66

keluarga pasien untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi kesembuhan

pasien, karena tidak jarang yang menjadi sebab terjadinya keluhan adalah orang-

orang di sekitar pasien (Mudjaddid, 2000:70).

Dengan demikian prosedur terapi medik-psikiatrik Dadang Hawari kurang

memperhatikan pada aspek terapi re-adaptasi lingkungan sosial pasien. Hal ini

terjadi karena dia lebih menitik beratkan pada aspek spiritual pasien dengan

memberikan terapi do’a dan zikir.

Terapi do’a dan zikir, menurut Dadang Hawari tidaklah dalam sebuah

bentuk ritual yang harus dijalani, namun terapi do’a dan zikir menurutnya,

merupakan bacaan yang diucapkan secara lisan dan dalam hati yang berisikan

permohonan kepada Allah swt dengan selalu mengingat nama-Nya dan sifat-Nya.

Hal inilah yang menyebabkan terapi do’a dan zikir Dadang Hawari tampak biasa

saja. Karena terapi do’a dan zikir yang dibaca tidak disertai dengan olah

pernafasan maupun meditasi (Konsep Agama (Islam) Menanggulangi HIV/AIDS,

2002 : 112)

Walaupun demikian, do’a dan zikir sebagai alat terapi Dadang Hawari,

mempunyai korelasi positif dengan kesehatan, semakin sering berdo’a, maka

kesehatan semakin baik. Memuja, menyaksikan, bersyukur, mencari kedekatan,

menginginkan, memanggil atau berbicara kepada Tuhan adalah beberapa cara

orang berdo’a. Do’a adalah soal hati dan dapat dikomunikasikan tanpa kata-kata,

dalam keheningan, dalam lagu, tari atau perasaan kasih dan apresiasi.

Memusatkan energi melalui berdo’a adalah cara yang kuat agar dapat mencapai

67

kesehatan, penyembuhan dan keselarasan dalam kehidupan duniawi maupun

ukhrowi (Linda O’ Riordian, 2002:192-193).

Dari sudut ilmu kedokteran jiwa do’a dan zikir (psikoreligius terapi)

merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.

Menurut Dadang Hawari (2002:40) hal itu dikarenakan do’a dan zikir

mengandung unsur spiritual (kerohanian, keagamaan serta ketuhanan) yang dapat

membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) pada diri

seseorang yang sedang sakit; yang pada gilirannya kekebalan imunitas tubuh

meningkat sehingga mempercepat proses penyembuhan.

Menurut Herbert Benson (1991:10) mantra-mantra atau dalam Islam

disebut do’a dan zikir mempunyai efek menyembuhkan berbagai penyakit,

khususnya tekanan darah tinggi dan jantung. Fenomena yang paling populer

untuk menjelaskan hal ini menurutnya adalah fenomena plasebo. Plasebo adalah

pil bohong-bohongan, tepung biasa yang dibentuk seperti pil yang sebenarnya tapi

tidak mempunyai khasiat tertentu. Ternyata ketika diberikan kepada orang yang

sakit, pil ini mempunyai efek menyembuhkan yang sama dengan pil yang

sebenarnya. Bahkan terbukti bahwa misalnya plasebo yang lebih besar punya efek

menyembuhkan yang lebih besar dibandingkan plasebo yang lebih kecil.

Fenomena diatas dapat terjadi, karena pasien yakin bahwa obat (pil

bohong-bohongan) yang diberikan pada mereka dapat menolong. Di lain pihak,

ketika pasien diberi tahu bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat membantu maka

akan muncul gejala negatif atau efek nosebo. Komponen nosebo dan plasebo ini

68

ada dalam semua bentuk interaksi terapeutik. Kata-kata, harapan dan sistem

keyakinan serta respon penyembuhan merupakan faktor yang mempengaruhi

pemulihan pasien atau kematiannya (Linda O’Riordan R.N,2002:54).

Fenomena ini di dalam dunia kedokteran, sering dikonfirmasikan dalam

perbincangan populer sebagai sugesti. Ia menjelaskan, orang yang sedang sakit

apabila berhasil mensugesti dirinya atau disugesti bisa sembuh, cenderung akan

benar-benar sembuh. Bahkan, sering terjadi orang bisa sembuh dari penyakit-

penyakit yang dianggap tidak tersembuhkan hanya karena dia mempunyai

semangat untuk sembuh. Orang lain yang berpenyakit sama dengan semangat

sembuhnya yang kecil, peluang sembuhnya juga kecil. Bahkan kadang-kadang

orang yang tidak sakit tapi memiliki sikap was-was mengidap penyakit tertentu,

bisa menjadi sungguh-sungguh sakit (Haidar Baqir 2000: 12).

Dalam karya-karya Dadang Hawari penulis tidak menemukan penjelasan

bahwa do’a dan zikir merupakan efek plasebo sebagaimana pendapat Herbert

Benson di atas. Hal ini, dikarenakan mengandaikan do’a dan zikir sebagai plasebo

berarti meniadakan pengaruh dari do’a dan zikir terhadap kesembuhan pasien.

Meniadakan pengaruh do’a dan zikir tentu bertentangan dengan firman Allah

dalam surat Al-Mukmin ayat : 60

��������������������������������� ���������������������������������������������������� !�"��#��$� %�&�������������'�������(�)�*�����+�',���-./���0123

Artinya : “Dan Tuhanmu berfirman: Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka

69

Jahannam dalam keadaan hina dina”.(QS. al-Mukmin : 60) (Depag RI, 2000:767).

Dalam ayat di atas, Allah akan memperkenankan do’a hamba-Nya bila ia

mau berdo’a secara khusyuk, penuh kepasrahan dan menyerahkan diri. Namun,

Allah Yang Maha mengetahui dan yang kasih sayang-Nya tiada tara, ternyata

lebih sering memberikan kepada umat manusia apa yang mereka butuhkan, bukan

apa yang mereka minta. Hal ini menurut penulis bisa dianalogikan pada seorang

anak kecil berumur lima tahun yang menginginkan sepeda motor, tetapi atas dasar

kasih sayang orang tuanya (yang tentu saja dengan berbagai pertimbangan), maka

ia hanya diberikan sebuah sepeda kecil. Bagi orang yang sakit bila ia masih

membutuhkan untuk sembuh, lalu ia berdo’a agar diberi kesembuhan maka

peluang untuk sembuh lebih besar.

Karena itu, bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya bahwa do’a

merupakan obat ampuh dalam menyembuhkan suatu penyakit dan dapat

menghilangkan malapetaka, demikian halnya berzikir, membaca (ayat-ayat al-

Qur'an), merupakan cara yang ampuh untuk menyembuhkan suatu penyakit

( Muhammad Mahmud Abdullah, 1990:19).

Bila kenyataannya menunjukkan bahwa do’a dan zikir secara keseluruhan

tidak seampuh seperti yang diharapkan oleh orang yang berdo’a, maka harus

dilihat dari sudut pandang tertentu. Menurut Rahman Sani (2002:IV), bagi

penyembuh yang secara rutin menggunakan do’a dan zikir sebagai sarananya,

70

mereka berpendapat bahwa do’a dan zikir hanya berpengaruh pada penyakit

tertentu saja.

Selanjutnya dia menjelaskan tentang hal diatas dengan menggunakan

analogi pada pinisilin yang merupakan obat ajaib untuk radang tenggorokkan

yang disebabkan bakteri streptokokkus, ternyata sama sekali tidak bisa mengobati

tuberkulosis. Apabila kemajuan pinisilin diukur dari keefektifannya dalam

memberantas semua infeksi yang diketahui, tentunya kemampuan obat itu tidak

akan mencapai 20%. Namun, menurut dia penilaian pinisilin seperti ini tidak adil.

Karena penilaian suatu terapi itu idealnya dipandang dari efek yang dihasilkan

dalam kondisi-kondisi di mana suatu terapi tersebut berhasil. Dengan demikian,

efek do’a dan zikir idealnya juga dilihat sebagai model terapi yang berhasil

( Rahman Sani, 2002:VI-VII).

Menggunakan analogi do’a dan zikir dengan mengacu pada pinisilin

mungkin benar akan tetapi kurang bijak. Menurut penulis, apabila do’a dan zikir

merupakan kekuatan yang berasal dari Allah sebagai Yang Mutlak, maka

seharusnya do’a dan zikir itu manjur untuk semua masalah termasuk sembuh dari

penyakit. Namun, bila dicermati ternyata do’a dan zikir itu tidak hanya

menyangkut kekuatan Yang Maha Kuasa saja, tetapi do’a dan zikir itu juga

digerakkan oleh manusia yang merupakan mata rantai terlemah. Jadi, bila

kenyataanya do’a dan zikir tidak seampuh seperti yang diharapkan,

kekurangannya justru ada pada orang yang berdo’a , bukan pada do’a dan

zikirnya.

71

Sebagai seorang psikiater Dadang Hawari tampaknya tidak mau terjebak

dalam penjelasan secara normatif saja. Menurut dia, do’a dan zikir bagi

kesembuhan pasien bisa dijelaskan melalui teori psiko-neuro-imunologi. Ia

menjelaskan bahwa do’a dan zikir yang diucapkan pasien mempengaruhi pusat

syaraf dan diteruskan melalui serabut syaraf, ke kelenjar hormon (endokrin),

sehingga kekebalan tubuh manusia (imunitas) meningkat. Dengan meningkatnya

kekebalan tubuh itu berbagai penyakit dengan cepat dapat disembuhkan (Dadang

Hawari :2004).

Senada dengan pendapat di atas, Hembing Wijayakusuma Mawardi el

Shulthoni (2002 : 11) menjelaskan bahwa kondisi syaraf pusat yang menjadi

seimbang (balance) setelah berdo’a dan berzikir menstimulasi optimalisasi aksi

dan reaksi neurologis tubuh dalam meningkatkan kemampuan tubuh untuk

menyembuhkan diri sendiri (self healing). Efeknya bukan hanya membuat tubuh

seseorang mampu menangkal serangan penyakit, namun tubuh juga memiliki

kemampuan untuk meningkatkan kinerja bioelektrik dan neurotransmitter yang

dalam hal ini menjadi kunci sehat atau tidaknya tubuh.

Lebih lanjut dia menjelaskan, sebagai kesatuan mata rantai, efek

ketenangan berdo’a dan berzikir mampu meningkatkan proses regenerasi sel

syaraf ketika terjadinya perbaikan kondisi sistem syaraf pusat dan spinal cord.

Selanjutnya, proses pada cerebral cortex diperlancar, yang kesemua ini bereaksi

terhadap keseimbangan bio-kimia tubuh. Di samping itu, dengan berdo’a dan

berzikir secara khusyuk akan menyeimbangkan kondisi bio-elektrik pasien. Bio-

72

elektrik dan neurotransmitter menjadi seimbang yang selanjutnya berefek pada

optimalisasi kinerja organ tubuh secara keseluruhan dan menciptakan kemampuan

tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri (Hembing Wijayakusuma Mawardi el

Shulthoni, 2002:14).

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa do’a dan zikir

mempunyai peran yang sangat penting terhadap terapi medik-psikiatrik. Karena

do’a dan zikir itu dapat di fungsikan sebagai terapi psikorelegius bagi pasien.

Bahkan keduanya mempunyai kedudukan yang setingkat lebih tinggi

dibandingkan dengan psikoterapi umum. Peranan do’a dan zikir yang dimaksud

tidak hanya dapat dibuktikan dengan penjelasan secara normatif saja tetapi juga

dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan adanya terapi do’a dan zikir akan

mendukung kelengkapan terapi medik-psikiatrik. Namun agar lebih efektif terapi

do’a dan zikir terhadap pasien ini juga harus dipadukan denganterapi medik-

psikiatrik. Dengan demikian, terapi medik saja tanpa disertai do’a dan zikir

tidaklah lengkap, sebaliknya do’a dan zikir saja tanpa disertai terapi medik

tidaklah efektif.

B. Do’a dan Zikir Sebagai Faktor Esensial Terapi Medik-Psikiatrik dalam

Perspektif Bimbingan dan Konseling Islami

Terapi terpadu Dadang Hawari mempunyai prosedur. Pertama,

memberikan terapi medik untuk mengobati kondisi fisik pasien dengan pemberian

obat-obatan. Kemudian dilanjutkan langkah kedua, memberikan terapi psikiatrik

73

untuk mengobati kondisi psikis pasien dengan pendekatan konseling atau

psikoterapi, baru ditambah terapi psikoreligius untuk membangkitkan rasa

percaya diri pasien dengan menggunakan do’a dan zikir. Dengan demikian

menurut dia kondisi fisik diobati terlebih dahulu, baru kondisi psikologis pasien.

Menurut Thohari Musnamar (1992:38) Bimbingan dan konseling

Islami, mempunyai fungsi kuratif atau korektif untuk membantu individu

memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialami satu individu. Fungsi itu

dalam kegiatanya dijalankan dengan membantu individu untuk menemukan

alternatif pemecahan masalahnya. Karena dalam Bimbingan dan Konseling

Islami, pembimbing atau konselor, tidak memecahkan masalah, tidak menentukan

jalan pemecahan masalah tertentu , melainkan sekedar menunjukan alternatif

pemecahan yang disesuaikan dengan kadar intelektual masing-masing individu.

Menurut dia secara Islami, terapi umum bagi pemecahan masalah individu

seperti yang dianjurkan al Qur’an adalah berlaku sabar, membaca dan memahami

al Qur’an serta berzikir atau mengingat Allah.

Lebih lanjut, dia menjelaskan tentang berlaku sabar dengan mengutip al

Qur’an surat al-Baqarah ayat 155-157 sebagai berikut :

���������������4�5��6��� ��#���-�6������-�78 9��� ��:������ ��;��<������-�7=��>�!���������+��(��� �������!��?�����@>�!� ��A����/�B��� �,CDD3�������������$�EF��&�?�-���)��!��G�����H�����������������I�*��"� �J&����� ������ � �J�+��� �����,CD13�� ��)&�+�� �K�L�� �������)@!�"� ��-� EA����+�G

������ �%��)�/������M��K�L�� ��� �EF�/N�"� ,CDO3

74

Artinya :”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buhan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “inna lillahi wainna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan-Nya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Baqarah : 155-157) (Depag RI., 2000:39).

Menurut Hamdani Bakran adz Dzaky (2002:40), berlaku sabar adalah

sikap yang harus dianjurkan konselor pada kliennya dalam menghadapi persoalan

dan musibah yang menimpanya. Anjuran bersikap sabar itu menurut dia, dapat

ditempuh dengan cara pemberian nasehat pada klien untuk mengembalikan

seluruh persoalan kepada Allah, dengan jalan bertawakkal, berdo’a dan selalu

mendekatkan diri kepada-Nya. Konselor harus meyakinkan klien bahwa sikap

sabar adalah puncak sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya sikap. Karena dengan

sikap sabar itulah akan lahir perbaikan-perbaikan bagi klien, yaitu kebenaran

dengan kesejahteraan, rahmad dan hidayah-Nya, sesuai dengan maksud dari ayat

diatas.

Ayat diatas menjelaskan bahwa sebagai orang yang beriman, harus

mempercayai bahwa dibalik segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya.

Karena sesungguhnya semua yang di alami dalam hidup ini adalah cobaan dari

Allah supaya manusia dapat membuktikan sikapnya dalam menghadapi segala

macam ujian; untuk mengetahui seberapa jauh iman manusia dapat

mengendalikan dirinya (K.H Ali Yafie et al.1996:5).

75

Apabila seorang hamba mendapatkan ujian dari Allah maka yang dituntut

adalah agar dia bersabar dan berusaha menghibur diri (Ibnul Qoyyim Al Jauziah,

2003:3). Dengan tetap bersikap sabar seseorang diharapkan mampu menyadari

bahwa apa yang menjadi pilihan Allah bagi dia niscaya lebih baik dari pada

pilihannya sendiri (H.M.H. Al Hamid Al Husaini,1999:97).

Dengan demikian, menurut al-Qur'an yang diobati pertama-tama dan

terutama adalah mental, yaitu hati diberi kekuatan dan kepercayaan setelah itu

baru segi fisiologis dan lainya. Hal ini berbeda dengan prosedur terapi Dadang

yang mengobati masalah fisik pasien baru masalah mental atau kondisi sosial dan

psikologisnya .

Sehubungan dengan arti berlaku sabar di atas Dadang Hawari

mengimplementasikan dalam resep terapi pada pasien, dengan membaca ayat

sebagai berikut :

��>������)�P��QR���-���H��� ����&�5 Artinya : dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) Yang menyembuhkan aku

(Q.S. Asy-Syu’ara : 80) (Departemen Agama RI, 2000:579)

Hal itu menurut dia, dikarenakan seseorang yang sedang menderita suatu

penyakit, mempunyai kecenderungan untuk berkeluh kesah, tidak sabar dan

sering kali berburuk sangka (syu’udhan) kepada Allah, seperti mengatakan bahwa

Allah tidak adil. Oleh karena itu selain berusaha berobat pada dokter, hendaknya

pikiran atau perasaan buruk sangka terhadap Allah dihindari dengan membaca

dengan membaca dan memahami ayat di atas.

76

Pemecahan masalah dalam bimbingan dan konseling Islami yang kedua

yaitu dengan membaca atau tadarus Al Qur’an. Membaca atau tadarus Al Qur’an

yang dimaksud adalah membaca, memahami, menghayati dan mengamalkan

ajaran yang terkandung didalamnya (M.Arifin Ilham,2003:59). Menurut Thohari

Musnamar, (1992:39) hal itu dikarenakan Al Qur’an, selain merupakan petunjuk

hidup merupakan penawar bagi hati yang sedang tidak menentu. Sebagaimana

firman-Nya dalam surat al-Fusilat ayat : 44

������E=��5�S� �TU%�M����(�-��=�������+������M�V�$

Artinya :”Katakanlah, al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Fusilat : 44) (Depag RI., 2000:779).

Sementara itu Dadang Hawari dalam terapi psikorelegiusnya juga

memberikan resep dengan memberikan bacaan ayat Al Qur’an. Misalnya ketika

dia mendapati pasien yang sakit berkepanjangan, seringkali diliputi oleh rasa was-

was, bimbang dan ragu terhadap terapi medik-psikiatrik yang diberikan oleh

dokter (psikiater). Dalam kondisi yang demikian ini pasien mudah tersugesti oleh

anjuran orang lain untuk berobat ke dukun, paranormal dan sejenisnya; yang pada

gilirannya dapat memperparah penyakitnya. Untuk menghindari hal tersebut perlu

dipulihkan rasa percaya diri dengan membaca ayat berikut ini :

������W��(���@X���!� �H����� V�$ ,C3 ���W��(��� �K�+�-,Y3����W��(��� �J���� ,Z3 ���@��S� ��-�����W��(�<��� �W�������� ,[3 ��������W��(��� �" �%�G���P��W��������\����� ,D3 �����-

����W��(��� ��F�(���� ,13 Artinya : Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan

menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. dari

77

kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia (Q.S. an Nas : 1-6). (Departemen Agama RI, 2000:1121).

Pemberian ayat-ayat al-Qur’an untuk dijadikan do’a bagi pasien,

terkadang terasa tidak sesuai dengan kondisi yang dialami oleh pasien. Seperti

bacaan berikut ini :

1. Pasien yang diliputi kecemasan diminta untuk membaca do’a yang diambil

dari al-Qur’an Surat al-An’am ayat 48.

����������������]�+G��� ����-��=���/�P�����"��(�-� ������@>���-��̂ �����&�+����/����V��������-� �����������_̀ �����M��̂ � ���)&�+��E;��'��a�P

Artinya : Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi speringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-An’am : 48) (Departemen Agama RI, 2000:194).

Kandungan ayat di atas, apabila dibaca akan terasa tidak sesuai dengan

kondisi kecemasan yang dialami oleh pasien. Kecemasan yang dialami oleh

pasien adalah kecemasan atas penyakit yang dideritanya. Sedangkan ayat di

atas, kecemasan (bersedih hati) yang dimaksud adalah cemas atas azab,

karena tidak beriman kepada Allah (Hamka, 1983: 267). Walaupun demikian,

bisa jadi bacaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan sugesti kepada

pasien agar memperdalam keimanan kepada Allah, serta tetap bersikap tenang

atas penyakit yang sedang di deritanya.

78

2. Pasien yang seringkali merasa dirinya diliputi perasaan bersalah, dianjurkan

untuk membaca do’a :

��������U/&�N�"��U"��5�b�����c��J�+���������J�+������5d����� Artinya : Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisa’ : 106) (Departemen Agama RI, 2000:139)

Bacaan di atas juga akan terasa sangat janggal bila dibaca pasien yang

merasa dirinya berdosa. Bacaan di atas, merupakan perintah untuk meminta

ampun kepada Allah, bukan bacaan untuk meminta ampun. Sedangkan bacaan

yang biasa dibaca untuk seseorang yang merasa berdosa adalah

memperbanyak bacaan ���&eI���f��5d�� (aku mohon ampun kepada Allah

yang Maha Agung).

Selain kejanggalan di atas, bacaan do’a dan zikir yang diberikan Dadang

Hawari akan menjadi kendala bagi pasien yang awam (tidak bisa mengaji). Hal

ini sangat dimungkinkan terjadi, karena tidak semua pasien bisa mengaji atau

bahkan membaca huruf Arab. Alangkah sulitnya bagi pasien yang tidak bisa

mengaji diharapkan untuk selalu berdo’a dengan bacaan-bacaan yang cukup

panjang. Merasakan sakit yang diderita, sudah merupakan sesuatu yang sulit bagi

pasien, apalagi ditambah masalah untuk membaca do’a yang bagi dia dirasakan

sulit. Dengan demikian Dadang Hawari dirasa perlu untuk memberikan do’a yang

praktis bagi pasien.

Kegiatan pemecahan masalah dalam Bimbingan dan Konseling Islami

yang ketiga adalah melalui zikir atau mengingat Allah, dikarenakan dengan zikir

79

atau mengingat Allah maka hati menjadi tenang (Thohari Musnamar,1992:39).

Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Al-Ra’d ayat 28 :

�������c���!� ��)�!��+�$� ��L�/g��� � ���(�-��=� ��������������� ��L�/g��� �J�+��� ��c���!� ������ �J�+����X��+�9��,Yh3

Artinya :”Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram

dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”. (QS. Al-Ra’d : 28) (Depag RI., 2000:373).

Menurut Toto Tasmara (1999:149) pada hakekatnya , orang yang berzikir

itu sedang mendemonstrasikan gairahnya yang merindu, melangit, mengharap dan

menampilkan suasana batin berupa kesadaran makhluk dihadapan khaliknya.

Sehingga, membangkitkan panggilan hati nurani untuk melaksanakan kewajiban

dan rasa tanggung jawab dalam sorotan iradah Allah semata-mata (Toto Tasmara,

1999:149). Apabila seseorang dalam keadaan mengingat yang sesungguhnya,

tentu perenungan dan kegembiraan serta kebahagian hati juga menjadi keadaan

batinnya (Syekh Fadhalla Haeri, 2004:350).

Sementara itu Hembing Wijayakusuma dan Mawardi el Shulthoni

(2002:11) menjelaskan, bahwa ketenangan dan kestabilan yang dicapai dari

proses berdo’a dan berzikir merupakan salah satu bentuk etos kerja yang ditandai

dengan sikap ikhlas dan syukur sehingga mendatangkan keseimbangan mental-

spiritual yang terindikasi dalam prilaku sehari-hari.

Dengan demikian, orang yang senantiasa berzikir akan tetap gembira dan

bahagia meskipun sedang mendapat (ujian) masalah. Karena dia selalu mengingat

80

secara sadar, bahwa setiap masalah itu ada jalan pemecahannya dengan tetap ihlas

dan syukur. Dia juga sadar akan fitrahnya sebagai ciptaan Allah yang mempunyai

kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya. Sehingga selain akan memperoleh

kebahagiaan di dunia juga berharap mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.

Dengan terapi zikir ini maka tujuan bimbingan dan konseling Islami untuk

membantu individu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat diharapkan dapat

dicapai oleh klien.

Di dalamTerapi psikorelegius Dadang Hawari juga memberikan resep

zikir bagi pasiennya. Bahkan, terhadap pasien yang di rawat inap di bantu oleh

ustaz dan ustazah kegiatan berdo’a dan berzikir pasien selalu di pantau

(Wawancara:2004).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemberian do’a dan zikir sebagai

terapi yang digunakan dalam terapi psikorelegius oleh Dadang Hawari, sekilas

merupakan fungsi kuratif atau korektif dari Bimbingan dan Konseling Islami

dalam kaitanya membantu individu untuk memecahkan masalahnya.

Terhadap pasien rawat jalan fungsi konseling tersebut sangat mungkin

terjadi. Karena dengan rawat jalan berarti pasien sudah tidak dianggap sebagai

orang yang sakit. Dalam hal lainnya Dadang Hawari mempunyai nilai-nilai resep

tentang do’a dan zikir, tetapi tidak bisa memaksakan (mengontrol) pasien agar

mengamalkan do’a dan zikirnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dia bekerja

sama dengan individu yang normal, meskipun sedang menghadapi masalah, tetapi

81

masalahnya masih dalam batas yang normal juga (Hamdani Bakran adz Dzaky,

2002:222).

Namun, resep do’a dan zikir yang diberikan kepada pasien rawat inap,

termasuk dalam psikoterapi Islam. Karena dalam prosesnya psikiater berusaha

memaksakan do’a dan zikir dengan pengawasan yang ketat dibantu oleh ustadz

dan ustadzahnya. Perlunya rawat inap menunjukkan bahwa pasien masih

dianggap sebagai orang yang sakit. (Hamdani Bakran adz Dzaky, 2002:222).

Dari keseluruhan uraian tentang hubungan do’a dan zikir terhadap terapi

medik-psikiatrik, ada beberapa hal yang patut dicermati sebagai masukan bagi

Bimbingan dan Konseling Islami.

Pertama, terapi psikoreligius Dadang Hawari, apabila dicermati

menggunakan pendekatan psikologi transpersonal. Dalam psikologi transpersonal,

manusia dianggap mempunyai sebuah kesadaran ego dari jiwa rahasia.Dengan

jiwa rahasia inilah seseorang selalu mengingat Tuhan (Robert Frager, 2002:154).

Kesadaran tersebut dibutuhkan untuk mencapai kedamaian dan untuk mencari

makna positif dari kehidupan. Taraf kesadaran ini dapat dicapai melalui do’a dan

zikir secara khusyuk (Allen E. Ivey dan Lynn Simek Dowing, 1980:327).

Kedua, ruang lingkup bahasan bimbingan dan konseling Islami terbagi

menjadi beberapa kelompok, seperti pernikahan dan keluarga, pendidikan, Sosial

(kemasyarakatan), pekerjaan dan keagamaan (Thohari Musnamar, 1992:41-42).

Dengan demikian ruang lingkup bimbingan dan konseling Islami terlihat

berorientasi pada masalah psikis dan sosial. Berbeda dengan terapi psikoreligius

82

Dadang Hawari yang terlihat berorientasi pada permasalahan kesehatan fisik,

psikis dan sosial. Sehingga perlu dikembangkan dalam keilmuan Bimbingan dan

Konseling Islami yang dihadapkan kepada penderita penyakit jasmani yang juga

sekaligus membutuhkan dorongan psikologis. Hal ini dapat diimplementasikan

dengan memberikan Bimbingan dan Konseling Islami terhadap pasien di rumah

sakit.

Ketiga, langkah-langkah terapi psiksoreligius Dadang Hawari sangat

kental dengan nuansa Bimbingan dan Konseling Islami, yaitu :

a. Berusaha menyadarkan kepada pasien bahwa hidup harus seimbang antara

duniawi dan ukhrawi, baik dalam keadaan sehat atau sakit (Aunur Rahim

Faqih, 2001:26). Sehingga pasien diharapkan tidak hanya berikhtiar dalam

berobat, namun juga diiringi dengan berdo’a kepada Allah untuk memohon

kesembuhan.

b. Memberikan pengertian kepada pasien bahwa dalam melakukan ikhtiar

sesuatu yang diinginkan harus diiringi dengan kesabaran, tidak boleh putus

asa dan harus berbaik sangka (husn al-dhan). Dalam bimbingan dan konseling

Islami membenahi mental seseorang merupakan sesuatu yang harus dilakukan

pertama kali, setelah itu baru segi-segi yang lain.(Thohari Musnamar, 1992:

38).

c. Terapi psikoreligius Dadang Hawari, juga menggali kondisi psikologi yang

menjadi penyebab pasien menderita sakit fisik, seperti difitnah, karena

perasaan berdosa atau dizalimi oleh orang lain. Begitu juga dengan bimbingan

83

dan konseling Islami yang menggali penyebab terjadinya gangguan psikologis

klien, sehingga dapat dilihat faktor-faktor penyebab timbulnya masalah pada

diri klien.(Thohari Musnamar, 1992:37)