Upload
gustiagungayu-devi-yanti
View
831
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM
FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL
INFUS NORMAL SALINE 0,9 %
BESALINE ®
Oleh:
Golongan I
Kelompok II
Andri Normansyah (0908505009)
Ni Putu Chintya Sandra B. (0908505011)
I Gst. Ag. Ayu Kartika (0908505014)
I Gst. Ag. Ayu Devi Yanti (0908505015)
Iwan Saka Nugraha (0908505016)
Putu Eka Utami Dewi Artini (0908505017)
A.A Ayu Wulan Purnama D. (0908505045)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2012
BAB I
PRAFORMULASI
1.1 Tinjauan Farmakologi Bahan Obat
Infus merupakan sediaan yang disyaratkan harus steril. Hal tersebut dikarenakan infus
diberikan kepada pasien secara intravena (melalui pembuluh darah) sehingga apabila
infus tidak steril maka hal tersebut dapat membahayakan pasien. Apabila infus tidak
steril, bakteri maupun virus dapat langsung berada di pembuluh darah dan menyerang
organ tubuh manusia tanpa didahului terjadinya mekanisme penyaringan terlebih dahulu
(Anonim, 2007). Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung
masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam
peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan
memberikan obat oral.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan
intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang
susunan kimiawinya dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur
gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus
dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual
(dibawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak; obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain perlu dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui
injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan yang cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami
hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan
ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun
perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan
mampu mencapai kadar tinggi dalam darah untuk membunuh bakteri.
(Anonim, 2007).
Infus merupakan larutan dalam jumlah besar terhitung mulai dari 10 mL yang
diberikan melalui intravena tetes demi tetes dengan bantuan peralatan yang cocok.
Asupan air dan elektrolit dapat terjadi melalui makanan dan minuman dan dikeluarkan
dalam jumlah yang relatif sama. Rasio air dalam tubuh 57%, lemak 20,8%, protein 17%
serta mineral dan glikogen sebesar 6%. Ketika terjadi gangguan hemostatis
(keseimbangan cairan tubuh), maka harus segera mendapatkan terapi untuk
mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit (Lukas, 2006).
Infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke
dalam vena dalam volume relatif banyak. (McEvoy, 2002). Pemasangan infus melalui
jalur pembuluh darah vena (peripheral venous cannulation) biasanya dilakukan pada :
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah
terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi
besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika
terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
(Anonim, 2007).
Adapun persyaratan larutan injeksi dan larutan infus adalah:
1. Penyesuaian dari kandungan bahan obat yang dinyatakan dan nyata-nyata terdapat,
tidak ada penurunan kerja selama penyimpanan melalui perusakan kimia dari obat
dan sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya menginginkan suatu pengambilan
steril, melainkan juga menolak antaraksi antara bahan obat dan materi dinding.
3. Tersatukan tanpa reaksi. Untuk yang bertanggunag jawab terutama:
- Bebas kuman
- Bebas pirogen
- Bahan pelarut yang netral secara fisiologis
- Isotonis
- Isohidris
- Bebas bahan terapung
(Voigt R, 1995).
Keuntungan pemberian sediaan infus intravena, antara lain:
1. Dapat digunakan untuk pemberian obat agar bekerja cepat, seperti pada keadaan
gawat.
2. Dapat digunakan untuk penderita yang tidak dapat diajak bekerja sama dengan baik,
tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui oral.
3. Penyerapan dan absorbsi dapat diatur.
(Lukas, 2006)
Sedangkan kerugian pemberian sediaan infus intravena adalah :
1. Dapat menyebabkan terbentuknya trombus akibat rangsang tusukan jarum pada
dinding vena.
2. Pemakaian sediaan lebih sulit dan lebih tidak disukai oleh pasien.
3. Obat yang telah diberikan secara intravena tidak dapat ditarik lagi.
4. Lebih mahal daripada bentuk sediaan non sterilnya karena lebih ketatnya persyaratan
yang harus dipenuhi (steril, bebas pirogen, jernih, praktis bebas partikel).
(Lukas, 2006)
Penggolongan sediaan infus berdasarkan komposisi dan kegunaannya :
1. Larutan elektrolit, contohnya infus asering (Otsuka)
2. Infus karbohidrat, contoh larutan manitol 15-20%
3. Larutan kombinasi elektrolit dan karbohidrat, contohnya infus KA-EN 4 B paed
(Otsuka)
4. Larutan irigasi, contohnya larutan glycine 1,5% dalam 3 liter
5. Larutan dialysis peritoneal, contohnya larutan dianeal 1,5% dan 2,5%, dalam 2
liter sediaan
6. Larutan plasma expander atau penambah darah
a. Whole blood, contohnya darah lengkap manusia yang diambil dari donor
manusia, yang dipilih dengan pencegahan pendahuluan aseptic
b. Human albumin, contohnya infus albumin 20%
c. Plasma protein, contohnya infus plasmanate
d. Larutan gelatin, contohnya infus Haemacel
e. Larutan dekstran, contohnya Otsuran-70 (Otsuka)
f. Larutan protein, contohnya infus Aminofusin L (Primer)
(Lukas, 2006)
Cairan infus dapat dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan tingkat
osmolaritasnya yakni sebagai berikut :
1. Cairan hipotonik : yakni cairan yang daya osmolaritasnya lebih rendah
dibandingkan dengan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan
serum), sehingga larut dalam serum dan menurunkan osmolaritas serum. Maka,
cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi) sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi.
Misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang mebahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakarnial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contoh sediaannya adalah NaCl 45% dan dektrosa 2,5%.
2. Cairan isotonik : osmolaritas cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada
pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
darah terus menurun). Memiliki rasio terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah
cairan Ringer-Laktat (RL) dan normal saline/ larutan garam fisiologis (NaCl
0,9%).
3. Cairan hipertonik: cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya dekstrose 5%, NaCl 45% hipertonik, dextrosa 5% + RL,
dextrosa 5% + NaCl 0,9%, produk darah dan albumin.
(Arifilanto, 2011).
Tabel. 1 Tabel data osmolaritas larutan
> 350 Hipertonis
329 – 350 Sedikit hipertonis
270 – 328 Isotonis
250 – 269 Sedikit hipotonis
0 – 249 Hipotonis
Secara umum, keadaan–keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan
infus adalah adanya pendarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah), trauma abdomen berat, patah tulang khususnya di bagian panggul
dan paha, serangan panas (kehilangan cairan tubuh dan dehidrasi), diare dan demam,
luka bakar luas, semua trauma kepala, dada dan tulang punggung (Arifilanto, 2011).
Infus normal saline merupakan suatu larutan injeksi steril sodium chloride
dalam air, tidak mengandung agen antimikrobial. Kandungan NaCl tidak kurang dari
95%-105%. Natrium merupakan kation utama dalam cairan ekstraseluler dan
memegang peranan penting pada regulasi tekanan osmotisnya, juga pada pembentukan
perbedaan potensial (listrik) yang perlu bagi kontraksi otot dan penerusan impuls di
syaraf. Infus normal saline tergolong cairan isotonik yaitu cairan yang osmolaritas
(tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah),
sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Infus ini bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus
menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi (Anonim, 2007).
Defisiensi natrium dapat terjadi akibat kerja fisik yang terlampau berat dengan
banyaknya pengeluaran keringat dan banyak minum air tanpa tambahan garam ekstra.
Gejalanya berupa mual, muntah, sangat lelah, nyeri kepala, kejang otot betis, kemudian
juga kejang otot lengan dan perut. Selain pada defisiensi Na, natrium juga digunakan
dalam bilasan 0,9 % (larutan garam fisiologis) dan dalam infus dengan elektrolit lain.
Konsentrasi NaCl yang isoosmotik dengan plasma darah sebesar 0,9% (Lukas, 2006).
1.1.1. Farmakokinetika
Natrium klorida diabsorbsi baik pada saluran cerna. Kelebihan sodium
diekskersi paling banyak melalui ginjal, dan sebagian kecil hilang melalui feses
dan keringat (BNF 48, 2004)
1.1.2. Indikasi
a. Terapi keseimbangan elektrolit pada dehidrasi yang disebabkan oleh semua
hipoosmolalitas, isotonis dan hipertonisitas;
b. Koma yang disebabkan oleh hipertonisitas non-ketosis diabetes
c. Dehidrasi dan keadaan hiperosmotik
d. Keracunan metabolik basa klorida rendah
e. Dapat digunakan untuk mencuci mata dan luka.
(McEvoy, 2002)
1.1.3. Kontraindikasi
a. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
b. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan
hemodialisis (cuci darah).
c. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran
darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
(Anonim, 2007).
1.1.4 Mekanisme aksi
Senyawa ini memenuhi kebutuhan ion Na+ dan Cl- di dalam tubuh.
Normal saline memiliki osmolaritas yang mendekati serum tubuh, sehingga
cairan dari normal saline ini akan terus berada di pembuluh darah sehingga
dapat digunakan untuk pasien yang kekurangan cairan tubuh (Anonim, 2007)
1.1.5 Efek Samping
Infus dengan volume yang berlebihan dapat menyebabkan beban yang
berlebih pada sirkulasi dan kegagalan pengendapan jantung (terbukti dari
meningkatnya tekanan nafas, mengi, menggelembungnya pembuluh darah
leher). Volume berlebih dapat terjadi jika pasien tidak dengan baik menakar
penggunaannya dan terjadi jika pasien menggunakan 250 mL infus kemudian
menggunakan kembali 250 mL infus. Jika terjadi komplikasi, pasien hendaknya
dibawa ke rumah sakit terdekat dengan pemberian oksiden dengan konsentrasi
tinggi . Cairan selanjutnya tidak diberikan lagi. (McEvoy, 2002)
1.1.6 Interaksi Obat
Natrium klorida tidak kompatibel dengan zat-zat aditif. Konsultasikan dengan
farmasis, jika perlu. Jika terpapar dengan zat-zat aditif, gunakan teknik aseptik,
campurkan dengan benar dan jangan disimpan. (McEvoy, 2002)
1.1.7 Penyimpanan
Infus NaCl disimpan dalam wadah yang fleksibel dibuat dari bahan plastik non-
lateks yang dirancang khusus untuk berbagai obat-obatan parenteral. Pada
pengiriman, infus NaCl harus berada dalam kontainer yang terbuat dari
poliolefin atau polypropylene. Sehingga bahan yang kontak tidak boleh
mengandung PVC, DEHP, atau plasticizers lainnya. Penyimpanan diatur pada
ruangan bersuhu 15-30 oC (59-86 oF). Hindari dari pembekuan. (McEvoy, 2002)
1.1.8 Perhatian dan Peringatan
a. Hindari menggunakan obat ini pada kasus berikut: hidropsi seperti sindrom
ginjal, sirosis hati, hidroperitonium, gagal jantung kongestif, kegagalan akut
bilik kiri, hidrosefalus, idiopatik edema, dan sebagainya; gagal ginjal akut
pada oliguria, gagal ginjal kronis menurunkan volume urin dan reaksi buruk
untuk diuretic; hipertensi; hipopotasium.
b. Menurut kebutuhan klinik, pemeriksaan konsentrasi sodium, potassium,
klorida dalam serum; pemeriksaan asam dan basa persamaan indeks
konsentrasi; pemeriksaan fungsi ginjal, tekanan darah dan fungsi jantung-
paru; pada kehamilan dan menyusui; jangan menggunakan injeksi sodium
klorida untuk pasien dengan hipertensi dari sindrom kehamilan;
penggunaan pada pediatric, dosis dan kecepatan harus dikontrol dengan
ketat; geratologi dosis dan kecepatan tetes harus dikontrol dengan ketat;
interaksi harus diperhatikan dalam inkompatibilitas obat saat injeksi sodium
klorida sebagai pelarut dan larutan.
c. Overdosis menyebabkan hipernatremia dan hipopotassium juga
menyebabkan kehilangan bikarbonat.
(McEvoy, 2002)
1.2 Tinjauan Sifat Fisiko – Kimia Bahan Obat
1.2.1 Natrium Klorida (NaCl)
A. Sinonim
Sodium Klorida
B. Bobot molekul
58, 44
C. Struktur Molekul
D. Kegunaan
Bahan aktif Infus Saline dan dapat sebagai agen tonisitas
E. Deskripsi
Sodium klorida berupa serbuk kristal putih, kristal tak bewarna, dan
mempunyai rasa asin. Struktur kristal kubik. Sodium klorida padat tidak
mengandung air dari kristalisasi. Pada suhu dibawah 00C garam dapat
mengalami kristalisasi membentuk dihidrat.
F. pH
6,7 – 7,3
G. Titik didih
14390C.
H. Titik Lebur
8010C
I. Stabilitas
Fase air dari larutan NaCl adalah stabil tetapi dapat terjadi pemisahan apabila
digunakan wadah glass tipe tertentu. Larutan NaCl dapat disterilisasi dengan
autoklaf atau filtrasi. NaCl padat stabil dan harus dismpan dalam wadah
tertutup baik pada tempat yang dingin dan kering.
- Stabilitas terhadap cahaya
Tidak stabil, simpan pada tempat yang terlindung cahaya
- Stabilitas terhadap suhu
Sifat bakteriostatik dari injeksi natrium klorida harus dijaga dari
pendinginan (McEvoy, 2002)
- Stabilitas terhadap pH
pH : 4,5 –7(DI 2003 hal 1415) 6,7-7,3 (Kibbe, 2000)
J. Inkompatibilitas
Fase air dari larutan NaCl bersifat korosif terhadap logam. Dapat bereaksi
membentuk endapan perak dan garam merkuri. Agen pengoksidasi yang kuat
dapat membebaskan klorin dari larutan asam pada natrium klorida. Kelarutan
pengawet metil paraben akan menurun dalam larutan NaCl aquaeus, dan
viskositas dari gel karbomer dan larutan dari hidroksi metil selulosa atau
hdroksi propil hidroksida akan mengalami penurunan jika ditambahkan NaCl.
Serta inkompatibilitas terhadap logam Ag, Hg, Fe.
(Kibbe, 2000).
I. Kelarutan
Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih, dan dalam 10
bagian gliserol P, sukar larut dalam etanol (95%) P (DepKes RI, 1979)
1.2.2 Attapulgite (Karbon Aktif)
A. Sinonim
Attaclay
B. Kegunaan
Adsorben
C. Aplikasi dalam formulasi / teknologi farmasi
Attapulgite digunakan secara luas sebagai sebuah adsorben dalam bentuk
sediaan solid. Lumpur Koloidal seperti attapulgite mengadsorbsi sejumlah air
untuk membentuk gel dan dalam konsentrasi 2-5% w/v biasanya membentuk
emulsi minyak dalam air. Attapulgite aktif dipanaskan secara hati-hati untuk
meningkatkan kapasitas adsobsinya, digunakan secara terapetik sebagai
alternatif dalam manajemen diare.
D. Pemerian
Serbuk hitam tidak berbau
E. Kelarutan
praktis tidak larut dalam suasana pelarut biasa
F. Stabilitas
Stabil ditempat yang tertutup dan kedap udara
G. Kegunaan
Norit digunakan untuk menyerap bahan-bahan pengotor yang mungkin ada
H. Konsentrasi Penggunaan
0,1-0,3%
I. Alasan pemilihan
Norit inert sehingga tidak bereaksi dengan zat aktif.
(Depkes RI, 1995)
J. Stabilitas
Attapulgite dapat mengadsorbsi air sehingga sebaiknya disimpan dalam wadah
kedap udara dalam lokasi yang sejuk dan kering.
K. Inkompatibilitas
Attapulgite dapat menurunkan bioavailabilitas dari beberapa obat seperti
loperamid, dan riboflavin. Oksidasi dari hidrokortison ditingkatkan dengan
adanya attapulgite.
(Kibbe, 2000).
1.2.3 Aqua Pro Injeksi
A. Definisi
Air steril untuk injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilkan dan dikemas
dengan cara yang sesuai. Tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan
tambahan lainnya (Depkes RI, 1995).
B. Pemerian
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
C. Sterilisasi
Kalor basah (autoklaf)
D. Kegunaan
Pembawa dan melarutkan
E. Alasan pemilihan
Karena digunakan untuk melarutkan zat aktif dan zat-zat tambahan
F. Cara pembuatan
Air suling segar disuling kembali dengan alat kaca netral atau wadah logam
yang cocok yang diperlengkapi dengan labu percik. Hasil sulingan pertama
dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah yang cocok, dan segera
digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk injeksi, harus
disterilkan dengan cara sterilisasi A atau C, segera setelah diwadahkan.
(Depkes RI, 1995)
1.3 Bentuk Sediaan, Dosis dan Cara Pembuatan
1.3.1 Bentuk Sediaan
Sediaan dibuat dalam bentuk infus normal saline 0,9% dengan volume sediaan
adalah 100 mL dan ditampung dalam sebuah botol kaca bening bervolume 100
mL.
1.3.2 Dosis Sediaan
Untuk usia dewasa dosis yang diberikan 250 mL dengan volume 250 mL
Rute : IV infus tetes
UmurMedical Emergencies 20 mL/kg
Medical Emergencies Initial
Volume 5 mL/kg
Dosis Volume Dosis Volume
11 tahun 700 mL 700 mL 180 mL 180 mL
10 tahun 640 mL 640 mL 160 mL 160 mL
9 tahun 570 mL 570 mL 140 mL 140 mL
8 tahun 520 mL 520 mL 130 mL 130 mL
7 tahun 460 mL 460 mL 120 mL 120 mL
6 tahun 410 mL 410 mL 100 mL 100 mL
5 tahun 370 mL 370 mL 90 mL 90 mL
4 tahun 330 mL330
mL80 mL 80 mL
3 tahun 290 mL 290 mL 70 mL 70 mL
2 tahun 240 mL 240 mL 60 mL 60 mL
18 bulan 220 mL 220 mL 60 mL 60 mL
12 bulan 200 mL 200 mL 50 mL 50 mL
9 bulan 180 mL 180 mL 50 mL 50 mL
6 bulan 160 mL 160 mL 40 mL 40 mL
3 bulan 120 mL 120 mL 30 mL 30 mL
1 bulan 90 mL 90 mL 20 mL 20 mL
baru lahir 70 mL 70 mL 20 mL 20 mL
Rute : IV flush
Umur Dosis Volume
Dewasa atau anak-anak > 5 tahun 2 mL- 5 mL 2-5 mL
Dewasa atau anak-anak > 5 tahun10 mL- 20 mL
(ketika infus glukosa)10-20 Ml
anak-anak: Neonatal < 5 tahun 2 mL 2,0 mL
anak-anak: Neonatal < 5 tahun10 mL (ketika infus
glukosa)10-20 mL
1.3.3 Cara Pemberian
Diberikan secara injeksi intravena.
BAB II
FORMULASI
2.1 Bentuk dan Formula yang Dibuat
Bentuk dan formula yang akan dibuat adalah, sediaan infus normal saline 0,9% dengan
wadah gelas kaca bening bervolume 100 mL.
2.2 Permasalahan
1. Sediaan infus termasuk sediaan steril yang harus bebas pirogen, di mana bahan baku
yang digunakan belum tentu steril.
2. Sediaan infus harus jernih dan bebas dari partikel kasar (pengotor).
2.3 Pengatasan Masalah
1. Untuk menyerap pirogen dalam sediaan dapat digunakan karbon aktif dalam proses
pembuatannya. Karbon aktif optimal pada suhu 60oC sehingga pencampuran
dilakukan pada suhu tersebut. Dikocok selama 5 hingga 10 menit (Jenkins et al.,
1957) dan dilakukan sterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C pada tekanan 15 psi
selama 15 menit.
2. Sediaan infus ditambahkan karbon aktif untuk menjerap partikel-partikel kasar
(pengotor) dalam sediaan infus yang dibuat dan disaring dengan kertas saring hingga
dihasilkan sediaan infus yang jernih dan bebas dari partikel kasar.
2.4 Macam – Macam Formulasi
2.4.1 Formula I
R/ NaCl 0,9%
Aqua pi ad 500 mL
(Kohli,1998)
2.4.2 Formula II
R/ Sodium Chloride 2,8 kg
Activated Charcoal 150 g
Aqua for Injection ad 300 L
(Kohli,1998)
2.4.3 Formula III
R/ Sodium klorit 9,33 g
Activated charcoal 0,5 g
Water for injection q.s to ad 1 L
(Niazi, 2004)
2.5 Formula yang akan Digunakan
NaCl 0,9%
Karbon aktif 0,05 %
Air steril ad 100 mL
2.6 Penimbangan Bahan
Volume sediaan : 100 mL
Jumlah sediaan : 2 botol
a. Natrium Klorida 0,9
Volume yang diperlukan = 0,9100
gmL
x 100 mL = 0,9 gram
Untuk 2 sediaan = 0,9 gram x 2 = 1,8 gram
Penimbangan ± 10% = 1,8 gram + ( 10100
x 1,8 gram) = 1,98 gram
b. Karbon aktif = 0,05 %
Volume yang diperlukan = 0,05100
gmL
x 100 mL = 0,05 gram
Untuk 2 sediaan = 0,05 gram x 2 = 0,1 gram
Penimbangan ± 10% = 0,1 gram + ( 10100
x 0,1 gram) = 0,11gram
Tabel penimbangan
Nama Bahan KegunaanBobot dalam
1 sediaan
Bobot dalam
2 sediaan
NaCl Bahan aktif 0,99 gram 1,98 gram
Karbon aktif Absorbing agent 0,055 gram 0,11 gram
Aquapro injeksi Pelarut Ad 110 mL Ad 220 mL
2.7 Perhitungan Tonisitas
Perhitungan Tonisitas NaCl untuk 1 sediaan (100 mL) :
Tonisitas =
gramLiterNaCl
BMNaClx1000 xjumlahIonNaCl
=
0,9 gr0,1 L
58 , 44 gr /molx1000 x2
= 308 M.osmol
Tabel data osmolaritas larutan
> 350 Hipertonis
329 – 350 Sedikit hipertonis
270 – 328 Isotonis
250 – 269 Sedikit hipotonis
0 – 249 Hipotonis
Berdasarkan perhitungan tonisitas tersebut, diperoleh bahwa infus NaCl yang dibuat
sudah bersifat isotonis dengan plasma darah dengan nilai osmolaritas sebesar 308
M.osmole
BAB III
PELAKSANAAN
3.1 Cara Kerja Formula yang Digunakan
Masing-masing bahan ditimbang sesuai dengan bobot penimbangannya.
NaCl dilarutkan dalam air steril di atas penangas air, dijaga suhu larutannya agar tetap 600C,
diaduk perlahan selama 15 menit.
Ditambahkan karbon aktif ke dalam campuran tersebut, digojok dan dipanaskan selama 15 menit (suhu tetap 600C).
Infus yang telah disaring dituangkan ke dalam 2 wadah gelas kaca masing – masing bervolume 100 mL
Larutan disaring dengan kertas saring (dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali atau lebih hingga didapat larutan yang jernih) bertujuan memisahkan karbon aktif dari larutan tersebut.
Kemudian botol ditutup dengan penutup karet ( yang sebelumnya telah dididihkan dengan air steril ± 20 menit untuk menjaga sterilitasnya )
Dididihkan air sebanyak 220 mL di dalam gelas beaker kemudian setelah mendidih dibiarkan
suhunya turun mencapai 600C.
Dicek pH larutan dan disangga dengan buffer hingga diperoleh pH sediaan 4,5 - 7
3.2 Alat dan Bahan serta Cara Sterilisasinya
3.2.1 Alat
- Botol 100 mL dan tutup karet
- Gelas beaker 250 mL
- Batang pengaduk
- Pinset
- Sendok tanduk
- Perkamen
- Neraca
- Penangas air
- Termometer
- Autoklaf
- Kertas saring
- Corong gelas
- Tali kasur
- Aluminium foil
- Plastik ikan
Ditempelkan etiket pada sediaan, diberi brosur dan kemasan
Bagian atas botol ditutup dengan aluminium foil dan plastik ikan,
Sediaan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit
Sediaan diikat dengan tali kasur ditambah dengan kap plastik
- Bunsen
- Spray alkohol 70%
3.2.2 Bahan
- NaCl
- Karbon aktif
- Aqua pro injeksi
3.2.3 Cara Sterilisasi Alat yang digunakan
No.Nama Alat Ukuran
Cara
sterilisasi
Suhu Waktu
1. Batang Pengaduk - Oven 160o 30’
2. Gelas beaker Autoklaf 121o 15’
3. Gelas ukur Autoklaf 121o 15’
4. Corong gelas Oven 160o 30’
5. Kertas Saring Autoklaf 121o 15 ‘
6. Tutup karet Autoklaf 121o 15 ‘
7. Vial Autoklaf 121o 15’
8. Labu ukur Autoklaf 121o 15 ‘
BAB IV
EVALUASI SEDIAAN
4.1 EVALUASI FISIKA
A. Uji Organoleptis
Uji organoleptis terhadap sediaan dilakukan dengan peninjauan dari segi
warna dan bau yang ditimbulkan cairan infus setelah sterilisasi akhir. Diamati
warna cairan dan ada tidaknya aroma yang ditimbulkan.
B. Uji Kebocoran
Pada pembuatan kecil-kecilan hal ini dapat dilakukan dengan mata tetapi
untuk produksi skala besar hal ini tidak mungkin dikerjakan.
a. Wadah-wadah takaran tunggal yang masih panas setelah selesai disterilkan
dimasukkan kedalam larutan biru metilen 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang
bocor maka larutan biru metilen akan dimasukkan kedalamnya karena
perbedaan tekanan di luar dan di dalam wadah tersebut. Cara ini tidak dapat
dilakukan untuk larutan-larutan yang sudah berwarna.
b. Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, jika ada kebocoran maka
larutan ini akan keluar dari dalam wadah. Wadah-wadah yang tidak dapat
disterilkan, kebocorannya harus diperiksa dengan memasukkan wadah-wadah
tersebut ke dalam eksikator yang divakumkan. Jika ada kebocoran akan
diserap keluar.
C. Penetapan pH
Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometri (pHmeter)
yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu mengukur
harga pH 0,02 unit pH menggunakan elektrode indikator yang peka terhadap
aktivitas ion hidrogen, elektode kaca, dan elekrode pembanding yang sesuai seperti
elektrode kalomel atau elektrode perak-perak klorida.
Cek pH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator
universal. Dengan pH meter : Sebelum digunakan, periksa elektroda dan jembatan
garam. Kalibrasi pH meter. Pembakuan pH meter : Bilas elektroda dan sel
beberapa kali dengan larutan uji dan isi sel dengan sedikit larutan uji. Baca harga
pH. Gunakan air bebas CO2 untuk pelarutan dengan pengenceran larutan uji.
(Depkes RI, 1995)
D. Penetapan volume injeksi dalam wadah
Pilih satu atau lebih, bila volume 10 ml atau lebih, 3 wadah atau lebih bila
volume lebih dari 3 ml atau kurang. Ambil isi tiap wadah dengan alat suntik
hipotermik kering berukuran lebih dari volume 3 ml atau kurang yang akan diukur
dan dilengkapi dengan jarumm suntik no 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm.
keluarkan gelembung udara dari dalam jarum dan alat suntik dan pindahkan isi
dalam alat suntik, tanpa mengosongkan bagian jarum, kedalam gelas ukur kering
volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang diukurmemenuhi
sekurang-kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis penunjuk
volume gelas ukur menunjukkan volume yang ditampung, bukan yang dituang).
Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah
ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat dalam g dibagi
bobot jenis cairan. Isi dari dua atau tiga wadah dalam 1 ml atau 2 ml dapat
digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah
untuk mengambil isi tiap wadah. Isi dari wadah 10 ml atau lebih dapat ditentukan
dengan membuka wadah,memindahkan isi secara lengsung kedalam gelas ukur
atau gelas piala yang telah ditara.
Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu
per satu, atau bila wadah volume1ml dan 2 ml, tidak kurang dari jumlah volume
wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung. (Depkes RI, 1995)
Volume tertera dalam
penandaan
Kelebihan Volume yang Dianjurkan
Untuk Cairan Encer Untuk Cairan Kental
0,5 ml
1,0 ml
2,0 ml
5,0 ml
10,0 ml
0,10 ml
0,10 ml
0,15 ml
0,30 ml
0,50 ml
0,12 ml
0,15 ml
0,25 ml
0,50 ml
0,70 ml
20,0 ml
30,0 ml
50,0 ml
Atau lebih
0,60 ml
0,80 ml
2%
0,90 ml
1,20 ml
3%
Bila dalam wadah dosis ganda berisi beberapa dosis volume tertera, lakukan
penentuan seperti di atas dengan sejumlah alat suntik terpisah sejumlah dosis
tertera. Volume tiap alat suntik yang diambil tidak kurang dari dosis yang tertera.
Untuk injeksi mengandung minyak, bila perlu hangatkan wadah dan segera
kocok baik-baik sebelum memindahkan isi. Diinginkan hingga suhu 25˚C sebelum
pengukuran volume.
(Depkes RI, 1995)
E. Kejernihan larutan
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar diameter 15
mm hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan, dan terbuat dari kaca netral.
Masukkan ke dalam dua tabung reaksi masing-masing larutan zat uji dan suspense
padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar dengan cara seperti tertera
seperti di bawah sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi tepat
40 mm. bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit pembuatan suspense padanan,
latar belakang hitam. Pengamatan dilakukan di bawah cahaya yang terdifusi, tegak
lurus kearah bawah tabung. Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga
suspense padanan I dapat langsung dibedakan dari air dan dari suspense padanan
II. Baku opalesen. Larutkan 1,0 g hidrazina sulfat P dalam air secukupnya hingga
100,0 ml, biarkan selama 4 jam hingga 6 jam. Pada 25,0 ml larutan ini tambahkan
larutan 2,5 g heksamina P dalam 25,0 ml air, campur dan biarkan selama 24 jam.
Suspense ini stabil selama 2 bulan jika disimpan dalam wadah kaca yang bebas
dari cacat permukaan. Suspense tidak boleh menempel pada kaca dan harus
dicampur dengan baik sebelum digunakan. Untuk membuat baku opalesen,
encerkan 15,0 ml suspense dengan air hingga 1000 ml. suspense harus digunakan
dalam waktu 24 jam setelah pembuatan.
Suspense padanan. Buatlah suspense padanan I sampai dengan
suspense padanan IV dengan cara seperti yang tertera pada table. Masing-masing
suspense harus tercampur baik dan dikocok sebelum digunakan
Suspense padanan
I II III IV
Baku opalesen (ml) 5,0 10,0 30,0 50,0
Air (ml) 95,0 90,0 70,0 50,0
Pernyataan kejernihan dan derajat opalesen. Suatu cairan dinyatakan jernih
jika kejernihannya sama dengan air atau pelarut yang digunakan bila diamati di
bawah kondisi seperti tersebut di atas atau jika opalesensinya tidak lebih nyata dari
suspense padanan I. persyaratan untuk derajat opalesensi dinyatakan dalam
suspense padanan I, suspense padanan II, dan suspense padanan III
(Depkes RI, 1995)
F. Bahan partikulat dalam injeksi
Bahan partikulat merupakan zat asing, tidak larut, dan melayang, kecuali
gelembung gas, yang tanpa disengaja ada dalam larutan parenteral. Larutan injeksi,
termasuk larutan yang dikonstitusi dari zat padat steril untuk penggunaan
parenteral, harus bebas dari partikel yang dapat diamati pada pemeriksaan sevara
visual. Pada uji berikut untuk injeksi volume besar, dan injeksi volume kecil, hasil
yang diperoleh dari pengujian unit tersendiri atau kelompok unit untuk bahan
partikulat tidak dapat diekstrapolasikan dengan pasti pada unit lain yang tidak ikut
diuji. Rancangan pengambilan contoh yang memenuhi syarat secara statistic
berdasarkan pada rangkaian faktor operasional yang ditetapkan, harus dirinci jika
akan ditarik kesimpulan yang absah dari data teramati, untuk menentukan tingkat
bahan partikulat pada sekelompok besar unit. Dua prosedur untuk penetapan bahan
partikulat dicantumkan berikut ini, berbeda sesuai dengan volume yang tertera
pada etiket wadah. Semua injeksi volume besar untuk infus dosis tunggal, dan
injeksi volume kecil yang ditetapkan dalam persyaratan monografi, harus
memenuhi batas bahan partikulat seperti yang tertera pada uji yang digunakan.
Batas bahan partikulat yang tercantum disini berlaku untuk masing-masing
bahan dalam wadah dengan volume lebih dari 100 ml injeksi volume besar dosis
tunggal, untuk pemberian infuse secara intravena. Batas ini tidak berlaku untuk
injeksi dosis ganda, untuk injeksi volume kecil, dosis tunggal ataupun larutan
injeksi yang dikonstitusi dari zat padat steril.
Prosedur Evaluasi :
Semprotkan air berkali-kali dengan kuat pada permukaan alat yang
diletakkan secara vertical, lakukan perlahan-lahan dari atas ke bawah. Lakukan
pembilasan dengan isopropanol dalam LAFC yang dilengkapi dengan penyaring
partikulat udara berefisiensi tinggi, biarkan alat-alat mengering dalam lemari asam.
Sebelum melakukan uji, bersihkan lemari laminar dengan pelarut yang sesuai
kecuali permukaan media penyaring. Pertahankan kecepatan aliran udara pada
0,45 ± 0,1 meter per detik.
Penyaring membrane dan rangkaiannya :
Dengan menggunakan pinset, angkat penyaring membrane berkisi warna
kontras dari wadahnya. Cuci kedua sisi membran dengan aliran air yang telah
dimurnikan dengan penyaringan melalui membrane yang sesuai untuk
menghilangkan bahan partikulat berdimensi linier efektif lebih besar dari 5 µm,
dengan meletakkan penyarinh pada posisi vertical, mulai pada bagian atas sisi yang
tidak berkisi, lewatkan aliran air berkali-kali pada permukaan dengan perlahan-
lahan dari atas ke bawah hingga partikel terbawa ke bawah lepas dari penyaring,
dan ulangi proses pencucian pada sisi yang berkisi. Letakkan membrane (sisi yang
berkisi menghadap ke atas) di atas dasar penyangga penyaring, dan pasang corong
penyaring dasar tanpa menyentuh penyaring membrane. Balikkan unit rangkaian,
cuci bagian dalam corong selama lebih kurang 10 detik dengan semprotan air yang
telah disaring. Biarkan air mengalir dan letakkan unit pada labu penyaring.
Larutan Uji :
Campur larutan dengan membalikkan wadah 20 kali. Bersihkan permukaan
luar wadah dengan semprotan air dan angkat tutup hati-hati agar tidak terjadi
pengotoran isi wadah. Masukan 25 ml larutan yang telah tercampur baik ke dalam
corong, biarkan selam 1 menit, pasang penghisap udara dan saring. Lepaskan
penghisap udara perlahan-lahan dan cuci dinding dalam corong dengan semprotan
25 ml air yang telah disaring. Arahkan semprotan air yang telah disaring
sedemikian rupa untuk mencuci dinding corong agar bebas dari tiap partikel yang
mungkin menempel pada dinding, tetapi hindarkan agar semprotan tidak mengarah
ke atas permukaan penyaring. Setelah turbulensi dalam penyaring reda, bilasan
disaring dengan hampa udara. Angkat dengab hati-hati bagian atas rangkaian
penyaring, sambil menjga agar tetap dalam keadaan hampa udara. Lepaskan
penghisap dan angkat penyaring membrane dengan pinset. Letakkan penyaring
pada lempeng petri plastic, bila peril gunakan gemuk pelumas kran yang sangat
tipis sebagai pra-pelapis, untuk menahan penyaring tetap datar dan tidak bergerak.
Biarkan penyaring mongering dengan tutup petri sedikit merenggang. Tutup obyek
dengan hati-hati, amati di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan micrometer
dan hitung partikel pada penyaring seperti di bawah ini
Penetapan :
Amati seluruh penyaring membrane di bawah mikroskop yang sesuai
dengan pembesaran 100 x dengan penyinaran pada sudut 10 0 sampai 200 terhadap
garis horizontal. Hitung jumlah partikel dengan dimensi linier efektif 10 µm atau
lebih dan sama atau lebih besar dari 25 µm. lakukan penetapan blangko dengan
menggunakan penyaring membrane dab rangkaiannya.
(Depkes RI, 1995)
4.2 EVALUASI KIMIA
A. Penetapan kadar
Pipet sejumlah volume injeksi setara dengan kurang lebih 90 mg natrium klorida,
masukkan ke dalam wadah dari porselen dan tambahkan 140 ml air dan 1 ml
diklorofluoresein LP. Campur dan titrasi dengan perak nitrat 0,1 N LV hingga
perak klorida menggumpal dan campuran berwarna merah muda lemah. 1ml perak
nitrat 0,1 N setara dengan 5,844 mg NaCl
(Depkes RI, 1995)
B. Identifikasi
Menunjukkan reaksi natrium cara A dan B dan klorida cara A, B dan C seperti
yang tertera pada uji identifikasi umum (FI 4 hal 585).
Uji Identifikasi Umum :
1. Reaksi natrium
Cara A: tambahkan Kobalt Uranil asetat LP sejumlah lima kali volume
kepada larutan yang mengandung tidak kurang dari 5 mg natrium per ml
sesudah diubah menjadi klorida atau nitrat: terbentuk endapan kuning
keemasan setelah dikocok kuat-kuat beberapa menit.
Cara B: Senyawa natrium menimbulkan warna kuning intensif dalam nyala
api yang tidak berwarna.
2. Reaksi klorida
Cara A: tambahkan perak nitrat LP ke dalam larutan: terbentuk endapan
putih seperti dadih yang tidak larut dalam asam nitrat P, tetapi larut dalam
amonium hidroksida 6N sedikit berlebih
Cara B: pada pengujian alkaloida hidroklorida, tambahkan amonium
hidroksida 6 N, saring, asamkan filtrat dengan asam nitrat P, dan lakukan
seperti yang tertera pada uji A
Cara C: Campur senyawa klorida kering dengan mangan dioksida P bobot
sama, basahi dengan asam sulfat P dan panaskan perlahan-lahan: terbentuk
klor yang menghasilkan warna biru pada kertas kanji iodida P basah.
(Depkes RI, 1995)
4.3 EVALUASI BIOLOGI
A. Uji sterilitas
Asas : larutan uji + media perbenihan, inkubasi pada 20o – 25oC
Kekeruhan / pertumbuhan mikroorganisme ( tidak steril )
Metode uji : Teknik penyaringan dengan filter membran ( dibagi menjadi 2 bagian )
lalu diinkubasi
Prosedur uji: Inokulasi langsung ke dalam media perbenihan.
Volume tertentu spesimen ditambah volume tertentu media uji, inkubasi selama
tidak kurang dari 14 hari, kemudian amati pertumbuhan secara visual sesering
mungkin sekurang-kurangnya pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5, pada hari ke-7 atau
hari ke-8 dan pada hari terakhir dari masa uji.
(Depkes RI, 1995)
B. Uji pirogen
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi resiko reaksi demam pada
tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi. Pengujian
meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara
intravena dan ditujukan untuk sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci
dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 ml per kg bobot badan dalam jangka
waktu tidak lebih dari 10 menit. Untuk sediaan yang perlu penyiapan pendahuluan
atau cara pemberian perlu kondisi khusus ikuti petunjuk tambahan yang tertera pada
masing-masing monografi.
(Depkes RI, 1995)
Alat dan Pengencer
Alat suntik, jarum, dan alat kaca yang dibebaspirogenkan dengan pemanasan
pada suhu 250o selama tidak kurang dari 30 menit atau dengan cara lain yang
sesuai. Perlakukan semua pengencer dan larutan untuk pencuci dan pembilas alat
atau alat-alat suntik dengan cara sedemikian rupa yang dapat menjamin alat
tersebut steril dan bebas pirogen. Lakukan uji pirogen terhadap pengencer dan
larutan pencuci dan pembilas secara berkala. Apabila digunakan larutan Natrium
klorida sebagai pengencer, gunakan injeksi yang mengandung larutan natrium
klorida P 0,9%. (Depkes RI, 1995)
Rekaman suhu
Gunakan alat pengukur suhu yang teliti, seperti termometer klinik atau termistor
atau alat sejenis yang telah dikalibrasi untuk menjamin ketelitian skala kurang
lebih 0,1 dan telah diuji bahwa pembacaan suhu maksimum tercapai kurang dari
5 menit. Masukkan alat pengukur suhu ke dalam anus kelinci dengan kedalaman
tidak kurang dari 7,5 cm dan sesudah jangka waktu tidak kurang dari yang telah
ditetapkan sebelumnya, rekam suhu tubuh kelinci. (Depkes RI, 1995)
Hewan uji
Gunakan kelinci dewasa yang sehat. Tempatkan kelinci satu ekor dalam satu
kandang dalam ruangan dengan suhu yang seragam antara 20o sampai 23odan
bebas dari gangguan yang menimbulkan kegelisahan. Beda suhu tidak boleh
berbeda + 3o dari suhu yang telah ditetapkan. Untuk kelinci yang belum pernah
digunakan untuk uji pirogen, adaptasikan kelinci tidak lebih dari 7 hari dengan uji
pendahuluan yang meliputi semua tahap pengujian yang tertera pada prosedur,
kecuali penyuntikan. Kelinci tidak boleh digunakan untuk uji pirolgen lebih dari
sekali dalam waktu 48 jam atau sebelum 2 minggu setelah digunakan untuk uji
pirogen bila menunjukkan kenaikan suhu maksimum 0,60o atau lebih, atau bila
setelah digunakan untuk melakukan uji sediaan uji yang mengandung pirogen.
(Depkes RI, 1995)
Prosedur
Lakukan pengujian dalam ruangan terpisah yang khusus untuk uji pirogen dan
dengan kondisi lingkungan yang sama dengan ruang pemeliharaan, bebas dari
keributan, yang menyebabkan kegelisahan. Kelinci tidak diberi makan selama
waktu pengujian. Minum dibolehkan pada setiap saat, tetapi dibatasi pada saat
pengujian. Apabila pengujian menggunakan termistor, masukkan kelinci ke
dalam kotak penyekap sedemikian rupa sehingga kelinci tertahan dengan letak
leher yang longgar sehingga dapat duduk dengan bebas. Tidak lebih dari 30 menit
sebelum penyuntikan larutan uji, tentukan suhu awal masing-masing kelinci yang
merupakan dasar untuk menentukan kenaikan suhu. Beda suhu tiap kelinci
dalam satu kelompok tidak boleh lebih dari 1o san suhu awal setiap kelinci tidak
boleh lebih dari 39,8o.
Kecuali dinyatakan lain pada masing-masing monografi, suntikkan 10 ml per kg
berat badan, melalui vena tepi telinga 3 ekor kelinci dan penyuntikan dilakukan
dalam waktu 10 menit. Larutan uji berupa sediaan yang bila perlu dikonstitusi
seperti tertera pada etiket maupun bahan uji yang diperlakukan seperti yang
tertera pada masing-masing monografi dan disuntikkan dengan dosis yang tertera.
Untuk uji pirogen alat atau perangkat injeksi, gunakan sebagai larutan uji hasil
cucian atau bilasan dari permukaan alat yang berhubungan langsung dengan
sediaan parenteral, tempat penyuntikan atau jaringan tubuh pasien. Semua larutan
harus bebas dari kontaminasi. Hangatkan larutan pada suhu 37o+ 2o sebelum
penyuntikan. Rekam suhu berturut-turut antara jam ke-1 dan jam ke-3 setelah
penyuntikan dengan selang waktu 30 menit.
(Depkes RI, 1995)
Penafsiran hasil.
Setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat apabila tak seekor
kelincipun menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih. Jika ada kelinci yang
menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih lanjutkan pengujian dengan
menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci
masing-masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5o atau lebih dan jumlah kenaikan
suhu maksimum 8 ekor kelinci tidak lebih dari 3,3o sediaan dinyatakan memenuhi
syarat bebas pirogen
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Data pengamatan
No.Hasil Uji
EvaluasiHasil
1. Kejernihan Latar belakang putih : tidak terdapat partikel
Latar belakang hitam : terdapat partikel (+1)
2. Uji kebocoranKemasan tidak bocor setelah dibalik selama 1
menit
5.2 Pembahasan
Pada praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan Steril kali ini dibuat sediaan infuse
normal salin dengan nama sediaan Besaline®. Pembuatan infuse normal salin dalam
praktikum ini bertujuan untuk mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan sediaan steril
infus Normal-salin dan permasalahan-permasalahan dalam proses pembuatannya, serta dapat
membuat sediaan steril infus Normal-salin skala laboratorium sesuai dengan persyaratan
sediaan steril yang telah ditentukan. Infus normal saline termasuk sediaan intravenus volume
besar yaitu sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, dan sedapat mungkin
dibuat isotonus terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume relatif
banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenus tidak diperbolehkan mengandung
bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk intravenus harus jernih dan praktis bebas partikel
(Depkes RI, 1979).
Sediaan yang diberikan secara intravena akan langsung menuju cairan tubuh tanpa
melewati sawar membran, maka sediaan infus harus dibuat harus steril dan terbebas dari
partikel serta pirogen (Ansel, 2008). Maka dari itu, sebelum membuat sediaan alat-alat yang
akan digunakan untuk praktikum disterilisasi dengan cara yang sesuai. Untuk menghindari
adanya kontaminasi pada sediaan oleh mikroorganisme maupun partikulat, seluruh kegiatan
dalam praktikum dilakukan dengan teknik aseptis. Teknik aseptis merupakan teknik dalam
pembuatan sediaan steril agar mikroorganisme dan bahan partikulat lain tidak masuk ke
dalam sediaan sehingga dapat terjamin sterilitasnya selama persiapan, proses dan uji sediaan
steril.
Sediaan infus normal salin dibuat sebanyak 2 sediaan dengan volume masing-masing
yaitu 100 mL dan dengan nomor batch yang sama. Bahan-bahan yang digunakan ditimbang
sesuai keperluan untuk 2 sediaan dengan penambahan bobot 10% untuk setiap bahannya.
Penambahan bobot 10% bertujuan mencegah pengurangan kadar zat aktif akibat proses
penyerapan pirogen dengan arang aktif dan akibat proses pembuatan yang meliputi
penimbangan, penyaringan, serta kemungkinan ada volume sisa pada wadah pencampuran.
NaCl yang ditimbang sebanyak 1,98 gram dan karbon aktif ditimbang sebanyak 110 mg. WFI
(Water For Irrigation) ditakar sebanyak 220 mL dengan gelas ukur kemudian dimasukkan
dalam sebuah gelas beker 250 mL.
WFI dipanaskan sampai mendidih dan ditunggu hingga suhunya turun sampai 60oC
serta dijaga agar tetap 60oC selama proses mencampuran bahan. Pemanasan dilakukan untuk
membebaskan air dari CO2. Air yang digunakan perlu dibebaskan dari CO2 untuk
menghindari terbentuknya endapan karbonat yang mempengaruhi estetika sediaan. Penjagaan
suhu 60oC dilakukan karena karbon aktif bekerja maksimal pada suhu 60oC (Voigt, 1995).
Saat suhu telah menunjukkan 60oC NaCl dimasukkan perlahan dan diaduk selama kurang
lebih 15 menit untuk memastikan NaCl benar-benar terlarut dalam WFI. WFI atau air irigasi
dipilih sebagai pelarut atau pembawa karena NaCl memiliki kelarutan mudah larut dalam air
(Depkes RI, 1995). Setelah NaCl larut dalam air irigasi, dilakukan pengecekan pH sediaan
dengan menggunakan pH stick, didapatkan hasil pH sediaan adalah 6. Infus normal saline
yang mengandung NaCl 0,9% stabil pada pH 4,5-7 (DI 2003), sehingga sediaan yang dibuat
telah memenuhi persyaratan. Karbon aktif yang telah ditimbang kemudian ditambahkan dan
diaduk perlahan-lahan selama kurang lebih 15 menit sambil suhu tetap dijaga 60oC.
Penambahan arang aktif berfungsi sebagai adsorben yang akan menarik partikel-partikel
asing juga pirogen dan mempertahankan kejernihan sediaan. Aktivitas karbon aktif ini baik
pada suhu 600, sehingga pada proses pembuatan dilakukan pemanasan pada suhu tersebut
(Voigt, 1995). Pengadukan karbon aktif dilakukan secara perlahan untuk mencegah karbon
aktif pecah menjadi partikel yang lebih kecil sehingga susah untuk disaring dan dipisahkan
dari sediaan.
Selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring sebanyak 2 kali dan dilanjutkan
dengan penyaringan menggunakan filter dengan pori 0,45 µm untuk memisahkan karbon
aktif dan kontaminan-kontaminan dari larutan tersebut sehingga diperoleh filtrat yang jernih.
Proses penyaringan dilakukan sebanyak tiga kali untuk memastikan sediaan yang dihasilkan
benar-benar jernih dan terbebas dari kontaminan. Filtrat yang diperoleh di tuangkan ke dalam
botol infus 100 mL yang telah disterilkan dan ditara. Tutup karet botol infus disterilisasi
dengan cara dimasak pada air mendidih walaupun sebelumnya telah diautoklaf dengan tujuan
meningkatkan kesterilan dan memastikan bahan tutup tidak mengeluarkan warna yang dapat
mengotori sediaan. Botol kemudian ditutup dengan tutup karet, dilapisi dengan aluminium
foil, diikat dengan tali kasur dan dilapisi bagian terluar dengan plastik ikan. Ini bertujuan agar
tutup tidak lepas pada sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dimana tekanan yang
digunakan sangat tinggi yaitu 15 psi selama 15 menit dan panas yang dihasilkan alat sebesar
121oC dapat membuat karet penutup menjadi memuai atau membesar ukurannya.
Sebelum dilakukan sterilisasi akhir, dilakukan evaluasi terhadap sediaan terlebih
dahulu yaitu kejernihan. Sedangkan uji kebocoran dilakukan setelah sediaan disterilisasi
dengan autoklaf. Hasil pada uji kejernihan dilakukan pada alat atau kotak evaluasi kejernihan
dengan latar kertas hitam dan putih. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa pada sediaan
yang dibuat masih terdapat partikel pada latar belakang hitam, sedangkan pada latar belakang
putih tidak terdapat partikel. Partikel pada latar belakang hitam tersebut kemungkinan
merupakan serpihan-serpihan kertas saring yang digunakan saat penyaringan sewaktu
mengisi sediaan ke botol. Ruangan laboratorium yang belum steril juga berpotensi sebagai
penyumbang debu-debu dan partikel pada saat pemanasan air dan pencampuran sediaan.
Pada tahap akhir dilakukan sterilisasi dengan memasukkan kedua sediaan yang telah
ditutup kedalam plastik dan disterilisasi dengan metode panas basah yaitu dengan autoklaf.
Metode panas basah yang dipilih karena bentuk sediaan adalah liquid dan bahan aktifnya
yaitu NaCl melebur pada suhu 801oC jadi metode ini aman untuk membunuh
mikroorganisme yang mungkin masih terdapat dalam sediaan tanpa menyebabkan degradasi
produk. Pada alat autoklaf digunakan suhu 121oC dan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Setelah dilakukan sterilisasi, dilakukan uji kebocoran dengan membuka plastik ikan, tali
kasur, dan aluminium foil yang menutupi mulut botol beserta tutupnya, kemudian sediaan
yang ditutup tutup karet dibalik posisinya selama 1 menit. Dari hasil pengamatan sediaan
infuse normal saline tidak menunjukkan kebocoran sehingga dapat dikatakan pengemasannya
telah baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
a. Sediaan steril infus normal saline dibuat dengan cara melarutkan NaCl dalam WFI
(Water For Irrigation) pada suhu terjaga 60oC diikuti dengan penambahan karbon
aktif sebagai adsorben.
b. Pada sediaan infus normal saline dilakukan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf
pada suhu 121oC selama 15 menit.
c. Hasil evaluasi sediaan menunjukkan pada sediaan masih terdapat partikel ketika
diuji kejernihan pada latar belakang hitam, dan wadah tidak mengalami kebocoran.
6.2 Saran
Pada pembuatan sediaan infus normal saline, sebaiknya menggunakan teknik aseptik
untuk menjamin sediaan yang dihasilkan benar-benar steril dan terbebas dari pirogen.
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 2007. Penjaminan Mutu Sediaan Infus. Jakarta:Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Arifilanto. 2011. Cairan Infus Intravena. (cited Mar 28, 2012). Available at: http://milissehat.web.id/?p=93
Trissel, Clawrence A. 2003. Handbook on Injectable Drugs 12th edition book 2. USA: American Society of Health- System Pharmacist Inc
Jenkins, G.L. 1957. Scoville’s The Art of Compounding, 9th ed. New York: Mac Graw Hill Book Co. Inc.
Kibbe, A. H. 2000. Handbook Of Pharmaceutical Excipients Third Edition.London: Pharmaceutical Press (PhP).
Kohli. 1998. Drug Manual Formulation. New Delhi: Eastern Publisher
Lukas, Stefanus. 2006.Formulasi Steril. Yogyakarta: Penerbit Andi.
McEvoy, G. K.2002.AHFS Drug Information.USA: American Society of Health System Pharmcists.
Niazi, S.K. 2004. Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulations: Sterile Products. USA: CRC Press.
Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia, Twenty-ninth edition. London: The Pharmaceutical Press.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi ke-5. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
LAMPIRAN KEMASAN
Nama sediaan : Besaline
Komposisi :
Tiap 100 ml mengandung NaCl 0,9%, Karbon aktif 0,05 %.
Mekanisme kerja:
Senyawa ini memiliki osmolaritas yang mendekati serum tubuh, sehingga cairan
dari normal saline ini akan terus berada di pembuluh darah sehingga dapat
digunakan untuk pasien yang kekurangan cairan tubuh
Indikasi:
Terapi keseimbangan elektrolit pada dehidrasi
Kontraindikasi:
Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus; Daerah
lengan bawah pada pasien gagal ginjal; Obat-obatan yang berpotensi iritan
terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh
vena di tungkai dan kaki).
Efek samping :
Infus dengan volume yang berlebihan dapat menyebabkan beban yang berlebih
pada sirkulasi dan kegagalan pengendapan. Jika terjadi komplikasi, pasien
hendaknya dibawa ke rumah sakit terdekat dengan pemberian oksiden dengan
konsentrasi tinggi . Cairan selanjutnya tidak diberikan lagi.
Inkompatibilitas:
Natrium klorida tidak kompatibel dengan zat-zat aditif.
Cara penyimpanan :
Penyimpanan pada suhu 15-30 oC (59-86 oF). Hindari dari pembekuan.
Dosis :
Untuk usia dewasa dosis yang diberikan 250 mL dengan volume 250 mL
Netto : 100 ml
No. Reg : DKL 10003004c1
No. Batch : 02004
No. Lot : B80B75
Mfg. Date : APRIL 12
Exp. Date : APRIL 14
HET : Rp 27.500,-
A. Kemasan Sekunder
B. Brosur
C. Etiket