Biomolekuler Mioma Uteri

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    Mioma uteri dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid ataupun leiomioma

    merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang

    menumpanginya.1 Sering ditemukan pada wanita usia reproduksi (20-25%), dimana

    prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70 % dengan pemeriksaan patologi

    anatomi uterus, membuktikan banyak wanita yang menderita mioma uteri

    asimptomatik. Walaupun jarang terjadi mioma uteri biasa berubah menjadi malignansi

    (

  • 2

    II. PATOLOGI ANATOMI

    Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri (1-3%) dan selebihnya adalah

    dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya,

    maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:

    1. Mioma submukosa

    2. Mioma intramural

    3. Mioma subserosa

    4. Mioma intraligamenter

    Gambar 1. Gambar Jenis-jenis mioma uterus

    Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48%),

    submukosa (6,1%) dan jenis intraligamenter (4,4%)3

    1. Mioma submukosa

    Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini

    dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan keluhan

    gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun besar mungkin belum

    memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma submukosa, walaupun kecil sering

    memberikan keluhan gangguan perdarahan.

    Mioma submukosa umumnya dapat diketahui dari tindakan kuretase,

    dengan adanya benjolan waktu kuret, dikenal sebagai currete bump dan dengan

    pemeriksaan histeroskopi dapat diketahui posisi tangkai tumor.

  • 3

    Tumor jenis ini sering mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa

    pedinkulata. Mioma submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang

    mempunyai tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal

    dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami

    infeksi, ulserasi dan infark. Pada beberapa kasus, penderita akan mengalami

    anemia dan sepsis karena proses di atas.

    2. Mioma intramural

    Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan

    tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang

    mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka

    uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang

    padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya

    akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat

    menimbulkan keluhan miksi.

    3. Mioma subserosa

    Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan

    uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan

    ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.

    4. Mioma intraligamenter

    Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke

    ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga

    disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma

    saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran

    servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit.

    Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri dari bekas otot

    polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti kumparan (whorie like pattern)

    dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena

    pertumbuhan.

  • 4

    Gambar 1. Representasi gambar uterus normal dan struktur vaskulernya

    A. Pelebaran pembuluh darah pada endometrium dan miometrium pada uterus normal

    B. Pelebaran pembuluh darah obstruksi fisik pada pembuluh darah uterus miomatosus

    Dikutip dari Gross Karen L,BA 20

    III. PATOGENESIS DAN ASPEK BIOMOLEKULER

    Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri saat ini belum diketahui. Karena mioma

    uteri banyak ditemukan pada usia reproduktif dan angka kejadiannya rendah pada

    usia menopause, belum pernah terjadi sebelum menarche, maka diduga penyebabnya

    timbulnya mioma uteri paling banyak oleh stimulasi hormon estrogen.3

    Pukka menemukan bahwa reseptor estrogen pada mioma uteri lebih banyak

    didapatkan dibandingkan dengan miometrium normal. Meyer, de Snoo mengemukan

    patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest dan genitoblast.6

    Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau

    memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan

    banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin

    growth factor-l,(IGF-l), connexsin-43-Gap function protein dan marker proliferasi.4,7

    Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel

    miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik secara parsial

    maupun secara keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50% dari mioma

    uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada kromosom

  • 5

    7(del(7)(q 21)/q 21 q 32). Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri

    sangat tergantung apakah telah terjadi perubahan pada kromosom atau tidak.2,5

    A. Perubahan Sitogenetik Mioma Uteri

    Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan

    penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas

    kromosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup

    sitogenetik yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi

    12, penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang

    kromosom 10 dan delesi kromosom 3 dan 7.8,11 Penting untuk diketahui mayoritas

    mioma uteri memiliki susunan kromosom yang normal.

    Muncul pertanyaan dari klasifikasi mioma uteri dengan kariotif abnormal,

    apakah terdapat hubungan antara genotip tumor dengan fenotip klinis. Beberapa

    penelitian telah menunjukan adanya rearrangements karyotype berhubungan dengan

    ukuran tumor yang lebih besar sesuai dengan lokasi anatomis.12,13 Arein, dkk

    menemukan bahwa tumor dengan delesi kromosom 7 rata-rata lebih kecil dari

    daripada tumor dengan penyusunan kembali kromosom 12 (5 vs 8,5 cm), tetapi

    ekivalen dengan ukuran tumor yang memiliki kariotip normal (5,4 cm). Hasil-hasil ini

    dikonfirmasikan oleh Kernig dkk. Lebih jauh lagi mioma uteri submukosa ditemukan

    oleh Brosens dkk13 memiliki perubahan yang lebih sedikit (12%) daripada intramural

    (35%) atau tumor subserosa (29%). Tidak ditemukan hubungan antara abnormalitas

    sitogenetik dan usia penderita atau paritas.

    Beraneka ragam perubahan kromosom ditemukan pada mioma uteri, yang paling

    sering terjadi yaitu: translokasi, trisomi dan delesi, menyebabkan mekanisme

    pertumbuhan tumor yang multipel, contohnya translokasi dapat juga meningkatkan

    atau menurunkan ekspresi gen melalui posisi juxta pada seluruh bagian gen

    disamping elemen regular ektopik. Sebagai pilihan translokasi yang menyetop fungsi

    seluruh protein atau diterjemahkan ke protein chimeraic novel yang fungsional.

    Trisomi biasanya meningkatkan ekspresi gen melalui peningkatan dosis gen, dimana

    paling sering terjadi delesi kromosom pada gen kehilangan fungsinya. Maka itu

    perbedaan perbedaan tipe abnormalitas kromosom berada pada mioma uteri dapat

  • 6

    memprediksikan genetik heterogen apa yang mempercepat perkembangan dan

    pertumbuhan tumor. Penelitian-penelitian mengindentifikasikan gen yang berperanan

    dalam perubahan sitogenetik ini.

    1. Subgrup t (12,14)

    Translokasi kromosom yang paling sering pada mioma uteri yaitu, t(12,14)(q14-

    q15;q23-q24) diperkirakan terdapat pada 20% mioma uteri dengan perubahan

    kariotip.10 Pasangan kromosom 12 lain yang paling sering mengalami translokasi

    termasuk kromosom 2,4,22 dan x.15 Bagian q14-q15 pada kromosom 12juga

    ditemukan pada tumor mesenkim lainnya seperti; fibroadenoma mammae, polip

    endometrium, lipoma dll.

    Kloning pada posisi 12q14-q15 dimulai dengan perkembangan high

    density physical map dan dihasilkan dari indentifikasi Yeast Artifician

    Chromosome (YAC) yang meningkatkan translokasi 12q15 pada mioma uteri

    HMGIC, grup protein dengan densitas tinggi yang dipetakan ke kloning YAC ini,

    menjadi gen yang berpotensial menarik karena penelitian pada tikus

    mengidentifikasikan bahwa HMGIC adalah DNA binding protein yang terlbat

    dalam proliferasi seluler dan pada diferensiasi jaringan mesenkim, termasuk

    jaringan adiposa. Sebagai contoh, ekspresi HMGIC disebut fenotip pygmy

    bermanifestasi pengurangan berat 40% dan pada hipoplasia adiposit, fibroblast

    tikus menunjukkan penurunan empat kali lipat aktifitas proliferasi.16 Terlebih lsgi

    penelitian molekular telah menemukan ekspresi HMGIC pada mioma uteri

    dibandingkan ekspresi yang tidak dapat dideteksi pada miometrium yang normal.

    Bagian kromosom 14 terlibat dalam mioma uteri dengan t(12,14) menarik

    perhatian karena spesifitasnya pada mioma uteri dibandingkan dengan tumor

    mesenkim lainnya, dimana terjadi perubahan HMGIC. Reseptor gen estrogen

    (ESR 2), yang berada pada lengan panjang kromosom 14 (14q23-24) sangat

    berarti karena pertumbuhan mioma uteri responsif terhadap estrogen.

    Bagaimanapun lokus ESR 2 dipetakan kira-kira 2 megabas (MB) dari t(12,14) dan

    analisis ekspresi tidak mengubah perbedaan transkripsi level ESR 2 antara mioma

    uteri dengan dan tanpa t(12,14). Demikian juga ESR 2 tidak terganggu pada

    tumor dengan t(12,14) yang dianalisa dengan hibridisasi fluoroscence insitu, dari

  • 7

    hasil ini bukan berarti ESR 2 pada mioma uteri disebabkan kesalahan ekspresi

    lainnya atau sebagai pasangan translokasi posisi HMGIC pada mioma uteri

    dengan t(12,14), namun demikian perkiraan fisiknya ke t(12,14) belum dapat

    dibuktikan bermakna sebagai mekanisme yang mendasari patogenesis dan

    patologi mioma uteri.

    2. Subgrup 6p21

    Ketika HMGIC ditemukan terlibat dalam kromosom subgrup 12 pada mioma

    uteri, HMGIY segera dikenali sebagai protein mobilitas tinggi berhubungan

    dengan HMGIC yang berada di lengan pendek kromosom 6(6p 21) dapat

    berperanan dalam perubahan 6p21 pada mioma uteri. Hibridisasi Flourescence

    insitu telah mengkonfirmasi bahwa HMGIY terlibat dalam perubahan ini. Lebih

    jauh lagi peningkatan ekspresi HMGIY ditemukan pada mioma uteri tanpa

    perubahan sitogenetik pada kromosom 6 pada tumor dengan perubahan

    kromosom lainnya dan pada tumor dengan kariotip yang normal. Perubahan 6p21,

    termasuk translokasi dengan kromosom 1,2,4,10 dan 14 seperti inversi dan

    translokasi dengan kromosom lainnya, terjadi

  • 8

    transkripsi gen lainnya termasuk tumor necrosis factor , E Selectin, IL-2

    receptor , chemokine, MgSA/GRO, CD44 cell adhesion protein dan sintesis

    nitric acid yang dapat direduksi. Akhir akhir ini level sintese nitric oxide endotel

    terlihat dari imunostaining yang secara bermakna lebih tinggi pada sel-sel otot

    polos daripada sel otot polos yang normal. Nitric Oxide mempengaruhi

    neovaskularisasi tumor yang estrogen dependent. Dapat ditentukan bila ada

    korelasi antara ekspresi induksi sintese nitric oxide dan level disregulasi protein

    HMGI pada mioma uteri dengan perubahan gen HMGI. Kesamaannya, hubungan

    antara ekspresi HMGI dan perubahan ekspresi gen lainnya yang diatur protein

    HMGI belum terlihat pada mioma uteri. HMGI(Y) juga dapat menghambat

    transkripsi dengan menginterupsi resesi transkripsi histone.

    4. Subgrup Del(7)(q22q32)

    Delesi kromosom 7, del(7)(q22q32) terdapat pada 17 % mioma uteri dengan

    kariotip yang abnormal.

    B. Biomolekuler perdarahan pada mioma uteri

    Pada penelitian klasik ditemukan perubahan fundamental struktur vaskuler uterus

    miomatosus. Dengan kemajuan era molekuler ditemukan mekanisme angiogenesis

    pada uterus yang didukung dengan didapatkannya disregulasi Local Vasoactive

    growth factor atau growth factor receptors pada miometrium mioma uteri.

    Walaupun ekstasia vena merupakan karakteristik kelainan pembuluh darah pada

    mioma uteri, kelainan multipel pada arteri, vena dan matriks ekstraseluler (ECM)

    disekelilingnya kemungkian juga menjadi penyebab kelainan heterogen ini.

    Pengertian disregulasi tidak hanya menerangkan patofisiologi masalah klinis, tapi

    juga mengarah ke penatalaksanaan yang inovatif.

    Pada siklus menstruasi normal, perubahan siklik estrogen dan progesteron akan

    mempengaruhi stroma dan glandular endometrium. Perubahan morfologi glandular

    dan stroma ini diikuti dengan perubahan struktur vaskular, dimana perubahan ini

    dimulai dari miometrium sampai sampai ke endometrium melepaskan cabang arteri

    radialis yang menjadi berkelok-kelok dan disebut arteri spiralis yang masuk ke dalam

    endometrium. Arteri spiralistidak seperti arteri basalis peka terhadap estrogen dan

  • 9

    progesteron. Menstruasi merupakan fase iskemik dengan karakteristik vasokonstriksi

    arteri spiralis ini dan perdarahan terjadi setelah pembuluh darah relaksasi. Komponen

    darah termasuk faktor pembekuan dan platelet muncul untuk membentuk bekuan

    yang membatasi kehilangan darah sampai regenerasi selesai.

    Menurunnya hormon steroid menyebabkan disrupsi sel-sel endometrium dan

    extracellular matrix (ECM). Kelainan ekspresi molekul desmoplakin I II, E-cadherm,

    dan -catenins dan hilangnya F-actin terjadi hanya pada lapisan fungsional pada

    peristiwa menstruasi. Apoptosis meningkat perlahan pada fase sekretori di glandular

    endometrium dan menyiapkan jaringan untuk disrupsi. Sesudah lapisan fungsional

    lepas, terjadi regenerasi dimulai dari basal endometrium, ketika terjadi kontak

    langsung dengan miometrium timbul mekanisme dimana growth factor

    mempengaruhi regenerasi endometrium pada sistem parakrin.

    Proses siklis angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru, pada ovarium dan

    uterus sangat unik dan sulit dimengerti. Angiogenesis pada pembentukan tumor

    memiliki proses patologi seperti pada penyembuhan luka. Dimana terjadi interaksi

    antara pembuluh darah dan ECM disekitarnya. Proses yang terjadi dalam

    angiogenesis adalah penghancuran membran basalis, migrasi sel endotel, proliferasi

    sel endotel, pembentukan tabung kapiler, diikuti stabilisasi (gambar 2). Degradasi

    membran basalis melibatkan stromelysin, kolagen dan enzim-enzim lainnya untuk

    menghancurkan elemen ECM. Sel endotel dapat bermigrasi ke ujung pembuluh

    darah. Proses migrasi didukung lingkungan yang banyak mengandung kolagen tipe I

    dan tipe III dan dirangsang oleh basic fibroblast growth factor (bFGF). Protein ECM

    ini juga muncul dan berperanan penting dalam proses proliferasi. Pembentukan lumen

    dan stabilisasi juga dipengaruhi komponen ECM.

  • 10

    Gambar 2. Komponen ECM, kolagen IV dan V, serta laminin dihubungkan dengan basal membran dan

    masuk kedalam suatu tempat yang banyak mengandung kolagen interstitial I,III, dan fibronektin

    yang membantu proses migrasi. Proliferasi terjadi 24 jam setelah migrasi. Angiogenik ini

    mengadakan vakuolisasi untuk membentuk lumen kapiler. Ketika proses stabilisasi tuba terjadi,

    membran basalis baru terbentuk disekitar kapiler

    Dikutip dari Gross Karen L,BA20

    Diperkirakan 30% wanita mengalami kelainan menstruasi, menoragia atau

    menstruasi yang lebih sering. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini

    berhubungan dengan peningkatan luas permukaan endometrium atau karena

    meningkatnya insiden disfungsi ovulasi. Teori yang menjelaskan perdarahan yang

    disebabkan mioma uteri menyatakan terjadinya perubahan struktur vena pada

    endometrium dan miometrium yang menyebabkan terjadinya venule ectasia.

    Miometrium merupakan wadah bagi faktor endokrin dan parakrin dalam

    mengatur fungsi endometrium. Aposisi kedua jaringan ini dan aliran darah langsung dari

    miometrium ke endometrium memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang merangsang

  • 11

    stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki reseptor pada

    mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal dan menjadi target terapi

    potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya angiogenik inhibitory factors atau

    vasoconstricting factor dan reseptornya pada mioma uteri dapat juga menyebabkan

    perdarahan uterus yang abnormal. Telah jelas bahwa ada perbedaan sejumlah gen pada

    mioma uteri dengan miometrium yang normal. Terdapat peningkatan reseptor estrogen

    dan progesteron serta enzim aromatase pada mioma uteri dibandingkan dengan

    miometrium. Mioma uteri juga meningkatkan reseptor insulin like growth factor (IGF-I)

    dan mRNA IGF-II dan telah meningkatkan TGF-3 enam kali lipat dibandingkan dengan

    miometrium. Selain itu didapatkan juga peningkatan mRNA dan protein for parathyroid

    hormon related protein (PTHrP) dan bFGF (Weir dkk,1994;Mangrulkar dkk,1995)

    Protein yang ada pada mioma uteri mengalami fase siklus menstruasi yang

    spesifik lebih banyak dibanding miometrium yang normal. Laboratorium telah

    menunjukkan mRNA kolagen tipe I dan kolagen tipe III meningkat relatif pada mioma

    uteri hanya terjadi pada fase proliferatif siklus epidermal Growth Factor (EGF) mRNA

    telah terlihat meningkat relatif pada fase luteal siklus dibandingkan dengan miometrium

    (Harrison-Woolrych dkk,1994). Penelitian terbaru mengatakan bahwa reseptor EGF

    dapat diturunkan pada mioma uteri sejak penelitian lain yang berkaitan menyatakan

    adanya penurunan ikatan tersebut pada mioma uteri dibandingkan miometrium normal.

    Faktor-faktor pertumbuhanataupun reseptornya yang diregulasi berbeda pada

    mioma uteri atau endometrium uterus miomatosus, merupakan mediator yang potensial

    pada mioma uteri yang disertai komplikasi. Faktor-faktor yang diregulasi berbeda, yang

    telah diketahui berperanan pada jaringan vaskuler dengan cara meningkatkan proliferasi

    atau perubahan kapiler pembuluh darah, yang berpotensi menyebabkan mioma uteri

    dengan gejala menoragia. Faktor-faktor yang memenuhi semua kriteria termasuk basic

    fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), heparin

    binding epidermal growth factor (HBEGF), platelet derived growth factor (PDGF),

    TGF-, PTHrP dan prolaktin.

    Keempat faktor ini (bFGF,VEGF,HBEGF,PDGF) milik heparin binding group of

    growth factors. Sejak faktor-faktor ini berikatan dengan heparin sulfat proteoglycans

    yang ditemukan di ECM, mioma uteri, dengan muatan ECM yang besar, dapat dijadikan

  • 12

    wadah bagi faktor-faktor ini. Kedua faktor bFGF dan VEGF mengatur fungsi sel endotel,

    maka itu migrasi sel endotel vital ditingkatkan ke proses angiogenik. HBEGF dan PDGF

    mengatur fibroblast dan fungsi sel otot polos dan dapat mempengaruhi vaskularisasi otot

    polos mioma uteri, sel miometrium ataupun sel stroma endometrium. PTHrP dapat

    berfungsi sebagai vasodilator secara tidak langsung dengan aksi pada ECM atau secara

    langsung pada pembuluh darah. TGF- berfungsi pada banyak tipe sel dan prolaktin,

    ketika membelah, berfungsi sebagai penghambat angiogenesis. Maka itu faktor ini

    memiliki aksi yang potensial dalam mengatur fungsi vaskuler di uterus.

    1. Basic Fibroblast Growth Factor

    Merupakan protein 18 kd yang meningkatkan angiogenesis melalui sejumlah

    mekanisme termasuk induksi proliferasi sel endotel, Chemotaxis dan produksi matrix

    remodelling enzym seperti kolagenase dan aktivator plasminogen.Terapi estradiol

    merangsang BFGF like activity, yang hilang ketika sel diterapi dengan progesteron

    model ini meniru pengaturan pengaruh hormon terhadap angiogenesis invivo. BFGF

    juga telah menjadi mitogen besar yang menyebabkan proliferasi sel otot polos

    sesudah perdarahan.

    2. Vascular endothelial growth factor

    VEGF merupakan growth factor angiogenic yang merupakan mitogen poten sel-sel

    endotelial, ditemukan spesifik muncul pada siklus menstruasi fase proliferatif. VEGF

    mRNA juga dideteksi pada miometrium dengan hibridisasi intensitas kuat pada batas

    endometrium dan miometrium. Pada uterus manusia level VEGF ditemukan sama

    pada miometrium dan mioma uteri dan tidak memiliki variabilitas siklus menstruasi

    yang bermakna.

    3. Heparin-binding epidermal growth factor

    HBEGF merupakan peptida 22-kd yang berfungsi sebagai mitogen pada fibroblas dan

    sel otot polos dengan EGF-R pada sel-sel otot polos memilih afinitas yang lebih besar

    daripad EGF, maka itu mitogennya lebih poten. Ekspresi meningkat pada tempat

    penyembuhan luka. HBEGF terdapat di endometrium dengan pengaturan yang

    berbeda pada endometrium dengan peningkatan ekspresi berhubungan dengan

    proliferasi tipe sel uterus, maka itu HBEGF mungkin merupakan mediator aktifitas

    hormon steroid pada uterus. Dari hasil analisa ekspresi pada EGF-R pada

  • 13

    endometrium manusia menujukkan bahwa sel epitel mengekspresikan reseptor

    melalui siklus menstruasi, sementara sel stroma menunjukkan ekspresi hanya selama

    fase sekretori.

    4. Platelet-derived growth factor

    PDGF merupakan faktor pertumbuhan dengan homodimeric (AA dan BB) dan

    heterodimeric (AB) membentuk rantai dengan ikatan disulfid. Dua reseptor PDGF

    telah diidentifikasi PDGF yang mengikat ketiga hormon dimeric dan PDGF yang

    mengikat hanya BB isoform dengan afinitas tinggi. Kedua reseptor merupakan tirosin

    kinase. PDGF berfungsi sebagai mitogen dan chemoattractant sel otot polos dan

    fibroblas. Imunochemistry pada rantai PDGF memiliki level sama antara mioma uteri

    dan sel otot polos intensitas staing sama pada miometrium dan leiomioma.

    IV. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

    A. Gejala Klinis

    Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi, arah

    pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20-50% saja

    mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun.

    Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari mioma uteri.

    Dari penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita ditemukan 44 %

    gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma submukosa, sekitar 65%

    wanita dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut bagian bawah, serta nyeri

    pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung

    kemih, ureter dan usus dapat terganggu, dimana peneliti menemukan keluhan

    disuri (14%), keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas

    hanya dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi

    mekanis tuba falopi. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma menghalangi

    pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang abnormal, dan

    mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam panggul.14

  • 14

    B. DIAGNOSIS

    1. Pemeriksaan fisik Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin

    uterus.Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus

    oleh satu atau lebih massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan

    bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.

    2. Temuan laboratorium Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan

    perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang

    mioma menghasilkan eritropoeitin yang pada beberapa kasus menyebabkan

    polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga

    akibat penekanan mioam terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan

    balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin ginjal.

    3. Pemeriksaan penunjang a. Ultrasonografi

    Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam

    menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama

    bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik

    diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas

    menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas

    kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-

    fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya

    daerah yang hipoekoik.14

    b. Hiteroskopi

    Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika

    tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.

    c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

    Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi mioma tetapi

    jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas

    tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi

    lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma

  • 15

    submukosa. MRI dapat menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus

    yang tidak dapat disimpulkan.

    VI.PENATALAKSANAAN

    A. Konservatif

    Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan,

    tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari

    kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada

    tangkai, perlu diambil tindakan operasi.

    B. Terapi medikamentosa

    Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan mioma

    uteri secara menetap belum tersedia padasaat ini. Terapi medikamentosa masih

    merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.

    Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analg

    GnRH, progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin,

    agen-agen lain (gossipol,amantadine).

    1. GnRH analog

    Penelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita dengan mioma uteri

    yang diberikan GnRHa leuprorelin asetat selam 6 bulan, ditemukan

    pengurangan volume uterus rata-rata 67% pada 90 wanita didapatkan

    pengecilan volume uterus sebesar 20% dan pada 35 wanita ditemukan

    pengurangan volume mioma sebanyak 80%.18,19

    Efek maksimal dari GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan dimana cara

    kerjanya menekan produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya

    dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Setiap

    mioama uteri memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap pemberian

    GnRHa.4,15

  • 16

    Mioma submukosa dan mioma intramural merupakan mioma uteri yang

    paling rensponsif terhadap pemberian GnRH ini. Keuntungan pemberian

    pengobatan medikamentosa dengan GnRHa adalah:

    1. Mengurangi volume uterus dan volume mioma uteri.

    2. Mengurangi anemia akibat perdarahan.

    3. Mengurangi perdarahan pada saat operasi.

    4. Tidak diperlukan insisi yang luas pada uterus saat pengangkatan mioma.

    5. Mempermudah tindakan histerektomi vaginal.

    6. Mempermudah pengangkatan mioma submukosa dengan histeroskopi.

    2. Progesteron

    Goldhiezer, melaporkan adanya perubahan degeneratif mioma uteri pada

    pemberian progesteron dosis besar. Dengan pemberian medrogestone 25 mg

    perhari selama 21 hari dan tiga pasien lagi diberi tablet 200 mg, dan

    pengobatan ini tidak mempengaruhi ukuran mioma uteri, hal ini belum

    terbukti saat ini.

    3. Danazol

    Merupakan progesteron sintetik yang berasal dari testosteron. Dosis

    substansial didapatkan hanya menyebabkan pengurangan volume uterus

    sebesar 20-25% dimana diperoleh fakta bahwa danazol memiliki substansi

    androgenik. Tamaya, dkk melaporkan reseptor androgen pada mioma terjadi

    peningkatan aktifitas 5-reduktase pada miometrium dibandingkan

    endometrium normal. Mioma uteri memiliki aktifitas aromatase yang tinggi

    dapat membentuk estrogen dari androgen.16,17

    4. Gestrinon

    Merupakan suatu trienik 19-nonsteroid sintetik, juga dikenal dengan R 2323

    yang terbukti efektif dalam mengobati endometriosis. Menurut

    Coutinho(1986), melaporkan 97 wanita, A(n=34) menerima 5 mg gestrinon

    peroral 2x seminggu, kelompok B(n=36) menerima 2,5 mg gestrinon peroral

    2x seminggu, dan kelompok C(n=27) menerima 2,5 mg gestrinon pervaginam

  • 17

    3x seminggu.16 Data masing-masing dievaluasi setelah 4 bulan didapatkan

    volume uterus berkurang 18% pada kelompok A, 27% pada kelompok B,

    tetapi pada kelompok C meningkat 5%. Setelah masa pengobatan selama 4

    bulan berakhir, 95% pasien amenore, Coutinho menyarankan penggunaan

    gestrinon sebagai terapi preoperatif untuk mengontrol perdarahan menstruasi

    yang banyak berhubungan dengan mioma uteri.

    5. Tamoksifen

    Merupakan turunan trifeniletilen yang mempunyai khasiat estrgenik maupun

    antiestrogenik, dan dikenal sebagai selective estrogen receptor modulator

    (SERM). Beberapa peneliti melaporkan pada pemberian tamoksifen 20 mg

    tablet perhari untuk 6 wanita premenopause dengan mioma uteri selama 3

    bulan dimana volume mioma tidak berubah, dimana kerjanya konsentrasi

    reseptor estradiol total secara signifikan lebih rendah. Hal ini terjadi karena

    peningkatan kadar progesteron bila diberikan berkelanjutan.16

    6. Goserelin

    Merupakan suatu GnRH agonis, dimana ikatan reseptornya terhadap jaringan

    sangat kuat, sehingga kadarnya dalam darah berada cukup lama. Pada

    pemberian goserelin dapat mengurangi setengah ukuran mioma uteri dan

    dapat menghilangkan gejala menoragia dan nyeri pelvis. Pada wanita

    premenopause dengan mioma uteri, pengobatan jangka panjang dapat menjadi

    alternatif tindakan histerektomi terutama menjelang menopause. Pemberian

    goserelin 400 mikrogram 3 kali sehari semprot hidung sama efektifnya dengan

    pemberian 500 mikrogram sehari sekali dengan cara pemberian injeksi

    subkutan.

    Untuk pengobatan mioma uteri, dimana kadar estradiol kurang signifikan

    disupresi selama pemberian goserelin dan pasien sedikit mengeluh efek

    samping berupa keringat dingin. Pemberian dosis yang sesuai, agar dapat

    menstimulasi estrogen tanpa tumbuh mioma kembali atau berulangnya

    peredaran abnormal sulit diterima. Peneliti mengevaluasi efek pengobatan

    dengan formulasi depot bulanan goserelin dikombinasi dengan HRT (estrogen

    konjugasi 0,3 mg) dan medroksiprogesteron asetat 5 mg pada pasien mioma

  • 18

    uteri, parameter yang diteliti adalah volume mioma uteri, keluhan pasien,

    corak perdarahan kandungan mineral, dan fraksi kolesterol. Kadar HDL

    kolesterol meningkat selama pengobatan, sedangkan plasma trigliserid

    meningkat selama pemberian terapi.11,18

    7. Antiprostaglandin

    Dapat mengurangi perdarahan yang berlebihan pada wanita dengan

    menoragia, dan hal ini beralasan untuk diterima atau mungkin efektif untuk

    menoragia yang diinduksi oleh mioma uteri.

    Ylikorhala dan rekan-rekan, melaporkan pemberian Naproxen 500-1000

    mg setiap hari untuk terapi selama 5 hari tidak memiliki efek pada menoragia

    yang diinduksi mioma, meskipun hal ini mengurangi perdarahan menstruasi

    35,7% wanita dengan menoragia idiopatik.

    C. Embolisasi Arteri Uterina

    Suatu tindakan yang menghambat aliran darah ke uterus dengan cara

    memasukkan agen emboli ke arteri uterina.

    Dewasa ini embolisasi arteri uterina pada pasien yang menjalani

    pembedahan mioma. Arteri uterina yang mensuplai aliran darah ke mioma

    dihambat secara permanen dengan agen emboli (partikel polivynil alkohol).

    Keamanan dan kemudahan embolisasi arteri uterina tidak dapat dipungkiri,

    karena tindakan ini efektif.

    Proses embolisasi menggunakan angiografi digital substraksi dan dibantu

    fluoroskopi. Hal ini dibutuhkan untuk memetakan pengisian pembuluh darah

    atau memperlihatkan ekstrvasasi darah secara tepat.23 Agen emboli yang

    digunakan adalah polivinyl alkohol adalah partikel plastik dengan ukuran

    yang bervariasi. Katz dkk memakai gel form sebagai agen emboli untuk

    embolisasi arteri uterina.

    Tingkat keberhasilan penatalaksanaan mioma uteri dengan embolisasi

    adalah 85-90%.

  • 19

    D. Terapi inovatif berdasarkan aktivitas mekanisme molekular.

    Setelah didapatkan mekanisme molekulaer mioma uteri, terapi yang lebih baik

    dapat secara khusus memecahkan masalah ini. Seperti penyakit lainnya, bila

    didapatkan kelainan gen yang spesifik akan membuka kemungkinan terapi

    gen di masa yang akan datang. Sebelum terapi gen digunakan lebih luas,

    kemungkinan kita harus melewati terapi yang ditujukan sebagai anti spesific

    growth factor angiogenesis yang terdapat di dalam endometrium dan

    miometrium.

    Sejumlah molekul telah diidentifikasi dalam menghambat proses

    proliferasi sel endotel dan menghambat angiogenesis. TGF- dan sekresi

    reseptor bFGF berada di uterus dan menghambat proses ini. Selain itu

    fragmen 16-kd prolaktin, angiostatin, thrombospondin-I, platelet faktor 4,

    tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMPs 1,2 dan 3), interferon dan

    placentalproliferin-related protein secara negatif mengatur angiogenesis dan

    dapat dieksploitasi terapi.

    Agen farmakologi yang berlawanan dengan faktor angiogenik ataupun

    obat-obatan yang dapat memblok produksi faktor ini, berikatan atau

    menurunkan bentuk aktifnya, atau berikatan dengan reseptornya, juga

    bermanfaat. Stimulasi angiogenesis yang merupakan target antagonis

    potensial, termasuk TGF-, bFGF, VEGF dan PDGF.

    Terapi gen didefinisikan sebagai transfer rentetan DNA esensial atau

    terapetik ke dalam sel pasien untuk mendapatkan keuntungan klinis.

    Perubahan ini dapat menghasilkan meningkatkan produksi produk sel yang

    penting, penghambatan ekspresi gen yang bersangkutan, dan induksi respon

    imun serta penghancuran sel-sel yang rusak dengan kematian sel yang

    terprogram. Bentuk gen terapi yang paling sering adalah pembentuk,

    penggunaan transfer gen untuk menggantikan produk gen yang abnormal atau

    hilang. Walaupun transfer gen dapat dilakukan dilakukan dengan efikasi yang

    sama pada sel somatik dan sel germ, terapi ditargetkan semata-mata pada sel

    somatik dan tidak melibatkan pemusnahan secara langsung, atau perbaikan

    sel-sel yang mengalami kelainan.

  • 20

    Tekhnologi DNA recombinant menyediakan alat-alat untuk

    memungkinkan terapi gen. Ketika lokasi gen yang sama dikenali, terdapat

    empat langkah dasar dimana segmen DNA dikloning, digestion, ligation,

    transformation, dan selection.

    Pada langkah pertama digestion, DNA dipotong untuk mengeluarkan

    fragmen atau gen yang diinginkan, dibantu dengan penggunaan sebuah kelas

    enzim yang disebut restriction endonucleases, yang memecah rentetan DNA

    dengan tepat. Setelah segmen DNA yang diinginkan didapatkan, segmen

    digabungkan atau diligasi untuk membantu vector recombinant, yang mana di

    sini berperanan enzim kelas dua yang disebut DNA ligases. Pada akhir

    langkah kedua ini, gene yang diminati bergabung ke dalam vektor yang

    dapat bereplikasi sendiri. Ada dua tipe vektor yang sering digunakan dalam

    gen terapi, vektor plasmid dan vektor viral. Plasmid DNA mudah tumbuh

    pada bakteri termasuk seluruh elemen yang penting sebagai ekspresi mamalia,

    termasuk promoter, enhancer sequences dan transcipt processing signals.

    Vektor viral termasuk sinyal yang menjamin recombinant viral genome

    bergabung dalam progeny viral particles. Langkah ketiga, transformasi terjadi

    dimana vektor dipindahkan dari test tube ke dalam sel host yang dapat

    bereplikasi. Akhirnya metode selection atau indentification dilakukan untuk

    menentukan sel host mana berisi recombinant DNA Human Vektor

    Recombinant dapat digunakan untuk mentransfer sel-sel DNA manusia untuk

    terapi gen. Fungsi normal gen dan protein encoded nya harus diketahui

    sebelum gen dianggap sebagai target dari terapi gen.

    Terapi gen sitotoksik telah menunjukkan keberhasilan dalam menghambat

    pertumbuhan tumor, serta proliferasi sel benigna. Baru-baru ini FDA

    menyetujui terapi gen sitotoksik pada tumor otak dan tumor ovarium. Tidak

    seperti tumor ganas, mioma uteri menimbulkan gangguan bila ukurannya

    besar sehingga menimbulkan penekanan pelvis, obstruksi saluran kencing,

    atau frekuensi buang air kecil yang menjadi lebih sering, dan buang air besar

    menjadi sulit, bila tumbuh di sepanjang endometrium menyebabkan

    perdarahan uterus yang abnormal. Terapi gen sitotoksik dapat mengecilkan

  • 21

    massa mioma uteri tanpa harus melakukan intervensi bedah mayor. Penelitian

    terbaru menunjukkan efektifitas terapi gen sitotoksik pada sel-sel mioma yang

    berasal dari tikus Eker (sel ELT-3). Sel-sel ditranfer dengan encoding DNA

    plasmid -galactosidase, SV-tk transgene, atau plasmid kontrol. Ekspresi gen

    reporter diperiksa dengan memonitor aktifitas enzim -galactosidase untuk

    menentukan presentasi sel-sel transfected yang diharapkan mengekspresikan

    timidine kinase. Efisiensi transfeksi ini 16,7% pada leiomyocyte manusia dan

    39,8% pada sel-sel ELT-3.

    VII. KESIMPULAN

    1. Awal pembentukkan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari sel-sel

    miometrium, mencakup rentetan perubahan kromosom secara parsial maupun

    keseluruhan. Aberasi kromosom 23-50% dari mioma uteri yang diperiksa

    yang terbanyak ditemukan pada kromosom 7(del(7)(q21)/q21q32).

    2. Keberhasilan pengobatan medikamentosa mioma uteri tergantung telah terjadi

    perubahan kromosom atau tidak.

    3. Ditemukan 4 faktor yang berperanan dalam mengatur fungsi vaskuler dan

    berperanan dalam proses angiogenesis dalam endometrium dan miometrium

    di uterus, yaitu: BFGF,VEGF,HBEGF, dan PDGF.

    4. Sebelum terapi gen digunakan secara luas, kita harus melewati terap yang

    ditujukan sebagai anti growth factor spesifik yang terdapat dalam proses

    angiogenesis dalam endometrium dan miometrium. Di atas telah diidentifikasi

    molekul yang menghambat angiogenesis, di dalam uterus dan menghambat

    proses ini.

    5. Terapi gen sitotoksik merupakan cara yang efektif dalam mengurangi ukuran

    mioma uteri, walaupun pemeriksaan lebih jauh dibutuhkan, terapi gen dapat

    digunakan sebagai pendekatan alternatif atau dapat menjadi program

    pencegahan dalam pengobatan mioma uteri.

  • 22

    XIII. RUJUKAN 1. ButtramVC, Reiter ARAC. Uterine leiomyomata: Etiologi, symptomatology, and management

    Fertil Steril 1981;36 :433-445

    2. Coronado GD, Marshall LM, Schwartz SM. Complications in pregnancy, labor, and delivery with

    uterine leiomyomas: a population based study. Obstet Gynecol. 2000;95;764-769

    3. Thomas EJ. The aetiology and pathogenesis of fibroid. In: Shaw RW.eds. Advances in

    reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey. The Phartenon Publishing

    Group. 1992; 1-8

    4. Baziad A. Pengobatan medikamentosa mioma uteri dengan analog GnRH. Dalam: Endokrinologi

    ginekologi edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2003; 151-156

    5. Lepine L, Hillis S, Marchbanks P, et al. Hysterectomy surveilances United States 1980-1993.

    MMWR Mortal Morbid Wkly Rep. CDC Surveill Summ. 1997; 46: 1-15

    6. Joedosaputro MS. Tumor jinak alat genital. Dalam Sarwonoprawiraharjo, edisi kedua ilmu

    kandungan Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: 1994; 338-345

    7. Friedman AJ, Rein MS, Murugan R, Pandian, Barbieri RL. Fasting serum growth hormone and

    Insulin like growth factor-I and II concentration in women with leiomyomata uteri treated with

    leuprolide acetate or plaacebo. Fertility and sterility, 1990; 53:250-253

    8. nillbert M, Heim S uterine leiomyoma cytogenetics. Genes Chromosomes Cancer, 1990;2:3-13

    9. Rein MS, Friedman AJ Barbieri RL, et al. Cytogenetics Abnormalities in Uterine Leiomyomata.

    Obstet Gynecol, 1992; 80: 209-217

    10. Meloni AM, Surti U, Contento AM, et al. Uterine leiomyoma: cytogenetic abnormalities in uterine

    myomas are associated with myoma size. MolHum Reprod, 1998; 4:83-86

    11. Pandis N, Heim S, Bardi G, et al. Chromosome analysis of 96 uterine leiomyomas. Cancer Genet

    Cytogene, 1991; 55: 11-18

    12. Rein MS, Friedman AJ, Barbieri RL, et al. Cytogenetic and histologic profile. Obstet Gynecol,

    1991; 55: 11-18

    13. Brosens I, Deprest J, Dal Cin P, et al. Clinical significance of cytogenetic abnormalities in uterine

    myomas. Fertil Steril, 1998; 69: 232-235

    14. Crow J. Uterine Fibroid: Histological features. In : Shaw RW, eds. Advances in reproductive

    endocrinology uterine fibroid. England- New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 21-

    33

    15. Schweppe KW. GnRH analogues in treatment uterine fibroid: results of clinical studies. In: Shaw

    RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The

    Parthenon Publishing Group, 1992:103-105

    16. Sivecney G. Mc, Shaw RW. Attempts at medical treatment of uterine fibroid. In: Shaw RW, eds.

    Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids. England-New Jersey: The Parthenon

    Publishing Group, 1992: 95-101

  • 23

    17. Friedman AJ, Harrison D, Atlas CNM, Barbieri RL, Benacerraf B, Gleason R, Schiff I. A

    randomized, placebo controlled, double blind study evaluating the efficacy of leuprolide acetate

    depot in the treatment of uterine leiomyomata. Fertility and Sterility, 1989; 51:251-256

    18. Lumsden MA. The role of Oestrogen and growth factors in the control of the growth of uterine

    leiomyomata. In: Shaw RW, eds. Advances in reproductive endocrinology uterine fibroids.

    England-New Jersey: The Parthenon Publishing Group, 1992: 9-20

    19. Rein MS, Friedman, Stuart JM, David T, Laughlon M. Fibroid and myometrial steroid receptors in

    Women treated with gonadotropin-releasing hormone agonist leuprolide acetate. Fertility and

    Sterility, 1990; 53: 1018-1021

    20. Gross K, Morton C, Genetic and development of fibroid. Clin Obstet and Gynecology 2001; 44:

    335-349