75

Biofuel Final (Cetak)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Biofuel Final (Cetak)
Page 2: Biofuel Final (Cetak)

Notes from the heart of Sumatera: Jambi, Riau and South SumateraCatatan Dari Pusat Sumatera: Jambi, Riau Dan Sumatera Selatan

Biofuel; A Trap Biofuel; Sebuah Jebakan

Penyusun :Koesnadi Wirasaputa

Rukaiyah Rofi q Riko KurniawanLestari Kadariah

Anwar Sadat

Lay out : GunAlih bahasa : Aditya Warman

Page 3: Biofuel Final (Cetak)

i

Biofuel; a Trap

KATA PENGANTAR ............... iiPreface

Pendahuluan ............... ivIntroduction

Bagian I Biofuel; apa, kenapa dan siapa? ............... 1Part I Biofuel: what, why and who?

Bagian II Potret buram industri biofuel di Sumatera ............... 11Part II Biofuel doom in Sumatera

Bagian III Biofuel; Setelah mewariskan konfl ik, bencana dan kemiskinan, kini pangan jadi sasaran

............... 32

Part III Biofuel: After creating confl icts, disasters and poverty, now threatening crops

Bagian IV Inisiatif Solidaritas Rakyat:Jalan keluar dari krisis iklim dan energy

............... 46

Part IV People Solidarity Initiative: A way out of climate and energy crisis

Bagian V Kesimpulan dan Rekomendasi ............... 53Part V Conclusion and Recommendations

Referensi ............... 64Reference

DAFTAR ISI

CONTENT

Page 4: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

ii

KATA PENGANTAR

This publication sheet comes as a result of small yet important notes observed during the fi eld studies on the impacts of biofuel in Sumatera. The study areas covers three provinces of Sumatera with different focal areas, namely the province of Jambi with Batanghari District as the focal area, the province of Riau with Siak Dsitrict as the focal area, and the province of South Sumatera. So many events and data were found during the studies. Some examples include a startling fi nding that the biofuel project, which claims to bring prosperity to communities, and to be the answer to climate change, energy crisis and poverty, turns out to cause new confl icts, new poverty and loss of community’s crops. It is this situation that has driven Yayasan SETARA, supported by Sumatera-based networks such as Perkumpulan Elang in Riau, and Walhi South Sumatera, to publish the results of the studies in the form of this simple publication sheet This publication is intended to give a most comprehensive picture as possible of what has been really happening in the rural areas. This publication sheet, however, is not meant to represent the overall impacts of the biofuel project in Sumatera, but expects to give a picture in a simple way of the actual phenomenon behind the glittering face of the biofuel project in Sumatera in particular and in Indonesia in general.

The writing of this simple publication sheet started with the analysis of the results of the fi eld studies in Sumatera. The draft has been refi ned based on data dan information gathered from the fi eld. All this work cannot be separated from sincere contribution from all parties, including the local communities, who have provided an illustration of and much information on the impacts of the biofuel project in Sumatera in simple but representational language. Thanks are expressed to the indigenous Suku Anak dalam in Batanghari District, Jambi Province; the communities of Dosan and Bunga Raya in Siak District; and the community of Talang Nangka, Rambai in South Sumatera.

Lembar publikasi ini lahir dari sebuah catatan-catatan Kecil namun penting yang ditemukan pada proses studi lapangan tentang dampak-dampak projek biofuel di Sumatera, dengan wilayah studi meliputi Propinsi Jambi dengan konsentrasi studi di Kabupaten Batanghari, propinsi Riau dengan konsentrasi di Kabupaten Siak, dan Sumatera Selatan. Begitu banyak peristiwa dan data-data yang ditemukan pada proses studi lapangan ini. Misalnya saja temuan mengejutkan tentang kondisi sesungguhnya yang terjadi dilapangan, bahwa proyek biofeul yang banyak menjanjikan segala bentuk kesejahteraan bagi rakyat, jawaban terhadap perubahan iklim, krisis energy, dan kemiskinan justru yang terjadi adalah lahirnya konfl ik baru, kemiskinan dan hilangnya bahan pangan bagi rakyat, situasi ini yang kemudian mendorong Yayasan SETARA dengan bantuan jaringan Sumatera seperti Perkumpulan Elang di Riau, dan Walhi Sumatera Selatan, menerbitkan lembar publikasi sederhana yang diambil dari cuplikan laporan studi di proyek Biofuel di Sumatera, untuk membagi informasi pada pihak luas tentang fakta-fakta yang ditemukan. Dengan harapan mampu memberikan gambaran secara utuh walau belum sempurna tentang apa yang sesungguhnya terjadi dikampung dengan kehadiran projek biofuel. Lembar informasi ini tidak bermaksud untuk mewakili dampak secara keseluruhan dari projek Biofuel di Sumatera, tapi berharap mampu mampu menggambarkan secara sederhana dan tentang fenomena yang terjadi dibalik gemerlap projek Biofuel, khususnya di Sumatra dan di Indonesia secara umum.

Penulisan lembar publikasi sederhana ini dimulai dengan membaca hasil-hasil studi lapangan biofuel di Sumatera, dan kemudian kembali melakukan penyempurnaan atas beberapa data dan informasi dari lapangan. Dan penyempurnaan lembar publikasi ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, terutama pihak masyarakat yang telah banyak memberikan informasi dilapangan dan menggambarkan situasi dilapangan dengan bahasa

PREFACE

Page 5: Biofuel Final (Cetak)

iii

Biofuel; a Trap

Thanks are also expressed to friends who have given much contribution to the content, to those in Perkumpulan Elang, Yayasan SETARA, Walhi South Sumatera, as well as those in Sawit Watch. Gratitude is also expressed to Gun, who has spent much time layouting this sheet, and to Aditya, who has helped with the translation. Special thank is expressed to Misereor, whose support has made the publication available for the public.

Jambi, 14 September 2009

The authors .

sederhana, namun mampu mewakili dampak dari projek Biofuel di Sumatera. Dan kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dari masyarakat Suku Anak Dalam Kabupaten Batanghari propinsi Jambi, masyarakat Dosan dan Bunga Raya, Kabupaten Siak, dan masyarakat Talang Nangka, Rambai di Sumatera Selatan.

Terima kasih juga disampaikan kepada kawan-kawan yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap isi dari lembar informasi ini, baik kawan-kawan di Perkumpulan Elang, Yayasan SETARA, Walhi Sumsel , dan tak lupa juga pada kawan-kawan di Sawit Watch. Terima kasih kami sampaikan kepada Gun yang telah banyak membantu dalam mendekorasi lembar informasi ini, dan kepada Aditya yang telah banya membantu dalam proses pengalih bahasa. Dan kepada Misereor yang telah memberikan dukungan sehingga lembar publikasi ini hadir ditengah kita semua.

Jambi, 14 September 2009

penyusun

Page 6: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

iv

PENDAHULUAN

Lembar publikasi sederhana ini adalah hasil kerjasama antara yayasan SETARA Jambi, Perkumpulan Elang Riau dan Walhi Sumatera Selatan dan Sawit Watch dengan dukungan pendanaan dari Misereor. Yang memuat catatan-catatan sederhana tentang dampak proyek industri biofuel di Sumatera.

Sejak tahun 2005 Yayasan SETARA Jambi telah berkerja untuk menekan laju ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar di Jambi yang awalnya diperuntukkan bagi pemenuhan industri makanan. Sepanjang tahun tersebut terjadi penurunan ekspansi perkebunan kelapa sawit, tapi kemudian meningkat kembali ketika masuk periode tahun 2006, dimana pada tahun tersebut secara nasional pemerintah mengeluarkan instruksi Presiden nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan penggunaan Biofuel sebagai energy alternatif. Yayasan SETARA bersama dengan mitra di Sumatera kemudian menganggap bahwa situasi ini akan memperparah kondisi buruk yang sudah tercipta sebelumnya. Dengan dilekatkannya issu perubahan iklim, dan krisis energy dunia, tentu projek biofuel ini akan terus menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai komoditas paling menjanjikan.

Berangkat dari situasi ini, Yayasan SETARA memulai mengumpulkan informasi dari berbagai sumber tentang apa dan bagaimana Biofuel bekerja di dunia dan Indonesia, terutama terkait dengan janjinya bagi keselamatan dunia yang kian memanas. Hasil dari pengumpulan informasi awal di lanjutkan dengan sebuah studi lapang secara awal untuk memastikan kebenaran dari situasi akhir yang berkembang atas industry biofuel di Indonesia. Hasil penelusuran ini, meyakinkan Yayasan SETARA Jambi, bersama dengan jaringannya di tiga Propinsi yang menjadi target pembangunan industri biofuel di Sumatera, yaitu Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Hasilnya cukup memberikan gambaran dan informasi terbaru apa dan bagaimana biofuel bekerja untuk memperparah dampak yang telah ada, dan bahkan ditemukan bahwa projek biofuel ini bukan saja menambah konsentrasi CO2 di atmosphere akibat konversi hutan dan lahan gambut untuk dijadikan kebun sawit, tapi juga menimbulkan bencana baru bagi manusia, yaitu semakin menurunnya kuantitas lahan pangan masyarakat, dan artinya lahan yang menjadi sumber pangan bagi energy rakyat telah igantikan dengan kebun energy bagi mesin.

This simple publication sheet contains information on the biofuel industry in Sumatera resulting from a collaborative work of SETARA Jambi, Perkumpulan Elang Riau, and Walhi South Sumatera, with fi nancial support from Misereor.

Since 2005 SETARA Jambi has been working to suppress the rate of large-scale oil palm plantation expansion in Jambi, which was initially designed to meet the needs of the food industry. While 2005 saw a decrease in the expansion of oil palm plantations, palm plantations fl ourished again in 2006 with the issue of Presidential Instruction Number 1 of 2006 on the provision and utilisation of biofuels as an alternative energy. SETARA, along with partners in Sumatera, thought that this would be worsening the already poor condition. With climate change issues and the world’s energy crisis attached to it, biofuel projects would surely make oil palm a promising commodity.

The situation drove SETARA to start collecting information from various sources on what biofuel was and how it was working in the world and in Indonesia, particularly with regard to its promise to save the increasingly hotter world. The initial information gathered was followed by a preliminary fi eld study to verify the validity of the latest developments of biofuel industry in Indonesia. The results of the study provided SETARA Jambi and its networks in three provinces, which are being targeted as development sites of biofuel industry, namely Jambi, South Sumetera and Riau, with convincing data on and a fairly clear picture of and the most recent information on what biofuel is and how biofuel is worsening the existing impacts. The study also found out that biofuel projects not only add the concentration of CO2 in the atmosphere from conversion of forests and peatland into oil palm plantations, but also cause new disasters for human beings, namely the shrinking of community’s cropland, which means that more and more community’s land – the source of their food – has been being replaced by energy plantations for machines.

INTRODUCTION

Page 7: Biofuel Final (Cetak)

v

Biofuel; a Trap

Ketika dunia dalam jebakan krisis energy dan krisis iklim.

Meroketnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kini menembus angka US$ 100/barel per bulan Oktober 2007, ditambah dengan gejolak perang di Timur Tengah yang tak pernah berhenti, serta cadangan BBM yang hanya mencukupi untuk dua decade kedepan. Kondisi ini di perparah dengan semakin memburuknya iklim global akibat pengunaan energi BBM yang bersumber dari fosil, batu bara semakin mendorong berbagai belahan dunia termasuk Indonesia untuk berfi kir serius mencari bahan bakar alternative yang tentunya memiliki masa depan cerah.

Bahan bakar alternative ini diharapkan mampu menjawab seluruh persoalan diatas. Sebenarnya pengembangan energi alternative sudah dimulai sejak 1970-an, dan telah menjadi program global ketika harga BBM melonjak naik. Program energi alternative ini kemudian menghilang ditahun 1990-an seiring kembalinya harga BBM ke harga nomal. Tapi kini semua pihak kembali disadarkan tentang pentingnya penggunaan energi terbarukan, ketika krisis iklim yang diakibatkan oleh penggunaan energi fosil semakin mengkhawatirkan.

Penggunaan energi terbarukan (renewable) yang bersumber dari bahan baku nabati sebenarnya adalah tindakan bijaksana, selain ramah lingkungan, juga dapat membuka lapangan kerja baru di pedesaan. Menurut Pemerintah Indonesia saja projek biofuel yang menjadi andalan penyediaan anergy alternative yang bersumber dari tanaman yang menghasilkan minyak ini akan menciptakan lapangan kerja 3-5 juta lapangan kerja (kompas, 13 maret 2007). Sejalan dengan kecendrungan ini maka tak salah jika pemerintah Indonesia gencar merencanakan dan melaksanakan berbagai program untuk secara bertahap meningkatkan produski biofuel dengan bahan baku CPO sawit dan minyak jarak. Tidak hanya untuk memenuhi konsumsi global akan kebutuhan minyak dari BBN, tapi konsumsi domestik juga tak bisa dikatakan kecil. Jika dalam skala domestik penggunaan energi dari bahan bakar minyak bumi mencapai 65 juta kiloliter atau sama dengan 64 miliar liter/tahun dengan rincian sektor transportasi menyerap 48%, industri 19%, rumah tangga 18% dan kelistrikan 15% pertahun, maka untuk konsumsi global, permintaan energi solar dan minyak tanah dunia mencapai 2,487 juta ton/tahun. Maka tak salah jika dikatakan bahwa ketergantungan pada energy minyak bumi sungguh tinggi. Artinya masa depan energy alternative akan cerah sebagai pengganti minyak bumi fossil.

When the world falls into a trap of energy crisis and climate change

The soaring of fossil fuel price to 100 USD/barrel as of October 2007, the neverending war in the Middle-East, the declining fossil fuel deposits – said to last for only two decades, exacerbated by the worsening global climate from use of fossil fuels and coals have driven many countries, including Indonesia, to seriously think about fi nding alternative fuels, which are surely prospective.

The alternative fuels are expected to address all of the above issues. As a matter of fact, alternative energies were fi rst developed in the 1970s, and became a global program when fuel prices soared. The program was then diminishing in the 1990s as fuel prices went back to normal. But, the world is now being aware again of the importance of using renewable energy as the climate crisis caused by use of fossil fuels is calling for more concern.

Using renewable energies sourced from bio materials is actually a wise step; not only are they environmentally friendly, their development can provide new jobs in rural areas. According to the government of Indonesia, the biofuel project, which is intended to become a means of providing alternative energy sourced from oil-producing plants, will create 3-5 million jobs (the Kompas, 13 March 2007). In line with this tendency, it is then understandable if the Indonesian government enthusiastically plans and carries out various programs to gradually increase the production of CPO- and jatropha oil-based biofuel. The target is meant to meet not only the global demands but also the domestic consumption, which tends to increase. While at domestic level, use of fossil fuels stands up to 65 million kilolitres or equivalent to 64 billion litres/year (transportation sector accounting for 48%, industry 19%, households 18% and electricity 15%),at global level, demand for solar and fossil energy reaches 2.487 million tonnes/year. It is thus not wrong to say that the depedence on fossil fuels is quite high. This means that alternative energies as the replacement of fossil fuels have a bright future.

Page 8: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

vi

Energy bagi dunia VS sumber energy masyarakat lokal

Dari semua rancangan Pemerintah dan kebutuhan dunia tentang energy terbarukan, maka, ada cerita lapangan menunjukan krisis BBM di dunia, tidak menunjukan krisis BBM di tingkat masyarakat adat di Jambi yaitu masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) atau biasa di sebut dengan panggilan suku Kubu di Desa Tana Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, tidak pernah membayangkan sedikitpun memiliki kendaraan pribadi dengan bahan bakar yang terbuat dari minyak nabati atau lebih dikenal dan popular biofeul/biodiesel. Untuk mencari bahan makanan saja sudah sulit bagi orang kubu, apalagi bermimpi memiliki kendaraan roda empat yang harganya tidak terjangkau. Orang kubu pun tidak pernah memiliki kemampuan untuk mengkonsumsi roti yang di diberi margarine (mentega) seperti orang kota kebanyakan. Bahan pangan roti, mentega, kosmetik hanya menjadi bayangan dan mimpi di siang bolong belaka, karena, Orang Kubu terbiasa dengan bahan pangan ubi kayu (singkong) yang sejak dulu menjadi bahan makanan pokok secara turun temurun. Untuk mendapakan bahan makanan pokok ini pun Orang kubu harus berurusan dengan salah salah satu industri perkebunan kelapa sawit yang dan secara kebetulan pula perusahaan ini adalah milik salah satu group yang berambisi menjadi penghasil minyak sawit dan juga penghasil biofuel di dunia.

Kehadiran perusahaan yang memiliki missi mulia untuk kesejahtraan masyarakat ini ternyata telah membuat lahan pertanian untuk bahan pangan orang Kubu tidak ada lagi yang tersisa, semua wilayah kehidupannya sudah masuk kedalam Hak Guna Usaha (HGU). Sungguh satu perjalanan hidup yang tidak di impikan, bila suatu saat Orang Kubu menerima bencana kelaparan jangka panjang.

Lain cerita di Tana Menang Jambi, lain pula cerita di Riau, tepatnya di Kabupaten Siak, pada bulan Juli 2009, berita mengejutkan, ketika Bupati Siak beserta jajarannya melakukan penebangan pohon kelapa sawit di lahan warga Desa Bung Raya, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Ini sebuah kebijakan yang sangat berani, di era perluasan kebun kelapa sawit 5 tahun terakhir di Provinsi Riau. Penebangan pohon sawit ini dilakukan, karena masyarakat menanam sawit di lahan persawahan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai lumbung padi Kabupaten Siak dan Provinsi Riau. Tapi pertanyaannya adalah, apakah, Kecamatan Bunga Raya akan tetap menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat Riau kedepan, ketika gempuran ekspansi perkebunan kelapa sawit semakin meningkat? sebab disisi lain, justru Pemerintah Provinsi Riau, telah mencanangkan wilayahnya

Energy for the world VS energy sources of local communities

Of all the government’s plans and the world’s needs for renewable energy, there are stories from the fi eld telling a fuel crisis throughout the world. Despite this, no signs of such a crisis are observed among the indigenous Suku Anak Dalam (SAD) – commonly referred to as the Kubu, in Tana Merang in Tana Menang village, Pinang Tinggi and Pinang Salak in Batanghari District, Jambi Province. These people have never imagined to own personal vehicles that run on biofuels/biodiesel. Finding food is hard enough for these people, let alone a car at a price impossible for them to pay. The Kubu cannot even afford to enjoy margarine-spread bread like most city people do. Bread, margarine, and cosmetics are things that can only dream of. The Kubu are used to cassava, which has been a staple food for generations. In order to get this staple food, the Kubu have to deal with one oil palm industry, which belongs to a group strongly desires to become the world’s palm oil and biofuel producer. The company, which has a noble mission to bring welfare to the community, has in reality swept away the Kubu’s cropland, leaving none for them. All the Kubu’s land has been incoporated to the company’s HGU (Business Use Permit). This is a course in life the Kubu have never imagined, where they have to be struck with long-term famine.

A different story is told from Tana Menang,Jambi, and another from Riau, to be precise in Siak District. In July 2009, the community was shocked when the Regent of Siak and his administration cut down their oil-palm trees in Bung Raya village, Bunga Raya sub-district, Siak District, Riau province. This was a bold policy in the era of oil palm expansion in the last fi ve years in Riau. The trees were cut down as the community grew them on the riceland already designated as the rice bank for the district and the province. However, the question is, will Bunga Raya sub-district still provide enough food for the people of Riau in the future, when the onslaught of oil palm plantations is increasing? Because, on the other hand, the provincial government has, in fact, allocated its area to be one of the suppliers of raw material for biofuel industry. This means that in the future there will be a struggle for land in Riau, one for the sake of food, the other for biofuel.

Even though the impacts on the community and the environment are quite serious, the government is still ambitiously pursuing this project and provided legal umbrellas for the interest of this fuel-for-machine project. Several policies have been issued to support alternative energy projects. They include Government Regulation

Page 9: Biofuel Final (Cetak)

vii

Biofuel; a Trap

menjadi salah satu pemasok kebutuhan bahan baku untuk Industri Biofeul atau Biodiesel sebagai yang terbuat dari bahan baku kelapa sawit. Artinya kedepan akan ada pertarungan perebutan lahan diRiau, kepentingan pangan atau kepentingan biofuel.

Walaupun dampak yang diterima masyarakat dan keselamatan lingkungan di daerah cukup serius. Pemerintah tetap berambisi pada proyek ini dengan cara menyediakan payung hukum bagi kepentingan proyek memberi makan mesin. Sehingga sudah dilakukan oleh pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan guna mendukung proyek energy alternatif. Ada Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2007 tentang kebijakan enegeri nasional, Intruksi presiden No 1 tahun 2006 tentang supply dan pemanfaatan biofuel sebagai energi alternatif, Keputusan Presiden No. 10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional pembangunan Biofuel guna mempercepat proyek ini. Kebijakan-kebijakan ini, betapa seriusnya sehingga, proyek ini membuktikan sangat berlimpah dana atau bisa disebut proyek “basah”. Tetapi, pada akhirnya, pada masa tertentu produk minyak kelapa sawit tidak lagi melulu berakhir di dipusat perbelanjaan makanan, dan alat kosmetik, tapi berakhir di pengilangan bahan bakar untuk mesin-mesin di SPBU.

SETARA dan mitra kerjanya, menerbitkan lembar informasi tentang biofeul ini bertujuan untuk memberikan gambaran nyata dan proses penyadaran bagi masyarakat dan para pihak, bahwa, industry biofuel yang merupakan salah satu solusi alternative penggunaan energy terbarukan, ternyata membawa dampak dan bencana jangka panjang pada persoalan pangan, kemiskinan, pengangguran baru dan semakin rusaknya lingkungan hidup lokal, dan ingin menyampaikan bahwa projek biofuel juga telah menggantikan lahan dan sumber energy masyarakat lokal untuk kemudian ditukar menjadi kebun energy bagi negara-negara maju. Biofuel memang mampu membersihkan iklim negara-negara maju, tapi ketahuilah bahwa semua proses dan aktifi tas untuk menghasilkan pembersih iklim tersebut, telah meninggalkan kotoran dan kerusakan iklim yang lebih besar.

Semua rangkaian cerita ini dituangkan secara sederhana dalam lembar publikasi sederhana ini untuk memberikan gambaran dan menyampaikan kondisi buruk atas proyek biofuel di Sumatera. Dengan mengambil sampel diwilayah kuasa perusahaan dan group yang berkomitmen untuk mendukung projek biofuel di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Bukan berniat untuk memperburuk citra perusahaan tersebut tapi ini untuk memberikan contoh kecil betapa sengsaranya –hilangnya akses tehadap lahan, berubahnya mata pencaharian mereka dari bertani menjadi buruh kebun, dan bahkan hilangnya sumber pangan sebagai

No. 5 of 2007 on national energy policies, Presidential Instruction No. 1 of 2006 on supply and utilisation of biofuel as alternative energy, Presidential Decree No 10 of 2006 on the forming of a national biofuel development team in an effort to accelarate the project. The issues of such policies – indicating the government’ seriousness in the sector – mean that a large amount of money is to be disbursed in such projects (cynically refered to as ‘wet projects’, i.e. the ones involving a lot of money). Eventually, at a certain time, palm oil does not end up only in supermarkets or cosmetic counters but also in fuel plants. SETARA and its partners, publish this information sheet to provide a real picture and awareness raising for the public and the stakeholders that biofuel industry – one of the solutions to renewable energies, has in fact brought about long-term impacts and disasters such as food insecurity, poverty, unemployment and increasing degradation of local environments. The publication is also intended to convey that biofuel projects have replaced local communities’ land and energy sources with energy plantations for developed countries. Biofuel can indeed clean the climates of developed countries, but we should know that all these processes and activities to produce this climate cleaner have produce even more waste and climate degradation..

All these stories are written in a simple way in this simple publication sheet to provide a picture showing the poor conditions of biofuel projects in Sumatera. Samples of which the stories are composed are gathered from areas controlled by companies and groups committed to supporting biofuel projects in Riau, Jambi and South Sumatera, and are not meant by any means to give a bad name to the companies but rather to present small examples of the suffering of the communities living around the projects: loss of access to land, shifting in their livelihoods from farmers to plantation workers, and even the loss of their food sources – the source of their energy.

This information sheet is divided into fi ve main parts. The fi rst part provides an illustration of what biofuel is, who needs it and who is behind this project. The second part elaborates problems found in the fi eld as a result of biofuel projects in Jambi,Riau and South Sumatera. The third part describes the impacts of biofuel expansion: deteriorating food conditions, increasing price, distribution of poverty and famine, impediments to the Millenium Development Goals, conversion of more agricultural land into oil palm plantations, as well as government policies that fail to protect its people from pressure from countries in need of biofuel, particularly the USA and the European Union. The fourth part talks about teh people’s initiatives and solidarity in dealing with the Indonesian biofuel industry, particularly in Jambi, South

Page 10: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

viii

sumber energy mereka-- penduduk disekitar perusahaan-perusahaan besar tersebut yang juga ikut mengamini projek gemerlap Biofuel ini. Semua ruang lingkup lembar informasi ini akan di bagi menjadi Lima bagian utama, yaitu: bagian pertama; buku ini akan memberikan gambaran tentang; Apa itu biofuel? , kebutuhan siapa dan siapa dibalik projek ini? Bagian kedua: akan mengupas tentang problem-problem yang ditemukan ditingkat lapangan akibat kehadiran projek biofuel di Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Bagian ketiga pada bagian ini akan menceritakan tentang dampak ekspansi Biofeul terdahap kondisi pangan rakyat, kenaikan harga, pemerataan kemiskinan dan kelaparan, menghambat pencapaian milineium (MDGs), perluasan konversi pertanian local menjadi sawit, serta kebijakan pemerintah yang tidak melindungi rakyat atas tekanan Negara-negara yang memerlukan biofeul terutama Amerika dan Uni Eropa, bagian keempat; adalah akan menceritakan tentang inisiatif dan solidaritas rakyat dalam menghadapi industry biofeul di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera sebagai wilayah studi kasus di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau. Dan bagian kelima: dalam buku ini memuat kesimpulan dan Rekomendasi serta kerangka aksi bersama untuk menghadapi industry biofeul di Indonesia yang menjanjikan kesejahteraan, tetapi membawa malapetaka baru bagi mahluk hidup di bumi.

Semoga lembar informasi sederhana dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya masyarakat korban, para pegiat lingkungan, instansi pemerintah baik lokal maupun nasional agar dapat memahami dan belajar dari pengalaman, bahwa industri biofuel tidak memberikan manfaat bagi rakyat indonesia, tetapi sebaliknya meninggalkan beban baru baru rusaknya bumi Indonesia.

Sumatera and Riau as the study areas. And the fi fth part contains conclusions and recommendations as well as a joint action framework to deal with the Indonesian biofuel industry that promises welfare, but creates new tragedies to living creatures on earth.

Hopefully, this simple information sheet is benefi cial to the readers, particularly the affected communities, environmentalists, local and national government institutions so that they can understand and learn from experience that biofuel industry delivers no benefi ts to the Indonesian people; rather, it creates much degradation to Indonesia’s environment.

Page 11: Biofuel Final (Cetak)

1

Biofuel; a Trap

BAGIAN I

BIOFUEL; APA, KENAPA DAN SIAPA?

“kami dak tau apo itu biofuel, kami cuma Cuma tau kalau kelapa sawit itu untuk dibuat minyak goreng dan mentega, tapi kami jugo dak banyak pake minyak goreng sawit karena sangat mahal, kami dak biso beli. Nah apalagi mau beli biofuel, mau pake untuk apo? Kami dak ado mobil” ungkapan dari salah satu warga Suku Anak Dalam di Tanah Menang propinsi Jambi.

Apa Itu Biofuel ?1.1.

Tak hanya warga Suku Anak dalam Tanah Menang yang kebingungan ketika ditanya tentang biofuel, warga desa Bunga Raya di Riau dan warga desa Tanlang Nangka dan Rambai di Sumatera Selatan juga mengaku tidak mengerti. Lalu bagaimana biofuel ini bisa melibatkan mereka di pedesaan?

Biofuel berasal dari kata Bio dan Fuel, yang didefi nisikan sebagai bahan bakar yang sumbernya berasal dari proses-proses biologi (terbarui). Bahan bakar ini dapat diambil dari tetumbuhan, hewan, ataupun sisa-sisa hasil pertanian. Saat ini, kita dapat menemukan biofuel dalam bentuk padatan, cair dan gas yang dihasilkan dari material organik baik langsung dari tanaman ataupun secara tidak langsung dari proses industrial (pabrik), komersial, domestik atau sisa-sisa hasil pertanian. Banyak pakar menyebutnya sebagai Agrofuel (bahan bakar yang berasal dari tetumbuhan), tapi dalam lembar informasi ini kita akan pakai istilah biofuel. Biofuel akan menghasilkan 2 jenis bahan bakar, yaitu biodiesel dan bioethanol. Biodiesel merupakan biofuel yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan minyak seperti kelapa sawit, jarak, kedele/soya, bunga matahari dan banyak lagi, sementara bioethanol dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung serat dan gula tinggi seperti jagung, tebu, singkong dll). Biodiesel akan menggantikan solar sementara bioethanol akan menggantikan bensin. Biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi tanpa meningkatkan kadar karbon di atmosfi r karena berbagai tanaman yang

“we don’t know what biofuel is, we just know that oil palm can be processed into cooking oil and margarine, but we don’t use palm cooking oil because it’s very expensive, we can’t afford

to buy it. What would we buy biofuel for? We don’t have cars.” Statement by a member of the Suku Anak Dalam indigenous people in

Tanah Menang, Jambi province.

What is biofuel?1.1.

The Suku Anak Dalam indigenous people in Tanah Menang is not the only one who are confused when asked about biofuel. The communities of Bunga Raya in Riau and of Tanlang Nangka and Rambai in South Sumatera also admit they know nothing about it. Then how could biofuel engage these rural people?

Biofuel is derived from the words bio and fuel, and is defi ned as fuel originating from renewable biological processes. These fuels can be obtained from plants, animals or remnants of agricultural products. Currently, we can fi nd biofuel in solid, liquid and gaseous forms produced directly from organic materials of plants or indirectly through industrial, commercial, or domestic processes. Many experts call it agrofuel (fuel originating from plants), but in this information sheet we use the term biofuel. Biofuel produces two kinds of fuel, biodiesel and bioethanol. Biodiesel is biofuel extracted from oil-producing plants such as oil palm, soy, sunfl owers and many others, while, bioethanol is produced from plants containing fi bre and high levels of glucose such as corn, sugar cane, cassavas, etc. Biodiesel will replace solar while bioethanol will replace diesel. Biofuel offers possibilities to produce energy without increasing carbon levels in the atmosphere as various plants used to produce biofuel reduce carbon dioxide in the atmosphere, unlike fossil fuels that return the carbon saved under soil surfaces for millions of years to the air. Therefore, biofuel is more carbon neutral in nature and does not greatly increase greenhouse gas

PART I

BIOFUEL: WHAT, WHY AND WHO?

Page 12: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

2

digunakan untuk memproduksi biofuel mengurangi kadar karbondioksida di atmosfi r, tidak seperti bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah selama jutaan tahun ke udara. Dengan begitu biofuel lebih bersifat carbon neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfi r (meski timbul keraguan apakah keuntungan ini bisa dicapai di dalam prakteknya). Penggunaan biofuel mengurangi pula ketergantungan pada minyak bumi serta meningkatkan keamanan energi.

Biofuel bagian dari konsep energi terbaharukan diperkenalkan pada 1970-an sebagai bagian dari usaha mencoba bergerak melewati pengembangan bahan bakar nuklir dan fosil. Defi nisi paling umum adalah sumber energi yang dapat dengan cepat diisi kembali oleh alam, proses berkelanjutan. Di bawah defi nisi ini, bahan bakar nuklir dan fosil tidak termasuk ke dalamnya.

Salah satu produk biofeul adalah biodiesel merupakan biofuel yang paling umum di Eropa. Di produksi dari minyak atau lemak menggunakan transesterifi kasi dan merupakan cairan yang komposisinya mirip dengan diesel mineral. Biodiesel merupakan calon tunggal yang paling dekat untuk menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi utama dunia, karena ia merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur sekarang ini. Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan Sarana Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.

Biodiesel dapat digunakan di setiap mesin diesel kalau dicampur dengan diesel mineral. Di beberapa negara produsen memberikan garansi untuk penggunaan 100% biodiesel. Kebanyakan produsen kendaraan membatasi rekomendasi mereka untuk penggunaan biodiesel sebanyak 15% yang dicampur dengan diesel mineral. Di kebanyakan negara Eropa, campuran biodiesel 5% banyak digunakan luas dan tersedia di banyak stasiun bahan bakar. Di AS, lebih dari 80% truk komersial dan bis kota beroperasi menggunakan diesel. Oleh karena itu penggunaan biodiesel AS bertumbuh cepat dari sekitar 25 juta galon per tahun pada 2004 menjadi 78 juta galon pada awal 2005. Pada akhir 2006, produksi biodiesel diperkirakan meningkat empat kali lipat menjadi 1 milyar galon.

concentration to the atmosphere (even though there is doubt whether this benefi t can be realized in practice). Biofuel can also reduce dependence on fossil fuels and increase energy security.

Biofuel as part of the renewable energy concept was introduced in the 1970s as part of an effort to move beyond the development of nuclear and fossil fuels. The most common defi nition is a source of energy which can be replenished quickly by nature, i.e. a sustainable process. According to this defi nition, nuclear and fossil fuels do not belong to renewable energies. One of the products of biofuels is biodiesel, the most common one in Europe. It is produced from oil or fat using transsesterifi cation and is a liquid with a composition similar to mineral diesels. Biodiesel is the sole candidate closest to replacing fossil fuels as the main source of transportation energy in the world, as it is a renewable fuel that can replace diesel petrol in engines at present and can be carried and sold using current infrastructure. Use and production of biodiesel are increasing quickly, particularly in Europe, the United States and Asia, even though it constitutes a small portion of sales in the market. The growth of petrol stations contributes to provision of more biodiesels to consumers and also growth in the number of biodiesel-burning vehicles.

Biodiesel can be used in all diesel engines if mixed with mineral diesel. In several producer countries, there are guarantees given for 100% use of biodiesel. Most vehicle manufacturers limit their recommendations for 15% use of biodiesel, which is mixed with mineral diesel. In most European countries, a mix of 5% biodiesel is widely used and is available at many petrol stations. In USA, more than 80% of commercial trucks and public buses run on diesel. As a result, biodiesel use in America has risen rapidly, from 25 million gallons per year in 2004 to 78 million gallons in early 2005. At the end of 2006, biodiesel production is estimated to increase four times, to 1 billion gallons.

Page 13: Biofuel Final (Cetak)

3

Biofuel; a Trap

Biofuel; untuk siapa? 1.2.

Dari jawaban masyarakat sekitar perusahaan yang berkomitmen akan memproduksi biofuel sudah dipastikan tidak mengetahuinya. Kemudian, apakah mereka membutuhkan biofuel dalam menjalankan kehidupan sehariannya? Tentunya tidak pernah terjawab dengan pasti, karena penduduk di pedesaan, tidak banyak menggunakan bahan kabar minyak, baik yang diproduksi hasil ekploitasi minyak bumi maupun produksi dari bahan tumbuhan. Yang mereka ketahui dalam pemenuhan kebutuhan energy adalah, memasak menggunakan kayu bakar, menghidupkan lampu masih juga menggunakan minyak terbuat dari kelapa, buah kemiri bahkan dari tumbuhan lain yang diproduksi sendiri. Pengalaman ini rupanya memberikan ilustrasi pada penggunaan energy tumbuhan berbasis ketersediaan sumberdaya local. Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan industry biofuel di Indonesia dan dunia.

Sementara di belahan dunia lain, perkembangan pembangunan di banyak Negara sangat pesat, pusat-pusat perdagangan dan industry tumbuh dari tahun ketahun. Produksi kendaraan bermotor roda empat terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di Negara-negara kaya dan Negara-negara berkembang. Sehingga, kondisi ini memacu penggunaan bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat setiap tahunnya. Situasi ini membutuhkan pasokan bahan kabar minyak, khususnya minyak diesel atau solar untuk menjalankan roda pembangunan. Era abad 20, krisis bahan bakar minyak mulai terasa, persediaan minyak menipis, dan kerusakan planet bumi akibat emisi terus berjalan setiap tahun. Perusakan ini mengakibatkan dampak global pada perubahan ikilim dunia.

Biofuel, tidak hanya untuk memenuhi konsumsi global akan kebutuhan minyak Bahan Bakar Nabati (BBN), tapi konsumsi domestik juga tak bisa dikatakan kecil. Jika dalam skala domestic penggunaan energi dari bahan baker minyak bumi mencapai 65 juta kiloliter atau setara 64 miliar liter/tahun dengan rincian sektor transportasi menyerap 48%, industri 19%, rumah tangga 18% dan kelistrikan 15% pertahun, maka untuk konsumesi global, permintaan energi solar dan minyak tanah dunia mencapai 2,487 juta ton/tahun. Maka tak salah jika dikatakan bahwa ketergantungan pada energy minyak bumi sungguh tinggi. Artinya masa depan energy alternative akan cerah sebagai pengganti minyak bumi fosil.

Situasi ini memberikan angin segar atas kebijakan pemerintah Indonesia yang terus menerus menggenjot produksi CPO dari perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2006 produksi CPO mencapai 15,9 juta ton, dan diperkirakan ditahun 2007 produksi mencapai 17,1 juta ton1. Produksi ini terus meningkat setiap tahunnya, jika dilihat

Biofuel; for who? 1.2.

Undoubtedly, the communities living around companies committed to producing biofuel do not know the answer to this. Furthermore, do they need biofuel to run their day-to-day activities? Of course, no defi nite answer can be given as rural people do not use much fuel, be it fossil- or plant-based fuel. What they do know to fulfi l their energy needs is to use fi rewood to cook, they still use oil from coconut and candlenuts or some other plants to light their lamps, This experience apparently illustrates use of energy from local resources. If so, then what is really happening in biofuel industry in Indonesia and the world?

Meanwhile, in other parts of the world, many countries see rapid development; centres of commerce and industry grow from year to year. The production of four wheeled vehicles increases in proportion to economic growth in rich countries and developing countries. Thus, these conditions drive increasing use of fossil fuels. This situation requires supply of petrol fuel, particularly diesel or solar to turn the wheels of development. In the 20th century, fuel crisis started to be tangible, oil supplies were declining and the destruction of the planet from emissions was continuing. This destruction has caused global impacts on the world’s climate change.

Biofuel is not only to meet global demands for plant-based fuel. Domestic consumption is also quite signifi cant. While at domestic level, use of fossil fuels stands up to 65 million kilolitres or equivalent to 64 billion litres/year (transportation sector accounting for 48%, industry 19%, households 18% and electricity 15%),at global level, demand for solar and fossil energy reaches 2.487 million tonnes/year. It is thus not wrong to say that the dependence on fossil fuels is quite high. This means that the there is a bright future for alternative energies to replace fossil fuels

This situation gives a breath of fresh air to Indonesian government policies, which continue to drive CPO production from oil palm plantations. In 2006, CPO production reached 15.9 million tonnes, and was estimated to reach 17.1 million tonnes in 20071. Production continues to increase from year to year viewed from the government’s efforts to expand oil palm plantations. In addition to CPO price reaching U$ 800-900 per ton, the need for raw materials for biofuel production is also a factor driving such expansion. Finally, we fi nd the answer, i.e the need for biofuel of the fuel-greedy developed countries. Biofuel is chosen as the mandated by a worldwide commitment to save the planet. However, will biofuel projects actually save the earth or rather, the opposite will happen? Alternatively, is this merely to satisfy the lifestyle of rich countries, which are still unsatisfi ed with controlling livelihood sources in developing countries such as Indonesia? This haunts the thoughts of all energy and

Page 14: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

4

dari pemerintah terus menggalakkan perluasan (ekspansi) perkebunan kelapa sawit. Selain karena harga minyak mentah CPO mencapai U$ 800-900 per ton, kebutuhan bahan baku untuk bahan bakar biofuel juga menjadi faktor terus digalakkannya komoditas ini. Akhirnya, sudah ditemukan jawabannya, bahwa kebutuhan biofuel untuk Negara-negara maju yang sangat rakus terhadap konsumsi bahan bakar. Pilihan biofuel karena mandatoris dari sebuah komitment dunia dalam menyelamakan bumi. Tetapi, apakah proyek biofuel sebenarnya akan menyelamatkan bumi atau malah sebaliknya? Atau ini hanya sebuah kebutuhan gaya hidup Negara-negara kaya yang masih tetap tidak puas atas penguasaan sumber-sumber kehidupan di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal inilah yang banyak menghantui pikiran semua kalangan pegiat lingkungan dan energy di dunia maupun di dalam negeri Indonesia.

Minyak bumi; 20%

EBT; 17%

Batubara; 33%

Gas Bumi; 30%

Tenaga Air 3,11%

Gas Bumi 28,57%

Batubara 15,35%

Minyak Bumi 51,66%

Panas Bumi 1,32%PLTA 1,9 %

Gas Bumi 20,6 %

Batubara 34,6 %

MinyakBumi 41,7 %

Panas Bumi 1,1 %

PLTMH 0,1 %

OPTIMALISASI

PENGELOLAAN

ENERGIBahan Bakar Nabati (Biofuel), 5 %

Panas Bumi, 5 %

Biomasa, Nuklir, air, Surya, Angin, 5 %Batu bara yang di cairkan (Coal Liqueefaction) 2 %

Energi Mix Tahun 2025(sesuai Perpres No. 5/2006

Energi Mix Tahun 2025(Skenario BaU)

Energi (Primer) Mix saat ini

PERATURAN PRESIDEN No. 5 Tahun 2006SASARAN ENERGI MIX 2025

environmental activists throughout at both domestic and global level.

Page 15: Biofuel Final (Cetak)

5

Biofuel; a Trap

Biofuel ingin menjawab krisis energy 1.3. dan krisis iklim

Penggunaan biofuel bukan saja dilatar belakangi atas kebutuhan bahan bakar semata, tetapi lebih jauh untuk memuaskan para investasi untuk terus menguasai sumber-sumber kehidupan rakyat di belahan dunia lain. Kalau pun di landasi harga minyak bumi dipasar dunia yang terus membumbung tinggi, Kondisi ini menjadi peluang yang memaksa Negara kaya atas kepentingan pasokan bahan bakar minyak bumi untuk mengalihkan perhatiannya pada bahan bakar alternatif. Pilihan ini di yakini, tidak hanya pada harga bahan bakar, tapi persediaan yang mulai menipis serta issu pemanasan global menjadi pemicu berubahnya negara-negara kaya untuk menggunakan bahan bakar Nabati. Investasi pada ladang minyak bumi tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Memindahkan pada sasaran utama pada investasi ladang-ladang minyak nabati dari tumbuhan. Mengingat kebutuhan bahan bakar minyak Negara kaya sangat besar untuk memasok dan menggerakan roda pembangunan negaranya.

Sudah dapat dipastikan, bahwa pilihan ladang minyak nabati akan memberikan dampak yang cukup serius, bahkan dapat memicu terjadinya perang dunia ke III. Kondisi merupakan babak baru abad 21, antar Negara untuk memperebutkan ladang minyak nabati. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang hanya memiliki populasi penduduk sekitar 4 persen populasi dunia membutuhkan 35 persen dari total sumberdaya energy dunia. Artinya tiap warga AS menghabiskan energy delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk negara berkembang, contohnya Indonesia. Sebaliknya, Negara-negara Timur Tengah, Indonesia, Venezuela adalah termasuk Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya energy yang luar biasa jumlahnya, tetapi tidak banyak mengkosumsi energy seperti konsumsinya penduduk negara kaya.

Sudah bisa di hitung kebutuhan energy bagi Negara kaya. Dengan tingkat konsumsi energy yang tinggi dari pasokan Negara berkembang, ini akan berbanding terbalik dengan cadangan energy yang tersedia. Untuk menutupi kekuarangan energy ini, kemudian pilihannya mencari tempat-tempat baru atau ladang energy baru di belahan Negara lainnya, yaitu Negara berkembang seperti Indonesia. Perpindahan penggunaan energy nabati ini bukan datangnya dari persoalan pokok Negara berkembang, tetapi model pembangunan di Negara kaya yang memiliki kecendrungan membawa dampak pada kerusakan lingkungan dan iklim global, maka, mandat isu perubahan iklim menjadi sangat penting untuk beralihnya penggunaan energy yang bersumber dari minyak bumi di alihkan kepada energy yang dapat diperbaharui.

Biofuel aims to address energy and 1.3. climate crisis

Biofuel use is not driven only by a mere fuel need, it is more to satisfy investors to continue controlling livelihood sources in other parts of the world. Even if it is driven by the soaring price of oil on the world markets, the condition has forced rich countries in need of fossil fuel supply to turn their eyes to alternative fuels. It is believed that the fuel price is not the only thrust, but the depleting supplies as well as global warming issue have also driven rich countries to use biofuel. Investing in fossil fuels is no longer an interesting option. They have shifted their main objectives to investing in plant-based oils, considering that rich countries need a great deal of fossil fuels supply to turn their development wheel.

It is a given that the choice of biofuels will bring signifi cant impacts; it can even trigger the World War III. The conditions represent a new chapter in the 21th century in which countries struggle for control over biofuel. For example, America, with a population constituting merely 4% of the world’s population, needs around 35% of the world’s energy resources. This means that each citizen consumes eight times more energy than citizens of developing countries such as Indonesia. Conversely, Middle-East countries, Indonesia, Venezuela are countries that have an extraordinary amount of energy resources, yet do not consume energy in the same way as people in rich countries do

One can calculate the energy needs of rich countries. With high-energy consumption supplied by developing countries, the need is in reverse proportion to the energy reserves available. To make up for this lack of energy, the option is then to seek new places or new energy sources in other parts of the world, namely developing countries such as Indonesia. The move to use bio-energy does not stem from the basic problems in developing countries, but from development models of rich countries, which tend to cause degradation to the global climate and environment. The mandate of climate change to shift from fossil energy to renewable energy is therefore critical.

The use of renewable energy by developed countries is vital to address the fuel crisis in the future. To satisfy this need, the choice falls upon bio-energy or plant-based energy. Rich countries use global warming issues to mask their objective of maintaining their lifestyle as industrial countries. It is an opportunity for rich countries such as America to race ahead to try and to promote this energy. America has taken quick measures by subsidising companies developing Biofuel industry such as Cargill and Monsanto. These two companies produce foodstuffs, and they will convert their soy plantations into corn plantations and shift their production. Should this production shift occur, then it will bring impacts

Page 16: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

6

Penggunaan energy terbarukan atau dapat diperbaharui bagi Negara-negara maju menjadi penting untuk secepatnya di dorong dalam menjawab krisis bahan bakar masa depan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pilihannya jatuh pada energy bio atau energy yang bersumber dari tanaman. Dengan maksud tidak mengganggu gaya hidup sebagai negara industri, negara-negara kaya menjadikan issu pemanasan global sebagai topengnya. Peluang dan kesempatan bagi negara kaya seperti Amerika Serikat berlomba-lomba untuk mendorong energy ini. Amerika Serikat mengambil langkah cepat, dengan mengeluarkan kebijakan tentang subsidi bagi perusahaan yang membangun industry Agrofuel, diantaranya; perusahaan besar Cargill dan Monsanto. Cargill dan Mosanto sebuah perusahaan yang memperoduksi bahan makanan, akan pengalihan produksinya dari perkebunan kacang kedele menjadi ladang perkebunan jagung. Bila situasi pengalihan produk ini dilakukan, maka berdampak pada situasi pangan rakyat di dunia dan harga-harga kebutuhan pokok akan meningkat. Situasi ini menjadi ketertarikan banyak Negara untuk berinvestasi industry biofeul, sehingga, Negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia menjadi pilihan investasi, dimana, kekayaan alam yang subur dan bentang lahan yang cukup luas bagi investasi Negara-negara kaya seperti Uni Eropa dan Amerika serikat2.

Dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin seluruh dunia adalah karena program industry bioenergy ini, masyarakat miskin diseluruh dunia menghadapi ancaman serius dari bencana kelaparan, dan sejak program ini digulirkan, harga bahan makanan seperti gandum, susu, minyak goreng, kedele, gula dan bahan makanan yang berbahan dasar minyak mengalami peningkatan harga dari tahun ketahun. Hingga awal tahun 2008, kondisi seperti ini menggambarkan bahwa akibat konversi bahan baku makanan menjadi bahan bakar energy, dan konversi lahan pertanian, hutan, lahan gambut telah membuat dunia dalam kondisi yang sangat menghawatirkan. Tidak hanya menyebabkan kelaparan, tapi telah memicu pemanasan global dan meningkatnya kemiskinan.

Sudah dapat dipastikan, ancaman perusakan bumi semakin parah dimasa mendatang. Ini persoalan serius dari solusi yang bertentangan dengan kesepakatan Protocol Kyoto. Sebagaimana telah memandatkan beberapa negara penghasil emisi karbon, untuk mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga rata-rata 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Situasi pengurangan emisi ini tidak akan tercapai, bila melihat kepentingan negera-negar maju, bukan untuk mengurangi emisi karbonnya, tapi justru menigkatkan GRK, karena pembabatan hutan, konversi gambut, pembakaran lahan, mengalihan fungsi lahan yang menyumbang emisi terbesar. Tak hanya itu, aktifi tas untuk memproduksi biofuel tak

on the world food situation and prices of staple foods will go up. This situation has made many countries interested in investing in biofuel industry. Thus, developing Asian countries with highly abundant natural resources such as Indonesia become the target of investment of countries such as the European Union and America2.

The most tangible impact felt by poor people all over the world from the bioenergy industry programme is threat of hunger. And since this programme started, foodstuffs such as wheat, milk, cooking oil, soy, sugar and oil-based food products have experienced a surge in price from year to year. Until early 2008, the condition illustrates that the ramifi cations of converting food crops into energy fuel, and conversion of agricultural land, forests and peatland have caused a worrying condition. Not only does it cause hunger, but it has triggered global warming and increased poverty.

It is a given that the threat of global destruction will be worsening in the future. This is a serious problem of a solution that is in direct contradiction to the Kyoto Protocol, which mandates several carbon emitting countries to reduce GHGs during 2008-2012 to the average 5.3% of the emission level in 1990. Reduced emissions cannot will not be achieved in the light of developed countries’ interest, which is not to reduce their carbon emissions but to actually increase GHG levels from forest clearing, peat

Page 17: Biofuel Final (Cetak)

7

Biofuel; a Trap

Tabel 1: Daftar Negara Emiter Karbon CO2 (ton per kapita) List of CO2 Carbon-Emitting Countries (tonnes per capita)

NO NEGARA Tahun 1990 Tahun 2004 NO NEGARA Tahun 1990 Tahun 20041 Amerika 19,3 20,6 9 Mesir 1,5 2,32 Kanada 15,0 20,0 10 Brasil 1,4 1,83 Australia 16,3 16,2 11 Indonesia 1,2 1,74 Rusia 13,4 (1992) 10,6 12 Vietnam 0,3 1,25 Inggris 10,0 9,8 13 India 0,8 1,26 Malaysia 3,0 7,5 14 Nigeria 0,5 0,97 Prancis 6,4 6,0 15 Bangladesh 0,1 0,38 Cina 2,1 3,8 16 Ethopia 0,1 0,1

Source: 2004 Kyoto Protocol publication

jarang menggunakan cara-cara yang justru memperparah konsentrasi GRK diatmosfer.

Amerika sebagai contoh, warganya dalam setahun menghabiskan sekitar 530 miliar liter bahan bakar minyak dan 19 miliar liter bahan bakar ethanol. Dan hasilnya? AS menjadi pemasok gas rumah kaca (GRK) tertinggi di dunia, mencapai empat hingga lima kali emisi rata-rata dunia. GRK inilah penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim.

conversion, land burning and land use conversion, which are all contributing the largest levels of emission. In addition to that, biofuel production frequently uses methods that in fact increase GHG concentrations in the atmosphere.

Americans, for example, use 530 billion litres of fossil fuels and 19 billion litres of ethanol. And what is the result? America is the largest producer of GHG in the world, producing up to fi ve times the average world emissions. GHGs are the main cause of global warming and climate change.

Perubahan iklim disebabkan dari kegagalan pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara maju dan berdampak pada negara berkembang. Pembangunan yang berwatak kapitalisme cendrung menghisap akan melakukan praktek menggusur sumber-sumber kehidupan rakyat sehingga menurunkan fungsi alam, merupakan salah satu bentuk gagalnya pembangunan global. Sampai hari ini, berdasarkan protokol kyoto, negara industri seharusnya mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 5,2 persen pada 2008-2012 dibandingkan dengan tingkat emisi pada 1990, tapi, dalam satu decade saja, emisi karbon dioksida (CO2) mereka tak banyak turun, malah meningkat. Sumbangan besar karbon dioksida (CO2) dari negara Amerika serikat (20,6 ton perkapita), Kanada (20,0), Asutralia (16,2), Rusia (10,6), Inggris (9,8), Malaysia (7,5), Prancis (6,4), selebihnya beberapa negara menghasilkan CO2 dibawah 4 ton perkapita. Bila di bandingkan sesungguhnya, penghasil emisi terbesar adalah negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Climate change is caused by a failure in the development in developed countries and adversely affect developing countries. Capitalist development, which tends to suck dry livelihood sources of the people thus reducing the functions of nature, represents one of the failures of global development. Under the Kyoto Protocol, industrial countries should reduce GHG emissions by around 5.2 percent during 2008-2012 compared to the emission level in 1990, but in the last decade, their CO2 emissions did not signifi cantly decrease but rose instead. Large contributions of C02 come from America (20.6 tonnes per capita), Canada (20.0), Australia (16.2), Russia (10.6), England (9.8), Malaysia (7.5), France (6.4), and several other countries emitted less than 4 tonnes of C02 per capita. If realistically compared, the largest producers of emission turned out to be developed countries like America and European countries.

Page 18: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

8

Program pengembangan dan penggunaan biofuel di beberapa negara Biofuel development and use programmes in several countries

Program Yang Dijalankan Negara/Country Programme Implemented

Pada tahun 2012 ditargetkan menghasilkan sekitar • 7,5 miliar gallon ethanol

America Targeting tp produce 7.5 billion gallons of ethanol by • 2012

Pengembangan Ethanol berbasis jagung• Developing corn-based ethanol• Memperlakukan proteksi tariff sebesar 2.5% plus • 54 cents per gallon

Imposing a protection tariff of 2.5% plus 54 cents • per gallon

Insentif pajak sebesar $0,01 per gallon• Imposing a tax incentive of $0,01 per gallon• 80% produksi biodiesel berasal dari kedele • Targeting 80% of biofuel production coming from soy • Mengeluarkan Renewable Fuel Standard• Issuing Renewable Fuel Standard• Mensyaratkan campuran ethanol 25% dalam • gasoline

Brazil Imposing 25% ethanol content in gasoline•

Memperlakukan proteksi berupa tarif sebesar 20%• Imposing a protection tariff of 20%• Kebijakan pajak khusus bagi industri ethanol• Imposing special tax policies to the ethanol industry• Pengembangan ethanol berbasis jagung• China Developing corn-based ethanol• Memberlakukan E-10 (campuran 10% ethanol) di • 5 propinsi

Imposing an E-10 (10% ethanol content) in fi ve • provinces

Pengembangan ethanol berbasis gula• India Developing sugar based ethanol• 5% ethanol dalam seluruh gasoline• Imposing 5% ethanol in all gasoline• Kebijakan membeli biodiesel• Imposing biodiesel purchasing policies• Pemberlakukan tarif impor sebesar 186%• Imposing an import tariff of 186%• Penggunaan biofuel 2% (2005) dan 5,75% (2010) • dari total kebutuhan energy

Eupean Union

Imposing a 2% (2005) and 5.75% (2010) use of • biofuel of the total energy needs

Pegenaan tarif impor sebesar $87 cent per gallon• Imposing a tariff of $87 cent per gallon• Pengembangan ethanol berbasis gula• Argentina Developing sugar based ethanol• Memberlakukan E-5 selama 5 tahun• Imposing E-5 for fi ve years• Pengembangan ethanol berbasis gula• Columbia Developing sugar based ethanol• Memberlakukan E-10 di 10 kota besar• Imposing E-10 in 10 major cities• Pengembangan ethanol berbasis gula• Venezuela Developing sugar based ethanol• Memberlakukan E-10 secara bertahap diwilayah • seluruh Venezuela

Imposing E-10 gradually throughout Venezuela•

Tujuan jangka panjang adalah menggantikan • sekitar 20% kebutuhan minyak dengan biofuel atau liquid natural gas (LNG)

Japan Targeting to replace 20% of oil needs with biofuel or • liquid natural gas (LNG) in the long term

Sebanyak 45% gasoline menjadi E-10 pada tahun • 2010

Canada Targeting up to 45% gasoline to be E-10 in 2010•

Pengenaan tarif impor sebesar $19 cents per • gallon

Imposing a tariff import of 19 cents per gallon•

Memberlakukan E-5 di seluruh negara• Sweden Imposing E-5 nationwide• Memberlakukan E-10 pada tahun 2007 di seluruh • Thailand

Thailand Imposing E-10 throughout Thailand by 2007•

Pemanfaatan biofuel sebesar 2% energy mix pada • tahun 2005-2010, 3% energy mix pada tahun 2011-2015, dan 5% energy mix pada tahun 2016-2025

Indonesia Targetting 2% of biofuel use during 2005-2010, 3% • energy mix during 2011-2015, and 5% energy mix during 2016-2025

Sumber: Sunarsip, dalam Belajar dari Pengembangan biofuel negara lain. Investor Daily, 28 Maret 2007

Page 19: Biofuel Final (Cetak)

9

Biofuel; a Trap

It is clear that as CPO supplies for biofuel are increasing, oil palm plantations are expanding annually. Directly, biofuel projects have displaced communities out of their land, prevented poor communities from practicing their subsistence farming, and forced poor communities to adapt to nutritional needs. Then, whose interests does the issue of energy needs serve? Why does it have to sacrifi ce the welfare of Indonesian people?

Sudah jelas, pemenuhan kebutuhan bahan baku CPO untuk biofeul menjadi meningkat, maka perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi setiap tahunnya. Secara langsung proyek biofeul dengan perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengusir masyarakat dari lahannya, telah membuat masyarakat miskin tidak bisa bertani subsisten lagi, telah membuat masyarakat miskin beradaptasi mengubah kebutuhan gizi. Maka persoalan pokok kebutuhan energy ini kepentingan siapa ? Sehingga harus mengorbankan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

Pemain dibalik industri Biofuel

Investor in Indonesian Biofuel Sectors3

INVESTORS INVESTMENT, ETC.

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI)

2006, BNI disbursed Rp 3.35 trillion credit to 50 debtors for biofuel development, with a total land of 411,000 ha. As for 2007, the bank is to allocate 50% of its planned corporate credit of Rp 10 trillion to the agribusiness sector, starting with Rp 1.2 trillion credit to six companies to develop plantations in East Java, East Sumba and Lampung.4 BNI has also signed MoU with the six companies, which are Sampoerna Agro, Sungai Budi Group, Rekayasa Group, Sinarmas Group, Musimas Group, and Bio Energi Indonesia.5

Bank Republik Indonesia (BRI)

In 2006, BRI allocated Rp 4 trillion (US$ 439 million) for agribusiness sector, including biofuel plantation development6. It projects to disburse a total credit of Rp 12 trillion for smallholders and Rp 11 trillion for factory development by 2010.7

Bank Mandiri To support the government program in revitalizing the agriculture sector and biofuel sector development, Bank Mandiri provided a total credit of Rp 11.08 trillion in 2006.8 The bank has signed MoU with four companies, namely Sinar Mas Group, Incassi Raya, Permata Sawit, and Satria Group, with a total credit value of US$ 432 million, or Rp 3.9 trillion.9

Bank Bukopin 2006, Bank Bukopin provided Rp 1 trillion for the agriculture, including biofuel, development.10

Bank Daerah Sumatra Barat

Bank Daerah Sumatera Barat offers a total credit of Rp 980 billion for the agriculture, including biofuel, development.11

Bank Daerah Sumatra Utara

Bank Daerah Sumatera Utara offers a total credit of Rp 500 billion for the agriculture, including biofuel, development.12

Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW)

The German development bank has exspressed its commitment to invest Rp 2 trillion in biofuel development projects in Indonesia.13

Japan Bank for International Cooperation (JBIC)

JBIC has expressed its commitment to provide unlimited credit for biofuel development in Indonesia, with a semi-commercial loan interest of 12%.14

China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) and Hong Kong Energi

Incooperation with Sinarmas Group, CNOOC and Hong Kong Energi develop 8-year-term biofuel projects worth US$ 5.5 billion in Papua and Kalimantan.15 The projects require 1 million hectares of land.

Players behind the biofuel industry

Investors in the Indonesian biofuel sector3

Page 20: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

10

Chinese Government Chinese and Indonesian governments, in July 2005, signed MoU on Malindo project, which is part of North Kalimantan (to Malaysian border) regional development and includes developments of large scale infrastructure network and a 1,800,000-hectares plantation along the Indonesia-Malaysia border.16

Genting Biofuel, a Malaysian company, in partnership with Merauke District Government and PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB)

Genting Biofuel invests US$ 3 billion in biofuel development in Jayapura.

REI Harizon The biofuel company is to invest US$ 500 million (Rp 4.55 trillion) to support biofuel development in Indonesia.17

The United States Agency for International Development (USAID), through its Agribusiness Market and Support Activities (AMARTA) programme, in partnership with Development Alternatifs Inc.

USAID provides a three-year investment of US$ 13.75 million for equipment and technical facilitation in the agribusiness sector, especially in cocoa, coffee, high yielding horticulture (fruit and vegetable), fi shery, spices, animal husbandry and biofuel.18

Other international investors are19:

Mitsubishi, Itochu, Mitsui (Japanese)- PT Platinum Energi Biofuel (US)- Greenergi Pvt Ltd (Indian)- EN3 Co Ltd (South Korean)- Petrobras (Brazilian)-

Page 21: Biofuel Final (Cetak)

11

Biofuel; a Trap

BAGIAN II

POTRET BURAM INDUSTRI BIOFUEL DI SUMATERA (Sebuah Catatan Dari Lapangan)

Bisakah dikatakan biofuel menjanjikan energy altenatif, jika pada aktiftasuntuk memproduksinya(hulu hingga hilir) justru menghilangkan lahan pangan sebagai sumber energy masyarakat? Bisakah dikatakan projek biofuel (hulu hingga hilir) menjanjikan kesejahteraan melalui ketersediaan tenaga kerja, ketika aktiftasnya (hulu dan hilir) justru menggusur lahan-lahan produktif milik masyarakat? Dan layakkah dikatakan bahwa biofuel akan menjawab persoalan pemanasan global, ketika aktifi tasnya (hulu dan hilir) justru membongkar gambut sebagai bank karbon, menggunduli hutan sebagai penyerap karbon, melepas karbon dengan membakar hutan dan membakar bahan bakar dari fossil?

Dari banyak mitos yang dilahirkan oleh banyak pihak tentang biofuel. Tentang kemampuannya menjawab persoalan pemananasan global akibat terus meningkatnya GRK akibat aktifi tas manusia, semakin menipisnya persediaan minyak fossil diperut bumi, dan persoalan kemiskinan. Studi kasus ini akan mengupas panjang tentang fakta dibalik mitos tersebut. Informasi dari lapangan ini, bukan dilakukan dalam waktu singkat, tapi adalah informasi yang terus berkesinambungan, dikarenakan lokasi yang menjadi areal untuk studi lapangan adalah lokasi yang menjadi lokasi dampingan dari yayasan SETARA, Perkumpulan Elang dan juga Walhi Sumatera Selatan.

Can biofuel be said to bring an alternative energy when the entire production processes eliminate cropland, the source of communities’ energy? Can it be said to bring prosperity through provision of job opportunities when it displaces communities’ productive land? Is it appropriate to say that biofuel is the answer to global warming when it removes peat forests – our carbon bank, strips off forests – our carbon sinks, emits carbon from forest burning and burns fossil fuel?

There are a substantial number of myths about biofuel: about its ability to serve as an answer to global warming caused by the increasing green house gases (GSGs) from human activities, to the depleting fossil fuels, and to poverty. This study case will extensively elaborate the facts behind the myths. The studies cover a considerable length of time and hence provide continuous information as the areas analysed were the project site of Yayasan SETARA, Perkumpulan Elang as well as Walhi South Sumatera region.

PART II

BIOFUEL DOOM IN SUMATERA(A Note from the Field)

Gambar grafi kFigure:

Lokasi industri biofuel didaratan Sumatera/ Hot spots of biofuel industry in mainland Sumatera1

Page 22: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

12

2.1. Biofuel di Jambi; menikam jantung Sumatera

Secara geografi s propinsi Jambi terletak pada pantai timur pulau Sumatera berhadapan dengan laut Cina Selatan dan Lautan Pasifi c, pada alur lalu lintas Internasional dan Regional. Luas wilayah Jambi + 53.435,72 Km2, terdiri dari luas daratan 51.000 Km2, luas lautan 425,5 Km2 dan panjang pantai 185 Km. Batas-batas wilayah Jambi; sebelah Utara dengan Propinsi Riau, sebelah selatan dengan Propinsi Sumatera Selatan, sebelah Barat dengan Propinsi Sumatera Barat dan sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan. Propinsi Jambi termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT). Jarak tempuh Jambi ke Singapura jalur laut melalui Batam dengan menggunakan kapal cepat (jet-foil) ± 5 jam. Dengan luas + 5.100.000 hektar, kekayaan sumberdaya alam yang dimliki Jambi, sangat luar biasa, mulai dari sumber minyak bumi, pertambangan, hasil hutan, perkebunan dan pertanian. Selain itu keragaman sosial yang cukup tinggi, dengan hadirnya suku anak dalam yang tersebar di beberapa wilayah Jambi. Dengan luas wilayah 5,1 juta hektar, jumlah penduduk jambi hasil sensus ekonomi Nasional tahun 2006 sebanyak 2.683.099 jiwa terdiri dari 1.365.132 jiwa laki-laki dan 1.317.967 jiwa perempuan. Secara administrasi Jambi memiliki 9 Kabupaten, 1 Kota, 103 Kecamatan dan 1.214 Desa dan 128 Kelurahan.

Provinsi ini menjadi salah satu target utama investor perkebunan kelapa sawit yang akan berinvestasi di industry biofuel. Berdasarkan data SETARA tahun 2007, investor besar yang menanamkan uang di provinsi Jambi bergerakdi sector perkebunan kelapa sawit adalah Sinar Mas, Raja garuda Mas, Astra Group, Bakri Group, Minamas Groups dan Wilmar Groups. Hampir semua perusahaan yang memiliki Groups besar mengincar bisnis Biofeul di Jambi. Terbilang bisnis yang menjanjikan masa depan untuk meraup keuntungan yang sangat besar.

Lihat saja, dari tahun ketahun pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi bisa dikatakan sangat dinamis, dimana setiap tahun mengalami peningkatan jumlah areal. Hingga tahun 2006 perkebunan kelapa sawit telah mengalami pertumbuhan yang sangat signifi cant, dari 365.304 Ha ditahun 2004 meningkat menjadi 403.467 ha, tahun 2005, dan ditahun 2006 kembali mengalami peningkatan mencapai 422.888 Ha atau naik mencapai 4,81%, hingga tahun 2008 luas perkebunan kelapa sawit dipropinsi yang terletak tepat di jantung Sumatera ini mencapai 450.000 Ha2. artinya terjadi penambahan areal perkebunan sekitar 40.000-60.000 Ha/tahun Komoditas menjadi tumpuan energi alternatif masa depan, mampu menghasilkan devisa yang tinggi bagi provinsi Jambi. Jika pada tahun 2004 volume ekspor yang mencapai 4.350.000

2.1. Biofuel in Jambi; piercing the heart of Sumatera

Geographically, the province of Jambi is located in the eastern coast of Sumatera Island, next to the South China Sea and stretches to the western edge of the island and lies in the regional and international route. It encompasses +53,435.72 km2, comprising 51,000 km2 of land and 425.5 km2 of sea, with the coastline along 185 km. It borders on the province of Riau in the north, the province of South Sumatera in the south, the province of West Sumatera in the west and the South China Sea in the east. It lies within the Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT). It takes ±5 hours in jetfoil to get to Singapore from Jambi via Batam. With +5,100,000 hectares (ha) of forest, it contains rich natural resources: oil, minerals, forest products, plantations and agriculture. It also harbors social diversity, with the Suku Anak Dalam indigenous people spreading in some of the province. Encompassing 5.1 million has of land, it is home to 2,683,099 people according to the 2006 National Census, comprising 1,365,132 men and 1,317,967 women. Administratively, it is made up of 9 districts (kabupaten), 1 city, 103 sub-districts (kecamatan) and 128 villages (kelurahan) and 1,214 hamlets.

The province has become one of the main targets of palm investors investing in biofuel industry. Based on the 2007 SETARA’s data, large investors investing in palm plantations include Sinar Mas, Raja garuda Mas, the Astra Group, the Bakrie Group, the Minamas Group and the Wilmar Group. Nearly all large company groups are turning their eyes to biofuel business in the province as it promises a huge fortune.

The data show that oil palm plantations were fl ourishing from year to year. They grew signifi cantly up to 2006, from 365,304 Ha in 2004 to 403,467 ha in 2005. In 2006, they grew to 422,888 Ha, an increase of 4.81%. Up to 2008 the total area of oil palm plantations in the heart of Sumatera fetched 450,000 Ha2, which means an increase of 40,000-60,000 Ha per year. The commodity expected to be an alternative energy for the future was capable to bring enormous foreign currency for the province. While the 2004 export totalled 4,350,000 kg or equal to US$1,457,000, the 2005 export rose to 97,858,360 kg or equal to US$43,417,070. In 2006 it, however, dropped to 93,000,000 kg or equal to US$31,750,000. Despite this, the provincial government still opened much room for the sector to grow. It targeted to open a total 588,441 ha of oil palm plantations with the estimated annual productivity standing up to 2,854,103 ton3.

The oil palm ‘fever’ infected not only the provincial government but also the districts’. Forests and agricultural land had been converted to oil palm plantations. The district of Tanjung

Page 23: Biofuel Final (Cetak)

13

Biofuel; a Trap

PETA

LUAS PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN

PRODUKSI

DI PROPINSI JAMBI

TAHUN 20055

THE SIZE AND TH EPRODUCTION

OF OIL PALM PLANTATIONS IN

JAMBI PROVINCE IN 20055

68.504 Ha181.294 ton

14.663 Ha13.254 tons

63.878 Ha146.046 tons

77.530 Ha205.982 tons

40.493 Ha124.728 tons

37.283 Ha72.810 tons

101.116 Ha192.481 tons

kg dengan nilai 1.457.000 US$, maka volume ekspor tahun 2005 meningkat menjadi 97.858.360 kg dengan nilai 43.417.070 US$. Tapi terjadi penurunan volume eksport ditahun berikutnya yakni tahun 2006 yang volumenya hanya mencapai 93.000.000 kg dengan nilai juga menurun yaitu 31.750.000 US$. Tapi walaupun terjadi penurunan nilai ekpor tidaklah mempengaruhi rencana pemerintah untuk tetap memberikan ruang lebar bagi pertumbuhan sektor ini. Sehingga pemerintah Jambi menargetkan luas areal perkebunan 588.441 hektar dengan prediksi produktifi tas mencapai 2.854.103 ton CPO/tahun3.

Demam sawit tak hanya menjangkiti pemerintah propinsi Jambi saja, tapi telah menulari kabupaten-kabupaten yang ada dipropinsi Jambi, dari menebang hutan menjadi kebun sawit hingga menyulap padi dan sawah-sawah menjadi pohon sawit. Misalnya saja, Kabupaten Tanjung Jabung Timur akan menanam kelapa sawit disawah-sawah yang dianggap tidak produktif lagi4.Program sawitisasi di Jambi dimulai tahun 2000, walau sebenarnya kebun kelapa sawit telah ada ditahun 1986 dimana pada tahun ini luasnya hanya mencapai 6000 Ha saja. Masuknya projek pengembangan perkebunan kelapa sawit mengikuti perkembangan transmigrasi. Selain pohon karet, kelapa sawit menjadi komoditas yang membutuhkan mobilisasi tenaga kerja dan petani, yang kemudian program sawinisasi di masukan kedalam program pengentasan kemiskinan dan program pemerataan pembangunan yang diusung oleh Orde Baru.

Tapi sangat disayangkan bahwa rencana masa depan perkebunan dipropinsi Jambi tidak pernah dituangkan dalam cetak biru (blueprint) rencana kerja pembangunan perkebunan kelapa sawit, sehingga tak mengherankan jika dalam perkembangannya tidak pernah mengikuti kaedah-kaedah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) apalagi kaedah-kaedah lingkungan dan sosial. Sehingga sector ini memberikan sumbangan lebih besar atas terjadinya konfl ik sosial dan lingkungan di Jambi.

Jabung Timur, for example, had set out to plant oil palms on agricultural land considered to be no longer productive4. The ‘palm-isation’ in Jambi started in 2000 although oil palm plantations had existed in 1986, totalling only 6,000 Ha. The expansion began in line with the transmigration project. In addition to rubber, oil palms require mobilisation of labour and farmers. It was then that the ‘palm-isation’ was incorporated into the poverty alleviation programme and the equally-distributed development programme set out by the New Order Regime.

It is a pity, however, that the provincial future plan of plantation sector has never been actualised in the blueprint of oil palm plantation development work plan. It is therefore no surprise that the sector has been developed in violation of the provincial spatial planning (RTRW), let alone the environmental and social principles. Hence, the sector has given greater contribution to the social and environmental confl icts in Jambi.

The provincial oil palm plantation development plan is to be based on the Strategic Plan of Agricultural Department, the Regional Development Programme (Propeda) and the 2001-2005 Provincial Strategic Plan. The goals are to be achieved through two programmemes: agribusiness development programmeme, and food sustenance and security development programmeme. But, is true that oil palm plantations help to achieve food sustenance and security in the province? Or are they the cause of the disappearance of communities’ cropland and rice fi elds, which have long served as their sources of food?

Page 24: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

14

Lokasi yang menjadi target projek Biofuel/Biofuel’s targeted location6

Rencana perkebunan kelapa sawit di Propinsi Jambi adalah meletakkan RENSTRA Departemen Pertanian, Program Pembangunan Daerah (propeda) dan RENSTRA provinsi tahun 2001-2005 sebagai landasan pengembangan. Dengan sasaran yang telah ditetapkan dilaksanakan melalui dua program yakni program pengembangan agribisnis dan program pengembangan ketahanan dan keamanan pangan. Tapi benarkah kehadiran perkebunan kelapa sawit telah membantu terlaksananya ketahanan pangan propinsi Jambi? Ataukan justru menjadi penyebab hilangnya kebun dan sawah yang selama ini sebagai sumber pangan masyarakat berganti perkebunan kelapa sawit?

2.1.1. Hotspots proyek industri biofuel di propinsi Jambi

Biofuel atau kini lebih dikenal dengan Agrofuel adalah minyak atau energi yang diproduksi dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung kadar minyak (minyak sawit, kedele, bunga matahari, buah jarak dll) yang akan menghasilkan biodiesel dan tumbuhan yang berserat dan berpati serta mengandung gula tinggi (jagung, tebu, singkong dll) yang akan menghasilkan bioethanol. Kedua produk inilah yang kelak akan menggantikan penggunaan minyak yang berasal dari perut bumi/fossil dan batu bara. Jika biodiesel diharapkan mampu menggantikan solar, maka bioethanol diharapkan akan mampu menggantikan bensin. Jadi cukup sudah, bahwa nantinya kendaraan bermotor tidak lagi mengepulkan asap dari pembakaran minyak bumi, tapi dari pembakaran minyak tumbuhan.

Secara nasional, program ini telah resmi bergema di Indonesia sejak presiden mengeluarkan instruksi presiden No 1 tahun 2006 tentang suply dan pemanfaatan biofuel sebagai energi alternatif, dan Keputusan Presiden No. 10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional percepatan pembangunan Biofuel. Dan sejak saat itu seluruh program yang ditelurkan oleh pemerintah, adalah untuk mendukung program ini. Ada program PPAN/Program Pembaharuan Agraria Nasional yang menyediakan lahan seluas 8 Juta Ha, dan program Rehabilitasi Lahan dengan konsep Hutan Tanaman Rakyat seluas 9 juta Ha, untuk program revitalisasi perkebunan telah disiapkan lahan seluas 2 juta Ha, dan sedangkan untuk program Bahan Bakar Nabati sendiri telah mengalokasikan lahan seluas 5 Juta Ha, dan keseluruhan program pemerintah ini terintegrasi dengan kebijakan-kebijakan fi nansial atau perbankan. Dimana model kredit yang akan dikucurkan nantinya memiliki syarat bahwa pembangunan kebun kelapa sawit untuk mendukung program pemerintah tentang BBN akan menjadi prioritas pendanaan.

2.1.1. Hotspots of biofuel industry projects in Jambi province

Biofuel or popularly known now as Agrofuel is the oil or the energy produced from oil-bearing plants - oil palm, soybean, sunfl ower, castor-oil plant, etc., from which biodiesel is produced – and from fi brous, tuberous and sugary plants - corns, sugarcane, cassava, etc., from which bioethanol is produced. It is these two products that are to replace fossil fuel and coal. Biodiesel is to replace solar, and bioethanol is to replace gasoline. So, future automobiles will no longer be fossil fuel-combustion engines but biofuel-combustion engines.

At national level, the programme was offi cially launched when the president issued Presidential Instruction No. 1 Year 2006 on supply and use of biofuel as an alternative energy, and Presidential Decree No. 10 Year 2006 on the forming of the national team for biofuel development acceleration. All the following programmes have since been to support the programme. Examples include the National Agrarian Reform Programme (PPAN), which reserves 8 million ha of land, and the Community’s Plantation Forest-based Land Revitalisation Programme, which reserves 9 million ha of land. For the plantation revitalisation programme, the government reserves 2 million ha of land and for the biofuel programme, it reserves 5 million ha of land. All the programmes are integrated with the government’s fi nancial or banking policies. All the associated credits granted will give priority to oil palm plantations supporting the government’s biofuel programmes.

Page 25: Biofuel Final (Cetak)

15

Biofuel; a Trap

Sudah bisa di pastikan, atas kebijakan pemerintah daerah yang mengacu pada strategis pembangunan Nasional , menjadikan komoditas kelapa sawit menjadi utama. Sejak program BBN secara nasional di luncurkan, pemerintah propinsi Jambi lansung menyatakan, bahwa Jambi paling siap dengan program pemerintah tersebut. Dimana direncanakan Jambi akan membangun kebun mencapai 1 juta Ha yang akan mensuplay bagi perusahaan minyak goreng dan juga pabrik yang akan memproduksi biofuel. Diantara banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit, ada 2 perusahaan yang sedang bekerja keras untuk membangun industry biofuel, diantaranya:

Perusahaan Bakri Groups

PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (PT.BSP Tbk) dan PT Rekayasa Industri membentuk perusahaan patungan membangun pabrik biodiesel dengan bendera perusahaan baru PT Bakrie Rekin Bio-Energy. Pabrik yang direncanakan berkapasitas 60.000 ton s/d 100.000 ton biodiesel per tahun. Pabrik yang dibangun dengan investasi bernilai sekitar 25 juta dollar AS, komposisi kepemilikan saham perusahaan patungan itu, 70% dimiliki PT BSP dan 30% oleh Rekayasa Industri. Perusahaan ini menargetkan ekspor 70% dari 100 ribu ton biofuel yang akan dihasilkan pabriknya berlokasi di Batam. Pada Oktober 2008 perusahaan ini akan mulai produksi perdana sekitar 15 ribu ton sampai akhir 2008 dan pada 2009 baru mencapai kapasitas maksimal 100 ribu ton per tahun. Hasil produksi akan diutamakan ke pasar domestik.

Perusahaan patungan ini berupaya memproduksi biodiesel bukan hanya dengan bahan baku minyak kelapa sawit tetapi juga pohon jarak. Rekayasa Industri yakin tidak mendapatkan kendala dari sisi teknologi. Satu-satunya hambatan adalah ketersediaan pasokan bahan baku. Melalui kerja sama dengan Bakrie kendala tersebut mampu diatasi.

Sementara, perusahaan Group Bakri di wilayah Jambi telah beroperasi sejak memperoleh izin lokasi ditahun 1991 dan memperoleh sertifi kat HGU ditahun 1995 dengan bendera perusahaan PT. Agrowiyana yang berlokasi diwilayah Tebing Tinggi Tungkal Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Menurut laporan tahunan group ini, lahan perkebunan yang beroperasi di Jambi yang sudah eksisting mencapai 17.147 Ha dengan rincian 9.356 Ha adalah perkebunan inti, dan selebihnya adalah perkebunan plasma atau sekitan 7.701 Ha. Selain memiliki areal perkebunan yang sudah berproduksi group ini juga memiliki lahan seluas 1.500 Ha yang sedang dalam pembangunan kebun, dan memiliki land bank mencapai 17.000 Ha yang tentunya juga disiapkan untuk mendukung pembangunan perkebunan kelapa sawit. Jika lahan yang sudah ada adalah untuk suplay bahan baku pangan, maka lahan-lahan yang dalam proses pembangunan

It is clear that regional regulations, which refer to the national development strategy, will give priority to oil palm. Since the launching of the national biofuel programme, the Jambi provincial government immediately said that Jambi was the province most prepared to such a programme, and that it planned to open up to 1 million ha of oil palm plantations to supply cooking oil companies and biofuel producers. Among the many oil palm companies, two are working hard to develop the biofuel industry, namely:

Bakrie Groups

PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (PT.BSP Tbk) and PT Rekayasa Industri forms a joint venture biodiesel company named PT Bakrie Rekin Bio-Energy, slated to produce 60,000 – 100,000 tons of biodiesel annually. The US$25-million company is owned by PT BSP and Rekayasa Industri, which hold 70% and 30% of shares respectively. The company sets a target of exporting 70% of the 100,000 tons of biofuel produced by its Batam-based plant. In October 2008 it started its fi rst production of 15,000 tons up to the end of 2008. In 2009 the maximum capacity will be reached with most of the production sold on the domestic market.

The joint venture company attempts to produce biodiesel not only from oil palms but also jatropha. PT Rekayasa Industri is sure the company will not have any technological obstacles. The only obstacle is the availability of continuous supply. However, it is convinced that the problem will be solved through cooperation with Bakrie.

In the meantime, the Bakrie Group had started operating in Jambi after obtaining a permit in 1991 and HGU certifi cate (use permit) in 1995 for its subsidiary PT. Agrowiyana located in Tebing Tinggi Tungkal Ulu, Tanjung Jabung Barat district. According to its annual report, the company had set up a total 17,147 Ha of oil palm plantations, comprising 9,356 Ha of nucleus plantations and 7,701 Ha of smallholder (plasma) plantations. In addition to the already producing plantations, the company was setting up another 1,500 Ha of plantations and had had a 17,000-ha land bank, which was surely reserved for oil palm plantations. While the existing oil palm plantations were producing food raw materials, the land being processed was sure to supply the biofuel plants, which were slated to operate in 2008.

It seems that the Bakrie Group is doing its best to keep up with other players. When the CPO price rose on the international market, and the demand kept soaring, the Group’s subsidiary Bakrie Sumatera Plantation would keep expanding its plantations to 200,000 ha in 2011. (Currently, it controls 87,415 ha of plantations, including those of oil palm and rubber). For a start, BSP would extend the plantations to 50.000 ha7. This 50,000 ha plantation would be managed

Page 26: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

16

baru tentunya akan disiapkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biofuel yang direncanakan tahun 2008 ini sudah siap berproduksi.

Sepertinya Bakri group tak mau kalah dengan pemain minyak sawit lainnya, ketika hagra CPO terus meningkat dipasar dunia, dan terus meningkatnya kebutuhan dipasar dunia akan bahan baku pangan dan biofuel, Bakri Group dibawah holding Bakri Sumatera Plantation akan terus memperluas perkebunan hingga mencapai 200.000 Ha ditahun 2011 (saat ini luas perkebunan mencapai 87.415 Ha, termasuk kebun sawit dan karet). Untuk memulainya, dalam tiga tahun ini BSP akan menambah perkebunan seluas 50.000 Ha7. Lahan seluas 50.000 Ha tersebut akan digarap oleh Indo Green International, perusahaan patungan Bakri Sumatera Plantations dan sejumlah investor asing, penambahan alahn tersebut diperkirakan akan menelan biaya sekitar 260 juta dollar AS, dari jumlah tersebut sekitar 31% akan disediakan oleh BSP dan selebihnya sekitar 69% akan disediakan oleh konsorsium investor asing.

Selain PT Agrowiyana, ada perusahaan lokal yang mereka beli dipertengahan tahun 2007, dan perusahaan yang beroperasi di kabupaten Muaro Jambi ini berada dibawah managemen Bakri Sumatera Plantation/BSP, nama perusahaan tersebut adalah PT Sumberpratama Nusa Pertiwi (PT NSP) yang tidak hanya memiliki kebun tapi juga memiliki pabrik pengolahan CPO. PT NSP yang sebelumnya adalah dimiliki oleh perusahaan lokal ini, beroperasi diatas lahan bergambut, sehingga menurut informasi Humas PT Agrowiyana, hampir setiap tahun kebun sawit yang luasnya mencapai 8000 Ha untuk kebun inti dan 1.600 Ha untuk plasma selalu terendam banjir jika musim hujan tiba, dan selalu terbakar jika musim kering tiba. Potensi kerugian yang besar jugalah yang mendorong perusahaan ini memakai skema kemitraan denga pola 80:20, untuk menutup kerugian yang dialami oleh perusahaan.

Group Bakri, perusahaan milik keluarga Bakri ini memang serius terjun dalam bisnis biofuel. Terbukti telah membangun perkebunan yang akan dijadikannya kebun energy. kemampunannya membaca peluang, selama kurun waktu 1 tahun (2006-2007), group ini mampu melakukan ekspansi disektor perkebunan, dalam setahun saja perusahaan ini telah menambah perusahaan perkebunannya dari hanya berjumlah 4 unit ditahun 2006 menjadi 8 unit ditahun 20078. tak hanya keseriusannya untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku pangan, group yang pernah digawangi oleh Aburizal Bakri ini juga melirik energy terbarukan sebagai rencana dimasa depannya. Tak ayal Bakri Sumatera plantation sebagai holding company untuk sektor perkebunan mendirikan PT Bakri Rekin Bioenery dipertengahan tahun 20079. Untuk mengembangkan usaha disektor energy terbarukan, group yang juga menekuni sektor telekomunikasi ini, telah menyiapkan lahan seluas 25.000 Ha di propinsi Jambi, dari luas tersebut sekitar 15.000 Ha akan dibangun di Kecamatan Koto VII dan Koto

by Indo Green International, a joint venture company of Bakrie Sumatera Plantations and a number of investors. The expansion was estimated to cost 260 million US dollars, 31% of which would be provided by BSP and the rest by a consortium of foreign investors.

In addition to PT Agrowiyana, the Group bought a local company, PT Sumberpratama Nusa Pertiwi (PT NSP), in mid-2007. The company located in Muaro Jambi district was managed by Bakrie Sumatera Plantation/BSP and had both plantations and CPO processing plants. The formerly local-owned plantations comprised 8,000 ha of nucleus and 1,600 ha of smallholder (plasma) plantations. According to the Public Relations of PT Agrowiyana, the plantations were set up on peatland so they were always fl ooded during the wet season and burned during the dry season. This potential risk drove the company to adopt a 80:20 partnership scheme to cover the loss.

The Bakrie Group, owned by the Bakrie family, was very serious about its biofuel business. It had set up what would be energy plantations, and skilfully discerned business opportunities. Within only a year (2006-2007), the Group was able to expand its plantations rapidly, from 4 units in

Page 27: Biofuel Final (Cetak)

17

Biofuel; a Trap

Ilir Kabupaten Tebo dan sisanya seluas 10.000 Ha akan dibangun di Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, dengan nilai investasi mencapai Rp 675 miliar10. Tak cukup hanya membangun kebun sebagai lahan suply bahanbaku, group ini juga telah merencanakan akan membangun pabrik biofuel di Batam dengan kapasitas terpasang mencapai 100.000 tons di Batam11.

Box 2:

Siapa akan menyusul Bakrie?

Selain Bakri Group yang sudah merencanakan serius menekuni projek bahan bakar nabati dari minyak sawit khususnya di propinsi Jambi, secara luas ada beberapa group besar yang juga tak mau kalah, misalnya saja Wilmar Group yang berbasis di Singapura ini akan menggandeng Archer Daniels Midland/ADM yang telah diumumkan tahun lalu, dan perusahaan ini direncanakan akan membangun pabrik biofuel di propinsi Riau dengan nama Wilmar Bioenergy yang akan memproduksi biofuel sebanyak 350.000 ton/th

20. Wilmar Group memiliki 1 buah anak

perusahaan yang juga beroperasi di propinsi Jambi dengan luas konsesi perkebunan mencapai 20.000 Ha.

Tak mau kalah dengan dua pemain diatas, tak tanggung-tanggung Astra Agro lestari akan membangun 2 pabrik Biofuel sekaligus, 1 unit di Riau dan 1 unit di Kalimantan Tengah dengan nilai US$ 14 juta. Tentunya para group ini akan mengikutsertakan investor luar negeri untuk membiayai projek ini.

Box 2:

Who would follow Bakrie?

Besides the Bakrie Group, which had seriously learned about palm biofuel projects particularly in Jambi, there were several big groups interested in the sector, such as the Singapore-based Wilmar Group, which announced last year that it would partner with Archer Daniels Midland/ADM. The company would set up a biofuel plant in Riau province under the name of Wilmar Bioenergy slated to produce 350,000 tons/year

20. The Wilmar Group owns 1

subsidiary operating in Jambi province with the total plantations reaching 20,000 Ha.

Not wanting to lose to the two groups, Astra Agro Lestari would set up 2 biofuel plants, 1 in Riau and the other in Central Kalimantan, involving an investment of US$14 millions. All the groups surely involved foreign investors to fi nance their projects.

2006 to 8 in 20078. The company, once headed by Aburizal Bakrie, was serious about the development. Not only did it developed oil palm plantations to supply food, but it also aimed to develop renewable energy in the future. Therefore, Bakrie Sumatera plantation as the holding company of the plantation sector established PT Bakri Rekin Bioenery in mid-20079. To develop renewable energy, the Group, which is also involved in telecommunication business, has prepared 25,000-ha land in the province. Of these, 15 thousand has will be set up in Koto VII sub-district and Koto Ilir sub-district, Tebo district, and another 10,000 has in Limun sub-district, Sarolangun district, with the investment amonting to Rp. 675 billions10. Not only that, the Group will also set up a biofuel plant in Batam with the installed capacity fetching 100.000 tons11.

Page 28: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

18

Size comparison of agricultural and oil

palm plantation areas12

2.1.2. Biofuel dan penurunan kuantitas dan kualitas lahan pangan di Jambi

Jika dari tahun ketahun pertumbuhan areal perkebunan kelapa sawit terus meningkat, maka luas persawahan terus menyusut. Tak hanya karena terus menurunnya minat petani padi untuk terus bersawah karena ketersediaan iklim yang baik, tapi juga dikarenakan harga beras yang tidak menjanjikan. Dan yang paling penting adalah dalam skala kebijakan, terjadi ketidak intergasian antara kebijakan pertanian dan perkebunan. Jika ekspektasi terhadap sektor perkebunan demikian baik, dari pembukaan akses terhadap kredit, pasar hingga infrastruktur, tidak demikian dengan ekspektasi terhadap sektor pertanian (baca; pangan). Tak ada kredit yang ”lunak” tak ada pembangunan infrastruktur yang baik, dan bahkan tidak ada fasilitas kredit ”lunak” bagi para petani pangan. Tak mengherankan jika kemudian yang terjadi adalah perubahan model pertanian masyarakat lokal, dari pertanian subsisten ke pertanian industrialis.

Bagan dibawah jelas menggambarkan bahwa terjadi peningkatan luas perkebunan, dan terjadi penurunan luas persawahan sebagai salah satu contoh areal produksi pangan masyarakat.

2.1.2. Biofuel and the declining size and quality of agricultural land in Jambi

As oil palm plantations is increasing in size, agricultural land is shrinking. Farmers are reluctant to keep growing rice due to the unfriendly climate and the low price of the commodity. However, the main drive is the government’s discriminating policies on these two sectors. While privileges are given to the plantation sector (access to capital, market and infrastructure), there are no infrastructure building and soft loans avaialble for the agricultural sector. It is no surprise that more local farmers are leaving their subsistence farming in favour of industrialised agriculture.

The chart below clearly shows the increase in plantation areas and the decrease in agricultural land, one of communities’ crop production areas.

Dalam kasus lain, diberbagai kabupaten propinsi Jambi terjadi pengalihan besar-besaran areal persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Seperti Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang berada dipesisir, hampir 70% sawah tadah hujan dan sawah ladang kini telah berganti kebun sawit13. Akibat semakin menyempitnya lahan pertanian pangan di propinsi Jambi tentu menjadi tantangan dimana akan terjadi kerawanan pangan di propinsi Jambi. Celakanya lagi bahwa arah kebijakan perkebunan tidak menyentuh persoalan ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan.

Jika kasus diatas menggambarkan bahwa masyarakat beralih dari petani pangan padi menjadi petani pangan minyak yang disebabkan makin tidak kompetitifnya harga

In another case, there has been massive conversion of agricultural land into oil palm plantations in many districts. In the coastal district of Tanjung Jabung Timur, for example, 70% of rain-dependent rice farmlands and cropland have been converted into oil palm plantations13. The shrinking agricultural land will surely pose a food insecurity threat to the province. To make things worse, plantation policies are not focused on food security, let alone food sovereignty.

While the fi rst two cases show that the shrinking agricultural land is caused by the shifting from traditional to industrialised agricultural practices due to the uncompetitive price of rice and discriminating policies on agriculture, many other cases show that it is caused by conversion to oil palm plantations.

Grafi k perbandingan luas sawah dan luas

kebun sawit12

Page 29: Biofuel Final (Cetak)

19

Biofuel; a Trap

pangan padi dibanding pangan minyak, dan perlakuan kebijakan terhadap pertanian pangan minyak lebih baik dibanding pertanian pangan minyak. Maka dalam banyak kasus lainnya, penurunan lahan areal peranian pangan padi adalah dampak dari pengalihan fungsi lahan peranian pangan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Pada penelitian yang kami lakukan bahwa hampir 50% areal yang kini menjadi HGU perkebunan kelapa sawit skala besar awalnya adalah pertanian produktif yang ditanami padi ladang14. Tak mengherankan jika konfl ik yang tercipta antara masyarakat dengan perusahaan adalah didominasi tidak hanya persoalan tanah adat, tapi juga persoalan pengalihan fungsi lahan pertanian pangan milik masyarakat yang dipaksakan.

Jika hanya untuk menanam bahan ”pangan” untuk manusia diberbagai negara-negara Eropa dengan mengubah lahan-lahan pangan lokal saja telah menyumbang terjadinya penurunan areal pertanian masyarakat lokal, apalagi jika ditambah dengan projek Biofuel. Dan tentunya masyarakat-masyarakat yang kini sudah beralih fungsi menjadi petani ”pangan untuk manusia” akan berganda perannya sebagai petani ”pangan mesin”. dan ketika hutan sudah hilang, ketika padi sudah rawan, dan ketika perus mulai lapar, maka saat itu kita akan sadar bahwa kita tidak bisa minum CPO.

2.1.3. Biofuel dan perubahan pola konsumsi gizi masyarakat miskin di Jambi

Menjelang penutup tahun 2007, tidak hanya harga minyak bumi yang membumbung, tapi juga harga minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit. Hingga pembuka tahun 2008 harga minyak goreng tidak bergerak turun seperti yang diprediksi oleh banyak pihak ketika kebijakan tentang kenaikan pajak Eksport CPO yang mencapai 10%. Contoh saja harga minyak goreng curah kini mencapai Rp 10.000 perkg15, sedangkan di Bantul Jogjakarta harga minyak goreng mencapai Rp10.300 perkg.

Our researches reveal that nearly 50% of what is now oil palm plantation was once productive agricultural land14. It is not surprising that the prevalent confl icts between communities and companies are related not only to customary land but also to forced conversion.

If conversion to fulfi l food need in European countries has contributed to the shrinking of local agricultural land, cropland will even get shrunk with the expansion of biofuel. And communities, who have turned into food-for-human farmers, will also serve as food-for-industry farmers. Only when forests are gone, rice is insuffi cient and people get hungry, do we realise that we cannot drink CPO.

Harga Minyak Goreng Curah Propinsi Jambi Tahun 2006-2007

4770 4697 4684 4553 4565 4620 46135252 5187 5019 5360

58396481 6305 6442

7253 75798205 7873

8484 8330 8067 8133

Janu

ari

Februa

riMare

tApri

lMei

Juni Ju

li

Agustu

s

Septem

ber

Oktobe

r

Nopem

ber

Desem

ber

20062007

Sumber : BPS Propinsi Jambi

Grafi k : Harga minyak goreng

di propinsi Jambi/Fluctuating cooking oil price

in Jambi province 18

2.1.3. Biofuel and changes in nutrition consumption pattern among the poor in Jambi

By late-2007, not only the price of oil but also that of palm cooking oil were rising. Up to early 2008 the price of cooking oil on the domestic market was not dropping as predicted by some despite government’s policy on 10% export tax hike. Non-branded cooking oil was sold at Rp10,000 per kg15; in Bantul, Jogjakarta, the price was even higher, up to Rp10,300 per kg.

Page 30: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

20

10,989.1510,376.19

8,661.60

6,386.406,333.704,903.21

4,110.00

3,441.774,095.663,756.28

2,454.602,092.40

1,080.901,087.27

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006*

Volume (ribu ton) Nilai (juta dollar AS)

Source: BPS/Central Statistics Agency21

Minyak goreng tidak hanya mengalami kenaikan harga, tapi juga menghilang dari pasaran. Tak ayal inilah yang membuat masyarakat semakin kelimpungan. Kenaikan harga minyak goreng ini tidak saja dipicu oleh menjulangnya harga minyak bumi yang kini mencapai US$100 perbarel, tapi ada beberapa factor lain yang juga berpengaruh, yang sebetulnya banyak pihak yang tidak menjadikan factor ini sebagai sesuatu yang harus dianalisis. Dan beberapa factor dibawah ini menempatkan biofuel sebagai factor kunci tidak hanya bagi persoalan konfl ik, kerawanan pangan, tapi juga pemaksaan kepada masyarakat untuk bisa beradaptasi terhadap potensi kerawanan gizi. Beberapa factor tersebut adalah17 :

Para pengusaha kelapa sawit lebih tertarik untuk 1. mengekspor bahan baku CPO kepasar international, ini dikarenakan harga lebih tinggi dibanding pasar dalam negeri. Tak terkecuali perusahaan-perusahaan yang beroperasi dipropinsi Jambi, selama tahun 2006 saja volume eksport CPO Jambi mencapai 93 juta Kg atau setara dengan 31,75 juta US$18. Artinya pengusaha-pengusaha kelapa sawit terus menjadikan pasar ekspor sebagai focus utamanya dalam meraih keuntungan. tingginya harga CPO dipasar international adalah akibat kebutuhan pasar international untuk segera mengkonversi bahan bakar fossil ke bahan bakar nabati. Tak ayal kemudian banyak Negara terutama Eropa memperebutkan bahan baku dari CPO ini. Hokum pasar kemudian bermain, bahan baku langka, harga meningkat.

Not only did cooking oil increase in price, it was also hardly found on the market, causing anxiety in the society. The hike was caused not only by the rising of the world’s oil price, which stood at US$100 per barrel, but also by some least-to-be-analysed factors. The factors below place biofuel as the key contributors leading to confl icts, food insecurity and forced adaptation to potential malnutrition, namely17 :

Palm producers, including those in Jambi, preferred 1. selling their CPO onto international market due to higher price. Throughout 2006 the export of CPO from the province stood at 93 million kg or equal to US$31.75 millions18. This means that export was the main focus of palm companies to make a fortune. The high price of CPO on the international market was driven by the global need for converting fossil fuel to biofuel. There was a huge demand for CPO from many European countries, supply and demand law applied: higher demand and less supply, higher price.

Page 31: Biofuel Final (Cetak)

21

Biofuel; a Trap

penimbunan yang dilakukan oleh oknum, yang 2. ingin meraih keuntungan dari naiknya harga minyak kelapa sawit. Selalu terjadi, penimbunan bahan baku akan mengikuti kenaikan harga. Penimbunan akan mengakibatkan langkanya bahan baku dipasaran. Penimbunan ini juga terkait erat dengan kebutuhan bahan baku biofuel dipasar international, penimbunan yang dilakukan oleh pengumpul di 3. luar negeri. Prediksi ini diperkuat dengan tingginya volume eksport secara nasional, jika ditahun 2005 volume ekport hanya 9,6 juta ton maka ditahun 2006 volumenya meningkat menjadi 11,5 juta ton. padahal kebutuhan pasar luar negeri selama ini tercukupi dari suply CPO dari berbagai negara produsen seperti Malaisia, Indonesia dan PNG. kecendrungan pemerintah yang terus menggulirkan 4. issu penggunaan Bakar Nabati, salah satunya adalah biofuel (bahan bakar nabati dari bahan baku kelapa sawit) tanpa melihat kesesuaian suplay sehingga tidak ada antisipasi terjadinya perebutan bahan baku bagi kepentingan bahan makanan dan bahan baku BBN. Sejak issu penggunaan energi biofuel sebagai energi terbarukan dan sebagai energi ramah lingkungan yang dapat mengurangi Gas Rumah Kaca/GRK, pemerintah Indonesia seperti menemukan mainan baru. Ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah dan sumber daya alam yang kaya dan adaftip dengan perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku utama biofuel. Tak heran jika kemudian pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan tentang percepatan pembangunan perkebunan untuk bahan baku biofuel, seperti INPRES nomor 1 tahun 2006.hampir 90% pabrik biofuel yang akan beroperasi di 5. Indonesia adalah para producer CPO sebagai bahan makanan, dan tentunya realitas ini akan mengancam ketahanan bahan baku minyak goreng.

Some domestic businessmen took an advantage from 2. the situation; they stockpiled CPO, creating scarcity of the commodity that pushed the price higher and then sold it at the best price. Stockpiling a given commodity is understandably related to the increasing demand. Stockpiling was also done by foreign traders. The 3. assumption was confi rmed by the high volume of national export; soaring from 9.6 million tons in 2005 to 11.5 tons in 2006. In fact, supplies from producer countries like Malaysia, Indonesia and PNG had been suffi cient enough to meet the international demand. The government’s persistent attempts to promote biofuel 4. without considering the supply side. No anticipating measures were in place when food and biofuel producers were struggling for supply. Ever since biofuel was promoted as a renewable and environmentally-friendly energy that can reduce greenhouse gases, the government has seemingly found a new toy to play with as Indonesia contains rich and abundant resources adaptive to oil palm plantations, the biofuel’s main raw material. Accordingly, the government issued various policies to accelerate oil palm plantations to supply biofuel sector, such as Presidential Instruction No. 1 Year 2006.Nearly 90% of the biofuel plants to operate in Indonesia 5. were to produce CPO for food so the policies would threaten cooking oil security.

Page 32: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

22

2.2. Biofuel di Riau; proyek membongkar gambut

Kawasan industri biofuel di Riau adalah; Kawasan industri Dumai, Kawasan Industri Tenayang (Kodya Pekanbaru), Kawasan Industri Buton (Kabupaten Siak), Kawasan Industri Pulau kijang (Indragiri Hilir), dilengkapi sarana pelabuhan sungai dan pesisir laut. Berpraktek memperburuk iklim global untuk ekspansi biofeul.

Propinsi Riau terletak di pesisir Timur pulau Sumatra, secara georafi s sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara; sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Barat; sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka; sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Sumatera Utara. Propinsi Riau terhampar dari lereng Bukit Barisan sampai dengan Selat Malaka, terletak antara 010 05’ 00’’ Lintang Selatan sampai 02025’00’’ Lintang Utara atau antara 100o00’00’’ Bujur Timur sampai 105005’00’’ Bujur Timur. Daerah Propinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten (Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis dan Rokan Hilir) dan 2 kota yaitu Kota Pekanbaru (Ibukota Provinsi Riau), dan Kota Dumai. Sampai tahun 2007, jumlah penduduk Riau 5.070.952 jiwa, dengan luas wilayah mencapai 8.915.015,09 hektar

Riau merupakan salah satu wilayah studi proyek biofeul di Indonesia. Studi di lakukan di beberapa tempat yang di indikasikan kuat ada perusahaan swasta yang menginvestasikan proyek industry biofeul dari bahan baku kelapa sawit. Propinsi ini merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas di pulau sumatra mencapai 4,044 juta ha (56,1 % dari luas lahan gambut Sumatra atau 45% dari luas daratan Propinsi Riau). Kandungan karbon tanah gambut di Riau tergolong yang paling tinggi di seluruh Sumatera bahkan se-asia tenggara.

Biofuel tak hanya sebagai pembersih iklim, tapi juga sebagai biang pemanasan global. Ekpansi perkebunan kelapa sawit tak hanya mengancam hutan-hutan di Riau, tapi kini ekpansi telah merayap menuju areal-areal gambut yang selama ini menyimpan CO2. jika areal gambut itu diubah dan dijadikan perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku Biofuel, bayangkan berapa banyak CO2 yang akan dilepaskan. Ini sebuah paradox. Biofuel yang dianggap bisa menjawab persoalan pemanasan global tapi dalam perjalannya justru menyumbang emisi yang tak kecil.

Hutan dan lahan gambut Riau sampai saat ini masih menjadi satu kajian panjang atas keberadaannya untuk menstabilkan iklim. Dengan luas gambut mencapai 4,05

2.2. Biofuel in Riau: Peatland-replacing Projects

Biofuel industrial areas in Riau are Kawasan industri Dumai, Kawasan Industri Tenayang (Pekanbaru City), Kawasan Industri Buton (Siak District), Kawasan Industri Pulau kijang (Indragiri Hilir), equipped with ports in the rivers and the coasts. Biofuel expansion is worsening global climate.

The province of Riau is located in the eastern coast of mainland Sumatra. Geographically, it borders on Malaka Bay and the province of North Sumatera in the north, the provinces of Jambi and West Sumatera in the south, the province of Riau and Malaka Bay in the east, and the provinces of West Sumatera and North Sumatera in the west. It stretches along the Bukit Barisan mountains to Malaka Bay, from 010 05’ 00’’ to 02025’00’’ North longitude and from 100o00’00’’ to 105005’00’’ East latitude. It is made up of 9 districts (Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis and Rokan Hilir) and 2 cities (Kota Pekanbaru, the provincial capital, and Kota Dumai). The total population up to 2007 was 5,070,952, living on a 8,915,015.09 ha of land.

Riau is one of the biofuel study locations. Studies were conducted in areas having indications of containing private biofuel companies. The province contains the largest peatland in mainland Sumatera, standing at 4.044 million ha (56.1% of the mainland total or 45% of the province total). The carbon content is said to be the highest throughout the mainland, and even in South East Asia.

Biofuel is not only the climate cleaner, but also one of the largest contributors to global warming. The expansion of oil palm plantations has threatened not only the province’s forests but also the peatland – the province’s carbon sink. Imagine how much carbon will be emitted into the atmosphere when it is converted into oil palm plantations. It is a paradox that biofuel, which is said to be able to address global warming, turns out to give considerable contribution of emissions.

There have been and still are lengthy studies on the function of Riau’s forests and peatland to stabilize the climate. The province’s peatland, encompassing 4.05 million ha, is the richest in South East Asia. Riau is the province most prepared to supply the main raw material (oil palms) for biofuel. As the result, the deforestation rate in Riau is among the highest, fetching the average 160,000 Ha/year. Some say that in 20 years, Riau’s forests will be gone. According to International Forest Advisor, the degradation rate of Riau forest is the highest in the world, standing at 5.6%, with

Page 33: Biofuel Final (Cetak)

23

Biofuel; a Trap

Gambar: PETA PERKEBUNAN SAWIT DI RIAUOIL PALM PLANTATIONS IN RIAU

juta hektar, provinsi ini memiliki kekayaan gambut di asia tenggara. Riau menempati posisi provinsi yang paling siap sebagai pemasok bahan baku utama biofeul dari kelapa sawit. Akibatnya laju kerusakan hutan Riau rata-rata 160.000 Ha/tahun, dan menurut beberapa pihak dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun hutan Riau tinggal kenangan. Menurut International Forest Advisor, kerusakan hutan Riau tertinggi didunia yakni 5,6%. Dan aktifi tas pengrusakan hutan di dominasi oleh kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan kayu pulp. sehingga tak mengherankan jika kegiatan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan kayu pula memberikan kontribusi pelepasan CO2 ke atmosphere mencapai 278 mt CO2/tahun7.

Kebijakan pemerintah yang mendukung, minat investor dan respon masyarakat yang semakin tinggi pada sektor kebun kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang mendukung percepatan pertumbuhan pembagunan kelapa sawit di Riau sehingga telah menempatkan Propinsi Riau menjadi penghasil kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia yaitu sekitar 1/3 (sepertiga) dari total produksi Crude Palm Oil (CPO) Nasional. Sampai tahun 2007, luas kebun sawit Riau mencapai + 2,157,091 hektar. Jumlah ini merupakan ¼ luas lahan kelapa sawit indonesia berada di propinsi riau20. Dari luas yang dimiliki Riau, kebun kelapa sawit mencapai 39 % Sawit berada di lahan gambut dan 55% berada dilahan gambut dalam dan sangat dalam21. Selama 2002-2007 seluas 332,342 hektar hutan gambut telah berganti menjadi perkebunan sawit, dan 40% hutan alam yang di buka tersebut merupakan lahan gambut dalam dan 34% sangat dalam22.

Dengan konversi gambut secara besar-besaran, maka, dampak yang ditimbulkan adalah; kebakaran hutan dan lahan gambut, kerancamnya keragaman hayat gambut, kekeringan, dan bencana banjir di Riau semakin tinggi setiap tahunnya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, hal ini juga di sampaikan oleh laporan UNEP 2007, yang menyatakan bahwa perkebunan sawit saat ini mengarah pada perusakan hutan tropis di indonesia.

2.2.1. Biofuel mengancam lumbung pangan di Riau

Total penduduk Riau sebesar 5.070.952 jiwa. Kebutuhan konsumsi Riau menurut beberapa sumber informasi di peroleh banyak dipasok dari Sumatera Barat, Palembang, Bengkulu dan Medan. Pasoan ini mulai dari kebutuhan beras, sayur mayur sampai buah-buahan. Hampir setiap hari pasokan beras dan sayur mayur datang dari kota padang, brastagi dan palembang. Kondisi sudah berjalan sejak lama, karena Riau sendiri belum dapat memenuhi kebutuhan pasokan bahan pangan dan sayur mayur sendiri. Hal ini disebabkan, kebijakan pemerintah Riau yang tidak

conversion into oil palm and pulpwood plantations being the primary cause. Accordingly, the sector has contributed a considerable amount of CO2 to the atmosphere, which reaches 278 mt/year7.

Favourable policies and people’s increasing responses to the sector are two factors that drive the acceleration of the expansion in the province, making it the Indonesia’ second largest palm producer, totalling 1/3 of the national CPO production. Up to 2007, the total palm plantations in Riau reached +2,157,091 ha, which represent ¼ of the Indonesia total20. Of these, 39% lies on peatland and 55% on deep growth and very deep growth peatland21. During 2002-2007 a total 332,342 ha of peatland was converted into palm plantations, and 40% of the converted land was deep growth peatland and another 34% is very deep growth peatland22.

The massive conversion led to increasing forest and peatland fi res, potential extinction threat of peat ecosystem diversity, drought and fl oods. These are undeniable facts and are also included in the 2007 UNEP’s report, which added that palm plantations led to destruction of Indonesia’s tropical forests..

2.2.1. Biofuel threatens food sources in Riau

The total province’s population amounts to 5,070,952. Food supply comes from West Sumatera, Palembang, Bengkulu and Medan, comprising rice, vegetables and fruit. Almost every day rice and vegetables are supplied from

Page 34: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

24

memperhatikan kondisi dan kebutuhan pangan. Kebijakan pemerintah lebih mengarah kepada industri kehutanan dan perkebunan. Walaupun sektor pertanian di kerjakan, tetapi masih dikalahkan oleh sektor kehutanan (HTI) dan perkebunan kelapa sawit sekala besar.

Ketergantungan akan pasokan Riau dari luar daerah dan kondisi pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak pada kerawanan pangan secara mandiri. Walaupun di beberapa tempat telah dibangun dan ditetapkan sebagai sentra produksi pangan, tetapi selalu mendapat tekanan dari ekspansi kelapa sawit. Satu contoh kasus di Desa Bunga Raya Kabupaten Siak. Wilayah ini termasuk kedalam sentra produksi pangan penghasil padi paling potensial ditetapkan sebagai lumbung padi. Namun pada beberapa tahun belakangan ini banyak sawah-sawah masyarakat yang dialih fungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, setidaknya tercatat sudah lebih dari 800 ratus ha sawah di Desa ini beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2007 pemerintah kabupaten mengambil tindakan dengan melarang masyarakat mengalih fungsikan sawah ke perkebunan pemerintah juga mencabut sawit-sawit yang telah ditanam masyarakat di lahan per sawahan. tindakan ini diambil pemerintah karna alih fungsi areal persawahan keperkebunan telah mengakibatkan produksi padi menurun drastic.

Menurut Pak Dahlan Alasan masyarakat melakukan alih fungsi adalah karna biaya produksi padi tinggi sementara hasil yang diperoleh tidak menguntungkan apa lagi lahan persawahan di desa ini hanya bisa ditanam sekali setahun. Sebelumnya masyarakat masih bisa melakukan penanaman 2 kali setahun namun setelah ada proyek irigasi yang dilakukan oleh PU, lahan persawahan jadi kering dan hanya bisa ditanam saat musim hujan saja kondisi yang sama juga terjadi di kabupaten Rokan Hilir dimana saat ini 12.000 ha lahan pertanian masyarakat terancam kering akibat pembuatan kanal yang tidak mempertimbangjkan kondisi lahan gambut.

2.2.2. Biofeul, Kebakaran Gambut dan ISPA (Infeksi saluran pernapasan Atas)

Semakin luas lahan yang dibakar, semakin besar keuntungan ekonomi yang didapat, sehingga pembakaran lahan berlangsung dalam skala yang luas dan tak terkendali. Kebakaran hutan dan lahan telah memberikan dampak yang luas pada berbagai sektor, baik kepada perekonomian, transportasi, produksi pertanian, tingkat kesehatan masyarakat maupun hubungan kenegaraan. Berdasarkan Data MODIS, Sepanjang tahun 2001-2008 Titik panas yang terdata di Jikalahari terdeteksi sebanyak 86883 titik api. Dalam periode 2001- Pebruari 2008, 77% titik api berada

Padang, Brastagi and Palembang as the province has yet to suffi ciently meet the local needs. This is due to the province’s negligence of its food status and needs. Agriculture is not completely neglected; however, the provincial government focuses more on forestry and large-scale palm plantations.

The province’s dependence on external supply and the development of forestry and palm plantations have potentially led to food insecurity. Although the provincial government had designated some areas as food sources, they were under pressure of palm expansion/conversion. One example is the case of Bunga Raya Village in Siak district. The district was among the most productive food producers. However, in the last few years, much of the agricultural land has been converted into palm plantations. So far, a total 800 ha of land has been converted into palm plantations. In 2007 the district administration banned conversion into palm plantations, it even pulled out all the palm trees. Such a measure was done following a drastic decline in rice production as a result of conversion.

According to Pak Dahlan, the main reason for the conversion was the high production cost and unprofi table outputs. In addition, After the implementation of the irrigation project, the fi elds became dry so they could only plant them once a year during the wet season, and not twice as in the previous years. Similarly, the 12,000 ha of agricultural land in the district Rokan Hilir are threatened by drought due to the construction of canals, which overlooks the conditions of peatland.

2.2.2. Biofuel, peatland fi re and upper respiratory tract infections

The larger land one burns, the greater profi t one could gain. Consequently, burning has been practised massively and uncontrollably. Forest and land fi res have adversely affected many sectors: the economy, the transportation, the agriculture, the health as well as governmental affairs. Based on MODIS data, during 2001-2008 the identifi ed hotspots recorded by Jikalahari amounted 86.883. During 2001- February 2008, 77% of the hotspots were located on peatland of 387,326.5 ha in size; and 28% of the burned peat was of deep-growth and 36% was of very deep growth.

During 2001 – February 2008 as many as 246 hotspots were detected in conservation areas of a total 1,033.27 ha in size, namely Danau Pulau Besar/Bawah, Kerumutan, Tasik Belat, Giam Siak Kecil, Tasik Tanjung Pulau Padang, Bukit Batu, and Sungai Dumai. The condition would lead to the extinction of all the fl ora and fauna biodiversity in and around the areas, and would bring far-reaching impacts on the environment and humans. Declining air quality would

Page 35: Biofuel Final (Cetak)

25

Biofuel; a Trap

dilahan gambut dengan luasan 387.326.5 hektar, 28% gambut yang terbakar merupakan gambut dalam dan 36% merupakan gambut sangat dalam.

Sepanjang priode 2001 – Pebruari 2008 terdeteksi 246 titik api dikawasan konservasi dengan luasan total 1.033.27 hektar. Kawasan konservasi yang terbakar selama priode 2001 – Pebruari 2008 yaitu DanauPulau Besar/Bawah, Kerumutan, Tasik Belat, Giam Siak Kecil, Tasik Tanjung Pulau Padang, Bukit Batu, Sungai Dumai. Jika kondisi ini terus berlangsung tentu akan berdampak pada punahnya keanekaragaman hayati baik fl ora maupun fauna di sekitar lokasi kebakaran. Dampak yang luas terutama terhadap kondisi ekosistem lingkungan dan makhluk hidup. Menurunnya kualitas udara mengakibatkan meningkatnya penderita penyakit Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagi masyarakat terutama bagi anak Balita.

Menurut sumber Dinas Kesehatan tahun 2005, dampak kebakaran lahan gambut yang menimbulkan kabut asap mengganggu penderita pada Balita di Riau. Sampai tahun 2005 jumlah Balita di Riau sebanyak 494.052 jiwa anak. Jumlah yang menderita gangguan ISPA pada jenis penyakit pneumonia, sebanyak 7.608 jiwa balita, terdiri dari kelompok umur terbagi menjadi usia dibawah 1 tahun sebanyak 2.663, umur 1 – 4 tahun sebanyak4.945. Penderita Balita ini tersebar hampir merata di Pekanbaru, Kampar, Palalawan, Rokan Hulu, Indragiri Hilir, Indragiri hulu, kuantang sengingi, Bengkalis, Dumai, Siak dan Rokan Hilir.

2.3. Biofuel, menciptakan konfl ik di Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan terletak antara 1 derajat sampai 4 derajat Lintang Selatan dan 102 derajat sampai 106 derajat Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.017,42 km2. Batas daerah ini adalah: Di sebelah Utara dengan Provinsi Jambi, di sebelah Selatan dengan Provinsi Lampung, di sebelah Timur dengan Provinsi Bangka Belitung, di sebelah Barat dengan Provinsi Bengkulu. Sampai akhir tahun 2006, wilayah administrasi Sumatera Selatan mengalami pemekaran kabupaten, sekarang jumlah kabupaten di Sumatera Selatan menjadi sepuluh kabupaten dan empat kota. Sumatera Selatan berbatasan langsung dengan propinsi, di sebelah Utara propinsi Provinsi Jambi, di sebelah Selatan Provinsi Lampung, sebelah Timur Provinsi Bangka Belitung, sebelah Barat Provinsi Bengkulu. Jumlah penduduk Sumatera Selatan tahun 2006 berjumlah 6.899.892 jiwa. Rasio jenis kelamin Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2005 sebesar 100,70 persen, yang berarti daerah ini mempunyai jumlah penduduk laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Mata pencaharian di

increase accute respiratory tract infection, particularly among children.

The Health Agency said in 2005 that smoke from peatland fi res affected many children in Riau. Up to 2005 the number of infected children in Riau amounted to 494,052. 7,608 of these suffered from pneumonia, comprising 2,663 children under 1 year old, and 4,945 children between 1-4 years old. The infected children were distributed almost evenly in Pekanbaru, Kampar, Palalawan, Rokan Hulu, Indragiri Hilir, Indragiri hulu, Kuantang Sengingi, Bengkalis, Dumai, Siak and Rokan Hilir.

2.3. Biofuel, creating confl icts in South Sumatera

The province of South Sumatera lies between 1º-4º South longitude and 102º-106º East latitude, encompassing an area of 87,017.42 km2. It borders on the province of Jambi in the north, the province of Lampung in the south, the province Bangka Belitung in the east and the province of Bengkulu in the west. In late 2006, new districts were established; it is now made up of ten districts and four cities. In 2006 it had 2,538 villages, 293 cities, and 201 sub-districts.

The province is rich in natural resources, including minerals, forests, agriculture and plantations. In the mining sector, it contains oil deposit up to 5.03 billion barrels (10% cl) or 5,032,992 metric stack tank barrels. Oil production rate grows 10% per year and the deposit will last 60 years. The coal deposit is estimated to reach 16,953,615,000 tons or 60% of the national total. Mining sites encompass 1,030,128.75 ha, including the 2,243,120.15 ha of oil and gas. The designation of the province as the energy source has driven exploitation of fossil fuel such as oil, gas and coal. In addition, the province will build alternative energy/biofuel plants.

In agricultural sector, the province has 6,757 ha of technical irrigated fi elds and 809 ha of non-technical irrigated ones. The total agricultural land encompasses 5,524,725 ha or 70% of the province total. In 2005 there were 626,849 ha of rice fi elds with the total production of 2,320,110 tons. Approximately 171,928 of the total production came from dry farms, which encompassed 73,504 ha. Districts with the largest area and production were Ogan Komering Ilir and Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). The province also had 1,878,983 ha of community’s and private plantations, comprising rubber, palms, sugar canes, coffee, coconuts, peppers and others, with the total production amounting to 4,040,150 tons. Four dominant commodities are oil palm, rubber, coffee and coconut.

Page 36: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

26

sector perkebunan sebanyak 1.134.502 KK. Jumlah ini terbagi menjadi perkebunan karet sebanyak 510.005 kk, kelapa sawit 211.883 KK, kopi 212.210 KK , kelapa dalam 152.954 KK dan perkebunan komoditas lain 47.450 KK

Dalam wilayah Provinsi Sumatera selatan terdapat banyak sekali sumber daya alam baik itu sektor Pertambangan,Hutan maupun dari hasil pertanian dan perkebunan. Untuk sektor pertambangan propinsi sumatera selatan memiliki cadangan minyak bumi sebanyak 5,03 miliar barrel (10% cl) atau 5.032.992 matrick stack tank barrel. Cadangan minyak bumi diproduksi dengan pertumbuhan 10% per tahun dan dapat bertahan 60 tahun, Sedangkan cadangan batu bara diperkirakan sebesar 16.953.615.000 ton atau 60% cadangan nasional. Luas areal usaha pertambangan umum mencapai 1.030.128,75 ha, dengan pertambangan minyak dan gas 2.243,120,15 ha. Dicanangkannya Sumsel sebagai lumbung energi telah memacu pemerintah provinsi gencar melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber energi fosil seperti minyak, gas dan batubara. Selain itu pemerintah Sumsel akan membangun pengolahan energi alternatif/ bahan bakar nabati.

Di sektor Pertanian propinsi ini memiliki hamparan Lahan sawah irigasi teknis mencapai 6,757 ha dan irigasi non teknis 809 ha. Lahan pertanian mencapai 5.524.725 ha atau setara dengan 70% total luas wilayah Sumatera Selatan. Kendati demikian, lahan padi di provinsi ini pada 2005 mencapai 626.849 ha dengan jumlah produksi 2.320.110 ton. Dari jumlah produksi itu, sekitar 171.928 ton berasal dari produksi lahan kering seluas 73.504 ha. Kabupaten dengan luas areal dan produksi padi tertinggi adalah Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu Timur (OKUT). Provinsi ini juga memiliki sumber daya perkebunan seluas 1.878.983 ha yang merupakan perkebunan milik rakyat dan perusahaan, terdiri dari perkebunan karet, kelapa sawit, tebu, kopi, kelapa, lada dan lainnya dengan total produksi 4.040.150 ton. Ada empat komoditas yang dominan yaitu kelapa sawit, karet, kopi dan kelapa.

2.3.1. Perkebunan kelapa sawit

Saat ini luas perkebunan sawit Sumsel 682.730 ha dengan jumlah perusahaan 174 perusahan dan ditargetkan 800.000 ha akhir tahun 2008. Pemerintah Sumsel juga telah mencadangkan 600.000 hektar lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Produksi minyak sawit/ CPO Sumatera Selatan saat ini 1,6 juta ton minyak sawit, atau 12 persen dari total produksi sawit nasional.

Peningkatan areal ini terkait dengan rencana nasional tentang biofuel. Menjawab rencana ini, Gubernur Sumatera Selatan telah mempersiapkan lahan di Muara Enim dan Musi Banyu Asin untuk mendukung aktifi tas 8 investor yang

2.3.1. Palm plantations

The province contains 682,730 ha of palm plantations with 174 companies. It sets a target of producing 800,000 ha by the end of 2008. The provincial government has reserved some 600,000 ha for palm plantations. The current production stands at 1.6 million tons or 12% of the national production.

The expansion is related to the national plan for biofuel production. In response to the plan, the governor has reserved the land in Muara Enim and Musi Banyu Asin for 8 investors planning to build biodiesel plants. Among the investors are Inizio from Malaysia and Platinum Energy from USA with the total investment of US$80 millions. The two companies plan to cooperate with a local palm company PT Bentayan Copal Makmur, which will supply the raw material. Other business groups interested in the sector are the Salim Group and the Sampoerna Group26. In addition to the old and new players in the business, Wilmar has been operating in the province through its subsidiaries PT Buluh Cawang Plantation, PT Agro Pelindo Sakti, PT Musi Banyuasin Indah, PT Selatan Jaya, PT. Selapan Jaya, PT Mutiara Bunda Jaya and PT Telaga Hikmah. All but PT Buluh Cawang Plantation and PT Musi Banyusasin Indah, however, are said to have been sold to the Sampoerna Group.

Page 37: Biofuel Final (Cetak)

27

Biofuel; a Trap

akan membangun pabrik biodiesel, salah satu investor itu adalah Inizio Malaysia dan Platinum Energy AS dengan investasi US$ 80 Juta dan akan menggandeng perusahaan lokal yang sudah memiliki perkebunan yaitu PT Bentayan Copal Makmur sebagai pemasok bahan baku. Perusahaan group yang juga akan serius menekuni bisnis Biodiesel adalah Salim Group dan Sampoerna26. Selain beberapa pemain baru dan lama yang akan mengincar bisnis ini, di Sumatera Selatan Wilmar juga telah bekerja dengan nama PT Buluh Cawang Plantation, PT Agro Pelindo Sakti, PT Musi Banyuasin Indah, PT Selatan Jaya, PT. Selapan Jaya, PT Mutiara Bunda Jaya dan PT Telaga Hikmah. Tapi beberapa perusahaan tersebut telah beralih kepemilikan yang menurut informasi masyarakat sekarang beberapa perusahaan tersebut telah dikuasai oleh Sampoerna Group, dan hanya PT Buluh Cawang Plantation dan PT Musi Banyusasin Indah saja yang masih dibawah managemen Wilmar Groups.

Berdasarkan data Dinas perkebunan Sumatera Selatan bahwa terdapat beberapa potensi bahan baku untuk dijadikan biofuel di Sumatera Selatan yaitu :

Jarak pagar : 520 ha (potensi lahan pengembangan : • 50 ribu ha di 10 Kab) Kelapa Sawit dengan produksi CPO : 1.6 juta ton/th • (luas tanaman 600.000 ha) Kelapa dengan produksi kopra : 70 ribu ton/th (luas • tanaman 60 ribu ha)

Berdasarkan data tersebut diatas maka menurut Dinas Perkebunan Sumatera Selatan yang paling potensial sebagai bahan baku pembuatan biofuel yaitu kelapa sawit dengan pertimbangan apabila diperbandingkan yaitu bahan baku lainnya, kelapa sawit telah tersedia dengan target produksi pada tahun 2010 yaitu 17,5 juta ton dengan infrastruktur yang telah ada seperti lahan, teknologi, SDM dan perbankan.

Dari penelitian Walhi Sumsel di lapangan, beberapa perusahaan yang menyatakan akan membangun industri biofuel sampai saat ini belum ada kejelasan. Misalnya PT. Buluh Cawang Plantation yang merupakan grup perusahaan Wilmar di kecamatan pedamaran kabupaten Ogan Komering Ilir sampai saat ini belum bisa memastikan lahan perkebunan yang akan dijadikan penghasil bahan baku biofuel. Dari hasil wawancara dengan masyarakat disekitar perkebunan bahwa sampai saat ini mereka juga tidak mengetahui apakah areal untuk perkebunan kelapa sawit tersebut akan mensuplai bahan baku untuk kebutuhan produksi biofuel. Pemerintah Sumatera Selatan juga telah merencanakan pembangunan pabrik biodiesel dengan bahan baku kelapa sawit yang terletak di Balai Penelitian Sembawa Kabupaten Banyuasin dengan luas kebun sementara yaitu 1200 hektar dan luas pabrik 2 hektar. Pabrik biodiesel ini rencananya

According to the Provincial Plantation Agency, the province contains potential raw material for biofuel, namely:

Castor oil: 520 ha (potential expansion up to 50 • thousand ha in 10 districts) Oil palm: CPO production up to 1.6 million tons/year • (plantation area: 600,000 ha) Coconut: copra production up to 70,000 tons/year • (plantation area: 60,000 ha)

The Agency says that the most potential commodity is oil palm considering that it has had all the needed infrastructure (land, technology, human resources, fi nancing) and the province plans to produce 17.5 million tons in 2010.

Researches by Walhi South Sumatera show that some companies planning to develop biofuel industry have been uncertain about it. For example, PT. Buluh Cawang Plantation, a subsidiary of Wilmar operating in Pedamaran sub-district, Ogan Komering Ilir district, has not decided on the plantation sites. Interviews with the local communities reveal nothing new. The provincial government plans to build a palm biodiesel plant within the Sembawa Research Offi ce in Banyuasin district. The initial supply plantation is 1,200 ha in size and the entire facilities encompass 2 ha. The investment is estimated to be no less than 9 billion rupiahs. The plant itself will be managed by a province-owned company.

2.3.2. Jarak Pagar (Jatropha)

The district of Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), a newly-established district, plans to build a jatropha biodiesel plant. Below are the test results of the use of biodiesel in agricultural machines in Belitang in Oku Timurpada district on 12 May 2005 by the provincial plantation agency:

Total biodiesel needed for the provincial agricultural • machines and tools: 4,372 litres per year Lower consumption • Longer life machine. • Biodegradability • Fairly high enthusiasm •

There have so far been three processing units to process jatropha seeds into jatropa crude oil (JCO), the main material for biodiesel. The units, installed in Tuni Jaya Cillage, Martapura sub-district, belong to the State Ministry of Research and Technology and have been transferred to the OKU Timur administration. The production and the installation of the machines cost Rp. 5 billion, while Rp. 8.5 billion was spent on the construction of the biodiesel plant. Each machine is capable of producing 2 tons of JCO per day or the total 6 tons of JCO from the three machines, which in turn are processed further to produce 6 tons of biodiesel.

Page 38: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

28

akan membutuhkan dana lebih kurang 9 milyar rupiah dan pabrik ini nantinya akan dikelola oleh Perusahaan Daerah.

2.3.2. Jarak Pagar ( Jatropa)

Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), yang merupakan Kabupaten pemekaran baru, Pemerintah OKUT membangun pabrik biofuel dengan bahan baku jarak pagar. Berikut ini hasil ujicoba biodiesel untul alsintan (alat mesin pertanian) pangan di belitang kabupaten Oku Timurpada tanggal 12 Mei 2005 berdasarkan uji coba yang dilakukan oleh Dinas perkebunan Sumatera Selatan :

Total kebutuhan Bio diesel untuk alat dan mesin • pertanian di Sumatera Selatan 4.372 ton liter/thn Penggunaan bahan bakar lebih irit • Mesin lebih awet. • Biodegradability (ramah lingkungan) • Antusias pengguna cukup tinggi •

Saat ini telah memiliki tiga unit mesin pengolah biji jarak menjadi jatropa crude oil (JCO) yang merupakan bahan baku biodiesel. Tiga unit mesin yang berlokasi di Desa Tuni Jaya,Kec Martapura, mesin ini merupakan asset Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang diserahkan kepada pemerintah kebupaten OKU Timur. Tiga unit mesin pengolah biji jarak tersebut dibangun menggunakan dana sebesar Rp 5 miliar, sementara pembangunan pabrik biodieselnya menelan biaya Rp 8,5 miliar. Setiap mesin mampu menghasilkan 2 ton JCO setiap hari atau 6 ton JCO per hari. Kemudian, diolah menjadi 6 ton biodiesel pula setiap hari. Untuk mengolah 6 ton JCO setiap hari, diperlukan bahan baku biji jarak sebanyak 18 ton per hari. Dari hasil produksi bio diesel ini pemerintah kabupaten OKU Timur berharap akan dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar untuk mesin-mesin pertanian di kabupaten OKU Timur. Saat ini pemerintah kabupaten OKU Timur telah memberikan bantuan bibit kepada petani dengan luas areal 2000 hektar dan akan terus dikembangkan menjadi 7000 hektar.

2.3.3. Praktek buruk perkebunan kelapa sawit

1. Konfl ik pertanahan

Konfl ik pertanahan di Sumatera Selatan telah ada sejak masa orde baru (pemerintahan Soeharto), dan mulai muncul pada tahun 1991. Sejak tahun 1991 kasus konfl ik pertanahan di Sumsel mulai mendapatkan pendampingan/ advokasi dari LBH Palembang. Menurut LBH Palembang konfl ik-konfl ik pertanahan yang ada bukanlah konfl ik antara petani yang tidak memiliki lahan atau petani berlahan sempit dengan tuan-tuan tanah tetapi konfl ik antara petani dengan pemilik modal dalam hal ini perusahaan-perusahaan perkebunan.

To produce 6 tons of JCO per day requires a daily 18-ton supply. The district administration of OKU Timur expects the production will be suffi cient to run the local agricultural machines. Recently, the administration has provided seeds for the farmers for a 2,000-ha plantation, which will be expanded to 7,000 ha.

2.3.3. Oil palm plantations’ bad practices

1. Land confl icts

Land confl icts in the province of South Sumatera date back to the New Order’s time (the late Soeharto’s regime) and started in 1991, and have since received advocacy from Palembang-based Legal Aid Agency (LBH). According to the organisation, the existing confl icts are not between landless or small farmers and landlords, but between farmers and investors, in this case plantation companies.

Page 39: Biofuel Final (Cetak)

29

Biofuel; a Trap

Konfl ik pertanahan terus mencuat ketika Soeharto tidak lagi berkuasa, karena pada saat pemerintahan Soeharto konfl ik-konfl ik pertanahan mendapat penanganan represif, sehingga belum ada keberanian dari petani untuk mengadukan konfl ik-konfl ik. Pada situasi konfl ik yang terjadi Pemerintah yang seharusnya bersikap sebagai penengah tetapi justru melindungi para pemilik modal. Bahkan banyak sekali izin-izin konsesi untuk perkebunan (kelpa sawit) yang dikeluarkan pemerintah menimbulkan konfl ik pertanahan. Berikut ini grafi k kasus konfl ik pertanahan perkebunan kelapa sawit di Sumsel :

Gambar Grafi k konfl ik: data LBH Palembang

Konfl ik pertanahan juga telah menimbulkan konfl ik horizontal yaitu konfl ik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, maupun konfl ik antara masyarakat dengan pemerintahan. Konfl ik-konfl ik ini tidak sedikit juga dibarengi dengan kekerasan baik yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat, kekerasan masyarakat dengan pegawai-pegawai perusahaan maupun kekerasan antara masyarakat dengan masyarakat. Dari catatan LBH Palembang sebagian besar konfl ik pertanahan telah menyeret petani pada persoalan-persoalan kriminal (pidana).

Divisi Litigasi LBH Palembang mencatat sejak tahun 1996, lebih dari 100 orang petani yang akhirnya dikenakan sanksi pidana, dipenjara yangmana kasus pidana ini diawali dengan konfl ik pertanahan. Pasal-pasal pidana yang biasanya sering membuat petani harus menjalani hukuman penjara antara lain perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, pencurian, penganiayaan, pengrusakan bahkan pidana pembunuhan.

Land confl icts have been rising to surface since the fall of the late Soeharto. The late Soeharto was applying repressive measures to silence protests against land confl icts. In most cases, the government, which should have been the mediator, were protecting investors. Many of palm plantation concessions issued by the government led to confl icts. The chart below shows the graphical conditions of the plantation-related confl icts in the province.

The confl icts in fact triggered other confl icts among communities, and between communities and the government. Very often, violence occurred between companies and communities, between communities and company’s offi cials, and among communities. LBH Palembang says that most confl icts have taken farmers to court for criminal cases.

The Litigation division of LBH Palembang records that since 1996 more than 100 farmers were imprisoned for cases related to land confl icts. Charges include offense, disgrace, theft, assaults, vandalism, and murder.

Page 40: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

30

2. Ancaman bagi ketahanan pangan di Sumsel

Pembangunan lahan pertanian di Sumatera Selatan terus dilakukan, berdasarkan data Dinas Pertanian Sumatera Selatan lahan sawah irigasi teknis mencapai 6,757 ha dan irigasi non teknis 809 ha. Lahan pertanian padi di provinsi ini pada 2005 mencapai 626.849 ha dengan jumlah produksi 2.320.110 ton. Dari jumlah produksi itu, sekitar 171.928 ton berasal dari produksi lahan kering seluas 73.504 ha. Luas areal dan produksi padi tertinggi di Sumsel yaitu dikabupaten OKI dan OKU Timur.

Tetapi di sisi lain pembangunan perkebunan kelapa sawit yang terus dilakukan telah berdampak terhadap lauas areal pertanian padi. Setiap tahun konversi sawah di Sumsel mencapai 8 persen per tahun dari luas total keseluruhan. Areal sawah di Sumatera Selatan saat ini 727.441 hektar. Pencetakan sawah baru, hanya 5 persen dari luas total per tahun. Tidak sebanding dengan konversi sawah untuk kepentingan lain. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera Selatan, Trisbani Arief, ini sudah cukup memprihatinkan jika diiarkan berlarut-larut bisa menggangu stok pangan di Sumatera Selatan23 .

Dari data lapangan Walhi Sumsel terjadi alih fungsi lahan pertanian padi menjadi perkebunan kelapa sawit, misalnya alih fungsi lahan pertanian Sonor salah satu sistem pertanian di lahan rawa pada saat musim kemarau (lihat box) di beberapa desa di kecamatan Pangkalan Lampam dengan rincian sebagai berikut desa Jermun dengan luas lahan pertanian padi 1.000 hektar, desa Rambai dengan luas lahan pertanian seluas 2.500 hektar, desa Perigi Talang Nangka dengan luas lahan pertanian 25.000 hektar. Sedangkan di kecamatan Pedamaran alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan sawit terdapat desa Gerunggang dengan luas lahan 204 hektar yang disebut lahan rawa jering.

Selain alih fungsi oleh perkebunan sawit yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, alih fungsi juga dilakukan oleh masyarakat sendiri dikarenakan menanam sawit dianggap lebih menguntungkan dibanding dengan menanam padi. Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan, Samuil Khatib, Perkebunan komoditas menurut Samuil, prospeknya sangat baik sebab kondisi di tahun 2008 harga mengalami kenaikan. “Pertama, karena komoditi seperti karet, sawit dan kopi, menjanjikan. Ke dua, Sumsel punya skema pembiayaan dalam program revitalisasi perkebunan. Skema kreditnya dengan infrastruktur yang dikerjakan pemerintah untuk mendorong semua itu. Disamping komsumsi untuk produk primer, memiliki pangsa pasar yang luas. Negara-negara industri makin berminat dengan komoditas kita,” tutur Samuil Khatib

2. Threat to food security in South Sumatera

Agricultural sector keeps being developed in South Sumatera province. The province contains 6,757 ha of technical irrigated fi elds and 809 ha of non-technical irrigated ones. In 2005 there were 626,849 ha of rice fi elds with the total production of 2,320,110 tons. Approximately 171,928 of the total production came from dry farms, which encompassed 73,504 ha. Districts with the largest area and production were Ogan Komering Ilir (OKI) and Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur).

Despite the above, palm expansion has signifi cantly been decreasing rice fi elds. The conversion rate reaches 8% annually. To date, there are 727,441 has of rice fi elds in the province. Addition of new fi elds is accountable for only 5% of the total, which is nothing compared with the conversion. The head of the provincial food crops agency Trisbani Arief says that the condition is worrying and will potentially affect the food security in the province if no actions are in place23 .

Field data from Walhi South Sumatera indicate conversion from rice fi elds into oil palm plantations, such as conversion of Sonor fi elds (sonor is a traditional system of wetland rice cultivation; see Box) in several villages in Pangkalan Lampam sub-district, namely Jermun (1,000 ha), Rambai (2,500 ha), and Perigi Talang Nangka (25,000 ha). In Pedamaran sub-district, conversion occurred in Gerunggang village to 204 ha of rawa jering land.

In addition to conversion by palm companies, local communities also convert their agricultural land into oil palm plantations as palm is thought to be more profi table. According to the head of the provincial plantation agency Samuil Khatib commodity plantations are very promising because the price rose in 2008. “First, because commodities like rubber, palm and coffee are promising. Second, the province has a fi nancing scheme in plantation revitalisaiton programme, intended to promote the sector. In addition, there is a large market for primary products. Industrial countries have more and more interests in our commodities,” said Samuil Khatib

Page 41: Biofuel Final (Cetak)

31

Biofuel; a Trap

3. Harga Kebutuhan Pokok (Minyak Goreng)

Harga minyak goreng yang merupakan salah satu produk berbahan baku CPO terus meningkat seiring harga BBM dunia. Harga tertinggi di Sumatera Selatan pada tanggal 4 Mei 2008 mencapai Rp 14.000. Harga ini berdasarkan pantauan harga di beberapa pasar tradisional di kota Palembang. Tingginya harga minyak goreng sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat di Sumatera Selatan. Antrian panjang terjadi hampir disetiap tempat dimana operasi pasar yang dilakukan oleh dinas perdagangan.

Dari hasil wawancara Walhi Sumsel dengan 10 orang ibu rumah tangga tentang kenaikan harga minyak goreng dan dampaknya terhadap kehidupan seharu-hari diperoleh catatan sebagai berikut : kenaikan harga minyak goreng telah membuat pemenuhan kebutuhan ekonomi bertambah terutama terhadap uang belanja dapur permasalahan diatasi dengan berbagai cara yaitu melakukan pengehematan dengan jalan mengurangi konsumsei minyak goreng (memasak dengan cara direbus) atau dengan jalan memakai ulang (re use) minyak yang telah dipakai (disebut minyak jelantah) yang sebenarnya akan berpengaruh terhadap kesehatan Operasi pasar yang dilakukan oleh Dinas Perdagangan di kota/kabupaten di Sumatera Selatan dirasakan oleh masyarakat tidak terlalu membantu karena selaian harga yang hanya selisih sedikit dengan harga minyak goreng yang ada di pasaran, juga membuat ibu-ibu harus menambah waktu untuk mendapatkannya dikarenakan harus membelinya dengan cara antrian.

Selain itu tingginya harga minyak goreng telah membuat beberapa industri makanan khususnya yang dalam skala kecil harus menghentikan atau mengurangi produksinya, salah satunya yaitu industri rumah tangga berupa kemplang dan kerupuk yang sangat banyak terdapat di kota Palembang. Selain itu sebagian harga kerupuk dan kemplang juga mengalami kenaikan harga walau tidak terlalu signifi kan jumlahnya.

3. Price of basic needs (cooking oil)

The price of cooking oil, one of palm products, rises in line with the world’s fuel price. The highest price on several traditional markets in Palembang reached Rp14,000 on 4 May 2008. High cooking oil price presents a diffi cult time for families. Long queues are a common sight during market operations (i.e. government-subsidized cooking oil).

Walhi’s interviews with 10 housewives about the hike and the impacts on daily lives show that, as higher price means more expenses, housewives try to reduce use of cooking oil by boiling instead of frying or re-using the used oil (locally called minyak jelantah) though the latter will potentially affect the health. The market operation by the Trade Agency is said to have been of little help as the price of the government-subsidized cooking oil is just a little less than the normal price and housewives must spend a considerable amount of time queuing.

The high price has also forced small/home food businesses to terminate or reduce the production, such as kemplang and kerupuk (chips) producers, which are quite numerous in Palembang City. Besides, the price of some of the kerupuk and kemplang slightly rising.

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

East

Sumber data : Data Bulog yang diolah Walhi sumsel

Page 42: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

32

BAGIAN III

BIOFUEL; Setelah Mewariskan Konflik, Bencana Dan Kemiskinan,

Kini Pangan Jadi Sasaran

”Pulau Sumatera adalah laksana miniatur Bencana di Indonesia, dari pulau ini semua eksperimen atas bencana dilakukan, hutan telah menghilang, gambut telah dikeringkan, masyarakat sudah diusir, dan kini pangan akan diganti dengan kelapa sawit”

Sebagai respon terhadap krisis energy, dan terus meningkatnya harga bahan bakar dipasar international, telah mendorong pemerintahan SBY melirik energy alternatif, terutaman biofuel. Rencana ini termulasi dengan baik dala Blueprint biofuel ditahun 2006 dan tentunya dengan target ambisius, dimana dalam blue print tersebut mencatat bahwa program besar ini ingin segera mendorong perbaikan hidup rakyat Indonesia, dengan cara mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Rencana pemerintah di tahun 2010 adalah 10% dari kebutuhan energy nasional harus berasal dari biofuel, dengan perkiraan kebutuhan biofuel mencapai 4 juta kiloliter. Guna mendukung ambisi tersebut, pemerintah nasional selain melahirkan kebijakan untuk mendukung program nasional ini, pemerintah juga telah menetapkan sekitar 1000 desa menjadi desa mandiri energy dan 12 zona Biofuel khusus. Tak hanya itu saja, pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 6,5 juta Ha, dengan rincian 3 juta Ha untuk ekpansi perkebunan kelapa sawit, 1,5 juta Ha untuk masing-masing tanaman jarak dan singkong 500.000 Ha untuk perkebunan tebu, dan kesemuanya disiapkan untuk mensuplay bahan baku biofuel.

Jika dilihat dari sisi hitungan makro-ekonomi, pemanfaatan biofuel terutama biodiesel yang bahan bakunya berasal dari kelapa sawit memang menggiurkan, jika 1% konsumsi solar dalam negeri dipenuhi oleh biodiesel, maka dibutuhkan 100.000 ton biodiesel sebagai bahan campuran atau setara dengan 100.000 ton minyak sawit. Sedangkan

”The island of Sumatera represents Indonesia’s disaster in miniature. The island has seen experiments leading to disasters: forests are disappearing, peat has been dried, people have been displaced and now crops are being replaced with palms.”

Responding to energy crisis and the soaring price of the world’s fuel, Susilo Bambang Yudhoyono’s government has thrown a glance at alternative energies, particularly biofuel. The plan is well formulated in the 2006 biofuel blueprint, furnished with a highly ambitious target. This big biofuel programme intends to immediately accelerate the creation of prosperity to the nation – alleviating poverty, reducing unemployment and boosting the economic growth.

The government’s plan for the year 2010 is to fulfi l 10% of the energy need with biofuel, estimating the biofuel need to reach 4 million kiloliters. To support the ambition, the government has not only issued relevant policies but also designated 1,000 villages as energy independent villages and 12 special biofuel zones. More than that, it has reserved 6.5-million ha land for oil palm plantations (3 million ha), jatropha (1.5 million ha), cassava (1.5 million ha) and sugar cane (500,000 ha), to supply biofuel.

From macro-economic calculation, biofuel, notably palm biodiesel, is very promising in many aspects. Assuming that 1% of the domestic diesel consumption is to be fulfi lled by biodiesel, it means that 100,000 tons of biodiesel are needed or equal to 100,000 tons of palm oil, the production of which will require a palm plantation of 90,000 ha in size, and some 30,000 workers to manage the plantation1. But, is it true? Facts gathered so far show that economic factors have been the main concern, ruling out ecological and cultural ones.

Since the inception of the project, domestic bank investment up to Rp5.1 trillion was approved by late 2007, and 20

PART III

BIOFUEL: After Creating Conflicts,

Disasters And Poverty,

Now Threatening Crops

Page 43: Biofuel Final (Cetak)

33

Biofuel; a Trap

untuk menghasilkan 100.000 ton minyak sawit dibutuhkan lahan seluas 90.000 Ha perkebunan kelapa sawit, dari 90.000 Ha akan menyerap sekitar 30.000 tenaga kerja1. Tapi betulkan demikian? Karena dalam berbagai catatan, untuk memproduksi biodiesel faktor ekonomi yang menjadi ukuran paling utama, sehingga faktor ekologi, dan budaya diabaikan.

Sejak projek ini dicanangkan, hingga tahun 2007 tercatat Rp 5,1 trilliun investasi oleh Perbankan dalam negeri yang sudah ditanda tangani, dan 20 investor industri BBN yang telah terdaftar dengan total kapasitas 3,2 juta ton/tahun dengan nilai investasi sebesar 900 juta US$2. Tapi dari total kapasitas terpasang baru 1,1 juta ton/tahun yang bisa dihasilkan dari 5 pabrik yang sudah beroprasi, celakanya hampir seluruh produksi Biodiesel dari dalam negeri tidak terserap dalam negeri, hanya 15% yang terserap atau sekitar 150.000 ton/tahun, karena kebutuhan dalam negeri yang masih sedikit, selebihnya di Ekspor kepasar international, dengan permintaan terbesar dari pasar Eropa lalu disusul AS.

”Kejar setoran” mungkin itu yang pantas diucapkan, karena apa yang direncanakan secara nasional tidaklah bisa berjalan mulus, lihat saja, selain minimnya kebutuhan dalam negeri tentang biofuel, harga bahan bakar nabari dari biodiesel juga tidak lebih murah dari bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Inilah yang membuat projek nasional ini menjadi stagnan. Misalnya saja perusahaan pemerintah (PERTAMINA) yang ditunjuk pemerintah untuk memproduksi Biofuel (biosolar/biodiesel) menghentikan produksinya karena mengalami kerugian mencapai Rp. 16,9 miliar sejak projek ini dil3uncurkan yaitu Mei 2006 hingga Maret 2007 dan PERTAMINA resmi ditunjuk pemerintah untuk memproduksi biodiesel4. Selain Pertamina, dari sekitar 17 perusahaan dari 22 perusahaan biofuel yang memiliki pabrik pengolahan menghentikan prouduksi biofuelnya5.

Table 1.

Rencana distribusi lahan untuk biofuel di berbagai propinsi / Plan of Biofuel Land Distribution in various provinces6

Propinsi Luas/Size (Hectare/Ha) Province

Sulawesi Tenggara 212,123 South East Sulawesi Sulawesi Utara 34,812 North Sulawesi Nusa Tenggara Timur 101,830 East Nusa Tenggara Maluku 2,304,932 The MoluccasPapua Papua 9,262,130 Papua Kalimantan Barat 514,350 West Kalimantan Sulawesi Tengah 251,856 Central Sulawesi Kalimantan Selatan 65,638 South Kalimantan Total 12,947,671 Total

investors were registered with the total intended capacity of 3.2 million tons annually and the total investment standing at US$900 millions2. However, only 1.1 million tons of the intended capacity have actually been realised from all the 5 operating plants. To make matters worse, most of the production is exported – only 15% or 150,000 tons are absorbed by the domestic market due to low demand – mostly to European countries and USA.

“Simply pursue the target” may be appropriately addressed to the national programme as it has not been running well. In addition to the low demand for biofuel on the domestic market, the price is not lower than that of fossil fuel. It is the reason why the national project gets stagnant. The government-owned oil company PERTAMINA, offi cially appointed to produce biofuel3, had to terminate the production following a great loss of up to Rp.16.9 billion from its operation between May 2006 and March 20074. Besides, some 17 of the total operating plants had to terminate their production5.

Page 44: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

34

Jika dalam rencana nasional stagnan, tapi tidak demikian dengan kenyataan ditingkat lokal, tiap detik ekspansi perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit terus dilakukan, dan kini untuk mendorong ekspansinya berbagai program dikeluarkan seperti program revitalisasi perkebunan, progarm replanting dll, yang sebetulnya ditingkat logal atau daerah program ini tak lebih dari projek semata. Tentunya dengan justifi kasi mendukung rencana nasional tentang biofuel.

Dari rencana distribusi lahan perkebunan untuk bahan baku biofeul menunjukan, betapa luasnya areal yang disediakan di 8 wilayah khusus sebagaimana table tersebut diatas. Tabel ini seperti ingin menggambarkan bahwa betapa besar harapan terhadap biofuel kedepan, sehingga harus disiapkan lahan yang mencapai 12,9 juta hektar. Tapi sebetulnya telah dipersiapkan lahan seluas 24,4 Juta Ha untuk mendukung projek nasional ini hingga tahun 2010, dimana 5 juta Ha lahan akan dipersiapkan untuk mendukung ekpansi perkebunan, 1 juta Ha untuk mendukung projek revitalisasi perkebunan kelapa sawit, 9 juta Ha untuk projek rehabilitasi kawasan, dan sisanya atau sekitar 8 juta Ha untuk mendukung Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam proyek land reform7. Hampir 70% lahan tersebut akan digunakan untuk menanam perkebunan kelapa sawit, yang tentu saja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi juga sebagai sumber bahan baku biofuel7. Perluasan perkebunan kelapa sawit ini menimbulkan bencana di banyak tempat, bencana kebakaran lahan dan hutan, gangguan asap, banjir, kekeringan di mana-mana karena pohon sawit banyak menghisap air, keanekaragaman hayati terancam punah dan kawasan-kawasan lindung lainnya terancam di konversi lebih luas.

Although nationally stagnant, locally oil palm plantations still continue to expand. And to support the expansion, various measures have been taken such as the plantation revitalisation programme, and the replanting programme, which are nothing but mere projects. The national plan is used as justifi cation.

The table shows a considerable size of land reserved for biofuel. The size represents the high expectation of biofuel in the future. In fact, 24.4 million ha of land have actually been reserved up to 2010 to support the national project. Of these, 5 millions are reserved for oil palm plantations, another 1 million for oil palm plantations revitalisation project, another 9 millions for regional rehabilitation project, and the rest 8 millions to support the National Land Agency’s land reform project.7. Nearly 70% of the land is reserved for oil palm plantations, which are to supply not only food but also raw material for biofuel. Such an expansion, however, has brought about disasters in various places – fi res, smoke hazard, fl oods, extensive drought as palms absorb plenty of water, extinction threat to biodiversity and conversion threat to protected areas.

Gambar/grafi k:

Peta areal perluasan sawit untuk biofeul/ Palm expansion for biofeul

Page 45: Biofuel Final (Cetak)

35

Biofuel; a Trap

76 Konflik lahan

140 Konflik

84 Konflik

Sebanyak 13.000 jiwa Warga 3 Desa di Kecamatan Padamaran, Kabupaten OKI Sumatera Selatan, telah kehilangan cita-cita kesejahteraannya, akibat luas lahan mereka 5.000 hektar di ambil oleh perusahaan BCP (wilmar group) untuk perkebunan kelapa sawit. Nasib meraka sama dengan Warga suku anak dalam di Batanghari sebanyak 1.700 kepala kaluarga juga bersengketa dengan perusahaan PT Asiatik Persada sebuah perkebunan kelapa sawit yang memasok bahan baku biofeul. Lain lagi cerita warga Desa Talang Nagka dan Desa Rambai yang lahan potensial sawah di gusur oleh perusahaan kebun sawit. Cerita dan fakta yang ditemui di tingkat lapangan pada tapak proyek Biofeul di Sumatera. Sengketa tanah antara warga dan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, merupakan catatan lengkap dari sebuah konfl ik di proyek biofeul ini.

3.1. Biofuel; dan kantong-kantong konfl ik di Sumatera

Semakin luas areal perkebunan kelapa sawit, semakin meluas dan laju peningkatan konfl ik sosial dan lingkungan meningkat jumlahnya. Konfl ik di perkebunan tidak saja terkonsentrasi wilayah Sumatera, tetapi semua pulau-pulau besar di Indonesia yang mengalami perluasan perkebunan kelapa sawit, misalnya di Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebagai pintu pertahanan terakhir bagi kehidupan yang damai, sudah mulai di bangun kebun kelapa sawit. Menurut catatan Sawit Watch, sebuah lembaga yang memiliki focus pekerjaan melakukan pemantauan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Jumlah Konfl ik social tahun 2003 sebanyak 140 konfl ik8, meningkat menjadi 513 konfl ik sosial9 pada tahun 2007. Sampai akhir tahun 2008, jumlah konfl ik mecapai 576 kali di perkebunan kelapa sawit, di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan 4 kali lipat yang lansung bersentuhan dengan perkebunan besar kelapa sawit. Artinya projek Biofuel telah berkonstribusi terhadap akumulasi konfl ik diperkebunan kelapa sawit di Indonesia.

3.1. Biofuel, and confl ict pockets in Sumatera

The more extensive oil palm plantations are, the more extensive and higher the social and environmental confl icts are. Plantation-related confl icts are not restricted to Sumatera only, but have also spread to the other large islands of Indonesia where oil palm plantations are expanding, such as Kalimantan, Sulawesi and Papua. In the last three islands, the last refugee of peaceful lives, oil palm plantations are starting to expand. According to Sawit Watch, an NGO working on oil palm issues, the year 2003 saw 140 social confl icts8, which rose to 513 in 2007. Up to late 2008, 576 confl icts were recorded nationwide, four times as many as those in 2003 and all are directly related to oil palm plantations. This means that the biofuel project has contributed to the escalating confl icts in oil palm sector in Indonesia.

As many as 13,000 people in 3 villages in Padamaran sub-district, OKI district, South Sumatera, have lost their hope for prosperity when their 5,000-ha land was taken over by BCP (the Wilmar group) to be converted into oil palm plantations. Similarly, the 1,700 households of the Suku Anak Dalam indigenous people in Batanghari are in confl ict with a palm company PT Asiatik Persada. The communities of Talang Nagka village and Rambai village had their potential rice fi elds taken over by a palm company to be converted into oil palm plantations. These few stories and facts represent land confl icts between local communities and oil palm plantation companies in the development of biofuel project in Sumatera.

Peta Konfl ik di Sumatera

Confl ict Map in Sumatera

Page 46: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

36

Sementara, dari rangkaian catatan sejarah di Sumatera, setidaknya ada tiga propinsi yang menimbulkan konfl ik di perkebunan mencapai 300 konfl ik di Riau, Jambi dan Sumsel. Jumlah konfl ik tersebut sampai saat ini tak satupun berusaha diselesaikan dengan baik. Jika kemudian ekspansi perkebunan terus dilakukan, maka tak heran jika suatu saat konfl ik ini akan terkosentrasi dan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Box 4: Konfl ik di sektor perkebunan Riau Box 4: Cofl icts in Riau plantation sector

Dalam masa 20 tahun pertumbuhan perkebunan di Riau, khususnya komoditi kelapa sawit telah mencapai 2,3 juta hektar3 dengan pertumbuhan per tahun rata 100.000-120.000 hektar. Pertumbuhan pesat pembangunan kelapa sawit, telah menimbulkan konfl ik dengan berbagai masyarakat suku asli di Riau, seperti Talang Mamak di Indragiri Hulu, Petalangan di Pelalawan, Sakai di Siak dan Bengkalis, Bonai di Rokan Hulu. Konfl ik-konfl ik ini telah meminggirkan mereka dari sumber daya alam warisan leluhur mereka dan mencerabut sistem sosial ekonomi budaya yang ada. Selama tahun 2008, ada sedikitnya 52 konfl ik dengan luas lahan konfl ik 101.822 hektar, sebagian konfl ik ini terjadi sejak tahun sebelumnya dan masih belum mendapat penyelesaian hingga penghujung 2008 ini. Konfl ik ini di mulai dari proses penyediaan lahan perkebunan kelapa sawit bagi investasi, termasuk proyek biofeul di Riau, dimana seluas 3,2 juta hektar wilayah daratan gambut Riau telah dicanangkan untuk sektor perkebunan, tanpa didahului oleh pendataan terhadap keberadaan hutan tanah adat/ulayat yang pada kenyataannya masih eksis diakui di pedesaan sejak jaman kerajaan terdahulu. (scale-up Riau 2009)Konfl ik di Jambi; dari konfl ik tanah adat hingga konfl ik kemitraanHingga saat ini, ada sekitar 140 konfl ik di Jambi. jika awal tahun 2000, konfl ik didominasi oleh sengketa tanah adat yang dikonversi menjadi kebun sawit, diakhir tahun 2006, konfl ik justru didominasi oleh konfl ik kemitraan. Karena terjadi perubahan pola konfl ik, dimana konfl ik tanah terkadang diselesaikan dengan memberikan kompensasi kebun plasma kepada masyarakat melalui skema kemitraan. Lalu karena kemitraan juga bermasalah, lalu muncul kemudian konfl ik baru yaitu konfl ik antara petani plasma dengan perusahaan inti. Di Jambi ada fenomena bahwa konfl ik tanah adat, selalu dijawab dengan kompensasi kemitraan. Kasus di sebuah perkebunan di Kabupaten Batanghari PT Asiatik Persada misalnya, jelas-jelas perusahaan pengambil hak-hak masyarakat dengan izin pemerintah, tapi bukannya mengganti rugi, atau kemudian mengembalikan hak-hak masyarakat, tapi justru masyarakat SAD kemudian diminta untuk menjadi mitra dalam bentuk kemitraan KKPA, dengan cara mencicil kebun tersebut. Ini seperti pengalihan sumber masalah.

120,000 hectares per year, now totaling 2.3 million hectares3. The rapid development has caused confl icts with many indigenous peoples, such as the Talang Mamak in Indragiri Hulu, the Petalangan in Pelalawan, the Sakai in Siak and Bengkalis, and the Bonai in Rokan Hulu. The confl icts have deprived them of their rights to their ancestor’s natural resources and diminished their social, economic and cultural system. During 2008, there were at least 52 confl icts over 101,822 hectares of land; some of them had started in the previous year and had not been completely settled up to late 2008. The confl icts started when the government reserved land for palm investment, including for the biofuel project in Riau. 3.2 million hectares of peatland were designated as plantations without prior investigation of the existence of customary land, which have still been recognized in villages since centuries ago. (scale-up Riau 2009)

Confl icts in Jambi: from confl icts to customary land up to those to partnership

To date, there have been some unsettled 140 confl icts in Jambi. While in early 2000 the confl icts were dominated by those over conversion of customary land to oil palm plantations, in late 2006 they were dominated by confl icts over partnership because the confl ict pattern changed: land confl icts were usually settled by the provision of a partnership scheme (nucleus – smallholder/plasma) as the compensation for the converted land. Then, problems arose, and new confl icts arose between the smallholders and the nucleus (the company). In Jambi, there is a phenomenon that the partnership scheme is always used to address confl icts over customary land. In the case of PT Asiatik Persada, for example, it is obvious that the company, with the government’s permission, deprived the local communities of their rights. However, instead of providing compensation or restoring the rights, the company asked the local communities to be engaged in the smallholder-nucleus scheme, under which they had to pay off the smallholder land they received on installments. This sounds like a diversion

A total 300 confl icts have been spreading in three provinces of Sumatera, namely Riau, Jambi and South Sumatera. None has been settled satisfactorily. Should the expansion continue, confl icts will be concentrated and become a dangerous time bomb.

Page 47: Biofuel Final (Cetak)

37

Biofuel; a Trap

Tahun 2007 eksport minyak sawit Indonesia mencapai 13,20 ton (industri makanan dan kosmetik) dan

akan terus ditingkatkan hingga mengalahkan Malaysia

In 2007, Indonesia exported 13.2 tons of palm oil (food and cosmetic industry) and would increase the export to beat Malaysia

Perkebunan Kelapa sawit skala besar

Large-scale oil palm plantations

Biofuel/biodiesel yang akan menggantikan solar

Biofuel/biodiesel to replace diesel

CPO

Tahun 2010 kebutuhan CPO untuk pasar domestic akan meningkat dari

4 jt menjadi 10 jt ton

The 2010 CPO need on the domestic market will increase from 4 to 10 million tons

Telah disiapkan lahan seluas 24,4 jt ha (5 jt Ha untuk ekspansi baru/BBN, 2 jt Ha revitalisasi,

9 jt Ha rehabilitasi , dan 8 jt Ha PPAN

24.4 million ha have been reserved for oil palm plantations (5 millions), revitalisation

(2 millions), rehabilitation (9 millions), and land reform (8 millions)

Kebutuhan biofuel untuk tranportasi dan biomassa di pembangkit listrik mencapai 1,5 juta ton (Mt) tahun 2005, ini baru Eropa.

Biofuel need for transportation and biomass reached 1.5 million tons (Mt) in 2005, only in Europe.

2010 kebutuhan CPO untuk produksi biofuel domestic sebesar 2,01 jt ton

The 2010 CPO need for biofuel on the domestic market will reach 2.01 million tons

Minyak Goreng, Mentega,

Cooking oil, butter

BAGAN PERTARUNGAN LAHAN DAN KOMODITASCHART OF THE WAR BETWEEN LAND AND COMMODITIES 10

3.2. Biofuel; menciptakan pertarungan antara manusia dan mesin

”Biofuel tidak akan ada manfaatnya, ketika 800 juta manusia didunia tidak dapat tidur nyenyak dilanda kelaparan karena ketiadaan pangan”

3.2. Biofuel: creating a war between humans and machines

”Biofuel is of no use when 800 millions of people are too hungry to sleep.”

The communities of Tanah Menang in Jambi, of Bunga Raya in Riau and of Rambai in South Sumatera surely have never toasted bread with butter for breakfast. Their typical breakfast consists of cooked rice or boiled cassava plus a small portion of fi sh. People never imagine that not only does biofuel give a positive picture of the world’s future energy, it also poses a threat to the world’s food security. Poor people are in particular the most affected group. The industry has directly contributed to the increasing price of palm-based products: cooking oil, butter, milk and, indirectly, of other

Warga Tanah Menang di Jambi, Bunga Raya di Riau dan Rambai di Sumatera Selatan, setiap pagi tidak pernah mengkonsumsi roti yang diberi mentega dan di panggang. Sarapan mereka sudah dipastikan nasi atau sinkong yang direbus serta ikan secukupnya. Tidak pernah dibayangkan, bahwa, Biofeul tidak saja akan memberikan gambaran positif bagi pemenuhan kebutuhan akan energy di dunia. Tetapi Biofeul juga akan menjadi persoalan pokok terancamnya bahan pangan bagi rakyat di dunia. Khususnya masyarakat miskin yang menerima dampak penggunaan Biofeul. Industri

Page 48: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

38

Tabel 4 : Jumlah Luas Kebun Sawit dan Tanaman Pangan (Padi), 3 wilayah Sumatera/ Total size of oil palm plantations and agricultural (rice) land in three regions of Sumatera, 2009.

No ProvinsiLuas Kebun Sawit

Total size of oil palm plantations (ha)

Luas Tanaman Padi Total size of agricultural (rice) land

(ha)1 Jambi 450.000 154.9412 Sumatera Selatan

(South Sumatera)600.000 626.849

3 Riau 2,157,091 276,533TOTAL 3.157.091 1.058.323

Sumber: Diolah dari berbagai sumber resmi Pemrov/ Processed from various provincial government’s data, 2007 – 2008

ini berdampak langsung pada peningkatan harga yang di produksi dari bahan baku minyak sawit, seperti; minyak goreng, mentega, susu dan merabah pada bahan pokok lainnya seperti tapi juga menyebar kebahan pokok lainnya, seperti beras, gandum, kedele, baik di dalam maupun diluar negeri. Selain peningkatan harga, hilangnya bahan pangan rakyat, karena lahan produksi pangan rakyat telah di ambil paksa untuk areal perkebunan kelapa sawit.

Keadaan ini jelas memukul masyarakat di pedesaan, yang juga kemudian lahan dan kebunnya tergusur oleh perluasan perkebunan sawit industry Biofeul. Harga minyak goreng naik terus ketika isu Biofeul menjadi salah satu “dewa pembangunan” bagi Pemerintah sebagai solusi energy. Tidak saja berhenti pada naiknya harga minyak goreng dalam negeri dari Rp 7.000 melambung antara 9.000 s/d 11.500 per kg. Tetapi harga-harga kebutuhan bahan pokok juga ikut naik, misalnya beras, gandum, kedele dlsb. Harga Beras di tingkat pasar sejak setahun terakhir ini terus naik, dari 4.000/kg menjadi 5.000 – 7.000 / kg. Ini ditemui di pasar Jambi, Riau dan Palembang. Situasi ini memiliki sumbangan yang besar atas kondisi angka kemiskinan dan pengangguran terus meningkat sejak projek ini digulirkan. Diperkirakan akibat kenaikan bahan pokok, dan BBM jumlah orang miskin baru mencapai 15,68 Juta Orang.

Tabel berikut ini bukti bahwa ada persoalan dalam jumlah dan luas pertanian pangan terutama besar, dimana berbanding terbalik dengan luas perkebunan kelapa sawit yang terus meningkat. Ini bukti bahwa yang akan terjadi, adalah bukan ketahanan pangan seperti yang didengungkan oleh pemerintah, tapi ketahanan ekspor minyak sawit.

basic needs: rice, wheat, soybean, both domestically and globally. In addition to the increasing price, it is accountable for the reduction of crop production as more cropland has been forcibly converted into oil palm plantations.

The situation surely poses a great problem to rural communities, whose cropland and plantations are displaced by palm companies. Cooking oil is getting more and more expensive as the government makes biofuel its most prioritised development icon for energy solution. Not only cooking oil, but other basic needs such as rice, wheat, soybeans, etc., are also getting more and more expensive on domestic market. While the price of cooking oil soars from Rp7,000 to Rp9,000–Rp11,500/kg, the price of rice in the last year has been rising from Rp4,000/kg to Rp5,000–Rp7,000/kg in Jambi, Riau and Palembang City. The imposed project has contributed to the increasing number of the poor and the unemployed. It is estimated that the hikes in basic needs and fuel prices have created some 15.69 millions of newly poor people.

The table below shows that the size of agricultural land is reversely proportional to that of oil palm plantations, which means that the development is oriented to palm oil export rather than food security as the government has always iterated.

Tidak sepenuhnya projek biofuel ini bertanggung jawab atas kenaikan harga bahan pokok, kenaikan BBM akibat persediaan semakin menipis juga menjadi pemicu utama, namun harga tidak bisa lagi dikendalikan ketika mesin dan manusia berebut untuk makan. Karena tentu kita sudah tau siapa pemenangnya.

Biofuel is not the only one that is responsible for the hike in food price. It is true that fuel hike is mainly due to the depleting deposit; however, prices become out of control when machines and humans struggle for food. We all know who will win.

Page 49: Biofuel Final (Cetak)

39

Biofuel; a Trap

Tanpa disadari konsep kesejehteraan masyarakat yang diperjuangkan oleh multipihak terutama pemerintah, mengalami distorsi pemaknaan. indicator yang menekankan pada nilai bahwa kesejahteraan masyarakat akan terwujud bila kebutuhan minimum berupa pangan bisa terpenuhi. Ini berarti yang menjadi ukuran adalah kebutuhan akan sumber penghidupan akan pangan, berubah menjadi indicator yang kedua, bahwa yang menjadi nilai ukur adalah kecukupan fi nancial dan susah untuk menggambarkan kondisi social ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Dan ternyata: “indikator ekonomi yang dipakai untuk mengukur tingkat kemiskinan telah gagal menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dan tidak bisa menjadi acuan bagi apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah penting dan mendesak dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan”.

Unconsciously, the prosperity concept promoted by multistakeholder, particularly the government, has been distorted. The indicator that prosperity is achieved when food need is satisfi ed has been replaced by another indicator that prosperity is measured by an adequate level of fi nancial condition and it is diffi cult to describe the real socioeconomic conditions of communities. And it turns out that: “the economic indicator used to measure poverty level has failed to give the real picture and cannot be used to defi ne what should be done to address important and pressing issues to establish sustainable development.”

3.3. Biofuel dan kemiskinan

Masyarakat miskin berada diatas kebunnya, diatas tanah adatnya dan dihalaman rumahnya ditanami kelapa sawit. Mereka dipaksa berkorban tidak untuk dirinya.

Hilang atau terbatasnya akses masyarakat marginal terhadap sumber penghidupan akibat proses perubahan dayaguna lahan pertanian menjadi lahan perkebunan adalah proses pemiskinan structural. Akibat konversi lahan tidak berhenti begitu saja ketika struktur pertanian telah berubah menjadi perkebunan, bahan makanan yang dahulu mudah didapat sekarang sulit dicari. Struktur mata pencaharian masyarakat pun berubah dari petani menjadi pekebun bahkan pekebun/buruh kebun dan terakhir malah menjadi buruh dikebunnya sendiri.

Proyek biofuel, diyakini sekali oleh pemerintah Indonesia dapat mengatasi kemiskinan, memberikan pekerjaan bagi pengangguran dan meningkatkan ekonomi daerah dan nasional. Selain itu, proyek ini katanya akan mampu menjawab persoalan pemanasan global yang juga telah memicu terjadinya konsentrasi kemiskinan dan kelaparan diberbagai belahan dunia. Tapi betulkah biofuel menjadi “dewa penolong” kedua abad ini?

Dari studi yang dilakukan, tingkat kemiskinan di tiga wilayah menunjukan angka yang cukup tinggi menunjukan 1.776.939 jiwa dari total jumlah penduduk sebanyak 14.553.943 jiwa. Tingkat kemiskinan yang paling tinggi di ketiga provinsi tersebut adalah Sumatera Selatan. Sementara pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin di Riau mencapai 527.000,49 jiwa atau sejumlah 9,48 persen. Ini merupakan salah satu indicator, bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit tidak semestinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, melainkan justru membawa tingkat kemiskinan yang terus meningkat.

3.3. Biofuel and poverty

The poor are standing on what was once their own plantation, on their ancestral land, and they have to grow palm and sacrifi ce for others, not themselves.

Loss of or limited access to sources of livelihood due to forced conversion is an act of structural impoverishment. The impacts of conversion are not restricted to changes in agricultural structure only but also to the loss of food/diffi cult access to food. The livelihood structure changes as well, from rice farmers to plantation farmers or even plantation workers.

The biofuel project, which the government believes can alleviate poverty, provide job opportunities and boost regional and national economy as well as address global warming, which is said to have caused poverty and famine worldwide. But, is it true?

Studies show that the poverty level in the three regions is increasing, the number of poor people reaches 1,776,939 out of the total 14,553,943. The highest poverty level is in the province of South Sumatera. In 2009, the number of poor people in Riau stood at 527,000.49 or 9.48%. This indicates that palm expansion has brought increasing poverty, and not prosperity as it promises.

Page 50: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

40

Sementara provinsi Jambi sebanyak 249.690 jiwa orang penduduk miskin pada Maret 2009, tersebar di di daerah pedesaan sebanyak 132.410 jiwa dan daerah perkotaan yang jumlahnya 117.290 jiwa. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, artinya kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari pengeluaran.

Peningkatan angka kemiskinan ini dipengaruhi dari perluasan perkebunan kelapa sawit di tiga wilayah tersebut. Dimana proses pembangunan kebun sawit menimbulkan dampak hilangnya tanah, kebun-kebun, dan lahan pertanian penduduk. Setidaknya, gambaran Desa Tanah Menang Jambi memberikan gambaran yang cukup jelas, ketika ada 1.000 Kepala keluarga kehilangan mata pencaharian dan hampir lebih 5.000 jiwa penduduk masuk dalam menambahan angka jumlah orang miskin, dan tak sampai 100 orang masyarakat dari Suku Anak Dalam yang berkerja di perusahaan. Target pemerintah dalam pembangunan kebun kelapa sawit untuk biofeul bertujuan untuk memberikan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat. Tetapi, jauh panggang dari api tujuan ini tercapai. Ini merupakan salah satu indicator, bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit tidak semestinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, melainkan justru membawa tingkat kemiskinan yang terus meningkat.

Walaupun dampak yang diterima penduduk dan keselamatan lingkungan di daerah cukup serius. Pemerntah tetap berambisi pada proyek ini dengan cara menyediakan payung hukum bagi kepentingan proyek memberi makan mesin. Sehingga sudah dilakukan oleh pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan guna mendukung proyek energy alternatif. Ada Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2007 tentang kebijakan enegeri nasional, Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 tentang supply dan pemanfaatan biofuel sebagai energi alternatif, Keputusan Presiden No. 10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional pembangunan Biofuel guna mempercepat proyek ini. Kebijakan-kebijakan ini, betapa seriusnya sehingga, proyek ini membuktikan sangat

The number of poor people In the province of Jambi amounted to 249,690 in March 2009. Of these, 132,410 lived in rural areas and 117,290 live in urban areas. To measure poverty, the Central Statistics Bureau uses the ability to fulfi l basic needs, which means that poverty is measured by the economic inability to fulfi l basic food needs, and not by the amount of expenses.

The increasing poverty level is infl uenced by the presence of oil palm plantations in the three locations. Oil palm plantations have taken over local communities’ land, plantations and rice fi elds. At least, what has been happening to Tanah Menang village in Jambi gives us a fairly clear picture: 1,000 households have lost their livelihood, nearly 5,000 have been impoverished, and only few of the Suku Anak Dalam indigenous people (less than 100) have been employed in palm companies. One of the government’s targets with biofuel development is to provide job opportunities, and increase communities’ income. However, the target is far from being achieved. It is an indicator that palm expansion has not brought about prosperity but increasing poverty.

Despite serious impacts on the communities and the environment, the government keeps supporting the project by providing a legal umbrella for the biofuel project. Several policies have been issued to support alternative energy projects, including Governmental Regulation No. 5 Year 2007 on national energy policies, Presidential Instruction No. 1 Year 2006 on supply and use of biofuel as alternative energy, and Presidential Decree No. 10 Year 2006 on the forming of the national team for biofuel development to accelerate the project. The issues of such policies – indicating the government’ seriousness in the sector – mean that a large amount of money is to be disbursed in such projects (cynically referred to as ‘wet projects’, i.e. the ones involving a lot of money). At a certain time, palm oil does not end up only in supermarkets or cosmetic counters but also in fuel plants.

Tabe 5: Jumlah Penduduk Miskin di Wilayah Studi Sumatera/ Number of poor people in the study areas in Sumatera, March 2009.

No Provinsi Jumlah Penduduk /Total population (Jiwa/ person)

Penduduk Miskin/ Number of poor (Jiwa/ person)

1 Jambi 2.683.099 249.6902 Sumatera Selatang/South Sumatera 6.899.892 1.000.2493 Riau 5.070.952 527.000

Total 14.553.943 1.776.939 Source: Processed from the provincial Central Statistics Bureaus’ data, 2009.

Page 51: Biofuel Final (Cetak)

41

Biofuel; a Trap

berlimpah dana atau bisa disebut proyek “basah”. Tetapi, pada akhirnya, pada masa tertentu produk minyak kelapa sawit tidak lagi melulu berakhir di dipusat perbelanjaan makanan, dan alat kosmetik, tapi berakhir di pengilangan bahan bakar untuk mesin-mesin di Sarana Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

3.4. Biofuel memanggang iklim Sumatera

Hingga tahun 1990-an, perluasan perkebunan kelapa sawit seperti merayap, peningkatan dari tahun ketahun tidak terlalu signifi cant. Dan industri ini juga terlalu diperhatikan oleh pemerintah dibanding tambang, dan indstri kayu. Hingga tahun 2000 semuanya berubah, masa kelam kelapa sawit telah berakhir sejak masyarakat dunia mulai kuatir dengan persediaan bahan bakar minyak bumi, dan sejak Timur Tengah tak henti bergolak. Tapi yang lebih penting adalah sejak masyarakat dunia mulai kuatir akan terus membruknya iklim dunia saat ini, walau sebetulnya wacana tentang perubahan iklim hanyalah sebagai topeng menutupi rakusnya negara kaya mengkosumsi bahan bakar.

Tapi kemudian kekhawatiran akan iklim global yang terus menurun, mengalahkan kekhawatiran akan cadangan minyak bumi yang terus menurun -mungkin kekhawatiran tentang BBM hanya mewakili kekhawatiran dunia pertama- telah menghasilkan beberapa inisiatif mengendalikan emisi penyebab perusak iklim yang mendorong penggunaan bahan bakar dan energy terbarukan, ini bagai kesempatan emas bagi para industri minyak sawit dan para pengolahnya untuk memasarkan produk mereka. Hutan ditebang, kayu dibakar, lahan gambut dikeringkan, masyarakat diusir, satwa-satwa dipindahkan ke kandang. Hanya untuk satu tujuan, membangun dan memperluas perkebunan energy.

Klaim Biofuel ramah lingkungan dan sebagai jawaban bagi pemanasan global terjadi akibat pemahaman yang tak utuh. Jika dipahami utuh, maka kita akan faham bahwa siklus hidup biofuel sejak dari pembukaan lahan, drainase lahan gambut, pembakaran lahan, pengangkutan untuk penggilingan di industri, pengangkutan bahan baku CPO menggunakan alat transportasi, penyulingan bahan baku menjadi bahan bakar, tentu pemahaman kita akan berbeda. Bahwa sepanjang proses itu, berapa panjang proses yang ditakukan yang justru tidaklah ramah lingkungan dan bahkan telah menambah jumlah GRK di atmosfi r.

Sebuah riset menyebutkan, untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit dihasilkan 33 ton emisi CO2 premium11. Artinya sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa Biofuel adalah alternatif untuk membersihkan bumi, karena proses pembuatannya justru memakai cara-cara yang mengotori bumi.

3.4. Biofuel is cooking Sumatera’s climate

Up to the 1990s, palm was expanding slowly and from year to year. The sector did not receive government’s attention as much as mining and wood industry. Things changed drastically, however, in 2000. The dark ages of oil palm ended as the world was concerned about the depleting fossil fuel and never-ending confl icts in the Mid-West. But, attention has grown bigger and bigger since the worsening of the world’s climate, though the climate change issue is in fact a clever camoufl age for rich countries’ greed for fuel consumption.

Concerns about the worsening climate condition, however, soon grow to win over those about the depleting fossil fuel – the latter might only represents concerns expressed by annex 1 countries – and have produced several initiatives to control emission deteriorating the climate that leads to promotion of renewable fuel and energy. This momentum is advantageously used by palm oil industry to promote its products. Forests have started to be cleared, peatland have been dried, local communities have been displaced and wildlife have been sent to cages, all done for one purpose: to develop and expand energy plantations.

Claims that biofuel is environmentally friendly and is a solution to global warming come from incomprehensive understanding. If we knew the life cycle of biofuel, right from the land clearing, the draining of peatland, land burning, transportation to mills, to the refi nery process, our view would be very different. The entire process is not environmentally friendly and it even contributes to the increasing of green house gases in the atmosphere.

A research says that the production of 1 ton of palm oil will emit 33 tons of premium CO2 emission10. It is beyond comprehension to say that biofuel is an alternative to clean the earth as the production uses non environmentally-friendly practices.

Page 52: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

42

Propinsi Riau adalah laboratorium penyebab kerusakan iklim raksasa, jika selama ini hutan perawan telah habis, lahan masyarakat sudah tak ada lagi, kini giliran lahan-lahan gambut yang memiliki kedalam 3-8 meter yang menjadi sasaran. Tak mengherankan jika kemudian Indonesia termasuk penghasil GRK terbesar ketiga. Di Riau misalnya menurut lembaga Wetland International, lebih dari 2 juta hektar lahan gambut daratan rendah Riau telah dikuasai oleh konsesi atau semacamnya, dan salah satunya adalah perkebunan kelapa sawit yang menguasai hampir 882.000 Ha12.

Dipropinsi Jambi, salah satu anak perusahaan milik Bakri Group beroperasi diatas lahan gambut yang kedalamannya mencapai 3 meter. Tak hanya Bakri, anak perusahaan Malaysia juga tak mau kalah, mereka malah beroperasi diperbatasan Taman Nasional Berbak yang hampir setiap tahun terbakar jika kemarau datang.

Tabel 6: Luas Penggunaan Gambut Untuk Kebun Sawit (%) di 3 Wilayah/Use of peatland for palm plantations (%) in three provinces

No ProvinsiLuas Kebun Sawit/

Size of oil palm plantations(ha)

Luas Konversi Gambut/ Peatland converted into palm plantations

(%)1 Jambi 400.000 7%2 Sumatera Selatan/South Sumatera 600.000 11%3 Riau 2,157,091 80%

Total 3.157.091 98%

Source: Processed from the 2007-2008 provincial statistics

The province of Riau is the giant laboratory causing climate destruction. When pristine forests and communities’ land have been used up, now the 3-8 meter-deep growth peat becomes the main target of the industry. It is no surprise that Indonesia is now the world’s third largest GHG’s emission contributor. The Wetland International says that more than 2 million ha. of lowland peat in Riau are under full control of concessions or the like; one being oil palm plantations that control nearly 882,000 ha.11.

In Jambi province, a subsidiary of the Bakrie Group is operating on 3-meter-deep peat. In addition, a Malaysia-based company is even operating in the borders of Berbak National Park, which is caught in fi re when the dry season comes.

Box 5:

Emisi lain dari aktifi tas perkebunan kelapa sawit: Emisi dari penggunaan min yak bumi untuk tranportasi buah dan mesin pengangkut, emisi dari penggunaan pupuk kimia, emisi dari aktiftas pabrik, dan emisi dari limbah. Ini baru emisi dari perkebunan kelapa sawit hingga menjadi CPO, belum lagi emisi yang dikeluarkan untuk memrpoduksi biofuel.

Palm operations emit emission from use of fossil fuel to drive the transporation and the associated machines; use of fertilizers; plant activities, and waste. These is emission emitted only from CPO production, excluding biofuel production.

Page 53: Biofuel Final (Cetak)

43

Biofuel; a Trap

Box 6: Konversi Gambut adalah Bencana Iklim Global Peat conversion is a global climate disaster

Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi; sarana transportasi, penyplai sumber air bersih, biodiversity, pengaturan banjir dan aliran air, mencegah instrusi air laut, sumber plasma nutfah, penyimpanan karbon , pengaturan iklim, nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal, penelitian dan pendidikantetapi juga memiliki peran yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia.

Setiap konversi dan eksploitasi lahan gambut akan menyebabkan terlepasnya emisi karbon (CO2) yang mencemari lingkungan global karena terganggunya sistem water table (sistem hidrologis). Apabila emisi dari lahan gambut diperhitungkan kontribusinya bagi perubahan iklim di dunia, maka Indonesia tercatat sebagai negara urutan tiga penghasil emisi karbon (CO2) terbesar di dunia. Kemampuan gambut menyerap karbon rata-rata 7 x 102 ton/ha/tahun namun dipengaruhi oleh vegetasi diatasnya dan jenis gambutnya; sifat gambut menyimpan air 15-20 kali berat kering gambut.

Konversi lahan dan hutan gambut untuk perkebunan sekala besar kelapa sawit salah satu contoh, akan menyebabkan perubahan ekosistem gambut akan memberikan dampak yang cukup serius, misalnya; mudahnya kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, hilangnya mata pencaharian penduduk, hilangnya satwa dan tumbuhan yang berguna bagi kehidupan dan rawan kebakaran.

Peat has come into attention since ten years ago when the world started to be aware of the facts that natural resources are not only important for hydrology, biodiversity conservation, cultivation, sources of energy, transportation, sources of clean water, fl ood control, social cultural values, research and education, but also for larger global climate importance: carbon sink.

Conversion and exploitation of peatland will emit CO2 to the atmosphere, which pollutes global environment as it disturbs the water table system (hydrological system). If the contribution of emission from peatland is counted in global climate context, Indonesia ranks three as the world’s largest emission contributor. Peat is capable of absorbing carbon to the average 7x102 tons/ha/year depending on the vegetation that grow on it and the type of the peat. Peat holds water 15-20 as much as its dry weight.

Conversion of peatland to oil palm plantations will change its ecosystem and bring serious impacts such as fi res, fl oods, drought, loss of livelihood, extinction of benefi cial species.

Page 54: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

44

Untuk meyakinkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Negara maju, seperti Amerika, Uni Eropa telah menggunakan berbagai ragam agenda dan promosi kebijakannya dalam mengembangan energy alternative biofuel. Dalam mega proyek energy ini, keterlibatan badan dunia untuk urusan pangan Uni Eropa (FAO-UE), mengeluarkan publikasi yang cukup menyakinkan negara-negara miskin untuk terlibat secara katif, ketika FAO-UE mempublikasi hasil kajiannya dengan menyimpulkan bahwa, biofuel selain menguntungkan juga menciptakan lapangan kerja baru (FAO, 2005). Tentu saja kesimpulan yang di keluarkan oleh FAO-UE berdasarkan asumsi perluasan perkebunan kelapa sawit untuk pasokan bahan baku biofeul bisa diterima, ketika jumlah petani kelapa sawit bertambah di Indonesia. Tetapi, apakah peningkatan luas dan jumlah petani kelapa sawit akan diikuti dengan peningkatan taraf hidup petani kelapa sawit?

Lihat saja, salah satu contoh sebuah perkebunan skala besar di Kabupaten Batanghari Jambi membangun kebun sawit melalui cara menggusur penduduk 3 desa (Tanah Menang, Padang Salak dan Pinang Tinggi) Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari, Jambi sebanyak 1.700 Kepala Keluarga atau sekitar 5.000 jiwa. Saat ini menurut catatan kepada dusun Desa Tana Menang yang bekerja

To convince developing countries such as Indonesia, developed countries such as USA and the European Union have been utilising various agenda and promoting their policies on alternative energy (biofuel) development. For this mega project, FAO-UE has issued convincing publication to engage developing countries actively. FAO-UE concluded that biofuel not only brings benefi ts but also creates new job opportunities (FAO, 2005). The assumption, upon which the conclusion was drawn, that palm expansion leads to the increasing number of farmers is acceptable when the number of palm farmers in Indonesia increases. But, will they lead to better lives for the farmers as well?

Let us take a look, a big company in Jambi set up plantations by taking over the land of and displacing 1,700 households (totalling 5,000 lives) in three villages (Tanah Menang, Padang Salak and Pinang Tinggi) in Bajubang sub-district, Batanghari district, Jambi. The head of Tana Menang village says that only approximately 100 local people have been employed by the company to date, leaving the other 1,600 household heads unemployed. This is a typical case found elsewhere, so FAO-UE conclusion is not based on accurate data, both micro and macro, that biofuel industry can absorb new labours; it creates new unemployment instead.

3.5. Biofuel; siapa untung dan siapa yang buntung?

3.5. Biofuel: who benefi ts and who loses?

Page 55: Biofuel Final (Cetak)

45

Biofuel; a Trap

di perusahaan tersebut hanya sebanyak +100 orang, maka, penambahan penangguran baru sebanyak 1.600 Kepala Keluarga. Kasus seperti ini sering kali ditemui di banyak tempat, maka, kesimpulan FAO-EU tidak memiliki dasar data yang akurat secara mikro dan makro, bila pembangunan industry biofeul dapat menyerap tenaga kerja bag penggagguran, malah sebaliknya menciptakan pengangguran baru.

Dari sisi lain, mata rantai perdagangan biofuel, sejak proses produksi, perdagangan, pengolahan dan ritel (penjualan eceran), tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tapi semakin terkonsentrasi pada segelintir (orang) pelaku bisnis yang cendrung melakukan praktek monopoli. Artinya tidak ada ruang bagi petani kelapa sawit selain melakukan pekerjaan panen dan penyetor Tandan Buah Segar (TBS) semata, dan keuntungan yang diperoleh oleh petani kelapa sawit pun hanya sampai pada penjualan TBS, tak lebih dari itu. Dimana sering kali harga TBS di patok oleh industry sangat tidak adil bagi peta

From another viewpoint, biofuel trade chain, from the production, the processing to the retailers, is not only industrialised and globalised but also concentrated in several groups of businesses that tend to monopolise. This means that there are no other rooms for palm farmers except harvesting and transporting fresh fruit bunches. The income they get comes from the sale only. The price of FFBs itself is unfairly determined by the industry.

Page 56: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

46

BAGIAN IV

INISIATIF SOLIDARITAS RAKYAT: Jalan Keluar Dari Krisis Iklim Dan Energi

Bagian terdahulu, telah menunjukan, bahwa industry biofeul ini jelas memberikan dampak pada masyarakat rentan, meningkatkan kemiskinan, rawan pangan dan konfl ik semakin meluas disemua wilayah ekspansi. Bagian ini akan menceritakan praktek kecil dari pengalaman beragam inisiatif solidaritas rakyat solidaritas jalan keluar dari kerusakan iklim dan krisis energy dan menceritakan apa yang sedang dikerjakan oleh masyarakat di kampung guna memperbaiki kehidupan yang lebih baik dengan memperhatian daya dukung lingkungan setempat.

4.1. Belajar dari kekeliruan biofuel dan upaya jalan keluarnya

Pada dasarnya masyarakat sekitar tapak proyek biofuel atau boleh dikatakan korban tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan energy alternative dengan kata lain energy yag dapat diperbaharui. Sacara teori tidak pernah mendapatkan ilmu tersebut, namun pada prakteknya, masyarakat sudah lebih lama mempraktekan penggunaan energy yang dapat diperbaharui dengan cara memakai bahan bakar minyak yang terbuat dari kemiri, dammar dan sejenis. Kemudian, apakah mereka membutuhkan biofuel sebagaimana dimaksudkan atas rancangan proyek pemerintah Indonesia dari janji kerjasama global? Tentunya tidak pernah terjawab dengan pasti, karena penduduk di pedesaan, tidak banyak menggunakan bahan bakar minyak, baik yang diproduksi hasil ekploitasi minyak bumi maupun produksi dari bahan tumbuhan. Yang mereka ketahui dalam pemenuhan kebutuhan energy adalah memasak menggunakan kayu bakar, menghidupkan lampu masih juga menggunakan minyak terbuat dari kelapa santan, buah kemiri bahkan dari tumbuhan lain yang diproduksi sendiri. Pengalaman ini rupanya memberikan ilustrasi pada penggunaan energy tumbuhan berbasis ketersediaan sumberdaya local. Lalu, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan industry biofuel di Indonesia dan dunia.

The previous part shows that biofuel industry adversely affects vulnerable peoples, increases poverty and food insecurity, and spreads confl icts in all the expansion areas. This part will elaborate experiences of various solidarity initiatives as a way out of climate and energy crisis, and what rural communities are doing to improve their living conditions by taking the local carrying capacity into consideration.

4.1. Learning from biofuel industry fl aws and seeking the way out

Basically, communities living around or, say, affected by biofuel projects, know nothing about alternative energies, i.e. renewable energies. Theoretically, never have they learned about them. In practice, however, they have long been using renewable energy/fuel extracted from candlenuts, resin, and the like. A question to ask is then whether or not they need biofuel as promoted by the government as a result of global cooperation. No defi nite answer can be given to the question. Rural communities do not use much fuel, both fossil-based and plant-based. Their stoves burn fi rewood, their lamps burn oil extracted from plants they grow, be it coconut, candlenuts, and the like. The experience gives an illustration of plant-based energy. Then, what is really happening in Indonesia’s and the world’s biofuel industry?

Analysing further, Indonesia’s economic politics are still under the shadow of capitalism. This means that Indonesia is still dependent on large investors, who are controlled by several groups of people. The system in fact dates back to the times of Dutch colonisation, where the Dutch invaded Indonesia in search of natural resources – fragrant roots in Betawi, spices, tea, cane sugar, and the like. Post colonialism, Indonesia has still been an exporter of raw materials, mainly for Europe and USA markets. This is still blanketing

PART IV

PEOPLE SOLIDARITY INITIATIVE:

A Way Out of Climate and Energy Crisis

Page 57: Biofuel Final (Cetak)

47

Biofuel; a Trap

Kalau dipelajari lebih jauh, politik ekonomi Indonesia masih di bawah bayang-bayang politik ekonomi kapitalisme. Maksudnya, Indonesia masih tergantung pada pemodal besar yang terorganisir oleh segelintir orang saja. Dari sejarah system ini sudah berlangsung sejak jaman colonial dahulu, dimana Belanda melakukan invansi/pendudukan atas negara Indonesia untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, mulai dari akar wangi di Batavia, rempah-rempah, teh, tebu dan lain sebagainya. Paska kolonialisme, Indonesia sampai saat ini masih menjadi Negara penyedia bahan mentah yang bertujuan ekspor ke manca negara, terutama Eropa dan Amerika. Sehingga, bayangan ini selalu menyelimuti system ekonomi di Indonesia yang menganut system ekonomi kapitalisme. Salah satu yang dapat di pelajari dari system ini berhubungan dengan proyek biofuel adalah; memiliki orientasi pada bahan-bahan mentah, mulai dari minyak bumi sampai hasil tumbuhan. Untuk mencapai tujuan pemenuhan bahan mentah, system ini bekerja pada skala yang luas dalam penguasaan tanah-tanah untuk di eksploitasi terus menerus dengan menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran. Watak bekerjanya system ini pula yang ditopang oleh kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan per undang-undangan, dimana bentuk pilihan kerjanya memaksa pemerintah untuk memberikan kemudahan-kemudahan investasi atas nama kerjasama ekonomi global. Bentuk kerja lain yang berkaitan dengan komoditas di sektor perkebunan adalah dengan cara memaksa rakyat untuk menyerahkan tanah, hutan adat, kebun miliknya secara “paksa” kepada perusahaan atas nama pembangunan dan peraturan Negarah. Bila rakyat tidak mau menyerahkan, maka, tindakan “kekerasan” dilakukan serta melakukan upaya kriminalisasi rakyat bilamana menghalangi pembangunan yang dikerjakannya. Bentuk-bentuk kerja seperti ini biasanya melibatkan aparat keamanan dari “oknum” kepolisian dan TNI, seperti pernah dilakukan oleh PT Asiatik Persada atas masyarakat suku anak dalam di Jambi.

Bentuk kerja lain yang lebih halus dan “bersahabat” biasanya perusahaan menawarkan kerjasama dengan masyarakat saling menguntungkan, istilah ini biasa disebut kerjasama kemitraan. Model ini bisa bentuknya Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Sawit Plasma atau KKPA. Model ini sangat merugikan petani sawit, laporan Koesnadi Wirasapoetra dalam investigasi model kerjasama Plasma antara PTPN XIII dan petani di Kabupaten Paser Kalimantan Timur tahun 2000-2001, menyebutkan bahwa model kerjasama kemitraan seperti ini, biasanya perusahaan akan mendapat 4 keuntungan dari masyarakat atau petani; pertama: perusahaan mendapatkan tanah atau lahan gratis, kedua; perusahaan akan mendapat buruh gratis – suami, istri,

Indonesia’s economic system, which adopts capitalism. One thing that can be learnt from the system in relation to biofuel industry is that it is oriented to raw materials, be it fossil fuel and plants. To meet the target, the system works in a larger scale to control vast land to be continuously exploited for the so-called welfare and prosperity. The system is supported by policies in the form of regulations, which force the government to provide facilities for investment in the name of global economic cooperation. Another measure is to force communities to hand over their land to companies in the name of development and the law. Landowners’ refusal to handing over the land will be responded by violence and criminalisation (committing actions against the state). This kind of ‘measure’ usually involves ‘certain members’ of the military and the police, as in the violence committed by PT Asiatik Persada to the Suku Anak Dalam indigenous people in Jambi.

Another form of softer and ‘friendly’ measure is to offer mutually benefi cial cooperation to communities, commonly referred to as partnership. Such cooperation may take the form of Perkebunan Inti Rakyat (Nucleas Estate Scheme), Sawit Smallholder (plasma) or KKPA. These models are all favourable to the companies. Koesnadi Wirasapoetra in his investigation of smallholder scheme between PTPN XIII and farmers of Paser district in East Kalimantan during 2000-2001 reported that the partnership model will give 4 benefi ts to the company over the farmers: fi rst: the company gets land for free; second: the company gets free workers – husbands, wives, children, grandparents are all doing payless work for the perusahaan; third: the company gets low-priced FFBs and fourth: the company get additional profi ts from the interest of farmers’ credits plus income from paser production in the fi rst two years of harvest.

The system surely brings adverse impacts on the farmers and the cooperating countries. Due to its exploitative nature on natural resources, it eventually leads to deprivation of communities’ rights to their natural resources. It surely causes fl oods, forest fi res, drought, landslides, loss of biodiveristy, violation of human rights and impoverishment. This is a picture of the on-going biofuel projects in Sumatera.

The study cases in the three provinces of Sumatera show that the biofuel industry is oriented to export and characterised by control over vast land for oil palm plantations to supply the raw material. The project receives legal support, from laws, governmental regulations, presidential instructions to governor and district’s regulations. All these legal products are used to justify the forced displacement of local communities, the taking over of land and even conversion

Page 58: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

48

anak dan mertua bekerja di lahan kebun tanpa di bayar, ketiga; perusahaan akan mendapatkan keuntungan buah TBS murah dan keempat; perusahaan akan mendapat keuntungan bunga kredit pengembalian petani yang di tambah buah paser pada 2 tahun pertama pohon sawit panen.

Dari praktek ini, sudah jelas akan menimbulkan dampak yang merugikan rakyat (petani) dan negara mitra kerja ekonomi. Karena system investasi yang cenderung sangat menguras (eksploitatif) sumberdaya alam. Pada akhirnya mendatangkan dampak bencana serta tidak terjaminnya hak-hak rakyat atas sumberdaya yang dimilikinya. Sudah bisa dipastikan bencana yang akan datang adalah banjir, kebakaran hutan, kekeringan, tanah longsor, hilangnya keanekaragaman hayati, pelanggaran HAM dan bermuara pada kemiskinan ditingkat rakyat. Inilah yang tergambar dari sebuah proyek biofuel sedang berjalan di Sumatera.

Dari studi kasus biofuel yang dilakukan di 3 wilayah Sumatera, menunjukan biofuel memiliki orientasi eksport, dengan sekala luas penguasaan lahan untuk bahan baku melalui perkebunan kelapa sawit. Dimana proyek ini di dukung oleh kebijakan yang cukup kuat mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Intruksi Presiden sampai Keputusan Gubernur dan Bupati. Produk hukum yang menunjang ini digunakan oleh proyek biofuel sebagai kekuatan penuh untuk melakukan bentuk-bentuk pekerjaan menghalalkan segala cara, mulai dari menggusur paksa rakyat dari tanah dan kebunnya sampai mengkonversi sumberdaya alam yang dilindungi oleh kebijakan pemerintah sendiri terjadi. Ini terjadi di wilayah Jambi, Riau dan Sumatera Selatan, bagaimana proyek ini bekerja dengan menggusur rakyat, menciptakan pengangguran baru dan menambah jumlah penduduk miskin, melakukan pengrusakan atas sumberdaya gambut serta melanggar Hak-hak asasi manusia. Tetapi dengan praktek seperti ini, tetap saja, watak proyek ini mendapat perlindungan dari pemerintah baik tingkat daerah maupun Nasional.

Pertanyaannya, ada apa sesungguhnya dengan model proyek seperti ini? Sudah bisa di indikasikan, bahwa proyek ini penuh dengan indikasi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), dan di landasi kerjasama antar Negara atas kebutuhan bahan bakar nabati yang secara politis dapat diketahui hubungan bilateral ekonomi antar Negara walaupun tidak adil bagi rakyat dan Bangsa Indonesia. Proyek biofuel adalah kekeliruan yang mendasar bari sebuah rencana pembangunan di sebuah negeri. Tetapi kekeliruan ini merupakan proses catatan belajar bagi masyarakat untuk tidak berdiam diri, sehingga upaya dan inisiatif rakyat sebagai solidaritas penyelamatan bumi dapat dilakukan secara bersama.

of legally protected areas. All these have been happening in Jambi, Riau and South Sumatera. The provinces have seen how the projects have displaced local communities; created new unemployment and more poor people; destroyed peatland; and violated human rights. With all these violations, the projects still receive protection from all levels of government.

The question is what’s behind the projects of this kind? There is a strong indication that all the projects involve collusion, corruption and nepotism (KKN) and build on mutually benefi cial political and economic bilateral agreements on biofuel need although they are unfair to the Indonesia’s people. The biofuel project represents a fundamental fl aw in a country’s development plan. The fl aw, however, is a lesson for the people not to keep silent and to work together to save the earth.

Page 59: Biofuel Final (Cetak)

49

Biofuel; a Trap

4.2. Menyelamatkan Bahan dan sumber Pangan Untuk Rakyat

Luas lahan pertanian tanaman pangan yang semakin sempit, dan areal perkebunan kelapa sawit terus meningkat jumlahnya dari tahun ketahun. Menyebabkan, rawannya kondisi pangan rakyat dan ketahanan pangan nasional. Kondisi ini tidak di sadari oleh para pembuat kebijakan mulai dari tingkat local sampai Nasional. Import beras yang selalu meningkat setiap tahun, bukan pelajaran yang berarti bagi pengurus Negara. Walapun Indonesia sempat mengalami swasembada pangan di tahun 1984. Kurun waktu lebih 15 tahun, import beras Indonesia sudah mencapai 50% dari jumlah total produksi beras Nasional. Potret pengambil kebijakan atas kondisi pangan rakyat sangat berbanding terbalik dengan upaya rakyatnya sendiri. Ini tergambar, ketidak seriusan pemerintah menjamin keamanan pangan rakyatnya. Berbeda dengan aktivitas rakyat di pedesaan, bahwa, pangan merupakan bagian dari harga diri sebuah Negara agraris Indonesia.

Bagi perempuan Suku Anak Dalam (disingkat: SAD) di Jambi, melakukan pengumpulan bahan makanan adalah satu kewajiban keluarga. Dimana pangan adalah kehidupan antar generasi sebagai masyarakat bercorak agraris. Perempuan SAD melakukan ini ketika para suami pergi berburu satwa atau bekerja di kebun-kebun karet. Bahan pangan bagi perempuan SAD adalah kebutuhan sangat mendesak untuk hidup keluarga. Mulai dari singkong, ubi-ubian, sayuran, dan tumbuhan lain yang tumbuh di hutan, kebun sekitar rumah dikumpulkan dan di masak untuk bersantap keluarga. Sebuah kehormatan bagi perempuan bila telah memenuhi kecukupan bahan pangan keluarganya. Tetapi sebaliknya, bila bahan pangan tidak dapat memenuhi kecukupan keluarga, maka, perempuan harus bekerja keras untuk berjuang demi keluarganya. Bahan pangan pokok SAD adalah ubi atau nama populernya singkong. Ubi di tanam di lahan pertanian, setiap keluarga memiliki lahan pangan minimal ¼ hektar, ini cukup untuk menyediakan bahan makanan selama setahun bagi 5 orang keluarga. Untuk kebutuhan ekonomi lainnya, SAD mengandalkan berburu, menoreh/ menyadap getah karet di kebun-kebun yang telah dipelihara terlebih dahulu. Selain karet, jenis tanaman lainnya juga di budidayakan sederhana, misalnya;tanaman coklat, kopi, nangka, durian, rambutan dan jenis kayu-kayuan untuk kebutuhan lainnya baik bangunan rumah maupun sekedar di konsumsi dan lebihnya di jual. Ini menunjukan, bahwa apa yang didapat oleh perempuan SAD, masih terdapatkan keanekaragaman hayati di sekitar desa dan hutan adatnya. Bila saja semua ini berganti dengan tanaman satu jenis (monoculture) pohon kelapa sawit, apa yang didapat bahan pangan oleh perempuan SAD untuk keluarganya? Tentunya jawabannya sulit dibayangkan!

4.2. Saving food and sources of food for communities

Cropland keeps shrinking and oil palm plantations keep expanding from year to year. This threatens communities’ food security and the nation’s food sustenance. This is a condition none of law makers at all level of government are aware of. Increasing importation of rice does not teach them any lesson. Although Indonesia once enjoyed food self-supporting in 1984, importation of rice has soared to 50% of the total national production after more than 15 years. Decision making on food is reversely proportional to what communities’ initiatives, and this refl ects the government’ frivolity in securing food need for its people, in contradiction to rural view that food is part of Indonesia’s dignity as an agrarian country.

For the women of the Suku Anak Dalam indigenous people (abbreviated to SAD) in Jambi, collecting food is one of the family responsibilities. Food is the inter-generation life as agrarian people. SAD women collect food while the husbands hunt for food or work in the rubber gardens. Food for them is an essential need for the family. Cassavas, sweet potatoes, vegetables and other plants are collected and cooked for the family. It is an honour for women to fulfi l the family’s food need. When food is not suffi cient, they work hard for the family. The staple food for the SAD is cassava. It is grown in the family’s land. Each family has at least a quarter ha of land, suffi cient to supply food throughout the year for a 5-member family. For other economic needs, the SAD hunt animals, collect rubber sap in their old gardens, and grow cocoa, coffee, jackfruit, or rambutans. They also grow timber trees for houses and other needs, or – when there is some left – for sale. This means that biodiversity exists around their village and ancestral forests. If they are replaced with the monoculture oil palm, what is left for them? Of course, what would happen is hard to imagine!

The communities in Talang Nangka village and Rambai village in South Sumatera have a different way to fulfi l their food need. They practice a traditional wetland rice farming system called Sonor (see Box 5). Sonor is a common local practice among people living around peat swamps. Sonor is practiced once a year during the dry season. In the wet season, the tide is so high that the rice will be submerged. The typical variety of rice grown is a local one, which can be harvested within 3.5 months. For those living in peat swamps, sonor has been practiced for tens and even hundreds of years. That is why the local communities carefully protect their swamps from palm expansion/investment.

To the communities of the two villages, however, rice is not the only staple food. They also live on cassava, corns and sago. So, for the Suku Anak Dalam indigenous people, and

Page 60: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

50

Box 7: Sistem Sonor Selamatkan Pangan Rakyat The SONOR SYSTEM saves communities’ food

Sonor adalah sistem penanaman padi tradisional di areal rawa, yang hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang (paling sedikit ada 5-6 bulan kering). Api digunakan dalam persiapan lahan. Sebanyak mungkin areal rawa dibakar tanpa usaha untuk mengontrol pembakaran. Padi ditanam dengan cara disebar. Sistem sonor ini menggunakan tenaga kerja dan input pertanian yang rendah. Tidak ada kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan. Petani hanya menyebar bibit, kemudian ditinggalkannya sekitar 6 bulan, dan kembali untuk memanen. Saat ini beberapa petani mencoba untuk melakukan sistem tugal, terutama petani transmigran yang menguasai lahan yang terbatas.

Hampir semua masyarakat/petani lokal melakukan sonor pada musim kemarau panjang. Di Air Sugihan, Talang Nagka, Rambai Sumsel, masyakat lokal telah mengusahakannya sejak puluhan tahun di ekosistem rawa potensial sonor untuk ketahanan pangan rakyat. Produksi padi sonor sangat penting untuk konsumsi pangan masyarakat, karena tidak ada alternatif lain untuk menanam padi pada saat musim kemarau yang sangat panjang. Kegiatan persiapan lahan dilakukan pada sekitar akhir September sampai akhir Oktober. Pada saat masa bera, yaitu menunggu musim kemarau panjang yang memungkinkan sonor dilakukan kembali, regenerasi beberapa vegetasi muncul seperti tumbuhan herbal yaitu ; Heleocharis fi stulosa, Scleria multifoliata, dan Blechnum orientale; tumbuhan kayu yaitu Melastoma malabathricum and Melaleuca cajuputi.

Sonor is a traditional wetland rice farming system, practiced only during a long dry season (with at least 5-6 dry months). Fire is used to clear the land. As much land as possible is burned without any attempt to control the burning. Rice is grown by spreading the seeds. The system uses low labor and agricultural input, without any treatment such as fertilising. Farmers just spread the seeds, leave them alone for about six months, and come back to harvest. Recently, some farmers, notably transmigrants having small plots of land, are trying the tugal system.

Nearly all local farmers practice the sonor system during a long drought. In Air Sugihan, Talang Nagka, and Rambai, South Sumatera, local communities have been practicing it for tens of years to secure their food need. It is very important as there are no other ways to plant rice during a long drought. Land is prepared in late September up to late October. During the fallow – waiting for the next long drought – they cultivate other plants, mostly herbs such as Heleocharis fi stulosa, Scleria multifoliata, and Blechnum orientale; and wood trees such as Melastoma malabathricum and Melaleuca cajuputi.

Lain cerita dari Desa Talang Nangka dan Desa Rambai di Sumatera Selatan. Kebutuhan bahan pangan di dapat dari pola pertanian tradisional di rawa gambut dengan komoditas tanaman padi. Sistem ini biasa disebut system pertanian Sonor (lihat box 5 ) untuk mendapatkan bahan pangan beras. Sonor adalah suatu system pertanian local kebanyakan penduduk yang tinggal disekitar rawa gambut. Sonor dilakukan pada satu tahun sekali di musim kemarau, ketika musim hujan, sonor tidak dilakukan, karena air pasang rawa gambut akan menenggelamkan tanaman padi yang dibudidayakan. Jenis atau varietas yang dibudidayaan padi local yang memiliki umur 3 – 5 bulan, atau maksimum 3,5 bulan. Bagi yang tinggal di rawa gambut, sonor adalah system yang berjalan sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Sehingga, penduduk Talang Nangka, Rambai, sangat memperhatikan kondisi lahan rawanya dari ancaman dating investasi perkebunan kelapa sawit.

Tetapi masyarakat kedua desa ini, pangan bukan hanya beras, bahan pangan lainnya adalah singkong, jagung dan sagu. Sehingga masyarakat suku anak Dalam, Talang Nangka dan Rambai, membela lahan penyedia bahan pangan adalah satu kewajiban dilakukan, karena menyangkut hidup dan mati masyarakat. Bila mereka tidak memiliki lahan produksi bahan pangan, maka, ancaman rawan pangan akan mengancam di masa datang. Hal ini merupakan satu kegagalan bagi penduduk asli dalam mempertahankan kehidupan dan generasinya.

the communities of Talang Nangka and Rambai, defending/preserving their cropland is a must as it is about their lives. Losing the cropland will threaten their food security and refl ect their failure in preserving their lives and the future generations.

Page 61: Biofuel Final (Cetak)

51

Biofuel; a Trap

4.3. Sudah Lama Masyarakat Menggunakan Energy Nabati

Gerobak kayu dengan roda dua yang ditarik oleh kerbau atau sapi, masih banyak di jumpai di wilayah Desa Talang Nangka, Rambai khususnya Kabupaten Ogan Komering Ulu. Sarana transportasi ini, salah alternative pilihan masyarakat untuk mengangkut barang hasil perkebunan, pertanian sawah, sayuar mayor, hasil kerajinan dan untuk bahan bangunan antar desa dan rumah penduduk. Bentuk transportasi ini tidak memiliki hubungan dengan penggunaan bahan bakar minyak bumi maupun minyak nabati yang sedang di galakan oleh pemerintah melalui proyek biofuel. Kendaraan ini berhubungan dengan sumberdaya local ternak dan inisiatif masyarakat untuk berhemat energy. Tidak menghasilkan polusi udara, tidak membutuhkan industry lainnya untuk suku cadang, transportasi gerobak sapi hanya membutuhkan sekarung rumput segar dan 1 ember air 50 liter dalam setiap harinya. Maka, gerobak akan melaju cepat di jalan berbatu dan tak bertanah.

Begitu juga, bagi SAD di Jambi, tidak banyak mengenal kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Berjalan kaki berkilometer jauhnya tetap dijalani oleh sebagian besar penduduk. Untuk penerangan lampu biasanya digunakan bahan bakar nabati dari minyak kelapa, kemiri, atau dibuat dari biji-bijian yang menghasilkan minyak. Terkadang penerangan menggunakan bahan bakar getah damar yang di ambil dari pohon damar di hutan sekitar kampung. Setidaknya, sebelum biofuel di gulirkan oleh Negara-negara maju dan mengekspansi Indonesia sampai kepelosok pedesaan, SAD sudah menerapkan penggunaan energy dari tumbuh-tumbuhan sejak lama. Ini proses belajar bersama antar sesama mahluk hidup dalam memaknai sebuah gagasan yang sangat di banggakan bernama biofuel. Tetapi, energy terbarukan yang dikembangkan para pemilik modal dengan menguasai lahan atau tanah seluas-seluasnya, mengakibatkan dampak yang tidak kecil. Ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk bahan baku industry, adalah hal pokok yang sangat bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh Negara kaya di negerinya sendiri. Bila saja dimungkinkan, gaya hidup Negara kaya mencontoh suku anak dalam atau masyarakat Talang Nangka dan Rambai sejak lama, maka, kerakusan akan sumberdaya alam Indonesia tidak mengorbankan masyaraka lokal. Justru kita harus banyak belajar dari pengalaman ini.

4.3. Long use of bio energy at local level

Two-wheeled carts drawn by a buffalo or a cow are a common sight in Talang Nangka and Rambai, in particular in Ogan Komering Ulu district. It is an alternative means of local and inter-village transportation to carry crops, rice, vegetables, handicrafts and building materials. This means of transportation has nothing to do with fossil fuel or biofuel that is intensively promoted by the government. It is about the use of local resources (i.e. cattle) and local initiatives to save energy. The carts emit no pollution and require no factories to supply spare parts. Just a sackful of fresh grass and 50 litres of water per day, the carts will run fast on the stony village roads.

Similarly, for the SAD in Jambi, motorcycles or cars are uncommon. They generally walk, and sometimes walk a long way. For their lamps, they extract oil from coconuts, candlenuts, and other oil-producing seeds, or sometimes they use resin torch. So, long before biofuel was promoted by developed countries and invaded villages in Indonesia, the SAD have been using biofuel. It is a collective learning process in utilising an idea that the modern world proudly calls biofuel. The renewable energy developed by investors by occupying as much land has brought adverse impacts. Palm expansion to supply energy for industries is something contradictory to what developed countries should be doing in their countries. Were it possible, they could follow the SAD’s way of living or that of the communities in Talang Nangka and Rambai, and the greed for Indonesia’s natural resources would not sacrifi ce local communities. Precisely, we should learn from this experience.

Page 62: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

52

4.4. Sumbangan PAD Masyarakat Terlupakan Pemerintah

Sebenarnya, tidak banyak warga atau para pendamping masyarakat di pedesaan yang menghitung kekayaan desa di dampinginnya berdasarkan ketersediaan sumberdaya alam setempat, baik yang dibudidayakan secara masal maupun hanya sekedar tanaman sela tumpang sari. Kekayaan sumberdaya alam di desa bila kita kaji lebih jauh dengan perhitungan ekonomi secara mikro/ local untuk ditarik pada sumbangan ekonomi Nasional, akan sangat berarti dan terasa sumbangannya. Dalam perhtiungan kekayaan sumberdaya local, maka, angka yang di dapat dari semua harga-harga yang ditetapkan, akan mendapatkan jumlah yang luar biasa. Ketika jumlah hasil perhitungan sumberdaya local di dapat, maka, harus dihitung pula sumbangan tidak langsung warga desa kepada pemerintah melalui pajak langsung maupun pajak tidak langsung dengan cara memotong 10% s/d 20% jumlah total pendapatan seluruh perhitungan kekayaan desa.

Sementara potensi sumberdaya alam di 3 provinsi merupakan penopang kehidupan petani dan penduduk serta pendapatan asli daerah, misalnya: luas kebun karet mencapai 1,9 juta hektar tersebar di 3 wilayah studi (lihat tabel7). Jumlah karet yang paling luas Sumatera Selatan mencapai 804.000 hektar dengan total petani karet mencapai 510.000 jiwa lebih besar dari jumlah petani kelapa sawit 210.000 jiwa. Menurut keterangan Dinas Pertanian Provinsi, komoditas karet adalah tulang punggung ekonomi daerah sumsel bagi kalangan petani. Dengan kapasitas produksi sebanyak 657.000 ton per tahun, menyumbang PAD terbesar setelah minyak bumi adalah hasil karet. Bila rata-rata petani menghasilkan uang sebesar 1.8 juta per bulan, maka petani telah mendapatkan nilai lebih dari hasil karet yang dibudidayakan. Bila jumlah ini di total dengan jumlah petani karet Sumatera Selatan, dana yang diperoleh petani bisa mencapai + 918 Milliar per tahun. Angka pendapatan petani ini setidaknya telah memberikan sumbangan PAD kepada pemerintah provinsi dan Kabupaten setiap tahunnya. Tetapi, upaya serius pemerintah untuk memfasilitasi petani mulai dari perawatan sampai tata niaga belum dilakukan sepenuhnya dengan baik. Hal ini dibuktikan, bahwa tata niaga karet masih dikuasai oleh segelintir orang, sehinga, petani mengalami kemerotoan dalam mempertahankan kebun karetnya dan memulai mengkonversi ke kebun kelapa sawit.

4.5. Government’s ignorance of communities’ contributions to regional revenues

Not many local people or facilitators have ever calculated the value of the village with regards to cultivation of its natural resources, either primary or secondary. When analysed further within micro/macro economic context, rural resources give a considerable contribution to the national economy. Rural resources gives a fantastic amount of value, including local communities’ contribution via direct and indirect taxes, which amounts to 10-20% of the total value.

Natural resources in the three provinces support the lives of the farmers and the people, and contribute to the respective regional revenues. One example is the total 1.9 million ha of rubber gardens in the three provinces (see Table 7). The largest rubber gardens lie in South Sumatera, encompassing 804,000 ha with the total 510,000 rubber farmers, much more than the number of palm farmers, which stands at 210,000. According to the provincial agricultural agency, rubber is the backbone of farmers’ economy in South Sumatera. With annual production of 657,000 tons, it is the largest contribution to the provincial revenue after crude oil. Assuming that each farmer gets a monthly income of Rp1.8 millions, it means that he gets more than the value of the rubber grown. Multiplying this with the total number of farmers in the province, we will come to ±Rp918 billions of annual income. This gives an ample contribution to the district’s and the provincial’s revenues. Despite the contribution, the government’s attempts to facilitate farmers, from treatment to business administration are still lacking. The business administration is still controlled by a few number of people and this has deteriorated the sector and eventually the farmers give up and start to convert their gardens to oil palm plantations.

Page 63: Biofuel Final (Cetak)

53

Biofuel; a Trap

Tabel 7: Luas Kebun karet, Produksi dan Jumlah Petani Karet di 3 Provinsi 2007Size and Production of Rubber and Number of Rubber Farmers in Three Provinces in Sumatera in 2007

No PropinsiProvinsi

Luas (Ha)Size (in Ha)

Produksi (Ton/tahun)Production (in tons/year)

Jumlah Petani (Jiwa/KK)No. of Farmers (in persons/households)

1 Jambi 622.414 255.702 227.1222 Sumatera Selatan 804.000 657.000 510.0003 Riau 532 900 392 124 143.505

Total 1.959.314 1.304.826 880.627Sumber : Diolah Dari Data Statistik 3 Provinsi tahun 2005 – 2007 Processed from the three provinces’ 2005 – 2007 statistics data

Tabel 8: Harga Karet, Pinang dan Beras di 3 provinsi 2005 - 2007

Rubber, Areca Palm, and Rice Price in three provinces during 2005 - 2007

No PropinsiProvinsi

Harga KaretRubber Price

(Rp/Kg)

Harga Pinang Areca Palm Price

(Rp/Kg/rata-rata)

Harga Beras Rice Price

(Rp/Kg/rata-rata)1 Jambi 5.000 – 10.000 1.500 - 2.500 5.000 – 7.500

2 Sumatera Selatan 6.000 – 10.000 1.500 - 3.500 6.000 – 7.500

3 Riau 5.500 – 7.000 3.000 – 4.000 5.500 – 8.000Sumber: Diolah Dari Data Lapangan 3 Provinsi tahun 2005 – 2007

Processed from the three provinces’ 2005 – 2007 statistics data

Luas lahan karet rakyat di Sumsel sekitar 804.000 hektar.Dengan luas lahan seperti itu, perkebunan karet rakyat memberikan kontribusi sekitar 94 persen dari total produksi karet alam Sumsel. Mengingat perannya yang sangat besar sebagai sumber pendapatan daerah (PAD), seharusnya karet rakyat mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. Karet Sumsel menyumbang 28 persen dari total produksi karet secara nasional. Menurut Daud petugas dinas pertanian Sumsel, kesejahteraan petani karet jangan bergantung pada kenaikan harga, tetapi dengan meningkatkan produktivitas tanaman karet. Produktivitas tanaman karet yang ideal adalah 1.750 kilogram per hektar per tahun. Rata-rata produksi karet rakyat baru mencapai 800 kilogram per hektar per tahun. Di Sumsel potensi pengembangan perkebunan karet rakyat masih luas. Dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumsel tersedia lahan perkebunan seluas 3,2 juta hektar. Luas lahan yang dimanfaatkan mencapai 2,3 juta hektar yang terdiri atas perkebunan karet 959.000 hektar, kelapa sawit 618.000 hektar, kopi 276.000 hektar, dan komoditas lain 512.000 hektar. Sumber-sumber produksi ini telah lama menyumbang pendapatan asli daerah ketiga wilayah studi, tetapi, kebijakan yang dikeluarkan sering menutup mata dan telinga atas apa yang sudah disumbangkan rakyat untuk Negara melalui pajak langsung maupun tidak langsung.

Communities’ rubber gardens in South Sumatera total 804,000 ha. With such a size, the production represents approximately 94% of the total provincial production. With such a large contribution to the provincial revenue (PAD), the provincial government should have paid more attention to the sector. The province’s production represents 28% of the national rubber production. According to Daud, an offi cial with the provincial agricultural agency, farmers should not rely on hikes in rubber price, but improved productivity. The ideal productivity is 1,750 kgs per ha per year. The average productivity still stands at 800 kg per ha per year. In the province, rubber is a potential sector to develop. The provincial spatial plan reserves some 3.2 million ha of land for plantation sector. Of these, only 2.3 million ha have been utilised, comprising 959,000 ha of rubber, 618,000 of oil palm, 276,000 of coffee and 512,000 of other commodities. These sources of production have long contributed to the provincial revenue but this has been ignored by the provincial government.

Page 64: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

54

Selain karet, sumberdaya lainnya seperti pinang adalah potensial sebagai pendapatan keluarga dimana budidaya pinang menjadi pilihan untuk tanaman perkaranagan. Misalnya; setipa keluarga memiliki 100 pohon pinang, maka keluarga masyarakat pedesaan sudah bisa mendapatkan hasil setiap bulannya pinang kering + 100 kg. Harga pinang di pasar pedesaan sangat bervariasi, mulai dari 2.000 s/d 4.000 per kg. Minimal setiap keluarga mendapat 200.000 s/d 400.000 dalam setipa bulan. Hasil rata-rata 300.000 per bulan per keluarga, jika kali jumlah penduduk di Desa Talang Nangka, Rambai yang memiliki pohon pinang sebanyak kurang lebih 500 orang, maka penghasilan di peroleh mencapai Rp 150.000.000/bulan dari pinang. Hasil ini belum ditambah dengan hasil karet dan tanaman pangan lainnya sebagai bagian dari swasembada pangan, baik beras, ubi kayu, sagu dan bahan pangan lainnya.

Potensi yang sangat besar ini, pada dasarnya telah memberikan kehidupan bagi penduduk, khususnya petani di pedesaan 3 wilayah studi sumatera. Tetapi, potensi yang cukup luar biasa ini, Pemerintah daerah tidak memiliki perhatian serius atas perkembangan komoditas diluar kelapa sawit. Malah sebaliknya, kebijakan pemerintah tidak menjamin keamanan areal lahan perkebunan komoditas diluar kelapa sawit, dengan cara memberikan perijinan pengusahaan kepada pemilik modal untuk di bangun kelapa sawit.

4.5 Cara Rakyat Menanggulangi Kemiskinan dan Pengangguran

Sumberdaya alam yang beragam mulai dari ketersediaan bahan pangan, hasil kebun, satwa ternak-buru dan hasil hutan non kayu adalah salah satu bagian dari proses masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran di pedesaan. Ketika aktivitas masyarakat dengan hasil kebun karet, pinang, kopi, coklat dan bahan pangan lainnya, sangat memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan dari gangguan yang dapat menghilangkan mata pencaharian mereka. Upaya penanaman pohon-pohon karet, kopi, coklat, pinang yang dilakukan penduduk tana menang, pinang tinggi, padang salak Jambi, Desa Talang Nangka, Rambai Sumatera Selatan, Desa Dosan, Bunga Raya di Riau dan masyarakat desa Dapok Rejo, Bumi Hardjo dan Suka Mulya di Sumatera Selatan, merupakan salah satu upaya aktivias ekonomi bagi kesejahteraan keluarganya.

Budidaya tanaman karet bagi warga Desa Talang Nangka dan Desa Rambai sudah sejak lama dilakukan. Jumlah penduduk Talang Nangka 987 Kepala Keluarga mencapai 4.028 jiwa, memiliki areal perkebunan karet seluas 12.000 hektar. Penduduk Desa Rambai 308 Kepala Keluarga, 2.500

Besides rubber, another potential commodity is areca palm, which is commonly grown in the yards. Assuming that each household grows 100 trees, the monthly yield may fetch ±100 kg of dry areca palm. Prices in villages vary with locations, ranging from Rp2,000 to Rp4,000 per kg. At least, each household can get Rp200,000-Rp400,000 every month, or a monthly average of Rp300,000 per household. If there are a total 500 households in Talang Nangka Village, Rambai, growing the species, the total income will reach Rp150,000,000/month, excluding incomes from other commodities as part of self-suffi cient programme (rice, cassava, sago, and others).

This enormous potency has basically been supporting the lives of local people, in particular the farmers in the three provinces. Still, the government pays serious attention to nothing but oil palm. More privileges are given to investors investing in oil palm.

4.5. Communities’ way to deal with poverty and unemployment

Diverse natural resources – rice, crops, wildlife, non-timber forest products – offer rural communities sources of livelihood to deal with poverty and unemployment. But, utilisation of these resources needs protection from any interference that may threat the utilisation. Rubber, coffee, cocoa, and oil palm are cultivated in Tana Menang, Pinang Tinggi, and Padang Salak in Jambi; in Talang Nangka, Rambai, Dapok Rejo, Bumi Hardjo and Suka Mulya in South Sumatera; and Dosan and Bunga Raya in Riau to fulfi l the local basic needs.

Rubber has long been cultivated in Talang Nangka and Rambai. Talang Nangka is home to 987 households totalling 4,028 lives, who cultivate 12,000 ha of rubber gardens. Rambai is home to 308 households totalling 2,500 lives, who cultivate 6,000 ha of rubber gardens. Rubber gardens in both villages make up a total 18,000 ha with daily production amounting to the average 10 kg of wet sap per ha. According to the local people, they work for 20 days a month, thus the average monthly production is 200 kg. In a year the total production amounts to 2,400 kg or 2.4 tons. The price of wet sap ranges from Rp5,000-Rp7,000 per kg, an

Page 65: Biofuel Final (Cetak)

55

Biofuel; a Trap

Box 8. Buah duku Desa Rambai Rambai Village’s Dukus

Desa Rambai salah satu Desa yang berada di Kabupaten OKI termasuk penghasil buah duku. Duku di desa rambai sangat manis dan menjadi primadona bagi para pemburu buah duku dari Jakarta dan kota Palembang. Pohon duku sangat banyak dan tidak ada data yang menyebutkan angka pasti. Menurut ketua kelompok petani Desa Rambai, setiap panen duku bisa mencapai 20 truk lebih. Setiap truk berkapasitas 8 ton, jadi total produksi duku di perkirakan mencapai 160 ton setiap panen. Tetapi, harga buah duku di Rambai sangat murah dibeli oleh para tengkulak yang dating dari kota Pelambang, Lampung dan Jakarta, dihargai 1.000 – 3.000/kg dulu. Bila musim panen raya, harga duku mencapai 1.000/kg, bila panen tidak begitu banyak paling mahal 3.000/kg. sedangkan pedagang di pasaran Jakarta dan Palembang harga duku berkisar dari 6.000 s/d10.000/kg. Persoalan harga menjadi kendala, margin atau keutungan lebih banyak di nikmati oleh pedagang atau tengkulak. Kondisi ini, menurut keterangan ketua kelompok petani Rambai, akan diperbaiki kedepan dengan cara petani membentuk koperasi agar tata niaga dapat di bangun secara adil bersama. (Talang Nangka, Koesnadi Agustus 2009)

Rambai Village, one of the villages that make up OKI district, is well known for its dukus. The fruit is sweet and mostly sought after by buyers from Jakarta and Palembang. There are no exact data on how many trees they village has. The head of the farmer’s group say that each harvest is enough to fi ll up 20 trucks. As a truck has the capacity of 8 tons, the total production fetch 160 tons per harvest. The farmers, however, do not enjoy good price as it is controlled by middlemen from Palembang, Lampung and Jakarta. The price offered to the farmers ranges from Rp1,000-Rp3.000/kg. When harvests are good, the common price is Rp1,000/kg, which may rise to Rp3,000/kg when harvests are not very good. On Jakarta and Palembang markets they are sold at Rp6,000-Rp10,000/kg. It is the middlemen who enjoy more profi t. The farmer group’s head says that the farmers will form a cooperative to regulate a fairer price. (Talang Nangka, Koesnadi, August 2009)

jiwa memiliki luas perkebunan karet 6.000 hektar. Total perkebunan karet Talang Nangka dan Rambai seluas 18.000 hektar, dengan kapasitas produksi karet per hektar rata-rata 10 kg per hari/basah. Menurut keterangan penduduk, setiap bulan hanya bekerja selama 20 hari, jadi rata-rata produksi karet setiap bulan mencapai 200 kg per bulan. Jadi dalam setahun penghasilan karet rata-rata sebanyak 2.400 kg setara 2,4 ton. Harga karet per kilogram antara 5.000 – 7.000/basah, dengan harga rata-rata mencapai 6.500/kg. Jadi setiap hektarnya penduduk menghasilkan uang sebesar 15.500.000 per tahun, bila di bagi setiap bulan maka mendapatkan Rp 1.800.000. Pendapatan ini belum ditambah dari hasil beberapa jenis pohon buah yang di tanam di sekitar kebun karet, misalnya duku yang terkenal dari Palembang sebenarnya dari Desa Talang dan Desa Rambai. Selain duku, rambutan, durian dlsb.

Dari sisi pendapatan setiap bulan minimal 1,8 juta per keluarga ditambah dengan hasil tanaman lain merupakan salah satu ukuran pendapatan diatas Upah Minimum Regional yang ditetapkan setiap provinsi 780.000 per bulan. Disamping itu, kebun karet seluas 18.000 hektar, minimal akan mampu menyerap tenaga kerja local setiap hektarnya minimal 2 orang, jadi penyerapan tenaga kerja sebanyak 36.000 orang. Jadi jumlah ini bila di lihat dari jumlah penduduk justru, tenaga kerja di perkebunan karet dua desa kekurangan tenaga kerja. Lalu bagaimana dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan hubungannya dengan pengangguran di desa? Jelas tidak ada orang nganggur di dua desa. Dari sarana dan prasarana desa, kedua desa ini terbilang sangat maju. Semua rumah-rumah penduduk semi permanen yang dibangun dari hasil karet dan ragam jenis tanaman lain yang dibudidaya.

average Rp6,500/kg. So from each ha the local people gain Rp15,500,000 annualy or a monthly income of Rp1,800,000. This is the income from rubber alone, excluding that from other commodities such as duku, rambutan, durian, etc. The famous Palembang dukus are originally from Talang and Rambai.

The monthly income of Rp1.8 millions per household plus incomes from other commodities exceeds the provincial minimum wage (UMR), which is set at Rp780,000 per month. In addition, 18,000 ha of rubber gardens can absorb 36,000 of local labour at the least (a minimum 2 persons per ha). Compared with the total population in the two villages, there is a shortage of labour precisely! Then, how is this solved and how is it related to unemployment in rural areas? There is absolutely no unemployment in the two villages. Judged from the facilities and infrastructure, both the villages are quite advanced with their semi-permanent houses. Income from their gardens has made these possible.

Page 66: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

56

Namun, kebijakan pemerintah salah melihat dan mempelajari kedua desa ini. Tiba-tiba pemerintah memberikan ijin perusahaan perkebunan kelapa sawit beroperasi di Desa Talang Nangka dan Desa Rambai. Ijin pemerintah salah satu jawaban untuk penanggulangan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran di kedua desa. Rupanya kebijakan ini salah alamat, karena warga kedua desa menolak wilayah desanya di jual kepada investor kebun kelapa sawit. Akhirnya, warga kedua desa ini dapat mempertahankan tanahnya yang telah dimasukan kedalam wilayah kerja perusahaan perkebunan seluas hampir mencapai 5.700 ha.

4.6. Cara Rakyat Melindungi Alam Sumatera dengan Sistem Lokal

Air bersih, udara bersih, sungai yang mengalir, tumbuhan yang selalu memberikan penghasilan beranekaragam dan keanekaragaman hayati yang memberikan bahan pangan bagi penduduk, adalah salah satu gambaran yang dimiliki oleh penduduk SAD di Jambi, Talang Nangka, Rambai, Dapo Rejo, Suka Mulya di Sumsel, dan bahan pangan yang bisa memberikan swasembada bagi penduduk Kecamatan Bunga Raya merupakan pilihan alternative menyelamatkan alam sumatera beserta kehidupan rakyatnya.

Alam Sumatera membentang dari Sabang di ujung Barat sampai pantai pelabuhan Bakauheuni di Bandar Lampung. Membentang dengan sumberdaya kekayaan alam yang sangat luar biasa, mulai dari minyak bumi, hutan, pertanian dan perkebunan lainnya. Kekayaan keanekaragaman hayati yang culup tinggi terdapat wilayah pegunungan barisan yang membentang dari wilayah Sumatera Utara sampai Sumatera bagian selatan. Sumatera pula memiliki lahan gambut terluas di Indoneisa yang sejak ribuan tahun terbentuk mengatur tata air sungai, rawa-rawa dan kehidupan mahluk lainnya. Keanekaragaman hayati fauna Sumatera yang khas adalah Gajah, Harimau Sumatera masih terdapat di beberapa habitat yang dilindungi. Ragam entitas suku di Sumatera sangat beragam baik culture, pengetahuan dan system pengelolaan sumberdaya alam yang dilandasi oleh kearifan budaya dan hukum lokal, salah satunya Suku Anak Dalam yang tersebar di beberapa wilayah Sumatera.

Tetapi, alam Sumatera sejak 20 tahun terakhir ini tidak mendapat perlindungan yang serius dari pemerintah daerah sampai Nasional. Bencana kebakaran hutan, lahan, banjir bandang, kekeringan, hilangnya satwa di lindungi serta becana lainnya membawa dampak pada ekosistem sumatera yang berubah. Selain bencana, konfl ik horizontal dan vertical sering terjadi dari akses model pembangunan yang menguntungkan salah satu pihak. Tetapi, situasi ini, tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk bekerja

However, the government has misinterpreted what the two villages are doing. Suddenly, the government granted permission to palm companies to operate in the villages. The permit is part of the government’s efforts to alleviate poverty and to reduce the unemployment rate there. The policies turned out to aim at the wrong target as the people refused to sell their villages to palm investors. Eventually, the people of the two villages successfully defended their land, 5.700 ha of which had been included in the palm concession.

4.6. How the local people protect Sumatera’s nature with local systems

Clean water, fresh air, fl owing rivers, and diverse food-producing vegetation are some of what belongs to the SAD in Jambi and the communities of Talang Nangka, Rambai, Dapo Rejo, and Suka Mulya in South Sumatera. These plus crops that support Bunga Raya sub-district are all alternative options to save Sumatera’s nature and the communities living on it.

Sumatera stretches from Sabang in the northwest edge of Sumatera Island down to the port of Bakauheuni in southeast Bandar Lampung, and contains remarkable natural richness – oil, forests, agriculture, plantations, and many more. Highly diverse biodiversity can be found along the Bukit Barisan mountains that stretch from North Sumatera province to South Sumatera province. Sumatera also contains the largest peatland in Indoneisa, which has regulated the provincial water system for aeons. The typical wildlife includes the protected elephants and tigers. Sumatera is also home to many ethnic groups with their highly diverse cultures, knowledge and natural resource management systems based on customary wisdom and laws. One among the ethnic groups is the Suku Anak Dalam indigenous people that inhabits some areas of Sumatera.

The nature richness, however, has never received serious attention from the provincial and central governments in the last 20 years. Frequent forest fi res, fl ash fl oods, drought, and other disasters have affected the ecosystem and caused the loss of some protected wildlife. Confl icts among community’s groups and between communities and the government, and development models that favour certain groups have been worsening the conditions. These bad situations, however, are not completely lessening local initiatives, based on customary wisdom and knowledge, which both preserve the nature and nurture the communities.

Page 67: Biofuel Final (Cetak)

57

Biofuel; a Trap

keras melindungi alam sumatera dengan beragam aktivias berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan kearifan local saling menguntungkan antara sumberdaya alam tetap lestari dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Praktek-praktek pengelolaan alam Sumatera yang dilakukan oleh masyarakat local akan memberikan jaminan keselamatan lingkungan hidup Sumatera. Model pengelolaan masyarakat local tidak hanya sekedar untuk mendapatkan komoditas, tetapi model ini dapat memberikan satu pengetahuan baru bagaimana manusia memperlakukan alam dengan bijaksana. Bagi SAD di Jambi, mengelola hutan berlandaskan pengetahuan dan system aturan adat. Mereka tidak boleh menebang pohon untuk kepentingan komersial, tidak melakukan pengrusakan atas sumberdaya alam menjadi tempat hidupnya. Kebun karet yang telah mengalami proses pengerjaan berdasar generasi maka ini dapat di kategorikan sebagai system yang telah berjalan. Biasanya dalam budidaya karet secara local, tidak semua jenis tanaman karet di tanam, pasti masyarakat menanam jenis tanaman lain di sela-sela tanaman karet walaupun tidak

Local natural resource management practices will ensure preservation of the nature. The practices not only support the local lives but also represent a model of how people treat nature wisely. The SAD indigenous people in Jambi have been managing forests based on their customary knowledge and laws. They are not allowed to log trees for commercial purposes and they do not destroy the natural resources on which their lives depend. The present rubber gardens refl ect their long-established wisdom. In typical rubber cultivation, they do not grow all rubber species and they also grow other plants between the rubber trees. Examples of this can be seen in old rubber gardens, where durians, rambutan, cempedak, rambai, duku and other fruit-bearing trees are grown together with rubber trees in a given plot.

In South Sumatera, people living in Meram, Talang Nangka, Rambai and in nearly all hamlets lying on peat swamps utilise the resource only for local economic and basic needs and preserve it for future generations. The cultivation system commonly applied there is the sonor system (see Box 5), which is only practiced during a long drought (4-6 month

Page 68: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

58

banyak. Banyak ditemui kebun-kebun karet yang sudah tua, sebenarnya pola tumpang sari dengan jenis tanaman lain, seperti durian, rambutan, cempedak, rambai, duku dan lainnya di tanam satu areal lahan yang disediakan.

Di Sumatera Selatan, penduduk lokal yang bermukim di Meram, Talang Nangka, Rambai dan hampir kebanyakan Desa-desa yang berada di rawa gambut, melindungi sumberdaya gambut untuk kebutuhan pasokan pangan dan ekonomi keluarga sambil memelihara kelestarian gambut untuk masa datang. Model yang dikembangkan adalah system pertanian local di rawa gambut, biasanya system ii disebut pertanian local sonor (lihat box 5 ). Sistem ini hanya dilakukan pada saat musim kemarau panjang 4 – 6 bulan dalam setiap tahunnya. Setelah itu, lahan Sonor dibiarkan menjadi bera (istirahat). Sistem ini juga terdapat di wilayah Riau dan Kalimantan Tengah, dimana dengan system ini ketahanan pangan rakyat setempat terjamin dan hutan dan lahan gambut tetap lestari.

Ada banyak cara dan ragam aktivitas rakyat melindungi alam Sumatera dari kehancuran. Salah satu contoh, warga desa di Semenanjung Kampar menolak perluasan areal HTI PT RAPP di wilayah Kampar, karena bertentangan dengan kaidah-kaidan lingkungan serta sosial budaya masyarakat. Warga Rambai dan Talang Nangka mempertahankan rawa gambutnya dari penggusuran perusahaan kebun sawit. Upaya-upaya masyarakat tentunya memiliki alasan yang jelas atas tujuan jangka panjang sebuah keberlanjutan sumberdaya lingkungan. Dan upaya ini sebaiknya mendapat dukungan kuat dari berbagai pihak dan para stakeholders guna memberikan apresiasi dan pengakuan atas system dan pengetahuan local sebagai kekayaan yang dimiliki Indonesia.

long). After harvest, they let the land lie fallow. The system is also practiced in Riau and Central Kalimantan, and it has proven to be able to ensure food security and preservation of the swamps.

There are plenty of other local initiatives to save Sumatera’s nature. The communities in Kampar peninsula reject PT RAPP’s expansion of its industrial plantation forest as it is in direct contradiction to local environmental, social and cultural values. The communities of Rambai and Talang Nangka defend their peat swamps from conversion. All these actions are surely based on sound environmental reasons, and should be supported by relevant stakeholders as recognition and appreciation of the local wisdom and knowledge, part of Indonesia’s richness.

Page 69: Biofuel Final (Cetak)

59

Biofuel; a Trap

BAGIAN V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Proyek biofuel yang menjanjikan kesejahteraan rakyat, justru malah sebaliknya menyeret rakyat pada jurang kesengsaraan. Penguasaan tanah-tanah skala luas untuk penanaman pohon kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel menunjukan fakta yang tidak bisa dihindari, bahwa proyek ini di jalankan atas dasar keserakahan, setidaknya, 13.000 warga di 3 desa Sumsel, 5.000 jiwa Suku Anak Dalam terusir dari tanah dan kebunnya, ancaman rawan pangan puluhan ribu rakyat Riau karena sawah kering dan semakin rusaknya ekologi gambut Sumatera. Sehingga, proyek ini seharusnya di hentikan, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi di Indonesia dan dunia. Biofuel tidak menjawab persoalan krisis energy, dan pemanasan global, tapi gerakan penghematan energylah yang sangat mendesak dilakukan oleh seluruh masyarakat di dunia untuk menjawabnya. Juga tidak menjawab kemiskinan dan tenaga kerja, karena kenyataannya bahwa kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit justru menambah jumlah orang tak bertanah, dan merampas lahan-lahan pangan rakyat sebagai sumber energy mereka.

Biofeul Menimbulkan Sejuta Masalah di Indonesia

Biofuel sebagai energy yang dapat diperbaharui merupakan salah satu solusi alternative pilihan dalam menjawab krisis iklim dan energy di dunia. Solusi ini di respon oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang menracang mega proyek ini di banyak wilayah dengan mengalokasikan lahan untuk penanaman pohon bahan baku biofuel yaitu kelapa sawit. Tetapi, rancangan Nasional atas kebijakan biofuel di Indonesia, merupakan kebijakan yang salah kaprah dalam menempatkan posisi Bangsa Indonesia setara dengan konsumsi minyak Negara-negara kaya. Temuan lainnya, adalah kegagalan pelaksana proyek biofuel mencapai

The biofuel project, which is said to bring prosperity to the nation, turns out to have dragged them into the pit of misery. Massive handing over of vast land for oil palm plantations gives a undeniable fact that the project is built upon greed. At least, 13,000 people in three villages in South Sumatera province and 5,000 of the indigenous Suku Anak Dalam in Jambi have been forcibly displaced from their ancestral land and gardens, and ten thousands of people in Riau have been threatened by a food crisis following the drying of their fi elds and the degradation of Sumatera’s peat ecology. The project should be terminated before dragging more victims in Indonesia and the world. Biofuel is not an answer to energy crises and global warming. Saving energy is what the world has to do to address the problems. Biofuel is not an answer to poverty and unemployment as well. Palm companies in fact seize communities’ land – their sources of livelihood – and create more landless people.

Biofeul causing a million of problems in Indonesia

Biofuel as a renewable energy is offered as an alternative solution to addressing the global energy and climate crises. The government of Indonesia gives a warm response to the idea and designs mega projects throughout the country by allocating vast land for oil palm plantations – the raw material for biofuel. The national design is, however, a misplaced policy to lift the position of the nation to the same level as developed countries. Other fi ndings reveal that biofuel companies, including the appointed state-owned enterprise (Pertamina), meet plenty of obstacles in production and cannot meet the production target due to the high price of

PART V

CONCLUSION AND RECOMMENDATIONS

Page 70: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

60

target produksi oleh perusahaan pelaksana, begitu juga perusahaan BUMN (Pertamina) yang ditunjuk Pemerintah mengatakan sulit dan banyak hambatan produksi biofuel karena factor tingginya harga CPO dan produksi Biofuel.

Dampak memperparah iklim Projek industry biofuel yang ditemui di 3 wilayah Sumatera telah menimbulkan dampak semakin berkurangnya hutan di wilayah Sumatera. Semakin diperluasnya perkebunan kelapa sawit sekala besar untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar nabati/ biofuel, dengan parktek penguasaan atas tanah-tanah rakyat, hutan adat, kebun rakyat, kawasan lindung serta mengganggu ketahanan pangan rakyat di banyak desa 3 wilayah Sumatera. Suplay bahan baku CPO untuk pangan, bergeser menjadi pasokan kebutuhan biofeul untuk memberi makan mesin-mesin, sehingga kondisi ini memicu kenaikan bahan pokok di dunia dan menjadi korban masyarakat miskin di seluruh dunia.

Dari implementasi proyek biofuel di Sumatera sejak digulirkannya, menemukan angka memiskinan di 3 wilayah masih cukup tinggi dan cendrung bertambah di tingkat daerah karena factor disengaja, misalnya; masyarakat di gusur kehilangan mata pencaharian maka menjadi miskin. Angka kemiskinan ini diperkuat dengan praktek pengusiran penduduk secara paksa dan halus dengan janji kesejahteraan masyarakat yang dterjadi di Desa Tanah Menang, Pinang Tinngi, dan Padang Salak Provinsi Jambi. Desa Dapok Rejo, Suka Mulya dan Bumi Harjo di Sumatera Selatan, serta beberapa desa di wilayah Riau. Selain itu, dampak ekspansi kebun sawit sangat luas menambah daftar konfl ik social dan lingkungan hidup semakin panjang.

Temuan lainnya, proyek biofuel telah mengkonversi (meng-alihfungsi-kan) lahan dan hutan gambut untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, maka persoalan ini akan menyumbang dampak pemanasan global yang lebih parah di dunia. Persoalan ini tidak saja membawa pada tingkat pendapatan masyarakat hilang, bahkan menciptakan kemiskinan baru di pedesaan akibat tergusurnya mata pencaharian masyarakat, dan jelas akan mengganggu tercapainya tujuan MDGs.

Dari proses pembelajaran proyek biofuel di Sumatera dengan berbagai dampak yang ditimbulkan, seharusnya pemerintah daerah maupun Nasional banyak memberikan perhatian kepada inisiatif local masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam Sumatera. Sejarah mencatat, bahwa rakyat selama ini telah banyak membantu pemerintah dalam menjalankan proses pembangunan dalam banyak hal, mulai dari pemenuhan kebutuhan bahan pangan, menyelamatan lingkungan dan lain sebagainya. Dari temuan di tingkat lapangan pada lokasi studi, banyak di jumpai praktek-praktek masyarakat local yang telah lama mengelola sumberdaya alam berdasarkan kearifan local. Keberadaan ini setidaknya

CPO and the high biofuel production cost.

Another worsening impact identifi ed in the three provinces of study is the shrinking forests and the expanding oil palm plantations. Palm expansion has seized local communities’ ancestral land and gardens as well as protected areas and has threatened their food security. CPO is no longer for food but for biofuel plants, causing hikes in food prices worldwide, and again it is the poor who suffer the most.

Since the inception of the biofuel project in Sumatera, the poverty level in the three provinces has been high and tended to rise at local level due to forced unemployment – palm companies seize the land and leave the local people with no jobs. The impoverishment is reinforced by forced or persuasive displacement of the local people with a promise of better lives, in Tanah Menang, Pinang Tinngi, and Padang Salak of Jambi province as well as Dapok Rejo, Suka Mulya and Bumi Harjo of South Sumatera province, and several villages of Riau province. The far-fetching impacts of palm expansion has added more social and environmental confl icts to the list.

While the conversion of cropland and peatland into oil palm plantations has given a signifi cant contribution to the global warming, it has also eliminated the local sources of livelihood, creating more poor people. it surely hinders efforts to achieve MDGs.

The biofuel project with all its impacts should teach a lesson to provincial and national governments to pay more attention to local natural resource management initiatives. History has it that local communities have contributed much to the development, from supplying food to preserving the environment. The studies have found a lot of natural resource management practices that are based on local wisdom. These fi ndings can at least provide useful and strategic input for the sake of the nation’s development.

Page 71: Biofuel Final (Cetak)

61

Biofuel; a Trap

dapat memberikan masukan yang cukup strategis dan berdayaguna bagi pembangunan bangsa yang merdeka.

Dari pengalaman yang diperoleh, sebaiknya Pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, akademisi, aktivis lingkungan hidup, sector swasta dan lembaga-lembaga keuangan nasional maupun international dapat melakukan bebeapa hal yang dimungkinkan krisis iklim dan energy tidak lagi membebani kesengsaraan rakyat Indonesia dengan langkah-langkah yang tepat, diantaranya:

segera menghentikan ekspansi perkebunan kelapa 1. sawit di Sumatera, terutama yang diperuntukkan untuk suply bahan baku biofuel, karena industri biofuel yang direncanakan dan yang telah berjalan di 3 wilayah Sumatera membuktikan bahwa areal konsentrasi pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah diareal APL (areal Penggunaan lain) yang artinya adalah wilayah-wilayah kelola rakyat untuk sumber pangan mereka. lembaga keuangan international seharusnya juga 2. segera melakukan kajian mendalam terhadap investasi mereka yang diperuntukkan bagi industri biofuel, karena Sumatera bisa jadi miniatur dari kegagalan investasi yang menitik beratkan pada kepentingan ekonomi dan mengabaikan kepentingan sosial dan lingkungan. Pelajaran ini penting bagi para investor yang mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui dukungan keuangan atas rencana. Tetapi dukungan keuangan tersebut akan menambah kesulitan rakyat di Indonesia dan dunia atas ancaman bahan pangan, hilangnya hak atas tanah, kebun dan hutan. Sehingga kondisi ini investorlah yang harus bertanggungjawab untuk memulihkan semuanya. Kemudian langkah yang perlu diambil oleh para investor dalam kasus biofuel adalah segera menghentikan kucuran dana membiayai projek Karena apa yang dilakukan oleh Investor pendukung, tidak banyak memberikan bantuan kepada rakyat dan bangsa Indoensia, melainkan membawa kesengsaraan jangka panjang.

Inisiatif dan solidaritas masyarakat membantu 3. pemerintah tidak pernah kurang, dari waktu ke waktu seluruh masyarakat dipelosok pedesaan mulai dari pegunungan sampai pesisir pantai Nusantara, terlebih lagi masyarakat di 3 wilayah studi sudah lama bergerak menyelamatkan diri dan bangsa ini dari keserakahan dunia Negara-negara maju yang haus akan sumber bahan-bahan mentah dalam memenuhi kebutuhan industrinya. Pilihan lain, suka tidak suka, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka di atas bumi pertiwi. Kebijakan yang adil dan memberikan rasa aman serta keselamatan rakyat dan lingkungan adalah

The lessons learnt suggest that the governments, communities, universities, academics, environmental activists, the private sector as well as national and international fi nanciers should do appropriate measures to address energy and climate crises without adversely affecting the nation, among others:

To immediately stop palm expansion in Sumatera, 1. particularly the one intended to supply biofuel industry, as the past and the on-going development of the industry in three provinces of Sumatera shows that such expansion has been concentrated in APL (areas for other uses), which serve as the local communities’ sources of livelihood; International fi nanciers should conduct an in-depth 2. analysis of their investment in biofuel industry as Sumatera can become a miniature of a failure in investment that focuses mainly on economic purposes and overlooks social and environmental importance. The lesson is important for investors that attempt to bring prosperity through their investment. The investment will add more burden to Indonesia and the world from food insecurity threat, and deprivation of the local rights to land, gardens and forests. Investors are the ones who should be taken accountable for the destruction they have caused. Regarding biofuel industry, a step investors should take is to stop fi nancing biofuel-related projects as they bring almost nothing but prolonged misery to the country and the people of Indonesia.

Communities’s initiatives and solidarity to help 3. the government have never ceased. All the rural communities from highland to coastal areas, including those in three study locations, have long been working to save the country and the nation from developed countries’ greed for raw materials to run their industries. Willing or not, the government as an independent nation has to issue policies supporting its people. National policies that are just and that are able to ensure the people’s safety and environmental preservation are what the governments of all level must provide. In the international context, it is about time the government should issue policies that take rural communities as part of the nation. To ensure security and safety, the governments and the stakeholders should immediately:

Restore the rights of the displaced communities: - it is the utmost expectation of the indigenous Suku Anak Dalam in Tanah Menang, Pinang Tinggi and Padang Salak of Jambi province

Page 72: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

62

hal mutlak dilakukan oleh pemerintah, baik ditingkat daerah maupun nasional, terlebih lagi kebijakan antar Negara yang seharusnya memulai memahami rakyat di pedesaan sebagai warga Negara. Untuk memberikan rasa aman dan jaminan keselamatan, pemerintah dan lpara pihak segera melakukan upaya:

Memulihkan hak-hak masyarakat tergusur: Haparan - Suku Anak Dalam di Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak Jambi, agar tanah, hutan adat, kebun dan lahan pangan mereka di kembalikan , dan proyek biofeul dihentikan agar kesengsaraan rakyat tidak meluas. Begitu juga dengan warga Dapo Rejo, Bumi Harjo dan Suka Mulia, agar tanah-tanah mereka yang di ambil dulu untuk HGU agar dikembalikan setelah masa HGU berlaku habis.

Mengakui system kearifan local yang lebih lestari: - system sonor, tasik, rawa gambut, padi kering yang dikelola masyarakat berdasarkan kearifan dan keberlanjutan agar segera mendapat perlindungan melalui kebijakan yang menghargai dan mengakui system ini sebagai kekayaan ilmu pengetahuan dan budaya local. Dari situasi dan fakta yang ditemukan di tingkat lapangan, sejatinya masyarakat memiliki beragam inisiatif dalam menjawab kebutuhannya untuk mencapai kesejahteraan secara lestari. Gagasan dan sebuah upaya masyarakat sebenarnya sudah lama dilakukan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Tetapi, karena tidak banyak mendapat dukungan dari pihak pemerintah baik lokal maupun nasional, sehingga sumbangan masyarakat atas pertumbuhan ekonomi daerah, kelestarian lingkungan atau hutan dan peningkatan pendapatan keluarga tidak direkam secara baik dan di promosikan sebagai salah satu inisiatif untuk bangkit dan berdaulat atas sumberdaya alamnya.

Lain lagi dengan pendapat masyarakat di Dosan, Bunga Raya, agar pemerintah dapat memfasilitasi masyarakat dalam mencukupi kebutuhan pangan beras, sehingga pertanian padi sawah agar mendapat perhatian dan bimbingan baik berupa teknologi pertanian padi sawah mulai dari system pengairan, penyediaan pupuk sampai modal serta pengaturan tata niaga beras yang berpihak kepada petani. Bila bimbingan ini dilakukan, maka, petani sawah akan lebih bergairan dalam mengelola sawahnya dan dapat menyuplai kebutuhan pangan Kabupaten Siak. Selain itu akan menghidari keinginan petani dalam mengkonversi sawah menjadi kebun sawit.

that their ancestral land, gardens, forests and cropland be returned to them and that the biofuel project be terminated to prevent far-fetching suffering. Similarly, the communities of Dapo Rejo, Bumi Harjo and Suka Mulia expect that the land taken over under the HGU scheme (HGU=use permit) will be returned to them when the permit expires.

Recognise local wisdom, which is more - sustainable: the local agricultural systems such as the sonor, the tasik, wetland and dry rice cultivation are sustainable practices based on local wisdom, and they deserve policy support that protects, respects and recognises them as part of the nation’s intellectual and cultural properties. Field fi ndings reveal that the local communities in fact have various initiatives to achieve sustainable prosperity, and they had been practiced long before Indonesia got her independence. In the absence of government’s support, however, local contribution to regional economy, environmental/forest preservation and family economy is not recognised and promoted to be an alternative with which the nation can rise and have sovereignty over its natural resources.

The communities of Dosan, Bunga Raya, Siak district, have a different expectation, though. They expect the government to pay attention to and provide technical assistance for the local agriculture – the irrigation system, fertilisers, working capital and fair rice business administration. Should the government provide such assistance, they will be more enthusiastic to manage their rice fi elds and to be able to supply the district food need. Such enthusiasm will also prevent the farmers to convert the fi elds into oil palm plantations.

Massive campaign for local food at local and international level should be done so that communities are proud of local agriculture that has so far been supporting the nation.

Page 73: Biofuel Final (Cetak)

63

Biofuel; a Trap

Melakukan kempanye besar-besaran tentang pangan local, tidak hanya ditingkat international, tapi juga hingga ketingkat local, kampong-kampung, sehingga masyarakat merasa bangga dengan pertanian local yang selama ini menghidupi rakyat Indonesia.

Mencabut ijin kegiatan perusahaan yang - mengancam keselamatan rakyat dan lingkungan : Praktek-praktek implementasi perusahaan pemasok bahan baku biofuel dengan perluasan perkebunan kelapa sawit yang tidak mengindahkan atas hak-hak dasar masyarakat, peraturan setempat dan kebijakan yang melarang atas kerusakan gambut di Sumatera. Pencabutan ijin operasi penting dilakukan pemerintah terhadap perusahaan nakal yang mengahalkan segala cara dalam menjalankan bisnis. Mengkonversi hutan dan lahan gambut, mengusir rakyat dari tanahnya, mencemari lingkungan dan melakukan tindak pidana criminal atas hak-hak rakyat yang tergusur serta memanipulasi kepercayaan pemerintah yang diberikan.

Agenda aksi gerakan penghematan energy seluruh 4. masyarakat untuk dunia; tidak untuk menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua bila tidak penting benar, tidak menggunakan energy listrik secara berlebihan, tidak menggunakan bahan-bahan plastic yang akan dapat memboroskan energy, tidak untuk melakukan tindakan-tindakan boros atas energy yang tersedia. Gerakan penghematan atas energy yang digunakan setiap hari sangat di nantikan untuk menyelamatkan bumi dan keselamatan rakyat miskin di belahan dunia ini. Tidak menggunakan pemborosan energy baik minyak bumi, air, listrik dan penggunakan barang-barang yang berdampak pada pemborosan energy segera di tinggalkan dan dilakukan penghematan serentak di dunia.

Revoke permits that threaten communities’ - and environmental safety: The government must revoke permits granted to bad palm suppliers, which expand their plantations without respect for local rights, convert land and forests, displace local communities, pollute the environment, deprive of displaced people’s rights and manipulate government’s trust. The government should issue bylaws and policies prohibiting destruction to Sumatera’s peatland.

There should be global actions for “energy saving”: 4. do not use of gas combustion vehicles whenever possible, do not use electricity excessively, do not use plastic materials that waste energy, do not use energy ineffi ciently. Daily energy saving is needed to save the earth and poor people worldwide. Leave ineffi cient use of all energies – oil, water, electricity – and of energy-ineffi cient stuffs, and save energy all at once across the globe.

Page 74: Biofuel Final (Cetak)

Biofuel; Sebuah Jebakan

64

Bagian I : Tentang Industri Biofuel

Kompas, 12 Desember 20071. Kompas, 12 Desember 20072. BWI Publication3. www.indofi nanz.com, “BNI bentuk Divisi Khusus 4. Tangani Biofuel,” 10 Januari 2007Kompas, “Kredit Biofuel Mengalir BNI dan Bank 5. Mandiri menandatangani MOU dengan 10 perusahaan,” 10 Januari 2007The Jakarta Post, “BRI sets aside Rp 4 trilion for 6. agricultural sector, biofuel lending,” 28 November 2006www.indofi nanz.com, see Note 42.7. The Jakarta Post, Banks to lend Rp 25 trillion for 8. plantation, biofuel projects, 21 December 2007Kompas, Kredit Biofuel Mengalir BNI dan Bank 9. Mandiri menandatangani MOU dengan 10 perusahaan, 10 Januari 2007The Jakarta Post, Op. Cit.10. The Jakarta Post, Ibid.11. The Jakarta Post, Ibid.12. Bisnis Indonesia, KfW & JBIC danai biofuel, 22 13. Februari 2007Bisnis Indonesia, Ibid14. Raja Suhud, “Pemerintah Harus Bangun 15. Infrastruktur Pendukung Proyek BBN,” 10 Januari 2007, Media Indonesia OnlineMarianne Klute, “Green Gold Biodiesel: Players 16. in Indonesia,” Watch IndonesiaKompas, “Sumsel Tambah 200.000 Ha Lahan 17. Sawit,” 15 Januari 2007The Jakarta Post, “USAID to help agribusiness to 18. tune of $13,75m,” 22 Desember 2006Marianne Klute, Op. Cit.19.

Bagian II: Potret buram industry biofuel Sumatera

Setara, Diolah dari berbagai sumber1. Dinas perkebunan propinsi Jambi2. Laporan tahunan Dinas Perkebunan Propinsi 3. Jambi tahun 2006Jambi Ekspres, 19 April 20074. Diolah dari Statistik Perkebunan propinsi Jambi 5. tahun 2005Diolah dari informasi media lokal, nasional, 6. international dan investigasi lapangan

Investigasi lapangan bulan Oktober-Desember 7. 2007Kompas, 15 Mei 20088. PT Bakrie & Brother Tbk. Dalam Analyst Briefi ng 9. Nov 2007PT Bakrie & Brother Tbk. dalam Analyst Briefi ng 10. May 2007Publikasi BWI dalam Biofuel in Indonesia: some 11. critical IssuesPT Bakrie & Brother Tbk. Dalam Analyst 12. Briefi ng Nov 2007 tentang Expanding Estates Areas&construction new processing pacilitiesInvestigasi dan pendampingan masyarakat SAD.13. Pengaduan petani dari Muara Sabak pada acara 14. Talkshow RRI pada Bulan Desember 2007 JambiPendampingan kasus di Dusun Penyabungan 15. 1998-2006Liputan 6 pagi SCTV tgl 21 Januari 200816. Kertas posisi SETARA yang dipublikasikan tahun 17. 2007Laporan tahunan Dinas Perkebunan propinsi 18. Jambi th 2006Kompas, 5 Mei 2007. 19. Warga serbu OP Minyak Goreng.Menggoreng iklim, Greenpeace 200720. Analisa data jikalahari 200821. Analisa data jikalahari 200822. Kompas, 18 Maret 200823.

Bagian III: Biofuel, daftar panjang kemiskinan dan bencana gambut Sumatera

Kompas, 14 Maret 20081. Kompas, 14 Maret 20082.

3. Antara, 10 Mei 20074. Indonesia.com (viewed 22 Mei 2008)5. BWI dalam Biofuel Industry in Indonesia: some 6. critical issues. 2007Kompas, 16 Januari 20077. Sawit Watch8. Sawit Watch9. Dari hasil kompilasi data Biofuel Setara Jambi 10. tahun 2007Holt-Gimenez, 2007)11. Green Peace dalam Bagaimana industri minyak 12. sawit menggoreng iklim.Diambil dari hasil penelitian Yayasan SETARA 13. tentang skema kemitraan di Jambi tahun 2006-2007

REFERENSI

REFERENCES

Page 75: Biofuel Final (Cetak)

65

Biofuel; a Trap