Upload
vothu
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
41
BAB V
PROSES TERBENTUKNYA MODAL SOSIAL
5.1 Pengalaman HIMPPAR
Ide untuk mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Papua
Barat (HIMPPAR) Salatiga, datang dari para mahasiswa utusan GKI yang ketika itu
(tahun 70-an) menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Atas ide ini kemudian pada tahun 1973 mereka (mahasiswa utusan GKI) membentuk
suatu organisasi yang disebut Perhimpunan Mahasiswa Irian Jaya (PERMINIJA)
Salatiga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari kutipan hasil wawancara penulis
dengan Bapak Pendeta Elly Doirebo pada tanggal 3 Januari 2013, sebagai berikut:
“Organisasi yang kini dikenal sebagai Himpunan Mahasiswa dan
Pelajar Papua Barat (HIMPPAR) pada awalnya lahir dari ide para
mahasiswa utusan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, yang
ketika tahun 70-an menempuh pendidikan di Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Dari ide ini kemudian mahasiswa utusan
GKI yang ketika itu seperti Alm Bapak Steve Kakisina, Alm.
Bapak Tommy Ireuw, membentuk suatu organisasi yang diberi
nama Perhimpunan Mahasiswa Irian Jaya (PERMINIJA). Tujuan
organisasi ini, yaitu menghimpun siapa saja yang datang dari Papua
(Irian ketika itu), yang merupakan utusan GKI.
Dalam perjalanan HIMPPAR hingga saat ini, organisasi ini telah mengalami
dua kali perubahaan nama. Perubahan nama ini terjadi lebih karena alasan
situasional, dan bentuk solidaritas. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Bapak
Doirebo yang mengatakan bahwa:
“Setelah PERMINIJA terbentuk dia terus berjalan hingga tahun
1986. Pada tahun 1986 sudah ada beberapa mahasiswa dan pelajar
yang bukan utusan GKI, yang datang ke Kota Salatiga. Terus
karena mempertimbangkan hal itu, mahasiswa Papua yang ketika
itu ada seperti Jack Donggori dan beberapa mahasiswa utusan GKI
42
lainnya. Kemudian membuat pertemuan dan merubah nama
organisasi ini dari Perhimpunan Mahasiswa Irian Jaya
(PERMINIJA), menjadi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Irian
Jaya (HIPMIJA) Salatiga.
Dengan adanya pergantian nama ini maka tujuan dari HIPMIJA
ketika itu tidak lagi hanya menghimpun para utusan GKI yang
datang ke Salatiga untuk bersekolah. Tapi tujuan organisasi ini
berubah, yaitu menghimpun semua pelajar atau mahasiswa Papua
(Irian ketika itu) yang ada di Salatiga, untuk menjadi anggota
HIPMIJA.
Pada tahun 1999, sebagai bentuk solidaritas mahasiswa dan pelajar
Papua di Salatiga terhadap perjuangan masyarakat Papua dalam hal
pencarian jati diri. Maka ketika itu anggota HIPMIJA bersepakat
untuk menganti nama organisasi dari Himpunan Pelajar dan
Mahasiswa Irian Jaya (HIPMIJA), menjadi Himpunan Mahasiswa
dan Pelajar Papua Barat (HIMPPAR) Salatiga”.
Lebih lanjut ketika penulis menanyakan kepada Bapak Doirebo tentang
bagaimana awalnya sehingga mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang berasal
dari latar belakang suku, budaya, bahasa dan agama yang berbeda. Mau untuk
bergabung menjadi satu dalam organisasi HIMPPAR. Bapak Doirebo kemudian
menjawab sebagai berikut:
“saat itu mereka mau bergabung karena sebelumnya mereka sudah
membuat satu kesepakatan pada suatu pertemuan. Dimana dalam
pertemuan itu, mereka bersepakat bahwa untuk kota Salatiga hanya
ada satu organisasi etnis Papua atau Irian. Kesepakatan ini diambil
dengan banyak pertimbangan seperti jumlah orang Papua di
Salatiga masih sedikit, terus karena Kota Salatiga kota kecil jadi
kalau bentuk sendiri-sendiri takutnya bisa terjadi konflik, kemudian
karena ingin membangun suatu kekuatan ditanah rantau dan lain-
lain. Tetapi satu alasan utama yang membuat ketika itu mereka mau
untuk bergabung, yaitu karena mereka merasa bahwa, walaupun
mereka berbeda suku, bahasa dan agama. Namun mereka berasal
dari satu provinsi yang sama, yaitu Irian atau Papua”. (wawancara,
3 Januari 2013)
Berdasarkan jawaban dari bapak Doirebo, penulis lalu melanjutkan
pertanyaan dengan meminta bapak Doirebo untuk menceritakan pengalamannya
43
tentang bagaimana cara HIMPPAR mengumpulkan anggotanya tiap tahun pada saat
beliau masih di Salatiga. Bapak Doirebo kemudian menceritakan bahwa;
Sejak saya mengenal dan menjadi bagian dari HIMPPAR Salatiga
dari tahun 1989 hingga tahun 2004. Hampir tiap tahunnya
HIMPPAR melakukan hal yang sama untuk mengumpulkan
anggota barunya. Cara yang mereka buat adalah mencari para
mahasiswa dan pelajar Papua yang baru datang dari Papua ke
Salatiga. Kemudian mengundang mereka dalam satu pertemuan.
Terus menjelaskan pada mereka hal-hal tentang organisasi
HIMPPAR, contohnya memberi mereka pemahaman bahwa di
Salatiga hanya ada satu organisasi etnis Papua, yaitu HIMPPAR,
dan juga alasan mengapa hanya ada satu organisasi etnis Papua di
Salatiga. Contoh lainnya itu menjelaskan tentang keuntungan-
keuntungan bila mereka bergabung dengan HIMPPAR. Setelah itu
pengurus atau senior HIMPPAR tidak pernah memaksa mereka
bergabung. Itu semua keputusan pribadi mereka, kalau mereka
kalau mau ikut berarti datang dalam kegiatan penerimaan anggota
baru, atau aktif dalam kegiatan HIMPPAR lainnya”.
Hingga saat ini, dalam hal menghimpun mahasiswa atau pelajar yang baru
datang dari Papua ke Salatiga. HIMPPAR tetap mengunakan cara-cara seperti yang
diceritakan oleh Bapak Doirebo. Hal ini dapat dilihat dari wawancara penulis dengan
saudara To Moresbi Sawor, selaku ketua BPH-HIMPPAR saat ini. Dalam wawancara
pada tanggal 20 September 2012 , tersebut Moresbi Sawor menjelaskan bahwa ;
“untuk menghimpun mahasiswa atau pelajar yang baru datang dari
Papua ke sini. Pengurus yang dibantu oleh teman-teman HIMPPAR
lainya. Mencari tahu infromasi tentang mereka, lalu menemui
mereka dan mengundang mereka dalam pertemuan yang dibuat
oleh BPH. Dalam pertemuan tersebut kita menjelaskan sedikit
tentang HIMPPAR, seperti menjelaskan bahwa HIMPPAR adalah
satu-satunya panguyuban etnis Papua di Salatiga. Terus
menjelaskan bahwa organisasi HIMPPAR adalah organisasi yang
menghimpun semua orang yang datang dari Papua ke sini, tanpa
membeda-bedakan suku, agama, bahasa, kulit atau apa saja.
Dalam pertemuan itu juga kita meminta kesedian mereka untuk ikut
makrab HIMPPAR. Pada saat makrab itulah kita menerima mereka
sebagai anggota HIMPPAR dan memperkenalkan mereka pada
anggota HIMPPAR lainya. Serta menjelaskan hal-hal lebih jauh
tentang HIMPPAR. Hal-hal yang dijelaskan pada saat makrab
44
antara lain struktur organisasi HIMPPAR, bagaimana manfaat
organisasi HIMPPAR bagi mereka, hingga pola pergaulan dalam
HIMPPAR yang tidak membedakan suku, agama, bahasa, kulit atau
apa saja. Tetapi pada intinya dalam setiap acara makrab. Kita mau
untuk menanamkan pemikiran pada adik-adik bahwa siapapun
orangnya, mau keriting, lurus, hitam, putih dan sebagainya. Tetapi
kalau dia datang dari Papua atau dia orang Papua, dia adalah
saudara kita. Jadi kita harus merangkul dia.
Dalam wawancara pada tanggal 20 September 2012, yang penulis lakukan
dengan saudara To Moresbi Sawor selaku ketua BPH HIMPPAR saat ini. Penulis
juga menanyakan tentang strategi BPH HIMPPAR untuk membina persahabatan
yang erat antar anggota HIMPPAR. To Moresbi memberikan jawaban bahwa:
“Strategi kami dalam membina keakraban anggota HIMPPAR,
tidak jauh berbeda dengan strategi yang diterapkan oleh
kepengurusan-kepengurusan sebelum kamu. Strategi kamu adalah
membuat dan mengiplementasikan program-program kerja yang
bertujuan meningkatkan rasa kebersamaan antar anggota
HIMPPAR. Program-program kerja itu antara lain: makrab,
rekreasi bersama, perlombaan sepak bola, bola Volly, ibadah dan
sebagainya”.
Sebagai usaha penulis untuk mencari tahu tentang bagaimana sehingga dapat
terbentuknya jaringan sosial dan adanya rasa saling percaya diantara anggota
HIMPPAR. Penulis kemudian mewawancarai tiga orang anggota HIMPPAR yang
tidak penulis sebutkan namanya. Pada wawancara yang penulis lakukan secara
bersama-sama terhadap ketiga anggota HIMPPAR tersebut. Hal pertama yang
penulis coba tanyakan adalah tentang bagaimana mereka masing-masing dapat
mengenal kampus UKSW (Kota Salatiga) sehingga mereka mau datang ke sini dan
bagaimana mereka mengenal dan bergabung dengan HIMPPAR. HIMPPAR. Mereka
kemudian masing-masing menceritakan pengalaman sebagai berikut:
“Saya (papua A) tahu UKSW karena waktu itu ada tim promosi
UKSW yang datang ke saya punya sekolah dan memperkenalkan
UKSW adalah kampus Kristen yang ada di Salatiga, dengan
fakultas, fasilitas bermacam-macam. Dari situ saya tertarik masuk
45
UKSW dan kemudian saya sampekan maksud itu pada bapa dan
mama. Mereka setuju dan siap biayai saya, juga antar saya ke sini.
Terus saya punya Bapa telepon dia punya teman yang di Semarang,
supaya bantu urus saya punya pendaftaran di UKSW sekaligus cari
kos di Salatiga. Waktu itu memang saya titip pesan supaya kalau
pace dia cari kos, cari kost yang ada anak Papua. Akhirnya saya
dapat antar dari saya punya bapa ke sini dan dijemput sama Pace
dia. Dia langsung bawa saya ke kost yang sudah dia pesan. Di kos
itu sudah saya kenal dengan Papua C dan anak-anak Papua lain
yang tinggal disitu. Mereka-mereka ini sudah yang perkenalkan
saya dengan HIMPPAR. Saya bergabung dengan HIMPPAR
memang tidak melalui kegiatan makrab dan lain-lain. Tapi karena
saya sering main dengan anak-anak Papua lain dan sering ikut-ikut
acara HIMPPAR akhirnya saya juga dianggap anggota
HIMPPAR”.
“Kalau saya (Papua B) saya tahu tentang kampus UKSW dari saya
punya kaka kompleks yang kuliah di sini. Karena setiap dia pulang
ke sana dia cerita-cerita tentang Salatiga dan UKSW akhirnya saya
tertarik datang ke sini. Terus saya minta bantu dia urus saya untuk
mau datang kulia di sini. Dia lalu urus saya punya pendaftaran
sampai tempat tinggal dan saya datang ke sini juga dia yang
jemput. Dari dia juga saya kenal HIMPPAR dan mau ikut acara
makrab HIMPPAR supaya bisa bergabung dengan HIMPPAR”.
“Saya (Papua c) mungkin hampir sama dengan Papua B, saya juga
tahu UKSW dan mau kuliah di sini karenan saya punya kaka
sepupu, yang kuliah di sini. Dia juga yang urus saya punya semua-
semua di sini, sampai dia juga yang perkenalkan saya dengan
HIMPPAR. Saya bergabung dengan HIMPPAR setelah saya ikut
makrab HIMPPAR”.
Setelah mendengar cerita-cerita mereka, kemudian penulis meminta mereka
menceritakan bagaimana mereka biasa saling kenal dan bersahabat, padahal mereka
berbeda angkatan kuliah, suku, bahasa dan agama. Kemudian mereka yang diwakili
oleh Papua A menceritakan pengalama mereka sebagai berikut:
“Saya ketemu pertama kali dengan Papua B waktu rapat-rapat
persiapan makrab buat angkatan mereka. Tapi waktu itu baru
sebatas kenal dan belum terlalu akrab. Saya kenal dia dengan akrab
waktu dia selesai ikut makrab HIMPPAR. Terus saya beli minuman
dan saya, ajak Papua B untuk ikut minum, dan ternyata dia mau.
Akhirnya saya, Papua B dan Papua C, Kita tiga minum sama-sama.
46
Dari situ antara saya, Papua B dengan Papua C kita mulai
berteman. Kita sering miras sama-sama, jalan ke kampus sama-
sama, pergi makan sama-sama, saling bantu kita punya susah dan
lain-lain. Kita mau untuk berteman dan punya rasa percaya antara
kita karena, pertama kita sudah saling kenal dan yang kedua karena
kita merasa bahwa kita sama-sama anak Papua yang datang dari
Papua, walaupun memang kita tidak berasal dari satu daerah yang
sama, tidak satu suku, tidak satu bahasa. Selain itu juga karena
dalam pergaulan sehari-hari kaka-kaka selalu mengingatkan kita
untuk saling baku jaga, baku sayang. Sedangkan saya kenal Papua
C karena waktu datang pertama kali ke Salatiga. Saya kos sama-
sama dengan dia yang sudah datang satu tahun sebelum saya. Jadi
akhirnyan kita dua dapat saling kenal dan saling percaya dan
berteman akrab”.
Setelah mendengar cerita mereka tentang pengalaman mereka atau proses
sehingga mereka dapat bergaul dengan akrab. Penulis kemudian melanjutkan
pertanyaan dengan menanyakan pada mereka tentang bagaimana kontribusi
HIMPPAR pada mereka ketika ada permasalahan yang mereka hadapi. Serta
semenjak bergabung dengan HIMPPAR apa saja yang telah mereka lakukan buat
HIMPPAR. Mereka lalu menjawab pertanyaan yang penulis ajukan, seperti kutipan
wawancara berikut ;
Papua A: “Saya sendiri belum merasakan secara langsung
bagaimana BPH membantu saya dalam permasalahan-
permasalahan yang saya hadapi. Karena mungkin saya masih dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan yang saya hadapi. Tapi
mungkin bagi saya kontribusi HIMPPAR pada saya itu dalam hal
memperkenalkan saya dengan banyak teman-teman yang berasal
dari Papua dan non papua. Terkait apa yang saya buat bagi
HIMPPAR. Saya biasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan HIMPPAR
dan juga membantu menyukseskan kegiatan-kegiatan HIMPPAR
seperti ibadah, makrab HIMPPAR dan lain-lain”.
Papua B: “Kalau untuk kontribusi HIMPPAR bagi saya dan
kontribusi saya pada HIMPPAR mungkin jawabanya sama dengan
Papua A”.
Papua C : “Kalau saya dalam hal memberikan kontribusi bagi
HIMPPAR itu mungkin sama seperti penjelasan Papua A.
Sedangkan dalam hal Kontribusi HIMPPAR bagi saya, itu saya
47
rasakan ketika saya terlibat permasalahan dengan lingkungan
tempat tinggal saya yang dulu. Pada saat itu, saya memberitahukan
hal tersebut pada Papua A. Papua A langsung telepon ketua
HIMPPAR dan ketua HIMPPAR bersama beberapa teman-teman
HIMPPAR datang. Mereka datang dan segera bicara dengan ketua
RT setempat untuk menyelesaikan permasalah tersebut, dan
akhirnya permasalah tersebut dapat terselesaikan”.
Berdasarkan jawaban mereka tentang kontribusi HIMPPAR bagi mereka.
Ditempat yang berbeda, penulis kemudian mengajukan pertanyaan yang kurang lebih
sama pada saudara To Moresbi Sawor selaku ketua BPH HIMPPAR. To Moresbi
kemudian menjawab ;
“Bentuk nyata dari kontribusi HIMPPAR bagi anggotanya, yaitu
memperdayakan kebersamaan yang dimiliki HIMPPAR untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh masing-masing
anggota. Salah satu contohnya kalau ada anggota HIMPPAR yang
berduka dan diketahui oleh BPH. BPH akan langsung
mengeluarkan surat edaran dan list bagi para anggota yang lain.
Guna memberikan bantuan dalam bentuk sumbangan uang secara
sukarela untuk membantunya. Juga biasanya BPH dan beberapa
teman-teman yang sempat. Datang ke rumah atau kos dari anggota
yang berduka tersebut guna menyampaikan turut berduka cita, dan
juga lebih dari itu untuk dapat membantunya dan menghiburnya.
Sedangkan kontribusi anggota dalam mensukseskan tujuan
organisasi ini, mungkin dapat terlihat dari keaktifan mereka dalam
hal membantu dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang di buat
oleh BPH HIMPPAR”.
Terlepas dari kontribusi HIMPPAR bagi anggotanya atapun sebaliknya
anggota kepada HIMPPAR. Penulis kemudian melanjutkan pertanyaan guna
mengetahui tentang kerja sama atau relasi-relasi yang HIMPPAR buat dengan
organisasi, lembaga atau institusi lain. To Moresbi kemudian menjelaskan ;
“Walaupun memang kalau dilihat dalam Anggaran dasar maupun
Anggaran Rumah Tangga HIMPPAR. HIMPPAR adalah organisasi
yang independen, namun bukan berarti HIMPPAR tidak menjalin
kerja sama dengan organisasi, lembaga atau institusi lainnya.
HIMPPAR punya kerja sama dengan berbagai organisasi, lembaga
48
atau institusi lainnya. Walaupun kerja sama tersebut tidak tertulis
atau dalam bentuk MOU, tetapi HIMPPAR telah menjalin kerja
sama atau relasi yang baik dengan mereka. Contohnya HIMPPAR
membuat relasi atau kerja sama dengan organisasi atau panguyuban
dari etnis-etnis lain yang ada di kota Salatiga, juga dengan P3B dan
dengan UKSW. Dalam hal tujuan mengapa HIMPPAR menjalin
relasi atau kerja sama dengan satu organisasi, lembaga atau institusi
tertentu. Tujuan tersebut berbeda-beda, artinya sesuai dengan
kepentingan HIMPPAR. Contohnya HIMPPAR menjalin kerja
sama atau relasi dengan etnis-etnis lainnya itu bertujuan agar
menjaga kerukukan dan kebersamaan di Kota Salatiga. Sedangkan
Tujuan HIMPPAR membangun relasi dengan kampus UKSW,
yaitu agar dengan segala fasilitas yang ada, kampus UKSW dapat
membantu, mengayomi, membina, dan mengarahkan HIMPPAR”.
Pernyataan To Moresbi (ketua HIMPPAR) tentang kerja sama atau relasi
HIMPPAR dengan pihak Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Semakin diperkuat dengan wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Yafet
Rissy (Wakil Rektor III UKSW) selaku wali studi mahasiswa Papua di Salatiga.
Berikut merupakan kutipan wawancara pada tanggal 8 februari 2013 dengan Bapak
Yafet, yang memperkuat pernyataan To Moresbi :
“UKSW memang tidak membuat ikatan formal dengan HIMPPAR,
tetapi dengan ditetapkannya WR III sebagai wali studi mahasiswa
Papua. Maka secara tidak langsung ada terjalin hubungan antara
HIMPPAR dan pihak UKSW. Karena sebagaian besar anggota
HIMPPAR adalah mahasiswa asal Papua yang kuliah di kampus
UKSW Salatiga”,
Sebagai salah satu bukti tentang adanya hubungan atau relasi antara UKSW
dan HIMPPAR, yaitu dari kutipan wawancara pada tanggal 13 februari 2013 penulis
dengan Bapak Ferry Karwur selaku simpatisan HIMPPAR. Berikut kutipan
wawancara tersebut ;
“Dulu kami dari kampus sering diminta atau diajak oleh teman-
teman Papua atau HIPMIJA ketika itu. untuk membawakan materi
latihan dasar kepemimpinan mahasiswa (LKDM). Bagi anggota
HIPMIJA yang baru bergabung dengan HIPMIJA”.
49
Demikian pengalaman HIMPPAR yang dapat penulis ceritakan pada bagian
ini. Pembahasan pada bagian ini bermaksud untuk mengambarkan bagaimana proses
terbentuknya rasa saling percaya, kesepahaman nilai atau norma dan jaringan sosial
diantara anggota HIMPPAR. Tujuan menggambarkan proses terbentuknya ketiga hal
ini, sebagai elemen utama pembentuk modal sosial. Untuk itu dengan menjelaskan
proses terbentuknya ketiga hal ini, maka secara tidak langsung telah menjelaskan
proses terbentuknya modal sosial pada mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga yang
terorganisir dalam HIMPPAR.
5.2 Faktor-Faktor Pembentuk Modal Sosial
Secara umum faktor-faktor pembentuk modal sosial dapat diartikan sebagai
faktor-faktor atau aspek-aspek yang mempengaruhi atau menyebabkan adanya atau
terbentuknya tiga elemen utama dari modal sosial, yaitu jaringan sosial,
kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya. Artinya faktor-faktor atau aspek-aspek
inilah berpengaruh secara dominan terhadap terbentuknya jaringan sosial,
kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya, dalam suatu kelompok masyarakat.
Faktor-faktor atau aspek-aspek pembentuk modal sosial ini dapat diketahui apabila
terlebih dahulu ada gambaran tentang proses terbentuknya modal sosial dalam suatu
kelompok masyarakat.
Untuk itu sesuai dengan pembahasan tentang pengalaman HIMPPAR yang
telah dibahas pada awal bab ini. Sebenarnya telah dapat mengambarkan tentang
bagaimana proses terbentuknya modal sosial di HIMPPAR. Sehingga pada bagian ini
penulis akan membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
terbentuknya jaringan sosial, kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya, diantara
anggota HIMPPAR.
50
Untuk itu apabila mengkaji tentang pengalaman HIMPPAR yang telah dibahas
pada awal bab ini. Terdapat tiga faktor utama yang berperan sehingga dapat
terbentuknya tiga elemen utama dari modal sosial. tiga faktor utama tersebut, yaitu :
1. Peran Senior
Dalam suatu organisasi, biasanya senior memang orang-orang yang sudah lama
aktif dan mengembangkan organisasi itu. Mereka adalah perintis atau generasi kedua
yang paling banyak tahu perjalanan organisasi. Karena itu kehadiran senior menjadi
penting bagi suatu organisasi, terutama untuk menjaga keutuhan visi-misi dan
mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Untuk itu peran senior adalah hal yang
berpengaruh dalam suatu organisasi.
Untuk itu apabila melihat pengalaman HIMPPAR yang telah penulis bahas
pada bagian awal bab ini. Nampak bagaimana berperannya para senior sehingga
dapat terbentuknya modal sosial diantara mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga
yang terorganisir dalam HIMPPAR. Peran senior dalam membentuk modal sosial
nampak dari beberapa hal, yaitu :
a. Membentuk Organisasi
Peran senior dalam membentuk organisasi dapat dikatakan sebagai suatu hal
yang mempengaruhi terbentuknya modal sosial diantara mahasiswa dan pelajar
Papua di Salatiga yang terorganisir dalam HIMPPAR, karena dengan adanya upaya
atau peran senior untuk membentuk organisasi HIMPPAR. Sehingga organisasi
HIMPPAR ini kemudian dapat menjadi wadah terbentuknya modal sosial antara
mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga.
b. Meletakan Dasar Organisasi
Peran senior dalam hal meletakan dasar organisasi merupakan hal yang
berpengaruh terhadap terbentuknya modal sosial. Karena dengan adanya dasar-dasar
organisasi berupa aturan (norma-norma) tertulis dan tidak tertulis. Akhirnya dengan
adanya dasar-dasar organisasi berupa aturan (norma-norma) tertulis dan tidak
51
tertulis. Maka dasar-dasar organisasi berupa aturan (norma-norma) tertulis dan tidak
tertulis inilah yang menjadi perekat sosial yang mengikat para anggota HIMPPAR.
Sebagai salah satu contoh dasar organisasi berupa aturan atau norma tidak
tertulis yang dibuat oleh para senior yang menjadi perekat sosial yang mengikat para
anggota adalah “walapun kita berbeda suku, bahasa dan agama. Namun kita berasal
dari satu provinsi yang sama, yaitu Irian atau Papua”. Hal inilah kemudian menjadi
perekat sosial diantara anggota HIMPPAR (lihat kutipan wawancara dengan anggota
HIMPPAR, hal 47).
c. Peran Senior Dalam Mentransformasi Nilai-Nilai (Norma)
Peran senior dalam mentransformasi nilai-nilai atau norma-norma yang ada.
Dianggap sebagai salah satu hal yang berpengaruhi terhadap pembentuk modal
sosial, karena dengan adanya peran senior untuk mentrasformasikan niolai-nilai atau
norma-norma yang ada. Sehingga nilai-nilai tersebut dapat terus dijalankan atau
diamalkan oleh anggota HIMPPAR. Khususnya nilai-nilai yang berfungsi menjadi
perekat sosial diantara para anggota.
Dengan adanya perekat sosial tersebut akhirnya dapat membuat anggota
HIMPPAR mau untuk berinteraksi antara satu dan lainnya. Kemudian muncul
jaringan sosial, kesepahaman norma dan saling percaya diantara mereka.
2. Kemampuan Pemimpin
Organisaasi ditandai adanya kepemimpinan, dan hal ini termasuk kedalam salah
satu faktor penting bagi keorganisasian. Kemampuan pemimpin dalam suatu
organisasi lebih tegas disampaikan oleh Courtrius dalam Djatmiko 2002;10. Courtrius
berpendapat bahwa tiada oraganisasi tanpa pemimpin. Karena itu organisasi tanpa
pemimpin ibarat tubuh tanpa kepala. Dia akan mudah sesat, panik, kacau, dan Anarki.
Untuk itu kemampuan pemimpin sangat berpengaruh terhadap maju, mundur dan
pencapaian tujuan organisasi.
Dari pernyataan Davis dan Courtrius tentang peran pemimpin dalam suatu
52
organisasi. Telah dapat membuktikan bahwa kemampuan pemimpin merupakan salah
satu faktor terpenting dalam suatu organisasi. Karena kemampuan pemimpin akan
berpengaruh langsung terhadap maju, mundur dan pencapaian tujuan organisasi.
Untuk itu apabila dikaitkan dengan terbentuknya jaringan sosial, kesepahaman
nilai/norma, dan rasa percaya diantara anggota HIMPPAR. Tentunya tidak terlepas
dari kemampuan pemimpinya dalam membentuk tiga eleman utama modal sosial
tersebut. Faktor Kemampuan pemimpin yang mempengaruhi terbentuknya jaringan
sosial, kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya diantara anggota HIMPPAR, yaitu
Kemampuan Untuk Menghimpun Anggotanya
Kemampuan pengurus HIMPPAR untuk menghimpun anggotanya berpengaruh
terhadap pembentuk modal sosial. Karena dengan adanya kemampuan pengurus
dalam mengumpukan anggotanya. Sehingga pengurus dapat menciptakan kegiatan-
kegiatan yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial antar sesama anggota
HIMPPAR. Dengan adanya interaksi sosial antara sesama anggota, akhirnya lahir
jaringan sosial, kesepahaman nilai-nilai dan rasa saling percaya diantara sesama
anggota HIMPPAR Salatiga.
2. Kemampuan Anggota
Keberadaan anggota dalam suatu organisasi, merupakan salah satu hal penting
dalam keberlangsungan organisasi. Karena seperti yang diuangkapkan Davis dalam
Djatmiko 2002;11, bahwa selain kemampuan Pemimpin, kemampuan anggota adalah
salah satu penentu dalam keberlangsungan organisasi.
Secara umum anggota suatu organisasi harus memiliki kemampuan untuk
memahami tugas dan tanggung jawab, serta haknya dalam organisasi. Dengan
memahami tugas dan tanggung jawab dari masing- masing anggota. Para anggota
suatu organisasi diharapkan dapat bersinergi untuk kemajuan organisasi. Untuk itu
kemampuan anggota organisasi merupakan salah satu hal penting dalam mencapai
tujuan organisasi.
53
Dengan demikian apabila dihubungkan antara kemampuan anggota dan
terbentuknya jaringan sosial, kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya diantara
anggota HIMPPAR. Maka adapun beberapa kemampuan anggota HIMPPAR yang
mempengaruhi proses terbentuknya modal sosial di HIMPPAR, yaitu :
a. Kemampuan Berinteraksi
Kemampuan berinteraksi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi
terbentuknya modal sosial. Karena dengan kemampuan mereka berinterkasi
antara satu dengan yang lainnya (sesama anggota HIMPPAR). Karena dengan
adanya inetraksi yang terjadi diantara mereka. Memungkinkan terciptanya
jaringan sosial, kesepahaman nilai/norma, dan rasa percaya diantara anggota
HIMPPAR.
b. Kemampuan Memberlakukan Nilai-Nilai (Norma)
Kemampuan anggota HIMPPAR untuk memberlakukan nilai-nilai atau norma
yang ada dan telah disepakti. Membuat diantara mereka dapat tercipta jaringan
sosial yang kuat. Contoh norma-norma yang ditaati dan berdampak pada
terciptanya jaringan sosial, yaitu menjunjung tinggi HIMPPAR sebagai satu-
satunya organisasi etnis Papua di Salatiga. Juga seperti dalam pergaulan antar
mereka, mereka tidak membedakan suku, agama dan bahasa dan lain sebagainya.
5.3 Tipe Modal Sosial
Berdasarkan pengalaman HIMPPAR yang telah penulis ceritakan pada awal
bab ini. Dapat terlihat bagaimana proses terbentuknya jaringan sosial, kesepahaman
norma-norma dan rasa kepercayaan diantara sesama mahasiswa dan pelajar Papua di
Salatiga yang tergabung dalam HIMPPAR. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui
organisasi HIMPPAR, terlahir suatu jaringan sosial, kesepahaman norma-norma dan
rasa kepercayaan.
Dengan demikian dalam bagian ini, penulis akan membahas tentang
bagaimana tipe modal sosial yang dikembangkan oleh HIMPPAR dan juga sekaligus
mengkategorikan tipologi modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR.
54
Berdasarkan tipe modal sosial yang dikembangkan oleh HIMPPAR. tentang tipe
modal sosial yang dimiliki.
1. Social Bounding
Apabila melihat latar belakang dari para mahasiswa dan pelajar Papua di
Salatiga, yang merupakan individu-individu yang datang dari Papua dengan latar
belakang suku, bahasa dan agama yang berbeda-beda. Tentunya ada satu model atau
cara yang dikembangkan oleh HIMPPPAR, guna mempererat para anggotanya.
Untuk itu, apabila mengacu pada pengalaman HIMPPAR yang telah penulis paparkan
pada awal bab ini. Dapat terlihat bahwa salah satu model yang digunakan oleh
HIMPPAR, guna mempererat para anggotanya, yaitu menciptakan perekat sosial
yang mengikat mereka. Perekat sosial mengikat, yang diciptakan oleh HIMPPAR
adalah rasa kesamaan daerah asal. (lihat kutipan wawancara dengan To Moresbi
Sawor, hal 45).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, adanya rasa kesamaan daerah asal
merupakan perekat sosial mengikat, yang diciptakan oleh HIMPPAR, yang
mempererat hubungan antara para anggotanya. Sehingga antara para anggotanya
terbentuk jaringan sosial, kesepahaman norma dan rasa saling percaya. Artinya
bahwa para anggota HIMPPAR mau untuk berinteraksi satu dengan yang lainya,
karena adanya perekat sosial tersebut. (lihat kutipan wawancara dengan anggota
HIMPPAR, hal 47).
Untuk itu bila mengacu pada fenomena keberadaan perekat sosial yang
mengikat para anggota HIMPPAR. Maka dapat dikatakan bahwa modal sosial
mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang terbentuk melalui HIMPPAR.
Merupakan salah satu modal sosial yang dimiliki, dengan tipe social bounding. modal
sosial mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang terbentuk melalui HIMPPAR
dapat dikatakan sebagai modal sosial dengan tipe social bounding, karena fenomena
keberadaan perekat sosial yang mengikat para anggota HIMPPAR tersebut. Sesuai
dengan definisi social bounding yang diungkapkan oleh beberapa ahli, yang pada
55
intinya menyebutkan bahwa social bounding adalah tipe modal sosial dengan
karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam sesuatu sistem
kemasyarakatan.
2. Social Briging
Dengan adanya perekat sosial (rasa kepemilikan satu asal), maka modal sosial
yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang terbentuk melalui
HIMPPAR. Dapat dikatakan sebagai modal sosial dengan tipologi social bounding.
Namun apabila kembali lagi mengkaji tentang latar belakang dari para anggota
HIMPPAR, yang berasal dari beragam suku, agama dan bahasa di Papua. Dapat
terlihat bahwa modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR, tidak hanya bertipologi
social bounding.
Artinya bahwa modal sosial yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di
Salatiga, yang terbentuk melalui HIMPPAR, memiliki tipologi social briging. Karena
sebenarnya modal sosial ini terbentuk dengan adanya relasi-relasi antar berbagai
kelompok suku, agama dan bahasa yang tergabung dalam HIMPPAR. Dengan
demikian selain bertipe atau memiliki tipologi social bounding. Modal sosial yang
dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang terbentuk melalui
HIMPPAR, juga bertipe atau memiliki tipologi social briging.
Modal sosial yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di Salatiga, yang
terbentuk melalui HIMPPAR, dapat dikatakan bertipe atau memiliki tipologi social
briging. Karena fenomena tentang adanya modal sosial yang terbentuk dengan adanya
relasi-relasi antar berbagai kelompok suku, agama dan bahasa yang tergabung dalam
HIMPPAR. Sangat relevan dengan definisi social briging, yaitu modal sosial yang
dicirikan dengan adanya jembatan sosial atau suatu ikatan sosial yang timbul sebagai
reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompokknya. Ia bisa muncul karena adanya
berbagai macam kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan
untuk membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada.
56
3. Social Linking
Setelah mencermati tentang adanya perekat sosial dalam HIMPPAR, maka
modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR, dapat dikategorika sebagai modal
sosial dengan tipe social bounding. Kemudian setelah melihat relasi-relasi antar
berbagai kelompok suku, agama dan bahasa yang tergabung dalam HIMPPAR. Maka
modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR, dapat dikategorikan modal sosial
dengan tipe social briging. Lebih lanjut apabila milihat hubungan atau kerja sama dan
tujuan dari kerja sama yang di buat oleh HIMPPAR dan beberapa level dari kekuatan
sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat (contohnya UKSW). Sebenarnya
modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR, tidak hanya memiliki tipologi modal
sosial social bounding dan social briging.
Karena apabila melihat pengalaman HIMPPAR yang telah penulis paparkan
pada awal bab ini, khususnya pada kutipan wawancara dengan To Moresbi selaku
ketua HIMPPAR, Bapak Yafet Rissy (Wakil Rektor III UKSW), dan juga Bapak
Ferry Karwur selaku simpatisan HIMPPAR. Terlihat bahwa
Tetapi lebih dari itu modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR dapat di
kategorikan modal sosial dengan tipe Social Linking. Dapat terlihat bahwa adanya
hubungan atau kerja sama yang terbangun antara HIMPPAR dengan beberapa level
dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Artinya
HIMPPAR sengaja membangun hubungan dengan beberapa level dari kekuatan sosial
maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan tujuan agar organisasi atau
lembaga yang memiliki kekuatan (modal) lebih tersebut. dapat untuk mengayomi,
membina, dan mengarahkan HIMPPAR.
Modal sosial yang terbentuk melalui HIMPPAR dapat di kategorikan modal
sosial dengan tipe Social Linking, karena apabila mencermati tujuan hubungan atau
relasi-relasi yang dibangun oleh HIMPPAR dengan UKSW contohnya. Dapat terlihat
bahwa hubungan ini sengaja dibangun dengan tujuan agar organisasi atau lembaga
57
yang memiliki kekuatan (modal) lebih tersebut. dapat untuk mengayomi, membina,
dan mengarahkan HIMPPAR.
Dengan demikian karena adanya hubungan atau kerja sama yang terbangun
antara HIMPPAR dengan beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial
yang ada dalam masyarakat. Juga karena tujuan hubungan atau relasi tersebut adalah
agar organisasi atau lembaga yang memiliki kekuatan (modal) lebih tersebut. dapat
untuk mengayomi, membina, dan mengarahkan HIMPPAR. Sehingga modal sosial
yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di Kota Salatigga, yang terbentuk
melalui HIMPPAR. Dapat dikategorikan sebagai modal sosial yang bertipe atau
memiliki tipologi Social Linking.
Selain itu, modal sosial yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di
Kota Salatigga, yang terbentuk melalui HIMPPAR. Dapat dikategorikan sebagai
modal sosial yang bertipe atau memiliki tipologi social linking. Karena sesuai dengan
definisi social linking, yaitu modal sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya
hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada
dalam masyarakat.
Dengan demikian apabila melihat model tipe modal sosial yang di kembangkan
oleh HIMPPAR, yaitu membuat atau menciptakan perekat sosial yang mengikat para
anggota HIMPPAR, membuat atau menciptakan relasi atau jembatan sosial antara
berbagai kelompok suku, agama dan bahasa yang tergabung dalam HIMPPAR, juga
dengan menjalin relasi atau hubungan dengan beberapa level dari kekuatan sosial
maupun status sosial yang ada dalam masyarakat.
Maka modal sosial yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar Papua di Kota
Salatiga, yang terorganisir dalam HIMPPAR. Memiliki tiga tipologi modal sosial,
yaitu modal sosial dengan tipe social bounding, social briging dan social linking.
Demikian pembahasan tentang model pembentukan modal sosial yang member
gambaran tentang tipologi modal sosial yang dimiliki oleh mahasiswa dan pelajar
Papua di Kota Salatiga, yang terorganisir dalam HIMPPAR.