103
BUKU PROSIDING

BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BUKU PROSIDING

Page 2: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum

dalam Praktik Sehari-Hari

Simposium

Peningkatan Ketrampilan Klinis THT-KL untuk Dokter Umum

Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan

serta Ketrampilan kepada Dokter Umum

Gd. Pangkal Pejuang, RSUD Karawang, 7 Oktober 2018

Diterbitkan oleh :

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran

Jl. Eijkman No. 38 Bandung 40161

Telp. 022 – 2037823

http://www.fk.unpad.ac.id

e-mail :

Page 3: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Balik Halaman Judul

PROSIDING

Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum dalam Praktik Sehari-Hari

Simposium Peningkatan Ketrampilan Klinis THT-KL untuk Dokter Umum

Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan serta Ketrampilan

kepada Dokter Umum

Karawang, 7 Oktober 2018

Steering Committee : 1 Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS

2. M. Bima Mandraguna, dr., Sp.THT-KL., FICS 3. Aditya Arifianto, dr., Sp.THT-KL., FICS 4. Erlina Julianti, dr., Sp.THT-KL., M.Kes 5. Yuswandi Affandi, dr., Sp.THT-KL Pelindung : Ketua Perhati-KL Cabang Jawa Barat Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS Penasehat : 1. Prof. Dr. Thaufiq S Boesoirie, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Sc 2. Prof. Dr. Iwin Sumarman, dr., Sp.THT-KL(K)., KAI.KRN 3. Prof. Dr. Teti Madiadipoera, dr., Sp.THT-KL(K)., F.AAAAI Reviewer : 1. Dr. Ratna Anggraeni Agustian, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes 2. Dr. Lina Lasminingrum, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes Editor : Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS Ketua : M. Bima Mandraguna, dr., Sp.THT-KL., FICS Wakil Ketua : Arif Dermawan, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes Sekretaris: : Erlina Julianti, dr., Sp.THT-KL., M.Kes Bendahara : Tantri Kurniawati, dr., Sp.THT-KL., M.Kes

Diterbitkan oleh :

Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Jl. Eijkman No. 38 Bandung 40161 Telp. 022 – 2037823

http://www.fk.unpad.ac.id

e-mail : Copyright © 2018 ISBN : 978-602-0877-50-1 Hak cipta dilindungi oleh undang – undang.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 4: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga buku

Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum dalam Praktik Sehari-Hari ini dapat

diselesaikan. Buku panduan ini merupakan kumpulan seminar yang dilaksanakan pada bulan

Oktober 2018 lalu. Sehingga dapat menjadi pedoman bagi dokter umum dalam mendiagnosis

serta menangani pasien dengan kasus THT-KL dalam praktek sehari-hari.

Terimakasih juga disampaikan kepada SMF THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Bandung, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan Kodi PERHATI-KL Cabang

Jawa Barat atas kontribusi dalam penyempurnaan buku ini. Terimakasih kepada seluruh pihak

yang telah berkontribusi dalam editing dan telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini sehingga untuk itu kritik dan

saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi

maanfaat bagi seluruh dokter umum dan Spesialis THT-KL khususnya dan bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Bandung, Oktober 2018

Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)., FICS

Page 5: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR ISI

Epistaksis 1

Desno Marbun, dr., Sp.T.H.T.K.L .....................................................................

Rinosinusitis 12

M. Ivan Djajalaga, dr., M.Kes., Sp T.H.T.K.L .........................................................

Gangguan Pendengaran 21

Bekti Darmastuti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L .........................................................

Deteksi Dini Keganasan Laring 30

Infeksi Telinga Richard F Nanlohy, dr., Sp.T.H.T.K.L ............................................

Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) 40 Erlina Julianti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L ..............................................................

Fraktur Maksilofasial 53

M. Bima Mandraguna, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS ....................................................

Deteksi Dini Keganasan Kepala dan Leher 61

Aditya Arifianto, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS .............................................................

Kegawatdaruratan di bidang THT-KL 70

Ichsan Juliansyah Juanda, dr., Sp.T.H.T.K.L ...........................................................

Kompetensi di Bidang THT-KL untuk Dokter Umum 92

R. Ayu Hardianti Saputri, dr., Sp.T.H.T.K.L ...........................................................

Page 6: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

EPISTAKSIS

Desno Marbun, dr., Sp.T.H.T.K.L

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Keadaan bagian dalam dari rongga hidung menyediakan keadaan yang baik untuk perubahan aliran

udara laminar. Selama proses inspirasi, akan terjadi proses penyaringan humidifikasi udara oleh epitel

kolumnar pseudostratified bersilia. Daerah mukosa hidung, terutama sepanjang daerah konka media

dan inferior banyak mengandung pembuluh darah pada daerah lamina propia. Arteriola pada daerah

konka yang masuk dan melewati tulang konka akan dikelilingi oleh pleksus venosus yang

dikendalikan oleh saraf parasimpatis. Jika terdapat dilatasi pada arteri akan menyebabkan terjadinya

sumbatan pada pleksus venosus sehingga akan menyebabkan terjadinya sumbatan (kongesti) pada

daerah hidung. Kartilago septum tidak mengandung pembuluh darah intrinsik dan dilindungi oleh lapisan

mukoperikondrium. Kelenjar mukus dan serous banyak terdapat didaerah hidung, terutama daerah konka. Keadaan dalam

hidung sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan di luar lingkungan. Sekresi cairan dari kelenjar

tersebut dibutuhkan untuk melindungi mukosa dan aktivitas ciliar. Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindung mudah

ruptur dan menyebabkan perdarahan. Terutama pembuluh darah septum, kurang ditunjang atau

dilindungi terhadap rangsangan luar, hanya terlindung oleh mukosa yang tipis. Sekali terluka,

pembuluh darah tidak dapat melakukan retraksi ke dalam submukosa yang tipis. Karenanya luka

ringan atau erosi saja sudah dapat menyebabkan perdarahan hidung yang hebat.

2. Rumusan Masalah Bagaimana cara penatalaksanaan pasien dengan kasus perdarahan hidung atau epistaksis?

3. Tujuan Untuk mengetahui dan memahami berbagai macam kasus epistaksis dan bagaimana

penatalaksanaannya.

1

Page 7: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BAB II

PEMBAHASAN

Fisiologi Pembuluh Darah Hidung Pengaturan sirkulasi darah hidung bergantung pada keberadaan anastomosis arteroarterial antara

berbagai pembuluh darah yang mensuplai hidung. Cabang-cabang dari A. Ethmoidalis Anterior dan

Posterior bertemu pada daerah 1/3 atas hidung dan cabang-cabang A. Sphenopalatina beranastomosis

dengan cabang-cabang A. Ethmoidalis di atas konka media. Ada dugaan bahwa anastomosis ini dapat

melewati garis tengah, berada pada perbatasan dengan nasofaring atau antara kedua A. Ethmoidalis

Anterior yaitu di daerah krista gali. Berbagai variasi letak anastomosis ini menerangkan mengapa

pada beberapa kasus, terjadi kegagalan ligasi.

Patologi perdarahan hidung Shaheen, 1967 meneliti kelainan arteri hidung pada kadaver yang semasa hidupnya sering mengalami

epistaksis. Terlihat terjadi perubahan yang progresif, dimana lapisan otot dari pembuluh darah

digantikan oleh jaringan kolagen. Perubahan ini bervariasi, mulai dari terjadinya fibrosis interstisial

sampai terjadinya jaringan parut yang menggantikan seluruh lapisan otot. Tetapi tidak bisa dikatakan

bahwa perubahan ini yang mendasari pecahnya arteri. Bila ditinjau dari segi lamanya perdarahan yang

terjadi, perubahan ini dapat diperhitungkan karena arteri gagal berkontraksi akibat kekurangan

jaringan otot di tunika media. Hal tersebut di atas juga memperlihatkan bahwa ukuran pembuluh darah yang lebih besar dari A.

Maksilaris cenderung mengalami kalsifikasi (Monckeberg's sclerosis). Kurangnya elastisitas

pembuluh darah menyokong patogenesis pecahnya pembuluh darah kecil dengan timbulnya hipertensi

sistolik lokal. Diduga, mekanisme epistaksis yang sebenarnya adalah terputusnya aneurisma dari A.

Nasopalatina atau salah satu cabangnya, tetapi faktor penyebab belum bisa dipastikan. Yang juga masih menjadi misteri adalah mengapa pada usia muda sering terjadi perdarahan yang

berasal dari vena retro-kolumela. Pada pengamatan segera setelah terjadi perdarahan vena, didapatkan

adanya area yang membengkak pada vena, kemungkinan area ini adalah area yang lemah pada

dinding vena, yang terjadi karena iskemi lokal atau trauma. Pada anak dan dewasa muda, epistaksis terutama timbul dari bagian anterior septum yang disebut

daerah Little atau Pleksus Kiesselbach. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi

dan trauma kecil multipel. Terjadi ulkus, ruptur, atau kondisi patologik lokal lainnya, selanjutnya

timbul perdarahan. Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari bagian posterior

hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah

yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien menderita hipertensi.

2

Page 8: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Etiologi

Pengetahuan tentang anatomi hidung khususnya tentang vaskularisasi pembuluh darah hidung sangat

penting untuk mengetahui lokasi dan pengendalian perdarahan aktif. Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau sekunder, spontan atau akibat

rangsangan, dan berlokasi di sebelah anterior atau posterior. Berdasarkan penelitian, 90-95 %

epistaksis berasal dari daerah anterior. Sebagian besar dari kasus ini disebabkan sekunder terhadap

manipulasi, suhu relatif dingin dengan kelembaban rendah dan penggunaan dekongestan nasal spray

jangka lama. Episode epistaksis minor tunggal dengan riwayat dan pemeriksaan fisik normal tidak memerlukan

suatu evaluasi yang ekstensif. Sebaliknya, episode epistaksis berat dan berulang memerlukan

pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebabnya. Karena epistaksis dapat merupakan

manifestasi dari kelainan lokal yang lebih serius atau penyakit sistemik. Sangat berguna untuk

membagi penyebab epistaksis ke dalam 2 kategori: LOKAL; 1. ldiopathic

Trauma: Self-inflicted, maxillo-facial fractures, iatrogenic surgery, kondisi hidung kering, septum

deviasi dan perforasi, benda asing, inflamasi, alergi. 2. Infeksi. 3. Tumor: angiofibroma, Ca nasofaring. 4. Nasal spray, Alkohol, bahan kimia, obat. SISTEMIK; 1. Atherosclerosis 2. Diskrasia darah 3. Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT)

FAKTOR LOKAL: Trauma adalah penyebab paling umum dari epistaksis lokal. Anak-anak atau

orang dewasa dengan kebiasaan mengorek hidung mempunyai insidensi yang tinggi terjadinya

epistaksis hidung anterior. Trauma yang berkelanjutan merusak perikondrium, sehingga terjadi perforasi septum. Perforasi

septum menghasilkan aliran udara turbulen, timbul kekeringan dan pembentukan krusta dan

perdarahan halus. Trauma tulang nasal dapat berupa fraktur nasal simpel dan terisolasi atau fraktur midface dan basis

kranial yang berat dan mengancam jiwa dengan perdarahan arteri yang hebat. Trauma yang terisolasi dari struktur yang berhubungan seperti sinus, orbita, dan telinga tengah dapat

bermanifestasi sebagai perdarahan hidung. Epistaksis masif pada pasien dengan trias gejala klasik : kebutaan monokuler, fraktur orbita ipsilateral

dan delayed epistaksis dengan riwayat trauma kepala sebelumnya harus diwaspadai kemungkinan

3

Page 9: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

pseudoaneurisma arteri karotis interna.

Penderita dengan distorsi rangka hidung yang nyata memerlukan reduksi tertutup dari fraktur sebelum

epistaksis dapat dikontrol. Septoplasty dan bedah sinus endoskopi dapat menyebabkan epistaksis sebagai komplikasi post

operasi. Benda asing intranasal biasanya pada anak-anak atau penderita retardasi mental. Gejala nasal

unilateral persisten yaitu perdarahan, rhinorrhea, atau sekret nasal yang berbau merupakan dugaan

kuat adanya benda asing atau tumor. Benda asing menyebabkan laserasi mukosa langsung, infeksi

sekunder dan terjadinya respon inflamasi dengan pembentukan jaringan granulasi. Reaksi inflamasi lokal sehubungan iritan lingkungan seperti asap rokok dapat mengganggu lapisan

pelindung mukosa normal dan mukosa dibawahnya, menyebabkan kekeringan, timbul krusta,

eksposur dan perdarahan. Penggunaan spray nasal dekongestan dan steroid menimbulkan kekeringan

dan perdarahan. Penyebab trauma lain pada masyarakat masa kini adalah penyalahgunaan kokain dengan dihisap

melalui hidung. Mukosa hidung mengalami iritasi kronis dan sering terinfeksi, menyebabkan

perforasi septum, pembentukan krusta dan epistaksis. Neoplasma jinak atau ganas menyebabkan epistaksis tak langsung dari erosi struktur normal sinonasal

atau epistaksis langsung sebagai masa tumor yang sangat vaskuler seperti juvenile angiofibroma atau

hemangioma. Tumor, baik yang jinak maupun yang ganas akan menghasilkan suatu cairan mukus.

Juvenile angiofibroma adalah neoplasma vaskuler jinak pada laki-laki dewasa muda yang berasal dari

nasofaring atau sinus paranasal, dapat menyebabkan epistaksis masif secara spontan atau sebagai

respon dari trauma atau biopsi. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak

diketahui, dokter harus menyingkirkan kemungkinan suatu tumor nasofaring atau sinus paranasal

yang mengikis pembuluh darah.

FAKTOR SISTEMIK: Faktor sistemik meliputi terjadinya kelainan pembekuan darah, abnormalitas

dari dinding kapiler pembuluh darah, dan terjadinya defisiensi platelet. Epistaksis yang disebabkan

faktor sistemik atau konstitusional lebih jarang daripada faktor lokal. Gangguan nutrisi atau defisiensi dapat menyebabkan epistaksis. Seorang pecandu alkohol dengan

asupan makan yang buruk dapat menyebabkan kekurangan vitamin (khususnya vitamin C dan K) dan

menurunkan sintesis semua faktor pembekuan, kecuali Von Willebrand Faktor. Berbagai obat-obatan mempengaruhi mekanisme pembekuan normal, termasuk asam asetilsalisilat,

antikoagulan (heparin, dicumarol), kloramphenikol, penicillin dan derivatnya. Rinitis atrofi yang dikenal dengan ozaena disebabkan infeksi kronis bakteri Klebsiella ozaenae, dengan

karakteristik krusta nasal dengan mukosa nasal atrofi, fibrotik dan terdapat jaringan parut. Infeksi terutama

penyakit infeksi akut seperti influenza, campak, tipus, dapat menyebabkan epistaksis,

4

Page 10: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

biasanya bersifat ringan, tidak lama, khususnya pada anak-anak dan dewasa muda. Penyakit vaskuler dan sirkulasi seperti arteriosklerosis dan hipertensi menyebabkan epistaksis arterial,

sering pulsatil dan menyembur. Pada keadaan ini terjadi perubahan dinding pembuluh darah

sehubungan dengan usia, khususnya fibrosis tunika media otot arteri. Cenderung mengenai usia

pertengahan dan usia lanjut. KELAINAN HEMOSTASIS DAN PEMBEKUAN: Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian

kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan

trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan

regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, hemostasis dan pembekuan melindungi individu dari

perdarahan masif sekunder akibat trauma. Pada saat cedera, ada 3 proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan pembekuan:

1. Vasokonstriksi sementara

2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan

agregasi trombosit

3. Pengaktifan faktor- faktor pembekuan Gangguan perdarahan herediter yang paling sering dijumpai adalah hemofilia, suatu penyakit X-

linked resesif. Semua anak perempuan dari pria penderita hemofilia menjadi karier. Anak lelaki dari

wanita karier hemofilia mempunyai kemungkinan 50% menjadi penderita. Dapat ditemukan wanita

homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia,ibu karier), tetapi sangat jarang. Defisiensi faktor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan faktor pembentukan

seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K. Karena hati merupakan tempat utama sintesis faktor II, V, VII, IX, dan X, maka kerusakan hati yang

berat (sirosis) akan merubah respon hemostasis. Adanya gangguan pada trombosit yaitu trombositopenia dan juga trombastenia dapat menyebabkan

terjadinya epistaksis. Akut ITP biasanya terjadi pada anak-anak yang terjadi setelah infeksi virus pada saluran pernafasan.

Biasanya akan sembuh spontan dalam 4-6.minggu pada 60% pasien, dan lebih dari 90% pasien akan

sembuh pada 3-6 bulan. Anemia aplastik terjadi karena adanya kerusakan pada seluruh populasi stem cell di sumsum tulang.

Leukemia adalah neoplasma dari sel-sel hematopoietik. Leukemia diklasifikasikan berdasarkan asal

sel menjadi jenis myeloid dan limfoid. Selain itu leukemia juga diklasifikasikan menurut waktu

menjadi akut dan kronik. Pada saat ini leukemia juga diklasifikasikan menurut sifat biologis,

antigenik, dan karakteristik molecular.

Penatalaksanaan Pasien yang mengalami epistaksis ringan, pada saat penanganan, terutama pada pasien anak-anak,

dalam posisi duduk tegak. Ada beberapa tindakan ringan yang dapat mengurangi terjadinya

5

Page 11: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

perdarahan pada epistaksis ringan, diantaranya: a) Melakukan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung tepat di atas kartilago ala nasi. b) Kantung es atau dingin, sebagai kompres, sehingga dapat menyebabkan terjadinya reflek

vasokonstriksi. Penentuan sumber epistaksis: Epistaksis anterior terjadi primer di regio Little's area dan sering berasal

dari pembuluh vena. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior, diikuti sesuai

frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-nasofaringeal Woodruff;

sering berasal dari pembuluh arteri. Kemudian lokasi perdarahan diidentifikasi dengan hati-hati sehingga ditempatkan suatu nasal pack

(tampon). Pasien harus dalam posisi duduk. Identifikasi dari kebanyakan epistaksis anterior dapat dilengkapi

dengan iluminasi, lampu kepala atau kaca, spekulum hidung, forcep bayonet, suction Frazier untuk

hidung dan suction Yankauer untuk bekuan darah kavum oris. Bila sebelumnya telah dipasang tampon atau balon tetapi tidak berhasil mengontrol perdarahan,

mungkin mukosa telah mengalami ekskoriasi dan penentuan asal perdarahan akan lebih sulit.

Identifikasi sumber perdarahan dilakukan setelah pemberian agen vasokonstriktif topikal secara spray,

drop atau pada kapas (oxymetazoline hydrochloride 0,05%, phenylephrine hydrochloride 0,25%.

Pemberian agen ini mungkin akan menghentikan perdarahan sebelum identifikasi. Bila dengan tindakan di atas lokasi perdarahan masih tersembunyi, dilakukan injeksi submukosa

(lidokain 1% plus epinefrin 1:100.000) di daerah yang diduga merupakan sumber perdarahan sering

akan memperlambat atau menghentikan perdarahan untuk memudahkan visualisasi. Bila perdarahan terjadi di bagian yang lebih posterior, endoskopi dengan sudut 30° akan menolong

atau suatu otoskop standar dengan spekulum telinga ukuran terbesar memberikan magnifikasi dan

iluminasi yang tidak dimungkinkan dengan suatu lampu kepala. Bila tidak teridentifikasi sumber perdarahan, dilakukan usaha untuk menentukan pembuluh darah

yang terlibat. Ini dilakukan dengan menemukan pembuluh darah yang paling menonjol atau robek,

kemudian menghapusnya dengan aplikator kapas untuk menginduksi perdarahan ulang. Tampon hidung menyebabkan edema mukosa hidung, menurunkan transport mukus normal dan dapat

menyebabkan sinusitis. Pemberian antibiotik profilaksis menolong bila dipasang tampon hidung.

Tampon hidung anterior Tampon hidung anterior dilakukan jika terdapat perdarahan yang aktif, yang tidak berhenti

perdarahanya dengan penekanan, pemberian kompres dingin ataupun pemberian obat-obatan

vasokonstriktor. Tampon hidung anterior dapat merupakan 'traditional ribbon gauze pack atau balon intranasal yang

ditempatkan pada perdarahan yang dapat atau tidak dapat teridentifikasi. Sebagai alternatif, dapat

dipasang 'mini pack yang ditempatkan langsung pada sumber perdarahan, sehingga menurunkan

ketidaknyamanan pasien.

6

Page 12: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Perdarahan nasal anterior umumnya mudah ditentukan dan ditangani, tetapi bila terdapat septum

deviasi berat dan lokasi perdarahan tidak dapat diidentifikasi, dapat ditempatkan tampon hidung

tradisional untuk hemostasis. Sebelum dilakukan pemasangan tampon anterior hidung, sebaiknya kita melakukan pemasangan

tampon dari kassa yang diberi zat vasokonstriktor. Pemasangan ini dilakukan selama 3-5 menit. Jika

setelahnya masih didapatkan sumber perdarahan aktif maka dapat dilaniutkan dengan pemasangan

tampon hidung anterior. Perlu diperhatikan bahwa jangan sampai terlalu menekan daerah kolumella

sehingga dapat mengakibatkan terjadinya trauma pada kolumella. Tampon hidung anterior tradisional dari gauze (kasa) steril oli bervaselin (0.5 x 72 inch) dilapisi salep

anti bakteri ditempatkan secara halus lapis demi lapis ke arah khoana dimulai dari inferior sejajar

lantai sampai menampon bagian superior. Hati-hati pada saat mendorong kassa oli di bawah konkha

inferior. Penempatan kassa oli bagian posterior tidak sampai menggantung atau turun ke arah

nasofaring. Pemberian anestesi lokal sebelum pemasangan tampon akan mengurangi

ketidaknyamanan, menurunkan resiko apnea, bradikardi dan hipotensi dengan menghambat refleks

naso-vaqal. Beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat pemasangan tampon anterior, adalah: 1) Observasi, terutama terhadap PO2 dan PCO2. 2) Humidifikasi oksigen dan bila perlu pemberian obat sedasi. 3) Jika pemasangan tampon tersebut sampai 2 hari, maka sebaiknya dilakukan pemberian antibiotika

spectrum luas. 4) Pemasangan infus dan cross-match darah.

TAMPON HIDUNG POSTERIOR

Tampon hidung posterior diindikasikan untuk pasien yang gagal dengan tampon hidung anterior atau

pada evaluasi perdarahan diketahui dari bagian posterior. Beberapa keadaan yang patut dicurigai

untuk dilakukan pemasangan tampon posterior adalah : 1) Sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring 2) Suatu tampon anterior yang gagal untuk mengontrol perdarahan. 3) Dari hasil pemeriksaan hidung, didapatkan

sumber

perdarahan

pada

daerah posterior.

Suatu spons atau kassa padat berukuran 4x4 inci yang berbentuk bulat atau kubus yang digulung erat

dan diikat benang sutera NO 1 merupakan tampon yang baik. Pada tampon ini terdapat 3 buah

benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang pada sisi lainya. Pemasangan tampon hidung posterior memerlukan instruksi khusus kepada pasien sebelum tindakan

karena ketidaknyamanan dan manipulasi jalan nafas. Dianjurkan sedasi ringan intravena bila tidak

ada kontraindikasi.

7

Page 13: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Tehnik pemasangan tampon posterior: A. Pasien dipersiapkan dalam posisi duduk atau setengah duduk. B. Suatu kateter karet diarahkan ke posterior hidung kiri dan kanan dan setelah tampak dalam

orofaring, kateter tersebut ditarik melalui rongga mulut. C. Dua dari tiga tali yang terdapat pada tampon posterior diikatkan pada kateter yang selanjutnya

ditarik kembali melalui hidung, sehingga tampon ikut tertarik dan tertambat pada posisi

postnasal. D. Kedua ujung benang tampon yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan

dengan bantuan ujung jari telunjuk, tampon didorong kearah nasofaring dan ditempatkan pada

daerah post nasal. E. Jika perdarahan masih tampak dari rongga hidung, maka dilakukan pemasangan tampon anterior

ke dalam kavum nasi. F. Kedua benang yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kassa

di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang

terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon belloqc, dilikatkan pada pipi pasien.

Guna dari benang tersebut adalah untuk menarik tampon posterior melalui mulut setelah 3-5 hari.

Tampon yang ideal ditempatkan dengan halus di kavum nasi posterior berlawanan dengan septum dan

lantai hidung. Tampon tidak boleh mengisi nasofaring atau menekan palatum molle karena dapat

meningkatkan ketidaknyamanan, menyumbat jalan nafas hidung kontralateral dan meningkatkan

resiko hipoventilasi. Untuk distribusi tekanan optimum dibagian posterior nasal, Fairbanks merekomendasikan tampon

yang digulung berbentuk kerucut dengan orientasi ke arah posterior dan di luar nasofaring. Tampon posterior pada umumnya dikombinasi dengan tampon anterior untuk stabilisasi. Bila pasien

dengan tampon hidung anterior yang terpasang baik tetapi masih timbul perdarahan di sekelilingnya,

direkomendasikan teknik blok foramen palatina major yang memberikan efek anestesi dan

tamponade, diikuti dengan tampon posterior. Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus dirawat. Hal-hal berikut perlu

dipertimbangkan saat pasien masuk rumah sakit. 1. Pemantauan tanda-tanda vital, termasuk tekanan darah, nadi dan pernafasan. 2. Penggunaan oksigen bila perlu karena komplikasi akibat kehilangan darah akut dan penurunan

p02 arteri sehubungan dengan pemasangan tampon. Pulse Oxymetri dianjurkan untuk memeriksa

saturasi oksigen. 3. Elektrokardiogram (pada pasien dengan penyakit jantung). 4. Pemantauan analisa gas darah arteri . 5. Hemoglobin dan hematokrit sedikitnya setiap 12 jam 6. Pemeriksaan kelainan perdarahan

8

Page 14: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

7. Pemberian cairan intravena, karena adanya disfagia yang menyebabkan asupan oral yang buruk. 8. Obat antinyeri 9. Pemeriksaan faring untuk mencari perdarahan aktif 10. Kepala ditinggikan 45 derajat 11. Antibiotik spektrum luas profilaksis karena terputusnya pola drainase hidung dan sinus 12. Penentuan jenis dan ketidakcocokan {cross-match) darah bila kehilangan darah cukup bermakna

Tampon posterior dibiarkan pada posisinya selama 3-5 hari. Untuk mengangkat tampon, lidah ditekan

dengan spatel sementara benang atau tampon pada bagian posterior faring dijepit dengan klem

lengkung dan diangkat.

PENCEGAHAN EPISTAKSIS

Edukasi pasien dapat mencegah banyak episode epistaksis Humidifikasi pada iklim kering, mencegah manipulasi digital, menghindari iritan udara, asap dan

kontrol alergi. Salep petrolatum atau antibiotik mencegah keringnya mukosa intranasal. Penggunaan nasal spray (nasal steroid) harus ditappering-off untuk mempertahankan efek

terapeutik maksimal tetapi menurunkan resiko kekeringan mukosa nasal dan epistaksis.

9

Page 15: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN Kunci pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh darah yang mengalami

perdarahan. Pasien epistaksis yang pada tahap awal perdarahan membutuhkan suatu penanganan yang tepat,

sehingga epistaksis tidak dapat menjadi kelainan yang lebih berat. Pasien dengan perdarahan berat

yang tidak terkontrol dan tidak memberikan respon adekuat dengan penanganan awal harus dirujuk ke

seorang ahli THT. Derajat, lokasi dan etiologi epistaksis, dan juga status klinis pasien harus ditentukan untuk kecepatan

dan ketetapan penanganan awal.

10

Page 16: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Yang DZ, Cheng JN. Management of intactable epistaxis and bleeding points

localization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40(5):360-2.12.

2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.

Edisi VI.Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224-37. 13.

3. Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3rd.

4. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxis: Identification of common bleeding

sites. Laryngoscope, 2005. Vol.115 (4): 588-90. 7.

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.

Second Edition. New York, Thieme Medical Publisher, Inc, 1994: 170-80 dan 253-60. 6.

11

Page 17: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

RHINOSINUSITIS M. Ivan Djajalaga, dr., M.Kes., Sp T.H.T.K.L

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala berupa hidung

tersumbat, nyeri pada wajah dan pilek kental. Penyakit ini cukup sering diketemukan yaitu sekitar 20

% dari penderita yang ke dokter. Di Amerika tahun 1995, sinusitis merupakan salah satu dari 10

penyakit terbanyak yang datang ke praktek dokter dengan estimasi 25 juta kunjungan. Sayangnya,

cukup banyak kasus sinusitis yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif sehingga harus

ditangani dengan cara operasi. Sampai sekarang sinusitis masih merupakan masalah kesehatan utama,

baik di negara berkembang maupun negara maju. Pada tahun 1996, American Academy of

Otolaryngology - Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan

rhinosinusitis. Istilah rhinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses penyakit

dengan lebih akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari perubahan sinusitis menjadi rhinosinusitis

adalah mukosa hidung dan sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain dan sebagian besar

penderita sinusitis juga menderita rhinitis dengan gejala seperti pilek, hidung tersumbat dan

berkurangnya penciuman ditemukan. Hal ini mendukung konsep "one airway disease", yaitu penyakit

di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. Inflamasi mukosa

hidung akan di ikuti inflamasi mukosa sinus paranasal dengan atau tanpa disertai terbentuknya cairan

sinus. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan

rhinosinusitis. Meskipun rhinosinusitis kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus dan sebagian besar

sembuh tanpa terapi antibiotika, penyakit ini dilaporkan sebagai salah satu dari lima penyakit

terbanyak yangmenggunakan antibiotika. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan mengenai etiologi

dan patofisiologi penyakit ini agar pengobatan lebih efektif.

ANATOMI

Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengeliling rongga hidung. Ada empat pasang sinus

paranasal yaitu sinus ethmoid, sinus maksila, sinus frontal dan sinus sphenoid. Sinus paranasal

dilapisi epitel silindris berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat tunika

propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet

secara konstan memproduksi mukus. Pada sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim yang mampu

membunuh mikroorganisma. Palut lendir yang berada di permukaan epitel bersilia berfungsi untuk

melembabkan dan menghangatkan udara yang dihirup serta untuk membersihkan polutan dan

berbagai material yang merugikan. Mukus selanjutnya oleh pergerakan silia akan di dorong dengan

gerakan ritmis menuju ostia dengan kecepatan 700 gerakan setiap menit. Gerak silia ini diatur secara genetik sehingga tetap menuju ostium alamiah. Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan

hasil proses metabolisme dapat dialirkan keluar sinus. Oleh gerakan silia, mukus yang ada di setiap

sinus akan dialirkan seluruhnya keluar melalui ostium dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang berasal

dari sinus frontal, maksila dan ethmoidalis anterior selanjutnya akan nenuju kompleks ostiomeatal di

meatus media. Sedangkan mukus dari sinus ethmoidalis posterior dan sphenoid akan mengalir menuju

meatus superior melalui resesus sphenoethmoidalis. Selanjutnya mukus menuju nasofaring dengan

mengelilingi tuba eustachius.

Sinus Ethmoid

Sinus ethmoid terdiri dari 3 - 16 sel dengan volume total sekitar 3 ml. Dipisahkan dari orbita oleh selapis tulang tipis yang disebut lamina papirasea. Lamina basalis konka media membagi sinus ethmoid menjadi kompleks ethmoidalis anterior dan posterior. Kompleks ethmoidalis

12

Page 18: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

anterior mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior menuju lamela basalis. Kompleks

etmoidalis posterior mengalirkan sekret kearah posterior menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke dasar tengkor, dan dinding medial orbita. Kompleks osteomeatal (KOM) adalah unit drainase fungsional yang terdiri atas bula ethmoidalis, prosesus uncinatus, infundibulum ethmoidalis, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila. KOM berperan sangat penting dalam mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret yang berasal dari sinus frontal, etmoid anterior dan maksila akan mengalir melalui daerah ini.

Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dengan bentuk seperti piramid terbalik, volume

pada dewasa antara 15-30 ml. Ostium alami dari sinus maksilaris berdiameter 1- 3 mm (rerata 2,5

mm). Lokasi ostium di meatus media, letaknya paling rendah dibandingkan ostium sinus paranasal

lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan mengalir ke bagian inferior

infundibulum, kemudian keluar melalui hiatus semilunaris menuju meatus mediua.

Sinus Frontalis

Sinus frontalis mempunyai variabilitas dalam perkembangan jumlah dan ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus mediua membentuk penonjolan yang disebut resesus frontalis. Sinus frontalis

terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding posterior dan inferior berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita.

Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium

nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus media.

Sinus Sphenoid

Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding lateral berbatasan dengan

beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus, arteri karotis, syaraf kranial I, III, IV, V dan VI.

Sekret yang berasal dari sinus sphenoid mengalir melalui ostium ke resesus sfenoetmoidalis.

ETIOLOGI

Penyebab utama dari rhinosinusitis adalah obstruksi ostium. Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi saluran napas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi

dan defisiensi imun. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan hirupan dapat menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Infeks i akut saluran napas atas yang disebabkan virus merupakan fakto r penyebab terbanyak da ri rhi nos inus itis . Rhinovirus dapat masuk ke dalam sel karena berikatan dengan intercellula r adhes ion molecule-1 (ICAM-1) yang terdapat di pe rmukan sel yang ber fungs i sebagai reseptor

virus. Udem mukosa hidung dan sinus yang berakibat penyempitan ostium sinus diketemukan pada 80% pasien. Adanya cairan di sinus dapat di ikuti pertumbuhan bakteri sekunder.

Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti kurvatur paradoksikal dari konka media, bula etmoidalis yang mengadakan kontak di bagian medial, deformitas prosesus unsinatus, konka bulosa dan septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik.

Gangguan klirens mukosilier sering ditemukan pada fibrosis kistik dan sindrom diskinesi. Pasien

dengan defisiensi imun misalnya defisiensi produksi antibodi terhadap bakteria atau penderita dengan imunosupresi cenderung mengalami infeksi sinus. Kelainan yang tersering adalah defisiensi IgA selektif dan kelainan pada produksi IgG, termasul hypogammaglobulinemia . Pasien yang terinfeksi HIV juga mengalami peningkatan insiden sinusitis.

13

Page 19: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Beberapa faktor yang lain seperti alergi dan berbagai bahan iritan lingkungan sering menyebabkan penyakit berkembang menjadi kronik atau berulang. Faktor penting lainnya adalah interaksi imun dan mikroba. Rhinosinusitis juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan obat-obatan seperti obat antihipertensi. Rhinosinusitis kronik juga dapat disebabkan oleh karena adanya kelainan struktur hidung. Beberapa faktor lainnya yang mempunyai kontribusi pada patogenesis dan kronisitas sinusitis adalah gangguan silia, ostium asesoris, patogenitas mikroba.

Harus difahami bahwa etiologi rhinosinusitis ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Alergi atau polutan lingkungan dapat memperburuk rinosinusitis virus atau bakteri, baik akut, kronik atau rekuren, demikian pula sebaliknya.

PATOFISIOLOGI

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya

rhinosinusitis. Patofisiologi rhinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan

inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Secara skematik patofisiologi

rhinosinusitis diawali dengan terjadinya inflamasi mukosa hidung sehingga mukosa mengalami

pembengkakan, keadaan ini mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga fungsi ventilasi dan

drainase sinus menjadi terganggu. Selanjutnya terjadi resorpsi oksigen yang terdapat dalam rongga

sinus sehingga kadar oksigen akan menurun yang selanjutnya akan diikuti dengan penurunan tekanan

dalam rongga sinus. Keadaan ini memicu terjadinya peningkatan eksudasi cairan yang berakibat

menurunnya fungsi silia. Peningkatan jumlah cairan dalam sinus mengakibatkan terjadinya

pertumbuhan kuman.

Sebagian besar kasus rhinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat infeksi virus. Infeksi virus

yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan

yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A dan

respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada

kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat. Udem

mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terhambat.

Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara

spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi

maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Bakteri

yang paling sering dijumpai pada rhinosinusitis akut dewasa adalah streptococcus pneumoniae dan

haemofiilus influenzae, sedangkan pada anak moraxella catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan

ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan

disekitarnya menjadi kondusif untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut

maka lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerob. Flora bakteri menjadi semakin

banyak dengan masuknya kuman anaerob. Infeksi menyebabkan mukosa kolumnar bersilia

mengalami metaplasia sehingga efusi sinus makin meningkat.

Pada pasien rhinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian

peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2

(Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan

eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak

mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi

ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti

halnya pada infeksi virus. Kliren dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.

Inflamasi yang berlangsung iama sering berakibat penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehingga

ostium sinus makin menutup. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat

menyebabkan gejala persisten dan-mengarah pada rhinosinusitis kronik.

Faktor - faktor yang telah diuraikan diatas dan interaksi imun-mikroba berkontribusi pada kronisitas sinusitis. Patensi ostium sinus merupakan hal yang sangat penting. Dikatakan bahwa kesehatan sinus pada pasien bergantung pada keadaan sekresi mukosa yang meliputi viskositas,

14

Page 20: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

volume, dan komposisi yang normal, aliran mukosilier yang normal untuk mencegah stasis mukus,

ostium sinus yang selalu terbuka untuk drainase dan humidifikasi yang memadai. Obstruksi ostium

sinus yang berlangsung lama oleh karena berbagai sebab sering menyebabkan penebalan mukosa,

disfungsi silia, kerusakan mukosa, penurunan klirens mukosilier dan pembentukan jaringan patologis.

Inflamasi

Sangat jelas pentingnya peranan inflamasi pada patogenesis rhinosinusitis kronik. Keberhasilan

pengobatan dalam mengatasi inflamasi akan mengembalikan klirens mukus dan ventilasi menjadi

normal. Kegagalan mengatasi inflamasi akut akan menyebabkan proses berlanjut menjadi inflamasi

kronik. Ada dua jenis inflamasi yang berkontribusi secara berbeda pada ekspresi klinis rhinosinusitis

yaitu inflamasi infeksius dan non infeksius. Inflamasi infeksius berhubungan dengan rinosinusitis akut

yang disebabkan infeksi bakteri atau virus. Pada jaringan sinus dari pasien rinosinusitis akut bakterial

ditemukan IL-6 dan IL-8. Demikian pula di beberapa lokasi jaringan sinus dijumpai neutrofil dalam

jumlah banyak. Sebaliknya, kadar GM-CSF dan IL-5 tidak mengalami peningkatan. Peningkatan IL-

6, IL-8 dan TNF-a diduga berkaitan dengan kemampuan sel epitel jalan napas menghasilkan berbagai

sitokin tersebut sebagai respons terhadap stimulus bakteri. Berbagai sitokin pro-inflamasi tersebut

kemungkinan berperan penting dalam penebalan mukosa akut yang berkaitan dengan eksaserbasi

sinusitis. Inflamasi non-infeksius dihubungkan dengan tingginya penebalan mukosa sinus tanpa

disertai rasa tidak enak atau nyeri pada sinus, atau tanda infeksi lain. Karena itu, tipe inflamasi ini

dianggap non-infeksius. Inflamasi non-infeksius terutama dijumpai pada rhinosinusitis kronik.

Dinamakan inflamasi non-infeksius karena terdapat dominasi eosinofil dan sel sel mononuklear serta

relatif sedikitnya neutrofil yang biasa dijumpai pada rhinosinusitis kronik. Gambaran patologi yang

dijumpai pada mukosa rhinosinusitis kronik kemungkinan merupakan akibat tumpang tindih stimuli

inflamasi infeksius dan non-infeksius.

Pada cairan lavase sinus maksilaris pasien dengan rhinosinusitis kronik ditemukan peningkatan

jumlah neutrofil dan kadar IL-8. Kadar IL-8 tertinggi dan persentase neutrofilia tertinggi dijumpai

pada pasien dengan rhinoosinusitis non alergik. Sedangkan pasien dengan rhinosinusitis kronik

yang disebabkan faktor alergi, ditemukan peningkatan neutrofil dan IL-8 dalam jumlah sedang.

Fenomena ini menunjukkan, neutrofil merupakan sel imunokompeten yang berperan aktif dalam

regulasi proses inflamasi dengan mensekresi berbagai macam sitokin seperti IL-la, IL-6, IFN-a,

TNF, dan IL-8. Analisis imunohistokimia menunjukkan bahwa IL-8 berlokalisasi dalam sel

polimorfonuklear yang beremigrasi dalam sekresi nasal pasien rhinosinusitis kronik. IL-8

merupakan faktor kemotaktik neutrofil yang potensial. Neutrofil menghasilkan IL-8 sebagai

respons terhadap beberapa macam stimuli. Ada kemungkinan neutrofil yang telah bermigrasi ke

dalam efusi sinus menghasilkan IL-8. Karena itu, dalam efusi sinus terjadi akumulasi neutrofil.

Ini menunjukkan bahwa neutrofil pada sekresi nasal pasien dengan sinusitis kronik memang

benar-benar menghasilkan IL-8, dan hal ini mendukung mekanisme umpan balik positif

rekrutmen neutrofil.

Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal dapat menyebabkan

obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang berlangsung lama. Variasi anatomi yang sering

dijumpai adalah septum deviasi, prosesus unsinatus menekuk kearah lateral, double middle turbinate,

konka bulosa, bula etmoidalis yang besar, sel Haller yang menyempitkan infundibulum ethmoidalis.

Mukosilier

Hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat menyebabkan penurunan fungsi mukosilier sinus paranasal. Faktor lain yang berkontribusi pada kelambatan klirens mukosilier yaitu perubahan sifat viskoelastik mukus, penurunan jumlah silia, dan kerusakan epitel. Penelitian

15

Page 21: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

yang dilakukan pada pasien sebelum dan sesudah operasi, menunjukkan bahwa perbaikan ventilasi sinus mempengaruhi fungsi mukosilier, mukosilier berangsur kembali normal dalam waktu 1 sampai 6 bulan pasca operasi. Pasien dengan mukosa sinus hiperplasia menunjukkan laju perbaikan yang lambat dan pemulihan klirens mukosilier yang tidak lengkap setelah operasi sinus.

Resirkulasi Mukus

Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila yang menyebabkan terjadinya resirkulasi mukus. Sekret mukus yang keluar dari sinus melalui ostium sinus naturalis biasanya menuju meatus medius. Sejumlah mukus akan memasuki lagi sinus maksilaris melalui ostium asesoris yang biasanya terletak inferior terhadap ostiomeatal unit, pada dinding nasalis lateralis.

Osteitis

Pemeriksaan histologik dari tulang ethmoidalis yang diambil dari pasien dengan rhinosinusitis kronik

menunjukkan adanya osteitis. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau akibat

tindakan operasi sinus yang kurang preservasi mukosa. Temuan histologik meliputi peningkatan

akselerasi turnover tulang disertai pembentukan tulang baru, fibrosis, dan keberadaan sel inflamasi.

Berbagai perubahan ini menyerupai osteomielitis rahang. Osteitis merupakan salah satu penyebab

utama kekambuhan penyakit meskipun sudah dilakukan operasi atau pemberian antibiotik.

Mikroba

Sebagian besar penelitian menunjukkan perbedaan antara rhinosinusitis akut dan kronik berkenaan dengan kuman patogen. Organisme yang dominan pada rhinosinusitis akut adalah streptococcus

pneumoniae, hemofilus influenzae dan pada anak moraxella catarrhalis. Sedangkan pada rhinosinusitis kronik yang tersering ditemukan adalah kuman tersebut diatas ditambah dengan

staphylococcus aureus dan kuman anaerob. Pertumbuhan kuman anaerob ini sebagai akibat dari berbagai faktor yaitu stasis mukus, obstruksi ostium sinus, dan hipoksia. Keterbatasan utama pada

pengobatan rhinosinusitis kronik adalah kesulitan mendapatkan kultur mikroba. Kultur bakteri biasanya dilakukan setelah kegagalan satu atau dua kali pemberian antibiotik. Hanya sekitar 5% kasus

yang berhasil dibiakkan, bakteri anaerob lebih sukar dibiakkan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam pemberian antibiotika khususnya untuk kuman anaerob.

KLASIFIKASI

Rhinosinusitis Akut (RSA)

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA bakterial).

Rhinosinusitis Akut Berulang

Kriteria gejala untuk RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala.

Rhinosinusitis Subakut (RSSA).

Rhinosinusitis dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi ini merupakan kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi RSA tetapi mengalami kegagalan atau terapinya tidak adekuat.

16

Page 22: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Rhinosinusitis Kronik (RSK).

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung lebih dari 12 minggu.

Rhinosinusitis Kronik Eksaserbasi Akut

RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh.

DIAGNOSIS

Gejala klinis rhinosinusitis dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor yaitu gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi. Termasuk dalam gejala mayor adalah : sakit pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus kental berwarna dan gangguan penciuman. Sedangkan gejala minor diantaranya berupa batuk, demam, tenggorok berlendir , nyeri kepala dan halitosis. Persangkaan adanya rhinosinusitis didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau

lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor.

Anamnesis

Anamnesis yang cermat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal ini penting terutama pada RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung. Untuk RSA gejala yang ada mungkin cukup jelas karena berlangsung mendadak dan seringkali didahului oleh infeksi akut saluran nafas atas. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas

terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta adanya

faktor lingkungan yang mempengaruhi.

Pemeriksaan Fisik

Pada RSA terlihat adanya hiperemi dan sembab sekitar rongga hidung. Gejala nyeri tekan di

daerah sinus terutama sinus frontal dan maksila kadang dapat ditemukan, akan tetapi nyeri tekan di sinus tidak selalu identik dengan sinusitis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat

dijumpai mukosa hiperemi, sekret, mukosa udem, krusta, septum deviasi, polip atau tumor. Sedangkan pada rinoskop posterior dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan nasofaring

Traniluminasi

Transiluminasi merupakan pemeriksaan yang sederhana terutama untuk menilai adanya kelainan pada sinus maksila. Pemeriksaan ini dapat memperkuat diagnosis rhinosinusitis apabila terdapat perbedaan hasil transiluminasi antara sinus maksila kiri dan kanan.

Radiologi

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal, CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup informatif pada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang

mempunyai nilai objektif yang tinggi. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon seperti yang diharapkan.

Kelainan pada sinus maupun kompleks ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan ini.

Endoscopi

Pemeriksaan endoskopi nasal merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna dalam memberikan informasi tentang penyebab RSK. Dengan endoskopi nasal dapat diketahui lebih

17

Page 23: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

jelas kelainan di dalam rongga hidung dan kita dapat memeriksa keadaan kompleks

ostiomeatal.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rhinosinusitis tergantung dari jenis, derajat serta lamanya perjalanan penyakit.

Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi utama, sedangkan pada RSK terapi

pembedahan menjadi pilihan yang lebih baik dibandingan dengan medikamentosa saja. Pada

dasarnya tujuan dari terapi medikamentosa adalah mengembalikan kondisi normal di dalam rongga sinus. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar. Irigasi dengan larutan garam fisiologis dapat membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret yang kental sedangkan humidifikasi dapat mencegah kekeringan dan pembentukan krusta.

Terapi Medikamentosa

Obat dekongestan dapat digunakan dalam pengobatan rhinosinusitis untuk merangsang reseptor α-

adrenergik, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kapiler mukosa rongga hidung. Keadaan

ini dapat mengurangi udem pada mukosa rongga hidung sehingga ostium sinus menjadi terbuka.

Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun oral. Dekongestan topikal dapat diberikan

dalam bentuk tetes maupun semprot hidung. Penggunaannya dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena

pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya rhinitis medikamentosa. Pada pemberian

dekongestan sistemik harus berhati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada penderita dengan

kelainan kardiovaskular. Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada

pengobatan RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi. Beberapa kortikosteroid

yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah : beklometason, flutikason dan

mometason. Pada RSA pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk menghilangkan udem dan

mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pemberian antihistamin pada rhinosinusitis akut

masih kontroversial. Antihistamin memang merupakan obat yang efektif untuk mencegah terjadinya

serangan alergi sehingga penggunaannya pada rhinosinusitis lebih bermanfaat pada RSK dengan

adanya riwayat alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang dapat mengurangi

sekresi kelenjar sehingga mukus menjadi lebih kental. Unt uk menghindari efek kolinergik dapat

digunakan antihistamin generasi II atau turunannya. Antibiotik merupakan terapi medikamentosa

yang penting pada rhinosinusitis disamping terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik

yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang

tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin

karena obat ini efektif terhadap streptococcus pneumoniae dan haemophilus influenzae yang

merupakan dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Antibiotik diberikan 10-14 hari

agar dapat dicapai hasil pengobatan yang maksimal. Meningkatnya kuman yang resisten terhadap

berbagai antibiotik menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik baru

dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik yang bisa digunakan seperti

golongan kuinolon, cefixim, cefdinir, cefprozil dan cefuroxim dengan efektifitas klinik yang tidak

jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai

potensi antibakterial yang tinggi seperti klaritromisin, roxitromisin serta azitromisin . Terapi

medikamentosa bukanlah terapi satu-satunya pada RSK. Eliminasi penyebab RSK seperti kelainan

pada daerah KOM harus diupayakan agar tercapai hasil terapi yang memuaskan. Disamping itu perlu

evaluasi terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik lainnya.

Terapi Bedah

Pada umumnya RSA tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali beberapa kasus yang mengalami komplikasi atau tidak memberikan respon dengan terapi medikamentosa. Tindakan bedah bisa berupa irigasi sinus, operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi dengan

18

Page 24: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya fungsi silia atau obstruksi pada ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk infeksi lain di dalam antrum. Pada kondisi ini irigasi

sinus maksilaris akan membuang produk-produk infeksi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi. Tindakan irigasi ini akan membantu ventilasi dan oksigenasi sinus. Nasal Antrostomy

dapat dilakukan pada keadaan infeksi kronis, atau adanya oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy memungkinkan drainase secara gravitasi. Tindakan ini biasanya

dilakukan melalui meatus inferior. Operasi Caldwell-Luc yaitu tindakan operasi membuka dinding depan sinus maksila pada daerah fossa canina dan membuat nasoantral window melalui meatus inferior. Dengan cara ini memungkinkan visualisasi yang lebih baik ke dalam sinus maksila,

19

Page 25: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Fokken WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinol Suppl (23):3-196.

2. Elizabet K, Hodderson, Sarah K. Acute Rhinosinusitis. In : Bailey‟s Otolaryngology Head

and Neck Surgery. Ed : Johnson TJ, Rosen CA. Philadelphia. Lippincol Wilkins & Wilkins.

2014:509-522.

20

Page 26: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

GANGGUAN PENDENGARAN

Bekti Darmastuti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

Gangguan Dengar Konduktif Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli konduktif, yang paling utama adalah pasien

dapat mendengar lebih baik dengan hantaran tulang dibandingkan dengan hantaran udara, dan

biasanya hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli konduktif murni hantaran tulang normal atau

mendekati normal karena tidak ada kerusakan di telinga dalam atau jaras pendengaran.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan beberapa karakteristik dari tuli konduktif, yaitu

: 1. Anamnesis menunjukkan adanya riwayat keluar cairan dari telinga, atau pernah mengalami

infeksi telinga, bisa disertai dengan gangguan pendengaran, atau tuli mendadak sesaat setelah

mencoba membersihkan telinga dengan jari. 2. Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada rendah 3. Apabila tuli bilateral, penderita biasanya berbicara dengan suara pelan, terutama pada tuli yang

disebabkan oleh otosklerosis. 4. Mendengar lebih baik pada tempat yang ramai (paracusis of willis). 5. Pada saat mengunyah, pendengaran menjadi lebih terganggu. 6. Treshold hantaran tulang normal atau mendekati normal 7. Ditemukan Air bone gap (ABG) 8. Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya kelainan di canalis acusticus externus, gendang

telinga, atau telinga tengah. Kadang ditemukan gambaran gelembung dan „fluid level‟ di

belakang gendang telinga. 9. Tidak ada kesulitan dalam komunikasi terutama bila suara cukup keras. 10. Tuli konduktif murni, maksimum sampai 70 dB

Apabila pada pemeriksaan aodiologis ditemukan adanya tuli konduktif, dan di temukan obstruksi

pada CAE, kemungkinan penyebab hal itu adalah: - Aplasia congenital, tidak terbentuknya CAE pada saat lahir, akibat defek pada pertumbuhan

janin - Traecher collins syndrome, tidak terbentuk daun telinga, CAE, gendang telinga, dan tulang2

pendengaran - Stenosis CAE - Exostosis CAE, adanya penonjolan tulang yang menimbulkan obstruksi CAE - Serumen

21

Page 27: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

- Karsinoma CAE - Kolaps CAE saat pemeriksaan audiometri

Apabila tidak ditemukan adanya obstruksi dari CAE, dan masih di temukan adanya penurunan

hantaran udara, segera di curigai keadaan dibawah ini : - Infeksi : otitis eksterna, OMA, OMSK, perforasi membran tympani, tympanosclerosis,

otosklerosis - Trauma : Hemotympanum - Tumor di nasofaring - alergi

Dari semua penyebab tuli konduktif, sebagian besar memiliki prognosis yang baik. Cukup dengan

pemberian medikamentosa dan tindakan pembedahan apabila diperlukan, hampir semua keadaan

tersebut bisa diperbaiki. Hasil pemeriksaan pada tuli konduktif dapat ditemukan: Audiometri : BC normal, AC menurun ATAU GANGGUAN DENGAR CAMPURAN Audiometri : terdapat gap antara AC & BC > 10 dB, AC & BC menurun

Tympanometer untuk memastikan ada tidaknya patologi telinga tengah. Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita

mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti

otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Gangguan Dengar Sensorineural Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup menyulitkan bagi para dokter. Berjuta-juta pekerja

industri dan usia tua menderita jenis gangguan dengar ini. Secara umum tuli ini bersifat irreversibel

dan sangat menganggu komunikasi sehari-hari. Kerusakan jaras pendengaran dapat terjadi, baik di telinga dalam (sensory loss) ataupun di syaraf

pendengaran (neural loss). Ditekankan bahwa kerusakan biasanya terjadi pada keduanya (sesuai

namanya sensorineural). Tetapi ada juga yang membuat diagnosis lebih spesifik tipe sensori atau tipe

neural, tergantung dimana ditemukan kerusakannya. Ciri-ciri utama dari tuli sensori, kerusakan pada telinga tengah terutama pada cairan labyrin dan sel

rambut: - adanya riwayat serangan vertigo yang berulang dengan rasa penuh ditelinga, bunyi tinitus seperti

suara ombak, dan intermitten hearing loss . Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa

macam syndrom yang di sebut : menierre disease, hipertensi kohlear, atau hydrops labyrynth. - Pada menierre disease biasanya tuli unilateral - Pemeriksaan otologis biasanya normal

22

Page 28: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

- Penurunan hantaran tulang dan udara, tanpa ada ABG - Apabila terdapat tuli sedang atau tuli pada frekwensi percakapan, kemampuan berbicara menjadi

sangat berkurang, terutama suara yang keras - Ditemukan „recruitment‟ - Normal tone decay dan stapedius reflex decay, bakesy audiometri type II - Dengan pengecualian, tes garpu tala lateralisasi ke telinga yang lebih sehat

- riwayatnya bermacam-macam, ketulian bisa mendadak terjadi unilateral oleh karena fraktur yang

melibatkan meatus auditori interna, atau bisa juga bertahap dan bilateral karena tuli progresive

herediter. Usia pasien tidak begitu membantu menegakkan diagnosis karena kelainan ini bisa

terjadi pada usia kapan saja. - Hantaran tulang dan udara menurun, tanpa ABG - Tidak ditemukan „rekruitment‟, bila ada biasanya minimal. - Bakesy audiometri type III atau IV -

Klasifikasi Tuli sensorineural Penyebab Tuli sensorineural dengan onset gradual:

presbikusis occupasional hearing loss otosklerosis dan OMSK aspek sensorineural paget‟s dan Van der Hoeve‟s disease aspek sensorineural pengaruh dari penguatan alat bantu dengar neritis syaraf auditori dan penyakit systemik (DM)

Penyebab Sudden bilateral sensoryneural hearing loss:

Infeksi : meningitis Tuli fungsional Obat-obatan ototoksik Multiple sklerosis Syphillis Penyakit otoimun

Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing loss:

Mumps Trauma kepala dan taruma akustik Infeksi virus

23

Page 29: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Ruptur membran foramen rotundum atau membran telinga tengah Kelainan pembuluh darah Komplikasi setelah tindakan pembedahan telinga Fistula di foramen ovale Komplikasi tindakan anestesi Syphillis

Penyebab Congenital sensoryneural hearing loss:

Herediter Kern ikterus Anoksia Virus Penyebab lain yang tidak diketahui

Walaupun sangat sulit dalam menentukan penyebab spesifik dari tuli sensori neural, klasifikasi diatas

memberikan informasi yang sangat penting dalam menentukan tindakan yang akan kita pilih.

Klasifikasi diatas juga bisa untuk menentukan prognosis dari kelainan tersebut Jadi hasil pemeriksaan

pada tuli sensorineural dapat ditemukan : - Audiometri : AC dan BC menurun - Tympanogram : normal - BERA Dilakukan apabila pemeriksaan biasa tidak dapat dipercaya atau tidak mungkin dilaksanakan, seperti

pada tuna grahita berat atau kasus pura-pura tuli (malingering)

Tuli Campur

Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita

mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti

otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Central Auditory Processing Disorder

Suatu kelainan yang ditandai dengan adanya defisit dalam memproses informasi yang berhubungan

dengan modalitas pendengaran.

24

Page 30: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Central Auditory Processing (CAP) adalah suatu system yang aktif, kompleks yang dilakukan

susunan saraf pusat terhadap input auditori. Sistem ini melibatkan sinyal auditori, telinga luar samapi

kohlea, N VIII dan susunan saraf pusat.

Gejala CAPD, diantaranya: - salah pengertian atau salah interpretasi - sulit berkonsentrasi - sulit membedakan kata - sulit mengeja - gangguan berbahasa, baik reseptif meupun ekspresif - reduksi auditory memory

Pasien dengan CAPD sering gejalanya overlapping dengan gangguan dengar perifer, karena itu kita

harus menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan dengar perifer dengan melakukan permeriksaan

audiometric, speech audiometry, akustik refleks, BERA.

Auditory Neuropathy Kriteria Diagnostik 1. Terbukti adanya fungsi auditori (pendengaran) terganggu 2. Terbukti adanya fungsi saraf auditori terganggu 3. Terbukti fungsi sel rambut normal

- Anoksia - Hiperbilirubinemia - Proses infeksi (mis. Mumps) - Kelainan imunologi (mis. Guillain Barre syndrome) - Genetik dan beberapa sindroma:

1. Hereditary sensory motor neuropathy

2. Mitochondrial enzymatic deficit

3. Olivo-pontine- cerebellar degeneration

4. Freidrichs‟s ataxia

5. Steven Johnson syndrome

6. Ehlers-Danlos syndrome

7. Charcot-Marie-Tooth syndrome

Hal tersebut di atas dapat menyebabkan auditory neuropathy yang permanent, sedangkan yang

transient bisa disebabkan anoksia dan hiperbilirubinemia, yang intermitten bisa disebabkan oleh

anoksia

25

Page 31: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Hasil pemeriksaan pendengaran pada beberapa jenis gangguan dengar, tercantum pada tabel di bawah

ini:

Pemeriksaan CHL Tuli T.Retro- CAPD A.N

Cochlear Coclear

Pure Tone BC>AC BC=AC BC=AC Normal ~SNHL

Audiometri menurun menurun ringan –

berat

OAE Abnormal Abnormal Abnorma Normal Normal

l

BERA Abnormal Abnormal Abnorma No No respons

l respons

Tympanometri Reduced Normal Normal Normal Normal

compliance

Acoustic Negatif Positif Negatif Positif Negatif

Reflex

Recruitment Positif Negatif

Speech baik Buruk Sangat Buruk Buruk

Discrimination Buruk

Tone Decay negatif positif

Penatalaksanaan Gangguan Dengar Pasien dengan gangguan dengar, biasanya datang dengan keluhan utama hearing loss/ketulian atau

tinitus. Sesuai tipe dan derajat gangguan dengar, penatalaksanaan gangguan dengar adalah penggunaan: 1. Hearing Aid 2. Assistive device (FM system) 3. Cochlear implant 4. Terapi bicara & mendengar (pada anak)

26

Page 32: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Alat bantu mendengar

Cochlear Implant

27

Page 33: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Deteksi dini gangguan bicara dan dengar pada anak

28

Page 34: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams & Wilkins.

Philadelphia. 2000;559-570. 2. Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of Clinical Audiology. Fifth edition. Lippincott Williams

& Wilkins. Philadelphia. 2000; 205- 232. 3. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck Surgery.

Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715 4. Lee.KJ. Audiology. Essential Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill Companies. United

States. 2003;24-64. 5. Sininger, Yvonne. Auditory Neuropathy A New Perspective on Hearing Disorders. Singular

Thomson Learning. Canada. 2001;1-50. 6. Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition.

W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46 – 66. 7. Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI. Jakarta. 2001; 28-30. 8. Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis. Bandung. 13-

14 Mei 1991; 12-63.

29

Page 35: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

INFEKSI TELINGA

Richard F Nanlohy, dr., Sp.T.H.T.K.L

Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi telinga

1. Telinga Luar

a. Daun Telinga

Gambar 2. Daun telinga

b. Liang Telinga

Panjang 2,5 cm dengan 1/3 lateral tulang rawan dan 2/3 bagian dalam berupa tulang.

Terdapat bagian yang menyempit pada batas pertemuan bagian tulang rawan dan bagian

tulang. PH kulit liang telinga sekitar 6,5 – 6,8. Kulit liang telinga bersifat water resistant.

Liang telinga kaya akan pembuluh darah dan kelenjar limfe.

Di tulang rawan terdapat rambut, kelenjar sebacea, kelenjar serumen (serumen mengandung

lisosim). Liang telinga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Epitel berlapis gepeng akan terus-

menerus mengelupas digantikan oleh lapisan baru. Sel epitel tersebut selalu bermigrasi ke

arah liang telinga sambil membawa debris.

30

Page 36: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

c. Membran Timpani

Berbentuk elips dengan panjang 9 – 10 mm / 8 - 9 mm. Dibagi atas Pars Flasida dan Pars

Tensa. Tebal membrane timpani 0,1 mm. Pars Tensa mempunyai 4 lapisan (Epitel

berskuamosa, lapisan fibrosa circular & radiating, dan lapisan mukosa). Pars Flasida terdiri

dari 2 lapis.

Gambar 3. Membran Timpani Kanan

2. Telinga Tengah

a. Kavum Timpani

b. Tulang Pendengaran (Maleus, Inkus, Stapes)

c. Tuba Eustachius

d. Antrum Mastoid

Gambar 4. Kavum Timpani

Kavum Timpani berisi udara yang tekanannya sama dengan tekanan udara di luar. Keseimbangan

tekanan udara di kavum timpani diatur dengan mekanisme difusi vaskularisasi mukosa. Mukosa

kavum timpani umumnya epitel silindris bertingkat bersilia. Silia berfungsi untuk mendorong

lendir ke nasofaring (drainase).

Tuba Eustachius sangat berperan dalam menyamakan tekanan udara di kavum timpani. Pada

dewasa panjang tuba 36 mm dan membentuk sudut 30 – 40 derajat, sedangkan pada bayi 31

Page 37: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

18 mm dan sudutnya hampir horisontal. Tuba Eustachius membuka dan menutup oleh musculus

Tensor Veli Palatini dan Levator Veli Palatini. Sedangkan pada anak yang aktif hanya Tensor

Veli Palatini.

Tuba Eustachius 2/3 bagiannya berupa tulang rawan dengan muara di nasopharynx dan 1/3

bagiannya berupa tulang. Dalam keadaan istirahat tuba eustachius tertutup. Tuba Eustachius

terbuka waktu menelan dan valsava. Diameter tuba 1 – 1,25 cm. Pada perbatasan antara tulang

rawan dan tulang terdapat bagian yang menyempit dengan diameter 1,5 mm. Fungsi tuba

eustachius :

- Ventilasi

menyamakan tekanan udara di kavum timpani sama dengan

tekanan di luar (atmosfir)

- Drainase

- Proteksi

Gambar 5. Ilustrasi funsi tuba Eustachius

3. Telinga Dalam

a. Kohlea

b. Vestibulum

32

Page 38: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Mengandung sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis.

Gambar 6. Telinga dalam

INFEKSI TELINGA LUAR

Otitis Eksterna

1. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunculosis)

Hanya terjadi pada 1/3 luar liang telinga dan daun telinga oleh karena infeksinya terjadi pada

adneksa kulit.

Kuman penyebab : Staphylococcus aureus

Terapi : Salep antibiotic 2. Otitis Eksterna

Difusa a. Akut

Nyeri hebat.

Lubang telinga eritema dan edema serta ulseratif.

Gambar 7. Otitis Eksterna Difusa

b. Kronik

Berlangsung lebih dari 6 minggu dan biasanya berlatar belakang alergi.

Kuman penyebab terbanyak Pseudomonas aeruginosa

33

Page 39: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Terapi : - Penatalaksanaan nyeri

- Pembersihan liang telinga

- Antibiotik tetes telinga dengan atau tanpa antibiotik sistemik. 3. Otitis Eksterna Maligna (Necrotizing external

otitis) Kuman penyebab Pseudomonas aeruginosa.

Biasanya diderita pada usia tua dengan riwayat diabetes, pemberian steroid jangka panjang,

setelah kemoterapi, daya tahan tubuh yang buruk.

Infeksi dimulai dengan luka sekitar perbatasan kartilago dan tulang CAE (Fissura Santorini) yang

terus menyebar bersifat infeksi agresif.

Penyakit ditandai dengan nyeri hebat terus-menerus di telinga yang tidak sesuai dengan lesinya

yang ringan pada otoskopi, sekret purulen dan jaringan granulasi di dasar liang telinga.

Terapi : - Liang telinga dibersihkan

- Analgesik

- Antibiotik sistemik

Ciprofloxasin/Ceftazidime dan Meropenem dosis tinggi selama 6 – 8 minggu

- Bila karena jamur amfoterisin B > 12 minggu 4. Otomikosis

Tersering disebabkan oleh Aspergilus nigra dan Candida

albicans. Gejala seperti rasa gatal dan rasa penuh di telinga.

Pada otoskopi tampak gumpalan jamur dengan dinding CAE hiperemis dan edem ringan.

Gambar 8. Otomikosis

Terapi : Telingan dicuci dengan larutan cuka 2% dan Clotrimazole atau Nistatin selama 7 – 10

hari.

5. Miringitis Bulosa

34

Page 40: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Disebabkan oleh virus dan berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas. Sering timbul

bersamaan dengan otitis media. Tampak memberan timpani reddish vesicle yang akan menjadi

bula.

Terapi : antibiotika bila timbul otitis media.

6. Herpes Zoster Oticus (Ramsay Hunt Syndrome)

Penyakit mengenai N.VII dan N.VIII sehingga tampak facial paralisis, vertigo, sensori neural

hearing loss, severe otalgia.

Vesikel herpetic terlihat pada CAE dan cavum conchae.

Terapi dengan acyclovir dan steroid untuk 3 minggu.

INFEKSI TELINGA TENGAH

Otitis Media Akut (OMA)

Peradangan telinga tengah yang berlangsung kurang dari 3 minggu dengan penimbunan cairan

infeksi.

Dianggap berat bila demam 39oC dan terjadi pada bayi berumur < 6 bulan.

OMA rekuren bila OMA berulang dalam waktu 3x dalam 6 bulan atau 4x dalam 12

bulan. Kuman penyebab terbanyak : - Streptococcus pneumonia

- Haemophilus influenza

- Moraxella catarrhalis Perjalanan penyakit : 1. Stadium oklusi tuba

Rasa penuh di telinga, nyeri ringan.

Membran timpani suram sedikit hiperemis dan tidak bergerak pada pneumootoskopi. 2. Stadium presupurasi

Tanda stadium oklusi bertambah. 3. Stadium supurasi

Tanda stadium presupurasi bertambah. Terjadi mastoiditis koalesens dan abses retroaurikuler. 4. Stadium resolusi.

35

Page 41: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

OMA

Anak berumur < 6 bulan, Anak 6-24 bulan dengan diagnosis jelas, infeksi berat, sepsis, Immunocompromised

Tidak Ya

Opsi pengobatan: sistemik atau

topikal analgesik, observasi

Sembuh

Follow-up sampai efusi hilang

Gejala Tetap

Antibiotik lini I: Amoksisilin 80-90 mg/KgBB /hari selama 10 hari atau Makrolid.

Bila suhu >39oC, berikan lini ke II: seftriakson atau amoksisilin + asam klavulanat

Perbaikan Gejala Tetap

Follow-up sampai Antibiotik lini II: Amoksisilin + asam klavulanat 90

efusi hilang mg/kgBB /hari selama 10 hari atau sefuroksim 30

mg/kgBB 10 hari atau seftriakson 50 mg/kg /hari.

Tetap Perbaikan

Klindamisin 30-40 mg/kgBB /hari, timpanosentesis

dan kultur, tukar antibiotic bila perlu. Timpanostomi

untuk OMA berulang, kurang dengar ABD >30 dB,

gangguan neurologic atau keseimbangan, sepsis

Perbaikan Tetap

Follow-up sampai Perforasi membran

efusi hilang

Ya Tidak

OMA dengan perforasi Parasintesis dan kultur

Antibiotik sesuai kultur

Menutup Perforasi tetap >3 bulan

Penatalaksanaan OMSK

36

Page 42: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Otitis Media Efusi (OME) Nama lainnya : Glue Ear, Otitis Media Sekretoria, Otitis Media Serosa. Merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah tanpa gejala radang akut. Ada 2 patogenesis utama terjadinya OME yaitu : 1. Gangguan fungsi tuba eustachius 2. Inflamasi telinga tengah Gejala utama adalah gangguan pendengaran. Deteksi dengan pneumootoskopi dan timpanometri. Terapi : - Steroid intranasal < 6 minggu pada yang alergi dan hipertrofi adenoid

- Timpanotomi

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Ciri : - Radang kronik ( 2 bulan) telinga tengah dan perforasi membrane timpani. Bila ada otorea

termasuk fase aktif sebaiknya bila kering disebut OMSK fase tenang.

Prevalensinya 1 -3,1% Merupakan 25% pasien THT di poliklinik Hampir selalu karena OMA berulang pada anak.

Klasifikasi : 1. OMSK tipe jinak

alias tipe tubotimpanik / tipe mukosa. 2. OMSK tipe bahaya

alias tipe atikoantral / tipe tulang

alias OMSK dengan kolesteatoma; membran timpani perforasi di atik atau marginal atau total.

Kolesteatoma adalah epitel berlapis gepeng dan debris pengelupasan keratin. Kolesteatoma

mengerosi tulang oleh karena penekan dan aktivasi enzim osteoklas.

Terapi : kolesteatomi adalah

operasi. Terapi OMSK tipe jinak

1. Antiseptik Topikal

Asam asetat 1 – 2%, H2O2 3%, povidon iodine 5% atau garam fisiologis.

2. Antibotik Topikal

3. Antibiotik Sistemik

Kuman penyebab utama adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aeureus.

Warna dan bau secret bisa membantu memperkirakan kuman.

Sekret hijau kebiruan : Pseudomonas aureginosa

37

Page 43: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Sekret kuning keemasan : Stafilokokus

Antibiotik untuk : - Pseudomonas : - Flourokuinolon

- Amikasin, metilmisin, tobramisin

Stafilokokus : - Kotrimoksazol

- Amoksisilin

- Klavulanat

- Anaerob : - Metronidazol

- Klindamisin

- Kloramfenikol

Bila : - 7 hari tidak ada perbaikan klinis dilakukan kultur dan resistensi

- 2 minggu otorea menetap beri antibiotik parenteral

- Otorea tidak kambuh dalam 1 tahun dan kurang pendengaran dilakukan operasi

rekonstruksi atau alat bantu dengar.

INFEKSI TELINGA DALAM

Neurotritis Vestibuler Umumnya karena virus influenza. Vertigo mendadak tanpa gangguan pendengaran dan vertigo bisa berlangsung berbulan-bulan setelah serangan akut. Terapi : antivertigo.

Labirinitis Mengenai sistem pendengaran dan keseimbangan. Penyakit terjadi karena mikroorganisme atau mediator inflamasi mengenai labirin.

38

Page 44: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi A. Balfos. Pengobatan Penyakit Telinga dan Jaringan Lunak di sekitarnya. EGC

Kedokteran. 2018 : 22-86. 2. M. Thaufiq S. Boesorie. Miringoplasti pasca radang Telinga Tengah. Bag Ilmu Kedokteran

Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. FK Universitas Padjadjaran. 2000 : 4-20. 3. Byron J. Bailey et al. Head and neck Surgery – Otolaringology Second edition. Ouippincote Rave.

1998; 1297-1300; 1965-1980. 4. Walter Becker et al. Ear, Nose and Throat Diseases. Thieme Flexibook. 1994; 70-138. 5. K. J. Lee. Essensial Otolaringology sixth Edition. Appleton & Lange. 1995; 637-645.

39

Page 45: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS

Erlina Julianti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

BAB I

PENDAHULUAN

Obstruksi pada saluran nafas atas dapat menyebabkan kematian, penting dilakukan diagnosis awal

dan penatalaksanaan yang tepat. Salah satu kegawatdaruratan di bidang THT adalah obstruksi pada

saluran nafas atas (OSNA). Gejala penyakit ini sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik yang

datang dalam keadaan sesak ringan maupun hebat.

Obstruksi yang terjadi pada saluran nafas atas disebabkan oleh berbagai macam sebab baik

kelainan bawaan, proses inflamasi, trauma, dan tumor yang dapat timbul segera atau perlahan dan

memberat. Derajat berat ringannya obstruksi pada saluran nafas atas ini bervariasi tergantung etiologi,

faktor usia dan lokasi obstruksi (besarnya sumbatan dibanding struktur anatomi). Kejadian OSNA

dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin.

Akibat adanya obstruksi ini menimbulkan gejala sesak yang hebat yang dapat mengancam nyawa

apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat sehingga diperlukan penanganan yang tepat untuk

mengoreksi obstruksinya. Tindakan tersebut dapat berupa medika mentosa ataupun tindakan segera

diantaranya dengan menggunakan perasat Heimlich, intubasi endotrakea, laringoskopi, trakeostomi

dan krikotiroidostomi, sehingga didapatkan kondisi yang aman dari jalan nafas serta mencegah

komplikasi lanjut bahkan kematian.

40

Page 46: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Nafas Atas

Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari sudut klinik, rongga mulut

sering kali juga diikut sertakan dalam struktur saluran pernapasan bagian atas. Bagian yang kedua adalah

saluran napas bagian bawah yang terletak di leher dan batang badan (trakea, bronkus, dan paru-paru).

2.1.1 Hidung

Terdiri dari bagian eksternal dan internal, bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh

tulang hidung dan kartilago. Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi

rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit yang disebut septum. Rongga hidung

dilapisi membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung.

Permukaan mukosa hidung dilapisi oleh sel-sel goblet yang mensekresi lendir secara terus menerus

dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai saluran untuk

udara mengalir ke dan dari paru paru. Hidung juga berfungsi sebagai penyaring kotoran dan

melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru paru. Hidung juga bertanggung

jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaktori terletak dalam mukosa hidung, dan

fungsi ini berkulang sejalan dengan bertambahnya usia.

Gambar 1. Hidung

2.1.2 Faring

Faring merupakan suatu tabung fibromuskular, yang memanjang dari basis kranii sampai tepi

bawah kartilago krikoidea ( sekitar 10 – 14 cm pada dewasa ) atau setinggi vertebrae cervikalis ke-6,

dengan diameter superior lebih lebar dari inferior. Secara anatomis, faring terbagi menjadi :

41

Page 47: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

1. Nasofaring ( epifaring )

2. Orofaring ( mesofaring )

3. Laringofaring ( hipofaring )

Batas antara nasofaring dan orofaring adalah tepi bebas dari palatum molle, sedangkan batas antara

orofaring dan hipofaring adalah garis melintang yang ditarik setinggi epiglotis. Dinding posterior

faring pada ketiga bagian tersebut saling berkesinambungan dan terdiri dari fascia, otot-otot dan

mukosa. Pada batas setinggi vertebrae cervikalis ke-6, faring melanjutkan diri menjadi esophagus di

bagian posterior dan trachea di bagian anterior.

Gambar 2. Faring

2.1.3 Laring

Laring terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkannya dari kolumna vertebra,

berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya.

Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligament dan membran. Yang

terbesar diantaranya adalah tulang rawan tiroid dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus

yang dikenal sebagai jakun (Adam’s apple). Laring terdiri atas dua lempeng (lamina) yang

bersambung digaris tengah ditepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak

dibawah tiroid dan berbentuk sepperti cincin. Terkait dipuncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis,

yang berupa katuptulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu menelan. Laring dilapisi

selaput lendir yang sama dengan yang ada ditrakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang

dilapisi sel epitel berlapis.

Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan

trakea. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri dari :

a. Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium kearah laring selama menelan

b. Glotis : ostium antara pita suara dalam laring

c. Kartilago tiroid : kartilago terbesar pada trakeasebagian dari kartilago ini membentuk jakun

(Adam’s apple)

42

Page 48: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

d. Kartilago krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak dibawah

kartilago tiroid)

e. Kartilago aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid

f. Pita suara : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara

Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi, juga berfungsi melindungi

jalan nafas dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.

Gambar 3. Laring

43

Page 49: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas

Obstruksi saluran napas atas adalah suatu kondisi dimana terjadi sumbatan pada jalan nafas

bagian atas baik secara komplit atau parsial yang menyebabkan gangguan ventilasi. Obstruksi

saluran napas atas dapat disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan

kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.

2.2 Penyebab Obstruksi Saluran Napas Atas

Penyebab obstruksi saluran napas atas cukup bervariasi, diantaranya adalah kelainan kongenital hidung atau laring, radang, infeksi akut, trauma, tumor, paralysis satu atau kedua plika v o

k a l i s , p a n g k a l l i d a h j a t u h k e b e l a k a n g p a d a p e n d e r i t a y a n g t i d a k s a d a r

k a r e n a penyakit, cedera, atau narkose maupun karena benda asing.

2.2.1 Obstruksi Jalan Napas Atas Kongenital : Laringomalacia, atresia koana, stenosis supraglotis, glottis dan infraglotis, kista duktus

tiroglosus, kista bronkiegen yang besar, kista laring, laringokel yang besar dan hemangioma

kongenital. Laringomalacia : suatu keadaan disfungsi fisiologis sementara yang diakibatkan abnormalitas

kelenturan jaringan lunak laring atau adanya inkoordinasi pada struktur supralaring. Gejalanya berupa

stridor inspirasi yang membaik apabila dilakukan perubahan posisi leher (miring atau telungkup). Atresia koana : terdapat obstruksi baik itu total atau sebagian pada satu sisi atau dua sisi koana akibat

dari kegagalan absorpsi membran bukofaringeal. Obstruksi dapat berupa membran atau tulang.

Gejalanya adalah kesulitan bernafas dan keluar sekret hidung terus menerus. Diagnosis dibuat dengan

timbulnya sianosis pada waktu diam yang menghilang pada waktu menangis, dengan endoskopi

terlihat sumbatan dibelakang rongga hidung. Pengobatannya dengan pembedahan. Kista duktus tiroglosus : timbul akibat gagalnya obliterasi dari duktus tiroglosus yang terbentang

antara foramen sekum lidah ke kaudal ke arah ismus/lobus piramidalis tiroid sehingga bisa terisi

sekret dan membentuk suatu kista yang tidak nyeri terletak di midline setinggi tulang rawan hyoid.

Terapi yang adekwat adalah dilakukan eksisi dengan modifikasi prosedur Sistrunk. Laringokel : terdiri dari dua jenis yaitu eksternal dan internal. Laringokel eksternal adalah herniasi

dari sakulus ventrikel laring yang berisi udara, yang meluas melalui membran tirohioid sampai ke

lateral kartilago tiroid yang memberikan gambaran klinis adanya benjolan pada lateral leher, anterior

dari otot sternokleidomastoideus. Gejala klinis berupa batuk, suara serak dan adanya sensasi benda

asing pada laring. Laringokel internal adalah adanya benjolan kistik pada plika aryepiglotika.

44

Page 50: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Subglottic Hemangioma : kelainan biasanya sekunder, lesi primer di kulit, bila terjadi di

subglotis(distres pernapasan, stridor dicetuskan oleh menangis atau inflamasi). Gejala lain dyspneu

dan harsh cry. Dari pemeriksaan radiologi tampak penyempitan yang asimetris, Endoskopi: Lesi

lunak, kebiruan, konfirmasi dengan biopsi.

Radang/ Infeksi : laringotrakeitis, epiglotitis, abses peritonsiler, angina ludwig, abses parafaring atau

retrofaring. Laringotrakeitis : disebabkan oleh infeksi virus dengan gejala stridor, batuk menggonggong, dan

demam. Derajat beratnya penyakit bervariasi bergantung pada derajat beratnya edema pada daerah

subglottis. Tindakan intubasi atau trakeostomi diperlukan pada kasus gagal nafas, hiperkarbia,

oksigenasi yang tidak adekuat atau status neurologis yang memburuk. Abses peritonsiler : Merupakan penyebab terbanyak dari infeksi ruang leher (deep neck space).

Kemungkinan besar disebabkan karena infeksi kripta pada bagian superior yang menembus kapsul

tonsil dan meluas ke jaringan ikat diantara kapsul dan dinding posterior fossa tonsilaris. Gejala klinis

berupa nyeri tenggorokan yang makin hebat dan biasanya satu sisi, nyeri dan sukar menelan, demam,

sekresi ludah berlebihan (drooling), sukar bicara dan bicara seperti “hot potato voice”, tonsil bergeser

ke tengah, keatas dan kebawah, uvula bergeser ke sisi kontralateral. Abses Retrofaring : sumber infeksi paling sering adalah proses infeksi di daerah hidung, adenoid,

nasofaring dan sinus parasinalis yang mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal. Gejala klinis

demam, pembengkakan leher dengan disertai nyeri, bulging dinding posterior faring unilateral (sesuai

dengan lokasi KGB), odinofagia dan disfagia, sepsis. Angina Ludwig : dikenal juga dengan nama Angina Ludovici, merupakan salah satu bentuk abses

leher dalam) berupa peradangan selulitis dari bagian superior ruang suprahioid, yang ditandai dengan

pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibular, yang mencakup jaringan yang

menutupi otot-otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai pembengkakan pada limfonodus,

penyebabnya akibat infeksi akar gigi, yakni molar dan premolar, dapat juga karena trauma bagian

dalam mulut, karies gigi, dan tindik lidah, Gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tenggorokan

dan leher disertai pembengkakan di daerah submandibular yang tampak hiperemis, drooling, dan

trismus. Pada dasarnya prinsip utama jika adanya sumbatan jalan nafas, maka sebaiknya di atasi.

Penanganan yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi. Trakeostomi

dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-tanda obstruksi jalan

nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam keadaan gawat darurat.

Pengobatan dengan antibiotik intravena, antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi,

kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat anti staphylococcus atau metronidazole. Jika

pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone

yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan perlindungan

jalan nafas

45

Page 51: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Traumatik : ingesti kaustik, patah tulang wajah atau mandibula, cedera laringotrakeal, intubasi lama: udem/stenosis, dislokasi krikoaritenoid, paralysis n. laringeus rekurens bilateral

Ingesti kaustik : temuan klinis dapat bervariasi tergantung dari jumlah dan jenis bahan kaustik yang

tertelan (asam/basa). Gejalanya adalah nyeri pada daerah mulut, leher bahkan sampai dada, disfagia

dan drooling. Masalah pernafasan berupa batuk, mengi, stridor atau bahkan gagal nafas. Cedera laringotrakeal : dari anamnesis didapatkan riwayat trauma pada daerah leher anterior akibat

dari tindak kejahatan, percobaan bunuh diri atau kecelakaan kendaraan. Tanda dan gejala berupa

disfonia, afonia, stridor, batuk darah, disfagia dan nyeri. Dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada

kulit leher atau adanya emfisema subkutan pada daerah leher. Pemeriksaan laringoskopi fiberoptik

dan CT Scan dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada kasus ini.

Paralisis bilateral n. Laringeus rekurens : evaluasi diagnostik dengan anamnesis (adanya riwayat

trauma leher atau pembedahan terutama bedah tiroid, penyakit viral atau bakterial), pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium, endoskopi ( direct laryngoscope, bronchoscopy, esophagoscopy dan

evaluasi fungsi vokal). Tatalaksana non bedah dengan terapi wicara atau dengan pembedahan. Tumor : hemangioma, higroma kistik, papiloma laring rekuren, limfoma, tumor ganas tiroid,

karsinoma sel skuamosa laring, faring atau oesofagus

Tumor ganas laring : keluhan dan gejala karsinoma laring tergantung dari lokasi dan besarnya tumor,

seperti serak, sesak, nyeri tenggorokan, gangguan menelan, rasa mengganjal, batuk, dan benjolan di

leher . Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan menggunakan laringoskopi langsung ( d irect) dan laringoskopi tidak langsung (in d irect), radiologi konvensional yang dapat dilakukan seperti thorak foto dan soft tissue leher. CT scan/ PET CT dan MRI merupakan pemeriksaan yang lebih canggih lagi untuk determinasi klinis dan ekstensi tumor primer. Pemeriksaan histopatologis didapat melalui biopsy. Pengelolaan penderita tumor ganas laring dapat bersifat single modality atupun combined-modality. Dimana dapat dengan oeperatif, radioterapi, kemoterapi serta terapi kombinasi. Terapi kombinasi yang sering digunakan adalah operatif dengan diikuti radioterapi. Lain-lain : benda asing, Udem angio neurotik : dapat disebabkan oleh irritatif pollen (alergi) yang mengubah permeabilitas

kapiler dan menyebabkan udem pada pita suara. Gejala klinis suara serak, dari pemeriksaan tampak

laring udem difus. Terapi udem angioneurotik : epinefrin 0,3 ml subkutan, antihistamin :

dipenhidramin 25 – 50 mg intra vena, kortikosteroid : dexamethason 5 – 10 mg intra vena, bila tidak

ada respon dilakukan intubasi endotrakea untuk stabilisasi jalan nafas.

2.3 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas

46

Page 52: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

penunjang. Gejala dan tanda obstruksi saluran nafas atas adalah :

(disfoni) sampai afoni.

napas (dispnea).

(nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan inter kostal.

karena pasien haus udara (air hunger).

muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia

Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada obstruksi saluran nafas atas diantaranya adalah :

a. Nasoendoskopi

b. Laringoskopi baik secara direk atau indirek, dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring.

c. Pemeriksaan radiologi leher – thoraks, apabila dicurigai adanya benda asing metal dapat

dilakukan pemeriksaan foto polos posisi PA (Posterior Anterior) dan lateral, foto dengan

teknik jaringan lunak digunakan pada kasus dengan densitas rendah, dan untuk benda asing

dengan gambaran radiolusen dapat dilakukan foto pada akhir inspirasi dan ekspirasi.

d. CT Scan kepala dan leher

e. Biopsi

f. Pemeriksaan leukosit darah tepi

g. Analisis Gas darah

2.4 Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas Klasifikasi gejala obstruksi saluran napas atas menurut Jackson :

Stadium 1

a. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal

b. Stridor pada waktu inspirasi

c. Pasien masih tampak tenang Stadium 2

a. Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam

b. Cekungan didaerah epigastrium

c. Stridor terdengan pada waktu inspirasi

d. Pasien mulai tampak gelisah Stadium 3

47

Page 53: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

a. Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklavikula dan di sela-sela

iga

b. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi

c. Pasien sangat gelisah dan dispnea Stadium 4

a. Cekungan di suprasternal, epigastrium, infraklavikula dan di sela-sela iga bertambah jelas,

pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis

b. Pasien dapat kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea

c. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

2.5 Tatalaksana OSNA

Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi saluran nafas atas adalah diusahakan supaya jalan

nafas lancar kembali. Tindakan konservatif : pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika serta oksigen intermitten,

yang dilakukan pada obstruksi saluran nafas atas stadium I yang disebabkan oleh peradangan. Tindakan operatif/resusitasi : memasukan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi orotrakeal) atau

melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laring

stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi pada obstruksi laring stadium IV.

2.5.1 Intubasi

Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau hidung. Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (life saving procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%. Indikasi intubasi endotrakea :

a. Untuk mengatasi obstruksi saluran nafas bagian atas

b. Membantu ventilasi

c. Memudahkan mengisap sekret

d. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari

lambung. Keuntungan intubasi, yaitu:

a. Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut.

b. Mudah dikerjakan.

a. Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas.

b. Tidak dapat digunakan dalam waktu lama. Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7-10 hari.

c. Tidak enak dirasakan penderita.

d. Tidak bisa makan melalui mulut.

48

Page 54: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

e. Tidak bisa bicara. Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea.

2.5.2. Laringotomi (Krikotirotomi)

Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid (krikotirotomi). Krikotirotomi merupakan

tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat nafas. Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan , dan harus

dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat. Krikotirotomi merupakan kontra indikasi pada anak dibawah usia 12 tahun,

demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis. Bila kanul dibiarkan terlalu lama

maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan jaringan di sekitar

subglotik, sehingga terbentuk jaringan granulasi, dan sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.

2.5.3. Trakeostomi

Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea untuk

mengatasi gangguan pernapasan bagian atas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan

nafas bagian atas. Indikasi trakeostomi adalah :

a. Mengatasi obstruksi laring

b. Mengurangi ruang rugi (dead space) disaluran pernapasan atas

c. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus

d. Untuk memasang alat bantu pernapasan

e. Untuk mengambilbenda asing di subglotis, apabila tidak memiliki fasilitas

bronkoskopi. Keuntungan trakeostomi adalah :

a. Dapat dipakai dalam waktu lama.

b. Trauma saluran napas tidak ada.

c. P e n d e r i t a m a s i h d a p a t b e r b i c a r a s e h i n g g a k e l u m p u h

a n o t o t l a r i n g

d a p a t dihindari.

d. Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah

e. Penderita dapat makan seperti biasa.

f. Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.

g. Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.

Kerugian trakeostomi yaitu:

a. Tindakan lama.

b. Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.

a. Kelembaban udara masuk. Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat, nebulizer, dengan

kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma.

b. Kebersihan dalam kanul harus diperhatikan, jangan sampai tersumbat oleh sekret dianjurkan

disedot tiap ½ - 1 jam pada 24 jam pertama dan tidak boleh terlalu lama tiap sedotannnya

49

Page 55: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

(suction), biasanya 10-15 detik, bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia bahkan cardiac

arrest. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai sekret bersih. Pada anak kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali. Pengangkatan kanul dilakukan

secepatnya, atau dengan indikasi berikut:

a. Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak.

b. Dalam 24 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur, makan

dan bekerja.

c. Penderita sudah dapat bersuara.

Komplikasi trakeostomi dapat terjadi pada saat operasi yaitu perdarahan, dapat menimbulkan cedera

pada organ sekitarnya, apnea dan shock. Sedangkan pasca operasi dapat terjadi infeksi, sumbatan,

kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan

subglotis dan trakea, disfagia, dan granulasi.

2.5.4 Perasat Heimlich (Heimlich Manuever )

Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak di hipofaring. Prinsip mekanisme perasat Heimlich adalah memberi tekanan pada paru. Diibaratkan paru sebagai botol plastik berisi udara yang tertutup oleh sumbatan, dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan terlempar keluar. Perasat Heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati dan fraktur tulang iga. Teknik perasat heimlich:

a. Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.

b. Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, ked ua tangan diletakan pada perut

bagian atas

c. Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut ke arah dalam dan ke arah atas dengan

hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar

keluar.

Pada anak penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan. Pada

pasien tidak sadar atau terbaring dapat dilakukan dengan cara penolong berlutut dengan kedua kaki

pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakan dibawah tangan kiri didaerah epigastrium. Dengan

hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong benda

asing keluar.

50

Page 56: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

B A B I I I

P E N U T U P

S u m b a t a n a t a u o b s t r u k s i s a l u r a n n a p a s a t a s m e r u p a k a n k e g a w a t d a r u r a t a n y a n g h a r u s s e g e r a d i a t a s i u n t u k m e n c e g a h k e m a t i a n . O

b s t r u k s i s a l u r a n n a p a s a t a s d a p a t d i s e b a b k a n o l e h r a d a n g a k u t d a n r a d a n g

k r o n i s , b e n d a a s i n g , t r a u m a a k i b a t k e c e l a k a a n , p e r k e l a h i a n , p e r c o b a a n b

u n u h d i r i d e n g a n s e n j a t a t a j a m d a n t r a u m a a k i b a t t i n d a k a n m e d i k y a n g d i l a

k u k a n d e n g a n g e r a k a n t a n g a n k a s a r , t u m o r p a d a l a r i n g b e r u p a t u m o r j i n a k

m a u p u n t u m o r g a n a s , s e r t a k e l u m p u h a n n e r v u s r e k u r e n b i l a t e r a l .

P r i n s i p p e n a n g g u l a n g a n p a d a o b s t r u k s i s a l u r a n n a p a s a t a s a d a l a h m

e n g h i l a n g k a n p e n y e b a b s u m b a t a n d e n g a n c e p a t a t a u m e m b u a t j a l a n n a f a s

b a r u y a n g d a p a t m e n j a m i n v e n t i l a s i . T i n d a k a n k o n s e r v a t i f b e r u p a p e m b e r

i a n a n t i i n f l a m a s i , a n t i a l e r g i , a n t i b i o t i k a s e r t a p e m b e r i a n o k s i g e n i n t e r

m i t e n , y a n g d i l a k u k a n p a d a s u m b a t a n l a r i n g y a n g d i s e b a b k a n o l e h p e r a d a

n g a n . T i n d a k a n o p e r a t i f a t a u r e s u s i t a s i d e n g a n m e m a s u k a n p i p a e n d o t r a k

e a l m e l a l u i m u l u t ( i n t u b a s i o r o t r a k e a ) a t a u m e l a l u i h i d u n g ( i n t u b a s i n a s o

t r a k e a ) m e m b u a t t r a k e o s t o m a y a n g d i l a k u k a n p a d a s u m b a t a n l a r i n g s t a d i

u m I I d a n I I I a t a u m e l a k u k a n k r i k o t i r o t o m i y a n g d i l a k u k a n p a d a s u m b a t a n

l a r i n g s t a d i u m I V . P e n a n g g u l a n a n s u m b a t a n s a l u r a n n a p a s a t a s y a n g t e p a t

d a n c e p a t s a n g a t d i b u t u h k a n u n t u k m e n c e g a h k e m a t i a n .

51

Page 57: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ, Snow jr JB. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. BC Decker inc. Ontario 2003.

2. Borgstein J. Acute airway obstruction in The Basic Ear Nose Throat

3. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi 5.

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005.

4. D Gerard MD. Epiglotitis. Dalam : Daniel J kelley MD, Francisco Talavera, Harm D, phD,

Gregory CC Allen MD, Christoper L Slack, MD, Arlen D Meyers MD, MBA (editor).

http://www.emedicine.com

5. Adams GL, Boeis LR, jr. Highler PA. Boeis Buku ajar THT. Edisi 6. Effendi H Santoso

RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993

6. Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam: S.A Efiaty I Nurbaiti,

B Jenny, R D Ratna (editor). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan

leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2003.

52

Page 58: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

FRAKTUR MIDFACIAL M. Bima Mandraguna, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS

Maksila merupakan jembatan antara dasar tengkorak di superiorr dan bidang oklusal gigi di

inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, mata, dan banyak struktur yang

terkandung dalamnya, membuat maksila sebagai struktur fungsional dan kosmetik yang penting.

Fraktur tulang-tulang ini berpotensi mengancam nyawa serta mengubah bentuk wajah. Terapi yang

segera dan sistematis memberikan kesempatan terbaik untuk memperbaiki deformitas dan mencegah

gejala sisa.

Fraktur maksila terjadi pada 625% fraktur wajah. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu

lintas, perkelahian, dan terjatuh.

Pemahaman mengenai fraktur maksila ini banyak bersumber pada penelitian René Le Fort. Pada 1901, ia menjelaskan 3 jenis fraktur maksila :

Fraktur Le Fort I Disebabkan trauma yang mengarah ke bawah ke tepi maksiloalveolar. Frakturnya memanjang dari

septum hidung ke rima lateral piriformis, berjalan horizontal di atas apeks gigi geligi menyilang di

bawah zygomaticomaxillary junction dan pterygomaxillary junction menuju lempeng pterigoideus.

Gambar 1. Fraktur LeFort I (transversal)

Fraktur Le Fort II (piramidal)

Disebabkan benturan ke arah bawah atau tengah wajah. Fraktur ini berbentuk piramid, memanjang

dari nasala bridge pada atau di bawah sutura nasofrontal melalui prosesus frontalis maksila,

53

Page 59: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

inferolateral melalui tulang lakrimal inferior dinding dan lantai orbita atau dekat foramen orbita

inferior, dan di bawahnya lagi melalui dinding anterior sinus maksila.

Gambar 2. Fraktur LeFort II (piramidal)

Fraktur Le Fort III Dikenal juga dengan craniofacial disjunction terjadi karena benturan di atas nasal bridge atau maksila

sebelah atas. Fraktur dimulai dari sutura nasofrontal dan frontomaksilar, memanjang ke belakang

sepanjang dinding medial orbita melalui nasolacrimal groove dan tulang etmoid. Tulang sfenoid yang

menebal di belakang mencegah fraktur mengarah ke kanalis optikus. Fraktur justru berlanjut

sepanjang lantai orbita sepanjang fisura orbita inferior dan berlanjut superolateral melalui dinding

lateral orbita, ke zygomaticofrontal junction dan arkus zigoma. Di dalam rongga hidung, garis fraktur

memanjang melalui perpendicular plate etmoid, vomer, pterygoid plate ke dasar sfenoid.

Gambar 3. Fraktur LeFort III (craniofacial dysjunction)

Pemeriksaan Radiologi

54

Page 60: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung. Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula (Pedersen, 1996).

Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2) proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan kanan (Hupp dkk, 2008).

Gambar 4 . Berbagai proyeksi radiografi untuk fraktur mandibula(Hupp dkk, 2008).

A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah) B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah).

C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah). D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada sebelah kiri corpus mandibula dan

fraktur subkondilar kanan (panah)

55

Page 61: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi submental verteks. Fraktur pada arkus zygomatikus ditunjukkan dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (Hupp dkk, 2008)

Gambar 5. Berbagai proyeksi radiografi untuk fraktur wajah bagian tengah (Hupp dkk, 2008).

A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita, B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan

kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium. C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan CT scan. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua sifat tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah kontusio, dan edema cerebral (Pedersen, 1996).

56

Page 62: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 6. CT Scan (Hupp dkk, 2008).

A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).

B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita kanan

Dengan kemajuan teknologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga dimensi akan

memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya

displacement tulang (Tawfilis, 2006)

Gambar 7. Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)

Manajemen Trauma Midfacial

Perbaikan kondisi umum pasien harus diperhatikan. Fiksasi fragmen yang tidak stabil

merupakan tujuan utama dalam terapi bedah untuk kasus ini. Diharapkan dengan fiksasi ini hubungan

anatomis antar segmen akan kembali normal, khususnya sistem butress, bentuk wajah, oklusi, dan

fungsi mengunyah. Pemasangan MMF akan akan memeperbaiki oklusi. Untuk fiksasi segmen lainnya

dapat digunakan metode plate and screw.

Perawatan Definitif

Perawatan definitif fraktur maksilofasial dilakukan setelah keadaan umum pasien lebih baik,

terkontrol dan telah melewati masa kritis melalui perawatan gawat darurat. Tujuan dari perawatan

fraktur maksilofasial adalah merehabilitasi jaringan yang terlibat, mengurangi rasa sakit,

penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi. (Fonseca, 2005)

57

Page 63: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks secara ideal

dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12-48 jam paska

trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan

radiologis, dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan

tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga

pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit

dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain

keterlambatan perawatan. (Miloro, 2004)

Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk pengelolaan life-

saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus keterlambatan koreksi

seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga

diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik

dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur

akibat telah terjadinya penyatuan tulang. (Tawfilis, 2006)

Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk mendapatkan fiksasi dan

stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3

dimensi yaitu vertikal, horisontal dan transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan

fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas

ke bawah). (Miloro, 2004)

Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial anterior atau

fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas

telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah.

Namun bila terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial

dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan

dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat

menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis

diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan

letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki. (Miloro, 2004)

Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung mandibula

terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik unilateral maupun bilateral

memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah

mandibula terkoreksi dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan

menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat

dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi.

Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali

lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan

dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila. Kerugian pada tehnik bottom

58

Page 64: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris

yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus

akan menyebabkan asimetri wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 8. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)

Pada teknik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer

facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks malar dan tulang

frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau

pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu

dilakukan rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress.

Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris. (Miloro, 2004)

59

Page 65: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 9. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan hidung. Selain

itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan untuk menambah kontur pada

regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 10. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)

60

Page 66: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DETEKSI DINI KEGANASAN KEPALA LEHER

Aditya Arifianto, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS

ABSTRAK

Keganasan daerah kepala leher merupakan masalah kesehatan yang meningkatkan mortalitas dan

morbiditas. Penderita biasanya datang dengan stadium lanjut, kondisi ini akan menurunkan kualitas

hidup. Kesintasan dan kualitas hidup penderita keganasan kepala leher berhubungan langsung dengan

ukuran tumor primer pada saat terdeteksi pertama kali. Pencegahan primer dan sekunder dapat

dilakukan. Dibutuhkan peningkatan pengetahuan yang berhubungan dengan deteksi dini pada saat

ukuran tumor masih kecil. Sejauh ini bukan hanya mengenai kekurangan infrastruktur di Indonesia,

melainkan terjadi juga di seluruh dunia. Perkembangan teknik dan pengetahuan mengenai deteksi dini

masih rendah terutama mengenai program skrining untuk keganasan daerah kepala leher. Pencegahan

sekunder sudah mengalami perkembangan berupa pemakaian endoskopi dan analisis kuantitatif di

bidang biologi molekuler. Semua pemeriksaan ini harus selalu ditunjang dengan biopsi yang

merupakan langkah awal untuk menentukan jenis terapi. Keganasan kepala leher terdiri dari keganasan di daaerah sinonasal, faring, laring, kelenjar liur,

telinga, leher, dan tiroid. Dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan deteksi dini oleh

dokter umum dan tenaga kesehatan sebagai lini pertama kesehatan Indonesia.

Kata Kunci: Deteksi Dini, Dokter Umum dan Tenaga Kesehatan, Keganasan Kepala Leher,

Kualitas Hidup, Stadium Lanjut

61

Page 67: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Hari Kanker Kepala Leher Sedunia jatuh setiap tanggal 27 Juli. Hari ini diperingati agar dapat

digaungkan mengenai kesadaran gejala secara dini dan berobat dalam stadium dini sehingga angka

harapan hidupnya semakin bagus. Tumor merupakan pertumbuhan massa abnormal pada jaringan yang berlebihan dan tidak

terkoordinasi. Berdasarkan penilaian klinisnya, tumor dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok

besar, yaitu tumor jinak dan ganas. Tumor dapat dinilai jinak apabila tampilan mikroskopis dan

makroskopis menunjukkan bahwa tumor tersebut terlokalisasi dan tidak menyebar ke jaringan lain.

Sedangkan tumor dapat dinilai ganas apabila tumor tersebut menyerang serta menghancurkan struktur

jaringan, kemudian menyebar ke jaringan lain, atau biasa disebut dengan karsinoma. Karsinoma

terjadi karena adanya mutasi pada sel dalam tubuh yang berproses tahunan, satu sel yang tidak

dikenali oleh sel imunologi tubuh akan terus berkembang.1

Karsinoma kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas,

meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan laring, sinus paranasal, dan kelenjar liur.

Karsinoma pada lokasi berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa

paling sering ditemukan (> 90%).2

Sayangnya di Indonesia berbagai keterbatasan menyebabkan penanganan karsinoma kepala-leher

yang optimal tidak tercapai. Tidak meratanya akses informasi bagi semua kalangan masyarakat

mengenai tanda dan gejala dini karsinoma menyebabkan pasien-pasien seringkali mendapatkan

informasi yang salah. Sehingga terlambat untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Tingkat

pengenalan masyarakat mengenai gaya hidup sehat juga masih harus diupayakan. Karsinoma kepala leher merupakan jenis karsinoma terbanyak ketiga di Indonesia setelah karsinoma

payudara dan karsinoma serviks berdasarkan data registrasi karsinoma berbasis hepatologi 2011.

Jumlah orang dengan karsinoma kepala leher ada banyak namun biasanya diketahui ketika sudah di

stadium lanjut hingga tingkat kematian tinggi. Sehingga pengobatan yang dilakukan makin kompleks

dan biaya dikeluarkan pun makin banyak. Jika karsinoma kepala leher ditemukan dalam stadium dini angka keberhasilan terapi bisa mencapai

80 persen. Insidensi umum karsinoma kepala leher menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun

2012 adalah sekitar 10% per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian sebanyak 7% per

100.000 penduduk per tahun.2

WHO memperkirakan angka kematian karsinoma rongga mulut dan orofaring di seluruh dunia pada

tahun 2008 sekitar 371.000 dan akan meningkat menjadi 595.000 pada tahun 2030.2

Selama 30 tahun terakhir, tingkat kelangsungan hidup penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan

leher relatif tetap. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk semua stadium, berdasarkan

Surveillance Epidemiologi dan Data Hasil Akhir sekitar 60%. Dua pertiga pasien mengalami

penyakit lokal lanjut, dengan tingkat ketahanan hidup 5 tahun <50%, dengan kualitas perawatan yang

62

Page 68: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

buruk.2

Insidensi karsinoma kepala leher di Indonesia pada tahun 2012 adalah 15% per 100.000 ribu

penduduk per tahun (pada pria) dengan angka kematian sebanyak 13% per 100.000 ribu penduduk per

tahun (pada pria).2

Prevalensi karsinoma kepala leher di RSHS pada tahun 2008-2012 secara berurutan adalah karsinoma

nasofaring (KNF) sebanyak 38,2%, sinonasal 17,3%, laring 13%, limfoma 9,3%, orofaring 6,3%,

tiroid 6,2%, rongga mulut 3,9%, hipofaring 2,2%, kelenjar liur 2,2%, dan leher 1%. Kebanyakan

penderita datang dengan stadium lanjut yaitu stadium IV sebanyak 54,7%, stadium III 24,4%, stadium II 13,5%, dan stadium I 7,4%. Sangat disayangkan yang banyak terjadi adalah pasien yang berobat

sudah dalam stadium yang lanjut.1

Saat ini usia muda sudah banyak yang terkena karsinoma yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak

sehat seperti merokok, minuman beralkohol, seringnya mengkonsumsi ikan asin atau makanan yang

diasapkan, polusi udara atau paparan radiasi, dan infeksi Virus Epstein Barr (VEB), Human Papilloma

Virus (HPV), serta faktor genetika. Mereka yang mempunyai riwayat karsinoma di keluarga harus

mempunyai kewaspadaan lebih tinggi dan lebih waspada terhadap gejala dini karsinoma. Pengobatan

pada karsinoma kepala leher adalah pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi atau kombinasi. Pada karsinoma stadium dini, angka keberhasilan pengobatan lebih tinggi dan kualitas hidup lebih

baik. Untuk mencegah terjadi karsinoma adalah dengan menerapkan pola hidup sehat dengan cara

CERDIK. C = Cek kesehatan secara rutin, E = Enyahkan asap rokok, R = Rajin aktifitas fisik, D =

Diet seimbang, I = Istirahat cukup, dan K = kelola stress. Sosialisasi dan edukasi kepada pasien dan

keluarga harus dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kanker. Pencegahan bisa dilakukan dengan primer dan sekunder. Pencegahan primer yakni dengan

menghindari rokok dan alkohol, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup, kelola stres.

Berbagai masalah dalam mengobati kanker kepala leher adalah: 1. Gejala awal yang sulit dikenali 2. Menyerupai infeksi saluran nafas atas 3. Pengobatan yang tertunda baik dari dokter maupun pasien 4. Jarak pengobatan yang jauh dari rumah 5. Pengobatan alternatif 6. Jarang datang untuk control 7. Asuransi

1. Genetik 2. Virus Epstein Barr (VEB) / Papiloma Virus (HPV)

63

Page 69: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

3. Gaya hidup: rokok dan alkohol, makanan, RAS, herbal 4. Kebersihan mulut

1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik 3. Biopsi 4. Pemeriksaan penunjang

a. Endoskopi

b. Imaging Terapi utama untuk karsinoma kepala leher adalah dengan melakukan pembedahan, radioterapi,

kemoterapi ataupun kombinasi.

Gambar 1. Anatomi Kepala Leher

Karsinoma nasofaring Karsinoma nasofaring tersembunyi dan sulit terlihat karena muncul di belakang hidung atau atas

mulut, hingga timbul gejala barulah diketahui ada karsinoma bersarang. Meski demikian, gejala awal

yang bisa dikenali adalah ada rasa penuh di telinga karena tumor menutup muara tuba. Telinga juga

akan terasa sakit dan berdenging. Kemudian hidung terasa tersumbat, keluar lendir yang bercampur

dengan darah. Bukan mimisan tapi ketika lendir keluar ada garis-garis merah.3

Hidung juga akan mengalami gangguan penciuman. Kemudian karsinoma yang sudah lanjut akan

mengenai otak sehingga akan menimbulkan sakit kepala hebat dan sulit menelan. Jika mengenai saraf

penglihatan, bisa menyebabkan mata juling atau kelopak mata tertutup.3

64

Page 70: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 2. Karsinoma Nasofaring

Terdapat jenis lain dari tumor nasofaring yaitu angiofibroma nasofaring belia yang merupakan tumor

jinak tetapi mempunyai sifat seperti tumor ganas. Tumor ini banyak menyerang remaja laki-laki dan

mempunyai gejala epistaksis yang progresif, hidung tersumbat. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat

massa yang kebiruan dan mudah berdarah.4

Gambar 3. Angiofibroma Nasofaring Belia

Karsinoma sinonasal Gejala dini karsinoma ini adalah hidung tersumbat pada satu sisi. Keluar mimisan atau darah dari

rongga hidung. Karena tumor menyumbat, maka ingus akan berbau dan membuat pipi bengkak.

Kemudian, sakit kepala juga akan timbul jika massa tumor menekan ke atas. Jika menekan ke bawah,

akan membuat gigi goyah dan langit-langit mulut banyak tumor.5

65

Page 71: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 4. Karsinoma Sinonasal

Karsinoma pita suara atau laring

Gejala karsinoma laring adalah pasien mengalami suara serak yang tak kunjung reda hingga lebih dari

dua minggu. Meski sudah diberi obat serak tapi tidak juga hilang. Harus dibedakan pula serak karena vocal abuse, yang biasanya dialami orang dengan pekerjaan yang

banyak menggunakan suara seperti penyanyi atau pengajar. Jika tumor sudah memenuhi hampir

seluruh rongga pita suara, bisa menyebabkan sesak napas.5

Gambar 5. Karsinoma Laring

Karsinoma rongga mulut atau lidah Gejalanya sakit karena adanya benjolan. Biasanya akan dilihat apakah ada gigi yang menimbulkan

gesekan sehingga menimbulkan luka. Selain itu, terlihat juga sariawan yang tidak sembuh selama

lebih dari dua minggu.5

Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke telinga karena saraf dari rongga mulut paling sering adalah ke

telinga. Terdapat pula luka gaung yang sering berdarah meski tidak banyak, tidak mau makan, dan

berat badan turun.5

66

Page 72: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 6. Karsinoma Rongga Mulut

Karsinoma orofaring Sering muncul pada amandel atau tonsil, dan gejala yang paling sering dikeluhkan adalah rasa

mengganjal di mulut, lesi atau luka, sakit di bawah lidah, dan menyebabkan berbicara bergumam.

Selain itu, terasa juga nyeri.5

Gambar 7. Karsinoma Orofaring

Karsinoma tiroid Seringkali muncul benjolan di leher depan atau samping kanan atau kiri. Untuk mengenali benjolan

itu tiroid atau bukan, coba perhatikan benjolan ketika menelan. Jika benjolan ikut bergerak, artinya itu

tiroid. Biasanya benjolan ini tidak terlihat, kecuali jika sudah membesar. Ada rasa menekan dan

mengganjal sehingga membuat sesak dan jika muncul di bagian belakang, akan membuat susah proses

menelan.6

Gambar 8. Karsinoma Tiroid

Karsinoma parotis atau kelanjar air liur

Benjolan biasanya akan muncul di belakang telinga. Nyeri bisa muncul tergantung dari perluasan

penekanan pada jaringan sekitar. Semakin besar, maka semakin terasa nyeri. Tumor juga timbul di

67

Page 73: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

dekat saraf wajah, yang jika membesar bisa menekan saraf wajah sehingga membuat mencong dan

mata tidak bisa menutup.5

Gambar 9. Karsinoma Parotis

Karsinoma telinga Dari luar seringkali tidak terlihat, namun di dalam liang telinga mungkin saja sudah ada massa tumor.

Gejala awalnya adalah pendengaran yang mulai menurun, ada cairan berbau darah, benjolan di dalam

telinga, karena letaknya dekat dengan dasar otak, maka bisa menimbulkan sakit kepala hebat.5

Gambar 10. Karsinoma Telinga

Kesimpulan 1. Gejala dini penting untuk diketahui 2. Stadium dini mempunyai prognosis yang lebih baik 3. Diperlukan diagnosis sedini mungkin 4. Penundaan terapi menyebabkan hasil yang tidak maksimal

Saran Hidup sehat: kendali stress, olahraga teratur, hindari makanan yang tidak sehat dan berpengawet

Diperlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai karsinoma kepala leher untuk

dokter umum dan tenaga kesehat

68

Page 74: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Rakhmawulan IA, Dewi YA, Nasution N. Profile of Head and Neck Cancer Patients at

Departement ORL-HNS Hasan Sadikin General Hospital Bandung. AMJ. 2015;2(4):474-9. 2. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et al.

Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at

presentation. Chinese journal of cancer. 2012;31(4):185-96. 3. Thompson LD. Update on nasopharyngeal carcinoma. Head and neck pathology. 2007;1(1):81-6. 4. Siba PD, Bernhard S. Juvenile Angiofibroma. Switzerland. Springer. 2017. p:43-52.

5. Shah J. Head and Neck Surgery and Oncology. 4th

Edition. Philadelphia. Elsevier. 2012.

6. David JT, William SD. Thyroid and Parathyroid Disease. 2nd

Edition. New York. Thieme. 2016.

p:77-86.

69

Page 75: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

KEGAWATDARURATAN DI BIDANG THT-KL

Ichsan Juliansyah Juanda, dr., Sp.T.H.T.K.L

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengalami peningkatan.1 Salah satu

penyebab peningkatan kunjungan tersebut adalah kegawatdaruratan di bidang telinga, hidung,

tenggorok, bedah kepala, dan leher (THT-KL). Beberapa kasus di kegawatdaruratan THT-KL dapat

menimbulkan kematian sehingga membutuhkan intervensi yang cepat.2

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih sering masuk ke IGD seperti penelitian

yang dilakukan oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AQHRC), United States pada

tahun 2011 dan penelitian di Brazil tahun 2012. Penelitian yang dilakukan di Yunani pada tahun

2001-2006 menunjukkan bahwa dari 33.792 pasien yang datang ke IGD, insiden tertinggi terjadi pada

pria dengan angka kejadian 52,6%.1,3,4

Data menunjukkan usia yang datang ke IGD bermacam-macam. Penelitian oleh AQHRC 2011

menunjukkan bahwa usia yang sering mengunjungi IGD adalah kurang dari 1 tahun dan lebih dari 85

tahun (816 dan 935 kasus dari 1000 populasi). Penelitian di Brazil menunjukkan rentang usia yang

sering datang ke IGD adalah 20-40 tahun. Penelitian oleh National Ambulatory Care Reporting

System (NACRS) tentang kunjungan pasien ke IGD tahun 2014-2015 di Kanada menggambarkan

kunjungan ke IGD meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Persentase pasien yang mengunjungi

IGD bawah 18 tahun sebesar 7 persen dan pasien yang mengunjungi IGD di atas 85 tahun sebesar 15

persen.1,3,5

Diagnosis yang sering ditegakkan berbeda-beda di setiap penelitian. Penelitian yang telah dilakukan di

Korle Bu Teaching Hospital, Ghana didapatkan diagnosis yang sering ditegakkan di IGD THT-KL

adalah benda asing esofagus (41.3%). Infeksi telinga merupakan salah satu diagnosis yang sering

ditegakkan pada penelitian di United States (2011) dan Kanada tahun 2014-2015 (0-4 tahun).

Penelitian di Brazil tahun 2012 menunjukkan bahwa infeksi saluran pernapasan atas (24.55%)

merupakan penyebab tersering pasien datang ke IGD THT-KL. Penelitan di Yunani pada tahun 2001-

2006 menggambarkan bahwa usia pasien yang kurang dari 14 tahun didominasi oleh penyakit

faringitis akut, laringitis, otitis media, dan

70

Page 76: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

otitis eksterna, sedangkan usia yang lebih dari 30 tahun didominasi oleh penyakit stomatitis, rhinitis,

dan sinusitis. Data dari Mount Elizabeth Medical Centre Singapura, menggambarkan bahwa

kegawatdaruratan THT-KL dibagi menjadi kegawatdaruratan telinga, hidung, dan kegawatdaruratan

tenggorok. 1,3,4,5,6,7

Mulai tanggal 1 Januari 2014, Indonesia sudah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).8 Penyakit gawat darurat

yang mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan

Indonesia saat ini dimuat dalam surat edaran Direktur Pelayanan Nomor 038 Tahun 2014 tentang

petunjuk teknis surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK/Menkes/32/I/2014

tahun 2014.9 Daftar penyakit gawat darurat di bidang THT- KL yang termasuk di dalamnya adalah

abses di bidang THT-KL, benda asing laring/trakea/bronkus, dan benda asing tenggorok, benda asing

telinga dan hidung, disfagia, obstruksi jalan napas atas grade II/III kriteria Jackson, obstruksi jalan

nafas atas grade IV kriteria Jackson, otalgia akut (apapun penyebabnya), paresis fasialis akut,

perdarahan di bidang THT-KL, syok karena kelainan di bidang THT- KL, trauma (akut) di bidang

THT-KL, tuli mendadak, dan vertigo (berat).10

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gangguan di bidang THT-KL dapat menjadi

salah satu kondisi yang meningkatkan kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat. Kondisi tersebut

dapat menyebabkan kematian sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap kegawatdaruratan di

bidang THT-KL.

71

Page 77: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

BAB II

KEGAWATDARURATAN DI BIDANG THT-KL

Kegawatdaruratan di bidang THT-KL yang tersering ditemukan di layanan kesehatan adalah

epistaksis, abses leher dalam, obstruksi saluran napas atas, benda asing saluran napas, trauma laring

2.1 Epistaksis

Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab kelainan

sistemik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakitlain.

Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapiepistaksis yang

berat dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segeraditanggulangi

2.1.1 Etiologi Penyebab lokal: a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin

atau mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai akibattrauma yang lebih hebat seperti kena

pukulan, jatuh, atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam

atau trauma pembedahan.

b) Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lepra dan sifilis.

c) Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada

angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

d) Faktor Lingkungan

Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada penerbang dan penyelam atau lingkungan udara yang sangat dingin. e) Benda asing

Benda asing dan rinolit dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus berbau busuk.

f) Idiopatik

Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulang pada anak danremaja.Penyebab

72

Page 78: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

sistemik:

g) Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,nefritis kronik,

sirosis hepatik atau diabetes mellitus dapat menyebabkane pistaksis. Epistaksis yang terjadi pada

penyakit hipertensi seringkali hebat dandapat berakibat fatal.

h) Kelainan darah Penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacam- macamanemia serta hemofilia.

i) Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter (penyakit Osler).

2.1.2 Sumber Perdarahan

Melihat asal perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

a) Epistaksis anterior

Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling banyak terjadi

dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak

begitu hebat dan bila pasien duduk darah akankeluar melalui lubang hidung. Sering kali dapat

berhenti spontan dan mudah diatasi

73

Page 79: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 2.1 Perdarahan Hidung

b) Epistaksis posterior

Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arterietmoidalis

posterior. Epistaksis posterior sering terjadi panda pasien usia lanjut yang menderita hipertensi,

arteriosclerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang dapat berhenti

spontan.

2.1.3 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaannya ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber perdarahan,

menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukansebab perdarahan.Pasien dengan

epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa

dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala

ditinggikan, dan perlu juga diperhatikan jangansampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Untuk

pasien anak, pasien duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak

bergerak- gerak. Setelah itu mencari sumber perdarahan, membersihkan hidung dari darah dan bekuan

darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian memasang tampon sementarayaitu kapas yang sudah

dibasahi adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan kedalam rongga

hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangirasa nyeri panda saat dilakukan tindakan

selanjutnya. Tampon tersebut dibiarkan selama10-15 menit, setelah terjadi vasokontriksi dapat dilihat

apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

74

Page 80: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

a) Menghentikan perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus kisselbach di septum bagiandepan. Apabila

tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba hentikan

dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Kemudian area tersebut diberi krim antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasa ngan tampon

anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tujuan

pemberian pelumas agar tampon mudah dimasukkandan tidak menimbulkan perdarahan baru saat

dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk menceg ah

infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab

epistaksis, serta dipasang tampon baru apabila perdarahan masih belum berhenti. Evaluasi sumber

perdarahan dapat dilakukan dengan nasoendoskopi, jika sumber perdarahan dapat teridentifikasi maka

dapat dilakukan kauterisasi.

Gambar 2.2 Pemasangan Tampon Anterior

b) Menghentikan perdarahan posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi daripada perdarahan anterior karena biasanya

perdarahannya hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaanrinoskopi anterior.Untuk

mengatasi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon

Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada

tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah disatu sisi dansebuah disisi yang berlawanan.Pada perdarahan

satu sisi, untuk memasang tampon posterior digunakan bantuankateter karet yang dimasukkan dari

lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut.Pada ujung kateter ini

diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai

benang keluar dan dapat ditarik.Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat

melewati palatum molemasuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah

75

Page 81: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

tampon anterior kedalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah

gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap

ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien, hal ini

bermanfaat untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Bila perdarahan berat dari

kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui

kavum nasi kanan dan kiri, dantampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring. Sebagai

pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Metode ini menggunakan

kateter yang dipasang didasar hidung sampai nasofaring. Balon kateter kemudian diisi dan kateter

ditarik ke anterior sehingga balon menutupikoana. Keuntungan dari metode ini adalah mudah untuk

dimasukkan, sedikit traumatik bagi pasien dan aliran udara hidung masih ada sebagian.

Gambar 2.3 Pemasangan Tampon Posterior

2.1.4 Komplikasi dan pencegahan

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagaiakibat dari usaha

penanggulangan epistaksis.Pada perdarahan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya aspirasi

darahkedala m saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal.

Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,

insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini

pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang

terbuka dapat menyebabkan terjadinya infeksi,seh ingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan

tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia,atau toxic shock syndrome. Oleh

karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3

hari tampon harus dicabut. Bila perdarahanmasih berlanjut dipasang tampon baru.Pemasangan tampon

posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang

yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh

dipompa terlalu keras karenadapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

76

Page 82: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

2.2 Abses Leher Dalam

Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulutdan leher harus

dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam

ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat p enjalaran infeksi dari berbagai sumber

seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik

biasanya berupa nyeri dan pembe ngkakan di leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab

adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.

Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses

submandibula dan angina ludovici.

2.2.1 Abses Peritonsil a) Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus

Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabsama dengan penyebab tonsillitis.

b) Patologi

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,oleh karena itu infiltrasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerahtersebut, sehingga tampak palatum

mole membengkak. Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan tampak per

mukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerahtersebut lebih lunak.

Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah kontralateral. Bila proses

berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akanmenyeb abkan iritasi pada m.pterigoid

interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

c) Gejala dan Tanda

Odinofagia hebat

Otalgia

Muntah (regurgitasi)

Mulut berbau (foeter ex ore)

Hipersalivasi

Suara sengau (rinolalia)

Sukar membuka mulut (trismus)

Pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan

d) Pemeriksaan fisik

77

Page 83: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Palatum mole membengkak dan menonjol ke depan

Uvula membengkak dan terdorong ke kontra lateral

Tonsil bengkak dan hiperemis

Gambar 2.4 Abses Peritonsiler

e) Terapi

Stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simtomatik,kumur2 dengan cairan hangat, & kompres dingin pada leher.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi di daerah abses, kemudian diinsisiuntuk

mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah tempat yang paling menonjoldan lunak, atau pada

pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi

yang sakit.

Tonsilektomi, pada umumnya dilakukan sesudah infeksi tenang, 2-3 minggusetelah drainase

abses.

f) Komplikasi

Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piremia

Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada

penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadimediastinitis.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus

sinuskavernosus, meningitis, dan abses otak.

2.2.2 Abses Retrofaring

78

Page 84: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

a) Etiologi

Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu : • Akut

Sering terjadi pada anak- anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadiakibat infeksi

pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung,sinus paranasal dan tonsil

yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis )sehingga menyebabkan supurasi pada daerah

tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsungoleh karena trauma akibat

penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi,sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing. • Kronis.

Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan initerjadi akibat

infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secaralangsung menyebar melalui

ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe

retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak kasus sering dijumpai adanya

kuman aerob dan anaerob secara bersam aan.

Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah • Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A

(paling sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non – hemolyticus, Staphylococcusaureus,

Haemophilus sp

• Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria

b) Gejala dan tanda klinis

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dantanda klinis yang

sering dijumpai pada anak :

Demam

sukar dan nyeri menelan

suara sengau

dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.

pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan

pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ). Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai adanya :

kekakuan otot leher (neck stiffness) disertai nyeri pada pergerakan

air liur menetes (drooling)

79

Page 85: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea

Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada

anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring,

pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :

demam

sukar dan nyeri menelan

rasa sakit di leher (neck pain)

keterbatasan gerak leher

dispnea

Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi

pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.

c) Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas atas atautrauma, gejala

dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringanlunak leher lateral. Pada foto

rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebihdari 7 mm pada anak dan dewasa serta

pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm padaanak dan lebih dari 22 mm pada dewasa. Selain itu juga

dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebral servikal.

d) Diagnosis Banding

Adenoiditis

Tumor

Anuerisma aorta e) Penatalaksanaan

1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :- posisi pasien supine dengan leher ekstensi-

pemberian O2- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik-

trakeostomi / krikotirotomi

2. Medikamentosa

• Antibiotik ( parenteral)

Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpamenunggu

ha sil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan

anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan

Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang

menghasilkan B – laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama

80

Page 86: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

adalah clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan

sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta – lactamase – resistant

penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin /

sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.

• Simtomatis

• Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangancairan

elektrolit.

• Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.

3. Operatif

• Aspirasi pus (needle aspiration)

• Insisi dan drainase :

- Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien

diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiper-ekstensi dan

kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling

berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap

untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri

untuk memudahkan evakuasi pus.

- Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk

abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring.

- Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikutigaris

kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan

subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m.sternokleidomas

toideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.sternokleidomastoideus. Dengan

menggunaka n klem erteri bengkok, m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis

disisihkan ke arah lateral. Setelah absesterpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan

pus dikeluarkan. Bila diperlukaninsisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain

(Penrose drain).

- Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m.sternokleido

mastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia

dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus

dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

f) Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah : - Penjalaran ke ruang parfaring, ruang vaskular visera

- Penjalaran ke mediastinum

mediastinitis-Obstruksi jalan napas-asfiksia

81

Page 87: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

- Abses pecah spontan

pneumonia aspirasi dan abses paru.

2.2.3 Abses Parafaring

Abses parafaring adalah penumpukan nanah atau pus pada ruang parafaring dengan insidesi pada

semua umur, tinggi pada dewasa muda dan remaja serta biasanya unilateral a) Etiologi :

Tertanam langsung jarum operasi

Melalui pembuluh darah

Saluran limfatik/ supurasi dari kelenjar servikal dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,sinus

paranasal, mastoid, vertebra servikal.

Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

b) Patologi :

Dimulai dari daerah prastiloid sebagai selulitis, jika tidak diobati berkembangmenjadi suatu abses

dan akhirnya menjadi suatu trombosis dari vena jugularis interna.Abses dapat mengikuti m.

stiloglossus ke dasar mulut dimana terbentuk abses.Infeksi dapat menyebar ke anterior ke bagian

posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh- pembuluh darah besar, disertai

oleh trombosis v. jugularis/mediastinitis. Infeksi bagian posterior : meluas ke atas sepanjang

pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial erosi a. karotis interna.

c) Gejala dan Tanda Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan

sekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring,sehingga

menonjol ke arah medial.

d) Pentalaksanaan

Antibiotik dosis tinggi parenteral kuman aerob dan anaerob

Evakuasi abses jika dalam 24-48 jam tidak ada perbaikan dengan pemberian antibiotik. Insisi

abses terdiri dari :

o Insisi dari luar

Dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi di

lanjutkan dari batas anterior m. Sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri

bagian medial mandibula dan m. Pterigoid interna mencapai ruang parafaring deng an

terabanya prosesus stiloid. Bila pus terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan

vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah dengan m. Sternokleidomastoideus.

o Insisi intraoral

82

Page 88: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi

dilakukan dengan menembus m. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring

anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapitambahan insisi eksternal. e) Komplikasi

Penjalaran ke intrakranial

Penjalaran ke mediastinum

Kerusakan dinding pembuluh darah

Nekrosis

Flebitis, tromboflebitis dan septikemia.

2.2.4 Abses Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dan

submandibula terpisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang

submental dan submaksila(lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai

kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

a) Etiologi Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kelenjar limfe submandibula. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.

b) Gejala dan tanda

Nyeri leher

Pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah

83

Page 89: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

Gambar 2.5 Abses Submandibula

c) Terapi

Antibiotika dosis tinggi yang diberikan secara parenteral

Abses dangkal & terlokalisasi evakuasi abses

Abses dalam & luas eksplorasi dalam narkosis

2.2.5 Angina Ludovici Infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan pembengkakan seluruh ruang submandibula &

tidak membentuk abses. a) Etiologi

Infeksi dari gigi atau dasar mulut.

b) Gejala dan tanda

Nyeri tenggorok & lehe

Pembengkakan di daerah submandibula

Dasar mulut membengkak

mendorong lidah ke atas belakang

sumbatan jalan napas

sesak napas

c) Diagnosis

Riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala & tanda klinik.

84

Page 90: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

d) Terapi

Antibiotika dosis tinggi

Dekompresi dan evakuasi pus / jaringan nekrosis

Pengobatan terhadap penyebab infeksi (gigi)

e) Komplikasi

Sumbatan jalan napas

Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain & mediastinum

Sepsis

2.3 Obstruksi Saluran Napas Atas

Obstruksi dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Obstruksi ringanmengakibat kan

sesak sedangkan obstruksi yang lebih berat namun masih ada sedikit celah menyebabkan sianosis

(berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yangdise babkan kekurangan oksigen dalam darah),

gelisah bahkan penurunan kesadaran. Obstruksi total bila tidak ditolong dengan segera dapat

menyebabkan kematian. Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) menyebabkan terjadinya

Hipoventilasi Alveolar dan perubahan biokimia yaitu hipoksemia arteri, retensi CO [hiperkapnea],

dan asidosisrespiratori dan metabolik [karena PH yg Rendah]. Ketiga faktor ini akan menyebabkan

keadaan asfiksia. Keadaan Asphyxia menstimulasi Kemoreseptor pada Carotid & Aortic Bodies.

Keadaan Hipoksemia menstimuli: Chemoreceptor & Symphatetic nervous system. Perangsangan

Chemoreceptor & Symphathetic Nervous System ini menyebabkan peningkatan usaha respirasi,

takikardia, vasokontriksi perifer hipertensi, peningkatanresistensi Vascular Pulmonar, peningkatan

aktivitas adrenal, peningkatan aktivitas Cerebral Cortical. Obstruksi saluran napas atas yang akan

dibahas kali ini adalah obstruksi pada laring. Prinsip penanggulangan obstruksi laring ialah

menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat

menjamin ventilasi. Sumbatan pada laring atau saluran napas atas dapat disebabkan oleh : radang akut dan kronis, benda

asing, trauma akibat kecelakaan, trauma akibat tindakan medik, umor saluran napas atas (tumor jinak

maupun ganas), kelumpuhan nervus rekuren bilateral

a) Gejala dan tanda

Serak (disfoni) sampai afoni

Sesak napas (dispnea)

Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

Retraksi (Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi) di suprasternal, epigastrium,

85

Page 91: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

supraklavikula dan interkostal.

Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

b) Derajat (Kriteria Jackson)

• Stadium I: Cekungan sedikit pada inspirasi didaerah suprasternal, kadang-kadang belum ada

stridor.

• Stadium II: Cekungan di suprasternal dan epigastrium dan stridor mulaiterdengar.

• Stadium III: Cekungan terdapat di suprasternal, epigastrium, intercostals, dansuprakalvikula.

Stridor jelas terdengar dan pasien tampak

• gelisah.

• Stadium IV: Cekungan bertambah dalam,sianosis,pasien yang mula-mulagelisah mulai

tampak lemah dan akhirnya diam dan kesadaran menurun.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan foto leher dengan posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher serta thorak

postero-anterior dan lateral.

Endoskopi dilakukan atas indikasi diagnostic dan terapi.

Pemeriksaan laboratorium darah berguna untuk mengetahui gangguan keseimbangan asam

basa dan tanda infeksi traktus trakeobronkial.

d) Penatalaksanaan

Stadium I: Tindakan konservatif dengan pemberian antiinflamasi, anti alergi, anti biotik serta

pemberian oksigen intermiten jika disebabkan oleh peradangan.

Stadium II: Intubasi endotrakea dan trakeostomi

Stadium III: Intubasi endotrakea dan trakeostomi

Stadium IV: Krikotiroidektomi

• Intubasi Endotrakeal

Indikasi :

- Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas

- Membantu ventilasi

- Memudahkan menghisap sekret dari traktus trakeobronkial-Mencegah aspirasi sekret yang

ada di rongga mulut yang berasal dari lambung

Teknik Intubasi :

- Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.

86

Page 92: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

- Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri, dimasukkanmelalui

mulut sebelah kanan sehingga ligah terdorong ke kiri.-Spatel diarahkan menelusuri pangkal

lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkatke atas sehingga terlihat pita suara.

- Dengan tangan kanan pipa endotrakeal dimasukkan melalui dua celah dantara pitasuara ke

dalam trakea.

- Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar.

- Harus berhati-hati dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat menyebabkan trauma

pita suara, laserasi pita suara sehingga timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.

• Trakeostomi

- Tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernapas.

- Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yangrendah dan

batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga

- Menurut waktu dilakukan tindakan dibagi dalam :

Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang

Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukansecara baik

(legal artis)

Indikasi :

- Mengatasi obstruksi laring

- Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian atas sepertidaerah

rongga mulut, sekitar lidah dan faring.

- Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak

dapatmengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan

koma

- Untuk memasang respirator atau alat bantu pernapasan

- Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas

untuk bronkoskopi.

• Krokotiroidektomi

- Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.

- Kontraindikasi :

Anak < 12 tahun.

Tumor laring yang sudah meluas ke subglotis dan terdapat laringitis.

2.4 Benda Asing Saluran Napas

Benda asing adalah benda yang berasal dari luar atau dalam tubuh yang padakeadaan normal tidak

87

Page 93: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

ada. Ada yang eksogen (organik (kacang-kacangan, tulang), anorganik (paku, jarum,peniti, batu

baterai dll), zat kimia cair, makanan di esophagus)dan endogen (sekret kental, bekuan darah,

membran difteri, mekonium dlm saluran nafas)

a) Gejala dan Tanda

Tergantung lokasi : Batuk hebat, rasa tercekik, tersumbat di tenggorok, bicaragagap, obstruksi

jalan nafas yang terjadi segera.

Nyeri daerah leher, rasa tidak enak di substernal, nyeri punggung, disfagia, nyerimenelan,

perforasi esofagus

b) Etiologi dan Faktor Predisposisi

Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas antara lain,

faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempatting gal), kegagalan mekanisme

proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur, kesadarnmenurun, alkoholisme, dan epilepsi), faktor

fisik (yaitu kelainan dan penyakitneurol ogik), proses menelan yang belum sempurna pada anak,

faktor dental, medikal dansurgical (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi, belum tumbuhnya gigi

molar padaanak yang berumur < 4 tahun), faktor kejiwaan (antara lain emosi, gangguan

psikis),ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan (antara lain meletakkan benda

asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil

bermain, memberikan kacang atau permen pada anak yang gigimolarnya belum lengkap).

c) Gejala Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yang khas yaitu:

Choking (rasa tercekik)

Gagging (tersumbat)

Sputtering (gagap), „

Wheezing (napas berbunyi),

Paroxysmal coughing, serak, disfonia sampai afonia dan sesak napas tergantung dari derajat

sumbatan.

Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan dengan

auskultasi (audible stridor) dan palpasi di daerah leher (palpatory thud). Jika benda asing menyumbat total trakea akan timbul sumbatan jalan napas akut yang memerlukan

tindakan segera untuk membebaskan jalan napas.

d) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher dan

88

Page 94: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral (STL)

Video fluoroskopi

Bronkogram

Pemeriksaan laboratorium

e) Penatalaksaan

Bronkoskop kaku dengan kontrol pernapasan merupakan pilihan utama untuk kasus bendaasing di traktus trakeobronkial. Kebanyakan pasien yang datang ke pelayanan tertier telah melewati fase

darurat akut. Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi totaldan benda asing

tidak tajam lakukanlah back blows, abdominal thrusts atau Heimlich. Metode ini tergantung umur

penderita.

Persiapan ekstraksi benda asing harus dilakukan sebaik-baiknya dengan tenagamedis/operator,

kesiapan alat yang lengkap. Besar dan bentuk benda asing harus diketahui danmengusahakan duplikat

benda asing serta cunam yang sesuai benda asing yang akan dikeluarkan.Benda asing yang tajam

harus dilindungi dengan memasukkan benda tersebut ke dalam lumen bronkoskop. Bila benda asing

tidak dapat masuk ke lumen alat maka benda asing kita tarik secara bersamaan dengan

bronkoskop.Pemberian steroid dan antibiotik preoperatif dapat mengurangi komplikasi seperti

edemasaluran napas dan infeksi. Metilprednisolon 2 mg/kg IV dan antibiotik spektrum luas yang

cukup mencakup Streptokokus hemolitik dan Staphylococcus aureus dapat dipertimbangkan

sebelumtindakan bronkoskopi.Untuk sumbatan jalan napas bila terdapat benda asing di hidung cara

mengeluarkannyaialah dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian

atas, menyusuriatap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit

dan ditarik ke depan. Sedangkan benda asing di tonsildan dasar lidah digunakan cunam untuk me

ngambilnya. Untuk benda asing yang terletak di dasar lidah, dapat digunakan kaca tenggorok yang

besar untuk membantu pengembilan benda asing tersebut. Pasien diminta menarik lidahnya sendiri

dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananmemegang

cunam untuk mengambil benda tersebut. Gunakan Xylocain terlebih dahulu jika pasien merasa

sensitif

2.5 Trauma Laring

Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:

1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau

krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasiendotrakea atau

pemasangan pipa nasogaster).

2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia(cairan alcohol,

amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.

89

Page 95: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.

4. Trauma otogen akibat penggunaan suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnyaakibat

berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

a) Patofisiologi

Trauma dapat menyebabkan edem dan hematoma plika ariepiglotika dan ventrikularis oleh

karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu Mukosa faring dan

laring mudah robek kemudian diikuti terbentuknya emfisema subkutis di daerah leher yang

akan menyebabkan infeksi sekunder .

Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dandislokasi.

b) Gejala klinik Stridor, suara serak, emfisema subkutis, krepitasi kulit, hemoptisis,disafgia.

c) Penatalaksanaan

• Luka terbuka : emfisema adanya gelembung udara pada daerah luka

Trakeostomi dengan kanul trakea

Eksplorasi : jahit mukosa dan tulangrawan yang robek

Antibiotik utk mencegah tetanus

• Luka tertutup : fraktur & dislokasi tulang rawan, laserasi mukosa laring

Konservatif : istirahat suara, humidifikasi, kortikosteroid

Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah: sumbatan jalan napas yangmemerlukan

trakesotomi, emfisema subkutis progresif, laserasi mukosaluas, tulang krikoid terbuka,

paralisis bilateral terbuka

Eksplorasi dengan insisi kulit horisontal , untuk mereposisi tulang rawanatau sendi yang

mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yangrobek dan menutup tulang rawan

yang terbuka.

d) Komplikasi

Dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain:

Terbentuknya jaringan parut disekitar luka dan terjadinya stenosis laring

Paralisis nervus rekuren

Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan stenosis laring dan

trakea.

90

Page 96: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkosumo E, Wardani R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.Dalam :

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Kepaladan Leher. Ed.6. Balai

Penerbit FKUI. Jakarta. Hal : 155-159.Shumrick KA, Sheft SA. Deep Neck Infections In :

Paparella Otolaryngology, Head andneck. Vol III. Ed. 3. Philadelphia. W.B. Saunders. 1991

:p. 2545-62.

2. Cicameli GR dan Grillone GA. Inferior Pole Peritonsillar Abcess. Otolaryngology Headneck

Surgery. 1998 ; 118: 99-101.

3. Goldenberg D, Golz dan Joachims HZ. Retrofaringeal Abcess a Clinical Review. J.Laryngol

Otol. 1997; 111 : 546-50.

4. Adams Gl, Boies LR, Paparella MM. Trecheostomy. In : Adams GC, Boies LR, Higer PA.

Fundamentals of Otolaryngology. Ed. 6. Philadelphia, WB Saunders Co.1989 : p. 705-16.

5. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan Sumbatan laring. Dalam :Buku

Ajar Ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan leher.Ed. 6. Balai Penerbit

FKUI. Jakarta. Hal : 243-253.

6. Darraw DH, Holinger LD. Foreign Bodies of The larynx, Trachea and Bronchi. In :Bluestrone

CD, Stool SE, Kenna MA, ads. Pediatric Otolaryngology, Vol. 2.Philadelphia, Pa. WB.

Saunders. 1996. p; 39-401.

7. Munir M, hadiwikarta A, Hutauruk SM. 2007. Trauma laring. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, kepala dan leher. ED.6. Balai Penerbit FKUI.

Jakarta. Hal ; 209-211

91

Page 97: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

KOMPETENSI DI BIDANG THT-KL UNTUK DOKTER UMUM R. Ayu Hardianti Saputri, dr., Sp.T.H.T.K.L

PENDAHULUAN

Daftar penyakit ini dibuat berdasarkan Daftar penyakit SKDI 2006. Daftar penyakit ini penting

untuk diketahui oleh dokter umum maupun instansi atau institusi pendidikan dokter dengan tujuan

agar dokter yang dihasilkan memiliki kompetensi yang memadai untuk membuat diagnosis yang

tepat, memberi penanganan awal atau tuntas, dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka

penatalaksanaan pasien. Tingkat kompetensi setiap penyakit merupakan kemampuan yang harus

dicapai pada akhir pendidikan dokter.

I. TINGKAT KEMAMPUAN KLINIS YANG HARUS DICAPAI

Tingkat kemampuan yang harus dicapai terdiri dari 4 tingkat, yaitu: 1. Tingkat kemampuan 1 : mengenali dan menjelaskan

Dokter umum mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan memngetahui

cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut.

Selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu

menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2. Tingkat kemampuan 2 : mendiagnosis dan merujuk

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan

rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu

menindaklanjuti seudah kembali dari rujukan.

3. Tingkat kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

3A. Bukan gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada

keadaan yang bukan gawat darurat. Dokter umum dapat mampu menentukan rujukan yang paling

tepat bagi penaganan pasien selanjutnya. Dokter umum juga mampu menindaklanjuti sesudah

kembali dari rujukan.

3B. Gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan

gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan

92

Page 98: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan

pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindak lanjuti sesudah kembali dari rujukan.

4. Tingkat kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan

tuntas.

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit

tersebut secara mandiri dan tuntas.

4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.

4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai stelah selesai intership dan/atau Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan (PKB)

No

Jenis Penyakit

Kompetensi

Telinga, Pendengaran dan Keseimbangan

1 Tuli kongenital 4

2 Inflamasi pada aurikula 3A

3 Herpes zoster otikus 3A

4 Fistula pre-aurikular 3A

5 Labirintitis 4

6 Otitis eksterna 3A

7 Akut otitis media 3A

8 Akut otitis serosa (glue ear) 3A

9 Otitis media kronik 3A

10 Mastoiditis 3A

11 Miringitis bullosa 3A

12 Benda asing di telinga 3A

13 Perforasi membran timpani 3A

14 Otosklerosis 3A

15 Timpano sclerosis 3A

16 Presbiakusis 3A

17 Serumen 4

18 BPPV (benign paroxysmal positional vertigo) 4

19 Gangguan keseimbangan 4

20 Meniere‟s disease 1

21 Neuritis vestibularis 1

22 Akustik neuroma 3A

93

Page 99: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

23 Akut akustik neuroma 4

24 Trauma pada telinga 2

25 Gangguan dengar sensorineural 2

26 Gangguan dengar konduktis 4

27 Paralisis fasialis 3A

28 Kolesteatoma 1

Sistem Respirasi

29 Influenza 4A

30 Pertusis 4A

31 Acute Respiratory distress syndrome (ARDS) 3B

32 SARS 3B

33 Flu burung 3B

Hidung dan Sinus Paranasal

34 Septum deviasi 2

35 Atresia koana 2

36 Sinusitis 2

37 Furunkel hidung 4

38 Rinitis akut 4

39 Sinusitis frontalis akut 2

40 Sinusitis maksilaris kaut 2

41 Sinusitis etmoidalis akut 1

42 Sinusitis kronik 3A

43 Benda asing di hidung 4

44 Rinitis vasomotor 4

45 Rinitis alergi 4

46 Sinusitis kronis 3A

47 Rinits medikamentosa 2

48 Epistaksis 4

49 Polip 2

Laring Faring

50 Nasofaringitis 4

51 Faringitis 4

52 Tonsilitis 4

53 Laringitis 4

54 Hipertrofi adenoid 2

94

Page 100: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

55 Abses peritonsiler 3A

56 Akut Epiglotitis (pseudo-croop) 3A

57 Difteri 3B

58 Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) 3B

59 Karsinoma Laring 2

60 Karsinoma Nasofaring 2

Trakea

61 Trakeitis 2

62 Aspirasi 3B

63 Benda asing 2

Paru

64 Obstruksi Sleep Apnea (OSA) 1

Kepala Leher

65 Fistula, kista brakhialis medial dan lateral 3A

66 Higroma kistik 3A

67 Tortikalis 3A

68 Parotitis supuratif 4

69 Adenitis servikalis supuratif 4

70 Angina ludwig 3A

71 Mumps 4

72 Abese bezold 3A

73 Hidradenitis supuratif 4

74 Leukoplakia 3A

75 Karsinoma nasofaring 3A

76 Pleomorfik adenoma 1

77 Tumor warthin 1

78 Karsinoma laring 2

79 Benjolan di leher 2

80 Fistula, kista lateral, medial 2

81 Tumor nasal 1

82 Tumor sinonsal 1

Kelenjar Tiroid

83 Kista 3A

84 Goiter 3A

85 Hipertiroid 3A

95

Page 101: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

86 Hiperparatiroid 3A

87 Hipotiroid 3A

88 Hipoparatiroid 3A

II. TINGKAT KETERAMPILAN KLINIS

Tingkat keterampilan 1 : Mengetahui teori keterampilan

Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini.

Tingkat keterampilan 2 : Pernah melihat atau didemonstrasikan

Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada clinical

reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan

tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat.

Tingkat keterampilan 3 : pernah melakukan atau pernah menerapkan dibawah supervise

Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latar belakang biomedik dan

dampak psikososial keterampilan tersebut, berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan

tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, serta berlatih

keterampilan tersebut pda alat peraga dan/atau standardized patient.

Tingkat keterampilan 4 : Mampu melakukan secara mandiri

Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilan tersebut dengan menguasai seluruh teori, prinsip,

indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi dan pengendalian komplikasi.

No

Jenis Penyakit

Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan Kompetensi

1 Inspeksi aurikula, posisi telinga, dan mastoid 4

2 Pemeriksaan meatus auditorius eksternus dengan otoskopi 4

3 Pemeriksaan membran timpani dengan otoskopi 4

4 Menggunakan kaca laring 4

5 Menggunakan lampu kepala 4

6 Tes pendengaran, pemeriksaan garpu tala (weber, rinne, schwabach) 4

7 Tes pendengaran sederhana: tes bisik, dan tes suara 4

8 Audiometri nada murni 2

9 Audiometri tutur 2

96

Page 102: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

10 Pemeriksaan pendengrana pada anak-anak 2

11 Pneumatik otoskopi 1

12 Melakukan dan mengintrepretasika timpanometri 2

13 Pemeriksaan vestibular 2

14 Tes Ewing 2

15 elektronistagmografi 1

Indra penciuman

16 Inspeksi bentuk hidung dan lubang hidung 4

17 Penilaian obstruksi hidung 4

18 Uji penciuman 2

19 Rinoskopi anterior 4

20 Transiluminasi sinus 3

21 Nasoendoskopi 2

22 USG sinus 1

23 Radiologi sinus, interpretasi 2

Indra Pengecap

24 Menilai suara dan bicara 3

25 Penilaian bicara 1

26 Inspeksi bibir dan kavitas oral 4

27 Inspeksi tonsil 4

28 Penilaian pergerakan lidah 4

29 Penilaian pergerakan otot-otot hipoglosus 4

30 Inspeksi leher 4

31 Indirek laringoskopi 4

32 Direk laringoskopi 2

33 Inspeksi kavitas nasofaring 2

34 Inspeksi hipofaring 2

35 Palpasi kelenjar ludah 4

36 Palpasi nodus limfatikus brakialis 4

37 Palpasi kelenjar tiroid 4

38 Uji sensasi indra pencecap 1

39 Apus tenggorok 3

40 Esofagoskopi 2

41 Panilaian kemampuan menelan 3

Keterampilan Terapeutik

97

Page 103: BUKU PROSIDING - PERHATI KL JABAR

42 Manuver Politzer 2

43 Manuver Valsava 2

44 Pemasangan probe wool katun didalam telinga 3

45 Pembersihan meatus auditorius eksternus dengan usapan 3

46 Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret 3

47 Pengambilan benda asing dengan cara spoeling telinga 3

48 Parasintesis 2

49 Pengambilan benda asing di telinga 3

50 Insersi grommet 2

51 Menyesuaikan alat bantu dengar 2

52 Menghentikan perdarahan hidung 3

53 Pemasangan tampon anterior hidung 4

54 Pengambilan benda asing dari hidung 2

55 Bilas sinus 2

56 Pungsi sinuses 2

57 Antroskopi 2

58 trakeostomi 2

98