128

BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)
Page 2: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Pusat Riset dan Edukasi Bank SentralBank Indonesia

PelindungDewan Gubernur Bank Indonesia

Dewan Editor

Prof. Dr. Anwar NasutionProf. Dr. Miranda S. Goeltom

Prof. Dr. InsukindroProf. Dr. Iwan Jaya Azis

Prof. Iftekhar HasanProf. Dr. Masaaki Komatsu

Dr. M. SyamsuddinDr. Perry Warjiyo

Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar

Dr. Andi M. Alfian ParewangiDr. M. Edhie Purnawan

Dr. Burhanuddin Abdullah

Pimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo

Editor PelaksanaDr. Darsono

Dr. Siti AstiyahDr. Andi M. Alfian Parewangi

SekretariatIr. Triatmo Doriyanto, M.S

Nurhemi, S.E., M.ATri Subandoro, S.E

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di buletin ini sepenuhnya tanggungjawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral, Bank Indonesia, Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 21; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Unit Diseminasi – Divisi Diseminasi Statistik dan Manajemen Intern, Departemen Statistik, Bank Indonesia, Menara Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 2981-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 2981-6571, fax. (021) 3501912.

Page 3: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan I - 2015

TM. Arief Machmud, Syachman Perdymer, Muslimin Anwar, Nurkholisoh Ibnu Aman,

Tri Kurnia Ayu K, Anggita Cinditya Mutiara K, Illinia Ayudhia Riyadi

The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Aviliani, Hermanto Siregar, Tubagus Nur Ahmad Maulana, Heni Hasanah

Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and

Rupiah’s Rate

Al Muntasir

Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat:

Aplikasi Structural Path Analysis

Sulthon Sjahril Sabaruddin

Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic

Frontier Approach dan Data Envelopment Analysis

Rafika Rahmawati

BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN

Volume 17, Nomor 4, April 2015

379

433

359

403

457

Page 4: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 5: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

359ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

ANALISIS TRIWULANANPeRkembANgAN moNeTeR, PeRbANkAN dAN

SISTem PembAyARAN,TRIWULAN I - 2015

TM. Arief Machmud, Syachman Perdymer, Muslimin Anwar,Nurkholisoh Ibnu Aman, Tri Kurnia Ayu K, Anggita Cinditya Mutiara K,

Illinia Ayudhia Riyadi

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 mengalami perlambatan, namun stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Perlambatan ekonomi bersumber dari melambatnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik, seperti konsumsi pemerintah dan investasi bangunan. Sementara di sisi ekternal, ekspor masih melemah. Di sisi lain, stabilitas makroekonomi masih terjaga yang ditunjukkan dengan defisit transaksi berjalan yang menurun dan inflasi yang terkendali. Sementara itu, nilai tukar relatif terkendali meskipun mengalami tekanan.

Perkembangan Global

Pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya kegiatan produksi, terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia. Perkembangan ini telah mendorong berlanjutnya ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS dan tekanan pembalikan modal portofolio dari emerging markets. Perlambatan ekonomi juga dialami Tiongkok yang ditandai oleh terus melemahnya sektor perumahan dan sektor produksi manufaktur, walaupun berbagai kebijakan pelonggaran telah dilakukan untuk menahan perlambatan ekonomi. Sebaliknya, perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan harga minyak. Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai kembali mengalami kenaikan.

Perekonomian AS diperkirakan tumbuh lebih rendah dari prakiraan semula. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya kegiatan produksi, terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia, yang berdampak pada penurunan ekspor. Selain itu, cuaca dingin yang menghambat rantai nilai produksi juga turut memperlambat kegiatan produksi di AS. Hal ini tercermin

Page 6: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

dari menurunnya indeks produksi dan kapasitas utilisasi (Grafik 1). Di sisi lain, peningkatan expenditure tidak setinggi peningkatan disposable income. Hal tersebut mencerminkan dampak penurunan harga minyak terhadap peningkatan konsumsi yang tidak sekuat prakiraan semula. Perkembangan kondisi ekonomi AS ini telah mendorong berlanjutnya ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS.

Perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik. Perbaikan tersebut ditopang oleh pelonggaran kondisi moneter dan keuangan yang berdampak pada lebih rendahnya suku bunga dan penyaluran kredit yang lebih mudah. Selain itu, penurunan harga minyak berdampak pada meningkatnya permintaan domestik. Hal ini tercermin dari tingkat keyakinan konsumen dan penjualan eceran yang terus meningkat. Permintaan eksternal juga meningkat seiring dengan meningkatnya daya saing ekspor sebagai dampak positif depresiasi Euro. Peningkatan permintaan berdampak pada meningkatnya kegiatan produksi Eropa, tercermin dari tren perbaikan PMI komposit (Grafik 2). Perkembangan ini juga berdampak positif terhadap kondisi tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Eropa.

Grafik 1. Indeks Produksi AS

Grafik 2. Perkembangan PMI Komposit dan PDB Eropa

Perekonomian Jepang tumbuh sesuai dengan prakiraan semula. Kinerja beberapa indikator perekonomian Jepang cenderung bervariasi. Penjualan durables goods meningkat dan tingkat keyakinan konsumen membaik, didukung oleh ekspektasi kenaikan gaji pada negosiasi gaji tahunan (spring) dan dampak penurunan harga minyak. Sementara itu, pertumbuhan upah riil juga mulai membaik meskipun masih negatif. Berbeda dengan indikator di sisi permintaan yang membaik, indikator produksi belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, sementara indikator manufaktur PMI memasuki zona kontraktif. Untuk mendukung perekonomiannya, Bank of Japan (BOJ) diperkirakan akan menambah target quantitative easing (QE) tahunan dari 80 triliun yen menjadi 90 triliun yen.

���

��

� �

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ���� ����

���������������

��������������������������������������������������� ��

��

��

��

��

��

��

��

��

���

���

���

����

����

�������� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

��� ���

�����������������������������������������������

����������������������������������������

�������������������������������������������������������

���������������������������

Page 7: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

361ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

Perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan. Kondisi ini ditandai oleh terus melemahnya sektor perumahan yang berpengaruh pada menurunnya pertumbuhan konsumsi baja dan aktivitas konstruksi (Grafik 3). Sementara itu, sektor produksi manufaktur juga turut melemah, tercermin dari penurunan investasi aset tetap yang terjadi semakin dalam sementara indeks produksi dan PMI berada dalam tren menurun. Untuk menahan perlambatan ekonomi yang terjadi dan upaya mencapai target pertumbuhan sekitar 7%, berbagai kebijakan pelonggaran telah dilakukan. Namun, dampak dari kebijakan pelonggaran tersebut masih terbatas, tercermin pada masih rendahnya pertumbuhan uang beredar dan kredit. Hal tersebut terjadi karena masih besarnya beban utang sejalan dengan leverage korporasi yang masih tinggi.

Perekonomian India diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada tahun 2015. Perkiraan membaiknya perekonomian India terutama didukung oleh optimisme reformasi struktural dan penurunan harga minyak. Optimisme reformasi struktural oleh Pemerintah tercermin pada peningkatan tingkat keyakinan bisnis (Grafik 4). Sejalan dengan optimisme domestik, indikator produksi menunjukkan perbaikan, khususnya pada sektor batu bara, listrik, pertambangan lain dan consumer goods. Selain itu, penjualan mobil juga berada pada tren meningkat.

Grafik 3. Perkembangan Konsumsi Baja dan Konstruksi Tiongkok

Grafik 4. Tingkat Keyakinan Bisnis India

Perkembangan perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai kembali mengalami kenaikan. Penurunan harga terbesar terutama terjadi pada komoditas batubara dan karet seiring dengan penurunan harga minyak. Selain itu, penurunan harga batubara, tembaga, nikel, timah juga sejalan dengan pelemahan permintaan Tiongkok. Di sisi lain, harga minyak mulai kembali mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut didorong oleh kekhawatiran gangguan keamanan di

��

��

��

��

���

���

���

��

��

��

��

��

��

��

��

����� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

���� ����

��������������������������������������������������

���������������

�������������������������������������

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

���� ���� ���� ���� ������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���

�����

��������������������������������

Page 8: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Yaman, pelemahan USD, dan melambatnya peningkatan inventory minyak AS. Tren kenaikan harga minyak juga dikonfirmasi oleh posisi net long managed money yang semakin tinggi. Meskipun demikian, tren kenaikan harga akan berlangsung lambat karena besarnya faktor-faktor yang menekan harga minyak untuk tetap berada di level rendah. Faktor tersebut meliputi kondisi over supply masih terjadi hingga akhir 2015, penundaan penyelesaian pengeboran sumur minyak di AS yang masih tinggi dan tingginya level inventory minyak dunia.

Di sisi pasar keuangan global, risiko di pasar keuangan global masih tinggi. Perkembangan kondisi perekonomian AS telah mendorong berlanjutnya ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS dan tekanan pembalikan modal portofolio dari emerging markets. Normalisasi Fed diprakirakan baru akan terjadi paling cepat September 2015, dengan peluang tertinggi di Desember 2015. Berdasarkan survei Bloomberg kepada 73 economists pada Mei 2015, sebagian besar pelaku pasar memperkirakan kenaikan FFR paling cepat pada triwulan III 2015 sebesar 25 bps. Sementara itu, Fed Fund futures menunjukkan bahwa terdapat 32% kemungkinan FOMC akan mengumumkan suku bunga FFR sebesar 0,5% (naik 25 bps) pada FOMC meeting Desember 2015. Di sisi lain, the Fed juga mempertimbangkan faktor stabilitas sistem keuangan dalam proses pengambilan keputusan normalisasi.

Pertumbuhan Ekonomi

Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 melambat, namun diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang. Pertumbuhan pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong lemahnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik terutama konsumsi pemerintah dan investasi pada sektor bangunan. Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan. Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas sumber daya alam.

Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2015 tumbuh melambat terutama didorong oleh melemahnya pendapatan. Melemahnya pendapatan tercermin dari perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP), upah buruh tani riil, dan upah buruh bangunan riil yang masih terkontraksi. Perlambatan konsumsi rumah tangga tersebut tercermin pada penjualan kendaraan bermotor yang masih mencatat kontraksi pada triwulan I 2015. Selain itu, melambatnya konsumsi rumah tangga sejalan dengan menurunnya keyakinan konsumen.

Page 9: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

363ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

Konsumsi pemerintah pada triwulan I 2015 tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya disebabkan oleh realisasi belanja barang yang melambat. Konsumsi pemerintah tercatat sebesar 2,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang tumbuh sebesar 2,8% (yoy). Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru mengakibatkan penyerapan belanja barang yang lebih rendah dibandingkan dengan pola historis triwulan I. Kondisi tersebut berdampak pada lemahnya kinerja konsumsi pemerintah.

Dari komponen investasi, pertumbuhan tercatat sedikit lebih tinggi terutama didorong oleh perbaikan kinerja investasi nonbangunan. Investasi kembali tumbuh meningkat dari 4,3 (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 4,4% (yoy) pada triwulan I 2015. Kinerja investasi tersebut didorong oleh aktivitas investasi nonbangunan yang meningkat, sementara investasi bangunan tumbuh sedikit melambat. Investasi nonbangunan pada triwulan I 2015 tumbuh lebih baik bersumber dari kinerja positif komponen mesin dan perlengkapan dengan kontraksi yang semakin menurun menjadi -0,95% (yoy) dibandingkan dengan triwulan IV 2014 sebesar -9,07% (yoy). Sementara itu, investasi bangunan melambat sejalan dengan indikator bangunan yang belum membaik, sebagaimana tercermin pada penjualan semen yang menurun sepanjang triwulan I 2015. Hal ini dipengaruhi oleh sikap wait and see sektor swasta dan masih belum berjalannya proyek-proyek pemerintah. Realisasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah yang masih terbatas terkait dengan kendala administrasi, yakni perubahan nomenklatur pada Kementerian.

Kinerja ekspor pada triwulan I 2015 masih terkontraksi, meskipun mengecil ditopang oleh membaiknya ekspor pertambangan dan pertanian. Ekspor pada triwulan I 2015 mencatat kontraksi 0,5% (yoy), lebih kecil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (-4,5%, yoy). Pertumbuhan ekspor riil yang membaik terutama didukung oleh kinerja ekspor pertambangan dan pertanian yang meningkat (Grafik 5). Ekspor pertambangan yang meningkat antara lain dipengaruhi oleh base effect terkait dengan terbatasnya ekspor mineral pada triwulan I 2014

����������������������������������������������������

���������������������

�������������������

���������

������

�����

���

������������������������

����

� �� ��� �� �

��������

���

���

���

���

���

���

���

����

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

����

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

����

����

���������������

��������

Page 10: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

akibat pemberlakuan kebijakan ekspor tambang mineral yang berlaku sejak bulan Januari 2014. Ekspor tambang (tembaga, nikel, bauksit) yang sempat turun tajam pada triwulan I dan II 2014, berangsur membaik sejak triwulan III 2014 seiring dengan realisasi ekspor oleh Freeport dan Newmont. Ekspor komoditas pertanian juga tumbuh positif didorong oleh ekspor kopi dan buah-buahan. Di sisi lain, ekspor manufaktur masih tumbuh melambat akibat penurunan ekspor karet olahan, produk kimia, dan alat listrik. Hal ini sejalan dengan penurunan volume dan koreksi harga.

Merespons kinerja konsumsi yang melambat dan ekspor yang masih terkontraksi, impor tumbuh negatif pada triwulan I 2015. Impor tercatat mengalami kontraksi sebesar 2,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,2% (yoy). Kinerja impor yang melemah terutama disumbang oleh impor barang modal yang masih terkontraksi cukup besar, sejalan dengan penjualan alat berat domestik yang masih tumbuh negatif akibat aktivitas bisnis pertambangan, sebagai pasar utama penjualan alat berat, yang belum membaik. Namun demikian, impor barang modal mulai mengalami kenaikan signifikan pada akhir triwulan I 2015 yang ditengarai sebagai langkah persiapan pelaksanaan pembangunan infrastruktur (Grafik 6).

Dari sisi sektoral (lapangan usaha), perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi di hampir seluruh sektor ekonomi. Sektor industri pengolahan tumbuh melambat seiring dengan menurunnya permintaan ekspor dan masih lemahnya permintaan domestik. Sektor pertambangan juga menurun, bersumber dari menurunnya lifting migas dan produksi batubara. Di sisi lain, kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan membaik bersumber dari perbaikan kinerja tanaman perkebunan dan perikanan. Sementara itu, sebagian besar sektor nontradables juga tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Sektor bangunan tumbuh melambat

Grafik 5. Pertumbuhan Ekspor Nonmigas Riil

Grafik 6. Pertumbuhan Impor Nonmigas Riil

�� �� �� �� �� �� �� �� ������ ���� ����

�����

���������� �����

����������

������������

���������

���

���

���

���

��

��

��

�����

�����

������������

���������������

��������� ����������

��

��

��

��

���

���

���

���

����� �� �� �� �� �� �� �� ��

���� ���� ����

Page 11: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

365ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

disebabkan oleh masih adanya sikap wait and see sektor swasta dan masih belum berjalannya proyek-proyek pemerintah. Sektor transportasi dan pergudangan melambat sejalan dengan melambatnya aktivitas perekonomian. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum juga tumbuh melambat seiring masih lemahnya konsumsi domestik dan impor yg turun lebih tajam dari perkiraan semula. Selain itu, sektor keuangan, persewaan, dan jasa tumbuh melambat karena melambatnya kinerja subsektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Di sisi lain, pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi meningkat seiring diluncurkannya teknologi broadband 4G-LTE meskipun masih dalam kapasitas terbatas.

Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas sumber daya alam (Gambar 1). Di Jawa (termasuk Jakarta), perlambatan ekonomi terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja industri pengolahan, sejalan dengan melemahnya ekspor. Di wilayah Sumatera, penurunan kinerja pertambangan migas di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Provinsi Riau menjadi faktor utama penyebab kontraksi pertumbuhan ekonomi di kedua provinsi tersebut. Hal ini terkait dengan berhentinya produksi gas alam di Aceh, dan lifting minyak bumi yang terus turun di Riau. Sementara itu, perlambatan ekonomi nasional juga didorong oleh kontraksi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur, terkait dengan pemburukan kinerja sektor batubara, yang merupakan komoditas utama Kalimantan. Sebaliknya, perekonomian Sulampua Bali-Nusra tumbuh lebih tinggi, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, terkait dengan perbaikan kinerja tambang tembaga di Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Gambar 1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2015

Page 12: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Neraca Pembayaran Indonesia

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2015 mencatat surplus, terutama ditopang oleh defisit transaksi berjalan yang menurun. Defisit transaksi berjalan triwulan I 2015 menurun, terutama didorong oleh menurunnya defisit neraca migas. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada triwulan I 2015, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,6% PDB). Defisit tersebut juga lebih rendah dari defisit pada triwulan yang sama pada 2014 sebesar 4,1 miliar dolar AS (1,9% PDB). Peningkatan kinerja transaksi berjalan terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas seiring dengan menyusutnya impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai dampak positif dari reformasi subsidi yang ditempuh Pemerintah. Di sisi nonmigas, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat lebih rendah akibat turunnya ekspor nonmigas (-8,0% yoy) seiring dengan dalamnya penurunan harga komoditas, meskipun impor nonmigas juga mencatat penurunan -3,7% (yoy) di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang melambat. Perbaikan kinerja transaksi berjalan juga disumbang oleh berkurangnya defisit neraca jasa mengikuti turunnya impor barang, berkurangnya pengeluaran wisatawan nasional selama berkunjung ke luar negeri, dan turunnya neraca pendapatan primer seiring dengan pola musimannya.

Sementara itu, di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global, Transaksi Modal dan Finansial triwulan I 2015 tetap surplus. Transaksi modal dan finansial mencatat surplus pada triwulan I 2015, terutama ditopang oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung. Pada investasi portofolio, secara akumulatif aliran masuk modal portofolio asing pada triwulan I 2015 lebih besar dari inflow pada triwulan IV 2014. Derasnya inflow pada triwulan I 2015 tersebut tidak hanya bersumber dari penerbitan surat berharga global oleh Pemerintah, namun juga karena masih kuatnya pembelian investor asing terhadap surat berharga negara berdenominasi rupiah dan saham pada periode Januari-Februari 2015. Di sisi lain, aliran masuk investasi langsung pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 5,3 miliar dolar AS. Besarnya arus masuk investasi langsung tersebut mencerminkan kepercayaan investor terhadap kondisi fundamental ekonomi Indonesia serta prospek pertumbuhan ekonomi ke depan yang terjaga dengan baik. Namun, surplus transaksi modal dan finansial triwulan I 2015 lebih rendah dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya yang mencapai 8,9 miliar dolar AS terutama karena meningkatnya penempatan simpanan sektor swasta di luar negeri dan penarikan pinjaman luar negeri swasta yang lebih rendah.

Perbaikan transaksi berjalan dan surplus transaksi modal dan finansial menyebabkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I 2015 secara keseluruhan surplus. NPI triwulan I 2015 mencatat surplus sebesar US$1,3 miliar (Grafik 7). Dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir Maret 2015 tercatat sebesar US$111,6 miliar (Grafik 8). Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang luar negeri Pemerintah selama 6,6 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional.

Page 13: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

367ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 4,4% (qtq) ke level Rp12.807 per dolar AS. Sejalan dengan itu, secara point-to-point Rupiah terdepresiasi sebesar 5,27% dan ditutup di level Rp.13.074 per USD (Grafik 1.9). Penguatan dolar AS yang terjadi terhadap mayoritas mata uang dunia ditopang oleh ekonomi AS yang membaik dan kebijakan Quantitative Easing ECB (Grafik 1.10).

Pada triwulan I 2015, nilai tukar mencatat peningkatan volatilitas, meskipun kembali turun pada April 2015. Peningkatan volatilitas pada triwulan I 2015 juga dialami oleh mata uang negara peers. Pada April 2015, volatilitas rupiah turun sejalan dengan upaya Bank Indonesia

Grafik 9.Nilai Tukar Rupiah

Grafik 10.Nilai Tukar Kawasan

Grafik 7.Neraca Pembayaran Indonesia

Grafik 8.Perkembangan Cadangan Devisa

�����

�����

����

����

�����

������

������

�������� �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��� ��� ��� �������

���� ���� ���� ���� ����

�����������������������������������������������������������������

���������������

�������������������������������������������

���

���

���

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

������������������������������������������

��������������������������������

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ���� ����

�����

�����

�����

�����

�����

�����

�����

�����

����������

�����

�����

�����

�����

����������

�����

����������

�����

� �� �� �� �� �� �� � �� �� �� �� �� �� �� � �� �� � �� ����� ��� ��� ��� ��� ��� ���

�������������������������������

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

������������

��������

���������������

����������

����������

����������

�����������

������������

������������

������ ������ ������ ����� ����� �����

�������������� �������

������������������

Page 14: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

untuk menjaga nilai rupiah. Volatilitas rupiah pada April 2015 relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara peers seperti Real Brasil, Lira Turki, Ringgit Malaysia, Rand Afrika Selatan, Dollar Singapura, Won Korea Selatan, dan Rupee India.

Inflasi

Inflasi pada triwulan I 2015 tetap terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2015 yakni 4,0±1%. Pada triwulan I 2015, IHK mencatat deflasi sebesar -0,44% (qtq) atau 6,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,49% (qtq) atau 8,36% (yoy) (Grafik 11). Penurunan ini terutama didorong oleh koreksi harga BBM pada bulan Januari dan dampak lanjutannya terhadap penurunan tarif angkutan dalam kota. Selanjutnya, koreksi harga aneka cabai juga mendorong deflasi kelompok volatile food di bulan Februari dan Maret.

Grafik 11.Perkembangan Inflasi Tahunan

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

������

���

��

��

��

�����

������������

���������������������������������������

� � � � ���� � � � ���� � � � ���� � � � ���� � � � ���� � � � ���� � � � ���� � � � ���� �

Kelompok volatile food tercatat deflasi pada triwulan I 2015, terutama bersumber dari meningkatnya pasokan beberapa komoditas pangan. Kelompok volatile food tercatat deflasi sebesar -1,98% (qtq) atau 5,87% (yoy). Deflasi kelompok volatile food didukung oleh tingginya pasokan aneka cabai sejalan dengan berlangsungnya panen raya di sejumlah daerah sentra. Selain aneka cabai, melimpahnya pasokan pada komoditas daging ayam dan telur ayam juga menyumbang penurunan inflasi volatile food.

Pada triwulan I 2015, kelompok administered prices mengalami deflasi terutama didorong oleh koreksi harga BBM serta dampak lanjutannya terhadap angkutan dalam kota. Kelompok administered prices tercatat deflasi sebesar -3,91% (qtq) atau 11,49% (yoy). Koreksi harga BBM terjadi pada Januari, yaitu pada tanggal 1 Januari 2015 harga bensin turun dari Rp8.500 per liter menjadi Rp7.600 per liter dan solar turun dari Rp7.500 per liter menjadi Rp7.250 per liter. Selanjutnya, pada tanggal 14 Januari 2015 harga bensin kembali turun dari Rp7.600 per

Page 15: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

369ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

liter menjadi Rp6.600 per liter dan harga solar turun dari Rp7.250 per liter menjadi Rp6.400 per liter.

Tekanan inflasi inti terkendali pada triwulan I 2015, sejalan dengan koreksi harga komoditas global dan perlambatan ekonomi domestik. Inflasi inti tercatat sebesar 1,25% (qtq) atau 5,04% (yoy), sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,70% (qtq). Penurunan tekanan eksternal terutama didorong oleh penurunan harga global di tengah tekanan pelemahan rupiah pada triwulan I 2015. Demikian pula dengan permintaan domestik yang tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.

Inflasi inti yang terkendali pada triwulan I 2015 turut didukung oleh terkendalinya ekspektasi inflasi. Consensus Forecast triwulanan periode Maret 2015 menunjukkan bahwa proyeksi inflasi IHK 2015 akhir tahun menurun dibandingkan survei periode Desember 2014. Penurunan ekspektasi tersebut diprakirakan terkait dengan beberapa kebijakan administered

prices yang ditetapkan pemerintah pada awal tahun, yaitu penurunan harga bensin dan solar sebanyak 2 kali serta realisasi deflasi pangan pada awal tahun.

Meskipun inflasi pada triwulan I 2015 secara nasional terkendali, namun beberapa daerah seperti Maluku, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara mencatat inflasi yang tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Lebih tingginya inflasi tahunan pada beberapa daerah tersebut disebabkan oleh kenaikan harga beras yang cukup tinggi karena kendala pasokan dan penyaluran raskin, serta kenaikan harga ikan karena kondisi cuaca yang tidak kondusif. Pada April 2015, tekanan inflasi yang meningkat terjadi hampir merata di seluruh daerah. Inflasi tertinggi terjadi di wilayah Sumatera, diikuti oleh Jawa. Selain penyesuaian harga administered prices, inflasi di daerah tersebut didorong oleh kenaikan tarif angkutan udara, biaya kontrak rumah, serta peningkatan tarif kereta api jarak jauh. Sementara inflasi di Kalimantan dan Sulampua-Bali-Nusra relatif lebih rendah karena terdapat provinsi yang mengalami deflasi (Gambar 2).

Gambar 2.Peta Sebaran Inflasi IHK (%, yoy)

Page 16: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Perkembangan Moneter

Perkembangan suku bunga dan uang beredar masih sesuai dengan arah kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia. Selama triwulan I 2015, rata-rata suku bunga PUAB meningkat sementara suku bunga kredit perbankan relatif stabil. Perkembangan tersebut memengaruhi dinamika likuiditas perekonomian, sebagaimana tercermin pada likuiditas di PUAB dan perbankan yang terjaga.

Kondisi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) pada triwulan I 2015 ditandai oleh likuiditas yang tetap terjaga. Rata-rata suku bunga PUAB O/N mengalami sedikit peningkatan dari 5,81% pada triwulan IV 2014 menjadi 5,84% pada triwulan I 2015 (Grafik 12). Suku bunga PUAB O/N sempat meningkat seiring langkah antisipatif perbankan dalam menjaga kecukupan likuiditas terkait kondisi di sistem pembayaran. Rata-rata posisi DF pada triwulan I turun dari Rp141,05 triliun menjadi Rp113,25 triliun. Namun, kondisi likuiditas secara industri masih likuid yang terlihat dari masih tingginya likuiditas overnight yang di tempatkan di DF. Rata-rata spread suku bunga max-min di PUAB menurun dari 94 bps pada triwulan IV 2014 menjadi 27 bps triwulan I 2015 (Grafik 13). Secara nominal, volume rata-rata PUAB total pada triwulan I 2015 tercatat naik menjadi Rp11,00 triliun dari Rp10,44 triliun pada triwulan sebelumnya. Kenaikan volume PUAB total lebih dikontribusi oleh kenaikan volume PUAB O/N yang naik dari Rp 6,37 triliun menjadi Rp6,78 triliun.

Suku bunga deposito perbankan menurun, sementara suku bunga kredit sedikit meningkat. Suku bunga Rata-rata Tertimbang (RRT) deposito pada triwulan I 2015 masih melanjutkan tren penurunan dari triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut didorong oleh penurunan BI Rate pada Februari 2015, serta semakin longgarnya likuiditas perbankan seiring tingginya pertumbuhan DPK di atas pertumbuhan kredit yang melambat. RRT suku bunga deposito turun dari 8,78% menjadi 8,62% yang disumbang oleh penurunan suku bunga deposito pada hampir semua tenor, kecuali tenor 12 bulan. Sementara itu, suku bunga RRT kredit pada triwulan I 2015 tercatat di level 12,99% atau meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yakni sebesar 12,95%. Kenaikan suku bunga RRT kredit terutama disumbang oleh kenaikan suku bunga Kredit Konsumsi (KK), dari 13,58% menjadi 13,68%, dan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK), dari 12,79% menjadi 12,82%. Sementara itu, suku bunga Kredit Investasi (KI) turun dari 12,36% menjadi 12,32%. Dengan perkembangan tersebut, spread antara suku bunga kredit dan deposito pada triwulan I 2015 meningkat menjadi 437 bps dari 417 bps.

Page 17: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

371ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

Likuiditas perekonomian (M2) pada triwulan I 2015 mengalami peningkatan didorong oleh peningkatan uang kuasi dan M1 (Giro). Pertumbuhan M2 pada triwulan I 2015 meningkat menjadi 16,26% (yoy) dari 11,88% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan komponennya, peningkatan M2 bersumber dari kenaikan pertumbuhan uang kuasi, dari 13,80% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 17,60% (yoy) pada triwulan I 2015, dan kenaikan pertumbuhan M1, dari 6,22% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 12,19% (yoy) pada triwulan I 2015. Peningkatan M1 tersebut didorong oleh peningkatan simpanan giro rupiah yang tumbuh dari 7,28% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 20,90% (yoy) pada triwulan I 2015. Sementara, komponen M1 lainnya yaitu uang kartal terus mengalami perlambatan pada triwulan I 2015 menjadi 1,2 % (yoy) dari 4,9 % (yoy) pada triwulan sebelumnya, sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan faktor yang memengaruhi, kenaikan M2 terutama bersumber dari peningkatan tagihan bersih kepada pemerintah pusat (NCG). Pada triwulan I 2015, NCG tumbuh dari 2,5% (yoy) menjadi 38,2% (yoy) sejalan dengan operasi keuangan pemerintah. Sementara itu, pertumbuhan aktiva luar negeri bersih (NFA) mengalami peningkatan dari 9,34% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 20,93% (yoy) pada triwulan I 2015.

Industri Perbankan

Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat.

�����

����������������������������������������������������

�������������

���

���

���

���

���

���

���

���

��

��

��

��

��

���

���

���

���

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ����

������������������������������������������ ���������

� �

���������������� �������

�������

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ����

Grafik 12.aKoridor Suku Bunga Operasional Moneter

Grafik 13. BI Rate, DF Rate dan suku bunga PUAB ON

Page 18: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Laju pertumbuhan kredit pada triwulan I 2015 melambat seiring dengan perlambatan ekonomi. Pertumbuhan kredit1 pada triwulan I 2015 masih rendah yaitu tercatat 11,3% (yoy), menurun dari triwulan sebelumnya sebesar 11,6% (yoy) (Grafik 14). Perlambatan laju kredit terutama disumbang oleh KMK yang tumbuh melambat dari 10,8% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 9,9% (yoy) pada triwulan I 2015. Sementara itu, pertumbuhan KI dan KK sedikit meningkat, masing-masing menjadi 13,5% (yoy) dan 11,6% (yoy) pada triwulan I 2015 dari 13,1% (yoy) dan 11,5 %(yoy) pada triwulan IV 2014. Secara sektoral, perlambatan pertumbuhan kredit antara lain terjadi pada sektor perdagangan, listrik gas dan air (LGA), jasa lainnya, pertanian, dan pertambangan. Penurunan kredit di sektor perdagangan, transportasi dan LGA lebih disebabkan faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan I 2015 meningkat cukup tinggi. Pertumbuhan DPK2 pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 16,0% (yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 12,3% (yoy) (Grafik 15). Pertumbuhan DPK terutama ditopang oleh pertumbuhan giro yang meningkat dari 5.1% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 17.7%

1 Perhitungan pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 11,3% (yoy) pada triwulan I 2015 menggunakan konsep perbankan, yaitu pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum (termasuk kantor cabang yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (termasuk Pemerintah Pusat) dan bukan penduduk. Sementara itu, pertumbuhan kredit menggunakan konsep moneter pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 11,1% (yoy). Kredit menurut konsep moneter adalah pinjaman rupiah dan valas yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) kepada penduduk (tidak termasuk Pemerintah Pusat).

2 Perhitungan pertumbuhan DPK sebesar 16,0% (yoy) menggunakan konsep perbankan. DPK menurut konsep perbankan adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas pada Bank Umum (termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di luar wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep perbankan meliputi pula simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk. Sementara itu, DPK menueut konsep moneter pada triwulan I 2015 mencatat pertumbuhan sebesar 16,3% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 12,0% (yoy). DPK menurut konsep moneter adalah simpanan milik pihak ketiga, baik dalam rupiah maupun valas pada Bank Umum dan BPR (tidak termasuk kantor cabang bank yang beroperasi di wilayah Indonesia) dalam bentuk tabungan, giro, dan simpanan berjangka. DPK menurut konsep moneter tidak termasuk simpanan milik Pemerintah Pusat dan simpanan milik bukan penduduk.

Grafik 14. Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan

Grafik 15. Pertumbuhan DPK

���

��

��

��

��

��

��

������

������������

����

����

����

���

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������� ���� ���� ����

������

��

��

��

��

��

��

��

���

��� ����

����

��� ������ ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ������� ���� ���� ����

Page 19: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

373ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

(yoy) pada triwulan I 2015. Selain itu, kenaikan pertumbuhan deposito dari 20.9% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 23.7% (yoy) pada triwulan I 2015 turut menopang peningkatan DPK. Namun, pertumbuhan tabungan masih menunjukkan perlambatan, dari 5.9% (yoy) pada triwulan IV 2014 menjadi 4.0% (yoy) pada triwulan I 2015.

Kondisi perbankan masih cukup terjaga di tengah melambatnya pertumbuhan kredit. Pada triwulan I 2015, ketahanan permodalan masih memadai dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang masih tinggi sebesar 20,7%, jauh di atas ketentuan minimum 8% (Tabel 2). Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,4% (gross).

�����������������������������

����

���

������������������

��������������

����

��������������������������������������������

��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���

������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� �������������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� �������������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� ������� �������

����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ����� ���� �������� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ��� ������� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ������� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ������ ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���

���������������������������������

Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara

Perkembangan pasar saham domestik selama triwulan I 2015 menunjukkan kinerja positif, didorong oleh sentimen positif domestik seiring rilis data fundamental ekonomi yang membaik. Kinerja IHSG triwulan I 2015 mencapai level 5.518,68 (31 Mar 2015), naik sebesar 292 poin atau 5,58% (qtq) (Grafik 16). IHSG beberapa kali mencatatkan rekor tinggi sepanjang waktu selama periode Januari hingga Maret 2015. Penguatan ini dipengaruhi oleh sentimen positif domestik atas rilis data beberapa indikator fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik dari perkiraan serta sentimen positif rilis laporan keuangan dan pembayaran dividen emiten di bulan Maret. Meskipun demikian, tekanan terhadap nilai tukar membuat penguatan IHSG relatif tertahan. Sementara di sisi global, sentimen positif muncul dari kesepakatan Eurogroup terkait masalah utang Yunani serta rilis FOMC yang cenderung dovish turut membawa pergerakan positif di pasar saham domestik. Kinerja IHSG tergolong baik dibandingkan dengan pergerakan bursa saham kawasan (Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura). Pertumbuhan IHSG termasuk besar di antara negara kawasan dan berada di bawah Filipina (9,8%), namun masih berada di atas Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Page 20: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Perkembangan pasar SBN menunjukkan kinerja yang positif, didorong oleh sentimen positif domestik. Sentimen positif tersebut berasal dari rilis beberapa indikator ekonomi Indonesia yang lebih baik dari prakiraan sebelumnya. Membaiknya kondisi pasar SBN ditandai oleh yield SBN yang turun di seluruh tenor (Grafik 17). Secara keseluruhan, yield turun sebesar 38 bps menjadi 7,42% pada triwulan I 2015 dari 7,80% pada triwulan IV 2014. Adapun yield jangka pendek, menengah dan panjang masing-masing turun sebesar 37 bps, 33 bps dan 51 bps menjadi 7,04%, 7,45% dan 7,85% pada triwulan I 2015. Sementara, yield benchmark 10 tahun turun sebesar 36 bps dari 7,80% pada triwulan IV 2014 menjadi 7,44% pada triwulan I 2015. Penurunan yield tersebut didorong oleh penurunan BI Rate pada Februari 2015. Selain itu, minat investor terhadap SBN masih tinggi, tercermin dari lelang SBN pemerintah yang masih mengalami oversubscribed. Di tengah penurunan yield SBN yang terjadi, investor nonresiden mencatatkan net beli sebesar Rp42,73 triliun pada triwulan I 2015, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp13,99 triliun. Meskipun demikian, pasar SBN sempat mengalami tekanan pada bulan Maret, didorong oleh adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan kembali meningkatnya ekspektasi kenaikan FFR seiring dengan membaiknya rilis data ekonomi AS.

Pembiayaan Non Bank

Pembiayaan ekonomi nonbank pada triwulan I 2015 menurun. Total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes, promissory notes dan lembaga keuangan lainnya tercatat sebesar Rp22,2triliun atau lebih kecil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp44,6 triliun. Pembiayaan terbesar masih bersumber dari penerbitan obligasi yaitu sebesar Rp12,8 triliun. Turunnya pembiayan ekonomi

Grafik 16. IHSG dan Indeks Bursa Global Triwulan I 2015 (qtq)

Grafik 17. Perubahan Yield Triwulan I 2015

������������

�����������������������������

����������������������������

�������������������������������������

�������������������������������������

����������������������

�����������������������

��������

���������

��������

���������

��������

��������

����

�����

��� �� �� ��� ��� ���

���

���

���

� ���

���

���

���

���

���

���

��������������������

�����

�����������������������

����������������

Page 21: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

375ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

nonbank terjadi seiring dengan tren naiknya tingkat yield Surat Utang Negara (SUN) sehingga meningkatkan cost of fund penerbitan obligasi bagi investor maupun korporasi. Selain itu, rencana kenaikan FFR yang kembali meningkat seiring dengan perbaikan data ekonomi AS pada awal tahun 2015 turut mendorong investor untuk cenderung wait and see dan menunda rencana emisinya.

Perkembangan Sistem Pembayaran

Secara umum, perkembangan sistem pembayaran di kelompok tunai sejalan dengan perkembangan ekonomi domestik. Rata-rata harian Uang Kartal yang Diedarkan (UYD) pada triwulan I 2015 adalah sebesar Rp462,6 triliun atau tumbuh sebesar 3,2% (yoy), menurun dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 13,6% (yoy). Hal ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2015. Selain itu, pertumbuhan UYD secara triwulanan mengalami penurunan sebesar -12,5% (qtq) karena faktor siklikal adanya arus balik dana perbankan dan masyarakat ke Bank Indonesia, pasca tingginya kebutuhan uang kartal pada periode Natal dan liburan akhir tahun 2014.

Di tengah tren pertumbuhan UYD yang dipengaruhi faktor siklikal tersebut, Bank Indonesia terus berupaya meningkatkan kelayakan uang yang beredar. Selama triwulan I 2015, sejumlah 1,54 miliar lembar/keping Uang Tidak Layak Edar (UTLE) senilai Rp40,9 triliun telah dimusnahkan dan diganti dengan uang rupiah yang layak edar. Jumlah pemusnahan UTLE tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2014 yang tercatat sebesar 1,50 miliar lembar/keping atau senilai Rp30,7 triliun. Meningkatnya pemusnahan UTLE tersebut disebabkan oleh tingginya aliran uang rupiah masuk (inflow) ke Bank Indonesia, serta meningkatnya jumlah kandungan UTLE yang disetorkan perbankan.

Transaksi sistem pembayaran tetap dapat berjalan secara aman dan lancar selama triwulan I 2015. Pada triwulan I 2015 transaksi sistem pembayaran nontunai mengalami penurunan baik dari sisi nilai maupun volume transaksi apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan nilai transaksi tercatat sebesar Rp6.121,1 triliun atau menurun sebesar 13,4% (qtq) sedangkan penurunan volume transaksi tercatat sebesar 4,3 juta transaksi atau 0,3% (qtq) (Tabel 3). Secara umum, penurunan nilai transaksi terjadi pada seluruh kelompok transaksi terutama transaksi Operasi Moneter yang turun sebesar Rp4.187,5 triliun atau turun 22,0% dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya. Di sisi lain, penurunan volume transaksi terutama disebabkan oleh menurunnya transaksi masyarakat melalui instrumen nontunai khususnya yang diselenggarakan oleh industri. Penurunan volume transaksi terbesar terjadi pada transaksi Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang menurun sebesar 11,8 juta transaksi atau 1,0% (qtq).

Page 22: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Sejalan dengan penurunan nilai dan volume transaksi sistem pembayaran nontunai pada triwulan I 2015, transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS juga mengalami penurunan baik dari sisi nilai maupun volume. Ketersediaan sistem BI-RTGS sebagai setelmen dana, BI-SSSS sebagai setelmen surat berharga pemerintah dan Bank Indonesia, serta SKNBI yang mencapai 100% serta tidak adanya gangguan yang signifikan dalam penyelenggaraan APMK dan Uang Elektronik pada triwulan I 2015. Nilai transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS turun sebesar Rp4.162,5 triliun (turun sebesar 12,6%, qtq) menjadi Rp28.879,2 triliun. Penurunan nilai transaksi tersebut terutama disebabkan oleh Operasi Moneter yang memiliki kontribusi sebesar 51,4% dari keseluruhan transaksi melalui Sistem BI-RTGS. Sementara itu, volume transaksi pembayaran yang diselesaikan melalui Sistem BI-RTGS menurun sebesar 1,8 juta transaksi atau turun 38,5% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Dari sisi persentase, penurunan volume transaksi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement

(BI-RTGS) mencatat penurunan tertinggi, yaitu sebesar 38,5% (turun sebesar 1.8 juta transaksi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya). Penurunan volume transaksi disebabkan oleh adanya kebijakan capping RTGS3.

����������������������������������������������������

���� ��������������

��� ���� ����� ���� ��� �������������

������������������

�����������������������������������������

�������

�������

�������

�����

������

����

������������

�����������������������

���������������

�����

��������

�������

�����

�����

�����

�������

����

�������

���

��������

��������

�������

�����

�����

�����

�������

����

�������

���

��������

��������

�������

�����

�����

�����

�������

����

�������

���

��������

��������

��������

�����

�����

�����

�������

����

�������

���

��������

��������

�������

�����

�����

�����

�������

����

�������

���

��������

������

������

�����

�����

�����

�����

�����

�����

����

������

3 Kebijakan capping (berdasarkan SE BI No.16/18/DPSP) yang diberlakukan mulai tanggal 15 Desember 2014, dimana transaksi transfer kredit antar Bank untuk kepentingan nasabah dengan nominal sampai dengan Rp100.000.000,00 harus dilaksanakan melalui SKNBI.

Page 23: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

377ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2015

Prospek Perekonomian

Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik, terutama pada semester II 2015. Pertumbuhan yang membaik ini didukung oleh meningkatnya konsumsi dan investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh pemerintah serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan. Percepatan realisasi belanja Pemerintah baik di kementrian/lembaga maupun untuk implementasi proyek-proyek infrastruktur menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.

Inflasi pada tahun 2015 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dan berada dalam rentang sasaran inflasi sebesar 4±1%. Di sisi domestik, tekanan inflasi dari sisi permintaan diprakirakan relatif moderat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang di bawah tingkat potensialnya dan masih rendahnya utilisasi kapasitas produksi. Ekspektasi inflasi diperkirakan juga tetap terjaga dengan dukungan kebijakan dan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Tekanan inflasi dari sisi eksternal diprakirakan tidak terlalu besar. Hal tersebut didukung oleh perkiraan terbatasnya peningkatan harga-harga komoditas internasional sejalan dengan laju perbaikan perekonomian dunia yang berlangsung secara gradual dan nilai tukar yang relatif stabil.

Bank Indonesia akan terus mencermati beberapa risiko perekonomian yang berasal dari eksternal maupun domestik. Dari sisi global, risiko muncul dari PDB dunia yang berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan yang khususnya disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi AS yang tidak setinggi perkiraan. Selain itu, PDB dunia juga berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan apabila perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan yang lebih dalam. Risiko global juga muncul dari kemungkinan harga komoditas internasional yang turun lebih jauh dari perkiraan. Dari sisi pasar keuangan global, risiko yang perlu diwaspadai adalah ketidakpastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS. Di sisi domestik, belanja pemerintah perlu dicermati karena menentukan implementasi proyek-proyek infrastruktur yang berperan penting dalam menjaga optimisme terhadap prospek perekonomian.

Page 24: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 25: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

379The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

THE IMPACT OF MACROECONOMIC CONDITION ON THE BANK’S PERFORMANCE IN INDONESIA

Aviliani1

Hermanto Siregar2

Tubagus Nur Ahmad Maulana3 Heni Hasanah4

This paper analyzes the impact of macroeconomic indicator (including the production index, inflation,

Bank Indonesia rate, Jakarta stock index, exchange rate and the crude oil price) on the state owned banks’

performance. We apply the Vector Error Correction Model (VECM) on the banking data ranging from

2006-2013, and provide us several findings. First, the impulse response function shows the largest response

of the bank overhead cost (BOPO) due to the macroeconomic shock; we argue the volatility of this bank

efficiency indicator, reflects the inefficiency of the banks in Indonesian. Second, the amount of loan and

the lending to deposit ratio (LDR) provide the weakest response due to the macroeconomic shock. This

is in line with the result of variance decomposition, where the macroeconomic variable explains the least

of the NPL variation. Third, from all macroeconomic variables we observe, the shock of Bank Indonesia’s

rate generally provides the largest response of most of the bank performance indicators; which supports

the use of the Bank Indonesia’s rate as effective monetary instrument.

Abstract

Keywords: macroeconomic shocks, state-owned banks, indicators of bank performance, VECM.

JEL Classification: C32, E10, G21

1 STIE Perbanas, E-mail: [email protected] Department of Economics, Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural University (IPB) and Graduate Program of

Management and Business, IPB, E-mail: [email protected] Department of Management, Faculty of Economics and Management, IPB and Graduate Program of Management and Business,

IPB, E-mail: [email protected] Department of Economics, Faculty of Economics and Management, IPB, E-mail: [email protected]

Page 26: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

I. PENDAHULUAN

Mishkin (2001) menyatakan bahwa bank merupakan sumber institusi penting dan utama bagi pembiayaan eksternal dalam suatu bisnis hampir di semua negara. Bahkan perannya lebih besar lagi di negara-negara berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Peran industri perbankan masih mendominasi sistem keuangan di Indonesia dengan pangsa sekitar 77,9 persen dari total aset lembaga keuangan (Bank Indonesia, 2013). Fungsi bank sebagai intermediary institution memiliki peran strategis bagi pengembangan perekonomian suatu negara. Kinerja bank yang baik secara individual maupun dalam suatu sistem diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian.

Karena peran perbankan yang begitu besar, penting untuk dipastikan bahwa sistem keuangan dan perekonomian di suatu negara juga berjalan dengan lancar dan efisien. Kinerja bank sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang dimaksud dapat berupa daya saing masing-masing yang dimiliki, sedangkan faktor eksternal dapat berupa kondisi makro dan keuangan suatu negara secara umum. Daya saing masing-masing bank dapat berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dan keunggulan khas yang dimiliki. Tetapi kondisi makro dan keuangan yang dihadapi tentunya sama jika berada dalam suatu perekonomian yang sama. Kondisi makro yang kondusif dapat memberikan lingkungan yang positif terhadap perkembangan perbankan itu sendiri. Sebaliknya, kondisi makro dan keuangan yang kurang stabil dapat memengaruhi risiko pasar dan risiko kredit perbankan yang pada gilirannya dapat berdampak pada kinerja bank. Layaknya suatu siklus, stabilitas sistem perbankan merupakan unsur terciptanya stabilitas sistem keuangan dan bermuara kembali pada stabilitas perekonomian suatu negara.

Beberapa guncangan eksternal lain yang berasal dari luar negeri seperti krisis keuangan global yang diikuti beberapa rangkaian resesi di dunia dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja bank. Pengaruh tidak langsung yang terjadi salah satunya jika guncangan tersebut berpengaruh terhadap kondisi makro Indonesia dan kemudian kondisi makro itulah yang berpengaruh terhadap kinerja bank.

Di Indonesia, bank umum terdiri dari 6 kelompok bank yaitu Bank Persero (BUMN), BUSN Devisa, BUSN non-devisa, BPD, Bank Campuran, dan Bank Asing. Dari sisi aset BUSN devisa memiliki pangsa terbesar sebesar 39 persen. Peringkat berikutnya secara berturut-turut diduduki oleh Bank Persero (36 persen), BPD (9 persen), Bank Asing (8 persen), Bank Campuran (5 persen), dan BUSN non-devisa (3 persen). Meski aset BUSN memiliki porsi terbesar tetapi jumlah bank pada kelompok tersebut sebanyak 38 bank, artinya rata-rata jumlah aset per bank sebesar Rp 59 triliun. Sementara kelompok Bank BUMN hanya terdiri dari 4 bank, sehingga rata-rata aset per bank sebesar Rp523 triliun. Bank BUMN merupakan penyumbang laba bersih perbankan dengan porsi terbesar yaitu 44,8 persen (Bank Indonesia, 2013). Selain itu, tingkat pertumbuhan kredit bank BUMN (24,9 persen) juga lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan kredit industri perbankan (20,6 persen). Dari data-data tersebut dapat terlihat bahwa peranan Bank BUMN

Page 27: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

381The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

mendominasi sistem perbankan di Indonesia. Menurut Bank Indonesia dalam Kajian Stabilitas Keuangan pada September 2013, bank BUMN termasuk ke dalam kelompok bank yang rentan terhadap kenaikan NPL dan suku bunga serta pelemahan harga obligasi negara.

Dua ukuran kinerja bank yang sering digunakan adalah return on assets (ROA) dan return on equity atau ROE (lihat antara lain Gizycki, 2001; Bonin, Hasan, dan Wachtel, 2003; Athanasoglou, Brissimis, dan Delis, 2005; Ghazali, 2008; Rumler dan Waschiczek, 2010; Sufian, 2011; Alper dan Anbar, 2011; Mirzaei, Liu, dan Moore, 2011; Sastrosuwito dan Suzuki, 2011; Ali, Akhtar, dan Ahmed, 2011; Abiodun, 2012).

Selain menggunakan ROA, Naceur (2003), Hamadi dan Awdeh (2012), Saad dan El-Moussawi (2012) menambahkan variabel net interest margin (NIM) sebagai proksi kinerja. Lain halnya dengan peneliti-peneliti di atas, Schinasi (2005), Kool (2006), serta Festic dan Beco (2008) menggunakan variabel non performing loan (NPL) sebagai salah satu indikator kinerja bank.

Secara umum variabel makroekonomi yang sering dijadikan determinan terhadap kinerja perbankan dari berbagai banyak kajian adalah pendapatan nasional atau pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga. Naceur (2003) menggunakan pertumbuhan GDP per kapita dan inflasi sebagai variabel makro yang memengaruhi kinerja perbankan. Ali, et al. (2011), Mirzaei, et al. (2011) menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sementara pada penelitian Gizycki (2001), Alpen dan Albar (2011), Hamadi dan Awdeh (2012) terdapat variabel makro lain berupa suku bunga. Festic dan Beco (2008), De Bock dan Demyanets (2012) menambahkan variabel nilai tukar.

Secara faktual selama kurun waktu tahun 2006-2013, ukuran kinerja ROA dan LDR bank BUMN terlihat memiliki kecenderungan meningkat (masing-masing dengan rata-rata 3,04 dan 73,8 persen). Secara sekilas, ROA tampak tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi global, yang dilihat dari rata-rata ROA pada masa krisis justru lebih tinggi dari periode sebelumnya. Sementara LDR memiliki nilai paling rendah pada setiap akhir tahun (bulan Desember). Berbeda dengan ROA, LDR justru cenderung dipengaruhi oleh krisis global tahun 2008. Hal ini terlihat dari nilai LDR yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bulan terakhir sebelum terjadi krisis global (Agustus 2008). LDR sendiri baru meningkat lagi sekitar bulan April 2010.

Page 28: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Indikator lain berupa BOPO dan NPL memperlihatkan perkembangan yang juga cukup baik. Nilai BOPO cenderung menurun dari tahun 2006-2013, yang menandakan kinerja bank-bank BUMN lebih baik dan lebih efisien. Nilai BOPO hanya melonjak di setiap awal tahun yang kemungkinan disebabkan oleh beberapa program rutin. Secara rata-rata nilai BOPO bank BUMN masih cukup tinggi yaitu sebesar 91 persen, tetapi kondisi Desember 2013 nilainya berada pada posisi 66 persen. Untuk NPL sendiri dalam setahun terakhir bernilai sekitar 2,2 persen, turun drastis bila dibandingkan pada tahun 2006 yang mencapai 15-16 persen.

Grafik 1.Perkembangan LDR (%) dan ROA (%), 2006-2013

Grafik 2.Perkembangan BOPO (5) dan NPL (%)

���

��

��

��

��

��

��

��

��

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

���

���

���

���

���

���

���

���

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

����

��

��

���

���

���

���

���

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

���

��

��

��

��

��

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

Berbeda dengan ROA, LDR, BOPO, dan NPL, nilai NIM cenderung berfluktuatif dengan rata-rata sebesar 6,04 persen, tanpa memiliki tren naik atau turun. Tetapi mulai dari Februari 2012 hingga saat ini nilainya sudah di bawah 6 persen. Sementara itu, total penghimpunan

Page 29: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

383The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

dana pihak ketiga (DPK), kredit, dan laba bank BUMN terus mengalami kenaikan. Nilai kredit tumbuh dengan rata-rata 22 persen per tahun, sedangkan nilai DPK tumbuh sekitar 15,8 persen. Secara rata-rata, pertumbuhan laba tahunan bahkan melebihi pertumbuhan kredit dan DPK yaitu sekitar 27 persen, tetapi sempat mengalami pertumbuhan laba negatif pada tahun 2008 yang kemungkinan besar merupakan dampak dari krisis global.

Grafik 3.Perkembangan NIM (%), DPK, Total Kredit, dan Laba (Miliar Rp) Bank BUMN, 2006-2013

���

�������

�������

�������

���������

���������

���������

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

������

�������

�������

�������

�������

���������

���������

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

�����������������

������

������

������

������

������

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

���

���

���

���

���

���

���

���

���� ���� ���� ���� ���� ���� ���� ����

Deskripsi di atas memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya kondisi kinerja perbankan di Indonesia. Sebagaimana literatur empiris yang telah disajikan sebelumnya, kinerja bank dapat dispesifikasi sebagai fungsi dari kondisi internal dan eksternal bank. Variabel internal mengacu pada faktor spesifik (karakteristik) masing-masing bank, sementara variabel eksternal dapat mencakup kondisi makroekonomi yang telah disebutkan.

Secara eksplisit, tujuan paper ini adalah mengkaji pengaruh kondisi guncangan makro terhadap kinerja bank BUMN. Hal ini ditujukan untuk melihat seberapa sensitif indikator-indikator kinerja bank terhadap guncangan variabel eksternal termasuk indikator makroekonomi. Hal tersebut menjadi fokus utama pada penelitian ini, meskipun peneliti menyadari bahwa reverse

Page 30: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

causation dapat terjadi. Reverse causation yang dimaksud adalah bahwa indikator kinerja bank melalui jalur kredit dapat juga memengaruhi variabel makroekonomi seperti teori Clower

constraint yang dikemukakan oleh Robert Clower pada tahun 1967 (Blancard dan Fischer, 1998). Variabel makro yang digunakan antara lain IPI, inflasi, suku bunga kebijakan (BI Rate), dan nilai tukar. Dari sisi pasar saham digunakan IHSG serta guncangan eksternal berupa harga energi yang dalam hal ini diproksi dengan harga minyak mentah dunia. Sementara kinerja bank diproksi oleh variabel profit, kredit, dan DPK, serta rasio-rasio keuangan seperti LDR, ROA, NIM, NPL, dan BOPO.

Bagian kedua dari paper ini mengulas teori dan literatur yang terkait. Bagian ketiga mengulas data dan metodologi, sementara hasil dan analisisnya disajikan pada bagian keempat. Bagian lima menyajikan kesimpulan dan implikasi penelitian, dan menjadi bagian penutup dari paper ini.

II. TEORI

2.1. Pengukuran Kinerja Bank

Mishkin (2001) menyatakan bahwa kinerja suatu bank dilihat dari tujuan utamanya yaitu bagaimana mereka beroperasi untuk mendapat potensi profit yang paling tinggi. Berdasarkan operasi atau bisnis dasarnya manajer suatu bank concern pada empat hal utama. Pertama, liquidity management dimana bank memastikan memiliki kas yang cukup untuk membayar nasabah penyimpan yang akan mengambil dananya. Kedua, asset management dimana bank harus mengejar tingkat risiko yang rendah dengan cara mengakuisisi aset yang memiliki risiko rendah dan mendiversifikasi kepemilikan aset. Ketiga, liability management dimana bank memperhatikan bagaimana mendapatkan dana dengan biaya yang rendah. Terakhir, capital

adequacy management dimana bank harus memutuskan jumlah modal yang harus dikelola dan mendapatkan jumlah modal yang diperlukan tersebut.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, kinerja bank adalah satu faktor yang tercakup dalam menilai tingkat kesehatan suatu bank selain faktor risiko. Pada PBI tersebut faktor kinerja bank terdiri dari tiga unsur yang meliputi penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance), rentabilitas, dan permodalan. Pada profil risiko terdapat 8 risiko yaitu risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, stratejik, kepatuhan, dan reputasi. Pada kajian ini faktor-faktor risiko dan good corporate governance tidak termasuk pada ruang lingkup penelitian.

Sementara itu kinerja bank dalam menghasilkan laba (rentabilitas) terdiri dari beberapa indikator yaitu Return on Asset (ROA), Net Interest Margin (NIM), kinerja komponen laba aktual terhadap proyeksi anggaran, dan kemampuan komponen laba dalam meningkatkan permodalan. Indikator yang merupakan sumber-sumber yang mendukung rentabilitas yaitu pendapatan bunga bersih, pendapatan operasional selain pendapatan bunga bersih, beban

Page 31: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

385The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

overhead, beban pencadangan, komponen non-core earnings bersih, dimana semua variabel tersebut dirasiokan terhadap rata-rata total aset. Selain itu, indikator dari unsur sustainability komponen-komponen yang mendukung rentabilitas adalah core ROA dan prospek rentabilitas di masa yang akan datang. Terakhir, kinerja bank dari sisi rentabilitas juga melihat pada kemampuan bank dalam mengelola rentabilitas.

Dari sisi permodalan, terdapat dua komponen yaitu kecukupan modal bank dan pengelolaan permodalan. Indikator dalam kecukupan modal bank yaitu rasio modal terhadap aset tertimbang menurut risiko (ATMR), rasio modal inti terhadap ATMR, rasio selisih aset produktif bermasalah dengan CKPN aset produktif bermasalah terhadap jumlah modal inti dan cadangan umum, serta rasio selisih aset kualitas rendah dengan CKPN untuk aset kualitas rendah terhadap jumlah modal inti dan cadangan umum. Indikator pada komponen kedua yaitu pengelolaan permodalan adalah manajemen permodalan bank dan kemampuan akses permodalan yang dilihat dari sumber internal dan eksternal.

Dari penelitian terdahulu, secara umum kinerja bank diproksi dengan menggunakan indikator-indikator profitabilitas. Dua indikator kunci menurut Bonin, et al. (2003), Athanasoglou, et al. (2005), Ghazali (2008), Sufian (2011), Alper dan Anbar (2011), dan Ali, et al. (2011) yaitu return on assets (ROA) dan return on equity (ROE). Begitu pun dengan penelitian Mirzaei, et

al. (2011) yang menggunakan dua variabel tersebut sebagai proksi kinerja perbankan dengan menggunakan data panel 1929 bank di Eropa. ROA merefleksikan kemampuan manajemen bank untuk menghasilkan keuntungan dari aset bank, meskipun nilai ROA dapat menjadi bias akibat aktivitas off-balance-sheet. Nilai ROE menunjukkan tingkat pengembalian ekuitas kepada shareholders. ROA sendiri tidak terdistorsi oleh tingginya multiplier ekuitas, sedangkan ROE mengabaikan risiko yang terkait dengan tingginya financial leverage.

Rumler dan Waschiczek (2010) hanya menggunakan ROE sebagai indikator kinerja perbankan untuk kasus di Negara Austria, sementara Gizycki (2001) hanya menggunakan ROA saja. Untuk kasus perbankan Indonesia, Sastrosuwito dan Suzuki (2011) telah melakukan penelitian tentang pengaruh faktor internal bank, faktor internal industri dan indikator makroekonomi terhadap profitabilitas sistem perbankan pasca-krisis dengan menggunakan data panel. Ukuran kinerja yang dimaksud diproksi dengan variabel ROA. Untuk kasus di Nigeria, dengan mengunakan panel dinamis, Abiodun (2012) sama-sama menggunakan ROA sebagai ukuran kinerja perbankan.

Selain menggunakan ROA, Naceur (2003) menggunakan variabel net interest margin (NIM) sebagai proksi kinerja untuk kasus perbankan di Tunisia. NIM lebih fokus kepada keuntungan yang didapat dari aktivitas yang menghasilkan bunga. Sementara itu, Schinasi (2005), Kool (2006), dan Festic dan Beco (2008) menggunakan variabel non performing loan (NPL) sebagai salah satu indikator kinerja bank dengan justifikasi bahwa NPL mampu mengukur kualitas dari neraca. Gerlach, Peng, dan Shu (2005) menggunakan variabel NIM dan NPL sebagai faktor yang dianggap mewakili profitabilitas untuk kasus di Hong Kong SAR dengan menggunakan

Page 32: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

panel data. Begitupun Hamadi dan Awdeh (2012) serta Saad dan El-Moussawi (2012) yang menggunakan NIM sebagai indikator kinerja perbankan di Libanon.

Berbeda dengan penelitian-penelitian diatas, Guerrieri dan Welch (2012) menggunakan empat proksi banking performance yaitu total net charge offs, pre provision net revenue, NIM, dan Tier-1 Capital Ratio. Sementara itu, Awojobi dan Amel (2011), menggunakan variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai indikator perbankan karena mereka lebih fokus terhadap efisiensi dari manajemen risiko. Clair (2004) memfokuskan penelitiannya pada determinan banking performance and resilience. Sehingga variabel yang menjadi indikator performance juga sedikit berbeda dengan yang lainnya. Variabel indikator kinerja yang digunakan Clair (2004) adalah interest income, fee income, total income, interest paid, salaries paid, total expenses,

employment, capital, dan liquid assets.

2.2. Hubungan antara Variabel Keuangan dengan Aktivitas Ekonomi

Di balik semua kompleksitas dari pasar keuangan, secara umum biasanya hal tersebut direpresentasikan dalam model makroekonomi hanya dengan dua peubah yaitu tingkat suku bunga dan money stock. Tetapi saat ini terdapat berbagai macam literatur yang menyatakan bahwa suku bunga saja tidak cukup merefleksikan hubungan antara pasar keuangan salah satunya bank dengan suatu perekonomian (Blancard dan Fischer, 1998). Ketersediaan kredit dan kualitas dari balance sheet menjadi determinan utama pada tingkat investasi. Greenwald dan Stiglitz (1988) dalam Blancard dan Fischer (1998) menekankan peranan kredit dalam siklus bisnis dan terutama dalam transmisi kebijakan moneter untuk memengaruhi perekonomian. Di sisi lain, hal yang sebaliknya terjadi. Kinerja yang baik dari suatu pasar keuangan khususnya untuk institusi keuangannya itu sendiri tergantung pada lingkungan dimana lembaga tersebut berada. Kondisi makroekonomi yang baik dari berbagai indikatornya akan merangsang dan mendukung perkembangan institusi keuangan menjadi lebih cepat lagi.

Banyak studi yang menunjukkan bahwa kinerja keuangan bank dipengaruhi oleh siklus bisnis (Lowe dan Rohling, 1993; Calomiris, Orphanides, dan Sharpe, 1997; dan Kaufman, 1998). Saat perekonomian sedang mengalami booming, baik perusahaan maupun rumahtangga mengeluarkan proporsi yang cukup besar dari pendapatannya untuk pembayaran utang mengikuti pola prosiklis. Dengan mengasumsikan hal lain konstan, pendapatan bank akan meningkat seiring dengan peningkatan siklus bisnis. Menurut Clair (2004), pengaruh perubahan siklus bisnis terhadap perubahan tingkat profitabilitas bank bersifat tidak langsung. Karena pendapatan dan pengeluaran bersifat prosiklis, keuntungan suatu bank tergantung pada kebijakan pengeluaran bank dan profil risiko kredit mereka. Selanjutnya, hubungan antara risiko dan return tergantung pada bagaimana harga yang ditetapkan untuk exposure risiko serta lag antara keputusan mengambil risiko dengan kristalisasi risiko tersebut dalam keuntungan atau kerugian bank. Saat GDP meningkat, bank berpotensi mendapat return yang lebih besar

Page 33: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

387The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

dengan mengambil risiko yang lebih besar pula dan akhirnya meningkatkan profit. Gambar 1 menunjukkan hubungan inter-linkage antara makroekonomi dengan perbankan.

Gambar 1.Saling keterkaitan antara Kondisi Makroekonomi dengan Perbankan

���������������

����� ���������������

���������� ����������

�������������������������

���������������

�������������������

����������

����������������� ������

������������������� �������������

���������������������������

��������������������������������������

������������� ���������������������������

���������������������������������������

�������

������������������

�����������

�����������

�����������������������

���������������������������������������

Secara umum variabel utama makroekonomi yang digunakan dalam berbagai literatur adalah pendapatan nasional (GDP), suku bunga, dan inflasi. Sementara determinan yang menjadi proksi dari pasar keuangan lain adalah harga saham. Dengan mengunakan data panel untuk perbankan di Tunisia, Naceur (2003) menemukan bahwa indikator makro berupa pertumbuhan GDP per kapita dan inflasi ternyata tidak memiliki dampak signifikan terhadap NIM, tetapi inflasi ditemukan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA, sementara pertumbuhan GDP per kapita tetap tidak berpengaruh. Sementara itu, terkait dengan struktur pasar keuangan, penelitian ini menemukan bahwa struktur pasar yang terkonsentrasi kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan struktur pasar kompetisi. Selain itu, perkembangan pasar saham mempunyai pengaruh positif terhadap profitabilitas bank. Hal ini merefleksikan sifat saling melengkapi antara keduanya.

Page 34: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Sejalan dengan penelitian di atas, Gizycki (2001) dalam penelitiannya untuk perbankan di Australia juga menemukan bahwa variabel internal masing-masing bank menyebabkan adanya variabilitas baik dalam risiko kredit maupun profitabilitas. Tetapi berbeda dengan Naceur (2003), dalam penelitian ini indikator makro yang digunakan sebagai variabel penjelas justru memberikan pengaruh yang kuat terhadap risiko kredit dan profitabilitas. Variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap ROA sementara inflasi yang diproksi dengan harga properti berpengaruh positif terhadap ROA.

Penelitian Mirzaei, et al. (2011) menggunakan variabel ROA dan ROE sebagai proksi kinerja perbankan. Dengan menggunakan unbalanced panel 1929 bank di Eropa, penelitiannya menemukan bahwa tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi hanya berpengaruh signifikan terhadap ROA dan ROE bank di negara advanced economies. Inflasi sendiri berpengaruh negatif sementara pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif. Bagi perbankan di emerging economies, kedua variabel makro tersebut ditemukan tidak berpengaruh signifikan. Terdapat penelitian yang hampir serupa tentang tidak signifikannya variabel makroekonomi dalam memengaruhi kinerja bank antara lain penelitian Alper dan Anbar (2011) untuk industri perbankan di Turki. Secara empiris, pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA dan ROE. Tetapi suku bunga riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROE saja.

Di Negara Pakistan, Ali, et al. (2011) telah melakukan penelitian serupa dengan menggunakan indikator ROA dan ROE sebagai variabel dependen dan variabel bank-spesific serta variabel makro sebagai variabel penjelas. Hasilnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE, tetapi inflasi hanya berpengaruh signifikan dengan tanda negatif terhadap ROA saja. Athanasoglou, et al. (2005) melakukan kajian tentang faktor-faktor penentu profitabilitas bank yaitu ROA dan ROE. Variabel makro yang digunakan sebagai variabel independen adalah siklus bisnis, inflasi dan suku bunga obligasi jangka panjang. Hasilnya memperlihatkan bahwa siklus bisnis dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas bank.

Untuk di Indonesia sendiri, Sastrosuwito dan Suzuki (2011) telah melakukan penelitian tentang pengaruh faktor internal bank, faktor internal industri dan indikator makroekonomi terhadap profitabilitas sistem perbankan pasca-krisis. Terkait dengan indikator makroekonomi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel makro yang hanya diproksi oleh inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. Selain itu penelitian ini mengkonfirmasi hipotesis SCP dalam sistem perbankan Indonesia, dimana konsentrasi industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas. Bonin, et al. (2003) justru menemukan bahwa variabel makro yang diproksi dengan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan dengan tanda negatif terhadap ROA. Bonin mengaitkan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat daya saing sektor perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi berasosiasi dengan semakin berkembangnya sektor perbankan sehingga persaingan antar satu bank dengan bank lainnya semakin ketat, dan akhirnya menurunkan tingkat ROA.

Page 35: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

389The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Festic dan Beco (2008) menggunakan variabel non performing loan (NPL) sebagai salah satu indikator kinerja bank di CEE countries dengan justifikasi bahwa NPL mampu mengukur kualitas dari neraca. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel makro berupa pertumbuhan ekonomi, perubahan nilai tukar nominal, dan perubahan suku bunga jangka panjang berpengaruh signifikan terhadap NPL. Pengaruhnya pertumbuhan ekonomi adalah negatif, sementara perubahan nilai tukar nominal dan suku bunga berpengaruh positif terhadap NPL. De Bock dan Demyanets (2012) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap NPL. Penelitian Gerlach et al. (2005) menggunakan variabel NIM dan NPL sebagai faktor yang dianggap mewakili profitabilitas untuk kasus di Hong Kong SAR dengan menggunakan panel data. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi akan menurunkan NPL, sementara pengaruh suku bunga jangka pendek adalah positif terhadap NPL. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga jangka pendek memiliki pengaruh positif terhadap NIM.

Hamadi dan Awdeh (2012) telah meneliti determinan Net Interest Margin (NIM) pada sistem perbankan di Libanon dengan membedakan antara bank asing dan bank domestik. Salah satu temuan pentingnya adalah adanya perbedaan pengaruh ukuran, likuiditas, kapitalisasi, dan risiko kredit terhadap NIM. Bagi bank domestik pengaruhnya adalah negatif, tetapi bagi bank asing tidak signifikan. Begitupun dengan kondisi makro dan struktur industri yang memiliki pengaruh lebih lemah terhadap NIM bank asing dibandingkan dengan NIM bank domestik. Pertumbuhan ekonomi ditemukan justru berpengaruh negatif terhadap NIM, sementara inflasi dan suku bunga kebijakan memliki pengaruh yang positif. Tetapi, di negara yang sama (Libanon), Saad dan El-Moussawi (2012) menemukan hal sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi berhubungan positif dengan NIM, sementara inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap NIM dalam penelitian tersebut.

Dengan menggunakan metodologi yang lain yaitu Principal Component Analysis (PCA), Shaher, Kasawneh, dan Salem (2011) mengemukakan bahwa faktor pertama yang merupakan faktor paling penting dalam memengaruhi kinerja bank di Kawasan Timur Tengah adalah karakteristik bank. Karakteristik yang dimaksud mencakup tujuh variabel yaitu, ukuran bank (diukur dari total aset), ukuran dan durasi simpanan, ukuran dan durasi pinjaman, konsentrasi dalam aktivitas pinjaman, net charge off loan, modal dan struktur modal, serta biaya operasional bank. Sementara indikator ekonomi yang di dalamnya termasuk variabel makro merupakan faktor terpenting ketiga yang memengaruhi kinerja bank.

Sementara terkait dengan manajemen risiko, Awojobi dan Amel (2011) menjelaskan bahwa efisiensi manajemen risiko untuk industri perbankan di Nigeria tidak hanya dipengaruhi oleh faktor spesifik tiap bank tetapi juga oleh variabel makroekonomi. Pada penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi (sebagai proksi dari siklus bisnis) mempunyai pengaruh yang positif terhadap CAR bank di Nigeria, sehingga sebagai implikasinya industri perbankan di Nigeria pro-siklikal terhadap siklus ekonomi. Artinya, saat perekonomian mengalami

Page 36: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

booming, terdapat lebih banyak sumber modal yang bisa didapat dengan mudah dari pasar uang sebagai penyangga dari berbagai kemungkinan yang terjadi akibat aktivitas risk-taking

bank tersebut. Tetapi inflasi sendiri ditemukan tidak berpengaruh signifikan terhadap CAR.

Penelitian Abiodun (2012) menemukan bahwa tidak satu pun variabel makro yang berpengaruh signifikan terhadap ROA. Variabel makro yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga dan nilai tukar. Rumler dan Waschiczek (2010) hanya menggunakan ROE sebagai indikator kinerja perbankan untuk kasus di Negara Austria. Berbeda dengan hasil penelitian Abiodun, penelitian ini justru menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi, suku bunga/yield, dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROE.

III. METODOLOGI

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah variabel indikator makroekonomi dan keuangan serta indikator kinerja perbankan. Data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data time series dengan periode bulanan dari Januari tahun 2006 sampai Desember tahun 2013. Indikator kinerja perbankan yang digunakan dalam kajian ini antara lain rasio-rasio keuangan seperti ROA, BOPO, NIM, NPL, dan LDR serta variabel non rasio seperti profit, jumlah kredit yang disalurkan, dan jumlah DPK. Semua data tersebut didapat dari Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia. Sementara variabel makro yang digunakan adalah indeks produksi industri (IPI) sebagai proksi dari pendapatan nasional, inflasi, suku bunga kebijakan (BI rate), nilai tukar, IHSG, dan harga minyak dunia. Tabel 1 menunjukkan penjelasan variabel-variabel yang digunakan beserta sumbernya.

�������������������������������������������

������������� ����������� ����������

�����������������

�����������������

�����������������

���������������������

�������

�������

��������

�������

�������

���������������

������������������

����������������

�������

�������

�������

�������

�������

�������

�������

�������

�����������������������

�����������������������������������������

���������������������������������������

���������������

����������������������������

�����������

������������������������������

������������������������

�����������������������

����������������������������������������

����

��������������������������

Page 37: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

391The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Untuk melihat hubungan linier antara indikator kinerja bank dengan variabel makro, dilakukan analisis korelasi. Sementara metode ekonometrika berupa Vector Error Correction

Model (VECM) diaplikasikan untuk melihat pengaruh makro terhadap kinerja bank BUMN. VECM merupakan bentuk VAR bagi time series non-stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan kondisi dinamis jangka pendek (Enders, 2004). Variabel-variabel yang digunakan dalam kajian ini berpotensi stasioner pada first difference-nya, sehingga model VECM dianggap cocok untuk digunakan. Variabel makro yang digunakan juga sebenarnya secara faktual memiliki simultanitas, sehingga masalah endogenitas variabel dapat teratasi dengan pemodelan VECM ini. Model VECM secara umum dapat direpresentasikan sebagai berikut (Enders, 2004) :

������������������������������������������������������

������������� ����������� ����������

��������

�������������

���������

���������������

��������������

�����������

��������������������

���

������������������

������������������

���������������

�������������������

�������������

���

��

�������

�������

�������

����������

�����������������������������������������

�����������������������

dimana yang merupakan vector variabel endogen. Dalam penelitan ini, yt = (LDRt, NIMt, BOPOt, ROAt, NPLt, KREDITt, DPKt, LABAt); a0 adalah veltor kolom dari intersep dengan ukuran (nx1); a1 adalah vektor koefisien untuk time trend (t); P = ab dimana a merupakan matriks penyesuaian dan b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang; Gi adalah matriks koefisien regresi berukuran (nxn); dan ut merupakan matriks error berukuran (nx1).

Implementasi VECM melibatkan pengujian stasioneritas data, pengujian stabilitas model, penentuan lag optimal, dan pengujian hubungan kointegrasi dengan metode Johansen-Jusellius.5 Analisis yang dilakukan berlandaskan innovation accounting berupa analisis Impulse

Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD).

5 Hasil pengujian ini tersedia dan dapat diminta ke penulis.

Page 38: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

IV. HASIL DAN ANALISIS

Sebelum membahas pengaruh kondisi eksternal yang memengaruhi kinerja bank, bagian pertama ini akan membahas analisis korelasi dari indikator kinerja bank dengan variabel-variabel eksternal termasuk indikator makroekonomi. Pada analisis korelasi, nilai tukar merupakan variabel makro yang memiliki nilai korelasi paling rendah dengan semua indikator kinerja bank. Sementara variabel IPI terlihat memiliki korelasi yang kuat dengan hampir semua indikator kinerja bank, kecuali NIM. Sebaliknya dari sisi indikator kinerja bank, NIM merupakan variabel yang paling rendah korelasinya dengan hampir semua variabel makro. Terakhir, DPK merupakan indikator kinerja bank yang memiliki nilai korelasi terbesar (secara rata-rata) dengan hampir semua variabel makro.

Secara khusus, LDR dan ROA sama-sama memiliki hubungan yang positif dan sangat kuat dengan IPI dan IHSG tetapi memiliki korelasi negatif dengan BI rate dan inflasi. Keduanya juga memiliki korelasi paling rendah dengan variabel nilai tukar. Untuk BOPO dan NPL, korelasi yang positif hanya terjadi dengan variabel inflasi dan selainnya berkorelasi negatif. Hal ini tentu saja sesuai dengan teori karena peningkatan inflasi dapat menyebabkan peningkatan biaya operasional bank, sehingga dengan asumsi pendapatan operasional tetap maka nilai BOPO akan meningkat. Inflasi juga dapat meningkatkan risiko kredit dan potensi macetnya pembayaran pinjaman, sehingga NPL meningkat.

Untuk indikator kinerja non-rasio seperti yang terlihat pada Tabel 2, DPK, kredit, dan laba memiliki korelasi negatif dengan inflasi dan BI rate serta berkorelasi positif dengan variabel makro lainnya. Secara umum jika diurutkan, variabel makroekonomi yang memiliki korelasi terkuat hingga terlemah dengan indikator kinerja bank adalah IPI, IHSG, BI rate, harga minyak mentah, inflasi, dan nilai tukar. Sebaliknya, indikator kinerja bank yang memiliki korelasi terkuat hingga terlemah dengan variabel makroekonomi adalah DPK, kredit, laba, LDR, ROA, BOPO, dan NIM.

�����������������������������������������������������������������������������������

��������

���

���

���

���

����

������

���

����

��� ������� ������� ���� ����������

��������������

����

����

�����

����

�����

����

����

����

�����

�����

����

�����

����

�����

�����

�����

�����

�����

����

�����

����

�����

�����

�����

����

�����

�����

����

�����

����

����

����

����

�����

�����

����

�����

����

����

����

����

����

�����

����

�����

����

����

����

Page 39: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

393The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Sementara itu, pengaruh variabel makroekonomi terhadap indikator kinerja bank pada penelitian ini dilihat dari hasil analisis IRF dan VD. Analisis IRF memperlihatkan respon dari suatu variabel dalam sistem terhadap adanya guncangan dari variabel lain. Sementara analisis VD memberikan gambaran proporsi pergerakan secara berurutan akibat dari guncangan variabel itu sendiri dibandingkan dengan guncangan variabel lain. Semua pengujian yang harus dilakukan, dimulai dengan pengujian non-stasioneritas data, pengujian stabilitas VAR, pengujian lag optimum, dan pengujian kointegrasi telah dilakukan pada kajian ini.

Dari hasil analisis IRF, secara rata-rata BOPO merupakan indikator perbankan yang memiliki respon terbesar terhadap guncangan yang terjadi pada variabel makroekonomi terutama terhadap BI rate. BOPO menggambarkan beban bunga yang harus dibayar dan pendapatan bank. Beban bunga yang harus dibayar sangat tergantung dengan variabel makro terutama BI rate itu sendiri yang menjadi acuan penentuan baik bunga pinjaman maupun simpanan. Ketika BI rate meningkat maka cost of fund akan naik. Dengan asumsi pendapatan operasional konstan maka rasio BOPO akan mengalami kenaikan. Pada Grafik 4 dapat dilihat bahwa hubungan antara BI Rate dengan BOPO adalah positif, dimana hasil ini sejalan dengan nilai koefisien korelasi (Tabel 2) yang juga positif. Baik dari analisis grafis maupun korelasi dapat disimpulkan bahwa keduanya sejalan dengan hasil IRF BOPO, dimana BOPO merespon positif terhadap guncangan yang terjadi pada BI Rate.

Grafik 4. Diagram Pencar BOPO dengan BI Rate

�����������

��������

� �� ��� ��� ���

��

��

��

Dua indikator kinerja perbankan lain yang merespon cukup besar terhadap guncangan yang terjadi pada variabel makro adalah laba dan ROA. Hal ini bertolak belakang dengan hasil kajian Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB (2012), yang menemukan bahwa ROA secara umum tidak terlalu bereaksi terhadap guncangan variabel makro yang dilihat dari kecilnya nilai IRF. Tetapi lingkup kajian FEM tersebut dilakukan untuk salah satu bank BUMN. Begitu pun

Page 40: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

dengan hasil Abiodun (2012) yang menemukan bahwa pendapatan nasional, inflasi, dan nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya variabel internal yang mencirikan karakteristik masing-masing Bank BUMN tidak dimasukkan ke dalam kajian ini, sementara Abiodun (2012) menambahkan variabel internal bank seperti ukuran bank dan capital adequacy. Sementara kredit dan LDR dapat disimpulkan sebagai indikator perbankan yang paling kecil merespon terhadap guncangan yang terjadi pada variabel makro. Kajian FEM (2012) menunjukkan bahwa guncangan yang paling kecil direspon oleh LDR adalah nilai tukar dan IHSG.

Respon terbesar BOPO terjadi akibat guncangan pada BI rate. Selanjutnya secara berturut-turut tiga respon terkecil dari BOPO terjadi akibat guncangan pada inflasi, IPI, dan harga minyak mentah dunia. Berbeda dengan indikator kinerja bank yang lain, laba dan ROA memperlihatkan respon yang tinggi jika terjadi guncangan pada harga minyak mentah dunia. Respon terkecil laba ditunjukkan jika terjadi guncangan pada nilai tukar dan inflasi. Sama dengan DPK, LDR terlihat merespon sangat kecil terhadap guncangan yang terjadi pada inflasi dan IPI. Sementara respon terbesarnya terjadi akibat guncangan pada IHSG.

Hasil yang didapat pada penelitian ini terkait kurang berpengaruhnya inflasi dan pendapatan nasional terhadap kinerja bank, dikonfirmasi oleh beberapa penelitian terdahulu antara lain Naceur (2003), Alpen dan Albar (2011), Sastrosuwito dan Suzuki (2011), dan Abiodun (2012). Sementara menurut Mirzaei, et al. (2011), inflasi dan pertumbuhan ekonomi hanya berpengaruh pada kinerja bank di negara maju dan tidak berpengaruh di negara berkembang. Di sisi lain, Gizycki (2001) menemukan bahwa inflasi memang berpengaruh tetapi hanya terhadap ROA saja.

NPL merespon negatif dan cukup besar terhadap guncangan yang terjadi pada proksi output atau perekonomian suatu negara yaitu indeks produksi. Hal ini sejalan dengan temuan FEM (2012) dimana urutan pengaruh variabel makro dari yang terbesar hingga terkecil terhadap NPL adalah BI Rate, pertumbuhan ekonomi, harga minyak mentah, IHSG, inflasi dan nilai tukar. Perbedaannya terletak pada proksi output atau perekonomian suatu negara yang digunakan. Pada kajian ini proksi yang digunakan adalah indeks produksi sementara pada kajian FEM (2012) menggunakan pertumbuhan ekonomi. Pengaruh guncangan pada pertumbuhan ekonomi atau indeks produksi yang negatif terhadap NPL juga ditemukan oleh De Bock dan Demyanets (2012) dimana kesimpulan kajiannya menyatakan bahwa NPL bersifat countercyclical.

Berbeda dengan indikator kinerja bank lainnya, NIM justru merespon besar terhadap guncangan yang terjadi pada inflasi dan IPI. Saad dan Moussawi (2012) menemukan hal yang sama untuk pengaruh IPI (sebagai proksi output/perekonomian suatu negara) tetapi hasil yang berkebalikan untuk inflasi. Di Libanon, perekonomian suatu negara berpengaruh positif dan signifikan terhadap NIM. Tetapi sebaliknya untuk inflasi, ditemukan tidak signifikannya pengaruh variabel tersebut terhadap NIM. Perkembangan aktivitas perekonomian yang semakin baik yang

Page 41: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

395The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

disertai dengan peningkatan keuntungan perusahaan dapat menurunkan kredit non-produktif dan pengeluaran terkait untuk utang-utang yang buruk sehingga dapat menurunkan total biaya dan akhirnya dapat meningkatkan NIM.

Perkembangan perekonomian suatu negara yang dapat diukur dari pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi, atau pun lainnya secara umum dianggap dapat berpengaruh positif terhadap kinerja bank. Saat perekonomian mengalami booming, terdapat lebih banyak sumber modal yang bisa didapat dengan mudah dari pasar uang sebagai penyangga dari berbagai kemungkinan yang terjadi akibat aktivitas risk-taking bank. Tetapi menurut Bonin, et al. (2003) perkembangan ekonomi dapat saja berpengaruh negatif terhadap kinerja bank. Bonin, et

al. (2003) mengaitkan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat daya saing sektor perbankan. Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi berasosiasi dengan semakin berkembangnya sektor perbankan sehingga persaingan antar satu bank dengan bank lain semakin ketat, dan akhirnya dapat menurunkan tingkat profitabilitas bank. Tetapi dari hasil kajian ini dapat dilihat bahwa perkembangan perekonomian atau pendapatan nasional yang diproksi dengan IPI hanya direspon relatif besar secara positif oleh NIM dan direspon negatif oleh ROA.

Guncangan pada pasar saham terlihat direspon oleh beberapa indikator kinerja perbankan. Perkembangan pasar saham dapat berpengaruh positif atau pun negatif terhadap kinerja bank. Kondisi pasar saham yang berkembang dianggap akan memberi dampak positif terhadap kinerja bank jika keduanya saling melengkapi (Naceur, 2003). Tetapi jika pasar saham dan pasar perbankan merupakan dua pihak yang saling menggantikan, maka dampak perkembangan pasar saham terhadap bank adalah negatif. Menurut Wachtel (2003), bank memang masih mendominasi pembiayaan baik untuk perorangan maupun untuk perusahaan. Suatu investasi baru biasanya mendapatkan sumber dana dari beberapa sumber antara lain dari pembiayaan internal, melalui perbankan, atau bahkan melalui pasar modal salah satunya adalah dengan mencetak saham baru. Meskipun pencetakan saham baru bukan merupakan sumber pembiayaan utama. Di sisi lain, perusahaan yang juga bertindak sebagai kreditur bank dapat juga terlibat di pasar saham. Ketika pasar saham sedang bullish, maka ada potensi pengalihan dana perusahaan di bank menjadi pada instrumen investasi saham, yang akan dapat berdampak negatif pada kinerja bank.

Page 42: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Grafik 5. Respon Indikator Kinerja Bank terhadap Guncangan Variabel Eksternal

�����������

������

������

������

�����

�����

�����

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

��������������������������

������������������������

������

������

������

�����

�����

�����

��������������������������

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

�����������

��������������������������

������

������

������

�����

�����

�����

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

����������

������

������

������

�����

�����

�����

��������������������������

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

����������

������

������

������

�����

�����

�����

��������������������������

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

����������

��������������������������������

������

������

�����

�����

�����

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

�������������������

��������������������������������

������

������

�����

�����

�����

����������

��������������������������������

������

������

�����

�����

�����

� � � � � � � � � �� �� �� �� �� �� �� �� �� �� ��

Page 43: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

397The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Inflasi sendiri dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap kinerja bank. Inflasi yang diakibatkan oleh perkembangan siklus bisnis akan menyebabkan perekonomian mengalami booming. Inflasi yang terjadi karena hal tersebut biasanya berpengaruh lebih besar terhadap sisi penerimaan dibandingkan dari sisi biaya, dan berakhir pada kinerja bank yang membaik. Pengaruh inflasi sendiri tergantung apakah inflasi tersebut sudah diantisipasi apa belum oleh pihak bank (Pasiouras dan Kosmidou, 2007). Jika inflasi diantisipasi secara penuh, maka tingkat suku bunga yang diberlakukan bank akan meningkat untuk meng-cover risiko inflasi. Sehingga peningkatan pendapatan lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan biaya, sehingga berdampak positif terhadap kinerja bank khususnya tingkat profitabilitas. Tetapi jika manajemen bank tidak mengantisipasi perubahan inflasi, maka suku bunga mengalami penyesuaian yang lamban, sehingga peningkatan biaya lebih cepat dibandingkan peningkatan pendapatan, dan akhirnya inflasi berdampak negatif terhadap profitabilitas. Pada kajian ini, guncangan pada inflasi hanya direspon oleh NIM dan BOPO.

Selama 12 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi memiliki rata-rata 5,42 persen sementara rata-rata inflasi sebesar 8 persen. Pada tahun 2005, inflasi di Indonesia pernah mencapai angka 17,11 persen, dimana pada saat tersebut sedang terjadi peningkatan harga minyak dunia. Sementara itu inflasi sendiri memiliki nilai hingga dua digit pada periode oil price

shock (kuartal IV 2005 – kuartal III 2006) serta periode krisis global (kuartal II – IV 2008). Untuk mengatasi inflasi yang sedang melonjak pada masa oil price shock, tingkat suku bunga BI Rate juga meningkat cukup besar mencapai titik tertingginya di angka 12,75 persen. Nilai BI rate sepanjang tahun 2012 mencapai angka terendah (5,75%) dalam 10 tahun terakhir. Indikator ekonomi makro berupa inflasi dan BI rate menunjukkan trend yang menurun selama dua tahun terakhir. Penurunan BI rate diikuti oleh inflasi yang relatif rendah. Kebijakan ini menciptakan kondisi ekonomi yang sangat kondusif bagi perbankan dan para pelaku usaha.

Dari hasil analisis VD, indikator perbankan yang stabil atau dengan kata lain keragamannya lebih banyak dijelaskan oleh dirinya sendiri adalah laba dan NPL. Untuk NPL, hasil ini sejalan dengan kajian FEM (2012) untuk kasus salah satu bank BUMN yang memperlihatkan bahwa pengaruh indikator makro kecuali BI rate terhadap NPL tidak terlalu berpengaruh. Sejalan dengan hasil IRF, selain oleh dirinya sendiri, keragaman BOPO lebih besar dijelaskan oleh nilai tukar dan BI rate. Nilai pinjaman Bank BUMN dalam bentuk valas terus mengalami peningkatan pada periode kajian ini dari dengan pangsa dari total kredit kepada pihak ketiga sekitar 16 – 17 persen, sehingga nilai tukar berpotensi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap BOPO.

BI rate merupakan variabel diantara indikator makro lainnya yang paling besar menjelaskan keragaman DPK dan kredit. Hal ini sejalan dengan hasil analisis korelasi maupun IRF. Baik DPK maupun kredit memiliki keeratan hubungan linier yang kuat dengan BI Rate, begitupun dengan IRF yang mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini tentu sesuai dengan teori dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Dimana perubahan BI Rate dapat memengaruhi sektor riil melalui jalur suku bunga khususnya suku bunga simpanan dan pinjaman. Karena BI Rate merupakan

Page 44: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

suku bunga acuan, maka penurunannya dapat menurunkan suku bunga baik simpanan maupun pinjaman. Akhirnya kredit berpotensi mengalami kenaikan sementara DPK mengalami hal sebaliknya. Indikator makro yang dapat menjelaskan keragaman kinerja bank BUMN di atas lima persen antara lain nilai tukar untuk BOPO, BI Rate, IHSG, harga minyak mentah dunia, dan nilai tukar untuk DPK, BI rate untuk kredit, IHSG untuk LDR, serta inflasi dan BI rate untuk NIM.

��������������������������������������������������������������������������������������

��������������

���

������

����

����

���

���

���

���

��� �������������� ���� ���� ��������������

����

����

����

����

����

����

����

����

����

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

����

���

���

���

���

���

���

����

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

���

V. KESIMPULAN

Dari hasil analisis korelasi, nilai tukar merupakan variabel makro yang memiliki hubungan paling lemah dengan semua indikator kinerja bank. Sebaliknya, indeks produksi industri (IPI) sebagai proksi dari pendapatan nasional memiliki hubungan kuat dengan hampir semua indikator kinerja bank. Dari sisi indikator kinerja bank, NIM merupakan variabel yang memiliki hubungan paling lemah dengan hampir semua variabel makro, dan DPK memiliki hubungan paling kuat dengan hampir semua variabel makro. Dari hasil analisis IRF, BOPO merupakan indikator perbankan yang memiliki respon terbesar terhadap guncangan yang terjadi pada variabel makroekonomi. Sementara jumlah total pinjaman dan LDR dapat disimpulkan sebagai indikator perbankan yang tidak terlalu tanggap terhadap guncangan yang terjadi pada variabel makro. Dari hasil analisis VD, indikator perbankan yang keragamannya tidak banyak dijelaskan oleh variabel makro adalah laba dan NPL. Hal ini dapat berarti laba dan NPL lebih stabil atau bisa juga diartikan lain dimana ada kemungkinan variabel lain diluar makro yang lebih berpengaruh terhadap keduanya.

Secara umum diantara semua guncangan makro, variabel yang direspon besar oleh mayoritas indikator kinerja bank adalah suku bunga kebijakan (BI rate). BI rate merupakan instrumen paling potensial yang dimiliki Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sektor keuangan khususnya perbankan. Dengan kata lain, penggunaan BI rate sebagai instrumen moneter dapat dipertahankan.

Page 45: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

399The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

Indikator kinerja perbankan yang paling volatil adalah BOPO yang merupakan indikator efisiensi. Fluktuasi BOPO menandakan sesungguhnya perbankan Indonesia masih relatif jauh dibandingkan dengan frontier-nya yang berarti masih relatif tidak efisien. Hasil ini didukung oleh penelitian Alfin, Siregar, dan Hasanah (2015) dimana bank-bank umum di Indonesia secara keseluruhan belum beroperasi secara efisien. Selain itu, suku bunga riil juga ditemukan memiliki pengaruh signifikan terhadap efisiensi biaya. Berfluktuasinya BOPO dengan sendirinya menyebabkan kurang stabilnya kinerja perbankan. Implikasinya, sebagai upaya untuk menstabilkan perbankan nasional, maka BI atau OJK agar mencermati lebih lanjut dan lebih detail indikator-indikator yang terkait dengan BOPO. Peningkatan efisiensi dapat dilakukan dengan cara memperbesar pendapatan dan/atau memperkecil beban/biaya. Peningkatan pendapatan memerlukan strategi yang lebih kompleks dan komprehensif dibandingkan dengan penurunan biaya. Dalam konteks ini menurunkan overhead cost, salah satunya dengan menggalakkan branchless banking menjadi suatu hal yang relevan. BI dan OJK dapat lebih gencar meminta bank untuk menerapkan branchless banking sekaligus menyempurnakan aturan-aturan pendukungnya.

Page 46: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

DAFTAR PUSTAKA

Abiodun, B.Y. 2012. The Determinants of Bank’s Profitability in Nigeria. Journal of Money,

Investment and Banking, No. 24, pp. 6-16.

Alfin, A., Siregar, H., dan Hasanah, H. 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Biaya Perbankan di Kawasan ASEAN-5. Monograf, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Bogor.

Ali, K., Akhtar, M.F., dan Ahmed, H.Z. 2011. Bank-Specific and Macroeconomic Indicators of Profiability – Empirical Evidence from The Commercial Banks of Pakistan. International

Journal of Business and Social Science. Vol.2, No. 6, pp. 235-242.

Alper, D. dan Anbar, A. 2011. Bank Specific and Macroeconomic Determinants of Commercial Bank Profitability: Empirical Evidence from Turkey. Business and Economics Research Journal, Vol. 2, pp. 139-152.

Athanasoglou, P.P., Brissimis, S.N., dan Delis, M.D. 2005. Bank-specific, Industry-Specific and Macroeconomic Determinants of Bank Profitability. Bank of Greece Working Paper No.

25.pp.4-35.

Awojobi, O. dan Amel. 2011. Analyzing Risk Management in Banks: Evidence of Bank Efficiency and Macroeconomic Impact. Journal of Money, Investment and Banking, Vol.22, pp. 147-162.

Bank Indonesia. 2011. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Bank Indonesia, Jakarta.

Blancard, O.J. dan Fischer, S. 1998. Lectures on Macroeconomics. Cambridge, MA and London. The MIT Press.

Bonin, J.P., Hasan, I., dan Wachtel, P. 2003. Bank Performance, Efficiency, and Ownership in Transition Countries. Makalah yang diseminarkan pada The Ninth Dubrovnik Economic

Conference, Dubrovnik, 26-28 June.

Calomiris, C., Orphanides, A., dan Sharpe, S. 1997. Leverage as a State Variable for Employment, Inventory Accumulation and Fixed Investment dalam F Capie and G Woods (editor), Asset

Prices and The Real Economy, Macmillan Press, London.

Clair, R.S.T. 2004. Macroeconomic Determinants of Banking Financial Performance and Resilience in Singapore. MAS Staff Paper, No. 38. Monetary Authority of Singapore.

De Bock, R. dan Demyanets, A. 2012. Bank Assets Quality in Emerging Markets: Determinants and Spillovers. IMF Working Paper, No. 71, pp.1-26.

Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Alabama : University of Alabama.

Page 47: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

401The Impact of Macroeconomic Condition on The Bank’s Performance In Indonesia

[FEM]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. 2012. Perkembangan Makroekonomi dan Keuangan

serta Implikasinya terhadap Bisnis BRI. Institut Pertanian Bogor.

Festic, M. dan Beko, J. 2008. The Banking Sector and Macroeconomic Performance in Central European Economies. Czech Jornal of Economics and Finance. No. 58, Vol. 3-4, pp. 131-151.

Gerlach, S., Peng, W., dan Shu, C. 2005. Macroeconomic Conditions and Banking Performance in Hong Kong SAR: A Panel Data Study. BIS paper, No.22, Monetary and Economic Department, Bank for International Settlements, Swiss.

Ghazali, M.B. 2008. The Bank-Specific and Macroeconomic Determinants of Islamic Bank Profitability: Some International Evidence. Thesis. Faculty of Business and Accountancy, University of Malaya.

Gizycki, M. 2001. The Effect of Macroeconomic Condition on Banks Risk and Profitability. Research

Discussion Paper, No. 06, System Stability Department, Reserve Bank of Australia.

Guerrieri, L. dan Welch, M. 2012. Can Macro Variables Used in Stress Testing Forecast the Performance of Banks?. Finance and Economics Discussion Series, No 49, Divisions of Research & Statistics and Monetary Affairs, Federal Reserve Board.

Hamadi, H. dan Awdeh, A. 2012. The Determinants of Bank Net Interest Margin: Evidence from the Lebanese Banking Sector. Journal of Money, Investment and Banking, Vol.23, pp. 85-98.

Kaufman. G. 1998. Central Banks, Asset Bubbles, and Financial Stability. Federal Reserve Bank

of Chicago Working Paper, WP98/12.

Lowe, P. dan Rohling, T. 1993. Agency Costs, Balance Sheets, and The Business Cycle. Reserve

Bank of Australia Discussion Paper No. 9331.

Mishkin FS. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. New York : Columbia University.

Mirzaei, A., Liu, G. dan Moore, T. 2011. Does Market Structure Matter on Banks’ Profitability and Stability? Emerging versus Advanced Economies. Economics and Finance Working

Paper, No. 11-12. Pp. 1-40.

Naceur, S.B. 2003. The Determinants of The Tunisian Banking Industry Profitability: Panel

Evidence. Department of Finance, Université Libre de Tunis.

Pasiouras, F. and Kosmidou, K. 2007. Factors influencing the profitability of domestic and foreign commercial bnaks in the European Union, International Business and Finance, No. 21, 222-237.

Page 48: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Rumler, F. dan Waschiczek, W. 2010. The Impact of Economic Factors on Bank Profits. Monetary

Policy and The Economy Q4, pp. 49-67.

Saad, W. dan El-Moussawi, C. 2012. The Determinants of Net Interest Margins of Commercial Banks in Lebanon. Journal of Money, Investment and Banking, Vol.23, pp. 118-132.

Sastrosuwito, S. dan Suzuki Y. 2011. Post Crisis Indonesian Banking System Profitability: Bank-Specific, Industry-Specific, and Macroeconomic Determinants. Makalah yang diseminarkan pada The 2nd International Research Symposium in Service Management, Yogyakarta, INDONESIA, 26 – 30 July.

Shaher, T.A., Kasawneh, O. dan Salem, R. 2011. The Major Factors that Affect Banks’ Performance in Middle Eastern Countries. Journal of Money, Investment and Banking, Vol. 20, pp. 101-109.

Page 49: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

403Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

CROSS BORDER PORTFOLIO INVESTMENT AND THE VOLATILITY OF STOCK MARKET INDEX

AND RUPIAH’S RATE

Al Muntasir1

This paper use daily data during the period 2010-2014 to analyse the impact of foreign capital

inflows on capital market volatility and on the volatility of Rupiah’s rate. The results shows the flow of

foreign capital positively affect the Jakarta Composite Index (JCI) but not the rate of Rupiah. Using Vector

Error Correction Model, this paper finds a cointegrated and dynamic relationship between the changes in

foreign capital flow in Indonesia, with the JCI and the exchange rate of Rupiah against USD. Changes in

the Rupiah’s rate significantly affect the foreign capital flow and the JCI, while the JCI does not significantly

affect the flow of foreign capital and the changes of Rupiah’s rate.

Abstract

Keywords: Foreign Capital Flows, Capital Market of Volatility, Currency Exchange

JEL Classification: F330, G100, G120

1 Author is student at Postgraduate Program on Management, Department of Economic and Bussiness, University of Gadjah Mada; [email protected].

Page 50: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

I. PENDAHULUAN

Aliran modal asing dalam bentuk portfolio investment merupakan salah satu topik penting yang banyak diperbincangkan dalam sistem keuangan internasional, khususnya bagi emerging market yang sangat membutuhkan mobilisasi dana asing untuk membiayai program-program pembangunan nasionalnya. Meskipun diyakini bahwa mobilisasi dana asing yang mengalir melalui investasi portofolio akan berdampak positif bagi perekonomian nasional suatu negara (negara tujuan investor asing), khususnya di sektor pasar modal, namun juga dapat menyebabkan extreme volatility bagi pasar modal (Bekaert dan Harvey, 2003; Edwards, 2000) dan akan memengaruhi stabilitas nilai tukar (Chayawadee dan Ho, 2008), yang secara otomatis akan memengaruhi kondisi perekonomian serta iklim investasi di negara yang bersangkutan.

Di Indonesia, aliran modal asing melalui investasi portofolio sudah diperkenankan sejak tahun 1980-an, khususnya pada saat dikeluarkan dan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1059/KMK/1989, yang secara resmi memperkenankan bagi investor asing untuk menguasai hingga 49% dari porsi kepemilikannya terhadap efek-efek yang ada di pasar modal Indonesia. Keputusan tersebut merupakan gerbang utama bagi liberalisasi dan integrasi pasar modal Indonesia, yang selanjutnya berkembang hingga diperkenankannya porsi kepemilikan asing hingga mencapai 100%, yaitu tepatnya pada saat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Dengan diperkenankannya investor asing untuk ikut serta dalam aktivitas perdagangan efek di pasar modal, maka sejak tahun 1989 arus modal asing melalui investasi portofolio mulai mengalir ke Indonesia, dan masuknya aliran modal asing tersebut sangat berdampak positif bagi pertumbuhan dan perkembangan pasar modalnya, yang sebelumnya tersegmentasi dan sempat mengalami kevakuman yang berkepanjangan.

Sejak diberlakukannya keputusan menteri keuangan tersebut, aliran modal asing yang masuk ke Indonesia melalui pasar modal mencapai Rp230,40 milyar atau 23,9% dari 433 juta saham yang tercatat. Setahun berikutnya (1990), aliran modal asing tersebut meningkat secara signifikan seiiring dengan adanya peningkatan jumlah perusahaan dan saham yang tercatat. Aliran modal asing yang masuk pada tahun 1990 mencapai Rp1.817,52 milyar yang tumbuh hingga 688,85% dari tahun sebelumnya, dan pertumbuhan ini terus berlangsung secara positif pada tahun-tahun berikutnya.

Masuknya aliran modal asing di atas, secara spontan mendorong pertumbuhan dan perkembangan pasar modal Indonesia, dimana mulai tahun 1989 hingga 1995, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rata-rata berada pada level 415,92 dengan rata-rata peningkatannya mencapai 94,57 poin atau tumbuh sebesar 30,99% per tahun, dan rata-rata nilai kapitalisasi pasarnya mencapai Rp55.021,72 juta atau tumbuh sebesar 216,78% dengan jumlah perusahaan publik yang listed tumbuh hingga 46,33% dari 24 perusahaan di tahun 1988 hingga 217 perusahaan di tahun 1994.

Page 51: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

405Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

Pertumbuhan dan perkembangan ini sangat signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan dan perkembangannya pada masa tersegmentasi dan kevakumannya, dimana rata-rata IHSG hanya berada pada kisaran level 72,94 dengan rata-rata peningkatannya hanya 5,35 poin (7,75%) per tahun, dan rata-rata nilai kapitalisasi pasarnya hanya Rp195,5 juta (4,00%) dengan jumlah perusahaan publik yang listed hanya 24 perusahaan tanpa mengalami pertumbuhan. Selanjutnya, pada saat diberlakukannya UUPM No. 8 pada tahun 1995 peran investor asing semakin signifikan bagi pertumbuhan dan perkembangan pasar. Rata-rata arus modal asing yang masuk selama periode mencapai Rp41.568,65 miliar atau 41,7% dari total nilai perdagangannya.

Meningkatnya porsi kepemilkan asing dan arus modal asing yang masuk tersebut semakin mendorong pertumbuhan dan perkembangan pasar, dimana rata-rata IHSG berada pada level 1.645,97 dengan rata-rata peningkatannya mencapai 208,91 poin (19,38%) per tahun, dengan rata-rata nilai kapitalisasi pasarnya mencapai Rp1.398,613,50 juta (29,27%), dan jumlah perusahaan publik yang listed meningkat hingga 4,08% per tahun dari 253 perusahaan (1995) hingga 506 perusahaan (2015). Meskipun aliran modal asing yang masuk selama periode tersebut juga signifikan dan berdampak positif bagi perekembangan pasar modal, namun karena tinggi dan bebasnya arus modal asing yang keluar-masuk juga signifikan menyebabkan extreme volatility bagi pasar modal Indonesia dan diimbangi pula dengan meningkatnya volatilitas nilai tukar Rupiah sebagai akibat dari supply and demand asing dalam transaksi perdagangan efek.

Penarikan dana asing secara tiba-tiba dalam skala yang besar di tahun 1997 akibat goncangan krisis keuangan yang melanda Asia dan contagion effect dari bursa regional mengakibatkan pasar modal Indonesia mengalami keterpurukan yang cukup signifikan, kondisi ini diimbangi pula dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, khususnya Dolar Amerika Serikat (IDR/USD). Kondisi ini juga semakin diperburuk akibat adanya perilaku hedging dari investor domestik, yang umumnya mengacu pada perilaku perdagangan asing di masa tersebut.

Pasca pemulihan krisis tersebut, arus modal asing kembali masuk dan relatif lebih tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya, namun kondisi serupa kembali terjadi di tahun 2008 yaitu selama krisis keuangan yang melanda dunia, yang dilanjuti oleh krisis Eropa dan meroketnya harga minyak dunia di tahun 2009. Selanjutnya pasca pemulihan krisis finansial global dan didukung oleh stabilitas serta fundamental perekonomian yang kuat (tahun 2010 – 2014), arus modal asing kembali berperan di Indonesia. Namun aliran modal asing selama periode tersebut terlihat ekstrim dan sangat fluktuatif jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Rata-rata aliran modal asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp4.700,79 miliar dan capital outflow sebanyak Rp4.097,09 miliar per hari.

Page 52: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Secara umum, dalam beberapa periode juga terlihat bahwa masuknya modal asing ini diikuti dengan penurunan IHSG dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap beberapa valuta asing, khususnya USD, dan arus modal yang keluar selama periode tersebut juga tidak sepenuhnya diimbangi dengan penurunan IHSG dan pelemahan nilai tukar IDR/USD, bahkan dalam beberapa periode juga terlihat arus modal asing yang keluar beriringan dengan peningkatan IHSG dan kurs IDR/USD. Fenomena ini cenderung berlawanan dengan kondisi yang terjadi pada periode-periode sebelumnya, dimana secara umum foreign capital flow cenderung bergerak searah dengan pergerakan IHSG dan kurs IDR/USD. Disamping itu, kondisi ini juga kontras dengan berbagai kajian teoritis, khususnya penjelasan teori portfolio-balance dan good market approach.

Namun demikian, fenomena di atas tampak sejalan dengan hasil kajian Sourionis (2003), yang tidak menemukan hubungan yang dinamis antar variabel tersebut. Artinya, mungkin saja dalam jangka pendek variabel-variabel tersebut tidak memiliki pola pergerakan yang sama, namun dalam jangka panjang cenderung saling menyesuaikan antara satu sama lainnya, atau sejalan dengan hasil penelitian Hau dan Rey (2004) yang menemukan hubungan negatif antara net equity flows dan market return. Dimana hasil penemuan tersebut dihipotesiskan sebagai perilaku portfolio rebalancing, yaitu investor merealokasi dana dari aset-aset yang telah terapresiasi (dikarenakan harga naik) kepada aset yang telah terdepresiasi dengan tujuan melakukan optimalisasi portofolio balance. Disamping itu, terkait dengan hubungan antara indeks saham dan nilai tukar, terdapat pula hasil penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan interaksi yang signifikan antar kedua (seperti Jorion, 1990; Jorion, 1991; Bodnar dan Gentry, 1993). Sedangkan hasil kajian Evan dan Lyons (2002), Froot dan Ramadorai (2002) menunjukkan bahwa kurs order flows memberikan dampak yang signifikan terhadap nilai tukar, tetapi hanya dalam jangka pendek.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perubahan aliran modal asing yang diproksikan dengan Net Foreign Purchase (NFP) terhadap volatilitas pasar modal (diproksikan dengan IHSG) dan nilai tukar (IDR/USD). Analisis perubahan aliran modal asing terhadap kedua variabel tersebut dilakukan dengan pendekatan Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error

Correlation Model (VECM), sehingga dengan pendekatan tersebut juga dapat digunakan untuk menguji hubungan antar ketiga variabel, baik hubungan kointegrasi, kausalitas, dan dinamis.

Bagian kedua dari paper ini menguraikan teori dan literatur yang terkait. Bagian ketiga menjelasakan data dan metodologi yang digunakan, sementara bagian keempat menyajikan hasil perhitungan dan analisis. Bagian kelima menguraikan kesimpulan dan menjadi penutup dari paper ini.

Page 53: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

407Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

II. TEORI

Aliran modal dalam konteks investasi portofolio merupakan salah satu topik penting yang paling banyak diperbincangkan dalam sistem keuangan internasional, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia karena selalu melibatkan trade-off bagi negara tujuan. Disatu sisi, masuknya dana asing (pembelian asing) dapat meningkatkan modal bagi perusahaan-perusahaan di negara tujuan (Todaro & Smith, 2004) dan dapat meningkatkan kapitalisasi serta membantu mengembangkan efisiensi pasar modal domestik, membantu pasar modal domestik melalui instrumen-instrumen dan teknologi yang lebih canggih yang diperkenalkan investor asing dalam pengelolaan portofolio, dan dapat membantu memperkuat pasar modal domestik dan meningkatkan fungsi otoritas moneter di negara tersebut (Evans, 2002), dapat menambah tabungan domestik, meningkatkan alokasi modal menjadi lebih efisien, dan dapat membawa dampak kepada ekonomi melalui pasar modal seperti kenaikan harga saham dan mendorong perkembangan pasar modal domestik (Bapepam-LK, 2008).

Pada sisi lain, emerging market yang terlalu mengandalkan aliran modal dari investasi portofolio untuk menutupi kelemahan-kelemahan dasar struktural dibidang ekonominya harus menanggung konsekuensi negatif dalam jangka panjang, dimana para investor asing tidak memiliki kepedulian terhadap kepentingan pembangunan di negara tujuan investasi mereka (Todaro dan Smith, 2004), sehingga investasi portofolio dapat menyebabkan extreme volatility bagi pasar modal (Bekaert & Harvey, 2000) dan akan mempengaruhi nilai tukar (Chayawadee & Corrine, 2008). Penarikan dana asing (penjualan asing) akan menyebabkan indeks pasar saham mengalami penurunan yang diimbangi dengan meningkatnya permintaan mata uang asing sehingga akan menyebabkan depresiasi bagi mata uang domestik. Beberapa studi juga telah menemukan bahwa perubahan aliran modal asing memiliki hubungan dengan volatilitas pasar modal atau indeks harga saham (Parthapratim Pal, 2008; Frensidy, 2008; Wang, 2007; Richard, 2005; Ibrahim, 2000; Bohn & Tesar, 1996; Froot & Donohue, 2002; Karolyi, 2002; Chayawadee & Corinne, 2008) dan fluktuasi nilai tukar (Chai-anant, 2003; Karolyi, 2002; Brennan & Cao, 1997), dimana perubahan tersebut akan mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uang yang selanjutnya mempengaruhi volatililitas indeks saham. Disamping itu, hasil penelitian Brennan dan Cao (1997), Karolyi (2002), dan Chai-anant (2003) juga menemukan adanya hubungan dinamis antara capital flows dan nilai tukar, namun Souriounis (2003) tidak menemukan hubungan yang dinamis antar keduanya. Sedangkan hasil kajian Evan (2002), Froot dan Ramadorai (2002) menunjukkan bahwa kurs order flows memberikan dampak yang signifikan terhadap nilai tukar, tetapi hanya dalam jangka pendek.

Selain memiliki hubungan kointegrasi dan dinamis dengan aliran modal investasi portofolio, kurs dan harga saham juga memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Ada dua pendekatan teori yang dapat menjelaskan hubungan antara nilai tukar dan harga saham, yaitu good market approach dan portfolio balance approach. Good market approach menjelaskan bahwa perubahan nilai tukar akan mempengaruhi competitiveness perusahaan,

Page 54: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

yang selanjutnya akan mempengaruhi pendapatan perusahaan dan selanjutnya harga sahamnya (Dornbusch & Fischer, 1980). Sedangkan portofolio balance approach menjelaskan bahwa rising

stock market akan menarik capital flow yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan mata uang domestik dan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terapresiasi (Franke, 1993). Berkaitan dengan hal ini, apakah harga saham menyebabkan volatilitas nilai tukar atau nilai tukar yang menyebabkan volatilitas return saham, tergantung pada situasi negara yang bersangkutan dan time dependent (Ramasamy & Mathew, 2001). Meskipun secara teoritis terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar dan harga saham, namun bukti empiris menunjukkan bahwa hubungan yang lemah diantara keduanya pada tatanan mikro.

Berberapa studi telah menunjukkan bahwa kurs mempengaruhi harga saham (Ma & Kao, 1990; Abdalla & Murinde, 1997; Wongbangpo & Sharma, 2002). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil kajian Bohn dan Tesar (1996) dan Bekaert (2002) yang didukung oleh hasil penelitian Froot (2001), Griffin (2002), Richards (2005), Karolyi (2002), Bonser-Neal (2002), yang juga menemukan hubungan positif antara equity flows dan market return, dimana equity

flows cenderung masuk ke pasar dengan diikuti oleh kenaikan market return dan equity keluar dari pasar diikuti oleh penurunan market return. Hubungan positif ini selalu dihipotesiskan sebagai return chasing, trend chasing, atau momentum trading. Akan tetapi, Hau dan Rey (2004) menemukan hubungan yang negatif antara net equity flows dan market return, yang dihipotesiskan sebagai perilaku portfolio rebalancing, yaitu investor merealokasi dana dari aset-aset yang telah terapresiasi (dikarenakan harga naik atau currency gains) kepada aset yang telah terdepresiasi dengan tujuan melakukan optimalisasi portfolio balance.

Hasil kajian empiris juga menunjukkan bahwa bagi perusahaan Amerika Serikat (Jorion, 1990, 1991) dan Jepang (Bodnar & Gentry, 1993) tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara nilai tukar dan harga saham. Namun, He dan Ng (1998) menemukan bahwa hanya 25% dari 171 perusahaan multinasional Jepang yang memiliki eksposur nilai tukar yang signifikan terhadap return saham. Pada tatanan makro, apresiasi mata uang secara negatif mempengaruhi pasar modal domestik yang negaranya sebagai export dominant dan akan berpengaruh positif terhadap pasar modal domestik bagi negara yang import dominant (Ma & Kao, 1990), sehingga hal ini konsisten dengan goods market approach. Disamping itu, hasil kajian Ajayi dan Mougoue (1996) terhadap delapan negara menunjukkan, bahwa terdapat interaksi yang signifikan antara nilai tukar dan pasar modal, sementara Abdalla dan Murinde (1997) menunjukkan bahwa nilai tukar cenderung berhubungan dengan harga saham.

Hasil studi Bapepam-LK (2008) di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat hubungan kointegrasi antara aliran modal asing, volatilitas pasar modal, dan nilai tukar, namun volatilias pasar modal (IHSG) lebih mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap perubahan aliran modal asing tetapi tidak mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap perubahan nilai tukar (IDR/USD), sedangkan aliran modal asing hanya mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap perubahan nilai tukar. Adapun perubahan nilai tukar tidak mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap volatilitas IHSG dan nilai tukar.

Page 55: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

409Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

III. METODOLOGI

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data sekunder yang digunakan adalah time-series harian selama lima tahun pengamatan (Januari 2010 – Desember 2014), mencakup net foreign purchase dan harga penutupan IHSG (diperoleh dari publikasi Bursa Efek Indonesia), serta kurs tengah Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (diperoleh dari publikasi Bank Indonesia). Net Foreign Purchase (NFP) digunakan sebagai proksi perubahan aliran modal asing di pasar modal Indonesia, dimana NFP positif menunjukkan adanya aliran modal asing yang masuk dan NFP negatif menunjukkan aliran modal yang keluar, dan dalam hal ini NFP dinyatakan dalam rasio pertumbuhan. Sedangkan pergerakan IHSG digunakan sebagai proksi volatilitas pasar modal Indonesia yang dinyatakan dalam pertumbuhan. Adapun perubahan kurs IDR/USD digunakan sebagai proksi nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing yang juga dinyatakan dalam rasio pertumbuhan.

3.2. Model Empiris

Metode analisis data dilakukan dengan pendekatan multivariate Vector Auto Regression (VAR) atau Vector Error Correlation Model (VECM), yang dibantu oleh program Eviews 8. Secara sistematis, model dasar VAR adalah, sebagai berikut:

dimana Yt adalah vektor (nx1) yang berisi dari masing-masing variabel dalam VAR, A0

adalah vektor (nx1) intersep, A1,2,p adalah koefisien matrik (nxn), dan et adalah vektor (nx1) dari error term.

Berdasarkan bentuk umum di atas, maka model VAR yang diaplikasikan dalam penelitian ini dapat ditulis, sebagai berikut:

Page 56: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

dimana NFP adalah perubahan aliran modal asing (net foreign purchase), IHSG adalah volatilitas pasar modal atau perubahan IHSG, KURS adalah perubahan atau pertumbuhan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, a konstanta, dan e adalah error term.

Bentuk VAR diatas merupakan bentuk VAR biasa yang digunakan jika data stasioner pada level. Variansi bentuk VAR biasanya terjadi akibat adanya perbedaan derajat integrasi data pada variabelnya, yang dikenal dengan nama VAR in level dan VAR in difference. VAR level digunakan ketika data penelitian memiliki bentuk stasioner dalam level. Jika data tidak stasioner dalam level, namun tidak memiliki hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dilakukan dalam bentuk difference.

VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non-

stationer yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen kedalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Secara sistematis, model VECM yang diaplikasikan dalam penelitian ini dapat ditulis, sebagai berikut:

Analisis data dengan pendekatan VAR, khususnya VECM mencakup tiga alat analisis utama, yaitu Granger Causality Test, Impulse Response Function, dan Variance Decomposition. Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari ketidaktahuan kepengaruhan antar variabel. Sedangkan analisis impulse response function bertujuan untuk menguji perilaku dinamis dari model VECM, yang dapat dilihat melalui respon dari setiap variabel terhadap kejutan dari variabel tersebut maupun terhadap variabel endogen lainnya. Adapun analisis variance docomposition

bertujuan untuk menguji karakteristik dari model yang digunakan, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain untuk melihat pengaruh relatif variabel-variabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedur variance decomposition yaitu dengan mengukur persentase kejutan-kejutan atas masing-masing variabel. Secara khusus, analisis impulse response dan variance decomposition dalam penelitian ini ditukan untuk mengalisis dampak perubahan aliran modal asing yang keluar dan masuk di pasar modal Indonesia terhadap volatilitasnya.

Page 57: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

411Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

IV. HASIL DAN ANALISIS

Analisis data dilakukan dengan pendekatan Vector Auto Regression (VAR) atau Vector

Error Correlation Model (VECM), namun karena data-data yang digunakan bersifat time-series dalam jumlah yang sangat banyak (1,224 series), maka diperlukan sejumlah analisis dasar terhadap data-data tersebut tersebut. Analisis time-series dalam penelitian ini secara berturut-turut adalah unit root test, penentuan panjang lag optimal, dan uji kointegrasi. Semua analisis awal ini ditujukan untuk menguji apakah data-data yang digunakan dalam penelitian ini baik digunakan untuk proses estimasi (VAR dan VECM) atau tidak. Adapun hasil uji stasioneritas data dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 1, berikut:

������������������������������������������������������

�����������

���������������������������������������������������������������

����� ����������� ����� ����������� �����

��� ���� ����

���������

���������������������������

������ ���������

���������������������������

������ ��������

���������������������������

������

Dari Tabel 1 di atas terlihat, bahwa hanya data-data pada variabel NFP (aliran modal investasi portofolio) yang stasioner pada level sedangkan data-data pada variabel IHSG dan KURS bersifat non-stasioner (mengandung akar unit), oleh karenanya kedua variabel tersebut diperlukan pengujian derajat integrasi (uji stasioner pada first difference) yang dilanjuti dengan uji kointegrasi. Sedangkan NFP sudah dapat digunakan dalam proses estimasi VECM dan VAR. Adapun hasil uji derajat integrasi untuk kedua variabel tersebut terlihat dalam Tabel 2, berikut:

������������������������������������������������������������������

�����������

���������������������������������������������������������������

����

���������

���������������������������

����� ����������� �����

����

������ ���������

���������������������������

������

Page 58: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Dari Tabel 2 terlihat bahwa kedua variabel (IHSG, dan KURS) stasioner pada 1st level (tidak mengandung akar unit). Sebelum dilanjutkan pada uji kointegrasi, terlebih dahulu diperlukan penentuan panjang Lag yang optimal bagi data-data tersebut. Hasil penentuan panjang Lag terlihat pada Tabel 3, berikut:

�����������������������������������

�����������

��� ���� �� ��� ��� �� ��

������������������������������������������������������������������������������������������

�����������������������������������������������������������������

��������������������

������������������������������������������������������������������������

��������������������

������������������������������������������������������������������������

��������������������

��������������������������������������������������������������������������������������������

������������������

��������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Berdasarkan hasil analisis terhadap penentuan panjang Lag di atas, terlihat bahwa sebagian besar indikator (LR, FPE, dan AIC) memiliki nilai terkecil pada Lag kesembilan (Lag 9), sehingga Lag 9 tersebut dipilih sebagai lag yang optimal. Setelah mendapatkan Lag optimal, maka dilanjutkan dengan uji kointegrasi. Pada dasarnya, uji ini tidak diperlukan jika data-data stasioner pada Level. Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah data-data yang digunakan menunjukkan atau memiliki trend stochastic yang sama dan selanjutnya memiliki arah pergerakan yang sama dalam jangka panjang. Adapun hasil pengujian kointegrasi terlihat pada Tabel 4, berikut:

�����������������������������

�������������������������

������������������������ ����������

���������������������������

���������������������������

����� ���������

����������������������� ��������������

����������� �� �� ��

��������������

��������������

���������������������������

��������������

��������������

Hasil pengujian kointegrasi, baik dengan pendekatan Trace maupun Max-Eigen menunjukkan bahwa data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kointergrasi, artinya meskipun variabel-variabel yang digunakan non stasioner pada level, namun dalam jangka panjang variabel-variabel tersebut cenderung menuju keseimbangan. Sehingga kombinasi linear

Page 59: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

413Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

dari variabel-variabel ini disebut regresi kointegrasi dan parameter-parameter yang dihasilkan dari kombinasi tersebut dapat disebut sebagai cointegrated parameter. Selama periode pengamatan, rata-rata aliran modal investasi portofolio di Indonesia mencapai 1.474,90 miliar per bulan (Rp 67,9 miliar per hari) dengan rata-rata nilai pembelian asing mencapai Rp42.623,48 miliar per bulan (Rp966,23 miliar per hari) dan penjualannya mencapai Rp41.148,56 miliar per bulan (Rp898,34 miliar per hari). Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum dalam periode tersebut terindikasi adanya arus modal masuk (capital inflow) ke Indonesia melalui pasar modalnya. Capital inflow tertinggi terjadi pada April 2011 yang mencapai Rp17.515,00 miliar dengan nilai pembeliannya sebesar Rp42.997,00 miliar dan nilai penjualannya mencapai Rp25.482,00 miliar. Nilai ini meningkat sebesar Rp19.781,00 miliar atau tumbuh secara signifikan yaitu mencapai 872,95% dari Maret 2011 yang tercatat adanya capital outflow hingga Rp2.266 miliar. Sedangkan capital outflow tertinggi terjadi pada Juni 2013, yang mencapai Rp20.132,0 miliar dengan nilai pembelian asing hanya sebesar Rp63.005 miliar sementara nilai penjualan jauh lebih tinggi yakni mencapai Rp83.137 miliar. Sedangkan untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rata-rata berada pada level 4.100,75 dengan tingkat pertumbuhannya sebanyak 43,60 poin (1,26%) per bulan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada September 2010 yaitu sebanyak 419,42 poin (13,61%), Februari 2013 sebanyak 419,42 poin (7,68%), dan Juli 2011 sebanyak 242,23 (6,23%). Sedangkan pertumbuhan terendah (penurunannya tertinggi) terjadi pada Agustus 2013 yaitu sebanyak 415,29 poin (-9,01%), Mei 2012 sebanyak 347,91 poin (-8,32%), dan Januari 2011 sebanyak 294,34 poin (-7,95%). Secara umum IHSG tumbuh secara positif setiap bulannya, hal ini menunjukkan bahwa kinerja pasar modal dan iklim investasi serta perekonomian nasional Indonesia semakin baik dari waktu ke waktu. Adapun untuk variabel nilai tukar, rata-rata kurs IDR/USD berada pada level Rp9.942,17 per bulan, yang secara umum tumbuh secara positif sebanyak 50,58 poin per bulannya (0,49%). Hal ini mengindikasikan bahwa Rupiah cenderung terdepresiasi oleh Dollar AS disetiap bulannya. Dalam periode tersebut, tingkat depresiasi Rupiah tertinggi terjadi pada Agustus 2013 yakni sebanyak 927,00 poin atau 9,04% dari level Rp10.257,00 ke level Rp11.184,00 selanjutnya pada November 2013 sebanyak 704,00 poin (6,25%) dari Rp11.273,00 menjadi Rp11.977,00, dan pada September 2014 sebanyak 498,0 poin (4,26%) dari Rp11.690,00 menjadi Rp12.188,00. Sedangkan tingkat apresiasi Rupiah tertinggi terjadi pada Februari 2014 yakni sebanyak 601,00 poin (4,92%) dari Rp12.210,00 menjadi Rp11.609,00, selanjutnya pada Juli 2014 sebanyak 295,00 poin (2,48%) dari Rp11.875,00 menjadi Rp11.580,00, dan Maret 2014 sebanyak 249,00 poin (2,14%) dari Rp11.609,00 menjadi Rp11.360,00. Dengan demikian, meskipun dalam jangka pendek ketiga variabel memiliki pola pergerakan yang sangat bervariasi, namun dalam jangka panjang ketiganya menunjukkan trend yang sama. Oleh karena itu, maka hipotesis kedua (H2) dalam penelitian ini didukung, artinya perubahan aliran modal asing, volatilitas pasar modal, dan nilai tukar memiliki hubungan kointegrasi antar satu sama lainnya, dan hal ini sejalan dengan sebagian besar hasil penelitian-penelitian sebelumnya, baik di Indonesia sendiri maupun di luar Indonesia sebagaimana yang ditelah disebutkan pada bagian sebelumnya dari penelitian ini.

Page 60: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Setelah ditemukan adanya hubungan kointegrasi diantara ketiga variabel tersebut, maka data-data dari ketiga variabel tersebut dapat digunakan dalam proses estimasi VECM atau VAR. Hasil estimasi dari pendekatan tersebut dapat dilihat pada lampiran, dan berdasarkan tingkat signifikansi pada masing-masing variabel, maka substitusi hasil estimasi VECM kedalam model VAR dapat disederhanakan menjadi:

D(IHSG) = - 1.207*(IHSG(-1) + 0.168*KURS(-1) + 1.312*NFP(-1)) + 0.234*D(IHSG(1))+ 0.238*D(IHSG(-2)) + 0.204*D(KURS(-1)) + 0.269*D(KURS(-2)) + 0.256*D(KURS(-3)) + 0.215*D(KURS(-4)) + 0.216*D(KURS(-5)) + 0.167*D(KURS(-6)) + 0.127*D(KURS(-7)) + 0.076*D(KURS(-8)) + 1.492*D(NFP(1)) + 1.457*D(NFP(-2)) + 1.340*D(NFP(-3)) + 1.216*D(NFP(-4)) + 0.923*D(NFP(-5)) + 0.810*D(NFP(-6)) + 0.724*D(NFP(-7)) + 0.242*D(NFP(-8)) + 0.150*D(NFP(-9))

D(KURS) = 0.168*(KURS(-1) + 1.312*NFP(-1)) - 0.874*D(KURS(-1)) - 0.767*D(KURS(2)) - 0.672*D(KURS(3)) - 0.572*D(KURS(-4)) - 0.526*D(KURS(5)) - 0.424*D(KURS(-6)) - 0.325*D(KURS(-7)) - 0.221*D(KURS(-8)) - 0.123*D(KURS(-9))

D(NFP) = - 0.092*( IHSG(-1) + 0.168*KURS(-1) + 1.312*NFP(-1)) + 0.073*D(IHSG(1)) - 0.028*D(KURS(8)) - 0.030*D(KURS(-9)) - 0.873*D(NFP(-1)) - 0.848*D(NFP(-2)) - 0.841*D(NFP(-3)) - 0.694*D(NFP(-4)) - 0.574*D(NFP(-5)) - 0.464*D(NFP(-6)) - 0.336*D(NFP(-7)) - 0.217*D(NFP(-8)) - 0.094*D(NFP(-9))

Berdasarkan model di atas, terlihat bahwa tidak semua lag signifikan pada masing-masing persamaan, menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998) hal ini merupakan tipikal dalam VECM dan VAR. Pada persamaan pertama dengan IHSG sebagai variabel dependen, terlihat bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pergerakan IHSG sangat berkaitan dengan pergerakan dirinya sendiri, nilai tukar IDR/USD, dan aliran modal asing. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, perubahan aliran modal asing memiliki kontribusi terbesar dalam menggerakkan IHSG, hal ini terlihat dari koefisiennya yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan koefisien variabel lainnya. Kondisi ini sangat relevan dengan fakta yang terjadi di lapangan, dimana jumlah investor asing masih sangat tinggi di bursa efek Indonesia dan umumnya mereka juga memiliki dana yang lebih besar dibandingkan investor domestik, sehingga aksi beli (jual) mereka secara spontan akan meningkatkan (menurunkan) IHSG. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia masih memiliki tingkat volatilitas yang tinggi, sehingga sangat rentan terhadap goncangan, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal. Sedangkan pada persamaan kedua dengan kurs sebagai variabel dependen, terlihat bahwa dalam jangka pendek perubahan nilai tukar IDR/USD secara positif berkaitan dengan adanya perubahan pada dirinya sendiri dan aliran modal asing yang terjadi pada satu periode sebelumnya, tetapi perubahan tersebut tidak berhubungan dengan pergerakan IHSG. Sedangkan dalam jangka panjang, perubahan nilai tukar IDR/USD sepenuhnya dipengaruhi oleh pergerakannya sendiri secara negatif, hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang perubahannya lebih

Page 61: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

415Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

banyak dijelaskan oleh variabel-variabel makro lainnya, seperti ekspor-impor dan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka pendek, perubahan aliran modal asing memiliki kontribusi yang besar dalam menggerakkan supply and demand valuta asing. Adapun pada persamaan ketiga dengan NFP sebagai variabel dependen, terlihat bahwa dalam jangka pendek arus modal asing secara positif berkaitan dengan perubahannya sendiri dan perubahan nilai tukar yang terjadi pada satu periode sebelumnya, tetapi perubahan tersebut berhubungan negatif dengan pergerakan IHSG. Sedangkan dalam jangka panjang, hampir sepenuhnya arus modal asing dipengaruhi oleh perubahannya sendiri.

Hasil estimasi di atas hanya memperlihatkan model atau pola hubungan antar variabel. Pada persamaan-persamaan di atas terlihat, bahwa masing-masing variabel berhubungan satu sama lainnya, namun apakah dalam hubungan tersebut terdapat kekuatan untuk saling mempengaruhinya satu sama lainnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka diperlukan pengujian kausalitas, yang dalam hal ini uji kausalitas dilakukan dengan pendekatan Granger

Causality Test, dengan hasil pengujiannya terlihat pada Tabel 5, berikut:

�����������������������������������������

�����������������

�������������

�������������

�������� ��� ������� �������

������ �� ����� ������ �� ����� ������ �� �����

������������������

������������������������

���

���

����

���

���

���������������������

���

���

���

������������������������

���

���

����

���

���

���������������������������

���

���

���

������������������������

���

���

����

���

���

������������������

�����������������������������������������������������������������������������������������

Hasil granger causality test menunjukkan bahwa perubahan aliran modal asing di Indonesia, baik yang masuk (capital inflow) maupun keluar (capital outflow) signifikan dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar IDR/USD, tetapi tidak signifikan dipengaruhi oleh pergerakan IHSG. Berkaitan dengan hasil estimasi model VECM dan VAR sebelumnya, maka apresiasi Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat mendorong minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, karena penguatan mata uang domestik juga mengindikasikan bahwa perekonomian nasional yang baik sehingga berdampak positif bagi iklim investasinya. Namun, kinerja pasar modal Indonesia yang ditunjukkan oleh IHSG tidak signifikan mempengaruhi investasi asing, karena mungkin hal ini sudah menjadi karakteristik dari investasi internasional, dimana keputusan

Page 62: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

investasi internasional didasarkan pada korelasi yang rendah antar pasar modal, tetapi bukan berdasarkan kinerja pasar. Sedangkan pergerakan IHSG signifikan dipengaruhi oleh perubahan aliran modal asing dan nilai tukar IDR/USD, artinya selain memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan aliran modal asing, setiap kenaikan IHSG juga signifikan disebabkan oleh apresiasi Rupiah (depresiasi Dollar USD) yang terjadi pada periode sebelumnya. Dengan kata lain, setiap terjadi aksi jual dari investor asing (arus jual = capital outflow) dan apresiasi rupiah, maka secara signifikan akan meningkatkan IHSG, sebaliknya aksi beli asing dan depresiasi Rupiah secara signifikan akan menurunkan IHSG. Adapun perubahan nilai tukar IDR/USD tidak signifikan dipengaruhi oleh pergerakan IHSG dan perubahan aliran modal asing, hal ini menunjukkan bahwa perubahan nilai tukar IDR/USD lebih banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel makro lainnya.

Dari hasil granger causality test ini juga terlihat bahwa tidak terdapat hubungan kausalitas antara perubahan aliran modal investasi portofolio di Indonesia dengan pergerakan IHSG dan dengan perubahan nilai tukar IDR/USD, serta tidak ditemukan pula hubungan kausalitas antara pergerakan IHSG dan perubahan nilai tukar IDR/USD. Dengan demikian, maka hipotesis ketiga (H3) dalam penelitian ini tidak didukung, sehingga konsep good market dan portfolio-balance

approach tidak berlaku di Indonesia. Hasil temuan ini juga sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang juga tidak ditemukan adanya hubungan kausal diantara ketiga variabel tersebut, namun model dan mekanisme antar hasil penelitian cenderung berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang berlaku di negara yang diteliti, dimana beberapa diantaranya menemukan bahwa volatilitas pasar saham mempengaruhi perubahan nilai tukar dan aliran modal asing yang selanjutnya merujuk pada konsep good

market approach, namun beberapa lainnya menemukan bahwa perubahan nilai tukar yang mampengaruhi volatilitas pasar modal dan aliran modal yang selanjutnya mengarah pada konsep portfolio-balance approach. Spesifiknya, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil kajian Jorion (1990, 1991) di Amerika Serikat dan Bodnar dan Gentry (1993) di Jepang, yang juga menunjukkan bahwa kedua konsep tersebut (good market dan portfolio-balance approach) tidak berlaku di negara tersebut. Secara skematis, hasil analisis terhadap hubungan antar ketiga variabel dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 1, berikut:

Gambar 1. Hubungan Perubahan Aliran Modal Investasi,Kurs, dan IHSG

����

�������

���������������������������

���������������������������

���������������������������

Page 63: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

417Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana pengaruh shock dari suatu variabel terhadap variabel-variabel lain dan berapa lama pengaruh shock tersebut akan diuji melalui pendekatan impuls response function (IRF). Selain dapat mengetahui pengaruh dan lama shock tersebut, pendekatan IRF juga dapat digunakan untuk mengetahui sampai kapan pengaruh shock tersebut akan hilang. Hasil analisis IFR untuk 20 hari terlihat pada Grafik 1. Pada grafik-grafik tersebut, response dari perubahan masing-masing variabel akibat adanya informasi baru diukur dengan 1-standar deviasi. Sumbu vertikal pada grafik tersebut menggambarkan nilai response atau pertumbuhan dari masing-masing variabel, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan waktu atau periode setelah terjadinya shock, yang dalam hal ini disajikan untuk 20 perioe kedepan. Pada grafik pertama (kolom pertama dan baris pertama) menggambarkan response pergerakan IHSG terhadap dirinya, dimana setiap IHSG meningkat sebesar 1%, akan direspon secara positif pada satu periode setelahnya hingga mencapai 1,15% dan selanjutnya turun dan terus berfluktuasi hingga kembali normal pada periode kedelapan. Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan IHSG akan direspon secara positif oleh perubahan nilai tukar IDR/USD dan perubahan aliran modal asing, namun berdasarkan hasil estimasi VECM dan VAR kedua variabel ini tidak signifikan dipengaruhi oleh pergerakan IHSG, sehingga response tersebut dianggap lemah dan tidak menjadi fokus pembahasan dalam paper ini.

��� � � � �� �� �� �� �������

����

����

����

����

������������������������

��� � � � �� �� �� �� �������

����

����

����

����

������������������������

��� � � � �� �� �� �� �������

����

����

����

����

�����������������������

��� � � � �� �� �� �� ��

������������������������

�����

����

����

����

����

����

Page 64: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Pada grafik kedua (baris kedua kolom kedua) menggambarkan response dari perubahan nilai tukar IDR/USD terhadap dirinya sendiri dimana setiap terjadi perubahan nilai tukar IDR/USD sebanyak 1%, maka akan direspon secara positif pada satu periode setelahnya hingga mencapai 1,26%, namun pada periode kedua kembali turun dan berfluktuasi hingga normal kembali pada periode keduabelas. Dalam waktu yang bersamaan, setiap terjadi perubahan nilai tukar IDR/USD (depresiasi Rupiah), maka perubahan tersebut akan direspon secara negatif

��� � � � �� �� �� �� ��

������������������������

�����

����

����

����

����

����

��� � � � �� �� �� �� ��

�����������������������

�����

����

����

����

����

����

��� � � � �� �� �� �� ��

�����������������������

�����

����

����

����

����

����

����

��� � � � �� �� �� �� ��

�����������������������

�����

����

����

����

����

����

����

��� � � � �� �� �� �� ��

����������������������

�����

����

����

����

����

����

����

Grafik 1.Hubungan Dinamis Antara Perubahan NFP, IHSG, dan Kurs selama 20 periode

Page 65: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

419Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

oleh investor di pasar modal, dimana kenaikan nilai tukar IDR/USD (depresiasi Rupiah) sebanyak 1%, akan memicu IHSG turun sebanyak 0,197% dan akan terus berfluktuasi hingga normal kembali pada periode kedelapan. Kondisi ini mungkin disebabkan oleh adanya peralihan modal investor dari pasar modal ke pasar valuta asing. Disamping itu, perubahan nilai tukar IDR/USD juga akan direspon secara negatif oleh aliran modal asing pada periode kedua setelahnya, dimana kenaikan nilai tukar IDR/USD sebanyak 1% akan memicu investor asing untuk menarik dananya dari Indonesia atau mengalihkannnya kedalam forex hingga 0,06% dan akan terus berfluktuasi hingga normal kembali pada periode keduabelas.

Pada grafik ketiga (baris ketiga kolom ketiga) menggambarkan response dari perubahan aliran modal asing terhadap dirinya sendiri, dimana setiap terjadi capital inflow sebanyak 1%, maka akan direspon secara positif pada satu periode setelahnya hingga mencapai 0,4% kemudian turun dan kembali meningkat pada periode kelima dan kembali normal pada periode keduabelas. Kondisi ini menunjukkan bahwa masuknya modal asing ke Indonesia akan memicu sumber dana asing lainnya untuk masuk juga ke Indonesia, atau keputusan investor asing berinvestasi di Indonesia akan memicu investor asing lainnya untuk berinvestasi di Indonesia pula. Namun hal ini patut diwaspadai jika terjadi fenomena sebaliknya. Dari estimasi ini, juga terindikasi adanya kemungkinan bahwa investor asing di Indonesia cenderung melakukan herding antara satu sama lainnya. Dalam waktu yang bersamaan, perubahan aliran modal asing juga direspon oleh kenaikan IHSG. Masuknya dana asing ke Indonesia mendorong peningkatan IHSG hingga 0,42% pada satu periode setelahnya dan terus tumbuh hingga normal kembali pada periode kesepuluh. Disamping itu, juga akan direspon oleh perubahan kurs IDR/USD, namun berdasarkan hasil estimasi VECM dan VAR tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifika, sehingga response tersebut dianggap lemah dan tidak menjadi fokus pembahasan dalam paper ini.

Selanjutnya setelah menganalisis perilaku dinamis melalui impulse response, selanjutnya akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition. Variance decomposition berguna untuk menyusun forecast error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun shock yang berasal dari variabel lainnya serta untuk melihat pengaruh relatif setiap variabel-variabel yang diteliti terhadap variabel-variabel lainnya diluar model ini. Adapun hasil analisis variance decomposition dari aliran modal asing (NFP), pergerakan IHSG, dan nilai tukar IDR/USD selama 20 hari ke depan terlihat pada Tabel 6, berikut:

Page 66: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

���������������������������������������������

�������������������������������

�����������������������������������

�������

�����

�����������������������������������������������������

���� ���� ����� ����� ���� ���� ����� ���

��������������������������������������

�������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Hasil analisis variance decomposition menunjukkan bahwa forecast error variance dari perubahan aliran modal asing (NFP) di Indonesia pada periode pertama, 99,07% variabilitasnya ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada dirinya sendiri dan pada periode berikutnya cenderung menurun meskipun masih dalam level yang tinggi. Disamping itu, sebanyak 0,91% pada periode pertama dari variabilitas NFP dijelaskan oleh pergerakan IHSG dan hal ini akan terus meningkat hingga mencapai 2,20% di periode kelima dan 3,30% di periode keduapuluh setelahnya. Hingga periode ke-20, forcest error variance NFP yang dapat dijelaskan oleh perubahannya sendiri sebesar 95.19%, hal ini menunjukkan bahwa perubahan aliran modal investasi portofolio di Indonesia, baik masuk maupun keluar lebih banyak dipengaruhi oleh dirinya sendiri (perilaku investor) daripada faktor-faktor lainnya. Sedangkan forecast

error varance dari pergerakan IHSG pada periode pertama 100% variabilitasnya ditentukan oleh perubahannya sendiri, sedangkan perubahan nilai tukar IDR/USD dan perubahan NFP tidak memiliki kontribusi sama sekali pada periode pertama, tetapi pada periode berikutnya variabilitas IHSG mampu dijelaskan oleh perubahan kurs IDR/USD dan perubahan NFP, dan hal ini semakin tinggi hingga sementara kontribusi dari dirinya sendiri semakin berkurang. Jika dibandingkan dengan perubahan kurs IDR/USD, perubahan NFP memiliki kontribusi yang lebih tinggi dalam menjelaskan variabilitas perubahan IHSG. Adapun forecast error variance

Page 67: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

421Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

dari perubahan nilai tukar IDR/USD pada periode pertama juga hampir sepenuhnya (99,97%) dipengaruhi oleh pergerakannya sendiri, sedangkan kontribusi perubahan NFP dan pergerakan IHSG tidak menunjukkan kontribusi yang berarti. Kondisi ini kembali menunjukkan bahwa perubahan kurs IDR/USD lebih banyak dijelaskan oleh variabel-variabel makro dibandingkan dengan IHSG dan NFP.

Berdasarkan hasil analisis impulse response dan impuls decomposition tersebut, jelas terlihat bahwa perubahan aliran modal asing dalam konteks investasi portofolio akan membawa dampak positif dan negatif bagi volatilitas pasar modal. Arus modal asing yang masuk signifikan berdampak positif bagi volatilitas pasar modal Indonesia (mendorong kenaikan IHSG), namun sebaliknya arus modal asing yang keluar juga signifikan berdampak negatif bagi volatilitas pasar modal (penurunan IHSG). Dengan demikian, maka hipotesis pertama (H1) dalam penelitian ini didukung. Hal ini sesuai dengan pandangan ekonom mainstream dan para ekonom lainnya, dimana ekonom mainstream menyatakan bahwa aliran modal asing akan membawa dampak positif bagi perekonomian melalui pasar modal dan ekonom lainnya (non-mainstream) menyatakan bahwa aliran modal asing cenderung meningkatkan extreme volatility bagi pasar modal di negara tujuan. Sehingga trade-off ini akan membawa pasar modal Indonesia kepada salah satu wahana investasi yang memiliki prospek bisnis yang semakin menjanjikan diantara pasar-pasar modal lainnya yang ada di dunia serta akan memperbesar peluang bagi kemajuan dan perkembangannya di masa yang akan datang. Hasil analisis impulse response dan variance

docomposition juga menunjukkan adanya perilaku dinamis di antara ketiga variabel, sehingga hipotesis keempat (H4) juga diterima.

V. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kointegrasi dan dinamis antara perubahan aliran modal asing, pergerakan IHSG, dan nilai tukar IDR/USD, tetapi tidak ditemukan hubungan kausal antara ketiganya. Perubahan aliran modal asing signifikan mempengaruhi pergerakan IHSG namun tidak signifikan mempengaruhi perubahan nilai tukar IDR/USD. Sedangkan perubahan nilai tukar IDR/USD signifikan mempengaruhi aliran modal asing dan pergerakan IHSG. Adapun pergerakan IHSG tidak signifikan mempengaruhi perubahan aliran modal asing dan nilai tukar IDR/USD.

Dalam penelitian ini, hanya tiga variabel yang diuji (NFP, IHSG, dan KURS) sehingga hasil penelitian tidak sepenuhnya dapat menjelaskan kondisi yang riil terjadi di Indonesia, khususnya mengenai aliran modal asing yang keluar-masuk ke Indonesia. Artinya, aliran modal asing yang keluar-masuk ke Indonesia tidak hanya dijelaskan oleh faktor volatilitas pasar modal dan perubahan nilai tukar, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, bagi penelitian lebih lanjut dapat memasukkan beberapa variabel lainnya yang relevan, seperti perubahan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang serta tingkat pertumbuhan perekonomian nasional

Page 68: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

(GNP), dan faktor-faktor makro internasional, seperti perubahan suku bunga internasional dan volatilitas pasar modal global. Untuk mendapatkan uraian yang lebih spesifik terkait dengan masalah tersebut, analisis data juga dapat diarahkan dengan metode semi kuantitatif (perpaduan metode kuantitatif dan kualitatif), sehingga fakta-fakta statistik dapat disinkronisasi dengan aspek-aspek keperilakuan (behavioral finance).

Page 69: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

423Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, L.S.A., and Murinde, V. 1997. Exchange Rate and Stock Price Interactions in Emerging Financial Markets: Evidence on India, Korea, Pakistan, and Philippnes. Applied Financial Economics, 7, 25-35.

Agarwal, S., Sheri, F., Chunlin, L., and Ghon, R. 2009. Why do Foreign Investors Underperform Domestic Investors in Trading Activities? Evidence from Indonesia. Journal of Financial Market, 12, 32-53.

Ajayi, R.A., and Mougoue. 1996. On the Dynamic Relation between Stock Price and Exchange Rates. Journal of Financial Research, 19, 193-207.

Bapepam-LK. 2008a. Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar, dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia. Bapepam-LK, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.

___________. 2008b. Identifikasi Pemodal Asing di Pasar Modal Indonesia. Bapepam-LK, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.

___________. 2008c. Pengaruh Transaksi Asing terhadap Neraca Pembayaran Indonesia. Bapepam-LK, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta.

Bartman, S.M., & Dufey, G. 2001. International Portfolio Investment: Theory, Evidence, and Institutional Framework. Maastricht University. Maastricht.

Bekaert, G., and Harvey, C.R. 2003. Emerging Market Finance. Journal of Empirical Finance, 10, 3-55.

Bodnar, G.M., and Gentry, W.M. 1993. Exchange Rate Exposure and Industry Characteristics: Evidence from Canada, Japan, and U.S.A. Journal of International Money and Finance, 12, 29-45.

Bohn, H., and Tesar, L. (1996). U.S. Equity Investment in Foreign Market: Portfolio Rebalancing on Return Chasing? American Economic Review, 2, 77-81.

Bursa Efek Indonesia. 2014. IDX Annual Statistick. http://www.idx.co.id.

_________________. 2014. IDX Monhtly Statistic. http://www.idx.co.id.

_________________. 2014. IDX Fact Book. http://www.idx.co.id.

Chayawadee, Chai-Anant and Corrine, Ho. 2008. Understanding Asian Equity Flows, Market Returns, and Exchange Rate. Monetary and Rconomic Department, BIS Working Papers, No. 245, Januari 2008.

Page 70: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Dornbusch, R., and Fischer, S. 1980. Exchange Rates and Current Account. American Economics Review, 70, 960-710.

Dvorak, T. 2005. Do Domestic Investors have an Information Adventage? Evidence from Indonesia. Journal of Finance, 60, 817-839.

Edwards, K. 2000. Foreign Portfolio and Direct Investment: Complementary, Differences, and Integration. OECD Global Forum on International Investment-Attracting Foreign Direct Investment for Development.

Enders, W. 2004. Applied Econometric Times Series, 2nd Eddition. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Evans, K. 2002. Foreign Portfolio and Direct Investment: Complementary, Differences, and Integration. OECD Global Forum on International Investment-Attracting Foreign Direct Investment for Development. Shanghai.

Franke, J.A. 1993. Monetary and Portfolio-Balance Models of the Determination of Exchange Rates. MIT Press, Chambridge.

Frensidy, Budi. 2008. Analisis Pengaruh Aksi Beli-Jual Asing, Kurs, dan Indeks Hang Seng terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia dengan Model GARCH. Media Riset & Bisnis, 8, 25-42.

Froot, K.A., and Donohue, J. 2002. The Persistence of Emerging Market Equity Flows. Emerging Market Review, Vol. 3, pp. 511-534.

________________, & Tarun Ramadorai. 2002. The Information Content of International Portfolio Flows. NBER Working Paper, No. 8472.

He, J., and Ng, L.K. 1998. The Foreign Exchange Exposure of Japanese Multinational Corporations. Journal of Finance, 53, 733-753.

Ibrahim, M.H. 2000. Cointegration and Granger Causality Test of Interaction in Malaysia. Asian Economic Buleten, 17, 36-47.

Jorion, P. 1990. The Exchange Rate Exposure of U.S. Multinationals. Journal of Business, 63, 331-345.

_______. 1991. The Pricing of Exchange Rate Risk in Stock Market. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 363-376.

Karolyi, A.G. 2002. Did the Asian Financial Crisis Scare Foreign Investors Out of Japan? Pasific-Basin Finance Journal, 10, 411-442.

Ma, C.K., and Kao, G. 1990. On Exchange Rate Changes and Stock Price Reaction. Journal of Business Finance Review, 60, 668-675.

Page 71: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

425Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

Parthapratim Pal. 1998. Foreign Portfolio Investment in India Equity Market: Has the Economy Benefited? Economics and Political Weekly, March 1998, 14-20.

Ramasamy, B., and Mathew, Y. 2001. The Causality between Stock Returns and Exchange Rates: Revisted. Research Paper Series, 11. Division of Business and Management, the University of Nottingham in Malaysia.

Richard, A. 2005. Big Fish in Small Ponds: the Trading Behavior and Price Impact of Foreign Investors in Asian Emerging Equity Markets. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 40, 1-27.

Solnik, Bruno. 1974. Why Not Diversify Internationally Reather than Domestically? Financial Analysts Journal, 30, 48-54.

Todaro, M.P., & Smith, S.C. 2004. Pembangunan Economi Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta.

Wang, J. 2007. Foreign Equity Trading and Emerging Market Volatility: Evidence from Indonesia and Thailand. Journal of Development Economics, 84, 798-811.

Wongbangpo, P., and Sharma, C.S. 2002. Stock Market and Macroeconomic Fundamental Dynamic Interaction: ASEAN-5 Country. Journal of Asian Economics, 13, 27-51.

Page 72: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

LAMPIRAN

��������

��������

�������

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������������� ��������

��������

���������������������������

���������������������������

���������

Page 73: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

427Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

��������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

����������������� �������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

������� ������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������

����������������������������

��������������������������

����������������������������

Page 74: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

�����������

����������

����������

����������

����������

����������

����������������� �������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

������� ������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

Page 75: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

429Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

����������

����������

����������

����������

�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������������� �������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

�����������������������������������������������������������������������������������

������� ������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

��������������������������

����������������������������������������������������������������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

����������������������������

�����������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������

Page 76: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Estimation Proc:===============================EC(NOCONST,C,1) 1 9 IHSG KURS NFP

VAR Model:

D(IHSG) = A(1,1)*(B(1,1)*IHSG(-1) + B(1,2)*KURS(-1) + B(1,3)*NFP(-1) + B(1,4)) + C(1,1)*D(IHSG(-1)) +

C(1,2)*D(IHSG(-2)) + C(1,3)*D(IHSG(-3)) + C(1,4)*D(IHSG(-4)) + C(1,5)*D(IHSG(-5)) + C(1,6)*D(IHSG(-6)) +

C(1,7)*D(IHSG(-7)) + C(1,8)*D(IHSG(-8)) + C(1,9)*D(IHSG(-9)) + C(1,10)*D(KURS(-1)) + C(1,11)*D(KURS(-2))+

C(1,12)*D(KURS(-3)) + C(1,13)*D(KURS(-4)) + C(1,14)*D(KURS(-5)) + C(1,15)*D(KURS(-6)) +

C(1,16)*D(KURS(-7)) + C(1,17)*D(KURS(-8)) + C(1,18)*D(KURS(-9)) + C(1,19)*D(NFP(-1)) +

C(1,20)*D(NFP(-2)) + C(1,21)*D(NFP(-3)) + C(1,22)*D(NFP(-4)) + C(1,23)*D(NFP(-5)) + C(1,24)*D(NFP(-6)) +

C(1,25)*D(NFP(-7)) + C(1,26)*D(NFP(-8)) + C(1,27)*D(NFP(-9)) + C(1,28)

D(KURS) = A(2,1)*(B(1,1)*IHSG(-1) + B(1,2)*KURS(-1) + B(1,3)*NFP(-1) + B(1,4)) + C(2,1)*D(IHSG(-1)) +

C(2,2)*D(IHSG(-2)) + C(2,3)*D(IHSG(-3)) + C(2,4)*D(IHSG(-4)) + C(2,5)*D(IHSG(-5)) + C(2,6)*D(IHSG(-6)) +

C(2,7)*D(IHSG(-7)) + C(2,8)*D(IHSG(-8)) + C(2,9)*D(IHSG(-9)) + C(2,10)*D(KURS(-1)) + C(2,11)*D(KURS(-2))+

C(2,12)*D(KURS(-3)) + C(2,13)*D(KURS(-4)) + C(2,14)*D(KURS(-5)) + C(2,15)*D(KURS(-6)) +

C(2,16)*D(KURS(-7)) + C(2,17)*D(KURS(-8)) + C(2,18)*D(KURS(-9)) + C(2,19)*D(NFP(-1)) +

C(2,20)*D(NFP(-2)) + C(2,21)*D(NFP(-3)) + C(2,22)*D(NFP(-4)) + C(2,23)*D(NFP(-5)) + C(2,24)*D(NFP(-6)) +

C(2,25)*D(NFP(-7)) + C(2,26)*D(NFP(-8)) + C(2,27)*D(NFP(-9)) + C(2,28)

D(NFP) = A(3,1)*(B(1,1)*IHSG(-1) + B(1,2)*KURS(-1) + B(1,3)*NFP(-1) + B(1,4)) + C(3,1)*D(IHSG(-1)) +

C(3,2)*D(IHSG(-2)) + C(3,3)*D(IHSG(-3)) + C(3,4)*D(IHSG(-4)) + C(3,5)*D(IHSG(-5)) + C(3,6)*D(IHSG(-6)) +

C(3,7)*D(IHSG(-7)) + C(3,8)*D(IHSG(-8)) + C(3,9)*D(IHSG(-9)) + C(3,10)*D(KURS(-1)) + C(3,11)*D(KURS(-2))+

C(3,12)*D(KURS(-3)) + C(3,13)*D(KURS(-4)) + C(3,14)*D(KURS(-5)) + C(3,15)*D(KURS(-6)) +

C(3,16)*D(KURS(-7)) + C(3,17)*D(KURS(-8)) + C(3,18)*D(KURS(-9)) + C(3,19)*D(NFP(-1)) +

C(3,20)*D(NFP(-2)) + C(3,21)*D(NFP(-3)) + C(3,22)*D(NFP(-4)) + C(3,23)*D(NFP(-5)) + C(3,24)*D(NFP(-6)) +

C(3,25)*D(NFP(-7)) + C(3,26)*D(NFP(-8)) + C(3,27)*D(NFP(-9)) + C(3,28)

Page 77: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

431Cross Border Portfolio Investment and The Volatility of Stock Market Index and Rupiah’s Rate

VAR Model - Substituted Coefficients:===============================

D(IHSG) = - 1.20704629031*( IHSG(-1) + 0.16825515883*KURS(-1) + 1.31275677022*NFP(-1)-

0.000968664562027 ) + 0.234113938155*D(IHSG(-1)) + 0.238373024714*D(IHSG(-2)) +

0.0637984073889*D(IHSG(-3)) + 0.000741801990208*D(IHSG(-4)) + 0.0148493499708*D(IHSG(-5))-

0.0608250159712*D(IHSG(-6)) - 0.01610387832*D(IHSG(-7)) - 0.0182604382391*D(IHSG(-8))-

0.0155602028577*D(IHSG(-9)) + 0.204857449031*D(KURS(-1)) + 0.269393399585*D(KURS(-2))+

0.256661581322*D(KURS(-3)) + 0.215837747065*D(KURS(-4)) + 0.216328844076*D(KURS(-5)) +

0.167330082535*D(KURS(-6)) + 0.127629651451*D(KURS(-7)) + 0.076096354912*D(KURS(-8))-

0.0153657218093*D(KURS(-9)) + 1.49258390341*D(NFP(-1)) + 1.45742910062*D(NFP(-2))+

1.34075749527*D(NFP(-3)) + 1.21662774196*D(NFP(-4)) + 0.923899871437*D(NFP(-5)) +

0.810391967914*D(NFP(-6)) + 0.724647598234*D(NFP(-7)) + 0.242928440213*D(NFP(-8)) +

0.150721043657*D(NFP(-9)) + 5.00629671065e-06

D(KURS) = - 0.144593705456*( IHSG(-1) + 0.16825515883*KURS(-1) + 1.31275677022*NFP(-1)-

0.000968664562027 ) + 0.164658024998*D(IHSG(-1)) + 0.169067925585*D(IHSG(-2)) +

0.125147198508*D(IHSG(-3)) + 0.0934151967656*D(IHSG(-4)) + 0.0571398446652*D(IHSG(-5)) +

0.0371138476936*D(IHSG(-6)) + 0.0365349647312*D(IHSG(-7)) + 0.00799470563789*D(IHSG(-8))+

0.00208279483169*D(IHSG(-9)) - 0.874490366381*D(KURS(-1)) - 0.767725868168*D(KURS(-2))-

0.672575035586*D(KURS(-3)) - 0.572385114251*D(KURS(-4)) - 0.526976752859*D(KURS(-5))-

0.424954465748*D(KURS(-6)) - 0.325059781502*D(KURS(-7)) - 0.221600630389*D(KURS(-8))-

0.123914249303*D(KURS(-9)) + 0.0468157229865*D(NFP(-1)) + 0.00864195119996*D(NFP(-2))+

0.0872401874505*D(NFP(-3)) + 0.080427989745*D(NFP(-4)) + 0.0661622918623*D(NFP(-5))+

0.174995424241*D(NFP(-6)) + 0.328031876829*D(NFP(-7)) + 0.164901902632*D(NFP(-8)) +

0.0635787375646*D(NFP(-9)) + 2.35532810589e-06

D(NFP) = - 0.0922161479002*( IHSG(-1) + 0.16825515883*KURS(-1) +

1.31275677022*NFP(-1)- 0.000968664562027 ) + 0.0735963572088*D(IHSG(-1)) +

0.0433385333233*D(IHSG(-2)) + 0.030798174387*D(IHSG(-3)) + 0.0132925364003*D(IHSG(-4)) +

0.00964324775396*D(IHSG(-5))+ 0.00502654498212*D(IHSG(-6)) + 0.00578127252444*D(IHSG(-7))-

0.00584816413691*D(IHSG(-8))- 0.00446655738886*D(IHSG(-9)) + 0.0076344243721*D(KURS(-1))-

0.00331769830874*D(KURS(-2))- 0.0107160723119*D(KURS(-3)) - 0.022965568366*D(KURS(-4))-

0.0267683211933*D(KURS(-5))- 0.0237554778096*D(KURS(-6)) - 0.00958051358078*D(KURS(-7))

- 0.0289997687541*D(KURS(-8))- 0.0305445841396*D(KURS(-9)) - 0.873938486405*D(NFP(-1))-

0.848086973838*D(NFP(-2)) - 0.841921659708*D(NFP(-3)) - 0.694316371319*D(NFP(-4))

- 0.574434513597*D(NFP(-5)) - 0.464861088937*D(NFP(-6)) - 0.33655315667*D(NFP(-7)) -

0.217840080012*D(NFP(-8)) - 0.0944996336936*D(NFP(-9)) - 6.37363328153e-06

Page 78: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 79: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

433Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

DAMPAK PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA TERHADAP KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT: APLIKASI STRUCTURAL PATH ANALYSIS

Sulthon Sjahril Sabaruddin1

Paper ini mengevaluasi dampak perdagangan internasional Indonesia terhadap kesejahteraan

masyarakat, dengan memanfaatkan dua perangkat analisa yaitu Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008

(SNSE 2008) dan Structural Path Analysis (SPA). Pada sisi ekspor, hasil simulasi menunjukkan bahwa

untuk kelompok komoditi Pertanian, ekspor ke luar negeri mempengaruhi kesejahteraan masyarakat

lebih melalui jalur tenaga kerja. Pada kelompok industri, jalur modal lebih dominan; ditunjukkan dengan

besaran pengganda yang lebih besar relatif terhadap jalur tenaga kerja. Dari sisi impor, dampak terhadap

tingkat kesejahteraan masyarakat disalurkan melalui dua jalur utama yakni jalur produksi dan jalur

penerimaan pajak. Faktor produksi yang terlibat dalam proses ini terdiri dari pekerja dengan pendapatan

menengah yang tinggal di perkotaan dan pengusaha berpendapatan menengah baik di pedesaan maupun

di perkotaan.

Abstrak

Keywords: international trade, Social Accounting Matrix, Structural Path Analysis, welfare, Indonesia.

JEL Classification: F14, F15, F17

1 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Email: [email protected]

Page 80: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

I. PENDAHULUAN

Diplomasi ekonomi kini menjadi salah satu prioritas dalam politik luar negeri Indonesia terutama sejak pemerintahan terakhir (era Presiden Joko Widodo). Presiden Indonesia menyampaikan bahwa seluruh duta besar RI harus berperan sebagai salesman, dengan porsi 90 persen aspek ekonomi dan hanya 10 persen untuk aspek politik (Susilo, 2014). Jokowi menginginkan akses pasar-pasar luar negeri diperluas sehingga dapat mendorong volume ekspor Indonesia. Diharapkan dengan berkembangnya ekspor Indonesia, maka pada akhirnya dapat membantu mendorong perekonomian dalam negeri termasuk mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.

Diplomasi ekonomi untuk mencapai kesejahteraan ekonomi menjadi bagian yang semakin penting dalam politik luar negeri di berbagai negara, dan salah satu bagian dari diplomasi ekonomi ini adalah diplomasi perdagangan. Perdagangan luar negeri merupakan salah satu variabel penting pertumbuhan ekonomi di suatu perekonomian; tidak mengherankan bahwa seluruh negara berupaya keras untuk mendorong kerjasama perdagangan dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi. Mudahnya tujuan tersebut dapat dicapai dengan mendorong ekspor dalam negeri dan mengurangi volume impor sebagaimana dipahami oleh para ekonom beraliran merkantilis.

Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah dengan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan indikator kesejahteraan perekonomian di suatu negara dan dapat menjadi rujukan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan tingkat pendapatan (income). Maka semakin meningkat ekspor suatu negara, pendapatan masyarakat akan meningkat pula. Namun demikian, di era perekonomian terbuka saat ini maka pada saat bersamaan pula arus impor juga akan meningkat yang dimana dalam pengukuran pertumbuhan ekonomi, meningkatnya nilai impor akan berdampak terhadap penurunan PDB. Maka dari itu, liberalisasi perdagangan suatu negara di satu sisi akan mendorong peningkatan nilai perdagangan, namun disisi lain akan mempengaruhi neraca perdagangannya.

Page 81: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

435Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

�����

����������������������������������������������������������������

����������������������������������������������

�����������������������������������

������������� ������������������� ������������� �������������������

�������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������

�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������

��

��

���

��

�������������������������������������������������������������

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������ ���� �������� ���� ���� ������������������

������������ ���������� ������������������������� ���������� ������������������� ���������� ��������������������� ���������� �������������

�������������������

�����������������������������

�����������������������������

�������������������

��������������

�������������������

�����������������������������

�����������������������������

�������������������

��������������

�������������������

�����������������������������

�����������������������������

������������������������������������

�������������������

�����������������������������

�����������������������������

�������������������

������������������

�������������������

�����������������������������

�����������������������������

�������������������

�������������������

�����������������

���������������������

��

������

Page 82: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Secara ekonomi perdagangan internasional juga akan berpengaruh terhadap aspek-aspek konsumsi, produksi, dan distribusi pendapatan (Sjahril, 2013). Paper ini menyoroti dampak perdagangan internasional yang dilakukan Indonesia terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Secara teori, liberalisasi perdagangan diharapkandapat membentuk pola perdagangan yang efisien berdasarkan prinsip keunggulan komparatif. Adopsi dari prinsip keunggulan komparatif akan menjamin bahwa sebuah negara akan meraih kesejahteraan ekonomi yang lebih besar melalui partisipasi dalam perdagangan luar negeri daripada melalui proteksi perdagangan (Gilpin, 2001).

Dalam model perdagangan standar, sebuah negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan melakukan spesialisasi, memproduksi, dan mengekspor barang yang memiliki keunggulan komparatif. Sebaliknya, negara tersebut lebih baik mengurangi produksi serta mengimpor barang yang tidak memiliki keunggulan komparatif (Berg, 2005, hal. 330). Teori standar ini telah mengundang pro dan kontra. Salah satunya terkait argumen yang mendukung pengenaan proteksi yang dianggap perlu dalam kasus-kasus tertentu. Sebaliknya, terdapat berbagai peneliti yang menemukan berbagai hambatan spesifik atau khusus di suatu negara, justru menghambat pertumbuhan perdagangan dunia (Kalirajan, 1999).

Seiring dengan perkembangan zaman, teori keunggulan komparatif mengalami banyak pengembangan dan memunculkan teori lain seperti international product life cycle, competitive

��

�������������������������������

������������������������������������������������������������������������������

�����������������������������������������������������������

����������� ���� �������� ����

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������

���������

���������������

���������������

������������������������������������������������������

��������������������������������������������

������������������������

��������������������

��������

���������������

���������������

��������������������������������������������������������������������������������������������������

������������

�����������

��������������������

����

���������������

���������������

��������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������

��������������������

������

���������������

���������������

���������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������

Page 83: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

437Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

advantage, dan hyper competitive. Dari ketiga tersebut, salah satu yang cukup dikenal adalah teori competitive advantage yang dipelopori oleh Michael Porter yang intinya bahwa dalam era persaingan global ini, suatu negara akan dapat bersaing bila memiliki faktor-faktor dominan seperti factor and demand conditions, related & supporting industry, dan firm strategy

structure and rivalry. Bahkan akhir-akhir ini telah muncul kecenderungan terjadinya competitive

liberalization yang merupakan kombinasi implementasi teori comparative advantage yang dinamis dengan teori competitive advantage.

Pada sisi lain, kebijakan perdagangan yang semakin terbuka sebagaimana yang diterapkan Indonesia saat ini, telah memperbesar resiko guncangan eksternal terhadap perekonomian domestik, khususnya terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Seberapa besar dampak yang akan disalurkan, dan melalui jalur mana, merupakan pertanyaan empiris yang penting untuk diketahui, baik bagi pelaku bisnis, dan juga bagi pemerintah terutama dalam mendisain kebijakan. Dan ini yang menjadi latar belakang dari studi yang diangkat dalam paper ini.

Terdapat cukup banyak studi yang telah dilakukan terkait penelitian empiris dampak perdagangan luar negeri dan shock eksternal terhadap kesejahteraan suatu perekonomian. Afonso (2001) menjelaskan bahwa perdagangan internasional merupakan salah satu variabel penting terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu perekonomian. Hal senada juga tergambarkan dalam studi yang dilakukan oleh Sun & Heshmati (2010) bahwa keterbukaan perekonomian di suatu negara telah berdampak sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam studinya dijelaskan bahwa perdagangan internasional Tiongkok yang meningkat semakin pesat belakangan ini telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Lebih lanjut, terdapat studi yang dilakukan oleh Daumal & Özyurt (2011) yang menelaah dampak perdagangan luar negeri terhadap perekonomian suatu negara pada tataran regional. Dalam penelitiannya, Brazil menjadi obyek negara yang ditelaah dan ditemukan bahwa dampak keterbukaan perdagangan luar negeri berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 negara bagian Brazil. Namun pada saat bersamaan terjadi semakin besarnya kesenjangan antar negara bagian (regional disparities) di Brazil.

Bagian kedua dari paper ini menguraikan teori dan landasan berfikir tentang bagaimana external shock dapat berdampak pada perekonomian negara lain. Bagian ketiga menyajikan data dan metodologi yang digunakan, sementara bagian keempat menyajikan hasil perhitungan dan analisisnya. Bagian kelima menyajikan kesimpulan, saran, dan implikasi kebijakan, dan menjadi penutup paper ini.

II. TEORI

Studi terkait dampak perdagangan luar negeri terhadap kesejahteraan domestik telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan berbagai metode kajian. Alesina et al

(2005), dalam studinya dengan memanfaatkan ekonometrika metode estimasi 3SLS size suatu

Page 84: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Gambar 1. Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit

perekonomian berdampak terhadap kinerja perekonomian dan salah satunya dipengaruhi oleh perdagangan luar negeri termasuk perdagangan bebas. Studi lainnya seperti Caliendo & Parro (2012) melakukan studi dampak ekonomi North American Free Trade Area (NAFTA) dan ditemukan bahwa terdapat peningkatan perdagangan antar sesama anggota NAFTA, namun dilihat dari sisi perubahan kesejahteraan, AS dan Meksiko diprediksi mengalami peningkatan namun Kanada justru mengalami penurunan. Shock perdagangan luar negeri dapat juga berimbas terhadap economic volatility dan hutang suatu perekonomian sebagaimana dijelaskan dalam studi Eicher et al (2006). Dalam studinya dijelaskan bahwa besaran dampak perdagangan luar negeri terhadap kesejahteraan di suatu perekonomian tergantung pada besaran ketergantungan suatu negara terhadap pasar modal internasional.

Dalam mengevaluasi dampak perdagangan luar negeri terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, salah satu perangkat yang dapat digunakan adalah metode jalur (structural path analysis). Studi dengan memanfaatkan perangkat metode analisis jalur (structural

path analysis) telah lama digunakan oleh banyak peneliti sebelumnya. SPA adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasikan jaringan yang berisi jalur-jalur yang menghubungkan pengaruh dari suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem sosial ekonomi. Formulasi konsep mengenai pengaruh ekonomi (economic influence) dan analisis struktur dikembangkan oleh Lantner (1974) dan Gazon (1976 dan 1979). Pengaruh dari suatu sektor ke sektor lainnya dapat melalui sebuah jalur dasar (elementary path), yakni apabila jalur tersebut melalui sebuah sektor tidak lebih dari satu kali; dan jalur sirkuit (circuit path), yakni apabila suatu sektor setelah mempengaruhi sektor yang lain akan kembali lagi mempengaruhi sektor itu sendiri. Gambar 1 menyajikan contoh jalur dasar dan sirkuit.

���������������

�����������������

��

���

� ��� ����

������ �

�����

���

����

������

Pada Gambar 1(a), pengaruh sektor i terhadap sektor j dapat terjadi secara langsung, dan dapat pula melalui sektor-sektor lain, seperti x dan y. Apabila dalam jalur sektor i ke sektor j tersebut, sektor i, sektor x, sektor y dan sektor j hanya dilalui satu kali, maka jalur seperti ini

Page 85: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

439Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

disebut sebagai jalur dasar. Gambar 1(b) menyajikan jalur sirkuit, yakni pengaruh dari sektor i ke sektor x, yang diteruskan ke sektor y, ke sektor j, ke sektor z dan kembali ke sektor i. Dalam jalur ini setiap sektor dilalui hanya satu kali, kecuali sektor i yang dilalui dua kali, yakni pada awal dan akhir jalur.

Selanjutnya berdasarkan Gambar 2, besarnya pengaruh satu sektor ke sektor lainnya atau keeratan hubungan antara dua sektor menggunakan ukuran kecenderungan pengeluaran rata-rata (average expenditure propensity), alternatif lainnya dapat menggunakan ukuran kecenderungan pengeluaran marjinal (marginal expenditure propensity). Pengaruh sektor i ke sektor j dengan menggunakan pendekatan kecenderungan pengeluaran rata-rata disimbol dengan aji, sementara itu dengan menggunakan pendekatan kecenderungan pengeluaran marginal disimbol dengan cij. Dalam penelitian ini besarnya pengaruh suatu sektor ke sektor lainnya menggunakan pendekatan kecenderungan pengeluaran rata-rata. Konsep pengaruh (influence) dalam analisis SPA ada tiga jenis, yakni pengaruh langsung (direct influence), pengaruh total (total influence) dan pengaruh global (global influence) (Isard et al., 1998).

1. Pengaruh Langsung

Pengaruh langsung dari sektor i terhadap sektor j ditransmisikan melalui jalur dasar (elementary path) adalah perubahan pendapatan atau produksi yang ditransmisikan ke sektor j oleh perubahan pendapatan atau produksi di sektor i sebesar 1 (satu) satuan. Pengaruh langsung dapat diukur sepanjang jalur dasar yang berisi satu panah maupun lebih dari satu panah.

2. Pengaruh Total

Pengaruh total menangkap pengaruh langsung sepanjang jalur dan pengaruh tidak langsung jalur sirkuit yang berhubungan dengan jalur tersebut. Pada suatu jalur dasar tertentu p=(i,..., j) dengan awal sektor i dan berakhir pada sektor j, pengaruh total adalah pengaruh yang ditransmisikan dari sektor i ke sektor j disepanjang jalur dasar p memasukkan semua efek tidak langsung.

Gambar 2 menyajikan jalur dasar p = (i, x, y, j) seperti pada Gambar 1 dan ditambahkan secara eksplisit jalur sirkuit. Pengaruh langsung antara sektor i dan sektor y adalah axiayx yang kemudian ditransmisikan kembali dari sektor y ke sektor x melalui dua loop, loop pertama menciptakan suatu pengaruh axiayxaxy dan loop kedua menciptakan suatu pengaruh axiayxazyazx. Arus balik (feedback) bersama-sama dari kedua loop menghasilkan dampak (axiayx)(axy + azyaxz).

Page 86: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

3. Pengaruh Global

Pengaruh global atau global influence (IG) dari simpul i ke simpul j, mengukur dampak total pada pendapatan atau output dari simpul j yang diakibatkan perubahan satuan unit pada pendapatan atau output di simpul i. Pengaruh global memiliki nilai yang sama dengan penjumlahan dari seluruh pengaruh total sepanjang jalur dasar yang menghubungkan simpul i dan simpul j. Dalam Gambar 3, terdapat empat jalur dasar yang memiliki asal dan arah tujuan yang sama dari i ke j, yaitu: (i,j), (i,x,y,j), (i,s,j) dan (i,v,j). Sebagai penyederhanaan, jalur pertama disimbolkan dengan angka 1 dan jalur berikutnya sebagai 2, 3, dan 4.

Gambar 2.Jalur Dasar Termasuk Jalur Sirkuit

Gambar 3. Jaringan Jalur Dasar dan Jalur Sirkuit yang Menghubungkan Simpul i dan j

���

������

���

���

���

��

���

������

������

������

���

��

���

����

� �

Secara umum, pengaruh global yang menyatakan hubungan antara dua simbol pada suatu struktur dapat didekomposisi ke dalam suatu series pengaruh total yang ditransmisikan pada setiap jalur dan seluruh jalur dasar simpul i dan j, yakni:

Page 87: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

441Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

dimana, IG(i→j) menunjukkan pengaruh global dari kolom ke-i dalam matriks SAM menuju baris ke-j; m

aji adalah elemen ke (j,i) dari matriks pengganda neraca Ma; IT(i→j) menunjukkan

pengaruh total dari i ke j; ID(i→j) adalah pengaruh langsung dari i ke j; dan Mp merupakan pengganda sepanjang jalur p.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, analisis pengganda tidak menjelaskan mekanisme respon perilaku dan struktural terhadap efek global, yang berarti ada ’black box’. Metode SPA membuka ’black box’ yang tidak dapat dijelaskan oleh besaran angka pengganda (Defourny and Thorbecke, 1984). Namun demikian, masalah utama berkaitan SPA adalah banyaknya jalur yang perlu diidentifikasi dalam perekonomian secara keseluruhan (Hewings, Sonis, dan Lee, 1995).

III. METODOLOGI

Dalam rangka mengevaluasi dampak perdagangan luar negeri dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, dalam studi ini akan memanfaatkan dua perangkat analisis yaitu Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2008 (SNSE 2008) Indonesia dan Structural Path

Analysis (SPA)2. Adapun pemanfaatan SNSE 2008 dikarenakan belum adanya SNSE terbaru yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Sistem Neraca Sosial Ekonomi atau Social Accounting

Matrix (SAM) merupakan suatu sistem kerangka data yang disajikan dalam bentuk matriks, yang memberikan gambaran mengenai kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dan keterkaitan antara keduanya secara komprehensif, konsisten dan terintegrasi (Badan Pusat Statistik, 2010).

Di dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia, semua transaksi perdagangan yang terkait dengan luar negeri dirangkum dalam neraca luar negeri (rest of the world—ROW). Sebagai suatu sistem kerangka data yang komprehensif dan terintegrasi, SNSE mencakup berbagai data ekonomi dan sosial secara konsisten karena menjamin keseimbangan transaksi dalam setiap neraca yang terdapat di dalamnya. SNSE juga bersifat modular karena dapat menghubungkan berbagai variabel ekonomi dan sosial di dalamnya, sehingga keterkaitan antar variabel-variabel tersebut dapat diperlihatkan dan dijelaskan (Badan Pusat Statistik, 2010). Matriks SNSE yang dianalisis dalam subbab ini 105x105 yang terdiri dari 105 akun dan mengelompokkan sistem perekonomian Indonesia ke dalam empat neraca, yaitu:

1. Neraca Faktor Produksi yang terdiri dari 17 klasifikasi (tenaga kerja (16 klasifikasi), dan bukan tenaga kerja).

2 Data SNSE 2008 inidigunakanmengingatbelum ada data SNSE terbaru yang dikeluarkan oleh BPS.Dengandemikian, paper ini mengasumsikan tidak terjadi perubahan mendasar dalam struktur perdagangan internasionalmeski sampai tahun 2008tersebut, Indonesia belum banyak meratifikasi perjanjian kerjasama perdagangan bebas bilateral dan multilateral.

Page 88: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

2. Neraca Institusi yang terdiri dari 10 klasifikasi (rumah tangga (8 klasifikasi), perusahaan, dan Pemerintah).

3. Neraca Produksi (Activities) yang terdiri dari 74 klasifikasi (sektor produksi, komoditi domestik, dan komoditi impor yang masing-masing terdiri dari 24 klasifikasi; serta margin perdagangan dan pengangkutan).

4. Neraca Eksogen yang terdiri dari 4 klasifikasi (Neraca Kapital, Pajak Tidak Langsung, Subsidi, dan Neraca Luar Negeri).

Untuk memudahkan analisis digunakan penyingkatan definisi pengodean sektor usaha serta klasifikasi tenaga kerja dan rumah tangga.

����

�����

���

��

��

����

��

������������

��

��

��

��

��

���������������������������������������������������

������� ����������

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

���������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

Page 89: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

443Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

Perangkat kedua adalah metode analisis jalur (structural path analysis). Dengan metode ini, jalur dampak dari setiap komoditi ekspor maupun impor ke akun lain di dalam SNSE 2008 dan berakhir ke rumah tangga akan dapat terlihat lebih jelas. SPA adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasikan jaringan yang berisi jalur-jalur yang menghubungkan pengaruh dari suatu sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem sosial ekonomi. Dalam studi ini, pembahasan hasil SPA difokuskan pada simpul awal adalah adanya injeksi terhadap elemen utama sektor-sektor potensial yang memberikan dampak terhadap penerimaan institusi melalui jalur-jalur tertentu.

Analisis jalur meneliti lebih jauh jalur (aliran) yang dilalui mulai dari komoditi ekspor atau impor hingga menimbulkan dampak (yang berakhir) pada insitusi rumah tangga. Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini ditetapkan titik awal (pole of origin) yang menjadi penyebab adalah komoditi ekspor maupun komoditi impor dengan tujuan akhir (dampak) yang ingin dilihat adalah pada institusi rumah tangga. Disamping itu untuk lebih menyederhanakan pembahasan, seperti dijelaskan sebelumnya, hanya jalur dengan dampak global minimal 0,001 dan memiliki persentase total efek terhadap global efek (T/G) setidaknya 2.5% yang akan diperhitungkan sebagai jalur yang signifikan untuk dianalisis (Defourney dan Thorbecke, 1984). Selain itu hanya jalur yang memiliki persentase (T/G) terbesar (atau tiga terbesar) saja yang akan dianalisis lebih lanjut (Daryanto dan Hafizrianda, 2010; Azis dan Mansury, 2003).

Pada analisis ini meskipun dalam pengoperasian program software MATS versi 1.10. dilakukan analisis jalur terhadap seluruh sektor untuk melihat pengaruh langsung, total dan globalnya, namun mengingat banyak sekali jalur yang bisa diukur, maka yang akan dijelaskan dalam pembahasan hanyalah jalur dasar yang memiliki persentase pengaruh total terhadap pengaruh global (T/G) paling tinggi. Penunjukkan angka persentase efek global dikarenakan pengaruh global juga mencakup pengukuran pengaruh total. Dari setiap sektor yang dianalisis dan pengaruhnya terhadap kelompok rumah tangga, maka penggunaan pengaruh global juga diterapkan dalam menentukan jalur dasar mana yang pengaruhnya paling tinggi terhadap kelompok rumah tangga tertentu.

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Analisis Jalur Injeksi Komoditi Ekspor terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Pendapatan Rumah Tangga)

Secara umum aktivitas ekspor akan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat melalui sektor produksi yang bersangkutan, setelah itu akan melalui jalur faktor produksi (tenaga kerja ataupun modal) dan kemudian berakhir ke rumah tangga. Oleh karena itu dalam analisis ini yang akan dilihat adalah pengaruh ekspor komoditi terhadap tenaga kerja/modal dan seberapa besar mempengaruhi pendapatan rumah tangga.

Page 90: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Di samping itu tidak seluruh subsektor dianalisis hasilnya, tetapi hanya beberapa ekspor komoditi dari subsektor manufaktur yang memiliki dampak perubahan yang cukup signifikan dalam perdagangan RI dengan dunia (rest of the world). Pada umumnya ekspor komoditi secara umum semua berasal dari komoditi produk domestik, sehingga dalam gambar jalur strukturalnya otomatis kode-kode yang bersesuaian antara sektor dan produk domestik untuk ringkasnya dijadikan hanya dalam satu pengodean pada titik originnya. Sedangkan rumah tangga yang merupakan titik destinasi dapat melewati produk domestik dan tenaga kerja. Namun meskipun dalam hasil tabulasi disajikan jalur produk domestiknya, yang disajikan dalam gambar jalur struktural hanyalah titik tenaga kerja saja yang kemudian memancar ke kelompok-kelompok rumah tangga.

Komoditi Industri Makanan, Minuman dan Tembakau

Pada industri makanan, minuman dan tembakau besarnya pengaruh ekspor komoditi ini terhadap kelompok rumah tangga berpendapatan minim kota merupakan kelompok terbesar yang persentase global efeknya terbesar (14.5%). Nilai ini melalui jalur tenaga kerja berpendapatan rendah di kota dengan efek pengganda sebesar 1.823. Meskipun demikian,

�����������������������������������������������������

�������������������������������������������������������������������������������������������������

���������������������������������������������

��������������

���������������������������

������������������������������������������

��

� ��������������������������������������������������� ���������������������� ������������������������������

����������������������������������������������������������������������������������������

��������������������

��������������������

��������������������

��������������������

���������������

�����������������������������������������������������

Gambar 4. Jalur Ekspor Komoditi Industri Makanan, Minuman dan Tembakau terhadap Tenaga Kerja dan Rumah

Tangga menurut Klasifikasinya

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

�����������������������������������������������������

Page 91: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

445Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

efek pengganda terbesar bukan berasal dari jalur tersebut namun justru melalui pekerja berpendapatan rendah di desa (2.878). Hal ini menunjukkan bahwa efek dari ekspor komoditi ini lebih mempengaruhi pekerja-pekerja di desa namun secara agregat justru rumah tangga kota yang menerima pendapatan lebih besar.

Komoditi Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit

Ekspor komoditi industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit memberikan efek kepada rumah tangga berpenghasilan menengah-atas di kota dengan persentase global efek sebesar 32.3% melalui jalur modal (bukan tenaga kerja) serta yang melalui jalur ini juga dan memancar ke rumah tangga menengah atas desa dengan persentase efek global 24.7%. Ditambah yang memancar ke rumah tangga buruh tani, tampak bahwa jalur modal memberikan dampak terbesar dari dilakukannya ekspor komoditi industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit.Dibandingkan jalur tenaga kerja yang memancar hanya ke satu atau dua rumah tangga kecuali tenaga kerja berpenghasilan rendah di kota (kode 6), jalur yang melalui modal memberikan efek yang lebih luas terhadap perubahan pendapatan seluruh kelompok rumah tangga.

��������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������������������������������������������������������������

���������������������������������������������

��������������

���������������������������

������������������������������������������

��

�� �������������������� �������������������� ������������������� ������������������������������� ���������������������

�� ������������������������� ������������������������� ��������������� ����������������� ���������������

�������������������������

�������������������������

�������������������������

�������������������������

��������������������

�����������������������������������������������������

Gambar 5. Jalur Ekspor Komoditi Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit terhadap Tenaga Kerja dan Rumah Tangga

menurut Klasifikasinya

�����������������������������������������������������

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

��

Page 92: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Komoditi Industri Kayu & Barang dari Kayu

Seperti halnya industri pemintalan dan tekstil, pada ekspor komoditi industri kayu dan barang dari kayu juga memberikan pengaruh terbesar melalui jalur modal, namun jalur ini memancar ke rumah tangga bukan pertanian berpendapatan minim di kota. Efek pengganda pada jalur ini juga yang terbesar di samping persentase global efeknya. Dampak dari ekspor komoditi industri kayu dan barang dari kayu secara agregat menggambarkan bahwa kelompok rumah tangga yang berpendapatan minim di kota terkena dampak terbesar.

������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������

��������������

���������������������������

������������������������������������������

��

�� ������������������� ���������������������� ������������������������������� ���������������������� �������������������������������� ������������������

�� ����������������� ������������������ ������������������ ������������������������� ������������������ �������������

������������������������������

������������������������������

������������������������������

������������������������������

����������������������

�����������������������������������������������������

Gambar 6. Jalur Ekspor Komoditi Industri Kayu & Barang dari Kayu terhadap Tenaga Kerja dan Rumah Tangga menurut

Klasifikasinya

�����������������������������������������������������

��

��

��

��

��

��

��

����

��

Komoditi Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri

Pengaruh ekspor komoditi industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dan industri ke rumah tangga berpendapatan rendah di kota setelah melalui jalur pengusaha rendah di kota mempunyai persentase efek global terbesar (40,8%). Namun demikian jalur ini efek penggandanya tidaklah yang paling besar dibandingkan yang melewati

Page 93: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

447Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

jalur lain pada kelompok tenaga kerja lain ataupun modal. Sehingga kesimpulannya meskipun pengusaha rendah di kota mempunyai efek global tertinggi tetapi masih kurang kuat jika dibandingkan efek dari modal dan pekerja berpendapatan rendah di kota yang pengaruh terbesarnya mempengaruhi pendapatan rumah tangga menengah-atas kota, menengah-atas desa dan minim kota.

Gambar 7. Jalur Ekspor Komoditi Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri terhadap

Tenaga Kerja dan Rumahtangga menurut Klasifikasinya

���������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������������������������������

��������������

���������������������������

������������������������������������������

����������������������������������������

����������������������������������������

����������������������������������������

������������������������������

�����������������������������������������������������

������������������������������������������������������������������������������������������

��

� ����������������������� ��������������������������������� �������������������������������� �������������������� �������������������� ������������������� ������������������������������� ������������������������������

�� ������������������ ����������������� ������������������ ������������������� ������������������������� ������������������������� ����������������� �������������

����������������������������������������

�����������������������������������������������������

��

��

��

��

��

��

��

����

��

��

Komoditi Industri Kimia, Pupuk, Hasil dari Tanah Liat, Semen

Pada ekspor komoditi industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat dan semen, rumah tangga - rumah tangga menurut kelompok berpendapatan memperoleh pancaran yang sama besar menurut proporsinya baik oleh jalur tenaga kerja maupun jalur modal dilihat dari arah origin ke destinasinya. Tetapi yang melalui jalur tenaga kerja berada pada tiga posisi teratas menurut persentase efek globalnya, sementara melalui jalur modal berada pada 3 posisi

Page 94: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

berikutnya. Namun demikian jika dilihat menurut gambar keseluruhan jalur, pancaran melalui tenaga kerja tidak menyebar ke seluruh kelompok rumah tangga dan hanya sebagian-sebagian saja, sementara yang melalui modal justru menyebar ke seluruh kelompok rumah tangga. Pada komoditi ini, sekali lagi efek global yang diterima cenderung diterima oleh rumah tangga berpendapatan rendah di kota dan desa. Sementara pengusaha yang mendapatkan efek global terbesar hanyalah rumah tangga pengusaha pertanian.

�������������������������������������������������������������������������������������������������������

����������������������������������������������������

��������������

���������������������������

������������������������������������������

������������������������������

������������������������������

������������������������������

����������������������

�����������������������������������������������������

� ������������������������������� ����������������������� ���������������������������������� �������������������� �������������������� ������������������

�� ������������������ ������������������� ������������������ ������������������ ������������������ �����������������

������������������������������

�����������������������������������������������������������������

��

Gambar 8. Jalur Ekspor Komoditi Industri Kimia, Pupuk, Hasil dari Tanah Liat, Semen terhadap Tenaga Kerja dan Rumah

Tangga menurut Klasifikasinya

�����������������������������������������������������

��

��

��

��

��

��

��

����

��

��

��

Berdasarkan hasil analisis jalur struktural terhadap kelompok komoditi Manufaktur seperti diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum komoditi-komoditi barang tersebut semuanya melibatkan jalur tenaga kerja dan modal. Perbedaannya adalah bahwa pada kelompok pertanian didominasi melalui jalur tenaga kerja, sementara pada kelompok industri dipengaruhi oleh jalur-jalur yang melalui modal dan tenaga kerja, dengan dominasi modal yang efek penggandanya cenderung lebih besar dari tenaga kerja (lihat Gambar 9).

Page 95: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

449Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

Dari sini sintesa yang bisa diambil adalah tenaga kerja yang mempengaruhi dan rumah tangga yang terpengaruh oleh kegiatan ekspor cenderung adalah rumah tangga kelompok rendah di desa untuk pertanian dan rumah tangga kelompok rendah di kota untuk industri. Jalur modal memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendapatan rumah tangga baik di desa maupun kota. Jalur modal tidak dapat dideteksi karena dalam data SNSE tidak diketahui siapa pemilik modalnya. Namun mengingat kondisi negara ini yang sebagian modalnya dimiliki oleh pengusaha kota dan bahkan oleh pengusaha asing, maka ekspor komoditi industri tentu amat dipengaruhi oleh siapa pemilik modal tersebut.

4.2. Analisis Jalur Kejutan Komoditi Impor terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Pendapatan Rumah Tangga)

Berdasarkan hasil pengolahan paket program MATS, terdapat 168 jalur yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan di awal subbab ini (yakni jalur dengan titik awal berasal dari komoditi impor dan berakhir di institusi rumah tangga yang memiliki pengaruh global minimal 0.001 dan persentase (T/G) minimal 2.5%). Untuk lebih menyederhanakan analisis, maka dari semua titik awal (komoditi impor) yang memiliki tujuan (rumah tangga) yang sama hanya dipilih jalur yang memiliki persentase global (T/G) yang terbesar. Ditemukan ada sebanyak 83 jalur yang memenuhi kriteria ini dimana secara umum jalur yang dilalui terbagi menjadi dua seperti diperlihatkan dalam Gambar 10, yaitu:

Jalur yang melalui sektor perdagangan kemudian melalui faktor produksi sebelum akhirnya •

mencapai institusi rumah tangga.

Jalur pada tipe ini memiliki panjang (path length) sebesar lima, yang berarti mulai dari komoditi impor sampai ke rumah tangga melalui lima jalur. Pada tahap awal jalur ini menunjukkan bahwa komoditi yang diimpor merupakan komoditi yang akan dijual kembali

Gambar 9. Jalur Dampak Injeksi Komoditi Ekspor ke Rumah Tangga

����������������������������������������

���������������������

��������������

��������������

���������������

��������������

�������������������������

������������ ��������

�����������������������������������������������������

Page 96: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

tanpa proses lebih lanjut. Hal ini dapat diketahui dari jalur yang dilalui yakni melalui margin perdagangan sebelum dijual kembali di pasar domestik (sebagai komoditi domestik perdagangan) dan menjadi sumber pendapatan bagi sektor perdagangan. Melalui sektor perdagangan inilah komoditi impor tersebut digunakan oleh sektor produksi lain yang secara implisit tergambarkan melalui jalur faktor produksi (dalam hal ini tenaga kerja—baik sebagai pekerja maupun pengusaha—yang digunakan oleh sektor produksi di dalam proses produksi untuk menghasilkan output akhir). Faktor produksi yang terlibat dalam proses ini terdiri dari Pekerja dengan Pendapatan Menengah di Perkotaan dan Pengusaha Berpendapatan Menengah di Pedesaan maupun di Perkotaan. Pendapatan yang diperoleh faktor produksi kemudian tercermin dalam jalur berikutnya berupa institusi rumah tangga yang terdiri dari Rumah Tangga Petani, dan Rumah Tangga Non-Pertanian baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Jalur yang melalui penerimaan pajak dan kemudian diterima oleh Pemerintah sebelum •

akhirnya mencapai institusi rumah tangga.

Jalur pada tipe ini hanya memiliki panjang sebesar tiga. Dari jalur yang diperlihatkan dalam Gambar 10 dapat diketahui bahwa komoditi impor pada jalur ini terkena pajak (tarif) yang menjadi pendapatan Pemerintah. Dana yang diperoleh dari pajak ini kemudian diberikan sebagai program bantuan/hibah yang diberikan oleh Pemerintah dan diterima oleh rumah tangga yang berhak menerimanya (dalam hal ini adalah rumah tangga pertanian dan rumah tangga non-pertanian (miskin) baik di pedesaan maupun perkotaan dengan pendapatan yang minim/rendah).

Gambar 10. Jalur Dampak Kejutan Komoditi Impor Terhadap Institusi Rumah Tangga

�����������������������������������������������������

�������������

����������������� ���������������

��������������������

� ���������������������������������

� ����������������������������

� ������������������ ���������������������������������������

���������������

� ��������������������� ����������������������

�����������

Untuk besaran shock impor yang sama, Tabel 4.7 memperlihatkan ringkasan dari daftar tersebut berupa range dampak (maksimum dan minimum) dari jalur utama yang dilalui mulai dari komoditi impor dan berakhir pada institusi rumah tangga. Dari tabel ini diketahui bahwa

Page 97: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

451Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

dampak dominan dari komoditi impor yang masuk melalui jalur perdagangan kebanyakan berasal dari sektor Pertanian, sedangkan dampak dominan dari komoditi impor yang melalui jalur penerimaan pajak kebanyakan berasal dari sektor Pertanian dan Industri.

V. KESIMPULAN

Kajian ini dimaksud untuk melakukan suatu evaluasi kemungkinan dampak perdagangan luar negeri dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk mengevaluasi dampak perdagangan luar negeri dunia terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, studi ini memanfaatkan perangkat analisa Structural Path Analysis (SPA) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE 2008).

Terkait analisis jalur injeksi komoditi ekspor terhadap kesejahteraan masyarakat (pendapatan rumah tangga), berdasarkan hasil analisis jalur struktural terhadap kelompok komoditi Pertanian dan Industri, maka dapat dikatakan bahwa secara umum komoditi-komoditi barang tersebut semuanya melibatkan jalur tenaga kerja dan modal. Perbedaannya adalah bahwa pada kelompok pertanian didominasi melalui jalur tenaga kerja, sementara pada kelompok

�������������������������������������������������������������������������������������������

������������������

�����������������

����������������������

�����������

�����������

�����������

����������

������

�����������

�����������

�����������

�����������

����� �������������

�������������������������������������������������������

��������������������������������������������������

��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������

������������������������������������������������������������

�������������������������������������������������������

Page 98: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

industri dipengaruhi oleh jalur-jalur yang melalui modal dan tenaga kerja, dengan dominasi modal yang efek penggandanya cenderung lebih besar dari tenaga kerja. Tenaga kerja yang memengaruhi dan rumah tangga yang terpengaruh oleh kegiatan ekspor adalah rumah tangga kelompok rendah di desa untuk pertanian dan rumah tangga kelompok rendah di kota untuk industri. Jalur modal memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendapatan rumah tangga baik di desa maupun kota.

Terkait analisis jalur kejutan komoditi impor terhadap kesejahteraan masyarakat berdasarkan jalur yang melalui sektor perdagangan, komoditi impor digunakan oleh sektor produksi lain yang secara implisit melalui jalur faktor produksi. Faktor produksi yang terlibat dalam proses ini terdiri dari Pekerja dengan Pendapatan Menengah di Perkotaan dan Pengusaha Berpendapatan Menengah di Pedesaan maupun di Perkotaan. Pendapatan yang diperoleh faktor produksi kemudian tercermin dalam jalur berikutnya yaitu rumah tangga yang terdiri dari Rumah Tangga Petani, dan Rumah Tangga Non-Pertanian baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sedangkan analisis jalur yang melalui penerimaan pajak dan kemudian diterima oleh Pemerintah sebelum akhirnya mencapai institusi rumah tangga, dapat terlihat bahwa komoditi impor pada jalur ini terkena pajak (tarif) menjadi pendapatan Pemerintah. Dana yang diperoleh dari pajak ini kemudian diberikan sebagai program bantuan/hibah yang diberikan oleh Pemerintah dan diterima oleh rumah tangga pertanian dan rumah tangga non-pertanian (miskin) baik di pedesaan maupun perkotaan dengan pendapatan yang minim/rendah.

Dalam saran kebijakan, Pemerintah kiranya dapat memberikan bantuan dalam peningkatan kemampuan daya saing (supply-side) seperti capacity building kepada rumah tangga non-pertanian yang berpenghasilan minim (RTM) baik di desa maupun kota serta rumah tangga buruh tani sehingga kedepannya pemerataan kesejahteraan masyarakat atau pendapatan di seluruh jenis rumah tangga dapat tercapai. Lebih lanjut, berdasarkan besarnya kontribusi subsektor primer dan manufaktur terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, maka Pemerintah dalam hal ini, arah dan strategi kebijakan dalam pembangunan sektor produksi adalah melalui bantuan (misalnya melalui penguatan alokasi pendanaan dan dukungan lainnya) pada subsektor (berdasarkan prioritas / ranking) sebagai berikut: 1) Industri Kimia, Pupuk, Hasil dari Tanah Liat, Semen (subsektor 12); 2) Industri Makanan, Minuman dan Tembakau (subsektor 08); 3) Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri (subsektor 11); 4) Pertanian Tanaman Lainnya (subsektor 2); dan 5) Industri Permintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit (subsektor 09); guna terus memperkuat daya saing produk Indonesia dan pada akhirnya memberikan sumbangsih yang besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Injeksi ekspor komoditi industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, semen memberikan efek global terbesar pada rumah tangga berpendapatan rendah di kota dan desa. Namun jalur bukan tenaga kerja lah (modal) yang memberikan pengganda terbesar terhadap RT Pengusaha Tani dan RTBT Rendah Kota. Maka dalam hal ini, Pemerintah kiranya dapat mendukung melalui dukungan pendanaan modal sehingga selain dapat memberikan pengganda terbesar,

Page 99: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

453Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

pemerataan pendapatan juga dapat dicapai. Injeksi ekspor komoditi industri makanan, minuman dan tembakau telah menyumbangkan persentase global efek terbesar kepada kelompok rumah tangga berpendapatan minim kota (RTBT Minim Kota) melalui jalur tenaga kerja berpendapatan rendah di kota. Namun efek pengganda terbesar justru melalui pekerja berpendapatan rendah di desa. Oleh karena itu, Pemerintah kiranya dapat memberikan dukungan dengan cara meningkatkan lapangan kerja kepada kelompok pekerja pendapatan rendah desa karena kelompok ini memberikan efek pengganda terbesar terhadap peningkatan pendapatan RTBT Minim Desa dan pada akhirnya dapat mendorong tercapainya pemerataan pendapatan / kesejahteraan masyarakat.

Injeksi ekspor komoditi Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri telah menyumbangkan persentase global efek terbesar kepada kelompok rumah tangga berpendapatan rendah di kota (RTBT Rendah Kota) melalui jalur pengusaha rendah di kota. Namun efek pengganda terbesar justru melalui pekerja berpendapatan rendah di kota. Oleh karena itu, Pemerintah kiranya dapat memberikan dukungan dengan cara meningkatkan lapangan kerja kepada kelompok pekerja pendapatan rendah kota karena kelompok ini memberikan efek pengganda terbesar terhadap peningkatan pendapatan RTBT Minim Kota dan pada akhirnya dapat mendorong tercapainya pemerataan pendapatan / kesejahteraan masyarakat.

Injeksi ekspor komoditi Pertanian Tanaman lainnya memberikan efek global paling besar kepada Rumah tangga Pertanian Buruh (RT Buruh Tani) dari jalur Tenaga kerja Pertanian Penerima Upah dan Gaji Desa (Buruh Tani Desa) dan Buruh Tani Kota. Efek langsung terbesar dipancarkan melalui buruh tani desa sementara efek pengganda terbesar justru diberikan melalui bukan tenaga kerja. Maka dalam hal ini, Pemerintah sekiranya dapat mendukung melalui pemberian incentives dan peningkatan lapangan kerja kepada buruh tani desa.

Injeksi ekspor komoditi industri Permintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit memberikan persentase global efek terbesar kepada rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas di Kota (RTBT Menengah ke atas Kota), diikuti rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas di Desa (RTBT Menengah ke atas Desa), dan rumah tangga buruh tani (RT Buruh Tani) dan semuanya melalui jalur modal (bukan tenaga kerja). Namun justru melalui jalur Pengusaha Rendah Desa yang memiliki multiplier effect terbesar terhadap RTBT Minim Desa. Maka dalam hal ini, Pemerintah sekiranya dapat mendukung melalui pemberian insentif dan peningkatan lapangan kerja kepada pengusaha rendah desa.

Page 100: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

DAFTAR PUSTAKA

Alesina, A., Spolaore, E., & Wacziarg, R., (2005), “Trade, Growth and the Size of Countries,” Handbook of Economic Growth, Vol. 1B, Elsevier B.V. Dapat diakses pada situs: http://www.anderson.ucla.edu/faculty_pages/romain.wacziarg/downloads/handbook.pdf

Azis, I. J., & Mansury, Y., (2003), “Measuring Economy Wide Impacts of a Financial Shock,” ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 2, hal. 112-27. Dapat diakses pada situs: http://www.iwanazis.net/papers/AEB-SPAAnalysis.pdf

Afonso, O., (2001), “The Impact of International Trade on Economic Growth”, Working Papers,

Universidade do Porto. Dapat diakses pada situs: http://wps.fep.up.pt/wps/wp106.pdf

Badan Pusat Statistik, (2010), Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008, Jakarta.

Berg, H. Van Den., (2005), Economic Growth and Development, New York, Mc.Graw Hill Irwin.

Caliendo, L., & Parro, F., (2012), “Estimates of the Trade and Welfare Effects of NAFTA,” NBER

Working Paper Series, Working Paper 18508, Cambridge. Dapat diakses pada situs: http://www.nber.org/papers/w18508.pdf

Daumal, M., & Özyurt, S., (2011), “The Impact of International Trade Flows on Economic Growth in Brazilian States”, Review of Economics and Institutions, Vol. 2, No. 1, Winter, Article 5. Dapat diakses pada situs: http://lead.univ-tln.fr/fichiers/Seminaires/Daumal%20160312.pdf

Daryanto, A., & Hafizrianda, Y., (2010), Analisis Input-Output & Social Accounting Matrix: Untuk

Pembangunan Ekonomi Daerah, IPB Press, Bogor, Juni.

Defourny, J., & Thorbecke, E., (1984), “Structural Path Analysis and Multiplier Decomposition within a Social Accounting Matrix Framework,” The Economic Journal, Vol. 94, No. 373, Maret, hal. 1111-136. Dapat diakses pada situs: http://www.jstor.org/discover/10.2307/2232220?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=56255997103

Gazon, J., (1976), “Transmission de l’influence Economique. Une Approache Structurale”, Collection de l’I.M.E., No.13, Sirey, Paris.

Gazon, J., (1979), “Une Nouvelle Methodologie: l’Approache Structurale de l’influence Economique,” Economie Appliquee, Paris, Tome 32, No.2-3, hal. 301-337.

Gilpin, R., (2001), “Global Political Economy: Understanding the International Economic Order,” Princeton University Press, United States of America.

Hewings, J.D.G, Sonis, M., Lee, J.K., and Jahan, S., (1995), “Alternative Decompositions of Interregional Social Accounting Matrices: Applications with Reference to Bangladesh,”

Page 101: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

455Dampak Perdagangan Internasional Indonesia Terhadap Kesejahteraan Masyarakat: Aplikasi Structural Path Analysis

Dalam M. Madden and Geoffrey J.D. Hewings (eds.) Social and Demographic Accounting Cambridge University Press.

Isard, W., Azis, I., Drennan, M., Miller, R., Saltzman, S., & Thorbecke, E., (1998) “Methods of International and Regional Analysis,” Ashgate Publishing Company, Brookfield.

Kalirajan, K., (1999), “Stochastic Varying Coefficients Gravity Model: An Application in Trade Analysis,” Journal of Applied Statistics, 26, hal.185-194.

Lantner, R., (1974), “Theorie de la Dominance Economique”, Dunod, Paris.

Sjahril, S., (2013), “Simulasi Dampak Liberalisasi Perdagangan Bilateral RI-China terhadap Perekonomian Indonesia: Sebuah Pendekatan SMART Model,” Jurnal Ekonomi Kuantitatif

Terapan, Edisi Agustus, Vol. 6 No. 2, hal. 86-97. Dapat diakses pada situs: http://ojs.unud.ac.id/index.php/jekt/article/view/7440/5681

Sun, P., & Heshmati, A., (2010), “International Trade and its Effects on Economic Growth in China,” Discussion Paper Series, IZA DP No. 5151, August. Dapat diakses pada situs: http://ftp.iza.org/dp5151.pdf

Susilo, D., (2014), “Dubes menjadi Salesman,” Opini Jawa Pos, 24 Juni. Dapat diakses pada situs: http://www.jawapos.com/baca/artikel/3255/Dubes-Menjadi-Salesman

Page 102: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

����������������������������������������������������������������

�����������������������

������������

����������

��

����������������������

��

��������������

����������������

�������������

������������������������������� ��������������������������

��� ��������������������������� ���������������������������� �������������������������������� �������������������������� ������������ �������������������������������������

�������������� �������������������������������������� ����������������������������������������� �������������������������������������������������� ����������������������������������� ����������������������������������������������

����������������������������������������� ���������������������������������������

��������������� ������������������������������� �������������� ��������������� ������������ �������������� ������������������ �������������������������������������� �������������������������������������������� ��������������������� ����������������������������������� ����������������������������������������

������������������������������������������� �����������������������������������

������������

������������

����������

��

�����������������������

���

������������

����������

��

����������������������

��

������������

����������������������������

�����������

�����������������������������������������

��������������������������������

������������������������

�����������������������������

������������

LAMPIRAN

Page 103: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

457Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

STRATEGI PENINGKATAN EFISIENSI BIAYA PADA BANK UMUM SYARIAH BERBASIS STOCHASTIC

FRONTIER APPROACH DAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS

Rafika Rahmawati1

Entering the ASEAN Economic Community (AEC) in 2015, the Islamic banking in Indonesia is expected

to have better performance to compete sustainably with local banks and foreign. The performance of the

banks using the cost efficiency approach with a focus on two inputs (cost of fund and cost of labor) and

the two outputs (total financing and owned securities). Using Stochastic Frontier Approach (SFA) and Data

Envelopment Analysis (DEA) on Islamic Banks during the period of January 2010 to December 2013, the

result shows that the level of efficiency of the Islamic banks in Indonesia is not optimal. Our calculation

shows different result for both method (SFA and DEA), where the highest efficiency levels using SFA method

is Bank Mega Syariah, while with the DEA method is Bank Muamalat Indonesia. Leaving some option of

strategies to improve their cost efficiency; this includes increasing their assets, increasing deposits, and cut

cost the unnecessarily cost. More strategy includes product innovation, reducing the salary of the board

of directors, and put the funds in profitable portfolio. For the authorities, this paper has demonstrated

the use of frontier approach as good alternative in assessing the performance of the banks.

Abstract

Keywords: cost efficiency, Islamic banks, SFA, DEA.

JEL Classification: G2, C1, C3

1 Author is a student at Postgraduate Program in Management Science. Institut Pertanian Bogor; [email protected].

Page 104: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

I. PENDAHULUAN

Periode Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera direalisasikan pada tahun 2015. Hal tersebut akan menjadi periode yang berat bagi bank syariah di Indonesia. Ditambah dengan adanya integrasi jasa keuangan ASEAN pada tahun 2020, maka perbankan asing akan membanjiri Indonesia. Bank lokal, khususnya bank syariah tentunya akan kesulitan bersaing dengan bank-bank asing. Hal tersebut disebabkan bank asing mampu menawarkan bunga kredit yang lebih kecil dibandingkan bank lokal.

Pada UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa terdapat tiga bentuk perbankan syariah di Indonesia, yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan bank syariah di Indonesia masih belum optimal, baik dari segi jumlah bank, jumlah kantor, maupun jumlah asetnya. Pada Outlook Perbankan Syariah 2014 tercatat pertumbuhan aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah per Oktober 2013 (yoy) 31,8% atau mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 34,1%. Dari posisi deposit account sebanyak 12,3 juta (9,2% dari nasional). Selain itu, market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional saat ini telah mencapai 4,8%. Market share perbankan syariah tersebut masih sangat kecil.

Dibandingkan dengan Bank Umum Konvensional (BUK), perkembangan Bank Umum Syariah masih sangat kecil. Dari sisi jumlah, hanya ada 11 BUS diantara 124 BUK. Selain itu, rata-rata tingkat pertumbuhan jumlah DPK (Dana Pihak Ketiga) BUK sebesar 15,94% selama 5 tahun terakhir, sedangkan BUS sebesar 35,6%. Dari sisi pertumbuhan DPK, BUS memang mengalami pertumbuhan yang lebih besar. Namun,dari segi jumlah DPK, BUK masih lebih besar.

Hal lainnya yaitu perbedaan antara BUK dan BUS dalam tingkat suku bunga atau bagi hasil yang diperuntukkan bagi nasabah. Diketahui bahwa tingkat suku bunga rata-rata DPK untuk tabungan pada BUK lebih kecil yaitu 2,01% dibandingkan tingkat bagi hasil pada BUS yaitu sebesar 5,66%. Hal tersebut mengakibatkan banyak masyarakat yang lebih memilih menyimpan dananya di BUS. Sedangkan tingkat suku bunga rata-rata kredit untuk modal kerja pada BUK sebesar 12,14% lebih kecil dari margin rata-rata pembiayaan untuk modal kerja pada BUS yaitu sebesar 14,33%. Hal ini akan membuat masyarakat lebih memilih untuk meminjam dana di BUK. Dengan demikian BUS akan terbebani dengan menumpuknya DPK yang juga akan menambah besar kewajiban BUS untuk membayar bagi hasil. Namun, sumber pendapatan bank terbesar yaitu dari kredit/pembiayaan, masih kecil yang diperoleh BUS.

Oleh karena itu, BUS harus mampu mengelola dana dengan efisien agar dapat bersaing dengan BUK. Dengan efisiennya BUS, maka BUS akan dapat memberikan persentase fee atau margin yang lebih kecil bagi para peminjam dana di BUS, sehingga ini menjadi daya tarik utama bagi nasabah yang ingin meminjam dana di BUS. Dengan pengelolaan dana yang efisien, BUS akan dapat bersaing. Dengan demikian market share bank syariah dapat meningkat.

Page 105: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

459Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Selama ini kinerja bank diukur menggunakan standar akuntansi atau rasio-rasio keuangan, misalnya dari return on equity (ROE), return on asset (ROA),asset turn over maupun return

on permanent capital. Namun, dengan mengukur efisiensi dari standar akuntansi, sumber-sumber inefisiensi pada manajerial perbankan dan faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi terjadinya inefisiensi pada bank tidak dapat diketahui (Sutawijaya dan Lestari, 2009).

Dalam mengukur tingkat efisiensi, terdapat 2 pendekatan. Pertama, melalui pendekatan parametric diantaranya Stochastic Frontier Approach (SFA), Thick Frontier Approach (TFA), dan Distribution Free Approach (DFA). Pendekatan kedua, melalui pendekatan non parametric diantaranya Data Envelopment Analysis (DEA) dan Free Disposable Hull.

Pada paper ini akan dilakukan analisis tingkat efisiensi biaya dengan menggunakan pendekatan parametrik yaitu Stochastic Frontier Approach (SFA) dan pendekatan non parametrik yaitu Data Envelopment Analysis (DEA), serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi biaya pada BUS. Selain itu, paper ini juga akan menganalisis strategi-strategi dalam peningkatan efisiensi biaya pada BUS di Indonesia sebagai bentuk implementasi dari hasil pengukuran tingkat efisiensi menggunakan metode Stochastic Frontier Approach.

Bagian kedua dari paper ini menguraikan teori efisiensi dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian pada Bagian ketiga menyajikan metodologi dan data yang digunakan dalam paper ini. Bagian keempat menjelaskan hasil perhitungan dan analisisnya, sementara bagian kelima menyajikan kesimpulan dan menjadi penutup.

II. TEORI

Penelitian mengenai efisiensi khususnya dengan pendekatan frontier pada perbankan dimulai oleh Sherman dan Gold (1985). Mereka mengaplikasikan pendekatan frontier pada industri perbankan dengan fokus pada pengukuran efisiensi operasional simpan pinjam bank. Sejak saat itu, banyak penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan frontier untuk mengukur efisiensi perbankan (Hanim, et all. 2006).

Pengukuran tingkat efisiensi dengan pendekatan frontier dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, deterministic approach yang biasa disebut pedekatan non parametrik, pendekatan ini mengunakan Technical Mathematic Programing, atau populer dengan Data Envelopment

Analysis/DEA). Kedua, Stochastic Approach, pendekatan ini digolongkan sebagai pendekatan parametrik, menggunakan Econometric Frontier.

Hadad, dkk (2003) mengukur tingkat efisiensi dengan pendekatan parametrik yaitu dengan metode Stochastic Frontier Approach (SFA) dan metode Distribution Free Approach (DFA). Diketahui bahwa bank-bank yang paling efisien yang dihasilkan dengan menggunakan kedua metode adalah sama. Namun, skor efisiensi DFA lebih beragam dibandingkan dengan

Page 106: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

skor efisiensi SFA, jika digunakan data bulanan dan data tahunan yang menggabungkan seluruh bank.

Mokhtar, dkk (2006) mengukur tingkat efisiensi teknis dan efisiensi biaya bank syariah di Malaysia dengan metode SFA. Dalam mengukur efisiensi teknis, input yang digunakan yaitu total simpanan dan total biaya, sedangkan output yang digunakan yaitu total aktiva produktif. Dalam mengukur efisiensi biaya, variabel ditambah dengan harga tenaga kerja dan modal fisik, serta harga dari deposito. Hasilnya menunjukan bahwa rata-rata efisiensi teknis dan biaya bank umum konvensional lebih tinggi dari bank syariah.

Pada pengukuran tingkat efisiensi model DEA terdapat 2 model yang digunakan dalam menganalisis efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Pertama, model dengan asumsi constant return to scale (CRS) atau biasa disebut model CCR (Charnes-Cooper-Rhodes). Dalam model constant return to scale setiap UKE akan dibandingkan dengan seluruh UKE yang ada di sampel dengan asumsi bahwa kondisi internal dan eksternal UKE adalah sama. Menurut Charnes, Cooper, dan Rhodes model ini dapat menunjukkan technical efficiency secara keseluruhan atau nilai dari profit efficiency untuk setiap UKE.

Sedangkan model kedua yaitu variable return to scale (VRS) atau biasa disebut dengan model BCC (Bankers-Charnes-Cooper). Dalam model ini diasumsikan bahwa kondisi semua UKE tidak sama atau dapat dikatakan bahwa tidak semua UKE beroperasi secara optimal. Persaingan tidak sempurna, kendala keuangan dan sebagainya mungkin menyebabkan sebuah perusahaan tidak beroperasi pada skala yang optimal.

Penelitian oleh Firdaus dan Hosen (2012) tentang pengukuran tingkat efisiensi BUS dengan metode DEA menggunakan asumsi constant return to scale (CRS) menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat efisiensi BUS di Indonesia selama periode penelitian belum mencapai tingkat efisiensi yang optimal.

Pada paper ini akan dianalisis perhitungan efisiensi biaya dengan dua metode. Pertama, metode SFA. Kedua, metode DEA dengan asumsi constant return to scale (CRS). Kemudian dilakukan analisis faktor-faktor input dan output mana yang berpengaruh terhadap efisiensi biaya pada masing-masing BUS.

III. METODOLOGI

3.1. Data dan Variabel

Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari informasi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pada Januari 2010 sampai Desember 2013. Metode pengumpulan data ini berupa dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Page 107: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

461Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Populasi yang dijadikan objek penelitian adalah seluruh bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah yang tercatat selama periode tahun 2010 sampai 2013 sejumlah 2.990 bank dengan rincian 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan kriteria Bank Umum Syariah (BUS) yang beroperasi dan terdapat laporan keuangan bulanan secara lengkap selama periode Januari 2010 sampai Desember 2013. Berdasarkan kriteria tersebut, maka yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 5 BUS, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BRI Syariah, dan Bank Syariah Bukopin

Penentuan input dan output dilakukan dengan pendekatan asset approach seperti yang digunakan oleh Muliaman D. Hadad dalam penelitiannya. Input yang digunakan yaitu Beban Personalia dan Beban Bagi Hasil, sedangkan output yang digunakan yaitu Total Pembiayaan dan Surat Berharga yang Dimiliki. Berikut definisi operasional variabel dapat diringkas pada variabel berikut.

Tabel 1.Operasional Variabel-Variabel Penelitian

JenisVariabel Indikator DefinisiIndikator Skala

Dependen

Independen

Independen

Independen

Independen

Total Biaya (TC)

Beban Personalia (P1)

Beban Bagi Hasil (P2)

Total Pembiayaan (Q1)

Surat Berharga yang Dimiliki (Q2)

Jutaan Rupiah

Jutaan Rupiah

Jutaan Rupiah

Jutaan Rupiah

Jutaan Rupiah

Penjumlahan dari Beban estimasi kerugian komitmen dan kontinjensi + Total beban operasional lainnya + Beban penyisihan penghapusan aktiva + Beban non operasional).

Salah satu beban operasional bank, yang pencatatannya pada laba rugi.

Kewajiban bank atas dana-dana pihak ketiga yang telah dihimpun oleh bank syariah, beban ini dicatat dalam laporan laba rugi.

Aktiva produktif bank yang menghasilkan. Pembiayaan pada bank syariah antara lain dalam bentuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah.

Aset bank dalam bentuk sekuritas yang pencatatannya pada neraca pada sisi aktiva.

3.2. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan perhitungan efisiensi Bank Umum Syariah dari sisi biaya dengan menggunakan metode pendekatan cost efficiency, sedangkan untuk perhitungannya menggunakan metode pendekatan parametrik Stochastic Frontier Approach (SFA) dan non parametrik Data Envelopment Analysis (DEA) yang menghitung deviasi dari fungsi biaya yang diestimasikan terlebih dahulu dengan profit frontier-nya. Efisiensi biaya diartikan sebagai rasio antara biaya minimum dimana perusahaan dapat menghasilkan sejumlah output tertentu, dengan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh perusahaan perbankan tersebut. Semakin kecil biaya sebenarnya yang digunakan dibandingkan dengan biaya minimum, maka tingkat efisiensi biaya bank akan semakin besar.

Page 108: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Stochastic Frontier Approach

Perangkat lunak Frontier 4.1 digunakan untuk mengestimasi fungsi biaya dengan menggunakan metode panel data pada pendekatan parametrik Stochastic Frontier Approach (SFA). Fungsi standar stochastic cost frontier memiliki bentuk umum (log) sebagai berikut:

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

dimana Ci adalah total biaya bank n; Xji adalah input j pada bank n; Yji adalah output k pada bank n; dan ei adalah galat. e

i terdiri dari 2 fungsi yaitu:

dimana ui adalah faktor error yang dapat dikendalikan; dan v

i adalah faktor error yang

bersifat random yang tidak dapat dikendalikan. Diasumsikan bahwa v terdistribusi normal N(0, σ2

v) dan u terdistribusi half-normal, |N(0, σ2v)| di mana uit = (ui exp(-h(t-T))3 dan h adalah

parameter yang akan diestimasi.

Cost efficiency di-derivasi dari suatu fungsi biaya, misalkan fungsi biaya dengan bentuk persamaan umum (log) sebagai berikut:

Dengan menggunakan bentuk persamaan stochastic cost frontier maka persamaan biaya dapat dituliskan sebagai berikut:

dimana C adalah total biaya atau cost efficiency; w adalah jumlah input; y adalah jumlah output; dan u dan v adalah galat.

Maka, cost efficiency dapat dituliskan sebagai berikut:

Data Envelopment Analysis

Perangkat lunak WDEA digunakan untuk mengestimasi fungsi biaya dengan menggunakan metode panel data pada pendekatan non parametrik Data Envelopment Analysis (DEA). Data

Envelopment Analysis merupakan metode non parametrik yang digunakan dalam mengukur tingkat efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE).

Page 109: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

463Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Pada penelitian ini, akan digunakan model dengan asumsi constant return to scale (CRS) atau disebut dengan model CCR (Charnes-Cooper-Rhodes). Model tersebut dipilih berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suseno (2008) tentang belum adanya hubungan antara tingkat efisiensi Bank Syariah (studi pada 10 Bank Syariah) dengan skala produksinya. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa skala ekonomi dalam industri perbankan tidak terjadi menurut skala perusahaan disebabkan fungsi suatu bank telah terintegrasi dengan bank lainnya.

Analisis Regresi Berganda

Berbeda dengan alat analisis lainnya, regreasi linear ganda memerlukan uji persyaratan yang sangat ketat. Setelah persamaan regresi linear berganda terbentuk, perlu dilakukan beberapa uji asumsi klasik, yaitu uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji multikolinearitas.

Selanjutnya dilakukan uji statistik. Secara statistik untuk mengetahui seberapa besar variabel-variabel bebas (variabel independen) secara serentak dapat menerangkan variabel tidak bebas (variabel dependen) dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi ganda atau R2. Dikarenakan terdapat lebih dari 2 variabel independen, maka digunakan uji Adjusted R Square.

Selanjutnya, untuk mengetahui signifikansi pengaruh semua variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen digunakan Uji F, yaitu dengan membandingkan Fhitung yang dihasilkan oleh regresi linear berganda dengan Ftabel pada taraf signifikan sebesar 95% (a=5%). Jika Fhitung > Ftabel maka variabel independen secara bersama-sama signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen.

Serta, uji t digunakan untuk menguji kuatnya hubungan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen secara individu. Dengan membandingkan antara nilai thitung dengan ttabel yang didapat dari masing-masing variabel dengan menggunakan taraf signifikan 95% (a =5%). Jika thitung > ttabel pada tiap variabel independen maka variabel independen tersebut signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen.

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Analisis Tingkat Efisiensi Biaya Bank Umum Syariah

Dengan menggunakan metode Stochastic Frontier Approach (SFA) dan Data Envelopment

Analysis (DEA), tingkat efisiensi dari masing-masing Bank Umum Syariah dapat diukur. Tingkat efisiensi tersebut dianalisis dari model fungsi biaya dengan variabel dependen total biaya/total cost (TC), input yang terdiri dari beban personalia (P1) dan beban bagi hasil (P2), sedangkan variabel output yaitu total pembiayaan (Q1) dan surat berharga yang dimiliki (Q2).

Page 110: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Fungsi biaya yang dihasilkan adalah dalam bentuk model frontier yang merupakan model translog bukan sebuah model linear atau garis lurus, oleh karena itu semua variabel dalam penelitian ini yaitu TC, P1, P2, Q1, dan Q2 diubah dalam bentuk ln (Kumbhakar, 2003 – dalam Edy Hartono).

Tingkat Efisiensi Metode Stochastic Frontier Approach (SFA)

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Frontier 4.1. Bentuk model prediksi tingkat efisiensi biaya pada BUS dapat ditulis sebagai berikut:

ln TC= -0,267 + 0,542 lnP1 + 0,538 lnP2 - 0,971 lnQ1 + 0,109 lnQ2

Dalam persamaan regresi di atas, konstanta TC adalah sebesar -0,267. Hal ini berarti apabila variabel input dan variabel output dianggap konstan, maka BUS akan mengeluarkan biaya minimum untuk tingkat output tertentu yaitu sebesar 0,7657 juta dari total aktiva (ex -0,267 = 0,7657).

Pada variabel input yaitu beban personalia (lnP1) koefisien regresi 0,542 menunjukan bahwa jika eksponen beban personalia mengalami peningkatan sebesar 1%, maka total biaya akan meningkat sebesar 0,542%. Hal tersebut menunjukkan bahwa beban yang dikeluarkan BUS untuk karyawan tidak memberikan kontribusi yang positif bagi BUS, sehingga makin besar beban personalia, maka beban biaya total yang ditanggung BUS akan meningkat dan akan menyebabkan inefisiensi.

Dan beban bagi hasil (lnP2) koefisien regresi 0,538 menunjukan bahwa jika eksponen beban bagi hasil mengalami peningkatan sebesar 1%, maka total biaya akan mengalami peningkatan sebesar 0,538%. Hal tersebut menunjukkan bahwa BUS belum optimal dalam mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada. DPK yang seharusnya dapat meningkatkan pendapatan bagi BUS, hanya menjadi beban karena BUS harus membayar return bagi nasabah penabungnya dan akan menimbulkan inefisiensi bagi BUS.

Sedangkan pada variabel output yaitu total pembiayaan (lnQ1) koefisien regresi -0,971 menunjukan bahwa jika eksponen total pembiayaan mengalami peningkatan sebesar 1%, maka total biaya akan mengalami penurunan sebesar 0,971%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan yang diberikan oleh BUS berjalan dengan baik dan menghasilkan return yang baik pula. Namun, BUS harus terus meningkatkan produktivitas dari pembiayaan yang diberikan agar tingkat efisiensi BUS dapat terus meningkat.

Dan surat berharga yang dimiliki (lnQ2) koefisien regresi 0,109 menunjukan bahwa jika eksponen surat berharga yang dimiliki mengalami peningkatan sebesar 1%, maka total biaya akan mengalami peningkatan sebesar 0,109%. Hal tersebut menunjukkan bahwa surat berharga yang dimiliki oleh BUS menghasilkan return yang lebih rendah daripada biaya yang harus dikeluarkan BUS pada surat berharga tersebut.

Page 111: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

465Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Berikut hasil efisiensi biaya dengan metode SFA pada lima BUS.

Tabel 2.TingkatEfisiensiBiayaBankUmumSyariahMetodeSFA

Periode BMI BSM BMS BRIS BSB

TingkatEfisiensiBiaya

Rata-RataTingkatEfisiensiSFASeluruhBUS=0,8538

Maret 2010 0.9727 0.9459 0.9277 0.7545 0.9051Juni 2010 0.9697 0.9032 0.9329 0.8827 0.8737September 2010 0.9567 0.8825 0.8951 0.8162 0.8716Desember 2010 0.9467 0.8417 0.8754 0.8096 0.8913Maret 2011 0.8491 0.9708 0.9701 0.8399 0.9531Juni 2011 0.8356 0.8247 0.9378 0.7630 0.9769September 2011 0.8452 0.8081 0.9452 0.6433 0.9548Desember 2011 0.7940 0.8093 0.9177 0.6960 0.9560Maret 2012 0.7774 0.8445 0.9838 0.9549 0.9866Juni 2012 0.7841 0.8482 0.9441 0.7948 0.9441September 2012 0.7831 0.8645 0.9022 0.7944 0.9683Desember 2012 0.7559 0.8705 0.8828 0.8644 0.9557Maret 2013 0.7845 0.8980 0.9715 0.7100 0.6231Juni 2013 0.7674 0.9322 0.9340 0.7339 0.5492September 2013 0.7444 0.9281 0.9122 0.7795 0.5935Desember 2013 0.7585 0.9009 0.8484 0.6984 0.5837Rata-rata 0,8328 0,8796 0,9238 0,7835 0,8492

Tingkat efisiensi biaya dengan pendekatan SFA secara rata-rata keseluruhan BUS diketahui sebesar 0,8538 atau 85,38%. Artinya BUS secara keseluruhan hanya efisien menggunakan biayanya sebesar 85,38%, sedangkan sisanya 14,62% biaya terbuang. Diketahui juga bahwa BMS memiliki tingkat efisiensi biaya SFA tertinggi dibandingkan dengan BUS lainnya dan BUS secara keseluruhan, yaitu sebesar 0,9238 atau 92,38%. BMS diketahui tidak terlalu besar target perolehan DPK. Hal inilah yang membuat BMS tidak terlalu terbebani dengan biaya dana DPK tersebut.Sedangkan BRIS memiliki tingkat efisiensi biaya SFA terendah, yaitu sebesar 0,7835 atau 78,35%.

Rata-rata tingkat efisiensi biaya SFA pada BMI, BRIS, dan BSB masih berada di bawah rata-rata tingkat efisiensi seluruh BUS. Maka, agar dapat lebih berkompetisi, maka ketiga BUS tersebut harus lebih memangkas biaya-biaya yang tidak efektif.Dari hasil tingkat efisiensi biaya SFA juga memperlihatkan bahwa BUS secara keseluruhan belum mencapai tingkat efisiensi yang optimal. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi biaya masih harus terus dilakukan. Tingkat efisiensi biaya SFA juga terlihat sangat variasi mulai dari 0,5492 (BSB periode Juni 2013) sampai dengan 0,9866 (BSB periode Maret 2012). Hal tersebut membuktikan bahwa setiap BUS memiliki strategi implementasi manajerial yang berbeda-beda dalam hal penekanan biaya bagi hasil, penekanan biaya personalia, pengaturan investasi, dan sebagainya.

Page 112: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Tingkat Efisiensi Metode Data Envelopment Analysis (DEA)

Berikut adalah hasil tingkat efisiensi 5 BUS selama periode Januari 2010-Desember 2013 melalui metode Data Envelopment Analysis (DEA). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak WDEA. Berikut hasil efisiensi biaya dengan metode DEA pada lima BUS.

Tabel3.TingkatEfisiensiBiayaBankUmumSyariahMetodeDEA

Periode BMI BSM BMS BRIS BSB

TingkatEfisiensiBiaya

Rata-RataTingkatEfisiensiDEASeluruhBUS=0,9325

Maret 2010 0.1000 0.1000 0.1000 0.1000 0.9860Juni 2010 0.9539 0.9496 0.9414 0.9481 0.9230September 2010 0.9303 0.9208 0.9062 0.9096 0.8980Desember 2010 0.9129 0.9011 0.8840 0.8866 0.8874Maret 2011 0.1000 0.9858 0.9984 0.9682 0.9850Juni 2011 0.9481 0.9335 0.9417 0.9105 0.9231September 2011 0.9217 0.9035 0.9138 0.8770 0.8885Desember 2011 0.9033 0.8821 0.8922 0.8581 0.8890Maret 2012 0.1000 0.9697 0.1000 0.9731 0.9903Juni 2012 0.9548 0.9225 0.9417 0.9127 0.9500September 2012 0.9281 0.8974 0.9064 0.8883 0.9181Desember 2012 0.9241 0.8798 0.8820 0.8821 0.8933Maret 2013 0.1000 0.9748 0.9894 0.9768 0.1000Juni 2013 0.9578 0.9267 0.9182 0.9321 0.1000September 2013 0.9339 0.8986 0.8828 0.9030 0.9620Desember 2013 0.9110 0.8782 0.8597 0.8859 0.9348Rata-rata 0.9487 0.9265 0.9286 0.9195 0.9393

Tingkat efisiensi biaya dengan pendekatan DEA secara rata-rata keseluruhan BUS diketahui sebesar 0,9325 atau 93,25%. Artinya BUS secara keseluruhan dapat mencapai tingkat output yang maksimal dengan hanya mengeluarkan kurang dari 93,25% dari input yang dimilikinya. Diketahui juga bahwa BMI memiliki tingkat efisiensi biaya DEA tertinggi dibandingkan dengan BUS lainnya dan BUS secara keseluruhan, yaitu sebesar 0,9487 atau 94,87%. Sedangkan BRIS memiliki tingkat efisiensi biaya DEA terendah, yaitu sebesar 0,9195 atau 91,95%.

BSM, BMS, dan BRIS memiliki tingkat efisiensi biaya yang lebih rendah dari rata-rata tingkat efisiensi pada seluruh BUS dengan metode DEA. Dari hasil tingkat efisiensi biaya DEA juga memperlihatkan bahwa BUS secara keseluruhan belum mencapai tingkat efisiensi yang optimal. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi biaya masih harus terus dilakukan. Ada berbagai cara untuk dapat mengoptimalkan tingkat efisiensi pada BUS. Salah satunya dengan melihat table of target values dari output WDEA dan tanpa menghitung, maka target variabel input output harus diubah dan disesuaikan. Dengan demikian masing-masing BUS dapat memperoleh tingkat efisiensi optimal.

Page 113: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

467Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Tingkat efisiensi biaya DEA juga terlihat sangat variasi mulai dari 0,100 sampai dengan 0,8581. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap BUS memiliki strategi implementasi manajerial yang berbeda-beda dalam hal penekanan biaya bagi hasil, penekanan biaya personalia, pengaturan investasi, dan sebagainya.

4.2. Perbedaan Tingkat Efisiensi Biaya dengan Menggunakan Metode SFA dan DEA

Berdasarkan hasil analisis metode SFA dan DEA di atas, maka dapat diketahui tingkat efisiensi biaya pada masing-masing BUS selama periode 2010-2013, yaitu.

Tabel4.PerbandinganTingkatEfisiensiBiayaBUS

MetodeSFAdanDEA

BUSTingkatEfisiensi

BiayaSFATingkatEfisiensi

BiayaDEA

BMIBSMBMSBRISBSB

83,28%87,96%92,38%78,35%84,92%

94,87%92,65%92,86%91,95%93,93%

Dari tabel di atas diketahui bahwa tingkat efisiensi biaya pada kelima BUS baik dengan metode SFA maupun DEA, belum optimal karena tidak ada yang mencapai 100%. Namun, terdapat ketidaksamaan hasil efisiensi biaya dengan metode SFA dan DEA. Pada metode SFA, BMS memiliki tingkat efisiensi biaya tertinggi, sedangkan pada metode DEA BMI yang memiliki tingkat efisiensi tertinggi. Dan BRIS merupakan BUS yang memiliki tingkat efisiensi biaya terendah dari kelima BUS, baik dengan metode SFA maupun DEA.

Dibandingkan dengan DEA, metode SFA memerlukan informasi yang akurat untuk harga input dan variabel eksogen lainnya. SFA juga mempertimbangkan beberapa deviasi sebagai pengganggu (noise) dalam model regresi. Kemudian, mempertimbangkan beberapa deviasi yang merupakan gambaran dari inefisiensi, pada pendekatan DEA disebut sebagai deterministic

frontier. Sedangkan pada metode DEA tidak menggunakan informasi, sehingga sedikit data yang dibutuhkan, lebih sedikit asumsi yang diperlukan dan sampel yang lebih sedikit dapat dipergunakan. Namun, kesimpulan secara statistika tidak dapat diambil jika menggunakan metode DEA.

Meskipun SFA lebih memiliki kelengkapan dalam mengestimasi tingkat efisiensi, bukan berarti DEA tidak mempunyai keunggulan. Dalam mengukur efisiensi, DEA mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi yang dapat membantu untuk mencari penyebab dan jalan

Page 114: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

keluar dari ketidakefisienan (Hadad et al: 2003). Selain itu, DEA tidak memerlukan spesifikasi yang lengkap dari bentuk fungsi yang menunjukkan hubungan produksi dan distribusi dari observasi.

Pada pemaparan selanjutnya dapat dilihat bahwa distribusi data dalam uji asumsi klasik pada penelitian ini memenuhi asumsi normalitas dan memenuhi asumsi homogenitas. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap estimasi regresi dari pendekatan SFA sehingga model yang diajukan dapat representatif. Terpenuhinya asumsi normalitas dan homogenitas dapat disebabkan oleh pengukuran yang dilakukan pada masing-masing BUS dan tidak dilakukan pada keseluruhan BUS. Sehingga data dapat lebih seimbang.

Maka dalam penelitian ini SFA lebih sesuai untuk mengukur tingkat efisieni biaya pada kelima BUS. Metode SFA dapat memperkirakan adanya sampel error yang tak terhingga, khususnya jika variabel input dan output relatif lebih banyak dibandingkan dengan banyaknya variabel observasi (Hadad et al. 2003).

Hasil efisiensi biaya dengan metode SFA, dapat dibagi berdasarkan beberapa kategori. Adapun nilai rata-rata efisiensi biaya dengan metode SFA yaitu sebesar 0,853765 dengan standar deviasi 0,101588. Pengelompokkan nilai efisiensi biaya SFA menjadi empat kategori dengan menggunakan persentil kuartile + standar deviasi adalah sebagai berikut.

Tabel5.KategoriEfisiensiBiaya

TingkatEfisiensiBiaya

Kategori

< 0,650,65 – 0,890,89 – 0,97

> 0,97

Tidak EfisienKurang EfisienCukup Efisien

Efisien

Maka, kelima BUS dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Tabel6.PengelompokkanTingkatEfisiensi

BUS TingkatEfisiensi Kategori

Bank Muamalat Indonesia 83,28% Kurang EfisienBank Syariah Mandiri 87,96% Kurang EfisienBank Mega Syariah 92,38% Cukup EfisienBRI Syariah 78,35% Kurang EfisienBank Syariah Bukopin 84,92% Kurang Efisien

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa BMI, BSM, BRIS, dan BSB termasuk dalam kategori bank yang kurang efisien dalam mengelola dananya. Sedangkan BMS termasuk

Page 115: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

469Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

bank yang cukup efisien dalam mengelola dananya. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada BUS yang beroperasi secara efisien. Untuk itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam meningkatkan kinerja efisiensi BUS.

4.3. Pengaruh Variabel Input-Output Terhadap Efisiensi Bank Umum Syariah

Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa hanya BRIS yang tidak berdistribusi secara normal dan tidak memenuhi uji normalitas data. Dari hasil uji autokorelasi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi, kecuali pada Bank Muamalat. Dari diagram scatterplot yang merupakan hasil uji heteroskedastisitas, (tidak ditampilkan), dapat disimpulkan bahwa model regresi pada kelima BUS telah bebas dari gejala heteroskedastisitas. Berdasarkan uji multikolinearitas dari masing-masing bank, diketahui bahwa variabel independen pada seluruh BUS mengalami masalah multikolinearitas.2

Selanjutnya, dilakukan analisis pengaruh variabel input dan output terhadap efisiensi biaya pada masing-masing BUS. Hasil estimasi terhadap lima BUS mengenai pengaruh variabel input dan output terhadap efisiensi biaya menunjukkan koefisien determinasi yang baik sebagaimana ditunjukkan yang baik sebagaimana ditunjukkan dalam adjusted R square berikut.

2 Permasalahan ini diharapkan dapat diatasi pada penelitian mendatang.

Tabel7.HasilUjiAdjustedRSquare(AdjR2)

BMI BSM BMS BRIS BSB KeseluruhanBUS

Sumber: Data sekunder yang dioleh

Adj R2 0,987 0,988 0,998 0,926 0,964 0,983

Nilai Adjusted R Square keseluruhan BUS dari model regresinya adalah sebesar 0,983 atau 98,3% yang menunjukkan variabel bebas (beban personalia, beban bagi hasil, total pembiayaan, dan surat berharga yang dimiliki) secara bersama-sama dapat menerangkan variabel terikat (total biaya) sebesar 98,3% dan sisanya 1,7% dijelaskan variabel lain yang tidak dimasukan dalam model empiris.

Uji F untuk masing-masing sampel menunjukkan spesifikasi model yang cukup baik. Berikut tabel yang akan membandingkan hasil Uji t pada masing-masing BUS dengan hasil Uji t pada keseluruhan BUS.

Page 116: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

4.4. Perbandingan Tingkat Efisiensi Biaya dan Tingkat Profitabilitas Bank Umum Syariah

Indikator yang umum digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas adalah ROA (Return on Assets). Rasio ROA adalah rasio yang menunjukan kemampuan dari keseluruhan aktiva yang ada dan yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan.

Berikut rata-rata tingkat profitabilitas pada kelima BUS selama periode 2010 sampai 2013.

Tabel9.Rata-RataTingkatProfitabilitasBankUmumSyariah

BMI BSM BMS BRIS BSB

ROA 1,48% 2,09% 2,77% 0,83% 0,59%

Tabel10.KategoriProfitabilitas

TingkatProfitabilitas

Kategori

< 0%0% – 0,5%

0,5% – 1,25%1,25% - 1,5%

>1,5%

RugiTidak Profitabilitas

Profitabilitas KurangProfitabilitas CukupProfitabilitas Tinggi

Tabel8.HasilUjitKeseluruhan

Variabel BMI BSM BMS BRIS BSB KeseluruhanBUS

Ket: * = menunjukkan variabel signifikan pada taraf nyata 5%.

Beban Personalia +* + +* - +* +*Beban Bagi Hasil +* +* +* +* -* +*Total Pembiayaan +* + -* -* +* -*Surat Berharga -* -* - -* - +

Hasil profitabilitas di atas, dapat dikelompokkan menjadi lima kategori berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011.

Page 117: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

471Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Berikut tabel yang memperlihatkan hasil tingkat efisiensi biaya dan tingkat profitabilitas pada kelima BUS periode 2010-2013.

Tabel 11.PengelompokkanProfitabilitas

BUSTingkat

ProfitabilitasKategori

Bank Muamalat Indonesia 1,48% Profitabilitas CukupBank Syariah Mandiri 2,09% Profitabilitas TinggiBank Mega Syariah 2,77% Profitabilitas TinggiBRI Syariah 0,83% Profitabilitas KurangBank Syariah Bukopin 0,59% Profitabilitas Kurang

Maka, kelima BUS dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Tabel 12.KinerjaBankUmumSyariahPeriode2010-2013

BUSKategori

EfisiensiBiayaKategori

Profitabilitas

Bank Muamalat Indonesia Kurang Efisien Profitabilitas CukupBank Syariah Mandiri Kurang Efisien Profitabilitas TinggiBank Mega Syariah Cukup Efisien Profitabilitas TinggiBRI Syariah Kurang Efisien Profitabilitas KurangBank Syariah Bukopin Kurang Efisien Profitabilitas Kurang

Dari tabel di atas menunjukkan terdapat ketidakselarasan antara hasil tingkat efisiensi dan tingkat profitabilitas BUS. Diantaranya pada BMI, BSM, dan BMS.

Pada BMI diketahui memiliki tingkat efisiensi biaya kurang efisien dan memiliki profitabilitas yang cukup. Artinya, BMI belum mengelola dananya dengan efisien. BMI masih belum memangkas dana-dana yang tidak penting, sehingga profitabilitas BMI menjadi tidak optimum. Berdasarkan laporan keuangan BMI diketahui bahwa hingga Mei 2014 pertumbuhan laba BMI hanya mencapai 3%. Hal tersebut terjadi karena biaya dana mengalami peningkatan. Selain itu, pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) Tahunan pada akhir Juni 2014 disetujui bahwa penggunaan laba bersih perseroan untuk tahun buku 2013 setelah pajak sebesar Rp 475,8 miliar dipergunakan untuk cadangan perseroan, tidak ada pembagian dividen bagi pemegang saham (Republika, Februari 2015). BMI juga sangat gencar untuk menjaring DPK. Mulai dari promosi berupa pemberian hadiah-hadiah maupun memberikan tingkat bagi hasil yang tinggi melebihi BI Rate. Hal inilah yang harus diperhitungkan oleh manajemen BMI, agar peningkatan dana DPK juga harus diikuti dengan peningkatan optimalisasi return dari pengelolaan DPK tersebut.

Page 118: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Pada BSM diketahui memiliki tingkat efisiensi yang kurang dan memiliki profitabilitas yang tinggi. Artinya, BSM belum mengelola dana dengan efisien. Namun, profitabilitas yang tinggi dapat diperoleh BSM. Hal tersebut dikarenakan BSM menetapkan nisbah bagi hasil kepada nasabah peminjam termasuk tinggi. Agar BSM dapat lebih kompetitif, maka tingkat efisiensi biaya harus ditingkatkan, sehingga BSM dapat memberikan nisbah yang lebih rendah dan kompetitif dengan bank lainnya. Selain itu, BSM banyak mengeluarkan produk-produk yang laku di pasaran, seperti Gadai dan Cicil Emas, serta Tabungan Haji. Omset produk Gadai Emas BSM mencapai Rp 2,05 triliun dan tiap bulan omset meningkat sekitar 16,25% (Metrotvnews.com, September 2014). Sedangkan untuk Tabungan Haji, BSM juga terus memperluas pangsa pasarnya, BSM ingin dikenal sebagai bank haji dan umroh. Untuk itu, BSM ikut serta dalam International Islamic Expo 2013, di mana mempromosikan produk-produk dan pelayanan terkait haji dan umroh (Infobank, Desember 2013). Dapat disimpulkan, BSM memiliki produk yang lebih unggul dari BUS lainnya, sehingga BSM dapat memperoleh laba yang tinggi. Namun, laba tersebut sebenarnya dapat lebih ditingkatkan yaitu dengan melakukan efisiensi pada biaya-biaya yang dapat diminimalisir pengeluarannya.

Pada BMS diketahui memiliki tingkat efisiensi yang cukup baik dan tingkat profitabilitas yang tinggi. Artinya, BMS sebagai BUS dengan aset yang tidak besar mampu mengelola dananya dengan optimal sehingga memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi dan juga tidak terlalu terbebani dengan DPK sehingga tingkat efisiensi cukup baik. Laba BMS pada akhir tahun 2013 meningkat sebesar 13,09% dibandingkan tahun sebelumnya. BMS diketahui tidak terlalu besar target perolehan DPK. Hal inilah yang membuat BMS tidak terlalu terbebani dengan biaya dana DPK tersebut. BMS fokus pada pembiayaan yang didominasi oleh joint financing kendaraan roda dua, di mana pembiayaan tersebut terus mengalami peningkatan sebesar 56,52% dari tahun sebelumnya (Bisnis Indonesia, Februari 2014).

Pada BRIS diketahui memiliki tingkat efisiensi dan profitabilitas yang kurang. Artinya, BRIS harus terus meningkatkan efisiensi biaya dengan mengurangi biaya-biaya yang tidak penting yang tidak dapat meningkatkan profitabilitas. Diharapkan dengan semakin efisien maka tingkat profitabilitas juga akan meningkat. BRIS mengalami penurunan laba drastis pada periode pertama tahun 2014, yaitu turun sebesar 97,73%. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena beberapa hal. Salah satunya, mayoritas portofolio pembiayaan pada BRIS adalah murabahah (jual-beli), di mana margin pembiayaan sudah disepakati di awal. Sehingga, ketika ada kenaikkan margin deposito, BRIS tidak dapat menaikkan margin pembiayaan murabahah tersebut. Maka, BRIS pun harus menanggung biaya dana yang meningkat tersebut tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan (Kontan, Agustus 2014). Di sisi lain pertumbuhan DPK pada BRIS hanya tumbuh 3,19%.

Pada BSB diketahui bahwa memiliki tingkat efisiensi yang kurang dan juga memiliki tingkat profitabilitas yang kurang. Artinya, pengelolaan dana pada BSB belum baik. BSB belum mampu meminimalisir biaya-biaya yang tidak penting. BSB juga sangat selektif dalam menyalurkan

Page 119: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

473Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

pembiayaan. Pembiayaan murabahah di mana return yang didapat bank fix (tetap), dianggap menekan laba bagi BSB. Oleh karena itu, BSB harus mampu menempatkan dananya pada investasi-investasi yang memberikan keuntungan yang baik, sehingga profitabilitas BSB dapat meningkat dan dari profitabilitas tersebut dapat mengurangi beban biaya pada BSB.

4.5. Implikasi Manajerial

Tingkat persaingan harga yang makin ketat pada perbankan menuntut Bank Umum Syariah untuk mampu memberikan harga yang kompetitif bagi para nasabah. Dengan meminimalisir biaya-biaya, BUS akan mampu memberikan harga yang lebih kompetitif. Oleh karena itu, perhitungan efisiensi biaya sangatlah diperlukan. Efisiensi biaya diartikan sebagai rasio antara biaya minimum dimana perusahaan dapat menghasilkan sejumlah output tertentu, dengan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh perusahaan perbankan tersebut. Semakin kecil biaya sebenarnya yang digunakan dibandingkan dengan biaya minimum, maka tingkat efisiensi biaya bank akan semakin besar. Bagian di bawah ini mengulas rekomendasi implikasi manajerial berdasarkan hasil penelitian.

4.6. Bank Muamalat Indonesia

BMI memiliki tingkat efisiensi biaya yang rendah dan tingkat profitabilitas yang cukup baik. Dari hasil tersebut diketahui bahwa BMI masih banyak terbebani oleh biaya-biaya yang seharusnya dapat diminimalisir. Beban bagi hasil dan beban personalia secara signifikan meningkatkan total biaya pada BMI. Untuk itu, BMI perlu lebih mengoptimalkan DPK untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan agar DPK tersebut mampu memberikan return bagi BMI dan tidak hanya menjadi beban bagi BMI. Beban personalia juga harus dipangkas karena hanya menjadi beban bagi BMI selama ini tanpa diikuti dengan peningkatan kinerja karyawan. Namun, total pembiayaan pada BMI juga berpengaruh signifikan meningkatkan total biaya pada BMI. Hal ini mungkin terjadi karena margin pembiayaan yang tinggi sehingga pembiayaan yang disalurkan tidak optimal dalam memberikan keuntungan bagi BMI. Selain itu, agar dapat bersaing BMI memberikan margin yang lebih rendah tetapi margin tersebut belum dapat menutupi biaya BMI.

Bank Syariah Mandiri

BSM memiliki tingkat efisiensi yang cukup baik dan tingkat profitabilitas yang tinggi. Dari hasil tersebut diketahui BSM dengan aset yang besar mampu menghasilkan profit yang tinggi dan efisiensi biaya yang cukup baik walaupun belum optimal. Dalam meningkatkan efisiensi biaya, BSM perlu meningkatkan penempatan dananya pada investasi-investasi yang menguntungkan seperti surat berharga. Dari hasil analisis diketahui bahwa surat berharga signifikan mengurangi

Page 120: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

total biaya pada BSM. Selain itu, beban bagi hasil juga signifikan meningkatkan total biaya pada BSM. Oleh karena itu, BSM perlu mengelola DPK dengan baik agar DPK tersebut dapat memberikan keuntungan bagi BSM dan tidak hanya menjadi beban bagi BSM.

Bank Mega Syariah

BMS memiliki tingkat efisiensi biaya yang cukup baik dan tingkat profitabilitas yang tinggi. dari hasil tersebut diketahui BMS belum optimal melakukan efisiensi biaya. Beban bagi hasil dan beban personalia secara signifikan meningkatkan total biaya pada BMS. Oleh karena itu, BMS perlu lebih mengoptimalkan DPK untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan agar DPK tersebut mampu memberikan return bagi BMS dan tidak hanya menjadi beban bagi BMS. Beban personalia juga harus dipangkas karena hanya menjadi beban bagi BMS selama ini tanpa diikuti dengan peningkatan kinerja karyawan. Strategi lainnya, total pembiayaan pada BMS harus lebih ditingkatkan karena total pembiayaan signifikan menurunkan total biaya pada BMS.

BRI Syariah

BRIS memiliki tingkat efisiensi biaya dan profitabilitas yang rendah. Untuk itu, perlu pengelolaan yang lebih baik bagi BRIS. Dari hasil analisis diketahui beban bagi hasil signifikan meningkatkan total biaya pada BRIS. Oleh karena itu, BRIS perlu mengelola DPK dengan baik agar DPK tersebut dapat memberikan keuntungan bagi BRIS dan tidak hanya menjadi beban bagi BRIS. Total pembiayaan dan surat berharga yang dimiliki BRIS juga secara signifikan menurunkan total biaya pada BRIS. Maka, BRIS harus lebih meningkatkan pembiayaan dan investasi yang menguntungkan dan aman.

Bank Syariah Bukopin

BSB memiliki tingkat efisiensi biaya dan profitabilitas yang rendah. Dari hasil analisis diketahui bahwa beban bagi hasil dan surat berharga yang dimiliki BSB signifikan meningkatkan total biaya BSB. Oleh karena itu, BSB perlu mengelola DPK dengan baik agar DPK tersebut dapat memberikan keuntungan bagi BSB dan tidak hanya menjadi beban bagi BSB. Selain itu, penempatan aset pada investasi seperti surat berharga juga harus lebih diperhatikan agar investasi tersebut mampu menghasilkan profit bagi BSB. Pada beban personalia diketahui signifikan menurunkan total biaya pada BSB. Hal tersebut berarti beban personalia yang ada mampu meningkatkan kinerja karyawan BSB, sehingga output yang dihasilkan semakin optimal. Namun, pada jangka panjang, peningkatan beban personalia tidak selalu meningkatkan tingkat efisiensi. Untuk itu, BSB perlu terus berhati-hati dalam mengambil kebijakan.

Page 121: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

475Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Bank Umum Syariah Secara Keseluruhan

Secara keseluruhan, tingkat efisiensi biaya pada BUS masih kurang efisien. Laba yang dihasilkan juga belum optimal. Beberapa faktor penyebab diantaranya adalah kurangnya modal atau aset pada BUS. BUS perlu meningkatkan aset agar dapat terus melakukan ekspansi pasar. Perolehan DPK pada BUS juga harus dioptimalkan. BUS harus kompetitif dalam memberikan return bagi nasabah DPK. Namun, BUS juga harus rasional dalam memberikan return, agar BUS tidak mengalami kerugian. Hal-hal lain yang harus dilakukan BUS yaitu mendesak bank umum konvensional selaku induk dari BUS untuk serius mendorong pengembangan bisnis anak usahanya. Serta BUS harus melakukan inovasi-inovasi produk yang menarik bagi nasabah dan sesuai dengan kebutuhan nasabah. Agar nasabah-nasabah yang rasional tidak berpaling ke bank konvensional. Selain itu, BUS juga harus memangkas biaya-biaya yang tidak penting. Misalnya, gaji direksi bank yang besar perlu dilakukan pemangkasan dan dialokasikan pada hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi bank.

4.7. Implikasi Kebijakan Bagi Bank Indonesia

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi MEA, perbankan syariah Indonesia khususnya BUS belum siap dalam persaingan dengan bank-bank lain dari negara-negara ASEAN. Harga yang tidak kompetitif akan semakin sulit bagi BUS di Indonesia untuk mendapatkan DPK dan menyalurkan pembiayaan-pembiayaan.

Indonesia merupakan pasar terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Hal tersebut harusnya menjadi pendorong bagi BUS agar lebih efisien dalam mengelola dananya dan berani untuk menawarkan harga yang lebih kompetitif agar pangsa pasar nasional yang besar tersebut dapat dinikmati. Tentunya masyarakat Indonesia akan lebih banyak memilih dengan rasionalitas, bukan secara emosional. Sehingga jika BUS tidak dapat memberikan harga yang menarik, maka masyarakat akan dengan mudah berpaling ke bank lainnya, baik bank syariah lain atau bank konvensional yang lebih menguntungkan.

Berikut beberapa rekomendasi implikasi kebijakan bagi Bank Indonesia berdasarkan hasil penelitian:

1. Salah satu misi dari BI adalah mendorong sistem keuangan nasional agar bekerja secara efisien. Oleh karena itu, perlu bagi BI menjadikan perhitungan tingkat efisiensi dengan menggunakan pendekatan frontier (SFA dan DEA) sebagai alternatif atau pendukung dalam menilai kinerja perbankan, yang selama ini menggunakan rasio BOPO. Dengan pendekatan frontier, faktor-faktor penyebab inefisiensi dapat diketahui, sehingga peningkatan kinerja efisiensi perbankan dapat lebih mudah dicapai.

2. Perlu dibuat kriteria nilai tingkat efisiensi yang baku. Hal ini agar terjadi pemahaman yang sama terhadap nilai tingkat efisiensi dari suatu bank.

Page 122: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

3. BI harus memberikan perlakuan yang berbeda antara bank syariah dan bank konvensional. Dalam hal penyaluran dana, bank syariah tidak hanya dihadapkan pada persoalan mengenai keuntungan tetapi juga penyaluran dana harus berjalan sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, BI perlu mengembangkan instrumen-instrumen keuangan syariah agar bank syariah dapat lebih meningkatkan investasinya.

4. Perlu dilakukan suatu kegiatan berkala pemberian penghargaan-penghargaan pada perbankan yang mengelola dananya dengan efisien. Diharapkan kegiatan tersebut dapat terus mendorong perbankan nasional agar lebih efisien, sehingga mampu bersaing dengan perbankan-perbankan asing yang ada di Indonesia.

V. KESIMPULAN

Hasil analisis mengenai tingkat efisiensi biaya pada Bank Umum Syariah (Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BRI Syariah, dan Bank Syariah Mega) selang periode 2010-2013, memberikan beberapa kesimpulan berikut:

1. Pada analisis tingkat efisiensi BUS periode 2010-2013, diketahui nilai rata-rata tingkat efisiensi biaya dengan model SFA dan DEA pada masing-masing BUS yaitu pada BMI sebesar 83,28% dan 94,87; pada BSM sebesar 87,96% dan 92,65%; pada BMS sebesar 92,38% dan 92,86%; pada BRIS sebesar 78,35% dan 91,95%; pada BSB sebesar 84,92% dan 93,93%; dan pada keseluruhan BUS sebesar 85,38% dan 93,25%.

2. Dari hasil tersebut diketahui terdapat perbedaan hasil tingkat efisiensi biaya dengan metode SFA dan DEA. Pada penelitian ini SFA lebih sesuai untuk digunakan.

3. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel Beban Personalia, Beban Bagi Hasil, Total Pembiayaan, dan Surat Berharga yang Dimiliki berpengaruh signifikan terhadap tingkat efisiensi pada BMI. Pada BSM hanya Beban Bagi Hasil dan Surat Berharga yang Dimiliki yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat efisiensi. Sedangkan pada BMS, Beban Personalia, Beban Bagi Hasil, dan Total Pembiayaan berpengaruh signifikan terhadap efisiensi. Adapun pada BRIS, Beban Bagi Hasil, Total Pembiayaan, dan Surat Berharga yang Dimiliki berpengaruh signifikan terhadap tingkat efisiensi. Pada BSB, Beban Personalia, Beban Bagi Hasil, dan Total Pembiayaan berpengaruh signifikan terhadap tingkat efisiensi.

4. Pada hubungan antara tingkat efisiensi dengan tingkat profitabilitas, diketahui BMI memiliki tingkat efisiensi biaya rendah dan profitabilitas yang cukup; pada BSM memiliki tingkat efisiensi biaya rendah dan profitabilitas yang tinggi; pada BMS memiliki tingkat efisiensi biaya yang cukup dan profitabilitas yang tinggi; pada BRIS memiliki tingkat efisiensi biaya rendah dan profitabilitas yang rendah; dan pada BSB memiliki tingkat efisiensi biaya rendah dan profitabilitas yang rendah.

Page 123: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

477Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

5. Ada berbagai strategi dalam meningkatkan efisiensi biaya dan strategi dalam menghadapi MEA pada bank syariah, di antaranya yaitu meningkatkan aset, DPK, memangkas biaya-biaya yang tidak perlu, inovasi produk keuangan syariah, penurunan gaji para Direksi, menempatkan dana yang ada pada portofolio yang menguntungkan.

Kesimpulan di atas memberikan berbagai implikasi sebagaimana diulas sebelumnya, yang dapat dirangkum sebagai saran-saran sebagai berikut:

1. Pihak manajemen bank, diharapkan untuk terus meningkatkan tingkat efisiensi biayadengan mengurangi biaya-biaya yang tidak efektif. Profitabilitas juga harus dioptimalkan dengan adanya penempatan dana-dana produktif agar dana yang ada dapat menghasilkan profit yang lebih besar.

2. Bagi Bank Indonesia, perlu dibuatkan kriteria nilai tingkat efisiensi yang baku. Agar terjadi pemahaman yang sama terhadap nilai tingkat efisiensi dari suatu bank.

3. Bagi peneliti selanjutnya, penentuan variabel-variabel independen agar lebih banyak dan divariasikan agar model yang diformulasikan lebih baik lagi. Selain itu, perlu dikaitkan dengan tingkat likuiditas BUS. Serta dianalisis dengan analisis tambahan yaitu analisis Risk

Base.

Page 124: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

DAFTAR PUSTAKA

Aigner, D. Lovell, CAK. dan Schmidt, P.1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier

Production Function Models. Journal of Econometrics 6 (21).

Ana, L. 2012. Efisiensi Bank-Bank Merger dan Akuisisi di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BI] Bank Indonesia. 2013. Statistik Perbankan Syariah. [diunduh 2013 Oktober 15]. Tersedia pada http//:www.bi.go.id.

[BI] Bank Indonesia. 2014. Outlook Perbankan Syariah 2014. [diunduh 2013 Oktober 15]. Tersedia pada http//:www.bi.go.id.

Berger, AN. dan Humphrey, DB. 1992. Measurement and Efficiency Issues in Commercial

Banking. University of Chicago Press.

Bisnis. 2014. Bank Mega Syariah Raup Laba Rp209 Miliar. [diunduh 2015 Januari 2]. Tersedia pada: http://finansial.bisnis.com/read/20140203/90/200831/bank-mega-syariah-raup-laba-rp209-miliar.

Farrell, MJ. 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistical Society, Series A (General), Vol.120, No.3 (253).

Firdaus, MF. 2013. Efisiensi Bank Umum Syariah Menggunakan Pendekatan Two-Stage Data

Envelopment Analysis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 16 No.2, (150).

Hadad, MD. Santoso, W. Mardanugraha, E. dan Illyas, D. 2003. Analisis Efisiensi Industri

Perbankan Indonesia: Penggunaan Metode Nonparametrik Data Envelopment Analysis

(DEA). Jurnal Bank Indonesia.

Hadad, MD. Santoso, W. Mardanugraha, E. dan Illyas, D. 2003. Pendekatan Parametrik untuk

Efisiensi Bank Syariah. Jurnal Bank Indonesia.

Hartono, E. Analisis Efisiensi Biaya Industri Perbankan Indonesia Dengan Menggunakan Metode Parametrik Stochastic Frontier Analysis (Studi Pada Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2004-2007) [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Idroes, FN. dan Sugiarto. 2006. Manajemen Risiko Perbankan Dalam Konteks Kesepakatan

Basel dan Peraturan Bank Indonesia. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

Infobank News. 2013. BSM Ingin Dikenal Sebagai Bank Haji. [diunduh 2015 Januari 2]. Tersedia pada: http://www.infobanknews.com/2013/12/bsm-ingin-dikenal-sebagai-bank-haji/.

Page 125: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

479Strategi Peningkatan Efisiensi Biaya Pada Bank Umum Syariah Berbasis Stochastic Frontier Approach dan

Data Envelopment Analysis

Istianawati, H. 2014. Potensi Investasi dan Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Return Saham pada Sektor Pertambangan Kelompok Saham Pro Lingkungan Syariah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kontan. 2014. 3 Faktor Penyebab Laba BRI Syariah Merosot 97%. [diunduh 2015 Januari 2]. Tersedia pada: http://keuangan.kontan.co.id/news/3-faktor-penyebab-laba-bri-syariah-merosot-97.

Kusmargiani, IS. 2006. Analisis Efisiensi Operasional dan Efisiensi Profitabilitas Pada Bank yang Merger dan Akuisisi di Indonesia (Studi Pada Bank Setelah Rekapitalisasi dan Restrukturisasi Tahun 1999-2002) [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Leibenstein, H. 1966. Allocative Efficiency vs. “X-Efficiency”. The American Economic Review, Vol. 56, Issues 3.

Mester, LJ. 2003. Applying Efficiency Measurement Techniques to Central Banks.” Working Paper No.03-13. Finance Department, The Wharton School, University of Pennsylvania.

Metrotv News. 2014. Gadai Emas BSM Naik 557%. [diunduh 2015 Januari 2]. Tersedia pada: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/09/07/288373/gadai-emas-bsm-naik-557.

Mokhtar, HAS. Abdullah, N. dan Al-Habshi, SM. 2006. Efficiency of Islamic Banking in Malaysia,

A Stochastic Frontier Approach. Journal of Economic Cooperation (27).

Muhari, S. dan Hosen, MN. 2013. Efficiency of the Sharia Rural Bank in Indonesia Lead to

Modified CAMEL. Journal of Academic Research in economics and Management Sciences, Vol.2, No. 5.

Muhari, S. dan Hosen, MN. 2013. Analisis Tingkat Efisiensi BPRS di Indonesia dengan

Menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dan Hubungannya dengan CAMEL. Palembang (ID): Konferensi Riset Manajemen VII.

Putri, VR. dan Lukviarman, N. 2008. Pengukuran Kinerja Bank Komersial Dengan Pendekatan

Efisiensi, Studi Terhadap Perbankan Go-Public di Indonesia. Journal JAAI, Volume 12 (1).

Republika Online. 2015. Laba Bersih untuk Cadangan, Muamalat tak Bagikan Deviden. [diunduh 2015 Januari 2]. Tersedia pada: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/14/07/10/n8hpy2-laba-bersih-untuk-cadangan-muamalat-tak-bagikan-dividen.

Suseno, P. 2008. Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi Pada Industri Perbankan Syariah di

Indonesia. Journal of Islamic and Economics, Volume 2 (1).

Sutawijaya, A. Lestari. dan Etty, P. 2009. Efisiensi Teknik Perbankan Indonesia Pasca Krisis

Ekonomi: Sebuah Studi Empiris Penerapan Model DEA. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 10 (1).

Page 126: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Yaumidin, UK. 2007. Efficiency in Islamic Banking: A Non-Parametric Approach. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 9 (4).

Yudistira, D. 2004. Efficiency in Islamic Banking: An Emprical Analysis of Eighteen Banks. Islamic Economic Studies, Vol. 12 (1).

Page 127: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 5.000.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan softcopy anda ke:

[email protected] (Cc. to: [email protected].)

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral, Bank Indonesia

Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lt. 21, JI. M. H. Thamrin No.2Jakarta Pusat, INDONESIA

Telpon: 62-21-2981-4119, Fax: 62-21-3501912

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http://www.aeaweb.org/journal/jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

I. JUDUL BAB

I.1. Sub Bab

I.1.1. Sub Sub Bab

Page 128: BEMP Volume 17 Nomor 4 April 2015.pdf (8,54 MB)

482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 17, Nomor 4, April 2015

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10. Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New

Jersey.

b. Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter. “Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital”, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. “Empirical Research on Nominal Exchange Rates”, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416.

d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel. “Income Distribution Dynamics with Endogenous

Fertility”. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000.

e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. “Can Parental Decision Explain U.S. Income Inequality?”, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston, Alan W. “Penn World Table, Version 5.6” http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. “Killed by Kindness”, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.

11. Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.