123
BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG Oleh: Fahrud in Nasrulloh Dian Sukarno  Y usu f Wibisono DITERBITKAN OLEH: BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010

Biografi Bupati Jombang

Embed Size (px)

Citation preview

  • BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG

    Oleh: Fahrudin Nasrulloh

    Dian Sukarno Yusuf Wibisono

    DITERBITKAN OLEH: BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

    DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010

  • 2

    BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG Pemerintah Kabupaten Jombang Cetakan pertama, Desember 2010 Biografi Para Bupati Jombang Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 Penyunting : Fahrudin Nasrulloh Pemeriksa aksara : Jabbar Abdullah Perbaikan akhir : Abdul Wahab Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Fahrudin Nasrulloh, Dian Sukarno, Yusuf Wibisono Biografi Para Bupati Jombang Cet. 1. -- Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang, 2010 150 hlm.; 21 cm

    ISBN:

  • 3

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1 IDENTITAS BUKU ............................................................................................... 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3 PENGANTAR PENULIS ....................................................................................... 4 BAB I SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG ................................ 8 BAB II BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG ............................................... 17

    1. Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) ................ 17 2. Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930 1946) ............... 25 3. Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949) ..... 29 4. Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950) ..... 31 5. Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956) ......... 33 6. Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958) .................... 35 7. Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962) ................... 37 8. Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-

    1966) ................................................................................................. 43

    9. Profil Bupati Ismail (Masa Bhakti 1966-1973) ................................. 45 10. Profil Bupati R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979) ..................... 49 11. Profil Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983) ................ 57 12. Profil Bupati Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983-1988) .............. 76 13. Profil Bupati Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993) .................. 83 14. Profil Bupati Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998) ......... 86 15. Profil Bupati Drs.H. Affandi, M.Si (Masa Bhakti 1998-2003) ......... 95 16. Profil Bupati Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2003 2008) .............. 98 17. Profil Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti 2008-2008) ................ 107

    BAB III PENUTUP ............................................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 119 TENTANG PENULIS ............................................................................................ 123

  • 4

    PENGANTAR PENULIS Sebagai salah satu upaya dalam rangka memajukan pembangunan dan

    pengembangan sumber daya manusia di setiap wilayah kabupaten di Provinsi Jawa

    Timur, Kabupaten Jombang merupakan wilayah yang cukup siknifikan dengan berbagai

    sumber daya manusianya dan potensi agrarisnya untuk diperhitungkan di masa

    mendatang. Sebagai sebuah cermin kesejarahan baik di masa lalu, kini, dan kelak, profil

    bupati yang telah memimpin dan mewarnai kesejarahan Jombang terasa menjadi penting

    dituliskan untuk dijadikan teladan, tolok ukur, kaca benggala, atau evaluasi bagi siapa

    saja, khususnya bagi masyarakat Jombang.

    Kesejarahan yang bersifat historis-komunal tersebut tidak lepas dari peran warga

    Jombang dalam berpartisipasi serta turut berproses dalam pembangunan dan

    pembentukan citra Kabupaten Jombang sebagai kota santri yang memiliki karakter

    egaliter, ramah, beriman, dan senantiasa mampu memunculkan harapan-harapan baru

    yang konstruktif demi mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan di segala bidang.

    Kiranya bakal berharga jika kehadiran buku Biografi Para Bupati Jombang ini

    mampu memenuhi sebagian dari kebutuhan literasi dalam konteks historis yang paling

    elementer bagi masyarakat Jombang untuk kemudian dijadikan acuan dalam banyak hal

    terkait, sehingga mempunyai fungsi dan edukasi bagi warganya secara luas.

    Biografi para Bupati Jombang dalam buku ini dimulai dari masa Bupati R.A.A.

    Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930) sampai Bupati Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti

    2008-2008). Masa Bupati Suyanto yang menjabat kembali sebagai Bupati Jombang dari

    2009 sampai dengan 2013 akan dibukukan tersendiri secara khusus.

    Perlu disampaikan, penggunaan kata biografi dalam judul di atas dimaksudkan

    sebagai harapan bahwa di kemudian waktu tiap sosok Bupati Jombang dapat dituliskan

    kembali secara lebih lengkap, mendetail, dan menyeluruh. Dan dalam buku ini belumlah

    memenuhi maksud tersebut. Karena itu, kami menggunakan kata profil di tiap sosok

    Bupati di sini, yang dalam arti lain bisa bermakna semacam biografi kecil.

    Konsekuensi intelektual dari penulisan biografi memang berat dan kompleks.

    Kompleksitas ini muncul ketika teks telah berhadapan dengan pembaca. Untuk itu,

    kiranya penting kami sodorkan semacam ilustrasi ikhwal problema penulisan biografi

    dari sejarawan Taufik Abdullah ini:

  • 5

    Terkabarlah bahwa seorang penulis biografi muda usia mendatangi pembimbingnya. Ia merasa gelisah dan kecewa. Tak mungkin rasanya ia menulis biografi dari seorang tokoh dengan sejujurnya. Bagaimana mungkin, sebab istri si tokoh masih hidup. Dengan tenang si pembimbing memberi jawaban: Bunuh istrinya!

    Akhir ceritanya? Si penulis muda tentu tidak membunuh istri dari tokoh yang diselidikinya secara fisik. Ia mencoba membunuhnya sebagai faktor yang akan mempengaruhi tulisannya. Begitulah, setidaknya yang diusahakannya. Membunuh, demi kejujurannya terhadap sasaran yang dipelajarinya. Tentu masalahnya tidak semudah itu. Ini barulah salah satu aspek sampingan dari problema yang dihadapi dalam penulisan biografi. Kemungkinan munculnya kemarahan, kejengkelan atau, rasa tersinggung keluarga dan teman dekat mereka yang diteliti, barulah salah satu masalah saja. Ini baru menyangkut soal yuridis dan, mungkin, politis dalam penulisan.

    Menjadikan biografi sebagai sasaran penelitian dan penulisan kadang-kadang dapat membawa orang pada dua kemungkinan yang bertolak belakang. Ia si peneliti, jika itu yang dikehendakinya bisa merasa puas dengan data dasar mengenai tokohnya. Lahirnya diketahui. Orang tuanya dikenal. Tempat dan tingkat pendidikannya dicantumkan. Kedudukan yang pernah dijabat ditelusuri. Dan seterusnya. Tak salah. Tetapi, jika ini yang dilakukan, bukankah lebih baik jika ia tidak berhenti pada satu orang saja? Akan lebih baik lagi dilanjutkan dengan catatan tentang tokoh-tokoh lain, yang mungkin sepekerjaan, sestatus atau sedaerah, dengan yang pertama. Apa yang didapatkannya merupakan bahan yang akan sangat berharga bagi studi sosiologis-historis tentang kelompok sosial dari tokoh-tokoh itu.

    Kemungkinan kedua ialah terlibatnya pada hal-hal yang bersifat spekulatif-filosofis. Penghargaan yang sadar terhadap masalah ini sering berarti telah lebih dulu menempatkan tokohnya dalam konteks sejarah yang kosmis sifatnya. Ia telah lebih dulu menentukan sikap, sebelum menelitinya. Tetapi jika tidak, berarti ia sesungguhnya telah menentukan pilihan ideologisnya. Dengan keterlibatannya dalam kehidupan tokohnya ia biasanya telah beranggapan bahwa peranan tokohnya dominan. Dan, seperti yang sering terjadi, ia akan terbuai pada hagiografi di mana biografi telah menjadi riwayat para orang suci, bukan manusia biasa.1

    Ada rasa genting sekaligus pelik jika penulisan biografi kecil ini mengacu pada

    paparan akademis Taufik Abdullah di atas. Secara jujur, dalam konteks lapangan riset

    yang kami hadapi, justru sebaliknya. Dari 17 sosok bupati dalam buku ini, hampir 10-an

    lebih yang sudah meninggal dan sama sekali belum tertelusuri data pribadinya secara

    akurat. Memang butuh bertahun-tahun, jika yang diinginkan adalah sebuah biografi

    lengkap. Dan kiranya apa yang kita sebut sebagai data, tak pernah habis dan selalu ada

    yang baru. Tentu dengan batasan-batasan tertentu.

    Demi semua tujuan yang diacu dalam penulisan buku ini di atas, kita berharap

    besar dalam setiap periode pemilihan bupati akan mempunyai pemimpin yang mampu

    menjadi pengayom, memberi teladan, dan memakmurkan mereka. Kinerja pemimpin

    haruslah diemban dengan sungguh-sungguh, tidak mengabaikan tanggung jawab, dan

    tidak pula demi kepentingan diri sendiri. Sebagai penutup, kami sodorkan kembali tulisan

    1 Taufik Abdullah, Manusia dalam Sejarah: Sebuah Pengantar, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah,

    (LP3S. Jakarta. 1978). Hlm.1-2.

  • 6

    salah seorang Bupati Jombang yang terpahat di ruang tamu lantai satu bagian luar dari

    ruang Sekda, sebagai cerminan bagaimana seorang pemimpin dan pegawai negara

    berwatak, bertugas, dan berpikiran ke depan:

    Gedung ini dibangun untuk meningkatkan fasilitas kerja bagi para karyawan/karyawati Pemerintah

    Daerah Tingkat II Jombang, dalam rangka upaya meningkatkan kemampuan serta keterampilan melaksanakan tugas pokok yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di segala bidang kehidupan.

    Oleh karena itu, kepada kita semua dituntut untuk mau dan mampu bekerja dengan sungguh-sungguh, serta mampu berfikir, bersikap dan berbuat yang terbaik.

    Jangan kecewakan pimpinanmu, rekanmu, keluargamu dan dirimu sendiri, karena tindakanmu yang tidak terpuji. Bina terus kebersamaan, kebanggaan dan kesetiaan kepada Korpri, agar menjadi kekuatan yang kokoh dan tegar, dengan dilandasi rasa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Selamat bertugas, berkarya dan beramal!! Semoga dalam menjalankan tugas dan pengabdian kita, selalu mendapatkan petunjuk, bimbingan

    dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa.

    Jombang, 23 Agustus 2005 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jombang

    ttd

    H. Soewoto Adiwibowo

    Tandasan Bupati Soewoto mengisyaratkan betapa urgennya seorang pemimpin

    (atau pegawai negara) dalam konteks peran elite politik agar dapat dijadikan pegangan

    dan kepercayaan dalam merumuskan kebijakan pemerintah demi hajat hidup orang

    banyak. Fenomena terkini tentang pemilihan kepala daerah dalam kontes Pilkada

    terkesan seolah hanya permainan politik dan intrik yang mengumbar janji-janji

    kesejahteraan semata, sementara ketika seseorang telah terpilih dengan segala kharisma

    yang dimilikinya ataupun yang dibuat-buat tentu dihadapkan dengan tanggung jawab

    untuk merealisasikan program-programnya secara baik dan benar, tepat sasaran dan tidak

    diselewengkan. Ini menjadi tantangan bersama, terutama bagi seorang pemimpin.

    Politik populis demikian merupakan bagian dari dinamika perpolitikan Indonesia

    kontemporer yang harus disikapi secara terbuka dan kritis. Kini, pertanyaan paling utama,

    menurut Daniel Dhakidae, bagi politik populis adalah kemampuannya menyelesaikan

    masalah ekonomi-politik yang begitu mengancam. Politik populis sering gagal

    mengembangkan manajemen politik yang efisien dan efektif. Jenis politik seperti ini

    lebih mengandalkan kemegahan dalam janji-janji resmi, formale Versprechen,

    dibandingkan dengan mengerjakan janji substantif, inhaltliche Versprechungen

  • 7

    (Steinert). Pada saatnya irasionalisme politik kharismatik yang menjadi inti politik

    populis harus berpasangan dengan politik rasional dalam suatu manajemen ekonomi-

    politik yang lebih berarti. Hanya dengan itu milenium ketiga menjadi tantangan dan

    bukan keranjang sampah.2

    Akhirnya, tiada ranting yang tak patah, bahwa buku Biografi Para Bupati

    Jombang ini hanyalah sebagian kecil ikhtiar pendokumentasian yang tentunya masih

    banyak kekurangan dan kemungkinan kealpaan atau ketelodoran merangkai data yang

    kami susun. Karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangatlah kami harapkan. Tak

    terlupa pula kami sampaikan beribu terima kasih kepada semua narasumber dan sejumlah

    informan yang turut membantu penggalian data sehingga penerbitan buku ini dapat

    berjalan sebagaimana yang diharapkan.

    Tim Penulis

    2 Baca Daniel Dhakidae, Populisme, Pemimpin Kharismatik, dan Masa Depan Politik Indonesia, dalam

    Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global. (PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2000). Hlm. 64-65.

  • 8

    BAB I

    SEJARAH SINGKAT KABUPATEN JOMBANG

    Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur.

    Luas wilayahnya 1.159,50 km, dan jumlah penduduknya 1.165.720 jiwa, dalam hitungan

    statistik tahun 2005. Pusat Kota Jombang terletak di tengah-tengah wilayah kabupaten,

    memiliki ketinggian 44 meter di atas permukaan laut, dan berjarak 79 km (1,5 jam

    perjalanan) dari barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Jombang

    memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di persimpangan jalur lintas selatan

    Pulau Jawa (Surabaya-Madiun-Yogyakarta), jalur Surabaya-Tulungagung, serta jalur

    Malang-Tuban.

    Jombang juga dikenal dengan sebutan kota santri, karena banyaknya sekolah

    pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayah tersebut. Bahkan ada pameo yang

    mengatakan Jombang adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir

    seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti pernah berguru di Jombang. Di antara pondok

    pesantren yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras, dan Rejoso.

    Banyak tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan di Jombang, di antaranya adalah

    mantan Presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional K.H. Hasyim

    Asyari dan K.H. Wahid Hasyim, tokoh intelektual Islam Nurcholis Madjid (Cak Nur),

    serta budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun).

    Konon, kata Jombang merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa ijo dan

    abang. Ijo mewakili kaum santri (agamis), dan abang mewakili kaum abangan

    (nasionalis atau kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dan harmonis

    di Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang daerah

    Kabupaten Jombang. Sementara lambang Kabupaten Jombang menyimpan makna

    filosofis tersendiri. Berbentuk perisai, di dalamnya berisi gambar: padi dan kapas,

    gerbang Mojopahit dan benteng, Balai Agung (Pendopo Kabupaten Jombang), menara

    dan bintang sudut lima diatasnya berdiri pada beton lima tingkat, gunung, dua sungai satu

    panjang satu pendek.

    Ada pun arti gambar lambang Kabupaten Jombang terdiri dari beberapa hal.

  • 9

    Gambar Perisai: Mengandung arti alat untuk melindungi diri dari bahaya. Gambar Padi

    dan Kapas: berarti kemakmuran, sebagai harapan masyarakat jombang, khususnya

    bangsa Indonesia umumnya. Gambar Gerbang Mojopahit: berarti jaman dahulunya

    Jombang wilayah kerajaan Mojopahit wewengkon krajan sebelah barat. Gambar Benteng:

    berarti jaman dulunya Jombang merupakan benteng Mojopahit sebelah barat, hal ini

    menyebabkan masyarakat bermental kuat, dinamis dan kritis. Gambar Balai Agung:

    berarti para pejabat daerah dalam membimbing masyarakat bersifat mengayomi seperti

    tugas balai yang tetap berdiri tegak dan kukuh, guna memelihara persatuan/kesatuan

    rakyat di dalam daerahnya. Gambar Tangga Beton Lima Tingkat: berarti terus tetap

    berpegang teguh pada landasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, demi

    persatuan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Warna Putih berarti dalam

    menjalankan tugas tetap berpegang pada kesucian, sepi ing pamrih rame ing gawe.

    Gambar Bintang Sudut Lima dan Menara: berarti Ketuhanan Yang Maha Esa. Jombang

    terkenal di segala penjuru tanah air sebagai tempat yang banyak Pondok Pesantren.

    Pondok-pondok tersebut adalah Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Tambak Beras dan

    sebagainya. Gambar Gunung: berarti Jombang selain terdiri dari daerah rendah, sebagian

    terdiri dari tanah pegunungan. Warna Hijau berarti banyak membawa kemakmuran.

    Gambar Dua sungai: berarti Kesuburan Jombang dialiri oleh 2 (dua) sungai yaitu Sungai

    Brantas dan Sungai Konto yang banyak membawa kemakmuran bagi daerah Jombang.

    Sedang Makna filosofis warna dari symbol Kabupaten Jombang terdiri dari

    tercermin dalam beberapa jenis warna. Warna Hijau dan Merah tua: warna dari perisai

    berarti perpaduan 2 warna Jo dan Bang (Ijo dan Abang) sama dengan Jombang. Hijau:

    Kesuburan, ketenangan, kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Merah: Keberanian,

    dinamis dan kritis. Biru Langit Cerah, juga berarti kecerahan wajah rakyat yang optimis.

    Coklat: Warna Tanah Asli, segala sesuatu menampakkan keasliannya. Kuning: Warna

    keagungan dan kejayaan. Putih: Kesucian.

    Penemuan fosil Homo Mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan

    bahwa seputaran wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak

    ribuan tahun yang lalu. Pada tahun 929 Masehi menurut berita prasasti Turyyan yang

    ditemukan secara in situ (masih berada di tempat pertama kali ditemukan), Mpu Sindok

    peletak Dinasti Isyana atau Isyana Wangsa di Jawa Timur telah memindahkan ibukota

  • 10

    kerajaannya ke Tamwlang. Letak Tamwlang ini diduga di daerah Kecamatan Tembelang,

    Kabupaten Jombang. Kemudian pada tahun 937 Masehi menurut berita prasasti Anjuk

    Ladang, Nganjuk, ibukota tersebut dipindah oleh Raja Dharmawangsa Teguh ke

    Watugaluh. Watugaluh ini diduga sekarang adalah Desa Watugaluh di wilayah

    Kecamatan Diwek, Jombang.3

    Tahun 1006 Masehi, sekutu Sriwijaya dari kerajaan Wora-wari (letak kerajaan ini

    mungkin sekitar Ponorogo) menghancurkan ibukota Kerajaan Mataram Hindu Medang

    dan menewaskan Raja Dharmawangsa Teguh. Airlangga, sang menantu putera Raja

    Udayana Bali yang ketika itu masih sangat muda, berhasil meloloskan diri dari kepungan

    musuh. Bukti petilasan sejarah Airlangga ketika menghimpun kekuatan kini dapat

    dijumpai di Sendang Made, Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan

    kerajaan baru yang wilayahnya meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali.

    Pada tahun 1042 Masehi, Airlangga turun tahta dan membagi dua kerajaannya.

    Sebelah barat disebut Kadiri (Kediri) dengan ibukotanya yang baru yakni Daha.

    Sedangkan di sebelah timur disebut Janggala dengan ibukotanya yang lama yakni

    Kahuripan. Bila melihat peta perkembangan kekuasan Dinasti Airlangga maka tidak

    mengherankan bila ketika itu Jombang sudah menjadi lalu lintas yang kerap dilalui. Pada

    era 1293-1500 Masehi ditandai dengan berkuasanya Majapahit sebagai kerajaan Hindu

    terakhir di Semenanjung Malaya. Kerajaan Majapahit tercatat sebaga salah satu Negara

    terbesar dalam sejarah Indonesia.4 Kemudian data etnografi yang menyisir seberapa

    akurat cerita babad, mitos, dan legenda menjadi rujukan penting bagi Hari Kelahiran kota

    ini.5

    3 Hasil penelitian dari tim sejarah UGM tahun 2008 berjudul Penelusuran Hari Jadi Jombang

    menyebutkan perihal data Prasasti Turryan (851 aka). Prasasti ini ditemukan di Watu Godek, Malang. Damais (1955) membaca prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Sindok. Terbuat dari batu, berukuran 126 x 117 cm. Berisi tentang permohonan bangunan suci di daerah Turryan oleh Dang Atu Pu Sahitya. Menurut Damais, penanggalan tersebut dikonversi menjadi 14 Juli 929 M. Raja Sindok di akhir prasasti menitah-guratkan bahwa ia memulai ibokotanya di Tamwlang. Lokasi ini diinterpretasi sebagai Desa Tembelang, di utara Kota Jombang. Selanjutnya ditemukan lagi Prasasti Poh Rinting (851 aka/23 Oktober 929 M); Prasasti Gwg (855 aka/14 Agustus 933 M); Prasasti Gurit, masa Airlangga (955 aka); Prasasti Sendang Made (diperkirakan masa Kerajaan Kediri).

    4 Lan Fang, Inspirasi Jombang, PT. Revka Petra Media, Surabaya. 2009. 5 Salah satu legenda kawentar dari Jombang adalah cerita Kebokicak. Semula cerita Kebokicak ditulis

    dalam bahasa Jawa kuno. Belum diketahui siapa yang menulis dalam bahasa ini. Cerita lain menyebut: adalah Kiai Farhan yang pertama kali mendapatkan cerita ini melalui wisik yang diperolehnya dari Lembu Peteng, putra Brawijaya V, lalu ia menuliskannya. Kemudian ia menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Saat itu, pada tahun 1960, Kiai Farhan bersama Bayan Darmin berkeinginan menyebarkan

  • 11

    Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini disebut sebagai Kabupaten

    Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono,

    Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng.

    Hingga sekarang banyak dijumpai nama-nama desa atau kecamatan yang diawali dengan

    prefiks mojo, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah,

    Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi

    Arimbi di Kecamatan Bareng.

    Sehubungan dengan merosotnya Kerajaan Majapahit, Agama Islam mulai

    berkembang di kawasan ini, di mana penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur.

    Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan

    surutnya pengaruh Mataram, kolonialisasi Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian

    dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia

    Belanda. Etnis Tionghoa juga berkembang; Kelenteng Hong San Kiong di Gudo (konon

    didirikan pada tahun 1700) yang masih berfungsi hingga kini. Sampai sekarang masih

    ditemukan di sejumlah kawasan di Jombang yang mayoritas penduduknya adalah etnis

    Tionghoa dan Arab.6

    Ini menjelaskan posisi Jombang sebagai daerah kota raja yang diperhitungkan

    sejak jaman Kerajaan Majapahit. Sebaliknya, karena menjadi pusat perkotaan maka ada

    konsekuensi yang muncul dalam dinamika kehidupan masyarakat Jombang. Sejak jaman

    dahulu Jombang menjadi wilayah yang terbuka dalam menerima semua unsur

    perdagangan dan kebudayaan yang masuk dari luar. Baik itu melalu kehidupan agrarisnya

    maupun melalui peran-peran perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan. Dan bukan

    unsur-unsur dari dalam Pulau Jawa saja tetapi juga meliputi aspek-aspek dari luar Jawa.

    cerita ini pada khalayak Jombang sebagai cerita yang dibayangkan merupakan asal-usul daerah Jombang. Namun dengan cara bagaimana? Lewat tabligh Islam jelas sangatlah riskan. Di tahun itupun ia tak punya koneksi penerbit. Maka, lewat tradisi ludruklah ia mencoba mensosialisasikannya. Ia lantas menemui beberapa sutradara Ludruk Massa Baru Jombang, yakni: Pardi, Juri, Syaiin, dan Ngaidi Wibowo.

    Dari Ludruk Massa Baru inilah kisah Kebokicak dipentaskan pada 1968 di Rejoso Pinggir, dan tahun 1972 di Ngembul, Kesamben. Hingga kini--meski meludrukkan cerita Kebokicak wajib dengan selametan dan sesajenan terlebih dahulu--terkadang masih digelar terutama oleh grup Ludruk Duta Karisma pimpinan Ngaidi Wibowo. Selain dari Pak Ngaidi, sumber cerita ini diserap (Agustus 2006) dari Kiai Hafidz (cicit Kiai Farhan) yang konon pernah ditaskhihkan pula pada Kiai Jamal di Ponpes Al-Muhibbin, Tambak Beras, Jombang. Baca lebih rinci esai Fahrudin Nasrulloh Babad Jombang yang Dibayangkan, Radar Mojokerto, 7 Juni 2009 dalam bukunya Jejak Langkah dan Pikiran Insan Jombang (Disporabudpar Jombang: 2010).

    6 Purwadi, Babad Jombang, (2008, belum diterbitkan).

  • 12

    Mengingat kekuasaan Majapahit saat itu terbentang dari Sumatra, Semenjanjung Malaya,

    Kalimantan, Bali bahkan sampai ke Phlipina. Inilah yang menjadi dasar historis kenapa

    kehidupan Jombang sangat majemuk.7

    Memasuki abad ke-14, pengaruh Majapahit berangsur-angsur melemah karena

    kerap terjadi perang saudara. Sementara pedagang-pedagang muslim dan para penyebar

    Agama Islam mulai memasuki nusantara. Memang pada kitab Nagarakertagama tidak

    menyebutkan tentang keberadaan Islam. Tetapi nampaknya pada waktu itu sudah ada

    keluarga Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Dalam tempo singkat, Agama Islam

    diserap oleh masyarakat. Karena siar Agama Islam dilakukan dengan cara yang sangat

    mentolelir kebudayaan awal. Bahkan termasuk kebudayaan di luar Jawa. Di bagian barat

    nusantara muncullah sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Agama Islam,

    yaitu Kesultanan Malaka. Yang kemudian disusul kesultanan-kesultanan Islam lainnya

    seperti Demak, Pajang dan Mataram. Kesultanan-kesultanan ini berusaha mendapatkan

    legitimasi politik atas kekuasan mereka melalui hubungan dengan Kerajaan Majapahit.

    Maka ketika kekuasaan Kerajaan Majapahit runtuh, Jombang menjadi bagian Kerajaan

    Mataram Islam. Pada abad ke-17, pengaruh Mataram melemah. Kolonialisasi Belanda

    menjadikan Jombang bagian dari VOC yang kemudian menjadi bagian dari Hindia

    Belanda. 8

    Tahun 1811, didirikanlah Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah

    yang kini adalah Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam

    Kabupaten Mojokerto. Bahkan Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan

    Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.9

    7 Lan Fang, ibid,. 8 Ibid,. 9 Sebagai bandingan, apabila melihat kesejarahan Kota Kediri, kita bisa mengacu pada semisal Babad

    Khadiri yang diterbitkan Penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, pada akhir 2006. Juga ada beberapa naskah babad lain yang diacukan pada sejumlah kesejarahan kota lain. Tersebutlah karya Willem Walraven (1887-1943) berjudul Modjokerto in de motregen (KITLV, Leiden, 1998). Buku berbahasa Belanda ini masih belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada tiga bab menarik dalam buku tersebut yang mengulas perihal afdeeling Jombang di zaman Hindia Belanda. Tampaknya di situ Walraven merekam perjalanan jurnalistiknya menyusuri sejumlah kota di Jawa: Jombang, Mojokerto, Batu, Bangkalan, Tuban, Pasir Putih, Panarukan, Kalianget, Rembang, dan Muria. Pun 5 bab khusus berjudul Oosthoeksche reis-impressies (kesan-kesan perjalanan di Jawa Timur). Dalam ranah bahasan ikhtiar konservasi dan munculnya cerita Kebokicak sebagai salah satu pijakan lahirnya Babad Jombang, kalimat Barthes tersebut, seakan membentang menggulirkan pengkajian di medan ilmu-ilmu sosial yang penggarapannya bertolak berdasarkan pada prosedur yang dianggap ilmiah, atau di sanalah penyajian fakta diberlakukan. Dalam hal ini, apa yang berlayapan tanpa terceritakan, membabarkan

  • 13

    Sekitar tahun 1900 penyebaran Agama Kristen yang dilakukan pendeta-pendeta

    dari Belanda dan daratan Eropa telah mendorong percepatan jumlah pengikut Agama

    Kristen, khususnya di wilayah Jawa Timur. Daerah Mojowarno, Jombang menduduki

    basis terbesar di wilayah karesidenan Surabaya dengan jumlah jemaat mencapai 4.528

    jiwa, mengungguli wilayah Kediri dan Madiun 2.085 penganut, serta Swaru (Pasuruhan)

    sekitar 1.956 umat Kristiani.10 Ini sekaligus membuktikan betapa warga di wilayah

    Kabupaten Jombang sangat pluralis dan menjunjung tinggi toleransi dalam kebhinekaan.

    Daftar nama Bupati Jombang mulai R.A.A. Soeroadiningrat hingga Suyanto

    Masa pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting

    dalam menentang kolonialisme. Beberapa putera Jombang merupakan tokoh perintis

    kemerdekaan Indonesia, seperti K.H. Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU dan pernah

    menjabat sebagai ketua Masyumi) dan K.H. Wachid Hasyim (salah satu anggota

    BPUPKI termuda, serta Menteri Agama RI pertama). Undang-undang Nomor 12 Tahun

    kegelisahan kreatif bahwa cikal-bakal yang terdapat dalam tradisi tutur suatu masyarakat layak dituliskan.

    10 J.D. Wolterbeek, Babad Zending Ing Tanah Djawi, Petronella-Hospitaal Jogjakarta.

  • 14

    1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur

    mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.11

    Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan

    Teori Evolusi dan terkenal akan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di

    Jombang ketika mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.

    Setidaknya ada tiga kawasan yang tercatat dalam berbagai literatur yaitu

    Wonosalam, Japanan, dan Mojoagung. Letak geografis tiga kawasan ini berada di sisi

    timur Kabupaten Jombang memanjang ke selatan dengan jarak jika ditarik garis lurus

    kurang lebih 15 km. Tiga titik kawasan ini juga tak jauh dari Trowulan, yang diyakini

    menjadi salah satu pusat kejayaan Kerajaan Majapahit.

    Di dalam Java a Travelers Anthology disebutkan bahwa Wallace mengunjungi

    kebun kopi di Wonosalam di kaki Gunung Arjuna dan mengumpulkan spesimen burung

    merak di Wonosalam. Di dalam catatan ini Wallace menulis Wonosalam dengan ejaan

    Wonosalem dan terletak di kaki Gunung Arjuna. Padahal, Wonosalam yang ada di

    Jombang ini berada di kaki Gunung Anjasmoro. Ada kemungkinan gunung yang saat ini

    dinamakan Gunung Anjasmoro, pada saat itu belum mempunyai nama atau kalaupun

    sudah mempunyai nama, tetapi kurang dikenal dan masih menjadi bagian dari Gunung

    Arjuna yang memang letaknya berada dalam satu gugusan.12

    Jadi mungkinkah ada nama Wonosalam lain di kaki Gunung Arjuna? Sejauh ini

    tampaknya bisa diduga bahwa tidak ada Wonosalam selain yang di Jombang. Apalagi

    dalam perjalanannya ke Wonosalam, seperti disebutkan dalam The Malay Archipelago,

    merupakan salah satu buku perjalanan ilmiah terbaik pada abad ke-19, Wallace

    sempat singgah di Candi Arimbi yang letaknya di Dusun Ngrimbi, Desa Pulosari,

    Kecamatan Bareng, namun secara geografis lebih dekat dengan Wonosalam. Jadi ini bisa

    menjadi titik acuan Wonosalam manakah yang ditapaki Wallace pada tahun 1861 itu.

    Dalam kisah perjalanannya, ketika menuju Wonosalam ia melihat hutan yang

    sangat indah dan melewati bangunan Candi Arimbi yang juga sangat menakjubkan yang

    dia anggap sebagai pusara seorang raja. Mungkin praduga Wallace tidak salah, karena

    11 Dihimpun dari berbagai sumber: di antaranya: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Jombang. 12 Junaedi, Wallace di Jombang, harian Surya, 15 Juli 2010.

  • 15

    menurut berbagai kisah, Candi Arimbi dibangun sebagai tempat perabuan

    Tribhuwanatunggadewi yang merupakan penjelmaan dari Dewi Parwati.

    Selain itu, dalam kisahnya yang lain di Wonosalam, Wallace selain

    mengumpulkan berbagai jenis spisemen ayam hutan dan berbagai burung, utamanya

    burung merak, juga mengunjungi kebun-kebun kopi. Dan sampai sekarang, kopi tetap

    menjadi salah satu komoditas perkebunan utama petani di Wonosalam, selain cengkih

    dan kakao serta berbagai jenis durian utamanya durian bido.

    Entah bagaimana keadaan kebun-kebun kopi di Wonosalam ketika itu.

    Kemungkinan kebun-kebun kopi dibangun bersamaan dengan kebijakan tanam paksa,

    yaitu pada masa Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch berkuasa pada pertengahan

    abad ke-18. Apalagi kawasan Mojowarno, kawasan barat daya dan berdekatan dengan

    Wonosalam, pada abad 18 merupakan pusat kebudayaan kolonial Belanda, yang tentu

    saja segala kebijakan kolonial akan terpancar ke sekitarnya. Jejak peradaban kolonial

    Belanda di Mojowarno hingga saat ini pun masih terlihat dengan peninggalan bangunan-

    bangunan rumah tua dan gereja-gereja, termasuk peninggalan Pabrik Gula Tjoekir di

    barat Mojowarno.

    Hanya saja, sekitar 40 tahun semenjak kedatangan Wallace atau sekitar awal

    tahun 1900-an, perusahaan-perusahaan kolonial Belanda mulai menata dan membangun

    kembali perkebunan kopi di Wonosalam dengan sistem sewa lahan dengan merayu dan

    memelihara kalangan elite penguasa lokal. Perkebunan dicetak terutama di kawasan

    tinggi di lereng Gunung Anjasmoro, mulai dari Dusun Segunung (Desa Carangwulung)

    hingga berderet ke selatan sampai Dusun Sumberjahe dan Sumberarum (Desa

    Sambirejo). Bahkan, di Dusun Segunung sejak awal 1920-an sudah dibangun pabrik

    pengolah kopi. Bangunan ini bertahan hingga awal tahun 2000-an sebelum diruntuhkan

    oleh pemilik tanah saat ini.

    Eksotisme Jombang selain yang terlukiskan dalam kunjungan Alfred Wallace di

    atas, berbagai macam obyek wisata di Jombang juga tak kalah menariknya jika

    dibandingkan dengan kabupaten lain. Seperti Goa Sigolo-golo, Sumber Boto, Kedung

    Cinet, Sumber Penganten, Goa Sriti, Sendang Made, Air Terjun Tretes, dan lain-lain. 13

    Tanggal 20 Maret 1881, Jombang secara resmi memperoleh status kabupaten, 13 Nanang PME dkk, Pesona Wisata Jombang, (Parbupora, Kabupaten Jombang, 2005).

  • 16

    dengan memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto. Akan tetapi Kabupaten Jombang ini

    baru pada tahun 1920 mempunyai seorang Bupati yaitu Raden Adipati Arya

    Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Hingga sampai dengan periode 2009-

    2013, Kabupaten Jombang diteruskan dan dijalankan dengan gemilang beserta segala

    persoalannya oleh Bupati Suyanto.

  • 17

    BAB II

    BIOGRAFI PARA BUPATI JOMBANG 1. Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)

    Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat adalah panggilan kesayangan warga Jombang

    untuk Bupati Jombang pertama yakni Raden Adipati Arya Soeroadiningrat atau R.A.A.

    Soeroadiningrat.14 Beliau menjabat sebagai Bupati Jombang sejak 1910 hingga 1930.

    Sebelum masa kepemimpinan beliau, Jombang merupakan daerah afdeeling Karesidenan

    Surabaya dengan pusat pemerintahan Jombang. Secara geografis Jombang terletak pada

    titik ketinggian 40 meter di atas permukaan air laut. Namun sebelum masuk di bawah

    afdeeling Surabaya terlebih dahulu Jombang menjadi bagian afdeeling Mojokerto

    wilayah paling barat. Kemudian pada tahun 1881 Jombang dipisahkan menjadi afdeeling

    tersendiri. Sekitar tahun 1910 afdeeling resmi dipisahkan dan menjadi sebuah kabupaten

    baru dengan cakupan luas sekitar 920 km persegi. Sebagai daerah afdeeling baru

    Jombang dibagi menjadi dua kontrol afdeeling, yaitu kontrol afdeeling Jombang, meliputi

    distrik Jombang dan Ploso. Kontrol afdeeling kedua terletak di Mojoagung yang

    membawahi distrik Mojoagung dan Ngoro.15

    R.A.A Soeroadiningrat merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja

    terakhir Majapahit.16 Menurut silsilah, R.A.A. Soeroadiningrat, dalam silsilah disebutkan

    R.A.A. Soeroadiningrat V (Bupati Jombang I) adalah putera dari R.A.A. Soeroadiningrat

    IV (Regent Sedayu, 1855-1884). R.A.A. Soeroadiningrat IV merupakan keturunan

    langsung Raden Museng atau R.A.A. Soeroadiningrat III (Regent Sedayu, 1816-1855). 14 Menurut versi keluarga sebutan Kanjeng Jimat diperuntukkan R.A.A. Soeroadiningrat IV yang berada di

    Sedayu, Gresik. 15 Penelusuran Hari Jadi Jombang, diterbitkan oleh Kantor Parbupora Kabupaten Jombang bekerjasama

    dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2008. 16 Heather Sutherland., Silsilah Keluarga Penguasa Jawa Madura Anak Turun Brawijaya V. Tanpa

    penerbit.

  • 18

    Raden Museng adalah keturunan dari Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih

    Panembahan Madura). Raden Anom merupakan putera Tjakraningrat IV (1718-1745).

    Tjakraningrat IV keturunan dari Raden Undakan atau Tjakraningrat II (Panembahan

    Madura,1648-1707 dan Bupati-Wedana Bangwetan,1705-1707). Raden Undakan putera

    dari Raden Prasena atau Tjakraningrat I (Adipati Madura, 1624-1648). Raden Prasena

    putera Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara

    putra Raden Pratanu (Pangeran Lemahluhur/Lemahduwur, Arosbaya, Bangkalan, 1531-

    1592). Raden Pratanu putra Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba

    putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung

    putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Buda putri Aria Pratikel/Pabekel (Madekan,

    Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger putra

    Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang, Madura). Raden Lembu Peteng putra Prabu

    Brawijaya V (Kertawijaya/Bra Tumapel, 1447-1478) dengan Kanjeng Ratu Handarawati

    (Putri Cempa).

    foto R.A.A. Soeroadiningrat tahun 1930-an

    Masa kecil Raden Adipati Arya Soeroadiningrat bernama Bagus Badrun. Beliau

    merupakan putera dari salah satu selir R.A.A. Soeroadiningrat IV. Sebagai putera seorang

    Regent atau Adipati, maka Bagus Badrun harus menjalani proses pendadaran sebagai

  • 19

    kader pemimpin bangsanya. Sebagai bekal terjun ke masyarakat, Bagus Badrun kecil

    menimba ilmu agama di Pesantren Giri. Tidak cukup hanya ilmu agama, Bagus Badrun

    juga mendalami ilmu kanuragan atau beladiri di Perguruan Gilingwesi. Proses

    membangun watak dasar pemimpin masa itu benar-benar dilakukan secara paripurna.

    Karena selain melalui jalur agama, juga menggunakan jalur budaya dan tradisi setempat.

    Sehingga pemimpin yang dihasilkan betul-betul mumpuni untuk menjadi Pamong Praja,

    artinya panutan dan pembimbing rakyat, tidak sebaliknya menjadi Pangreh Praja atau

    penguasa rakyatnya.

    Bagus Badrun diangkat oleh Pemerintah Belanda menggantikan ayahandanya

    R.A.A. Soeroadiningrat IV sebagai Regent atau Adipati di daerah Sedayu, Gresik pada

    kurun waktu 1884-1910, bergelar R.A.A. Soeroadiningrat V, sebelum menjabat

    kedudukan yang sama di wilayah Jombang pada periode berikutnya. Pengangkatannya

    sebagai Adipati Sedayu menimbulkan kecemburuan di kalangan saudaranya. Salah satu

    di antara yang kurang setuju Bagus Badrun menggantikan ayahandanya adalah saudara

    lain Ibu bernama Raden Jamilun. Kelak Raden Jamilun memposisikan diri sebagai

    oposan R.A.A. Soeroadiningrat V hingga menjadi Regent atau Adipati di Jombang.17

    Berbeda dengan R.A.A. Soeroadiningrat yang berprinsip mengikuti arus air tapi

    jangan sampai terbawa arus, artinya mengikuti kemauan Belanda, tetapi tetap berjuang

    dan bekerja untuk rakyat. Bagi Raden Jamilun sikap moderat ala saudaranya itu sangat

    bertentangan dengan hati nurani. Maka Raden Jamilun memilih berjuang membela rakyat

    dengan cara dan keyakinannya sendiri. Ia akhirnya menjadi penyamun seperti kisah

    Robin Hood di Inggris atau kisah Brandal Lokajaya, nama Raden Said atau Sunan

    Kalijaga ketika melakukan hal yang sama pada kurun waktu akhir Majapahit.

    Kejahatan maling Jamilun akhirnya terdengar juga oleh Pemerintah Belanda.

    Namun pihak Belanda tidak bisa berkutik, karena Raden Jamilun adalah saudara R.A.A.

    Soeroadiningrat yang pada waktu itu sangat disegani Belanda dan disayang rakyatnya.

    Sehingga sepak terjang Raden Jamilun dengan jalan mencuri harta kaum berduit dan

    hasilnya dibagi-bagikan untuk rakyat kecil, terus berlanjut tanpa ada yang menghentikan.

    Meskipun tidak sedikit maling-maling kroco atau kelas teri harus

    17 Wawancara dengan Agus Heliyana sebagai buyut menantu R.A.A Soeroadiningrat dan Bapak Raden

    Panji Darmodi selaku cucu R.A.A. Soeroadiningrat, pada hari Rabu, 29 September 2010, jam 18.30 WIB di Caf Garuda, Jln. Dr. Sutomo, Jombang.

  • 20

    mempertanggungjawabkan perbuatannya di sebuah mahkamah pengadilan Belanda yang

    disebut landraad.

    Surat pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V tidak begitu saja diterbitkan oleh

    pihak pemerintah Hindia Belanda. Artinya selain pandangan pihak Keratuan Belanda,

    juga ada pihak-pihak lain yang mendorong dipilihnya Kanjeng Sepuh sebagai Bupati

    Jombang pertama. Pejabat yang dimaksud adalah Bupati Mojokerto ketiga Raden Adipati

    Arya Kramadjajaadinegara. Karena masa sebelumnya Jombang masuk dalam bagian

    afdeeling Mojokerto, sehingga ikatan batin antara penguasa dua wilayah ini masih sangat

    kuat. R.A.A. Kramadjajaadinegara sendiri memiliki orang kepercayaan untuk memantau

    perkembangan Jombang bernama Imam Zahid, seorang penghulu di Sumobito. Bahkan

    Imam Zahid inilah yang mengambil beselit/Surat Keputusan pengangkatan R.A.A.

    Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ke Batavia.18

    Konon dalam perjalanan membawa SK dari Batavia, Imam Zahid menyempatkan

    diri membeli bibit mangga gadung. Pohon mangga itu kemudian ditanam di depan masjid

    Sumobito. Sekarang pohon mangga gadung tersebut masih dapat kita saksikan di

    halaman masjid Sumobito, Kabupaten Jombang.

    Masa awal jabatan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V sebagai Bupati

    Jombang ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten

    Jombang pada tanggal 22 Februari 1910 dan penanaman pohon beringin kunthing di

    halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Conthong. Penanaman pohon beringin

    ini menurut simbolisme Jawa adalah sebagai lambang pengayoman seorang pemimpin

    kepada kawula atau rakyat yang dipimpinnya.

    Sebagai pemimpin lulusan pondok pesantren dan perguruan seni beladiri, R.A.A.

    Soeroadiningrat V memiliki bekal keilmuan yang cukup. Tulisan tangan beliau dikenal

    sangat indah, terutama jika menggunakan huruf Arab Pego dan huruf Jawa. Namun

    sangat jelek jika memakai huruf latin. Hal ini diakui oleh Bapak Raden Panji Darmodi

    selaku cucu beliau.

    Sosok R.A.A. Soeroadiningrat V juga dikenal sebagai seorang tokoh pluralis dan

    moderat. Bukti kepluralisan beliau diwujudkan pada penghormatan terhadap keyakinan

    18 Wawancara dengan Bapak Nasrul Illah, pemerhati budaya, pada hari Jumat, tanggal 8 Oktober 2010

    pukul 09.30 di Disporabudpar Kabupaten Jombang.

  • 21

    lain di luar Agama Islam yang beliau anut. Bahkan di ruang kerja beliau terdapat patung

    Budhis simbol Agama Buddha dan Batara Wisnu sebagai simbol Agama Hindu.

    Meskipun demikian R.A.A. Soeroadiningrat bukan penganut sinkretis agama.

    R.A.A. Soeroadiningrat dengan R.A. Ayu Maimunah

    Upaya untuk mendekati Belanda digunakan Bupati Jombang pertama sebagai

    media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyi beliau untuk

    semaksimal mungkin memakmurkan rakyat. Dengan cara ini akhirnya rakyat tidak

    terbebani, baik pungutan pajak yang mencekik maupun kebijakan lain. Justru banyak

    kaum jelata menghormati beliau sebagai sosok pengayom dan mengerti kebutuhan

    rakyat. Karena beliau dikenal juga sebagai orang pintar yang bisa mengobati orang sakit

    dengan ramuan-ramuan tradisional. Atas jasa baik beliau sebagai pemimpin dan disukai

    rakyatnya, maka Pemerintah Belanda memberikan bintang kehormatan Ridder Der

    Oranye Nasaw atau bintang kehormatan sebagai tangan kanan Raja (orang kepercayaan

    Belanda).

    Mengenai kewaskitaan Kanjeng Sepuh atau R.A.A. Soeroadiningrat V ini, banyak

    saksi yang masih bisa menceritakan. Seperti misalnya; suatu hari diceritakan bahwa

    Kanjeng Sepuh telah membeber (menggelar) tikar di Pendopo Kabupaten untuk

    pengobatan gratis. Dikatakan demikian karena pasien yang berobat biasanya tidak

    menyerahkan uang sebagai ongkos melainkan hasil bumi yang mereka miliki, seperti

  • 22

    pisang, kelapa, dan beras satu takar. Tikar atau klasa dalam bahasa Jombang digunakan

    antrian pasien atau warga Jombang yang ingin berobat. Tiba-tiba ketika giliran salah satu

    pasien, Kanjeng Sepuh berpesan kepada anak si pasien agar memberikan ramuan daun

    Sembung kepada Mbok (Ibunya) sampai hari Rebo Wage. Kemudian setelah tiba hari

    Rebo Wage menurut pesan Kanjeng Sepuh, pasien bersangkutan meninggal dunia. Benar

    tidaknya kewaskitaan ini wallahualam bishawab.

    Salah satu acara pesta rakyat yang digelar rutin setiap tahun oleh Kanjeng Sepuh

    adalah pesta memperingati ulang tahun Ratu Belanda Yuliana. Biasanya dilakukan di

    Pendopo Kabupaten dengan diwarnai arak-arakan massal para petani yang memamerkan

    hasil bumi mereka. Mungkin semacam karnaval yang kita kenal sekarang untuk

    memperingati kemerdekaan. Hasil-hasil bumi yang diarak keliling dengan menggunakan

    kendaraan dokar sepanjang jalan-jalan di Kota Jombang tersebut adalah hasil bumi

    terbaik yang mereka miliki. Kemudian pada sesi akhir acara dilakukan penyerahan hadiah

    dari Pemerintah Belanda kepada pemenang yang menyajikan hasil bumi terbaik,

    terbanyak, dan terbesar. Hasil-hasil bumi itu berupa pala pendhem; seperti uwi, gembili,

    tales dan lain-lain, termasuk padi dan palawija. Puncak acara peringatan ulang tahun Ratu

    Yuliana dilakukan dengan menggelar tarian dansa ala Eropa dan pertunjukan karawitan.

    Di setiap kesempatan selalu digunakan Kanjeng Sepuh untuk memperluas

    jaringan lobby. Sering di sela-sela tugas beliau sebagai Bupati, beliau secara sengaja

    bergabung dengan orang-orang Belanda dan asing lainnya di sebuah komunitas selatan

    kantor pos sekarang yang dulu bernama community society. Atau kelompok high class

    zaman Belanda. Kegiatan community society ini antara lain olahraga bersama di rumah

    bola (bowling) dan bilyard. Posisi rumah bola adalah kantor telkom sekarang. Di situlah

    sering Kanjeng Sepuh mendapatkan perhatian lebih dari pejabat Pemerintah Belanda.

    Tidak mengherankan jika Dr. Van Der Plass selaku Residen Surabaya sangat menaruh

    hormat pada Kanjeng Sepuh. Rasa hormat ini bahkan cenderung mengarah pada

    persaudaraan antar bangsa. Karena Dr. Van Der Plass sering melakukan kunjungan ke

    kediaman Kanjeng Sepuh. Akhirnya beberapa mesin uang Belanda di tanah Jawa berupa

    pabrik-pabrik gula banyak didirikan di daerah Jombang. Tidak kurang dari tujuh pabrik

    gula pernah berdiri di Kabupaten Jombang, antara lain; pabrik gula Tjoekir, Ceweng,

    Djombang Baru, Peterongan, Ploso, Sumobito, dan Mojoagung.

  • 23

    Kanjeng Sepuh adalah figur Bupati yang sederhana. Kesan ini terekam pada

    keseharian beliau yang menyukai laku prihatin. Pada setiap malam Jumat Legi beliau

    selalu membakar dupa sebagai media kontemplasi. Dupa tersebut biasanya dibuat oleh

    Raden Ajeng Asiyah Airmuna sebagai putri keduanya. Bahan-bahan yang digunakan

    untuk membuat dupa dengan aroma khas dan berkelas diperoleh dari warisan turun-

    temurun, antara lain menggunakan kulit duku, kemenyan, dan ramuan-ramuan lainnya.

    Keteladanan hidup sederhana ini juga ditunjukkan dengan tidak bergaya hidup mewah,

    meskipun gaji Kanjeng Sepuh sebagai Adipati sebesar 1000 gulden setiap bulan

    memungkinkan untuk itu. Sebagai pembanding uang 15 gulden saja pada waktu itu bisa

    digunakan untuk membeli sebuah rumah mewah plus pekarangannya.

    Masa pensiun Kanjeng Sepuh sebagai Bupati di Jombang, terjadi perang dunia II.

    Ketika itu Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia setelah berhasil mematahkan

    dominasi Barat dengan mengebom pangkalan Angkatan Laut Amerika Pearl Harbor di

    Hawaii. Semula kehadiran bala tentara Jepang disambut dengan sukacita, tetapi setelah

    bangsa Indonesia tersadar bahwa tindakan Jepang lebih parah, bahkan lebih sadis dari

    Belanda, maka mulailah perlawanan di mana-mana. Tidak terkecuali di Jombang.

    Kedatangan Jepang ternyata menyulut penderitaan panjang rakyat Jombang. Salah satu

    bentuk kebiadaban gaya baru ala prajurit Jepang tersebut berupa penculikan gadis-gadis

    belia untuk digunakan sebagai budak seks tentara Jepang. Penculikan berakhir perkosaan

    massal itu yang kemudian terungkap sebagai jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara

    Jepang).

    Untuk menghindari kebiadaban bala tentara Jepang, akhirnya Kanjeng Sepuh

    bersama beberapa cucu beliau yang sudah beranjak remaja memutuskan untuk sementara

    mengungsi ke suatu tempat/desa bernama Gempollegundi (sekarang Kecamatan Gudo).

    Di desa itulah sekitar empat hari Kanjeng Sepuh ditolong Lurah dan warga setempat agar

    tidak diketahui tentara Jepang. Pengungsian ini terjadi setelah melakukan serangkaian

    diskusi antara Kanjeng Sepuh dan putranya R.A.A. Setjoadiningrat serta penasehat

    spiritual beliau yang terkenal dengan sebutan Mbah Jimbrak, Lurah Gambang (Desa

    Plumbongambang, Kecamatan Gudo).

    Benar juga dugaan Kanjeng Sepuh, setelah empat hari mengungsi di

    Gempollegundi, Kanjeng Sepuh dan keluarga memutuskan kembali ke Ndalem

  • 24

    Kasepuhan yang berada di Jalan Arjuna (sekarang Jalan dr. Sutomo, tepatnya lokasi

    rumah sakit Muhammadiyah). Setiba di sana kondisi Kasepuhan sudah diacak-acak bala

    tentara Jepang. Kamar tidur Kanjeng Sepuh dan keluarga kusut masai bekas digunakan

    serdadu Jepang. Beberapa potong roti sisa prajurit Jepang tertinggal di meja kamar tidur

    beliau. Beruntung para prajurit Jepang itu sudah meninggalkan kediaman Kanjeng Sepuh.

    Sehingga kehidupan keluarga Bupati Jombang pertama itu bisa normal kembali.

    Setelah jabatan Kanjeng Sepuh sebagai Bupati pertama Jombang diserahkan

    kepada putra beliau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat, maka mulailah masa pensiun

    beliau. Untuk mengisi waktu di sela aktifitas pensiun, Kanjeng Sepuh sering melukis di

    kamar pribadi beliau. Aktifitas melukis ini membuktikan bahwa Kanjeng Sepuh memiliki

    bakat terpendam sebagai seniman lukis, meskipun menolak dikatakan sebagai seniman.

    Raden Adipati Arya Soeroadiningrat (Kanjeng Sepuh) murud kasidan jati atau

    dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada 20 April 1946, tepatnya bulan Suro, hari

    Jumat Pahing.19 Banyak kalangan dan kolega beliau merasa sangat kehilangan, termasuk

    para tokoh ulama. Sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan

    di pemakaman keluarga Pulo Sampurno, sebanyak empat ulama pemimpin empat pondok

    pesantren besar di Kabupaten Jombang melakukan sholat jenazah bagi almarhum.

    Raden Adipati Arya Soeroadiningrat meninggalkan seorang istri bernama Raden

    Ayu Maimunah Soeroadiningrat dan 3 orang putri-putra, yaitu Raden Ayu Badariyah,

    Raden Ayu Asiyah Airmuna, dan Raden Adipati Arya Sarwadji atau Raden Adipati Arya

    Setjoadiningrat VIII.

    19 Hasil wawancara dengan buyut menantu Kanjeng Sepuh Mas Agus Heliyana, hari Kamis, tanggal 30

    September 2010, jam 18.30 WIB.

  • 25

    2. Profil R.A.A. Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930-1946)

    Raden Adipati Arya Setjoadiningrat atau lengkapnya Raden Adipati Arya

    Setjoadiningrat VIII adalah Bupati Jombang kedua setelah Raden Adipati Arya

    Soeroadiningrat V. Beliau adalah putera ketiga dari Kanjeng Sepuh bernama kecil Raden

    Adipati Arya Sarwadji. Meskipun dikenal sebagai keturunan ningrat, Kanjeng Bupati

    Setjoadiningrat dikenal sebagai sosok bupati pejuang. Apalagi setelah menikah dengan

    garwa/istri kedua beliau Raden Ayu Poppy Kadarin, karena istri pertama beliau

    meninggal dunia. Raden Ayu Poppy Kadarin ini sangat terkenal sebagai istri bupati yang

    menjunjung tinggi pengabdian, baik kepada suami maupun bangsa dan negara. Hal ini

    tidak mengherankan karena beliau masih keturunan dr. Abdul Kadir selaku dokter pribadi

    Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

    Dari almarhumah istri pertama Raden Setjo dikaruniai enam putra-putri; Raden

    Panji Willy Soedjono, Raden Edi Soewondo, Raden Ayu Ani Rochani, Raden Ayu Nora

    Soetarinah, Raden Poegoeh Soeratno, dan Raden Ayu Mimik Soeseni. Sedangkan dengan

    istri sambungan Raden Ayu Poppy Kadarin beliau dikaruniahi dua momongan.

    Suksesi kepemimpinan dari Kanjeng Sepuh (Raden Adipati Soeroadiningrat V)

    kepada Raden Adipati Arya Setjoadiningrat berlangsung lancar, karena jauh sebelumnya

    jabatan tersebut sudah dipersiapkan. Ada dua alasan mengapa Raden Adipati Arya

    Setjoadiningrat VIII yang menggantikan ayahandanya. Pertama karena beliau satu-

    satunya putera laki-laki, sehingga otomatis sebagai penerus tahta kebangsawanan. Kedua

    Raden Setjo telah dikirim mengikuti pendidikan Kepamongprajaan atau dalam bahasa

    Belanda dikenal dengan istilah Opleding S Chool di Blitar.

    Pada tahun-tahun awal jabatan Bupati yang diembannya, Raden Setjo

    menitikberatkan pada pembangunan pertanian. Apalagi pengairan pada waktu itu sangat

    mudah diperoleh. Ini disebabkan hutan-hutan di pegunungan Wonosalam masih rimbun.

  • 26

    Fokus perhatian Kanjeng Setjo terutama pada perkebunan karet dan tebu. Karena

    permintaan pasar dunia mengarah pada dua komoditas tersebut. Meskipun gula masih

    didominasi negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dengan gula bitnya.

    Perubahan konstelasi politik dan militer pada sekitar tahun 1941 terjadi cukup

    signifikan dengan beralihnya peta kekuatan dari Barat yang dikomandoi negara-negara

    Eropa dan Amerika menuju kekuatan Dunia Timur yang diwakili oleh Jepang. Apalagi

    mimpi Jepang untuk menjadi Imperium Asia Jepang tidak dapat dibendung lagi. Jepang

    menganggap bahwa penghalang utama cita-cita mereka adalah Armada terkuat Amerika

    Serikat di Pasifik yang berpangkalan di Hawaii, yaitu Peral Harbor. Karena itu disusun

    rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada September 1941.

    Pada tanggal 28 Februari malam menjelang 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang

    berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat),

    dan di Kragan (Jawa Tengah). Dari Kragan, pasukan divisi ke-48 bergerak ke tiga

    jurusan. Satu kolone pasukan yang bergerak melalui rute utara tiba di Surabaya pada

    tanggal 8 Maret 1942. Kolone lainnya bergerak ke arah barat dan berhasil menduduki

    Semarang. Gerakan ke arah selatan oleh kolone Sakaguchi menuju Cilacap.20

    Kolone kedua yang menuju arah Surabaya melalui rute utara akhirnya sampai

    juga ke daerah Kabupaten Jombang. Pada awalnya kedatangan mereka dielu-elukan

    rakyat terutama kaum muda, karena propaganda Jepang yang terkenal dengan sebutan

    tiga A, yaitu; Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Pelindung

    Asia. Apalagi di kalangan rakyat sangat mempercayai Ramalan Prabu Jayabaya Raja

    Kediri yang berbunyi, Akan datang pada suatu masa jago kate dari timur laut berpakaian

    seperti klaras (daun pisang kering) yang akan membebaskan Nusantara.

    Masa pendudukan Jepang Raden Adipati Arya Setjoadiningrat tetap

    dipertahankan sebagai Bupati oleh penguasa Jepang. Apalagi putera pertama beliau

    Raden Panji Willy Soedjono mendapat didikan kemiliteran dari balatentara Jepang. Pada

    waktu itu Raden Willy mendapat pangkat Shodanco atau setara Letnan pada jenjang

    20 Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Zaman

    Jepang dan Zaman Republik Indonesia). 2007. Hlm.7.

  • 27

    kepangkatan TNI sekarang. Pilihan berkarir di kemiliteran putera pertama Kanjeng Setjo

    nantinya diikuti oleh adiknya Raden Edi Soewondo.21

    Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun, tetapi dampak yang

    ditimbulkan sungguh luar biasa. Termasuk kondisi pemerintahan dan kehidupan ekonomi

    yang makin terpuruk. Barang-barang kebutuhan rumah tangga sangat sulit diperoleh.

    Kalaupun ada harganya melambung tinggi. Sehingga pernah pemerintah pendudukan

    Jepang, khususnya di Jombang memprovokasi rakyat agar menjarah toko-toko milik etnis

    Cina. Masa itu adalah kondisi tersulit yang dialami Pemerintahan Kabupaten di bawah

    Raden Adipati Arya Setjoadiningrat.

    Setelah Jepang dikalahkan oleh balatentara Sekutu dan Jawa Timur diduduki

    kembali oleh Belanda, mantan Residen Surabaya Dr. Van Der Plass mengunjungi Raden

    Setjo disertai permintaan agar beliau mau mempertahankan jabatan Bupati sebagai

    kepanjangan tangan Belanda. Peristiwa ini sempat menimbulkan ketidaksenangan kaum

    Republikan karena mengira Raden Setjo figur Bupati pro Belanda. Tetapi sebenarnya

    kesediaan Kanjeng Setjo sebagai bentuk strategi agar pembelaan beliau terhadap para

    pejuang tidak diketahui. Sehingga meskipun secara kasat mata beliau terkesan pro

    Belanda, di balik itu komunikasi dengan para gerilyawan di hutan-hutan tetap

    dipertahankan. Pola komunikasi itu dilakukan dengan bantuan kurir yang sengaja datang

    pada malam hari ketika suasana sedang sepi. Si kurir menyampaikan kebutuhan para

    pejuang, sebaliknya Kanjeng Setjo menyediakan segala hal yang diperlukan. Antara lain

    persediaan senjata yang diperoleh melalui pasar gelap.

    Ketika meletus perang secara sporadis di Mojoagung antara tentara Belanda dan

    para pejuang, pada transisi masa pendudukan Jepang, istri Kanjeng Setjo, Raden Ayu

    Poppy menggalang aksi dapur umum di belakang Pendopo Kabupaten untuk mendukung

    logistik para pejuang. Setiap lurah di Kabupaten Jombang menyerahkan bahan-bahan

    makanan dan sayur-mayur untuk kepentingan tersebut. Hampir setiap hari truk-truk sisa

    pendudukan Jepang digunakan untuk mengangkut logistik ke garis depan pertempuran.

    Kanjeng Setjo sebagai Bupati Jombang kedua memegang jabatan tidak kurang

    dari 16 tahun. Selama kepemimpinan beliau dihabiskan untuk perjuangan, karena kurun

    21 Wawancara dengan Bapak Raden Panji Darmodi, cucu Kanjeng Sepuh di ndalem Pesanggrahan, Jalan

    K.H. Ahmad dahlan, pada 30 September 2010, jam 21.30 WIB.

  • 28

    waktu 1930 hingga 1946 merupakan gencar-gencarnya revolusi fisik. Masa di mana

    pendudukan Jepang berlangsung, dilanjutkan proklamasi kemerdekaan, sedangkan di sisi

    lain Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.

    Menjelang masa pensiun dan menjelang era Republik, Raden Adipati Arya

    Setjoadiningrat VIII mengabdikan hidupnya sebagai Residen di Surabaya sampai masa

    pensiun. Sebagaimana ayahanda Raden Adipati Arya Soeroadiningrat, ketika wafat pada

    tanggal 9 Juni 1963, jenazah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat dimakamkan di

    kompleks pemakaman keluarga di Pulo Sampurno, Kecamatan Jombang.

  • 29

    3. Profil Bupati R. Boediman Rahardjo (Masa Bhakti 1946-1949)

    R. Boediman Rahardjo adalah salah satu sosok Bupati Jombang dari unsur

    kepolisian. Ia tercatat sebagai perwira Polri pertama yang menduduki jabatan sebagai

    pemimpin Jombang. Kota santri ini mengalami puncak kepemimpinan daerah dari tiga

    unsur TNI/Polri dan orang sipil. Dari sekian unsur yang berasal dari TNI Angkatan Darat,

    kepolisian, dan dari warga sipil ini mencerminkan keberagaman yang unik dan tentu hal

    tersebut memberi warna dan kontribusi tersendiri dalam keberjalanan pemerintahan di

    Kabupaten Jombang.

    Masa-masa kepemimpinan Bupati R. Boediman Rahardjo, kondisi keamanan di

    tanah air belum stabil karena niat buruk Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

    Dan ia ditunjuk oleh Pemerintah Pusat di Jakarta bukan tanpa alasan, mengingat

    kemampuannya sebagai pemimpin di kesatuan Polri sangat disegani. Sehingga ia

    mendapat tugas memimpin Jombang sebagai basis pertahanan terakhir kaum Republikan

    pada saat agresi militer Belanda.

    Atas pertimbangan keamanan teritorial, pada awal kepemimpinan Bupati R.

    Boediman didirikanlah sebuah Akademi Perwira di Mojoagung. Daerah Mojoagung ini

    dianggap sebagai tempat strategis untuk menghadang Belanda yang datang dari arah

    Trowulan. Akademi Perwira ini di bawah kendali langsung Kementrian Pertahanan. Atau

    tepatnya Pangkowilhan atau Panglima Komando Wilayah Pertahanan II, Kementrian

    Pertahanan.

    Salah satu putera Jombang yang sukses sebagai lulusan Akademi ini adalah

    Jendral Himawan Sutanto, putera Muhamad, seorang asisten Wedana di Diwek.

  • 30

    Muhamad sendiri adalah seorang Daidanco (Komandan Militer se-Indonesia) di era

    pendudukan Jepang.22

    Sebagai seorang pemimpin dari kesatuan yang tergolong elit pada masa itu, tidak

    mengherankan jika R. Boediman Rahardjo diberi amanat memimpin Jombang dengan

    memegang kendali daerah Mojoagung sebagai ibukota pemerintah darurat kabupaten.

    Terbukti kemudian pasukan agresor Belanda tidak mampu memasuki Jombang

    melalui Mojoagung. Sehingga mereka memilih jalan memutar dari arah Babat, Lamongan

    menuju Ploso, baru masuk Jombang sebagai tujuan utama.

    Pertempuran demi pertempuran terjadi antara prajurit Republikan atau para

    pejuang kemerdekaan dengan tentara Belanda yang ingin kembali menjajah. Tidak jarang

    penghadangan dilakukan dengan berbekal senjata seadanya, itupun hasil rampasan dari

    tentara pendudukan Jepang yang sudah dikalahkan sebelumnya. Laskar-laskar atau

    prajurit dari berbagai kesatuan bahu-membahu untuk mengusir penjajah dari bumi

    pertiwi. Dalam situasi demikian, kedudukan seorang pemimpin wilayah seperti Bupati R.

    Boediman menjadi cukup vital. Mengingat fungsinya selain sebagai pengayom

    masyarakat, juga penyedia kebutuhan logistik prajurit di medan pertempuran.

    Kemampuaan memenejemen kesatuan Polri mendorong Bupati R. Boediman

    melaksanakan tugas secara maksimal. Sehingga kulminasi dari sinergitas antar kekuatan

    dari elemen bangsa Indonesia benar-benar menjadi catatan penting sebagai bagian dari

    salah satu pioner pejuang demi menjaga keutuhan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

    22 Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di kediamannya di Kaliwungu Selatan Gg II, Jombang,

    pukul 10.30 WIB.

  • 31

    4. Profil R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949-1950)

    Ia merupakan Bupati yang memiliki fisik dan prinsip hidup seperti Bima dalam

    cerita pewayangan. Gelar kebangsawanan Raden di depan namanya menunjukkan

    bahwa dirinya masih keturunan darah biru. Sosok R. Moestadjab Soemowidagdo yang

    tinggi besar menjadikannya mudah dikenali. Sampai-sampai Suparto Brata seorang

    penulis Jawa menyebutnya dengan deskripsi yang tidak jauh dari kondisi fisik sang

    pemimpin: gagah ibarat Werkudara alias Bima.23

    Kepemimpinan Bupati R. Moestadjab di Kabupaten Jombang memperteguh posisi

    strategis Jombang sebagai benteng pertahanan terakhir para pejuang Republikan. Karena

    letak Jombang yang berada di lintas batas yang menghubungkan kota-kota lain dari

    seluruh penjuru Jawa Timur, menjadikan kota ini sangat ideal dijadikan benteng

    pertahanan. Sehingga kesatuan-kesatuan pejuang seperti Laskar Hizbullah, Kompi

    Wanara pimpinan mantan Menteri Kehutanan Soedjarwo, batalyon Merak pimpinan

    mantan Gubernur Jawa Timur Soenandar Priyo Soedarmo, pernah bermarkas di Jombang.

    Masa 1949-1950 adalah periode perjuangan bangsa Indonesia menegakkan

    kemerdekaan. Belanda dengan berbagai dalih dan alasan ingin mencengkeram dengan

    kuku-kuku kolonialisnya di bumi pertiwi. Maka di era kepemimpinan R. Moestadjab

    Soemowidagdo adalah masa penentu keberlangsungan pemerintahan sesudahnya. Karena

    jika para pejuang yang berada di garis depan tidak kuasa menghadapi agresor Belanda,

    maka kemungkinan Kabupaten Jombang akan luluh-lantak dalam peristiwa agresi

    tersebut.

    Bupati R. Moestadjab Soemowidagdo adalah salah satu sosok Bupati Jombang

    yang bertangan dingin. Kepiawaiannya dalam memimpin Jombang di masa-masa awal

    Republik Indonesia, membuktikan bahwa Bupati R. Moestdjab sebagai sosok pemimpin

    23 Surabaya Post, 10 November 1976

  • 32

    pilihan di masa transisi. Transisi sebagai kepala daerah kabupaten yang sebelumnya di

    bawah kekuasaan penguasa Hindia Belanda.

    Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Moestadjab di Jl. K.H. Wahid Hasyim Jombang

    Meskipun hanya satu tahun memimpin Kabupaten Jombang masa bhakti 1949-

    1950, namun sepak terjangnya menjadi landasan bagi strategi kepemimpinan Kabupaten

    Jombang era sesudahnya. Paling tidak Bupati R. Moestadjab telah meletakkan kerangka

    acuan bagi para penggantinya. Mengingat dalam situasi yang tidak pasti tentunya

    diperlukan figur yang kuat secara prinsip dan idealistik. Sehingga sangat tepat dijadikan

    teladan bagi warga masyarakat yang dipimpinnya.

    Atas prestasi memimpin kota santri di Jombang, akhirnya pemerintah pusat

    menugaskan R. Moestadjab Soemowidagdo menjadi Walikota Surabaya. Di tempat tugas

    yang baru ini ia langsung tancap gas menjadi ketua pembangunan Tugu Pahlawan

    sebagai tetenger (penanda) peristiwa 10 Nopember Surabaya.

    Selain dikenal sebagai pemimpin yang disegani, R. Moestadjab Soemowidagdo

    juga memiliki kepedulian terhadap nasib para seniman. Mengenai hal ini bisa dibuktikan

    dengan diberikannya sebuah rumah atas tanggungannya kepada almarhum Cak Kandar

    salah satu seniman lukis Jawa Timur.24

    24 Wawancara dengan Syahlan Husain (Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jatim) di kantor Dewan

    Kesenian Jawa Timur di Jl. Wisata Menanggal Surabaya, pada Selasa, 9 November 2010, pukul 12.30 WIB.

  • 33

    5. Profil R. Istadjab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956)

    Kondisi Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tahun 1945

    mengalami ujian yang tidak ringan. Kedatangan pasukan Sekutu yang diboncengi

    Belanda menjadi batu sandungan bagi negara yang baru berdiri. Situasi yang tidak

    menentu ketika itu juga melanda Jombang, meskipun konon tidak cukup berpengaruh

    pada kondisi perekonomian rakyat. Karena posisi Jombang sebagai penentu strategis

    basis pertahanan para pejuang.

    Di tengah ketidakpastian itulah muncul dua opsi besar di Republik ini, yaitu

    golongan cooperation dan kubu non cooperation. Artinya mereka yang pro Belanda dan

    golongan yang anti penjajah Belanda. Akhirnya dari kemunculan kubu-kubu ini

    mendorong pemerintah pusat untuk selektif menentukan para pemimpin di daerah

    termasuk para bupatinya. Mereka yang sebelumnya dikenal sangat pro Belanda akan

    diberhentikan dari jabatan, bahkan dibuang jauh dari lingkaran pemerintahan. Karena

    komitmen loyalitas kebangsaannya dianggap meragukan.

    Beruntung akhirnya Jombang mendapat jatah seorang pemimpin dari kalangan

    non cooperation atau tepatnya pegawai sipil pamongpraja di luar pegawai yang diangkat

    Belanda. Ia adalah R. Istadjab Tjokrokoesoemo yang dikenal sebagai Republikan sejati

    dan tokoh yang memiliki nyali menentang penjajahan Belanda. Ia akhirnya cukup dikenal

    sebagai bupati di era perjuangan.25

    Sepak terjang Bupati R. Istadjab Tjokrokoesoemo ternyata diwarisi oleh salah

    seorang putranya, Ismanoe, yang memilih menjadi pejuang yang bertempur di garis

    depan. Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Bupati R. Istadjab dan putranya Ismanoe

    adalah dua sisi mata uang bagi sejarah bangsa Indonesia yang muncul dari Kabupaten

    25 Wawancara dengan Joko Suparto (eks TRIP) di Kaliwungu Selatan Gg. II Jombang, pada tanggal 15

    Desember 2010, pukul 10.45 WIB.

  • 34

    Jombang. Satu panggilan jiwa yang digerakkan oleh pemilik segala maha: Tuhan Yang

    Maha Esa.

    Sebagai bupati pejuang, maka Bupati Istadjab membuka penuh pintu rumah

    dinasnya jika para pejuang membutuhkan. Rumah dinas yang kini masih bisa disaksikan

    di sebelah selatan Ringin Conthong Jombang ini adalah saksi bisu proses perjuangan

    arek-arek Jombang dalam menentang penjajahan Belanda.

    Rumah dinas yang pernah ditempati Bupati Istadjab di Jl. Wahid Hasyim Jombang

    Masa pengabdian Bupati Istadjab di Jombang membawa pengaruh pada karirnya

    di kemudian waktu. Karena jabatan baru sebagai Walikota Surabaya sudah menunggu.

    Waktu sekitar enam tahun memimpin kota santri menjadi pijakan untuk selanjutnya

    bertugas memimpin kota terbesar kedua di Indonesia itu.

    Kini setelah tahun demi tahun terus berganti dan zaman kian berubah, segores

    catatan sejarah yang melibatkan sepak terjang para pemimpin Jombang masa lalu adalah

    dokumen yang wajib diketahui dan diwariskan kepada generasi muda. Agar tujuan

    pengajaran sejarah tidak melenceng dan tenggelam. Menurut R. Moh. Ali, sejarah adalah

    sarana mengenalkan orang yang berjuang kepada orang yang sedang berjuang, benar-

    benar bisa diwujudkan. Termasuk upaya mewarisi nilai-nilai kejuangan para pendahulu.

    Sebagaimana diingatkan founding fathers atau pendiri negara Bung Karno; Jas Merah!

    Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

  • 35

    6. Profil Bupati M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958 dan 1960-1961)

    Salah satu bupati era transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru yang

    dimiliki Kabupaten Jombang adalah M. Soebijakto. Ia adalah sosok bupati yang memiliki

    tingkat kematangan politik yang teruji. Sehingga tidak mengherankan jika ia menjabat

    dua kali sebagai Bupati Jombang, yaitu masa bhakti tahun 1956-1958 dan masa bhakti

    kedua 1960-1961. Hal yang jarang ditemui seorang bisa memegang jabatan sampai dua

    kali pada masa yang serba sulit itu.

    Ia dilahirkan di tengah kultur Madura, tepatnya di daerah Situbondo, Jawa

    Timur.26 Masa kecilnya kental dengan suasana masyarakat Madura yang sangat agamis.

    Selain itu daya juang dan etos kerja yang tinggi yang menjadi trademark penghuni pulau

    garam juga melekat erat pada diri M. Soebijakto. Hal tersebut kelak sangat

    mempengaruhi pengambilan keputusan di era transisi pemerintahan yang memerlukan

    strategi dan pola kebijakan yang taktis, agar pemerintahan tetap tegak berdiri.

    Selain sebagai pejabat yang disegani di lingkungan kerja, ia juga dikenal sebagai

    sosok yang menjunjung tinggi silaturahmi dan kekerabatan. Tidak mengherankan kalau ia

    selalu ramah pada setiap orang, apalagi terhadap kolega terdekatnya. Salah satu fakta

    yang diakui oleh Bapak Bupati R. Soedirman bahwa ia mendapat kehormatan kala pesta

    pernikahannya dihadiri oleh Bupati M. Soebijakto.

    Selain sebagai kepala daerah, Bupati M. Soebijakto juga dikenal sebagai aktifis

    Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebuah organisasi politik yang dibangun oleh Bung

    Karno sebagai salah seorang founding fathers bangsa Indonesia. Sehingga paham-paham

    kebangsaan yang dipopulerkan Presiden Soekarno melekat erat dalam keseharian sosok

    M. Soebijakto. Paham yang dikenal sebagai Marhaenisme itu menjunjung tinggi

    pembelaan terhadap kaum lemah atau wong cilik.

    26 Wawancara dengan Ibu Suudiyah R. Soedirman di rumahnya di Jl. Dharma Husada Indah Surabaya, 13

    Desember 2010, pukul 13.00 WIB.

  • 36

    Pemimpin Jombang yang ramah ini seolah melengkapi kharismanya sebagai

    pemimpin daerah berjuluk kota santri. Apalagi pertemuan dua aliran kebudayaan besar,

    yaitu Mataraman dan Arek menimbulkan sifat kritis tetapi egaliter dan senantiasa terbuka

    untuk berdialog dengan masyarakatnya. Sehingga kepemimpinan Bupati M. Soebijakto

    sangat tepat diperuntukkan bagi Kabupaten Jombang.

    Prestasi memimpin daerah di era transisi ternyata tidak mengurangi perannya

    menjadi kepala rumah tangga. Bahkan salah satu menantunya, Anton Sujarwo, pernah

    berhasil menduduki jabatan Kapolri.

    Prestasi demi prestasi ditorehkan dan jabatan demi jabatan disandang oleh Bupati

    M. Soebijakto. Rupanya pengabdiannya memimpin Jombang mendapat apresiasi positif

    dari pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun pemerintah pusat. Salah satunya adalah

    posisi sebagai Pembantu Gubernur Jawa Timur di Madiun, telah mengantarkan puncak

    karirnya setelah memimpin Jombang.

    Seperti peribahasa harimau mati meninggalkan belang, manusia mati

    meninggalkan nama besar. Semoga sumbangsihnya dalam memimpin Kabupaten

    Jombang menjadi sebuah catatan emas yang mewarnai perjalanan kota santri sebagai

    bagian integral Bangsa Indonesia.

  • 37

    7. Profil Bupati R. Soedarsono (Masa Bhakti 1958-1962)

    R. Soedarsono merupakan Bupati Jombang yang ke tujuh. Ia menjabat sebagai

    bupati pada periode 1958 hingga 1962. Soedarsono lahir di Magetan 24 September 1921,

    tepatnya di Desa Sumber Rambe, Kecamatan Karangrejo. Ayahnya bernama Abdullah

    Martodirjo, seorang Kepala Desa yang berpengaruh kala itu. Soedarsono terlahir sebagai

    anak ke lima dari enam bersaudara. Lazimnya seorang Kepala Desa, ayah Soedarsono

    mempunyai sawah yang cukup luas, dan punya banyak hewan ternak.27

    Meski anak dari keluarga berpangkat, masa kecil Soedarsono tidak jauh beda

    dengan anak desa pada umumnya. Berkecipak dengan lumpur di sawah, bermain petak

    umpet, hingga mandi di sungai. Tidak jarang, Soedarsono kecil juga ikut

    menggembalakan kerbau di sawah sembari bermain jerami. Kakeknya bernama K.H. M.

    Tauhid, seorang ulama desa setempat. Dari kakeknya itulah ia mempelajari banyak ilmu

    agama, mulai dari salat hingga mengaji. Berdasarkan keterangan dari keluarganya, jika

    ditarik garis ke atas, K.H. M. Tauhid masih ada keturunan dari seorang pejuang yang juga

    sahabat dari Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah Prawirodirjo.

    Zaman penjajahan Belanda tidak sembarang orang bisa mengenyam pendidikan.

    Namun tidak begitu dengan Soedarsono yang notabene anak seorang Kepala Desa. Ia

    memulai pendidikannya di HIS (Sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda atau

    Hollandsch Inlandsche School) Magetan dan lulus pada tahun 1938. Setelah itu ia

    melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager

    Onderwijs atau kini SMP). Saat bersekolah di MULO, Soedarsono harus meninggalkan

    27 Wawancara dengan Endang Sri Ernawati (anak ketiga R. Soedarsono) di Jalan Iskandar Muda No 12, Wersah Jombang, pada Minggu, 24 Oktober 2010.

  • 38

    kampung halamannya. Karena sekolah setingkat SMP itu berada di kota Malang. Di

    sekolah itu ia menuntut ilmu selama tiga tahun, dan pada tahun 1941 ia dinyatakan lulus.

    Soedarsono muda tak pernah lelah mencari ilmu. Selepas dari MULO ia

    melanjutkan pendidikannya di Kweekschool (sekolah pendidikan guru pada zaman

    Belanda) di Malang. Di sekolah itulah ia mengenal seorang gadis asal Tulungagung yang

    kelak menjadi istrinya, yakni Roro Oentari. Tepat tahun 1941, Soedarsono tamat dari

    Kweekschool. Selanjutnya, ia mengabdikan diri sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) VI

    Caruban, Madiun. Pria asal Desa Sumber Rambe ini memulai karirnya menjadi guru

    terhitung mulai 1 September 1942. Namun sekitar satu tahun kemudian, atau tepatnya 30

    Maret 1943, ia pindah menjadi juru bahasa di Kediri Syu Gyugun Dai I Daidan (Tentara

    sukarela bentukan Jepang ).

    Beberapa bulan kemudian, atau tepatnya 3 Oktober 1943, Jepang membentuk

    Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Bersama para pemuda seusianya, Soedarsono ikut

    mendaftarkan diri dalam wadah tersebut. Layaknya seorang militer, ia dilatih teknik

    memegang senjata hingga cara menembak oleh Jepang. Namun sekitar pertengahan

    Agutus 1945, muncul permasalahan dalam diri Soedarsono. Ia ditangkap Jepang dengan

    tuduhan terlibat pemberontakan PETA Blitar pada 14 Februari 1945. Selanjutnya, ia

    bersama anggota PETA lainnya dibawa ke Cirebon. Rencananya, dalam rentang 1 hingga

    15 Agustus 1945, para tawanan ini hendak dihukum mati. Namun takdir berbicara lain.

    Belum sempat eksekusi dilakukan, peta politik perang dunia II berubah. Tepat 14

    Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kondisi itu berakibat

    dibebaskannya para tawanan Jepang, termasuk Soedarsono.

    Pasca Kemerdekaan

    Usai proklamasi dikumadangkan oleh Dwi Tunggal Soekarno Hatta, eks tentara

    PETA dimasukkan dalam wadah BKR (Badan Keamanan Rakyat). Begitu pula dengan

    Soedarsono, yang notabene pernah mendapatkan pendidikan militer PETA. Pria

    kelahiran Magetan ini menggabungkan diri di BKR Tulungagung. Namun hal itu

    dijalaninya hanya sekitar satu tahun. Karena pada 11 November 1946, ia dipercaya

    menjabat sebagai Kabag Umum (Kepala Bagian Umum) Jawatan Penerangan (Japen)

  • 39

    Kabupaten Tulungagung. Kejujuran dan kesederhanaannya, membuat karir Soedarsono

    terus menanjak. Pada tahun yang sama, Soedarsono mengakhiri masa lajangnya. Ia

    menyunting anak seorang pejabat Tulungagung, yang bernama Roro Oentari. Pernikahan

    itu dilakukan pada 25 Mei 1946.

    Tiga tahun kemudian ia diangkat sebagai pemimpin sementara Japen Kabupaten

    Tulungagung. Hal itu sesuai surat penetapan yang ditanda tangani Pemimpin Umum

    Jawatan Penerangan Karesidenan Kediri, Hardjosoemarmo. Dalam surat tertanggal 20

    Oktober 1949 tersebut diterangkan, pengangkatan Soedarsono itu bersifat sementara.

    Alasannya, pemimpin sebelumya, Koeswo, mundur dari jabatan pemimpin.

    Meski menjabat pemimpin Japen, bukan berarti perjuangan Soedarsono dalam

    rangka mempertahankan kemerdekan RI padam. Saat agresi Belanda I meletus, 21 Juli

    1947, ia kembali memanggul senjata. Soedarsono ikut bergerilya dengan pejuang lainnya

    guna menghalau Belanda yang ingin menguasai RI kembali. Begitu pula saat Belanda

    melakukan agresi militer II, 19 Desember 1948. Puncaknya, bersama CMKT (Comando

    Militer Kabupaten Tulungagung) yang dipimpin Mayor Sastroatmodjo, ia berhasil

    merebut kembali Tulungagung dari tangan Belanda.

    Usai KMB (Konferensi Meja Bundar), Desember 1949, sebagai Japen ia

    mendapat tugas menghadiri konferensi Dinas Kementerian Penerangan RI di Yogyakarta.

    Konferensi itu dihadiri oleh Kepala Japen Provinsi/Kabupaten dan Kepala studio (Radio

    RRI) se- Jawa. Dalam forum itu, Prof. DR Soepomo, salah satu delegasi RI, memberikan

    penjelasan hasil dari KMB yang baru saja digelar di Denhag, Belanda. Harapannya, hasil

    perundingan itu disosialisasikan di masing-masing daerah.

    Karir Soedarsono terus bergulir. Tanggal 1 Februari 1950, ia dipindah dari

    Tulungagung dan menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang. Kepercayaan

    menjabat sebagai Kepala Japen Kabupaten Jombang itu diemban Soedarsono selama

    delapan tahun. Yakni, mulai 1 Februari 1950 hingga 21 Maret 1958. Secara otomatis,

    seluruh keluarganya yang ada di Tulungagung juga diboyong ke Jombang. Saat itu,

    Soedarsono dan istrinya, Roro Oentari, tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Setya

    Budi. Di rumah itu pula mereka membesarkan ke empat anaknya.

  • 40

    Lewat SK Mendagri Diangkat Menjadi Bupati

    Meski sejak kecil tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang bupati, namun

    garis hidup berbicara lain. Soedarsono mencapai puncak karirnya pada 22 Maret 1958. Ia

    diangkat menjadi Bupati Jombang yang ke tujuh, menggantikan bupati sebelumnya, M

    Soebijakto. Hal itu ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri,

    Sanoesi Hardjadinata. Dalam surat keputusan itu dijelaskan, sesuai dengan rapat yang

    digelar oleh DPRD Jombang tanggal 1 Maret 1958, mereka menyetujui Soedarsono

    menjadi Kepala Daerah (Bupati) Tingkat II Jombang. Seminggu kemudian, hasil rapat

    DPRD itu dikirim ke Menteri Dalam Negeri, Sanoesi Hardjawinata, untuk dimintakan

    pengesahan. Gayungpun bersambut. Menteri Dalam Negeri tidak keberatan atas usulan

    itu. Selanjutnya, pada 22 Maret 1958 terbitlah Surat Keputusan Menteri yang intinya

    mengesahkan Soedarsono menjadi bupati.

    Saat menjabat sebagai bupati, karakter sederhana, disiplin, dan tegas, merupakan

    sesuatu yang lekat dengannya. Bukan hanya itu, untuk menambah wawasan, bupati ke

    tujuh ini selalu rajin membaca buku serta surat kabar. Buku koleksinya yang hingga kini

    masih terawat misalnya, karya besar mantan Presiden Soekarno yang berjudul Di Bawah

    Bendera Revolusi (DBR). Kebiasaan yang lain yang tidak pernah lepas dari Soedarsono

    adalan sarapan berita. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor kabupaten, ia selalu

    menyempatkan diri membaca koran. Jika ada sesuatu yang dianggap penting, maka ia

    akan mengambil gunting. Berita tersebut dipotong kemudian dikliping.

    Menjaga kesehatan, berolahraga, hidup bersih, juga merupakan sesuatu yang tidak

    terpisahkan dalam diri bapak empat anak ini. Maka tidak heran, saat pagi buta ia sudah

    bersih-bersih rumah. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepeda kumbang merk Hercules

    miliknya. Dengan sepeda itulah ia berkeliling kota. Selain berolahraga, hal tersebut

    dilakukan untuk memantau perkembangan masyarakat. Kegiatan berolahraga itu semakin

    padat jika memasuki hari Kamis dan Minggu. Wajar saja, bupati ke tujuh ini juga paling

    hobby dengan olahraga tenis. Bupati Soedarsono meyakini, selain untuk menjaga

    kesehatan, hal-hal yang bersifat informal semisal olahraga, merupakan salah satu media

    untuk membangun komunikasi dengan jajaran di bawahnya. Dengan tenis itu pula

    hubungan emosi antara atasan dan bawahan bisa lebih terjaga.

  • 41

    Saat menjabat sebagai orang nomor satu di Jombang, pria asli Magetan ini juga

    dikenal cukup sederhana. Betapa tidak, saat itu Soedarsono dan keluarganya masih

    mengontrak rumah di Jalan Setya Budi Jombang. Sedangkan kendaraan yang ada di

    rumahnya hanya ada satu buah sepeda kumbang. Praktis, ke empat anaknya harus rela

    bergantian jika ingin bepergian dengan sepeda. Di ujung masa tugasnya, Soedarsono baru

    membeli rumah di Jalan WR Supratman No 4 Jombang. Kini rumah itu masih terawat

    dan ditempati oleh anaknya yang nomor satu, Hj Endang Sri Undarti. Jabatan Soedarsono

    berakhir pada 5 Januari 1962. Meski begitu ia belum pensiun. Mantan bupati ini masih

    sempat menduduki beberapa pos strategis di Pemkab, semisal menjabat sebagai Wedono,

    dan Patih (setingkat Sekretaris Daerah) pada tahun 1971.

    Terhitung sejak 1 Oktober 1971, mantan bupati ini pindah tugas lagi. Oleh

    pemerintah pusat ia diberi kepercayaan menjabat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan

    Kabupaten Mojokerto. Posisi itu ia pegang hingga masa pensiun, yakni tahun 1977. Usai

    pensiun, pemikiran Soedarsono masih banyak dibutuhkan masyarakat. Selanjutnya, ia

    menjabat sebagai Sekretaris DPD II Golkar Kabupaten Mojokerto. Pemilu pertama Orde

    Baru pun digelar pada tahun itu. Walhasil, Soedarsono terpilih menjadi wakil rakyat dan

    masuk dalam FKP (Fraksi Karya Pembangunan). Jabatan itu sesuai dengan SK (Surat

    Keputusan) Gubernur Jawa Timur, Soenandar Prijosoedarmo, tertanggal 4 Juli 1977.

    Dalam surat dengan Nomor: PM 012.4/40/1977/SK itu dijelaskan bahwasannya

    Soedarsono ditetapkan menjadi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto bersama 39

    anggota dewan lainnya.

    Meski bertugas di Mojokerto, namun ia masih tetap pulang ke rumahnya di Jalan

    WR. Supratman Jombang. Secara otomatis, selama lima tahun menjabat sebagai wakil

    rakyat, Soedarsono harus bolak-balik dari Jombang ke Mojokerto. Karena kesederhanaan

    itu pula, ia lebih memilih naik bus saat berangkat dinas. Jabatan terakhir yang disandang

    oleh suami dari Roro Oentari ini adalah Ketua LVRI (Legiun Veteran Republik

    Indonesia) cabang Kabupaten Jombang. Amanah itu dilakoninya pada tahun 1986. Selain

    menjabat Ketua LVRI, ia juga aktif di DPD Golkar Jombang dengan posisi sekretaris.

    Sedangkan di bidang keagamaan, mantan Bupati Jombang ini aktif sebagai takmir Masjid

    Al Ikhlas yang ada di Jalan WR Supratman. Di Masjid itu juga ia kerap memberikan

    ceramah-ceramah keagamaan.

  • 42

    Rumah R Soedarsono di Jl. W.R. Supratman No.4 Jombang

    Memang benar kata orang bijak, sekat antara hidup dan mati tak setebal kain

    kafan. Begitu juga dengan Soedarsono, pada hari Selasa 6 Mei 1997 bapak empat anak

    ini dipanggil menghadap Ilahi. Bupati ke tujuh ini meninggal di usia yang ke 76 tahun di

    RS Dokter Soetomo Surabaya. Kabupaten Jombang pun berduka. Padahal sebelumnya, ia

    masih memberikan ceramah di Masjid Al Ikhlas sehari sebelumnya. Di tengah-tengah

    ceramah, Soedarsono pingsan. Oleh para jamaah yang hadir ia dilarikan ke RSUD

    Jombang. Karena kondisinya yang terus memburuk, selanjutnya dirujuk ke Surabaya. Di

    rumah sakit terbesar di Jawa Timur itulah ia meninggal.

    Soedarsono dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Pulo Sampurno

    Jombang. Seluruh kerabat, pejabat, mantan bupati, serta masyarakat umum ikut

    melepaskan kepergiannya. Ia meninggalkan empat orang anak dan sembilan orang cucu.

    Empat orang anak itu masing-masing; Endang Sri Undarti, Edi Raharjo, Endang Sri

    Ernawati, serta Endang Sri Ruliati.

  • 43

    8. Profil Bupati R. Hassan Wirjoekoesoemo (Masa Bhakti 1962-1966)

    R. Hassan Wirjokoesoemo adalah putera keluarga bangsawan di Pamekasan,

    Madura. Masa kecilnya dilalui penuh keceriaan anak-anak khas pulau garam, ceria dan

    penuh warna, sebagaimana diungkapkan penyair Clurit Emas Zawawi Imron: Madura

    Kau adalah Lautku! Yang bisa diartikan bahwa Madura adalah sawah ladang kehidupan

    bagi warga masyarakatnya yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan.

    Lagi-lagi cadasnya karang Madura dan tingginya ombak di lautnya telah melahirkan

    seorang R. Hassan sebagai calon pemimpin masa depan.

    Sebagai seorang Bupati, R. Hassan Wirjokoesoemo adalah sosok bupati berotak

    cemerlang dan bervisi ke depan. Salah satu putera terbaik yang pernah dimiliki

    Kabupaten Jombang, karena ia adalah pejabat pertama yang menerima pendidikan khusus

    kepamongprajaan. Ia mengenyam pendidikan khusus sebagai siswa pamongpraja zaman

    Belanda atau lebih dikenal dengan sebutan MOSVIA.28 Dan ia tercatat sebagai siswa

    berprestasi di lembaga pendidikan yang cukup bergengsi itu.

    Sebagai salah satu lulusan